SKENARIO FILM “PEREMPUAN PUNYA CERITA”
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I.)
Oleh
Haiatul Umam
NIM: 105051102009
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Haiatul Umam
Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Terhadap Skenario Film “Perempuan Punya
Cerita”
Film “Perempuan Punya Cerita” merupakan film yang bergenre drama, dengan
tema perempuan. Film ini menarik untuk diteliti, karena telah mengangkat realitas
permasalahan kehidupan perempuan Indonesia, yang tentu saja di dalamnya terdapat
masukan ideologi dan konstruksi yang dibuat oleh penulis skenario film tersebut. Film ini
juga memiliki empat cerita berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan latar
belakang budaya, kelas sosial dan karakter tokoh yang beragam.
Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat lebih terarah, maka rumusan
masalahnya adalah, bagaimana pesan teks, kognisi sosial serta konteks sosial yang
terdapat dalam skenario/naskah film “Perempuan Punya Cerita” jika dilihat dari analisis
wacana model Teun A. Van Dijk?
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
penelitian analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk. Analisis wacana
model Teun A. Van Dijk memiliki tiga dimensi yang menjadi objek penelitiannya, yaitu
dimensi teks, kognisi sosial dan juga konteks sosial. Dimensi teks merupakan susunan
struktur teks yang terdapat dalam teks. Kognisi sosial merupakan pandangan, pemahaman
serta kesadaran mental pembuat teks yang membentuk teks. Sedangkan konteks sosial
merupakan pengetahuan mengenai situasi yang berkembang di masyarakat
yang
berkenaan atas suatu wacana.
Jika dianalisa, secara umum pembuat film dalam film “Perempuan Punya Cerita”
menyampaikan pesannya mengenai permasalahan yang menimpa sebagian perempuan di
Indonesia. Diantaranya permasalahan tentang hak-hak perempuan, kesehatan reproduksi
perempuan dan kekerasan terhadap perempuan. Namun demikian, walaupun perempuan
dihimpit oleh permsalahan tersebut, perempuan dalam film ini, memiliki ketegaran dan
kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan.
Melalui strategi wacana model Teun A. Van Dijk, penulis menemukan bahwa,
informasi dalam setiap kalimat yang terdapat dalam skenario film “Perempuan Punya
Cerita” berhubungan dengan informasi dalam kalimat lainnya, serta memiliki unsur-unsur
koherensi di dalamnya, sehingga terbentuklah struktur wacana berupa bentuk dan makna.
Penyampaian informasi dalam skenario film “Perempuan Punya Cerita” dikemas dengan
gaya bahasa yang ekspresif dan sangat sederhana. Penokohannya juga terlihat memiliki
karakter yang kuat. Analisis wacana Teun A. Van Dijk juga menangkap informasi bahwa,
film “Perempuan Punya Cerita” merupakan salah satu representasi dari keadaan
perempuan di Indonesia yang mengalami berbagai macam persoalan.
Dengan mengucapkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat-
Nya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan
salam
tak lupa selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, beserta
keluarga, para sahabat, dan umatnya.
Tiada kata yang dapat mewakili luapan hati penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Akhirnya berkat usaha dan doa, skripsi yang berjudul ANALISIS WACANA TEUN
A. VAN DIJK TERHADAP SKENARIO FILM “PEREMPUAN PUNYA CERITA”
ini dapat rampung.
Selesainya skripsi ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan bantuan serta
bimbingan semua pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Murodi, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr.
Arif Subhan, MA, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, Drs. H. Mahmud Jalal, MA, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Drs. Studi Rizal L.K, MA, selaku
Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Suhaimi, M. Si, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Rubiyanah,
MA, selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu siap membantu
dalam masalah akademik. Terima kasih atas segala bimbingannya.
memberikan waktunya kepada penulis. Terima kasih atas bimbingan, ilmu
dan dorongan yang telah Ibu berikan kepada penulis dalam mengerjakan
skripsi ini.
4. Dosen-dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan dedikasi
yang diberikan kepada penulis. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat
bagi penulis. Amin.
5. Segenap staff dan karyawan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.
6. Rumah Produksi Kalyana Shira Films, Mbak Sri dan Mas Jamal, yang
telah memperkenankan saya melakukan penelitian atas film “Perempuan
Punya Cerita”. Terima kasih atas bantuan yang diberikan.
7. Orang tua tercinta, Ayah dan Umi (H. Hamim dan Hj. Nuriah Dasuki)
yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan motivasi kepada penulis.
Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kalian. Amin. Serta
adik-adikku Zia Ulhaq, Ainun Najib, Riri Rizkia, dan Sahria Fadillah,
yang telah banyak membantu dan menghibur diri ini di kala penat.
8. Teman-teman seperjuanganku di Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2005.
Terima kasih atas kerja sama yang solid selama ini, kalian sungguh luar
biasa.
9. Sahabat-sahabatku terkasih, Feby, Nia, Fika, Emy, Irma, Yefhy, Ican,
Angga, Tedi, Alfan, Arifin, Aris, Maya, Indah dan Ummu. Terima kasih
10. Teman-teman SI-A angkatan 2004. Senang telah mengenal kalian.
Especially for The Chairman Aden Sihabuddin yang telah banyak
memberikan bantuan dan motivasinya kepada penulis.
11. Guru-guru dan teman-temanku di Pondok Pesantren Modern An- Najah.
Terima kasih atas ilmu, bimbingan, inspirasi dan pelajaran hidup yang
telah kalian berikan.
Dan kepada semua pihak yang telah langsung atau tidak langsung membantu
penulis dalam menyelasaikan skripsi ini, Semoga Allah membalas budi baik yang telah
kalian berikan. Amin.
Jakarta, Juni 2009
Penulis.
ABSTRAK………...i
KATA PENGANTAR………...ii
DAFTAR ISI.………..….v
DAFTAR TABEL……….viii
DAFTAR GAMBAR……...……….…..ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………...…………...1
B. Batasan dan Rumusan Masalah………...…4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………....5
D. Metodologi Penelitian….……….…...6
E. Tinjauan Pustaka……….11
F. Sistematika Penulisan……….13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Film
1. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Film Indonesia...15
2. Unsur-Unsur Film... 22
3. Pengertian Skenario Film...24
4. Struktur Film...26
5. Jenis-Jenis Film...27
2. Perempuan dalam Islam...29
3. Perempuan dalam Film Indonesia...32
C. Film Sebagai Suatu Realitas...37
D. Konsep Wacana
1. Teori Wacana...39
2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk...43
BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”PEREMPUAN PUNYA CERITA”
A. Profil Rumah Produksi Kalyana Shira Films...57
B. Latar Belakang Pembuatan Film ”Perempuan Punya Cerita”...57
C. Sinopsis Film ”Perempuan Punya Cerita”...60
D. Tim Produksi dan Pemeran Tokoh Film ” Perempuan Punya
Cerita”...62
E. Tentang Sutradara dan Penulis Skenario Film ” Perempuan Punya
Cerita”...64
BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN DATA SKENARIO FILM ”PEREMPUAN
PUNYA CERITA”
A. Teks Film ”Perempuan Punya Cerita”
1. Struktur Makro/Tematik……….68
2. Superstruktur/Skematik...72
B. Kognisi Sosial Film ”Perempuan Punya Cerita”...107
C. Konteks Sosial Sosial Film ”Perempuan Punya Cerita”...112
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan...117
B.
Saran dan Rekomendasi...120
DAFTAR PUSTAKA...121
LAMPIRAN-LAMPIRAN...122
vii
3. Tabel 2. 2 Elemen Wacana Teun A. Van Dijk...45
4. Tabel 3. 1 Tim Produksi dan Pemeran Tokoh Film ”Perempuan Punya
Cerita...62
5. Tabel 4. 1 Opening Shot...72
6. Tabel 4. 2 Conflict Scene…..………..73
7. Tabel 4. 3 Anti Klimaks...75
8. Tabel 4. 4 Ending...77
9. Tabel 4. 5 Latar...79
10. Tabel 4. 6 Detil...82
11. Tabel 4. 7 Maksud...84
12. Tabel 4. 8 Koherensi…...………...86
13. Tabel 4. 9 Kata Ganti...88
14. Tabel 4. 10 Bentuk Kalimat...91
15. Tabel 4. 11 Gaya Bahasa...93
16. Tabel 4. 12 Grafis...96
17. Tabel 4. 13 Metafora ...98
18. Tabel 4. 14 Ekspresi...99
viii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi massa merupakan penyampaian pesan secara serentak. Salah
satu penyampaiannya bisa melalui film.1 Film merupakan media massa yang
dinilai cukup efektif dalam menyampaikan pesan, ketimbang media komunikasi
massa lainnya.2
Film memiliki kesanggupan untuk menangani berbagai subyek yang tidak
terbatas ragamnya. Oleh karena itulah, film merupakan salah satu bentuk seni
alternatif yang banyak diminati masyarakat, karena dapat mengamati secara
seksama apa yang memungkinkan ditawarkan sebuah film melalui sebuah
peristiwa yang ada di balik ceritanya. Yang tak kalah pentingnya, film juga
merupakan ekspresi atau pernyataan dari sebuah kebudayaan, film juga
mencerminkan sisi-sisi yang kurang jelas diperhatikan di masyarakat.
Jika menonton sebuah film, kita tidak akan lepas dengan unsur sinematik
dan narasi. Aspek cerita dan tema sebuah film terdapat di dalam narasi. Cerita
diikemas ke dalam bentuk skenario, yang akan mengarahkan jalan cerita film. Di
dalam skenario kita dapat melihat unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik,
lokasi, waktu serta lainnya. Seluruh unsur-unsur tersebut membentuk sebuah
jalinan peristiwa terikat oleh sebuah aturan yakni hukum kausalitas.3
1
Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), h. 35.
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditia Bakti, 2003), h. 206.
3
Berawal dari kesuksesan perfilman Indonesia 10 tahun terakhir ini,
mendorong penulis untuk menelaah hasil karya sebuah film, berupa skenario film,
yang juga menentukan keberhasilannya sebuah film. Dalam hal ini, film yang
menjadi perhatian penulis yaitu film yang bertemakan perempuan.
Pada masa 80-an sineas belum mampu untuk mengangkat realitas
perempuan yang sebenarnya secara utuh, hanya sebagian saja yang digambarkan,
sedangkan pada masa sekarang, perempuan dalam film Indonesia, sudah mampu
menggambarkan realita perempuan, bahkan mampu mengangkat hal-hal tentang
perempuan yang bagi sebagian orang dianggap tidak begitu penting.4
Film yang bertemakan perempuan diantaranya: Film “Pasir Berbisik”
karya Nan T. Achnas, film ”Eliana-eliana” karya Riri Riza, film ”Ca Bau Kan”
dan ”Berbagi Suami” karya Nia Dinata. Juga film”Marsinah” karya Slamet
Rahardjo.
Dari beberapa film yang bertemakan perempuan, Film ”Perempuan Punya
Cerita” yang diproduseri oleh Nia Dinata, menarik perhatian penulis untuk
menganalisanya secara mendalam, karena kisahnya yang sangat mengedepankan
realita perempuan, secara narasi film ini juga memiliki alur cerita yang menarik
untuk ditonton karena terdiri dari empat kisah yang berbeda, tetapi masih dalam
satu premis yang sama, yaitu tentang perempuan.
Film ”Perempuan Punya Cerita” adalah film yang ditulis dengan pesan
yang jelas tentang kondisi perempuan yang tidak banyak diangkat oleh media
massa kebanyakan, karena mungkin ironisnya, hal-hal tentang perempuan yang
dianggap penting oleh media massa kebanyakan adalah sebatas urusan rambut,
4
memutihkan kulit, atau menurunkan berat badan. Padahal persoalan perempuan
masih sangat banyak dan kompleks yang justru sebenarnya harus diketahui, dan
dicari solusinya bersama.
Dalam film “Perempuan Punya Cerita”, tampak bahwa potret perempuan
digambarkan dengan sosoknya yang lemah dan tertindas. Persoalan perempuan
dalam film “Perempuan Punya Cerita” memaparkan secara selintas tentang
gambaran masalah perempuan yang terjadi di masyarakat, seperti masalah
kesehatan reproduksi perempuan, perdagangan perempuan, kekerasan terhadap
perempuan, serta masalah hak-hak perempuan.
Sosok perempuan Indonesia itu berada dalam stereotipe masyarakat, salah
satu stereotipe masyarakat bahwa, perempuan yang diterima adalah perempuan
yang menikah dan bernaung di bawah laki-laki, sedangkan perempuan yang
mencoba untuk mandiri dan bebas adalah terkutuk dan merupakan contoh dari
kekalahan hidup.
Dalam memandang persoalan perempuan, tentunya tidak bisa dilihat hanya
dari satu aspek, oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan memaparkan
tinjauan tentang perempuan yang dilihat dari berbagai macam aspek, guna
memberikan pengetahuan tentang perempuan. Diantaranya tinjauan perempuan
secara umum, perempuan dalam islam serta perempuan dalam film Indonesia.
Berangkat dari latar belakang di atas, perlu kiranya dilakukan penelitian
lebih mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami pesan apa yang
sebenarnya hendak disampaikan melalui skenario yang ditulis, dengan pendekatan
kacamata wacana Teun A. Van Dijk, serta untuk memberikan apresiasi terhadap
memandang realitas kehidupan, yang kemudian dijadikan sebagai isu untuk
ditonjolkan kepada masyarakat. Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis
memilih judul Analisis Wacana Teun A. Van Dijk terhadap Skenario Film
“Perempuan Punya Cerita".
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti
agar pembahasan ini nantinya lebih terarah, spesifik dan sistematis. Untuk
menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka dalam penelitian ini
dibuat suatu batasan. Ruang lingkupnya dibatasi pada analisis tekstual (skenario)
film ”Perempuan Punya Cerita” dan bagaimana suatu teks tersebut diproduksi,
sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu.
Semua itu hanya dengan menggunakan analisis wacana model Teun A. Van Dijk.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan permasalahan di atas, maka rumusan masalah yang
akan diteliti adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pesan teks skenario film ”Perempuan Punya Cerita” menurut
analisis wacana Teun A. Van Dijk?
b. Bagaimana kognisi sosial skenario film ”Perempuan Punya Cerita” menurut
analisis wacana Teun A. Van Dijk?
c. Bagaimana konteks sosial skenario film ”Perempuan Punya Cerita” menurut
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan batasan dan rumusan masalah, maka penelitian ini memiliki
tujuan, yaitu untuk mengetahui idealisme pembuat film dalam memproduksi film
(termasuk membuat skenario) dan menampilkan realita tentang perempuan di film
”Perempuan Punya Cerita”. Melalui analisis wacana model Teun A. Van Dijk,
kita akan tahu bukan hanya bagaimana isi teks di dalam skenario, tetapi
bagaimana dan mengapa pesan teks dalam skenario itu dihadirkan dan diproduksi
ke dalam sebuah film.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penelitian ini yaitu:
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
perkembangan kajian media, terutama kajian yang berhubungan dengan media
dan komunikasi massa. Selain itu kajian ini diharapkan memberikan pandangan
baru dalam kajian komunikasi khususnya media film, terutama jika dilihat dari
analisis wacana.
b. Manfaat Praktis
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan juga dapat
memberikan masukan akademis bagi para penggiat film dalam melakukan telaah
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode penelitian analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk.
Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum
yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam
masyarakat. Obyek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-
gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat
bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.5
Analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya pengungkapan maksud
tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan.
Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi kualitatif yang lebih
menekankan pada pertanyaan ”apa” (what), analisis wacana lebih melihat kepada
”bagaimana” (how) dari suatu pesan atau teks komunikasi.6 Maka dengan metode
ini tidak hanya diketahui pesan apa saja yang terdapat pada film ”Perempuan
Punya Cerita”, tetapi juga bagaimana pesan itu dikemas dan diatur sedemikian
rupa sampai menjadi sebuah film yang dapat dinikmati oleh masyarakat.
Wacana merupakan praktik sosial (mengkonstruksi realitas) yang
menyebabkan sebuah hubungan dialektis antara peristiwa yang diwacanakan
dengan konteks sosial, budaya, ideologi tertentu. Disini bahasa dipandang sebagai
faktor penting untuk merepresentasikan maksud si pembuat wacana7, dalam hal
ini tentu saja pembuat film ”Perempuan Punya Cerita”.
5
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007). h, 23.
6
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 68.
7
Analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan. Dasar Analisis
wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode
interpretatif yang mengandalkan interpreatasi dan penafsiran peneliti.8
Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti mengenai wacana perempuan
yang menjalani hidupnya dalam berbagai konflik dengan menggunakan analisis
wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk.
Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/ bangunan:
teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah
menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis.
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan
strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level
kognisi sosial, dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi
individu dan pembuat berita. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan
wacana yang berkembang di masyarakat akan suatu masalah, dalam penelitian ini
tentu saja berkenaan dengan masalah perempuan yang hidupnya tersudutkan.
Analisis Van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual yang
memusatkan perhatian melulu kepada teks ke arah analisis yang komperhensif
bagaimana teks berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu,
pembuat film maupun dari masyarakat.
Model Analisis Van Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut: 9
8
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 337.
9
Tabel 1.1
Model Analisis Van Dijk
Teks
Kognisi Sosial
Konteks
Van Dijk juga melihat wacana terdiri atas tiga struktur, antara lain:
struktur makro, superstruktur dan struktur mikro.10 Dan elemen-elemen yang
terdapat dalam struktur tersebut antara lain: Tematik, Skematik, Semantik,
Sintaksis, Stilistik dan Retoris.
Sebetulnya banyak model analisis wacana yang dikembangkan oleh para
ahli. Eriyanto dalam buku analisis wacananya, menyajikan model-model analisis
wacana, diantaranya: wacana model Fairclough, Theo Van Leewen dan Sara
Mills.
Menurut Michel Fairclough, wacana tidaklah dipahami sebagai
serangkaian kata atau preposisi dalam teks, tetapi mengikuti Fairclough adalah
sesuatu sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek).
Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan
pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi
cara berpikir dan bertindak sesuatu.11 Analisis wacana Fairclough didasarkan pada
pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks
10
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), h. 162.
11
masyarakat yang makro. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat
bahasa sebagai praktik kekuasaan.12
Menurut Theo Van Leewen, analisis wacana diperuntukkan mendeteksi
dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalkan posisinya
dalam suatu wacana.13
Sedangkan Sara Mills, memberikan titik perhatian pada wacana mengenai
feminisme, yaitu bagaimana wanita ditampilkan dalam teks. Menurutnya, wanita
cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah.14
Dari sekian banyak model analisis wacana, penulis menggunakan analisis
wacana model Teun A Van Dijk, karena model ini adalah model yang paling
banyak digunakan. Hal ini dikarenakan Van Dijk mengelaborasi elemen- elemen
wacana sehingga bisa didayagunakan dan dapat dipakai secara praktis.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian berdasarkan tujuannya ini menggunakan jenis penelitian
dekriptif. Jenis penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis,
faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan objek tertentu. Peneliti sudah
mempunyai konsep (biasanya satu konsep) dan kerangka konseptual. Melalui
kerangka konseptual (landasan teori), peneliti melakukan operasioanalisasi konsep
yang akan menghasilkan variabel beserta indikatornya. Penelitian ini
12
Ibid., h, 285.
13
Ibid., h.171.
14
menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan
antarvariabel.15
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek yang akan diteliti adalah film “Perempuan Punya Cerita”,
sedangkan objek penelitiannya adalah pesan tekstual dalam script atau skenario
film “Perempuan Punya Cerita”.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi merupakan sebuah kegiatan yang berhubungan dengan
pengawasan, peninjauan, penyelidikan dan penelitian. Metode pengumpulan data
dalam sebuah observasi, dilakukan secara sistematis dan sengaja melalui
pengamatan dan pencatatan terhadap gejala atau fenomena obyek yang diteliti.
Dalam penelitian ini, yang dilakukan adalah obeservasi mengenai teks
dalam skenario film ”Perempuan Punya Cerita”, kemudian diadakan pengamatan
dan analisis terhadap isi makna pesan yang terkandung di dalam film ”Perempuan
Punya Cerita”.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi
langsung dan tak langsung.
1. Observasi langsung, yaitu melalui pengamatan langsung untuk memperoleh
data yang diperlukan.16 Jenis sumber data yang dipakai untuk meneliti masalah ini
15
Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, Pengantar Burhan Bungin (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 69.
16
adalah dengan menggunakan data primer. Data primer yang digunakan adalah
script atau skenario film ”Perempuan Punya Cerita”.
2. Observasi tidak langsung, yaitu dengan mengamati film ”Perempuan Punya
Cerita” melalui VCD. Sebagai metode ilmiah observasi dapat diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan dengan sistematis tentang fenomena-fenomena yang
diselidiki.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan tanya jawab. Penulis menggunakan teknik wawancara terpimpin, yaitu
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang telah dipersiapkan, kemudian
dijawab oleh nara sumber. Penulis mengumpulkan data dengan cara bertanya
kepada penulis skenario dan sutradara dari film ”Perempuan Punya Cerita”.
c. Dokumentasi
Dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pihak pengelola film
”Perempuan Punya Cerita” yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini
sumber data berupa skenario yang diperoleh dari Rumah Produksi film
”Perempuan Punya Cerita” yaitu Kalyana Shira Films. Selain itu, sumber data
juga diperoleh dari media cetak, elektronik, internet dan buku-buku pustaka yang
dijadikan sebagai sumber bacaan untuk penulisan skripsi ini.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini merujuk pada penelitian terdahulu yang membahas tentang
isi pesan dalam sebuah film. Seperti skripsi Analisis Wacana Dakwah dalam Film
Wacana Pesan Moral dalam Film Naga Bonar Karya Asrul Sani” oleh saudari
Sukasih Nur tahun 2008. Kedua penelitian tersebut mengangkat tema film yang
berbeda, tetapi masih dalam metode yang sama yaitu dengan menggunakan
analisis wacana Teun. A Van Dijk. Skripsi Analisis Wacana Dakwah dalam Film
Ayat-Ayat Cinta oleh Zaid Maftuh mengusung tema religi sedangkan skripsi
”Analisis Wacana Pesan Moral dalam Film Naga Bonar Karya Asrul Sani” oleh
Sukasih Nur mengusung tema moral, dan penulis sendiri mengusung tema
perempuan dalam penelitian ini, juga dengan menggunakan metode penelitian
analisis wacana Teun A. Van Dijk.
Pada penelitian ini, penulis mencoba mengemukakan tentang pesan dari
film yang bertemakan tentang permasalahan perempuan yaitu film ”Perempuan
Punya Cerita” yang diproduksi pada tahun 2007. Untuk melihat pesan tersebut,
penulis mencoba menganalisa unsur dari film tersebut, yaitu narasi
(skenario/naskah) film yang penulis dapatkan dari Kalyana Shira Films
Production (rumah produksi film ”Perempuan Punya Cerita”). Yaitu dengan
menganalisa teks dari skenario film ”Perempuan Punya Cerita”. Melalui teks
tersebut akan diketahui pesan yang terkandung dalam film tersebut.
Dalam penelitian ini penulis juga berpedoman pada buku Eriyanto (2001)
yang berjudul ”Analisis Wacana (pengantar analisis teks media)”. Dalam buku ini
disajikan secara lengkap penjelasan wacana menurut Teori Teun A. Van Dijk,
mulai dari segi teks (tema, skema, bentuk kalimat sampai pada konteks sosial),
sehingga memepermdah penulis dalam melakukan penelitian. Penelitian yang
penulis lakukan diharapkan memberi tambahan/pelengkap dari penelitian yang
Selanjutnya, penelitian ini akan menggunakan berbagai referensi dan
sumber-sumber yang terkait dengan penelitian, yang akan mendukung penelitian
ini.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku ”Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh
CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian yang akan dibahas terdiri dari lima Bab dan masing-masing bab
terdiri dari Sub Bab, yakni:
BAB I PENDAHULUAN
Membahas tentang latar belakang masalah, perumusan dan
batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Membahas tinjauan tentang film, diantaranya pengertian
film, sejarah film, perkembangan film Indonesia, unsur-
unsur film, pengertian tentang skenario film, struktur
pembentukan film dan jenis-jenis film. Kemudian dalam
bab ini membahas tinjauan tentang perempuan yang dilihat
dari beberapa aspek (membahas tentang perempuan secara
Indonesia) serta membahas tentang film sebagai suatu
realitas dan membahas tentang konsep wacana.
BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”PEREMPUAN PUNYA
CERITA”
Pada Bab ini berisikan pembahasan untuk mengenal
sasaran objek yang diteliti. Yang terdiri dari profil rumah
produksi Kalyana Shira Films, latar belakang pembuatan
film ”Perempuan Punya Cerita”, sinopsis film ”Perempuan
Punya Cerita”, tim produksi dan pemeran tokoh film
”Perempuan Punya Cerita”, serta mengenal tentang
sutradara dan penulis skenario film ”Perempuan Punya
Cerita”.
BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN DATA SKENARIO FILM
”PEREMPUAN PUNYA CERITA”
Membahas tentang konsepsi struktur teks analisis wacana
Teun A. Van Dijk (Struktur Makro, Superstruktur, Struktur
Mikro) terhadap skemario film ”Perempuan Punya Cerita”,
serta membahas tentang kognisi sosial dan konteks sosial
dalam film ”Perempuan Punya Cerita” .
BAB V PENUTUP
Penulis menutup skripsi ini dengan penyampaian beberapa
kesimpulan sekaligus berfungsi sebagai jawaban atas
masalah yang dirumuskan dalam bab pendahuluan, berikut
dengan disertai saran dan rekomendasi penulis.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Film
1. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Film Indonesia a.
Pengertian Film
Film menurut kamus bahasa Indonesia adalah gambar hidup. Secara
etimologi film adalah susunan gambar yang berada dalam selluloid kemudian
diputar dan bisa ditafsirkan dengan berbagai makna.1 Secara fisik film berarti
selaput tipis yang dibuat selluloid untuk tempat gambar yang negatif (yang akan
dipotret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Selaput
tipis tersebut terdiri dari beberapa lapisan, pertama disebut Jelatin sebagai bahan
pelindung, lapisan kedua disebut emulsi sebagai bahan kimia yang peka terhadap
cahaya dan lapisan ketiga disebut landasan, sebagai dasar yang sifatnya tipis,
lentur dan transparan.2
Film juga merupakan fenomena sosial, psikologi dan estetika yang
[image:24.612.113.507.105.610.2]komplek. Dalam pengertian lain, film adalah dokumen yang terdiri dari cerita dan
gambar yang diiringi kata-kata dan musik.3 Film hadir ke tengah kehidupan
masyarakat sebagai suatu hasil produksi yang melibatkan banyak tenaga, modal
dan peralatan.4
1
Eko Endarmoko, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 180.
2
Gatot Prakoso, Film Pinggiran Antologi Film Pendek, Eksperimental dan Dokumenter (Jakarta: Fatwa Press, 1997), h. 22.
3
Sean Mc Bride, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa depan: Aneka Suara dan satu dimensi. (Jakarta: PN Balai Pustaka, UNESCO, 1983), h. 120.
4Zainuddin Ishak, dkk., Penelitian Apresiasi Masyarakat Terhadap Film Nasional
Dalam perkembangan teori film belakangan ini, mulai adanya upaya dari
dari beberapa teoritisi untuk mencari perspektif yang lebih mampu menangkap
subtansi film. Film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni (film as art)
semata, tetapi lebih sebagai ”komunikasi massa”. Terjadinya pergeseran
perspektif ini, paling tidak telah mengurangi bias normatif dari teoritisi film yang
cenderung membuat lokalisasi dan karena itu mulai meletakkan film secara
obyektif.5
Salah satu kelebihan yang dimiliki film, baik yang ditayangkan lewat
tabung televisi maupun layar perak, film mampu menampilkan realitas kedua dari
kehidupan manusia. Kisah-kisah yang ditayangkan lebih bagus dari kondisi nyata
sehari-hari, atau sebaliknya bisa lebih buruk.6
b. Sejarah Film
Seorang yang bernama Titus Lucrectius Corus pada tahun 65 SM. Sudah
menulis tentang ‘ide’ gambar bergerak dalam suatu tulisan dengan judul ‘De
Return Nature’ yang artinya sebagai berikut: ”Janganlah pikirkan dan herankan
bahwa gambar-gambar seolah-olah bergerak dan muncul menurut suatu susunan
dan waktu, kakinya dan tangan-tangannya digunakan untuk menghilang dan
berbagai penggantinya muncullah yang lain tersusun dengan cara yang lain pula.
Dan sekarang setiap gerakan seolah-olah berubah, karena anda harus mengerti
bahwa hal itu berlaku dengan kecepatan yang luar biasa.7
Dua nama penting dalam rintisan penemuan film adalah Thomas Alva
Edison dan Lumiere besaudara. Pada tahun 1887 Thomas Alva Edison berhasil
5
Budi Irwanto, Film, Ideologi, Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (Yogyakarta: Aksara, 2005), h. 11.
6
William, dkk., Media Massa dan Masyarakat Modern, h.199.
7
menciptakan mekanisme film dengan merancang alat untuk merekam dan
memproduksi gambar. Ciptaan Edison tersebut disebut kinetoskop yang
menyerupai kotak berlubang untuk mengintip pertunjukan hingga tahun 1894 di
New York diadakan pertunjukan kinetoskop untuk umum.8
Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-
mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota.
Film dicap 'hiburan rendahan' orang kota. namun sejarah membuktikan bahwa
film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian mampu menembus
seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan
intelektual dan budayawan. Tahun 1900-an film yang masih berwarna hitam putih
mulai dipoles dengan warna disana sini. Kemudian pada tahun 1905 orang mulai
mengenal suatu teknik warna yang sudah agak maju.
Film sebagai alat komunikasi massa baru dimulai pada tahun 1901, ketika
Ferdinan Zecca membuat film The Story of a Crime di Prancis dan Edward S
Porter membuat film The Life of an America Fireman tahun 1902.
Tahun 1905 bioskop dengan sebutan “Nickelodeon” mulai menyebar di
Amerika dengan film awal yang berdurasi pendek sekitar sepuluh menit.9 Dan
Film bicara baru diperkenalkan kepada umum pada tahun 1927 di Amerika
Serikat.
Meskipun film sebagai penemuan teknologi baru telah muncul pada akhir
abad kesembilan belas, film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan
8
“Analisis Wacana Petra.” Artikel diakses pada 20 Desember 2008 dari http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2007/jiunkpe-ns-s1-2007/
9
cerita peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat
umum.10
c. Perkembangan Film Indonesia
Perfilman Indonesia di mulai pada bulan September tahun 1926. Harian
De Lecomotif menulis, "Inilah film yang merupakan tonggak pertama dalam
industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian." Film
yang dimaksud oleh De Locomotif itu adalah "Loetoeng Kasaroeng". Sebuah film
lokal Indonesia yang diproduksi oleh NV Java Film Company pada tahun 1926.
Pemain-pemain yang dipilih untuk film tersebut adalah orang-orang pribumi
terpilih dari golongan priayi yang berpendidikan, pengambilan film ini dilakukan
di Padalarang, dan pada tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927 untuk
pertama kalinya "Loetoeng Kasaroeng", film lokal pertama yang menjadi tonggak
industri sinema di Indonesia itu, diputar di Bioskop Majestic, Jalan Braga
Bandung.
Kalau pada tahap pertama pembuat film masih bersifat meraba-raba dan
hasilnya pun kurang memuaskan. Maka tahap kedua mulailah keadaan produksi
meningkat. Sebagai film pertama, yang cukup laris adalah “Terang Bulan” buah
karya Albert Balink dan Wong Bersaudara, yang dibintangi oleh Roekiah dan R.
Mochtar, diproduksi oleh perusahaan ANIF pada tahun 1936-1937.
Di penghujung tahun 1941 Perang Asia Timur Raya pecah. Dunia film pun
berubah wajah. Perusahaan-perusahaan film, seperti wong Brothers, South
13.
10
Pacific, dan Multi Film diambil alih oleh Jepang, ketika pemerintah Belanda
sebagai penguasa di Indonesia menyerah kalah kepada balatentara Jepang.11
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Maka dunia perfilman pun ikut berubah. Nippon Elga Sha
diserahkan secara resmi pada tanggal 6 Oktober 1945 kepada pemerintah
Republik Indonesia yang dalam serah terimanya dilakukan oleh Ishimoto dari
pihak pemerintah militer Jepang kepada R.M Soetanto yang mewakili Pemerintah
Republik Indonesia.
Dengan menginjak dekade tahun 50-an, dunia film Indonesia memasuki
alam yang cerah. Tampaklah kegiatan yang dilakukan para sineas film nasional
dalam bentuk perusahaan-perusahaan film.12 Garis grafik yang menaik untuk
mencapai puncaknya yaitu pada tahun 1955 dengan adanya 59 judul film. Pada
tahun itulah diadakan Festival Film Indonesia (FFI) pertama.
Garis grafik menurun terus menerus untuk mencapai titik terendah tahun
1959 dengan hanya adanya 17 judul film.13 Banyak faktor-faktor yang
menyebabkan turunnya produksi film. Pertama adalah pergolakan politik, seperti
pemberontakkan PRRI/PARMESTA, yang dengan sendirinya mempengaruhi
bidang ekonomi. Kedua, yaitu saingan dari film-film luar negeri seperti India,
Filipina, Melayu dan Amerika yang muncul dengan film-film berwarnanya.
Dunia perfilman makin suram, ketika terjadi gerakan komunis PKI, yang
memanfaatkan politik sebagai panglima. Organisasi kebudayaan LEKRA, yang
berasal dari PKI ini, memperlihatkan kegiatan di berbagai bidang, termasuk pada
11
Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditia Bakti, 2003), h. 217.
12
Ibid., h. 218.
13
bidang film. Organisasi ini dengan para simpatisannya memproduseri film dan
mengatur pemboikotan film-film non komunis produksi dalam negeri maupun luar
negeri. Hingga akhirya kegiatan mereka terhenti karena terjadinya peristiwa G
30 S/PKI tahun 1965.
Pada tahun 1967, produksi film nasional mulai kembali membaik dan
muncullah berbagai jenis dan tema film, seperti suksesnya film “Bernafas dalam
Lumpur”, sehingga memacu banyak produksi film untuk memperoduksi film,
yang menyebabkan perfilman Indonesia meningkat.14
Tahun 1970, film masih menunjukan udara segarnya dengan dibantu oleh
kebijaksanaan pemerintah Orde Baru. Pada tahun itu pulalah berdiri Akademi
Sinematografi dari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, LPKJ yang kini
dikenal dengan nama IKJ, sebagai satu-satunya akademi di bidang film, di
Indonesia.15
Tahun 1974, gunting sensor dipertajam lagi dalam perfilman Indonesia,
maka terjadilah penurunan produksi. Setelah itu mulai ada perhatian pada cerita
dan penyajian yang baik dalam film Indonesia. Saat itu, film diramaikan dengan
pengangkatan cerita film dari novel popular, karena terbukti suksesnya film
“Karmila” yang diangkat dari novel, yang beredar pada tahun 1976.16 Hingga
tahun 80-an, film Indonesia semakin berkembang pesat.
Sedangkan Ajang Festival Film Indonesia untuk pertama kalinya
diselenggarakan pada tanggal 20 Maret sampai 5 April 1955, “Lewat Djam
Malam” menjadi film terbaik FFI saat itu.
14
Tony Ryanto, Film Indonesia Sudah Tumbuh (Jakarta: Pintar Press, Persatuan Perusahaan Film Indonesia), h. 38.
15
Gatot Siagian, Menilai Film, h. 89.
16
Karena ketidakjelasan skema investasi film di Indonesia Usmar Ismail
mendirikan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Film “Darah dan Doa”
diproduksi, pengambilan gambar pertama dilakukan pada tanggal 30 Maret, yang
kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional dan baru diakui pemerintah,
pada masa pasca reformasi di tahun 1999.
Perkembangan Film Indonesia Pasca Reformasi semuanya ini dimulai
pada tahun 1998, saat film “Kuldesak”, proyek omnibus Riri Riza, Rizal
Mantovani, Mira Lesmana dan Nan T. Achnas selesai pembuatannya dan
memperoleh sambutan yang hangat dari generasi muda yang haus akan tontonan
lokal di berbagai jaringan bioskop tanah air, jelang akhir tahun 1999.17
Di awal tahun 2000, pencerahan pun mulai terjadi pada dunia perfilman di
Indonesia, dengan jumlah penonton yang merangkak naik tajam untuk film-film,
seperti: “Petualangan Sherina”, “Jelangkung”, dan “Ada Apa Dengan Cinta”.
Lalu, mulailah produksi film-film Indonesia, bergulir dari karya insan-insan sineas
Indonesia.
Melihat perkembangan yang semakin pesat tersebut, maka di tahun 2004,
FFI kembali digelar dengan sebuah misi besar. Namun, pelaksanaannya masih
banyak kekurangan di sana-sini.
Pada bulan Desember 2006, penyelenggaraan FFI dan kriteria pemilihan
filmnya, justru semakin tidak jelas dan memburuk. Puncaknya, pada tanggal 3
Januari 2007, para sineas yang aktif membuat film di era pasca Orde Reformasi
17
mengembalikan piala-piala Citra yang pernah diperoleh sejak tahun 2004 dan
menuntut pemerintah untuk segera membenahi kebijakan perfilman nasional.
Para sineas film ini, lantas bergabung dalam sebuah organisasi yang
mereka bentuk, Masyarakat Film Indonesia (MFI), sebagai wadah dan forum
untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah, agar lebih
memperhatikan nasib perfilman nasional yang cukup memprihatinkan. Untuk
mengenal lebih lanjut keberadaan organisasi MFI dan visi-misinya.
Walaupun demikian, perfilman Indonesia saat ini, telah mengalami banyak
perubahan dan kemajuan, dan telah mampu bersaing dengan film-film luar negeri,
terbukti dengan banyak diperolehnya penghargaan oleh sineas Indonesia di ajang
festival internasional.
2. Unsur-Unsur Pembentukan Film
Film akan bersinggungan dengan unsur-unsur pembentukan film, sehingga
untuk memahami sebuah film tidak lepas dari unsur-unsur pembentukkan film.
Unsur-unsur tersebut antara lain:
a. Unsur Naratif
Film, secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk yakni, unsur
naratif dan unsur sinematik. Dua unsur tersebut saling berinteraksi dan
berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masing-masing
unsur tersebut tidak akan dapat membentuk film jika hanya berdiri sendiri. Bisa
kita katakan bahwa unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah. Dalam
film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita filmnya. Unsur naratif
lepas dari unsur naratif. Setiap cerita pasti memiliki unsur-unsur seperti tokoh,
masalah, konflik, lokasi, waktu serta lainnya. Seluruh elemen tersebut membentuk
sebuah jalinan peristiwa tersebut terikat oleh sebuah aturan yakni hokum
kausalitas (logika sebab-akibat). Aspek kausalitas bersama unsur ruang dan waktu
adalah elemen-elemen pokok pembentuk naratif.18
b. Unsur Sinematik
Unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolah film. Dalam film
cerita unsur sinematik atau juga sering diistilahklan gaya sinematik merupakan
aspek-aspek teknis pembentukan film. Unsur sinematik terbagi menjadi empat
elemen pokok, yakni, mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Masing-
masing elemen sinematik tersebut juga saling berinteraksi dan berkesinambungan
satu sama lain untuk membentuk gaya sinematik secara utuh.
Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah
film. Mise-en-scene adalah segaa hal yang berada di depan kamera. mise-en-scene
adalah segala hal yang berada didepan kamera. Mise-en-scene memiliki empat
elemen pokok yakni, setting atau lattar, tata cahaya, kostum dan make-up, serta
akting dan pergerakan pemain. Sinematografi adalah perlakuan terhadap kamera
dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek yang diambil. Editing adalah
transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya. Sedangkan suara adalah
segala hal dalam film yang mampu ditangkap melalui indera pendengaran.
Seluruh unsur sinematik tersebut saling terkait, mengisi, serta saling
berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk unsur sinematik secara
keseluruhan.
18
Gambar 2. 1
Skema Unsur Pembentukan Film
FILM
Unsur Naratif Unsur Sinematik
- Mise en scene - Sinematografi - Editing - Suara
Sebuah film yang memiliki cerita atau tema kuat bisa menjadi tidak
berarti tanpa pencapaian naratif yang memadai. Sineas dapat memilih alternatif
bentuk teknik apapun sejauh sesuai dengan konteks naratifnya. Untuk mengukur
memadai atau tidaknya sebuah pilihan tergantung para penontonnya.
Keberhasilan seseorang dalam memahami film secara utuh sangat
dipengaruhi oleh pemahaman orang tersebut terhadap aspek naratif serta aspek
sinematik sebuah film. Kedua unsur tersebut apapun bentuknya pasti memiliki
norma serta batasan yang bisa diukur. Jika sebuah film kita anggap buruk (kurang
memadai) bisa jadi bukan karena film tersebut buruk namun Karena kita sendiri
yang belum memahaminya secara utuh.19
3. Pengertian Skenario Film
Skenario Film adalah blue print atau rangkaian penuturan sinematik dari
sebuah cerita. Dari sebuah skenario dimulailah aktifitas sebuah produksi film.20
Seorang guru penulisan skenario, Lewis Herman, menyatakan, "Skenario film
19
Ibid., h. 3.
20
adalah komposisi tertulis yang dirancang sebagai semacam diagram kerja bagi
[image:34.612.116.508.185.507.2]sutradara film. Skenariolah yang menjadi dasar pemotretan sekuen-sekuen
gambar. Ketika disambung-sambung, sekuen-sekuen ini akan menjadi sebuah film
yang selesai, setelah efek suara dan latar musik yang cocok dibubuhkan."21
Dalam suatu skenario, terdapat tiga formula yaitu:
1. Introduksi.
Introduksi didapat melalui:
a. Memunculkan premis
b. Mengejar kemauan atau menyadari kebutuhan.
c. Perkenalan karakter bisa dilakukan melalui character bibling
yaitu penjelasan detail mengenai tokoh, bagaimana sudut
pandang pengarang terhadap plot, cerita, dan dialog.
d. Stereotype adalah pandangan suatu kelompok terhadap
kelompok lain yang biasanya berupa prasangka.
e. Archetype adalah emosi universal yang bersifat turun temurun.
2. Konflik
Faktor terpenting dan harus ada dalam sebuah cerita atau skenario film
adalah konflik. Apalah artinya sebuah cerita atau skenario film jika tidak ada
konflik
3. Solusi
Solusi/Plot point adalah kejadian/emosi yang bergerak maju. Dalam
sebuah cerita atau skenario film pasti memiliki pergerakan cerita. Pergerakan
cerita bisa ditimbulkan dari dua hal:
21
a. Cerita dikendalikan oleh karakter yaitu tokoh mengendalikan cerita.
b. Cerita dikendalikan oleh situasi. Cerita dikendalikan oleh tokoh
lainnya sebagai situasi disekelilingnya.22
4. Struktur Film
Seperti halnya sebuah karya literature yang dapat dipecah menjadi bab
(chapter), alinea, dan kalimat, jenis film apapun, panjang atau pendek, juga
memiliki struktur fisik. Secara fisik sebuah film dapat dipecah menjadi unsur-
unsur, yakni shot, adegan, dan sekuen. Pemahaman tentang shot, adegan, dan
sekuen nantinya banyak berguna untuk membagi urutan-urutan (segmentasi) plot
sebuah film ke dalam sistematik. Segmentasi plot akan banyak membantu kita
melihat perkembangan plot sebuah film secara menyeluruh dari awal hingga
akhir.
1. Shot
Shot selama produksi film memiliki arti proses perekaman gambar sejak
kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga sering
diistilahkan satu kali take (pengambilan gambar). Sementara shot setelah film
telah jadi (pasca produksi) memiliki arti satu rangkaian gambar utuh yang tidak
terintrupsi oleh potongan gambar (editing). Shot merupakan unsur terkecil dari
film, sekumpulan beberapa shot biasanya dapat dikelompokan menjadi sebuah
adegan.
22
2. Adegan (Scene)
Adegan atau scene adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita
yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu,
isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa
shot yang saling berhubungan. Biasanya film cerita terdiri dari tiga sampai lima
puluh buah adegan. Adegan adalah yang paling mudah dikenali sewaktu
menonton film.
3. Sekuen (Sequence)
Sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian
peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang
saling berhubungan. Sekuen bisa diibaratkan seperti sebuah bab atau sekumpulan
bab. Dalam pertunjukan teater, sekuen bisa disamakan dengan satu babak. Satu
sekuen biasanya dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau
satu rangkaian aksi panjang. Biasanya film cerita terdiri dari delapan sampai lima
belas sekuen. Dalam beberapa kasus film, sekuen dapat dibagi berdasarkan usia
karakter utama yakni masa balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, serta lanjut usia.
Dalam film-film petualangan yang umumnya mengambil banyak tempat, sekuen
biasanya dibagi berdasarkan lokasi cerita.23
5. Jenis-Jenis Film
Genre atau jenis film ada bermacam ragam. Sebenarnya tidak ada maksud
tersendiri dengan pemisahan tersebut, namun secara tidak langsung dengan
23
hadirnya film-film dengan karakter tertentu, memunculkan pengelompokan
tersebut. Terdapat beberapa jenis film yaitu:
a. Film Roman/Drama adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang
hebat, mengandung konflik, pergolakan, benturan antara dua orang atau
lebih.
b. Film misteri/horor, yaitu film yang mengupas terjadinya fenomena mistis
yang menimbulkan rasa heran, takjub dan takut.
c. Film Dokumenter, yaitu film yang berisi tentang dokumentasi dari kisah
kehidupan nyata, atau juga berisi tentang dokumentasi dari kehidupan di
luar itu.
d. Film Realisme, yaitu film yang mengandung relavansi dengan kehidupan
sehari-hari.
e. Film sejarah, yaitu film yang melukiskan kehidupan tokoh tersohor dan
peristiwanya.
f. Film perang, yaitu film yang menggambarkan peperangan atau situasi di
dalamnya atau setelahnya
g. Film “Futuristik”, yaitu film yang menggambarkan masa depan secara
khayali.
h. Film anak, yaitu film yang mengupas tentang dunia anak.
i. Film kartun, yaitu film cerita bergambar yang diawali dari media cetak,
yang diolah sebagai cerita bergambar, bukan saja sebagai story board
melainkan gambar yang sanggup bergerak dengan teknik animation.
j. Film “Adventure”, yaitu film pertarungan dan tergolong film klasik.24
24
Meskipun sekarang ini terdapat berbagai macam jenis film akan tetapi
semuanya dapat dipastikan mempunyai satu sasaran yaitu untuk menarik
perhatian publik terhadap kandungan masalah yang diangkat, serta untuk
melayani keperluan publik.
B. Tinjauan Tentang Perempuan
1. Perempuan Secara Umum
Secara fisik, perempuan berdasarkan konsep jenis kelamin, adalah
manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk
melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan menyusui. Sedangkan
menurut konsep gender adalah manusia yang lemah lembut, cantik, emosional dan
keibuan.25
Perempuan merupakan mitra kaum pria yang diciptakan dengan
kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak
penuh untuk untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum pria, dalam detail
yang sekecil-kecilnya. Kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan
kebebasan yang sama seperti yang dimiliki oleh pria. Kaum perempuan berhak
untuk memperoleh ruang tertinggi dalam ruang aktivitas yang ia lakukan,
sebagaimana kaum pria dengan ruang aktivitasnya.26
2. Perempuan dalam Islam
Dalam wacana Islam sendiri, pembicaraan tentang perempuan merupakan
hal yang cukup banyak menyita perhatian, terutama dalam perkembangan akhir-
25
“Analisis Wacana Petra.” Artikel diakses pada 20 Desember 2008 dari http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2007/jiunkpe-ns-s1-2007/
26
akhir ini. Hal ini paling tidak, bisa dilihat dari banyaknya buku yang ditulis secara
khusus menyoroti perempuan dalam islam. Buku-buku itu tidak hanya tersebar di
negara-negara Islam, tetapi hampir tersebar di seluruh dunia. Penulisnya pun tidak
hanya dari kalangan Islam, tetapi juga dari kalangan intelektual non Islam yang
berniat mengkaji perempuan Islam. Terlepas dari apakah bermanfaat bagi upaya
pemberdayaan perempuan atau justru kontraproduktif, yang jelas gejala ini
merupakan perkembangan yang baik bagi pengembangan studi tentang
perempuan dalam Islam.27
Setiap pembicaraan tentang kedudukan perempuan dalam Islam, tidak bisa
tidak memaksa kita untuk merujuk kepada Al-Quran. Hal ini disebabkan karena
al-Quran memuat persoalan mengenai hal yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban perempuan serta memuat pelbagai persoalan yang berkaitan dengan
relasi antara laki-laki dan perempuan, baik sebagai manusia maupun sebagai
suami isteri dalam suatu kehidupan rumah tangga atau dalam kehidupan sosial,
budaya, dan politik.
Di dalam al-Quran disimpulkan bahwa Islam menghormati perempuan
dengan penghormatan yang sangat luhur, mengangkat martabatnya sendiri dari
sumber keburukan dan kehinaan serta dari penguburan hidup-hidup dan perlakuan
buruk kedudukan yang terhormat dan mulia. Sebab perempuan itu selaku ibu, di
bawah kakinya terletak surga, perempuan itu selaku isteri yang harus diperlakukan
dengan kelembutan dan kehalusan.
Perempuan itu selaku anak perempuan, dimana orang yang mengayomi
seorang anak perempuan, dua anak perempuan atau tiga anak perempuan akan
27
bersama Rasulullah saw di surga seperti jari telunjuk dan jari tengah
(berdampingan). Demikian yang diisyaratkan Nabi Muhammad saw yang
menunjukan kedekatan.
Seorang wanita mukminah yang teguh dalam ketaatannya, Allah telah
menyediakan baginya seperti apa yang telah disediakan-Nya bagi kaum
mukminin, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Dalam hal ini firman Allah
menyatakan:
”Barang siapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
Al-Ustadz Al-Aqqad mengatakan dalam bukunya Al-Qayyim Al-Mar’ah fi
Al-Qur’an:
”Konsep hak, dasarnya sama, bahwa laki-laki dan perempuan sama dalam segala sesuatu. Perempuan mempunyai kewajiban seperti kewajiban laki-laki. Kemudian, bahwa laki-laki dilebihkan dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dengan fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan serupa dalam kewajiban,
demikianlah persamaan yang bijaksana.” 28
28
Di dalam islam, konsep nasab (keturunan) dasarnya ada di dalam al-Quran
yang mulia, yaitu menghormati para ibu, melindungi anak-anak perempuan dari
perlakuan jahat terhadap kehidupan mereka dan menjauhkan diri dari kebencian
akan kelahiran dan pendidikan mereka. Demikian juga bagi sang isteri dalam
perkawinan, yaitu memberikan status dan tempat di dalam rumah, sehingga tidak
boleh menempatkan isteri di luar tempat mereka (suaminya), dan tidak boleh laki-
laki atau suami menyuruh atau memaksa isterinya melakukan sesuatu dengan laki-
laki lain.29
Jika dahulu pada zaman sebelum islam, kaum wanita selalu berada di
bawah kezaliman kaum laki-laki. Perempuan tidak memperoleh hak-hak menurut
undang-undang dan tidak dapat kedudukan dalam masyarakat sebagaimana yang
sewajarnya diberikan kepada mereka. Perempuan sama sekali tidak mempunyai
hak untuk mendapatkan pendidikan, perempuan harus tinggal di rumah saja dan
tidak mempunyai andil dalam kehidupan masyarakat.30
Maka setelah islam datang, hal ikhwal kaum perempuan menjadi lebih
baik dan menggembirakan. Islam mengangkat martabat kaum perempuan,
memberikan perlindungan kepada perempuan dan memberikan hak-hak kepada
perempuan.31 Walaupun sampai pada saat ini, perempuan belum mendapat haknya
secara utuh, karena saat ini banyak manusia yang sudah meninggalkan ajaran
islam, padahal islam sangat mengormati perempuan.32
3. Perempuan dalam Film Indonesia
29
Ibid., h, 19.
30
Nursyahbani Katjasungkana, Membincangkan Feminisme: Tinjauan Hukum Atas Masalah Kekeorasan Terhadap Perempuan (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997), h. 81.
31
Ibid.
32
Film sebagai salah satu media menarik banyak perhatian dari berbagai
pihak dan sudut pandang. Misalnya kritik analisis terhadap citra perempuan dalam
film di masa lalu dan kini, atau kalangan sejarawan yang menampilkan peran atau
kontribusi perempuan yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan.
Film berspektif perempuan pertama kali diproduksi dengan anggaran yang
sangat kecil, independent, dan berupa dokumentasi. Adapun model dominannya
bersifat realisme, dan memiliki ambisi yang kuat untuk menampilkan kebenaran
dari kehidupan perempuan dengan menawarkan berbagai citra perempuan yang
lebih bervariasi, positif dan apa adanya.33
Film dokumentasi tersebut mengungkapkan isu-isu perempuan seperti
misalnya soal penindasan terhadap perempuan, tetapi pada saat bersamaan juga
ditampilkan bagaimana perempuan memiliki kemampuan untuk melawan kembali
penindasan tersebut.34
Pada film tersebut ditampilkan film-film Autobiografi atau biografi yang
ternyata sangat diminati banyak orang pada awal 70-an, sebut saja misalnya film
Women Talking dari Midge Mackenzie (1970), atau film Three Lives oleh Kate
Miller (1971).
Di Indonesia sendiri, pada akhir tahun 1980-an, film-film Indonesia sudah
menampilkan sosok perempuan yang lebih mandiri, tetapi masih terdapat
ketakutan akan kemandirian perempuan yang penuh. Ruang gerak yang tepat bagi
perempuan masih selalu digambarkan sebatas lingkungan domestiknya. Selain itu,
kehidupan perempuan yang digambarkan hanya kehidupan dari kelas menengah
h. 201.
33
Jurnal Perempuan, Perempuan dan Media (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003),
34
yang persoalan-persoalannya berkisar sekitar cinta segitiga saja.35 Diantaranya
film Selamat tinggal Jeanette, Bayi Tabung, Suami, Arini II dam Pacar
Ketinggalan Kereta.
Dalam film Indonesia, perempuan yang diterima adalah perempuan yang
menikah dan bernaung di bawah laki-laki, sedangkan perempuan yang mencoba
untuk mandiri adalah adalah terkutuk dan contoh dari kekalahan hidup. Sementara
itu pada tahun 1988, sudah mulai banyak dimunculkan gambaran perempuan yang
bercitra diri lebih positif dan kuat.
Di antara banyaknya corak/genre film Indonesia saat ini, corak cerita
drama kehidupan merupakan corak cerita film yang paling baik untuk mengamati
bagaimana perempuan digambarkan dalam film. Hal ini disebabkan, karena
biasanya hampir semua film yang mengambil tokoh sentral perempuan, dibuat
dalam film yang bercorak/bergenre drama.
Film tentang perempuan bermaksud mengetengahklan kejadian yang
muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tema film mengenai perempuan, biasanya
digambarkan dengan persoalan perempuan yang menikah, perempuan yang tidak
menikah dan otonomi perempuan.36
Agaknya bagi perempuan menikah atau tidak menikah masih merupakan
dasar penilaian dari prilaku, hal ini sedikit banyak berpengaruh pula pada
otonominya (kebebasan), pada haknya untuk mengatur dirinya sendiri.
35
Sita Aripurnami, ed., Perempuan Yang Menuntun: Sosok Perempuan dalam Film Indonesia (Jakarta: Ashoka Indonesia, 2000), h. 104.
36
Dalam film Indonesia, sosok perempuan mandiri yang sudah menikah,
masih belum bisa diterima. Dalam film Indonesia, masih digambarkan, bahwa
konsep pernikahan masih diartikan sebagai tempat yang mengharuskan laki-laki
memegang kendali, dan mengharuskan perempuan tunduk pada keinginan laki-
laki sebagai pemegang kendali.
Lain halnya jika perempuan belum menikah yang digambarkan dalam film
Indonesia, perempuan yang belum menikah biasanya juga banyak mendapati
persoalan, seperti persoalan percintaan dan persoalan dalam kehidupannya di
masyarakat. Jika perempuan yang belum menikah tersebut salah langkah atau
melanggar norma yang ada di masyarakat, hal tersebut bisa menimbulkan fitnah
pada perempuan tersebut. Misalnya jika perempuan tersebut, tidak bisa menjaga
kehormatan dirinya, dia akan dijauhkan diri dari masyarakat, padahal belum tentu
semua kesalahan bertumpu pada perempuan.37
Otonomi pada perempuan, yang ditampilkan dalam film yang bertemakan
perempuan pada film Indonesia, pada tahun 80-an, masih jarang terlihat.
Perempuan sebagai individu yang berkarakter kuat, yang mampu menentukan apa
yang ingin dilakukan masih jarang terlihat di film Indonesia. Mungkin hanya film
”Cut Nyak Dien” yang menggambarkan sosok perempuan yang kuat dan berani
saat itu. Tahun demi tahun berikutnya barulah film tentang perempuan yang
berkarakter kuat, bertambah jumlahnya, walaupun tidak terlalu banyak.
Diantaranya film ”Perempuan Punya Cerita”, film ”Berbagi Suami”,
film”Marsinah” dan film yang pada tahun ini menjadi kontroversi, yaitu film
”Perempuan Berkalung Sorban”
37
Film ”Perempuan Punya Cerita” tentu saja merupakan salah satu film
bertema perempuan yang menjadi perhatian penulis untuk diteliti. Dalam film ini
penonton diajak untuk melihat suatu sosok perempuan yang tegar dan berkarakter
[image:45.612.113.513.142.517.2]kuat.
Gambaran perempuan dalam film Indonesia, banyak menggambarkan
sosok perempuan yang bervariatif, tetapi seringkali terjebak pada stereotipe-
stereotipe peran perempuan yang diharapkan oleh mayoritas masyarakat. Jika
pada era 80-an, film Indonesia masih malu-malu dalam menampilkan sosok
perempuan, maka pada akhir-akhir tahun ini, sejak hidupnya kembali perfilman
Indonesia, film Indonesia sudah menampilkan sosok perempuan yang
sebenarnya.38 Contohnya film ”Perempuan Punya Cerita”, yang berani
menampilkan realitas.
Gambaran perempuan dalam film Indonesia saat ini, tampaknya amatlah
berkaitan dengan potret kesadaran masyarakat sendiri atas persoalan perempuan
yang terjadi di masyarakat. Sedangkan film sendiri memiliki kemampuan
mengarahkan perhatian kita pada masalah-masalah tertentu serta mampu pula
membentuk opini kita tentang masalah-masalah itu.
Film juga sebetulnya merupakan media ekspresi yang amat strategis yang
menyampaikan suatu pesan dan mampu mengarahkan perhatian serta membentuk
opini masyarakat.
Persoalan yang dihadapi perempuan di dalam masyarakat, kenyataan
sehari-harinya amatlah banyak dan terkait dalam lingkup yang luas. Yakni,
perjuangan perempuan untuk memperoleh persamaan ekonomi, sosial, dan hak.
38
Dan apabila ini diuraikan, akan terlihat antara lain menjadi usaha perempuan
untuk memperoleh pekerjaan, rumah serta daerah perumahan yang sehat, bersih
dan aman, perawatan kesehatan yang baik, serta usaha untuk memperoleh
pendidikan.39
Pada sekarang ini, film Indonesia banyak menampilkan kehidupan
perempuan dari sisi lain, yaitu sosok perempuan yang digambarakan lebih
realistis.
Kemampuan film untuk membentuk opini