• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur'an Surat Al-Qashash Ayat 76-81

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur'an Surat Al-Qashash Ayat 76-81"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

Muhammad Idham Khalid

NIM 109011000163

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Judul : “Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al- Qur’an Surat Al-Qashash Ayat 76-81”

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an, khususnya surat Al-Qashash ayat 76-81. Berawal dari kekhawatiran penulis akan semakin minimnya anak-anak di sekolah yang mengetahui dan mendapatkan cerita-cerita yang baik dari guru-guru mereka di sekolah. Maksud cerita yang baik di sini ialah cerita-cerita yang bersumber dari Al-Qur’an. Al-Qur’an sudah mencontohkan bagaimana bercerita yang baik, yang dapat membawa pesan dan pelajaran di setiap ceritanya, tidak hanya sebagai hiburan semata.

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menelusuri data-data kepustakaan (library research) dengan mengacu pada pendapat para ahli tafsir, ahli pendidikan dan ahli sastra yang tertuang dalam buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah penafsiran ayat dengan menggunakan metode tafsir tahlili (analisis), yakni metode menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf, serta menerangkan makna-makna yang tercakup sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.

(7)

dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam tak lupa kita curahkan

kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi berjudul “Karakeristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an

Surat Al-Qashash Ayat 76-81” ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi

untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari sumbangsih berbagai pihak yang

telah membantu dan memberi dukungan baik moril maupun materil. Untuk itu,

penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak M. Ma’ruf dan Ibu Himmatin yang telah

membesarkan, merawat, mendidik, dan memberi dukungan kepada

penulis. Serta adik-adik tercinta Muhammad Ainul Yaqin, Novia Nur

Adilla, dan Muhammad Zakhrof Albi.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, MA., Ph.D. beserta para

pembantu dekan dan segenap jajarannya.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Dr. Abdul Majid Khon,

M.Ag. dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Ibu Marhamah

Saleh, Lc., MA.

4. Dosen penasihat akademik penulis, Ibu Dra. Raudhah, M.Pd. atas

bimbingan yang selama ini telah diberikan.

5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak M. Sholeh Hasan, Lc., MA.

yang telah memberikan saran dan arahan dalam penulisan skripsi

6. Seluruh dosen dan staf jurusan PAI.

7. Teman-teman mahasiswa PAI, khususnya kelas D angkatan 2009 atas

pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama

(8)

9. Segenap petugas perpustakaan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) yang mana

penulis banyak mengambil referensi dari sana.

10.Guru-guru di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta yang terus

mensupport penulis untuk menyelesaikan studinya sambil mengajar di

Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta.

11.Teman-teman santri Ponpes Baitul Qurro’ tempat penulis tinggal dan

belajar yang selalu mendoakan dan menyemangati.

12.Semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan informasi,

yang bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dan partisipasi dari semua pihak

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan

pahala dari Allah SWT.

Jakarta, 22 April 2014

Penulis,

(9)

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 7

C.Pembatasan Masalah ... 7

D.Perumusan Masalah ... 7

E.Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORITIS

A.Metode Pembelajaran ... 9

B.Cerita ... 10

1. Pengertian Cerita ... 10

2. Macam-Macam Cerita ... 11

a. Dari Ciri-Cirinya ... 11

1. Cerita Lama ... 11

2. Cerita Baru ... 13

b. Dari Segi Volumenya ... 13

1. Cerita Pendek ... 13

2. Cerita yang Lebih Panjang ... 13

3. Cerita Panjang ... 13

3. Karakteristik Umum Cerita ... 14

Sembilan Ciri Umum Sastra ... 14

Unsur-Unsur yang Ada dalam Cerita ... 14

a. Peristiwa ... 15

b. Pelaku ... 15

c. Waktu dan Tempat ... 16

d. Gaya Bahasa dan Dialog ... 17

(10)

b. Ditinjau dari Segi Materi ... 19

2. Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an ... 20

3. Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an ... 25

a. Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra ... 26

b. Penyampaian Pesan dalam Cerita ... 27

c. Pengulangan Cerita ... 29

d. Episode Kemunculan Tokoh Utama ... 32

1. Dari Awal Kelahiran ... 32

2. Dari Masa Kanak-Kanak ... 32

3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian ... 33

e. Panjang Pendek Cerita ... 33

1. Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar ... 33

2. Cerita yang Perinciannya Sedang ... 34

3. Cerita yang Disebutkan Singkat ... 35

4. Cerita yang Disebutkan Sangat Singkat ... 35

f. Bentuk Dialog dalam Bercerita ... 36

D.Hasil Penelitian yang Relevan ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A.Jenis dan Metode Penelitian ... 38

B.Sumber Data ... 38

C.Teknik Pengumpulan Data ... 39

D.Teknik Analisis Data ... 39

(11)

B.Berbeda dengan Cerita Sastra ... 45

1. Ada Niat dari Pengarangnya Untuk Menciptakan Karya Sastra ... 45

2. Hasil Proses Kreatif ... 46

3. Diciptakan Bukan Semata-Mata Untuk Tujuan Praktis dan Pragmatis .... 46

4. Bentuk dan Gaya yang Khas ... 47

5. Bahasa yang Digunakan Khas ... 47

6. Mempunyai Logika Tersendiri, Mencakup Isi dan Bentuk ... 48

7. Merupakaan Rekaan ... 49

8. Mempunyai Nilai Keindahan Tersendiri ... 50

9. Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu ... 52

C.Unsur-Unsur Cerita dalam Al-Qur’an ... 52

1. Pelaku ... 53

2. Peristiwa ... 54

3. Percakapan ... 57

D.Hilangnya Unsur Waktu dan Tempat dalam Cerita Qarun ... 58

E.Penyampaian Pesan dalam Cerita ... 60

F. Pengulangan Cerita ... 62

G.Episode Kemunculan Tokoh ... 64

H.Panjang Pendek Cerita ... 66

I. Gaya Bercerita yang Baik ... 67

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 70

B.Saran ... 71

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah.

Dalam dunia pendidikan, di samping potensi subjek didik cukup baik, kondisi

lingkungan belajar mengajar seyogyanya menunjang agar dapat menjamin

keberhasilan proses belajar mengajar. Oleh karena itu guru harus kreatif mencari

metode dan media yang sesuai dengan kondisi perkembangan belajar anak.1

Keberhasilan proses belajar mengajar kiranya akan sulit dicapai apabila guru

hanya menjelaskan atau memberikan ceramah secara panjang lebar materi itu.

Guru yang kreatif memiliki kemampuan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada

peserta didiknya secara kreatif, sehingga peserta didik menggemari ilmu

pengetahuan yang diajarkan kepadanya dan membuat peserta didik dapat berfikir

secara kreatif pula.2

Selanjutnya dalam keterkaitan dengan pendidikan pada umumnya atau

pendidikan agama Islam, metode sangat penting. Metode berperan sebagai jalan

untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang, sehingga terlibat

dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu metode dapat pula

membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan

ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.3

Cerita sebagai suatu metode pendidikan memang mempunyai daya tarik yang

menyentuh perasaan. Bercerita atau mendongeng adalah aktivitas pendidikan yang

dilakukan oleh siapa saja dan dari bangsa serta agama mana saja. Tidak ada yang

tidak menggemari dongeng atau cerita. Kelompok yang paling suka tentu saja

adalah anak-anak. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana cerianya mereka

ketika mendengarkan dongeng atau cerita dan mereka selalu mengharapkan ibu

1

Ari Wahyudi. Model Pembelajaran Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah Afektif Pada Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 16 Edisi Khusus I, Juni 2010. h. 43-44.

2

Herry Widyastono. Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik Dalam Pembelajaran. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 15. November 2009. h. 1020.

3

(13)

bapaknya meluangkan waktu untuk menceritakan dongeng kepada mereka. Cerita

atau dongeng adalah salah satu sarana untuk membangun karakter anak didik,

karena bercerita mirip dengan memberikan contoh nyata dalam imajinasi anak.

Efek dari cerita ini memang sangat hebat, karena sebetulnya melalui cerita mereka

sedang dihujani nasihat demi nasihat, pesan demi pesan dan dorongan-dorongan

motivasi.4

Dalam suatu penelitian, dilaporkan bahwa ada peningkatan perkembangan

intelektual dan kematangan terhadap bayi pralahir akibat pengaruh pembacaan

cerita. Seorang peneliti meminta muridnya yang sedang hamil untuk membacakan

cerita anak berulang-ulang dengan suara keras selama kehamilannya. Ketika

bayinya dilahirkan, bayi itu diuji apakah ia mengenali bunyi-bunyi cerita lain.

Ternyata ia mengenali bunyi cerita yang telah dibacakan ibunya. Diyakini bahwa

bercerita untuk bayi sebelum ia dilahirkan dapat berdampak baik bagi

perkembangan otak bayi.5

Keunggulan cerita dapat melakukan dua tugas sekaligus dalam waktu

bersamaan. Pertama, cerita sangat efektif dalam mengomunikasikan informasi

dengan bentuk yang mudah diingat, dan kedua, cerita dapat mengarahkan

perasaan pendengarnya tentang informasi yang dikomunikasikan.6 Bagi

anak-anak, duduk manis menyimak penjelasan dan nasihat merupakan sesuatu yang

tidak menyenangkan. Sebaliknya, duduk berlama-lama menyimak cerita atau

kisah adalah aktivitas yang mengasyikkan. Oleh karenanya memberikan pelajaran

dan nasihat melalui cerita adalah cara mendidik yang cerdas dan bijak.

Dr. Abdul Aziz Abdul Majid dalam bukunya ‘’Mendidik Dengan Cerita‘’

mengatakan: ’’sebagian dari cerita-cerita yang ada, mengandung beberapa unsur

yang negatif. Hal ini dikarenakan pembawaan cerita tersebut tidak mengindahkan

nilai estetika dan norma’’. Mungkin si anak melakukan hal-hal buruk karena ia

selalu mendapatkan cerita-cerita yang negatif dan tidak mendidik. Hal ini

dikarenakan semua informasi dan peristiwa yang tercakup dalam sebuah cerita

4

Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006), h. 315.

5

F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000), h. 132.

6

(14)

akan berdampak sekali dalam pembentukan akal, dan norma seorang anak, baik

dari segi budaya, imajinasi maupun bahasa kesehariannya. 7

Islam menyadari sifat alamiah manusia bahwa mereka menyukai cerita, dan

menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam

mengeksploitasi cerita tersebut untuk dijadikan salah satu metode pendidikan.

Salah satu sumber cerita yang baik untuk mengajarkan pendidikan agama pada

anak adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa

dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah

Al-Qur’an dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat ayat-ayat mengenai kisah

umat manusia, yang bukan hanya menarik bagi orang dewasa, melainkan juga

bagi anak-anak. Di dalam Al-Qur’anul karim banyak sekali cerita-cerita tentang

keadaan umat-umat masa silam, yang sengaja dikemukakan untuk memberikan

pelajaran dan menampilkan peran pendidikan bagi pembacanya atau orang yang

mendengarnya. Firman Allah SWT.

“Dan kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala kebenaran), nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman”

(QS. Hud: 120).

Allah telah memerintahkan kepada kita agar meneladani orang-orang shalih

(shalihin) dan penganjur kebaikan (muslihin) dari orang-orang terdahulu, yang

kisah-kisah mereka telah dipaparkan-Nya kepada kita serta telah diperlihatkan-

Nya kepada kita metode mereka dalam dakwah, perbaikan (ishlah), perlawanan

terhadap musuh-musuh Allah, perjuangan jihad, kesabaran dan keteguhan

mereka.8 Karena dari kisah orang-orang dahulu terdapat hikmah dan pelajaran

bagi orang-orang yang berakal yang mampu merenungi kisah-kisah itu,

menemukan padanya hikmah dan nasihat, serta menggali dari kisah-kisah itu

pelajaran dan petunjuk hidup.9

7

Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), h. 4.

8

Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 16.

9

(15)

Allah juga mensifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang terbaik (ahsanul

Qashash), sebagaimana Firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 3:













































“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukannya) adalah orang-orang yang belum mengetahui” (Yusuf: 3)

Maksud ayat di atas ialah bahwa Allah akan menceritakan beberapa kisah

yang benar, jelas, dan berdasarkan bukti yang kuat. Maka tinggalkanlah

kisah-kisah yang diceritakan selain dari Al-Qur’an yang periwayatannya tidak terjamin,

bercampur dengan kebohongan, serta berseberangan dengan kenyataan.10

Ciri khas cerita-cerita Al-Qur’an adalah ia selalu bersifat benar adanya,

kejadian yang sesungguhnya, begitu pula isi yang terkandung di dalamnya serta

pemusatan pada tujuan yang diinginkan dari cerita tersebut. Cerita-cerita

Al-Qur’an mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk individu-individu atau

masyarakat manusia dengan nilai keislaman. Ia mendidik manusia untuk

semata-mata beriman kepada Allah SWT dan rela terhadap qadha dan qadar-Nya.

Syekh Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama kenamaan Mesir dalam

bukunya Kayfa Nata’amal Ma’ al-Qur’an mengungkapkan bahwa kisah-kisah

dalam Al-Qur’an pada prinsipnya memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya

pendidikan psikologis, tetapi aspek rasio juga. Melalui kisahnya, Al-Qur’an

bertujuan mendidik manusia sejak masa penciptaan, kelahiran, kanak-kanak,

remaja, dewasa, dan tua hingga ajalnya, agar mereka senantiasa sadar akan jati

dirinya.11

Selanjutnya beliau juga menuturkan dalam buku al-Mahawir al-Khamsah li

al-Qur’an al-Karim, secara garis besar ada lima pokok isi kandungan Al-Qur’an.

10

Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Al-Qur’an Menjadikan Hidup Lebih Berarti, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2005), h. 21.

11

(16)

Tauhid kepada Allah, alam semesta bukti adanya Allah, kebangkitan dan

pembalasan, hukum dan pendidikan, dan yang terakhir ialah qashash al-Qur’an

atau kisah-kisah Al-Qur’an. Kenapa kisah-kisah Al-Qur’an bisa menjadi isi pokok

kandungan Al-Qur’an, bukankah ia hanya sekadar cerita masa lampau saja yang

tidak berbeda dengan buku sejarah. Di dalam buku tersebut Syekh Muhammad

Al-Ghazali menjelaskan bahwa cerita yang ada di dalam Al-Qur’an tidaklah

hanya sekadar cerita yang sudah usang. Kisah dalam Al-Qur’an merupakan sarana

pendidikan, nasihat dan petunjuk bagi manusia. Oleh setiap kisah umat-umat

terdahulu terdapat ibrah yang bisa diambil pelajaran dan hikmahnya. Ibarat kaset,

kisah tersebut mengingatkan bahwa yang terjadi pada saat ini merupakan

pengulangan apa yang terjadi pada masa lalu, hanya pelaku, waktu dan tempat

saja yang berbeda. Al-Qur’an mengingatkan bahwa jauh sebelum ini pun sudah

ada peradaban-peradaban yang maju dengan ilmu pengetahuannya, tetapi karena

tidak diiringi dengan kemajuan akhlak dan ibadahnya kepada Allah maka dalam

sekejap peradaban tersebut hancur dan hilang. Bukankah itu sama dengan kondisi

saat ini? Seseorang yang telah kehilangan ingatannya bisa disebut dengan orang

gila. Ketidaksanggupan mengingat yang telah lalu akan membawa kepada

ketidakmampuan menghadapi yang akan datang. Oleh karena itulah Syekh

Muhammad Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada kisah-kisah Al-Qur’an.12

Bagaimana pentingnya kisah dalam Al-Qur’an bisa dilihat dari segi volume,

di mana kisah-kisah tersebut memiliki porsi yang tidak sedikit dari seluruh

ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan ada surat-surat Al-Qur’an yang dikhususkan untuk kisah

semata-mata, seperti surat Yusuf, Al-Anbiya’, Al-Qasas, dan Nuh. Dari

keseluruhan surat Al-Qur’an, terdapat 35 surat yang memuat kisah, kebanyakan

adalah surat-surat panjang.13 Cerita tentang para nabi mendapatkan porsi yang

cukup besar dalam Al-Qur’an yaitu sekitar 1600 ayat dari jumlah keseluruhan ayat

dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 6236. Jumlah tersebut cukup besar jika

dibandingkan dengan ayat-ayat tentang hukum yang hanya terdiri dari 330 ayat.

12

Syekh Muhammad Al-Ghazali, Induk Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2003), h. 111.

13

(17)

Selain cerita tentang para nabi dan rasul, Al-Qur’an juga menceritakan kisah

tentang orang-orang selain nabi, baik orang mukmin maupun orang kafir, seperti

kisah perjuangan para nabi dalam memberikan pencerahan spiritual kepada

bangsa dan umatnya, usaha keras para nabi dalam membendung aktivitas kaum

kafir.

Kemudian, gaya bercerita Al-Qur’an juga berbeda dengan gaya bercerita

kisah yang lain pada umumnya. Kita akan menemukan bahwa tersebarnya kisah

dalam ayat dan surat yang berbeda, tetap menunjukkan kesatuan hubungan.

Adanya hubungan tersebut bukan saja ditandai oleh tematisnya, melainkan juga

oleh keseluruhan gaya dan cara Al-Qur’an dalam berkisah. Dalam hal ini, kisah

merupakan metode utama yang digunakan Al-Qur’an dalam menyampaikan

pesan-pesannya.14

Sekarang, akibat terlalu seringnya tayangan-tayangan di televisi muncul, kini

anak-anak tidak lagi mengetahui kisah para nabi, kisah Ashabul Kahfi, kisah

tentang Khulafau Rasyidin. Juga tidak kenal dengan Lukmanul Hakim, Nabi

Khidir, Siti Maryam, di mana kisah tentang mereka sangat baik untuk diketahui

anak-anak. Karena kisah-kisah tersebut memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik

bagi anak.15

Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat kita masih

cenderung mengabaikan potensi cerita-cerita yang ada dalam Al-Qur’an sebagai

metode pendidikan. Padahal dengan melihat fitrah kejiwaan manusia yang

menyenangi cerita, sudah seharusnya cerita-cerita tersebut dimanfaatkan oleh para

pendidik (guru, orang tua, dan lain-lain), sebagai metode pendidikan, khususnya

pendidikan agama yang merupakan pondasi awal bagi anak. Untuk itulah maka

penulis berusaha menjabarkan betapa pentingnya cerita-cerita dalam Al-Qur’an

dan bagaimana langkah-langkah serta gaya Al-Qur’an dalam bercerita melalui

14

Nunu Achdiat, Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 78.

15

(18)

penulisan skripsi dengan judul: “KARAKTERISTIK16 METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL-QURAN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81”.

B.

Identifikasi

Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka

penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Belum banyak pendidik yang menggunakan cerita sebagai metode

pembelajarannya.

2. Banyaknya pendidik yang masih mengabaikan potensi cerita yang terdapat

di dalam Al-Qur’an.

3. Masih banyak orang yang menganggap sama antara cerita-cerita

Al-Qur’an dengan cerita-cerita sastra pada umumnya.

C.

Pembatasan

Masalah

Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis perlu

untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan dibatasi hanya

pada:

1. Karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an.

2. Penafsiran surat al-Qashash ayat 76-81.

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalahnya ialah, bagaimanakah

karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat

76-81?

16

(19)

E.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik

metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81

F.

Manfaat Penelitian

1. Manfaat Umum

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang

karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an.

2. Manfaat Khusus

a. Bagi mahasiswa Pendidikan Agama Islam mudah-mudahan bisa menjadi

perbandingan dalam penulisan karya ilmiah.

b. Bagi guru maupun pendidik diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk

memperhatikan potensi cerita-cerita yang terdapat dalam Al-Qur’an dan

(20)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A.

Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran adalah sebuah konsep cara yang digunakan oleh

guru untuk mengelola pembelajaran agar materi pembelajaran dapat

tersampaikan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dinginkan.

Untuk mencapai tujuan pendidikan, maka tidak lepas dari muatan materi

pendidikan, guru dan metode. Penguasaan materi bagi guru merupakan hal

yang sangat menentukan, khususnya dalam proses belajar mengajar yang

melibatkan guru mata pelajaran, oleh karena itu diperlukan guru yang

profesional yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang

keguruan sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan

maksimal.1

Dalam keterkaitan dengan pendidikan Agama Islam, metode berperan

sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang,

sehingga terlibat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu

metode, dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali

dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan

perkembangan zaman.2

Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara

efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan

pendidikan. Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi

penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak

tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan

1

Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995) h. 15.

2

(21)

seorang guru, baru berdaya guna dan berhasil jika mampu digunakan untuk

mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.3

B.

Cerita

1. Pengertian Cerita

Secara definisi bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

cerita ialah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal.4

Cerita memiliki arti yang sama dengan kisah, di mana kisah merupakan kata

serapan yang berasal dari qishshah dalam bahasa Arab yang diambil dari kata

dasar qa sha sha yang berarti kisah, cerita, berita atau keadaan.

Menurut Abdul Aziz Abdul Majid, cerita adalah salah satu bentuk sastra

yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri serta merupakan sebuah

bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa

membaca.5

Sa’id Mursy menjelaskan bahwa cerita adalah pemaparan pengetahuan

kepada anak kecil dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.6

A. Hanafi mengutip pendapat Dr. Muhammad Khalafullah dalam

bukunya Al-Fannu Al-Qassiyu fi Al-Qur’an Al-Karim yang mendefinisikan

bahwa cerita ialah suatu karya kesusasteraan yang merupakan hasil khayal

pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku

yang sebenarnya tidak ada. Atau, dari seorang pelaku yang benar-benar ada,

tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak

benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa itu terjadi dalam diri pelaku, tetapi

dalam kisah itu disusun atas dasar seni yang indah, di mana sebagian

peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dikemudiankan, sebagiannya

disebutkan dan sebagian lagi dibuang. Atau, terhadap peristiwa yang

3

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner. (Jakarta: Dunia Aksara, 1997) h. 197.

4

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 283.

5

Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 8.

6

(22)

benar terjadi itu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau

dilebih-lebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari

kebenaran yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayali.7

2. Macam-Macam Cerita

a. Berdasarkan ciri-cirinya, menurut Dr. Wahyudi Siswanto cerita dibagi

menjadi 2, yaitu:

1. Cerita lama

Cerita lama ini sering berwujud cerita rakyat (folktale). Cerita ini

bersifat anonim, tidak diketahui siapa yang mengarangnya dan

beredar secara lisan di tengah-tengah masyarakat. Pada umumnya,

cerita itu diperoleh pada waktu pelaksanaan perhelatan, percakapan

sehari-hari, sedang bekerja atau dalam perjalanan, dan seseorang

ingin mengetahui asal-usul sesuatu. Cerita rakyat, selain merupakan

hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui asal-usul nenek

moyang, jasa atau keteladanan kehidupan para pendahulu, hubungan

kekerabatan, asal mula tempat, adat-istiadat, dan sejarah benda

pusaka. Yang termasuk cerita lama adalah fabel, dongeng, legenda,

mitos, dan sage.8

a) Fabel

Adalah cerita tentang kehidupan binatang sebagai tokoh utamanya

yang diceritakan seperti kehidupan manusia. Misalkan cerita

kancil di Indonesia. Fabel kebanyakan mengandung nasihat atau

pengajaran kepada anak-anak melalui kiasan yang terkandung di

dalam cerita tersebut. Karena itu fabel mengandung unsur didaktif

dan edukatif.

7

A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), Cet.1 h.15.

8

(23)

b) Dongeng

Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar

terjadi oleh yang mempunyai cerita dan tidak terikat oleh tempat

dan waktu. Dalam KBBI, dongeng adalah cerita yang tidak

benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dulu yang

aneh-aneh.

c) Mitos

Mitos adalah cerita rakyat yang benar-benar dianggap terjadi serta

dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mitos merupakan

cerita yang pada awal terbentuknya bermula dari pikiran manusia

yang tidak mau menerima begitu saja semua fenomena alam yang

ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Dalam usahanya,

seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung

membayangkan sesuatu dengan dunia angannya sendiri.9

Contohnya ialah cerita tentang Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul.

d) Legenda

Legenda adalah cerita tentang asal mula (nama suatu tempat,

asal-usul dunia tumbuhan, asal-asal-usul dunia binatang). Legenda hampir

mirip dengan mitos, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi

dianggap tidak suci. Tokoh dalam legenda adalah manusia

walaupun adakalanya mempunyai sifat luar biasa karena bantuan

makhluk gaib. Contoh Legenda ialah cerita tentang terjadinya

Tangkuban Perahu, asal-usul Banyuwangi.

e) Sage

Adalah dongeng yang berisi kegagahberanian seorang pahlawan

yang terdapat dalam sejarah, tetapi cerita bersifat khayal. Seperti

cerita Ken Arok dan Ken Dedes, Tutur Tinular, serta Lutung

Kasarung.

9

(24)

2. Cerita baru

Cerita baru adalah bentuk karangan bebas yang tidak berkaitan

dengan sistem sosial dan struktur kehidupan lama. Cerita baru dapat

dikembangkan dengan menceritakan kehidupan saat ini dengan

keanekaragaman bentuk dan jenisnya. Contoh dari cerita baru adalah

roman, novel, cerita pendek, cerita bersambung dan sebagainya.

Pembagian ini lebih dikarenakan perbedaan volume atau panjang

pendeknya cerita, yang akan dibahas pada pembahasan setelah ini.10

b. Dari segi volume atau panjang pendeknya, cerita dapat dibagi menjadi:

1. Cerita pendek. Ialah cerita yang hanya terdiri dari beberapa halaman

saja. Lazimnya disebut dengan cerpen.

2. Cerita yang lebih panjang daripada cerita pertama. Cerita semacam

ini disebut novelette dalam bahasa Perancis. Contohnya ialah novel.

3. Cerita panjang. Contohnya ialah roman. Roman adalah cerita yang

paling panjang dari segi volume. Corak ceritanya bersifat romantis;

berkisar sekitar masalah percintaan, dan kadang-kadang jauh dari

kenyataan. Pada roman yang penting ialah peristiwa-peristiwa,

sehingga Saintsbury membedakan, bahwa roman adalah cerita

peristiwa, sedangkan novel (cerita biasa) adalah cerita pelaku

(pribadi) dan motif-motif. 11

Cerita pendek berbeda dengan cerita lainnya, karena ia

memungkinkan penulisnya untuk mencurahkan seluruh perhatiannya

pada satu peristiwa yang terpisah dari yang lainnya. sehingga penulis

dapat menyampaikan pikiran kepada pembaca atau pendengarnya dalam

bentuk yang lebih kuat daripada kalau pikiran itu merupakan bagian dari

cerita (riwayat) yang banyak peristiwanya.

Oleh karena itu, dalam penulisan cerita pendek (cerpen), ada caranya

sendiri, di mana perincian-perincian ditinggalkan, dan pelakunya harus

10

Siswanto, op. cit., h.140.

11

(25)

sedikit mungkin, dan tidak perlu diuraikan sifat-sifatnya secara

terperinci. Begitu pula peristiwa-peristiwanya harus bisa ditangkap

dengan mudah dari segi waktu dan tempat. Segala sesuatu yang

mengganggu pembaca atau pendengar dari inti cerita haru ditinggalkan.

Dari segi pelaku, cerita pendek lebih mengutamakan pelaku agar

jumlahnya sedikit mungkin, sedangkan novel atau roman banyak

pelakunya. Selain karena sempitnya ruang, juga karena cerita pendek

memang tidak dimaksudkan untuk menganalisa banyak pelaku.12

3. Karakteristik Umum Cerita

Cerita merupakan salah satu bagian dari sastra, di mana sastra memiliki

sembilan ciri umum, yakni:13

a. Ada niat dari pengarangnya untuk menciptakan karya sastra.

b. Hasil proses kreatif.

c. Diciptakan bukan semata-mata untuk tujuan praktis dan pragmatis.

d. Bentuk dan gaya yang khas.

e. Bahasa yang digunakan khas.

f. Mempunyai logika tersendiri, mencakup isi dan bentuk.

g. Merupakaan rekaan.

h. Mempunyai nilai keindahan tersendiri.

i. Nama yang diberikan masyarakat kepada hasil tertentu.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam cerita secara umum ialah

adanya kejadian atau peristiwa tertentu sebagai unsur pertama. Selanjutnya

ada pelaku sebagai unsur kedua. Peristiwa-peristiwa tersebut harus terjadi

dalam tempat dan waktu tertentu, dan hal ini merupakan unsur ketiga.

Kemudian ada gaya bahasa tertentu untuk menceritakan peristiwa-peristiwa

tersebut, lengkap dengan dialog-dialog yang terjadi antara para pelaku. Unsur

terakhir ialah gagasan pikiran (ide) atau segi pandangan atau tujuan.14

12

Ibid., h.16-17.

13

Siswanto, op. cit., h.72-81.

14

(26)

a. Peristiwa

Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke

keadaan yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dibedakan

kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak.

Misalnya, antara kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh

dengan yang mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.15

Dalam sebuah cerita, sebuah peristiwa erat kaitannya dengan

konflik dan klimaks. Konflik merupakan kejadian yang tergolong

penting. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik

melalui berbagai peristiwa akan sangat menentukan kadar kemenarikan

cerita yang dihasilkan. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat,

dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan

konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik demi konflik yang

disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi

semakin meningkat. Konflik yang telah sedemikian meruncing, katakan

sampai pada titik puncak, disebut klimaks.

Klimaks, menurut Santon, adalah saat konflik telah mencapai

tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang

tidak dapat dihindari terjadinya. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan

terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai

klimaks. Sebuah konflik akan menjadi klimaks atau tidak, dalam banyak

hal akan dipengaruhi oleh sikap, kemauan, dan tujuan pengarang dalam

membangun konflik sesuai dengan tuntutan cerita.16

b. Pelaku atau Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita

sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan

menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam cerita selalu

15

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005) h. 117.

16

(27)

mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu.

Pemberian watak pada tokoh disebut perwatakan.17

c. Waktu dan Tempat

Bersamaan dengan sosial, waktu dan tempat merupakan bagian dari

unsur latar dalam sebuah cerita. Waktu berhubungan dengan masalah

“kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah

karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan

waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan

peristiwa sejarah.

Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette dapat bermakna

ganda; di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan

cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang

terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan

amat penting dilihat dari segi waktu penceritaannya. Tanpa kejelasan

(urutan) waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis

cerita-khususnya untuk cerita yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang

mengenal tenses seperti bahasa Inggris.18

Masalah waktu dalam cerita juga sering dihubungkan dengan

lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita. Ada yang membutuhkan

waktu sangat panjang, katakanlah (hampir) sepanjang hayat tokoh, ada

yang relatif agak panjang, membutuhkan waktu beberapa tahun, ada pula

yang relatif pendek.

Latar waktu haruslah berkaitan dengan latar tempat, karena tempat

inilah yang menunjukkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah cerita. Tempat yang dipergunakan mungkin berupa

tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi

tertentu tanpa nama jelas. Penyebutan tempat yang tidak ditunjukkan

17

Siswanto, op. cit., h. 143.

18

(28)

secara jelas namanya, mungkin disebabkan perannya dalam cerita

tersebut kurang dominan.19

d. Gaya Bahasa dan Dialog

Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya

dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta

mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya

intelektual dan emosi pembaca.20 Karena bahasa dalam seni sastra dapat

disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur

bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang

mengandung “nilai lebih” daripada sekadar bahannya itu sendiri.

Sebuah cerita umumnya dikembangkan dalam dua bentuk

penuturan; narasi dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara

bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi variatif dan tidak

terkesan monoton. Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi sering dapat

menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Pengarang

cenderung memilih peristiwa dan tindakan, konflik, atau hal-hal lain

yang menarik dari perjalanan hidup tokoh untuk diceritakan. Adapun

dalam pengungkapan bahasa bentuk percakapan, seolah-olah pengarang

membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata

seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya

dan apa isi percakapannya. Dialog tidak mungkin hadir sendiri tanpa

disertai (atau menyatu dengan) bentuk narasi.21

e. Gagasan Pikiran atau Tujuan

Sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya dalam bentuk karya

sastra yang dibuatnya. Gagasan pikiran yang ada di dalam cerita rekaan

bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan,

hal ini biasa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari

karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca

19

Ibid., h.232-233.

20

Siswanto, op. cit., h. 158.

21

(29)

atau pendengarnya. Di dalam karya sastra modern ini biasanya tersirat; di

dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.22

Tujuan bercerita ini erat kaitannya dengan manfaat dari cerita itu

sendiri. Lilian Holewell dalam A Book for Children Literature mencatat

sedikitnya ada enam manfaat cerita. Yaitu (1) mengembangkan daya

imajinasi dan pengalaman emosional, (2) memuaskan kebutuhan ekspresi

diri melalui proses identifikasi, (3) memberikan pendidikan moral tanpa

menggurui si anak, (4) memperlebar cakrawala mental si anak dan

memberikan kesempatan untuk meresapi keindahan, (5) menumbuhkan

rasa humor dalam diri si anak, dan (6) memberikan persiapan apresiasi

sastra dalam kehidupan si anak setelah dia dewasa.23

C.

Cerita dalam Al-Qur’an

Di dalam buku “Metode Dakwah” yang diterbitkan oleh Departemen Agama

RI dijelaskan bahwa Al-Qur’an banyak memuat cerita-cerita sejarah umat

terdahulu yang dapat dijadikan sebagai bahan yang dapat menjadikan

perbandingan untuk menjalankan aktivitas dalam berdakwah dan mendidik.

1. Macam-Macam Cerita dalam Al-Qur’an

Cerita-cerita Al-Qur’an ada yang terkait dengan kehidupan para nabi,

termasuk yang berkaitan dengan tokoh atau sesuatu yang berhubungan

dengan nabi, seperti Iblis, Qabil-Habil, Khidir, Qarun, Firaun, dan lainnya.

Ada pula yng tidak terkait dengan cerita para nabi, seperti penghuni gua

(Ashabul Kahfi), Zulqarnain, Ashabul Ukhdud, dan lainnya. Sebagian cerita

diceritakan berdasarkan pertanyaan para sahabat seperti Ashabul kahfi dan

Zulqarnain (Al-Kahfi: 9-20, dan 83), tetapi sebagian besar difirmankan tanpa

sebab atau permintaan. Secara keseluruhan tipe-tipe cerita Al-Qur’an

22

Siswanto, op. cit., h. 162.

23

(30)

mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda, dan pesan bagi umat

manusia. Adapun pembagian cerita Al-Qur’an sebagai berikut:

a. Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

Al-Qur’an, ada tiga macam:

1. Cerita hal-hal gaib pada masa lalu, yaitu cerita yang menceritakan

kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indra.

Seperti cerita-cerita Nabi.

2. Cerita hal-hal gaib pada masa kini, yaitu cerita yang menceritakan

kejadian-kejadian gaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak

dahulu dan akan tetap ada sampai pada masa yang akan datang), dan

yang menyingkap rahasia orang-orang munafik.

3. Cerita hal-hal gaib pada masa yang akan datang yang belum pernah

terjadi pada waktu turunnya Al-Qur’an, kemudian peristiwa itu

benar-benar terjadi.

b. Ditinjau dari segi materi, juga ada tiga macam:

1. Cerita para Nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan

serta perkembangan, mu’jizat mereka, posisi para penentang, akibat

orang-orang yang percaya dan yang mendustakan mereka dan

lain-lain. Misalnya cerita Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad,

dan nabi serta rasul lainnya.

2. Cerita orang-orang yang belum tentu nabi dan kelompok-kelompok

manusia tertentu seperti cerita Lukmanul Hakim, Ashabul Kahfi dan

lain-lain. peristiwa-peristiwa masa lalu dan pribadi-pribadi yang

tidak diketahui secara pasti apakah mereka nabi atau bukan,

misalnya cerita Thalut dan Jalut, dua putra Adam, Zulqarnain,

Qarun, Maryam, Ashabul Ukhdud, dan lain-lain.

3. Cerita mengenai kejadian-kejadian yang terjadi di masa Rasulullah

(31)

Hunain dan Tabuk dalam surah at-Taubah, perang Ahzab dalam

surah al-Ahzab, peristiwa Hijrah, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.24

2. Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an

Orang-orang kafir menganggap bahwa cerita-cerita yang terkandung di

dalam Al-Qur’an sebagai mitos dan legenda. Di dalam Al-Qur’an didapati

banyak cerita nabi-nabi, rasul-rasul dan umat-umat terdahulu di mana maksud

cerita-cerita itu ialah sebagai pelajaran-pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang

berguna bagi penyeru kebenaran dan yang diseru kepada kebenaran.25 Bagi

orang yang sedang menyeru kepada kebenaran, jalan-jalan yang harus

ditempuh dalam menghadapi kaum yang diseru oleh para penyeru kebenaran

bisa dilihat dari surat-surat yang mengandung cerita perjuangan para nabi dan

rasul dalam mendakwahkan tauhid kepada kaum-kaumnya. Umpamanya, Nuh

memulai seruannya dengan mempertakutkan. Hud memulai seruannya

dengan memberi kabar gembira. Sholeh memulai seruannya dengan

memperingatkan umat-umatnya kepada nikmat-nikmat Allah. Adapun Syuaib

dengan tandzir, tahsyir, dan tadzkir (mempertakutkan, memberi kabar

gembira, mengingatkan nikmat itu).26

Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Kayfa Nata’amal Ma’

al-Qur’an mengkritik banyaknya orang yang menulis cerita-cerita Qurani terlalu

menampilkan segi keindahan sastranya, ketimbang muatan ceritanya.

Keindahan sastra seolah merupakan tujuan dalam penulisan mereka. Padahal

sastra hanyalah alat bukan tujuan. Hal ini yang menyebabkan tujuan utama

dari cerita-cerita Al-Qur’an sama sekali tidak mendapat perhatian karena alat

atau sarana tadi beralih menjadi pokok tujuan.27

24

FKMT Penamas Departemen Agama Dki Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Metode Dakwah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004) hlm 128.

25

Harun Yahya. Misinterpretasi Terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72.

26

Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 123.

27

(32)

Beberapa ahli memberikan pemaparan tersendiri tentang tujuan adanya

cerita-cerita tersebut. Menurut Manna Khalil al-Qatthan tujuan cerita-cerita

tersebut adalah:28

a. Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT dan keterangan

pokok-pokok syariat yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul.

Contohnya dalam surat al-Anbiya: 25









“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku"

b. Memantapkan hati Rasulullah dan umatnya serta memperkuat keyakinan

kaum muslimin.

c. Mengoreksi pendapat para ahli kitab yang suka menyembunyikan

keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan

argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab suci sebelum diubah

mereka sendiri.

d. Lebih meresapkan dan memantapkan keyakinan dalam jiwa.

e. Untuk memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an dan kebenaran

Rasulullah di dalam dakwah dan pemberitaannya mengenai umat-umat

yang terdahulu ataupun keterangan beliau yang lain, dalam surat al-Fath:

27 Allah Berfirman:





















28
(33)

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya,

tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa

Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya

Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan

mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut”

f. Menanamkan pendidikan akhlakul karimah, karena dari keterangan

cerita-cerita yang baik itu dapat meresap ke dalam hati nurani dengan

mudah.

Adapun Shalah Khalidy berpendapat bahwa tujuan cerita-cerita

Al-Qur’an ialah:

a. Agar mereka berpikir (la’allahum yatafakkarun). Al-Qur’an

menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil pelajaran

dari setiap kisah yang diceritakan.

b. Untuk meneguhan hati Rasulullah dan orang-orang mukmin agar

konsisten dalam jalan kebenaran.

c. Pelajaran bagi orang-orang yang berakal.29

Sedangkan menurut Muhammad Said Mursy, penceritaan Alqur‘an dan

para nabi bertujuan sebagai peringatan dan pelajaran bagi seluruh umat.30 Dari beberapa pendapat para pakar yang telah dikemukakan di atas, secara

keseluruhan terdapat kesamaan pendapat antara yang satu dengan lainnya. Di

antara maksud dan tujuan itu yakni:

Pertama, menegaskan bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang nabi

utusan Allah dan bahwa Al-Qur’an yang disampaikannya memang

benar-benar firman Allah yang diwahyukan kepadanya. Kalau bukan karena wahyu

dari Allah bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa menyampaikan

cerita-cerita di dalam Al-Qur’an dalam deskripsi yang sedemikian cermat dan narasi

yang amat indah tanpa ada distorsi dan penyelewengan.31 Firman Allah SWT:

29 Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Dahulu,

(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 28-31.

30

Mursy, op. cit., h.118.

31

(34)







































Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat.

(QS Al-Qashash: 44-46)

Kedua, menegaskan kesatuan agama-agama samawi, yakni seluruh para

nabi menyeru kepada akidah yang satu, yang berasal dari Allah. Tidak ada

perbedaaan pun di antara para nabi dan rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi

Muhammad. Kadang disebutkan sejumlah cerita para nabi dan rasul secara

terhimpun dalam satu surah, dinarasikan dengan gaya yang sangat

mengagumkan, untuk menegaskan kebenaran ini. Tengok misalnya surah

al-Anbiya, di mana cerita-cerita Musa dan Harun, Ibrahim, Luth, Nuh, Dawud,

Sulaiman, Ayyub, Ismail, Idris, dan Dzulkifli disebutkan secara berantai. Lalu

masing-masing disertai dengan sebutan indah, dan diakhiri dengan,

Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah

Tuhanmu, maka tunduk-sembahlah pada-Ku (QS Al-Anbiya: 48-92). Tujuan

(35)

Islam dengan seluruh syariat Ilahiah yang diserukan oleh para rasul dan nabi

keseluruhan, dan bahwa Islam sejatinya pelanjut syariat-syariat tersebut.

Allah berfirman,

































“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau

(Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya

tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah

Aku". (al-Anbiya: 25)

Ketiga, menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi.

Al-Qur’an menegaskan betapa metode dan gaya dakwah para nabi itu satu,

bahwa cara mereka dalam melawan dan menghadapi kaumnya itu serupa, dan

bahwa faktor-faktor, sebab dan fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah

adalah satu.32

Keempat, mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh

para nabi dan tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran.

Serta memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang

akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta

memotifasi mereka agar bersabar dalam berdakwah. Cerita-cerita itu

menjelaskan bahwa orang yang mengingkari kebenaran risalah para nabi akan

bernasib sama seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud,

dan lainnya. Demikian juga para dai yang melanjutkan tugas nabi dan

pengikutnya, diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami

penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para

nabi-Nya di penghujung peristiwa dan mengalahkan kaum pendusta.

Kelima, cerita adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur’an untuk

membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat

32

(36)

mendidik, karena sejak dulu para pendidik mempergunakannya sebagai

sarana untuk mengajarkan akhlak baik, nilai agama, dan etika dengan cara

yang ringan dan menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan

hikmah, nasihat, pelajaran, serta keteladanan.33

3. Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an

Sesungguhnya pada cerita-cerita mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf: 111).

Dari ayat tersebut dapat dipahami betapa cerita-cerita yang ada dalam

Al-Qur’an memiliki faktualitas, kebenaran, hikmah dan pendidikan nilai-nilai

luhur.34 Keempat hal inilah yang membuat cerita-cerita yang ada dalam

Al-Qur’an, berbeda dengan cerita pada umumnya.

Faktualitas, dalam arti bahwa Al-Qur’an menyampaikan

peristiwa-peristiwa, persoalan dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan kehidupan

manusia dan kebutuhan hidup mereka dalam bentangan sejarah kemanusiaan.

Jadi, cerita dalam Al-Qur’an bukan sekedar cerita khayal yang ada di

angan-angan. Penuturan cerita dan peristiwa-peristiwa di dalam Al-Qur’an

bermaksud mengajak untuk “membaca ulang” sejarah kemanusiaan dan

persoalan-persoalan rill yang telah dijalani umat manusia sebelumnya, yang

dengan itu menjadi jelas hal-hal yang baik dari yang buruk, supaya itu semua

dijadikan pelajaran bagi kehidupan yang sekarang dan yang akan datang.

Sehingga umat dewasa ini tidak mengulang apa yang pernah dilakukan

leluhur mereka yang berujung pada penyesalan. Dalam uraiannya, cerita

Al-Qur’an juga memberikan penekanan lebih pada peristiwa, bukan tokoh.

Kebenaran, dalam arti memerhatikan sisi kebenaran dalam menuturkan

peristiwa-peristiwa dan fakta historis yang dihadapi oleh para nabi dan

umatnya dalam kehidupan. Ini berseberangan dengan dongeng-dongeng

33

Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni. (Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155.

34

(37)

bohong, mitos, serta penyimpangan dalam pemahaman yang menghiasi

cerita-cerita para nabi terdahulu dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru.35

Pendidikan nilai-nilai luhur, mungkin inilah salah satu fokus Al-Qur’an,

karena Rasulullah pun diutus untuk meluruskan akhlak manusia. Dalam

Al-Qur’an, cerita dituturkan dengan nuansa akhlak untuk beriman kepada Allah

serta beramal saleh dan berperilaku baik dalam hidup,baik secara pribadi

maupun sosial.

Hikmah, karena di antara tujuan diutusnya para utusan Allah ialah

mengajarkan kitab dan hikmah, sehingga dari cerita-cerita Al-Qur’an orang

dapat mengambil manfaat darinya dalam membuat hidupnya lebih bermakna.

Boleh jadi karena alasan ini Al-Qur’an membatasi diri dalam

mengetengahkan cerita dan peristiwa-peristiwa sejarah, sebatas dengan yang

memiliki kaitan dengan arah dan orientasinya itu sendiri. Tentu ini berbeda

dengan cerita yang disampaikan sebagai hiburan dan kodifikasi kejadian dan

peristiwa-peristiwa bersejarah, sebagaimana ciri khas buku-buku sejarah.36

Itulah keunikan cerita Al-Qur’an yang membuatnya berbeda dengan

cerita lainnya, bukan sekadar pemaparan cerita orang-orang yang telah mati

tetapi tidak membawa makna yang berarti dan kebaikan di dalamnya. Atas

dasar itu, Al-Qur’an disebut ahsan al-qashash, yakni “cerita terbaik” (QS

Yusuf: 3).

a. Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra.

Metode cerita dalam Al-Qur’an berbeda dengan metode cerita dalam

tradisi literer-sastrawi dan humaniora pada umumnya. Gaya bahasa

Al-Qur’an menganut stilistika khithabi (retorikal), bukan kitabi (tulisan atau

buku). Sehingga Al-Qur’an tidak harus menjelaskan persoalan-persoalan

secara teratur dan sistematis, tidak perlu menjelaskan detail-detail,

sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku. Karena itu,

dalam menarasikan cerita, Al-Qur’an tidak perlu terjebak pada kronologi

35

Ibid., h. 35

36

(38)

waktu dan kesinambungan peristiwa. Tetapi, Al-Qur’an bebas bergerak

dan berpindah dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kemudian

kembali mengulang lagi (tijwal) jika memang diperlukan. Malah

terkadang secara terputus-putus dan tidak ada kelanjutannya, karena yang

penting telah menunjukkan inti yang menjadi signifikansi dari cerita

tersebut (bayt al-qashid).

Hal ini dikarenakan posisi Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk.

Karenanya, Al-Qur’an memanfaatkan cerita hanya untuk tujuan hidayah

(petunjuk) tersebut. Karena itu pula, untuk sampai pada tujuan utamanya,

Al-Qur’an membatasi diri pada pemaparan hal-hal yang perlu saja, tanpa

tergoda dengan aspek lain yang tidak berhubungan secara langsung

dengan tujuan asalnya.37

b. Penyampaian Pesan dalam Cerita

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa penyampaian

pesan-pesan agama melalui cerita mempunyai maksud dan tujuan

tersendiri. Karena cerita di dalam Al-Qur’an merupakan suatu metode

untuk mencapai tujuan yakni memberi pelajaran bagi manusia, maka agar

tujuan tersebut berhasil dengan baik, biasanya Al-Qur’an lebih dahulu

menyebutkan kandungan suatu cerita secara umum melalui beberapa kata

secara singkat. Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan secara luas.

Sementara itu jika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan-pesan

penting yang terdapat di dalam suatu cerita, cara yang digunakan adalah

mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi

penolakan maupun pengukuhan isi cerita.

Metode penyampaian pesan melalui cerita dapat dilihat antara lain

ketika Al-Qur’an menceritakan cerita Nabi Yusuf, Musa, Adam, dan

Penghuni Gua (Ashabul Kahfi).38

37

Najati, Op. cit, h. 156.

38

(39)

Ketika bercerita tentang Nabi Yusuf AS., Al-Qur’an memulainya

dengan ayat berbunyi:

Kami menceritakan kepadamu cerita yang paling baik, dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu... (QS Yusuf: 3).

Setelah mengukuhkan kebaikan cerita yang hendak dikemukakan

dan menceritakan secara singkat rangkuman cerita Nabi Yusuf,

Al-Qur’an kemudian menegaskan:

Sesungguhnya terdapat beberapa tanda kekuasaan Allah pada Yusuf dan saudara-saudaranya, bagi orang-orang yang bertanya (QS Yusuf: 7).

Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan cerita Nabi Yusuf secara

deskriptif sampai selesai.

Adapun ketika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan penting di

dalam suatu cerita, digunakannyalah bentuk pernyataan bersifat

menegasikan atau mengukuhkan. Hal ini dapat dilihat antara lain ketika

Al-Qur’an membantah dan membatalkan keyakinan orang-orang yang

mempertuhankan berhala-berhala, di samping mengakui Allah sebagai

Tuhan mereka.39 Al-Qur’an membantah keyakinan tersebut dengan

menegaskan:

Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. (QS Al-Kahfi: 5).

Demikian juga ketika ketika menegaskan kebenaran risalah Nabi

Muhammad SAW; mula-mula Al-Qur’an membantah tuduhan kaum

kafir Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad sesat dan

mengada-ada:

Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. (QS An-Najm: 1-3).

39

(40)

Setelah menegasikan semua tuduhan negatif terhadap diri sang Nabi,

pada jenjang berikutnya barulah Al-Qur’an menyatakan secara terperinci

kedudukan beliau sebagai pembawa wahyu Allah:

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (QS An-Najm: 4-5).

Demikian beberapa contoh pola yang digunakan Al-Qur’an untuk

menyampaikan pernyataan penting di

Referensi

Dokumen terkait

 Konsep desain adalah proses pemeriksaan teknologi yang bersaing untuk menghasilkan suatu produk.  Parameter desain mengacu pada pemilihan faktor kontrol dan penentuan

Pengenalan Pola menggunakan fungsi Kernel Quadratic dengan rasio 90 : 10 menunjukan bahwa untuk data uji suara asli tanpa noise, algoritma SMO menghasilkan keakuratan

Kepala Instalasi Laboratorium klinik ( Dokter Spesialis Patologi Klinik) mengusulkan alat Kepala Instalasi Laboratorium klinik ( Dokter Spesialis

Dari guru dan kepala sekolah diperoleh informasi bahwa siswa sangat tertarik dengan bahasa Inggris karena mereka mendapat semangat dari orangtuanya yang menganggap

Data tes bakat diperoleh dari 7 item tes yang terdiri dari tes antropometri meliputi: tinggi badan dan berat badan dan tes fisik meliputi: kelentukan, kekuatan,

pembelajaran menulis, salah satunya dalam penelitian sebelumnya metode STAD digunakan dalam jurnal berjudul “Penerapan Metode Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada

Beberapa manfaat bersepeda disampaikan oleh Oja et al., (2011), diantaranya adalah : 1) Kegiatan mengayuh pada bersepeda menyebabkan tidak tertekannya lutut oleh karena

Şiirlerini yazdığı dönemde hiçbir akıma dâhil olmayıp “sıradışı” ya da “garip” unvanını almış olan Asaf Hâlet Çelebi, günümüzde de bu niteliği ile