• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan al-Tusi terhadap ayat-ayat hukum dalam tafsir al-tibyan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pandangan al-Tusi terhadap ayat-ayat hukum dalam tafsir al-tibyan"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh: BIER JANNAH

105034001236

PROGRAM ST U DI T AFSI R H ADI S

FAK U LT AS U SH U LU DDI N DAN FI LSAFAT

U N I V ERSI T AS I SLAM N EGERI

SY ARI F H I DAY AT U LLAH

J AK ART A

(2)

AL-TIBYÂN” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi Tafsir Hadis.

Ciputat,17 Juni 2010 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. M. Suryadinata, M.Ag Rifqi Muhammad Fathi, M.A (19600908 198903 1 005) (1977012 200312 1 003)

Anggota

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.Ag Drs. A. Rifqi Mukhtar, MA

(19711003 199903 2 001) (19690822 199703 1 002)

(3)
(4)

Muhammad saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul“PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN.”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan, dan kontribusi dari banyak pihak. Ucapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga, penulis haturkan kepada yang teristimewa Papi dan Mami tersayang. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

2. Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis khususnya dalam bidang hadis.

3. Rifqi Muhammad Fathi, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

4. Dr. Suryadinata, M.A., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah membimbing penulis dan memberikan banyak masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada Program Studi Tafsir Hadis (TH) atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman

(5)

Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama.

7. Papi dan Mami tercinta yang selalu menjadi Inspirasi dan mendampingi penulis lewat doa-doanya, yang telah merawat penulis dengan kelembutan dan cinta kasihnya, serta selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

8. Untuk Keluargaku, dr Anas, dr Erna, Erni, Alfi, Atul, Habibie, Raya yang selalu memberi support. Keceriaan dan keusilan kalian yang membuat semangat. Makasih ya…

9. Keponakanku Juan, Radja, Daffa, Sultan, Jela, Ghia, Azka, Ihkam yang selalu bikin semangat dan Bahagia. Cinta sayang kalian…

10.Laode Muhammad Aswin yang telah memberikan dukungan, semangat, dan selalu sabar dalam menghadapi penulis.

11.Seluruh teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2005. (Ulfah, Sasha, Nophy, Ziah, Sri, Amar, Zulkarnain, Muhsin, Ummi, Nouval, Day, Afif, Hadi, Hafid, Irfan, Lukman, Sahid, Suryadi, Syamsul, Wasih, Tezar, dan Yasir…). Makasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun.

12. Dan pihak-pihak yang telah membantu penulis, tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga Allah swt. membalasnya.

(6)

iv

menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis sebagai manusia. Oleh karena itu, mohon saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis berharap semoga Allah swt. memberikan balasan yang lebih baik kepada semua pihak pada umumnya.

Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar, semoga skripsi ini bermanfaat untuk para pembaca, dan semoga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah swt.. Hanya kepada Allah penulis memohon, semoga jasa baik yang kalian sumbangkan menjadi amal shaleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah swt.. Amin…

(7)

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah... 7

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

F. Metodologi Penelitian... 8

G. Sistematika Penulisan... 11

BAB II RIWAYAT HIDUP AL-TÛSÎ... 13

A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karirnya ... 13

B. Karya Ilmiah al-Tûsî... 15

1. Kitab al-Tahdzîb ... 15

2. Kitab al-Istibsâr ... 16

3. Kitab al-abwâb... 16

4. Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’an ... 16

C. Profil Tafsir al- Tibyân... 17

1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan ... 17

(8)

BAB III METODE DAN PRINSIP AL-TÛSÎ DALAM

MENAFSIRKAN AL-QUR’AN... 26

A. Metode Penafsiran Al-Tûsî ... 26

B. Prinsip Penafsiran Al-Tûsî ... 29

1. Al-Qur’an mempunyai makna zahir dan makna batin... 29

2. Hakikat Muhkamat dan Mutasyabihat... 33

3. Ta’wil yang Hakiki dalam al-Qur’an... 37

4. Al-Qur’an dan Nasikh - Mansukh ... 42

BAB IV PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN... 45

A. Hukum Ibadah ... 45

1. Shalat Qasar ... 45

2. Shalat Jama’ ... 46

3. Shalat Jum’at... 47

4. Puasa ... 48

5. Wudhu’... 49

6. Zakat dan Khûmus ... 50

B. Hukum Mu’amalah... 52

1. Nikah Mut’ah ... 52

2. Riba’... 55

(9)

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran-saran... 63 DAFTAR PUSTAKA ... 64

(10)

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts te dan s

ج J Je

ح H ha dengan garis di bawah

خ Kh ka dan ha

د D De

ذ Dz de dan zet

ر R Er

ز Z Zet

س S Es

ش Sy es dan ye

ص S es dengan garis di bawah

ض D de dengan garis di bawah

ط T te dengan garis di bawah

ظ Z zet dengan garis di bawah

ع ‘ koma terbalik ke atas dengan menghadap ke

kanan

(11)

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

هـ H Ha

ء Apostrof

ي Y Ye

Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

أ A Fathah

إ I Kasrah

أ U ḏammah

Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

أي Ai a dan i

أو Au a dan u

(12)

x

يإ Î i dengan topi di atas

ﻮأ Û u dengan topi di atas

Ta Marbūtah

No Kata Arab Alih Bahasa

1 ﺔﻴﻗﺮﻄ Tarîqah

2 ﺔﻤﻴﻼﺴﻹاﺔﻌ ﺎﻤﺠاﻠ al-jâmi’ah al-islâmiyyah

(13)

DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah firman Allah yang dibawa oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Secara istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah yang menjadi mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir dan dinilai ibadah ketika membacanya.1 Ia merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menduduki peringkat teratas, serta seluruh ayat-ayatnya berstatus qat‘iy al-wurûd yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah swt.2 Dengan demikian, autentisitas serta orisinalitas Al-Qur’an benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena ia merupakan wahyu Allah swt, baik dari segi lafaz maupun dari segi maknanya.3

Dalam tradisi pemikiran Islam, Al-Qur’an telah melahirkan sederatan teks turunan yang demikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan tersebut merupakan teks kedua yang menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di dalamnya. Teks kedua ini dikenal sebagai literatur tafsir Al-Qur’an

1Amir ‘Abd al-‘Aziz,

Dirâsât fi ‘Ulûmal-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Furqân, 1983), h. 10. Lihat juga Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran Antara Tafsir Sunni dan Tafsir Syi‘i Terhadap Lafaz-Lafaz Musytarak Lafdzi Dalam Al-Qur’an, selanjutnya dinamai Perbandingan Penafsiran, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 1.

2‘Abd al-Wahâb Khallâf,

‘Ilm Usûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1968), cet. ke- 8, h. 21.

3‘Abd al-Wahhâb Khallâf,

‘Ilm Usûl al-Fiqh,h. 23.

(14)

yang ditulis oleh para ulama dengan kecenderungan dan karateristik masing-masing.

Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an memiliki susunan indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui oleh sastrawan Arab. Mereka melihat, bahwa Al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz Arab, akan tetapi ia bukan puisi, prosa, atau sya’ir. Bahasa atau kalimat-kalimat Al-Qur’an merupakan kalimat-kalimat yang menakjubkan yang berbeda dengan kalimat-kalimat selain Al-Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang nyata. Ia merupakan wahyu Allah yang mempergunakan berbagai macam bentuk redaksi. Redaksi yang dipergunakan tersebut merupakan salah satu kemukjizatan yang dimilikinya.4

Sehubungan dengan hal itu, manusia dituntut agar berusaha mencurahkan segala potensi insaninya untuk menggali isi kandungan Al-Qur’an melalui penafsiran terhadap lafaz-lafaznya. Hasil usaha manusia dalam memahami dan menjelaskan makna serta maksud firman Allah swt tersebut dikenal dengan istilah tafsir.

Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman. Tanpa tafsir, seorang muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Allah swt yang terkandung dalam Al-Qur’an.

4 Mutawalli Sya‘rawi,

(15)

Upaya penafsiran Al-Qur’an telah berjalan sejak kitab suci ini masih diturunkan kepada Rasulullah saw. Dialah orang pertama yang menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw wafat, maka usaha penafsiran Al-Qur’an dilanjutkan oleh para sahabat, kalangan ulama tabi’in dan seterusnya hingga generasi umat Islam berikutnya.5

Tafsir merupakan suatu kajian ilmiah yang sangat luas. Ia memiliki berbagai macam segi dan makna. Seorang mufasir hanya mampu menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan hak otoritas keilmuannya. Dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh seorang mufasir tersebut, maka lahirlah suatu tafsir yang mempunyai kecenderungan terhadap bidang-bidang tertentu sebagai indikator adanya spesialisasi para mufasir itu sendiri. Berdasarkan kondisi seperti ini, maka aliran teologi, mazhab dalam fiqh dan aliran tasawuf yang dianut oleh mufasir, sangat berpengaruh terhadap cara penafsiran mereka. Dengan demikian, lahirlah tafsir-tafsir yang bercorak teologi, hukum, tasawuf, dan lain-lain.6

Sejalan dengan minat dan semangat kaum muslimin untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al-Qur’an, maka upaya penafsirannya terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf pada masa sekarang. Pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, pemahaman dan penafsiran terhadap Al-Qur’an, tidaklah mendapat suatu kesulitan. Hal ini disebabkan karena segala persoalan dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah saw. Dalam

5 Abdul Azis Teo,

Perbandingan Penafsiran, h. 6.

6 Lihat Abdul Azis Teo,

(16)

perkembangan selanjutnya, ketika Islam semakin menyebar dan meluas, maka semakin banyak pula tantangan dan permasalahan yang timbul.

Salah satu di antara permasalahan yang timbul pada masa perluasan dan penyebaran Islam adalah tragedi suksesi kekhalifaan ‘Usman r.a kepada ‘Ali r.a yang diwarnai dengan persaingan politik. Peristiwa tersebut mengakibatkan munculnya berbagai aliran dalam Islam serta menimbulkan penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan corak dan warna serta latar belakang doktrin aliran masing-masing. Setiap kelompok mengklaim bahwa pendapat dan keyakinannyalah yang Qur’ani, walaupun pendapatnya tersebut hanya berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an saja.

Di antara corak dan warna penafsiran Al-Qur’an yang muncul sebagai akibat dari peristiwa tersebut adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Syi’i dan ulama Sunni. Ulama Syi’i berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kapasitas mereka sebagai ahlul bait. Di antara mereka banyak muncul ulama dan mufasir yang terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut antara lain, Syi’i Zaidiyah, Ismailiyah, Bathiniyyah, Nizariyah, Musta’liyah, Duquqiyah, Muqanna’ah, Isnâ ‘Asyariyah, dan lain-lain.7

7 Syi’ah adalah golongan atau pengikut Ali bin abi Thalib. Aliran yang dianut oleh

(17)

Sementara itu, ulama Sunni juga berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka. Mereka berpedoman pada keyakinannya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, kedua aliran mufasir (Sunni-Syi’i) tersebut memiliki banyak perbedaan dan persamaan, baik dalam masalah aqidah, hukum, mu‘amalah, dan lain-lain. Kedua aliran mufasir ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan pemahamannya masing-masing.

Al-Tûsî merupakan salah seorang mufasir Syi’i yang pertama kali menafsirkan Al-Qur’an di kalangan Syi’i secara menyeluruh. Ia juga merupakan mufasir Syi’i yang mempelopori penolakan pandangan akan penambahan dan pengurangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dianut oleh sebahagian mufasir Syi’i sebelumnya. Dalam menafsirkan Qur’an, al-Tûsî bersumber pada Al-Qur’an itu sendiri, penafsiran Nabi saw, pandangan imam ahlul bait, serta hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya.

Tafsir al-Tibyân merupakan tafsir yang paling monumental dan berpengaruh di kalangan Syi’i. Banyak mufasir Syi’i yang menjadikan tafsir al-Tibyân ini sebagai rujukan utama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah al-Tabarsî dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, al-Taba’tabai dengan tafsirnya al-Mîzân, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga banyak mencontoh metode dan sistematika al-Tûsî dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

(18)

Tafsir al-Tibyân yang disusun oleh al-Tûsî merupakan tafsir Syi’i pertama yang moderat. Hal ini disebabkan karena al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an, selain mengambil riwayat-riwayat dari imam ahlulbait, ia juga mengambil riwayat para sahabat yang bukan Syi’i. Tafsir ini memiliki kesamaan dengan jumhur ahli tafsir, kecuali dalam masalah riwayat imam yang disejajarkan dengan nabi. Dalam tafsir ini pula, al-Tûsî menempatkan riwayat-riwayat imam di atas periwayatan para sahabat. Adapun di antara alasannya adalah karena para imam mendapatkan riwayat dari Ali r.a dan Ali mendapatkannya langsung dari Rasulullah saw.

Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, al-Tûsî juga tetap menempatkan riwayat imam ahlulbait di atas periwayatan para sahabat lainnya, dan apabila riwayat-riwayat para sahabat yang bukan Syi’i tersebut bertentangan dengan riwayat imam ahlulbait, maka riwayat tersebut tidak dipakai oleh al-Tûsî.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merasa terpanggil guna berperan aktif mencoba meneliti “Pandangan al-Tûsî Terhadap Ayat-Ayat Hukum Dalam Tafsir Al-Tibyân”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka identifikasi masalah yang penulis teliti dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan hukum ibadah;

(19)

3. Bagaimana prinsip al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an; 4. Bagaimana metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an;

5. Apa yang menjadi sumber al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an;

6. Bagaimana pendapat al-Tûsî terhadap para sahabat selain ahlul bait yang menafsirkan Al-Qur’an.

1. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalaha pada hukum ibadah, hukum mu‘amalah, dan Bagaimana prinsip dan metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan pokok yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana metodologi penfsiran al-Tûsî dan bagaimana pandangannya terhadap ayat-ayat ahkam dalam tafsir Al-Tibyân.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dari serangkaian penelitian dan penulisan skripsi ini, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisa secara mendalam tentang penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an.

(20)

3. Untuk mengkaji metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk pengembangan ilmu lebih lanjut dan lebih mendalam.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi umat Islam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ayat-ayat hukum.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi umat Islam dalam memahami penafsiran al-Tûsî sebagai mufasir Syi’i. 4. Penulis dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai dorongan dalam

mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.

D. Metodologi Penelitian

Ada dua aspek metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1) Metode Pengumpulan Data

(21)

mushaf al-Qur’ân al-Karîm yang diterbitkan oleh Dâr al-Salâm, (Kairo: cet. ke-1, 1994). Dan kitab tafsir al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur'an oleh al-Tûsî (w. 460 H).8.

Sedangkan sumber sekunder, yaitu: kitab ‘ulûm al-Qur’an, baik dari Sunni maupun Syi’i yang dianggap representatif mewakilinya. Adapun di antara kitab yang penulis pergunakan dalam membahas tentang metode dan prinsip penafsiran al-Tûsî adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur'an fi al-Islâm oleh al-Taba’tabai. b. Shi'te Islam oleh al-Tabâ’tabâi.

c. A‘yân al-Syi‘ah oleh Sayyid Muhsin al-Amin.

d. Haqîqah al-Syî‘ah oleh Abdullah bin Abdullah al-Musuli. e. Al-Tafsîr wa Manâhijuh oleh Mahmud Basuni Auda' (Sunni).

f. Ma‘a al-Syi‘ah al-Isnâ ‘Asyariyyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ Dirâsah Muqâranah fî al-‘Aqâ‘id wa al-Tafsîr oleh ‘Ali Ahmad al-Salus (Sunni). g. Al-Syi‘ah Isnâ ‘Asyariyyah wa Manhajuhum fî Tafsîr Qur'an

al-Karîm oleh Muhammad Muhammad Ibrahim al-‘Assal.

h. The Shiites: Ritual and Populer Piety in a Muslim Community oleh David. 2. Metode Pembahasan

Dalam penulisan pembahasan skripsi ini, penulis mempergunakan pendekatan ilmu tafsir. Hal ini disebabkan karena obyek studinya adalah ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam ilmu tafsir dikenal empat metode penafsiran Al-Qur’an, yaitu:

8Untuk mengetahui alasan penulis terhadap pemilihan akan kitab tafsir tersebut dapat

(22)

tahlili,9 metode ijmâli,10 metode muqârin,11 dan metode maudu’i.12 Keempat metode ini diterapkan oleh para mufasir Sunni dan mufasir Syi’i. Adapun dalam kajian ini, penulis menggunakan metode ijmâli dan maudu’i. Hal ini disebabkan karena kajian skripsi ini menyangkut penafsiran al-Tûsî tentang ayat-ayat hukum.

Kemudian, penulis juga menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan atau memaparkan secara umum mengenai penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat hukum dan menganalisanya dengan cara mengumpulkan dan menginterpretasikan data yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005/2006.

9Tafsir metode

tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an Mushaf ‘Ustmani. Lihat Zahir ibn Awad al-Alma‘i, Dirâsât fi Tafsir al-Maudhu‘i li Al-Qur’ân al-Karim, (Riyadh: tp, 1984), h. 18.

10Tafsir metode

ijmâli adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Melalui metode ini, mufasir menjelaskan makna-makna ayat-ayat Qur’an secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surat-surat Al-Qur’an. Lihat ‘Abd al-Hay al-Farmawi, selanjutnya disebut al-Farmawi, Bidâyah fi Tafsir al-Maudhu‘i: Dirâsât Manhajiyyah Maudhû‘iyyah, selanjutnya disebut al-Bidâyah, (t.tp: tp, 1977), h. 23.

11Tafsir

muqârin adalah tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparasi). Objek kajiannya terdiri dari tiga macam, yaitu: pertama, perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain; kedua, perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadis; ketiga, perbandingan mufasir dengan mufasir lainnya. Lihat al-Farmawi, al-Bidâyah, h. 45.

12Secara semantik, tafsir

(23)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang global tentang isi skripsi ini, maka berikut dikemukakan isi dari skripsi dalam garis-garis besarnya. Skripsi ini terbagi dalam lima bab yang masing-masing utuh dan integral sekaligus mendukung kesimpulan yang diketengahkan.

Bab I berupa pendahuluan. Bab ini harus diletakkan pada awal skripsi, karena ia berisi tentang hal-hal yang akan memberikan gambaran umum dari penelitian ini. Bab ini dibagi dalam sub-sub bagian yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Pada bab II, penulis akan membahas tentang latar belakang al-Tûsî. Pembahasan ini mutlak dimasukkan untuk mengemukakan perjalanan ilmiah dari penulis tafsir al-Tibyân. Dalam bab ini, penulis membaginya dalam sub-sub bagian yang menjelaskan tentang latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan dan karirnya, karya ilmiah al-Tûsî, serta profil tafsir al-Tibyân.

Pada bab III, penulis akan menguraikan tentang metode dan prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pembahasan ini mutlak dimasukkan untuk mengetahui cara penafsiran al-Tûsî terhadap Al-Qur’an. Pada bab ini, penulis menguraikan tentang metode dan prinsip al-Tûsî terhadap penafsiran Al-Qur’an dalam hal muhkam dan mutasyabih, zahir dan batin, ta'wil, serta nasikh dan mansukh.

(24)

ayat-ayat hukum. Pembahasan ini merupakan inti penelitian dari skripsi ini. Dalam bab ini, penulis mengklasivikasikan penafsiran al-Tûsî tersebut ke dalam sub-sub bagian yang meliputi penafsiran bidang hukum ibadah dan hukum mu‘amalah.

(25)

A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karirnya

Nama lengkap al-Tûsî adalah Syaikh Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali Tûsî dan dalam perjalanan hidupnya dikenal dengan sebutan Syekh al-Tûsî. Ia dilahirkan di Tus (Khurasan) pada bulan Ramadhan tahun 385 H. Syekh al-Tûsî pertama kali menerima pendidikannya di Iran. Ketika berumur 23 tahun (408 H), ia pergi ke Irak dan menetap di Baghdad. Pada masa itu, Baghdad di bawah pemerintahan dinasti Abbasyiah dan menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Baghdad adalah pusat peradaban dan para sarjana serta kaum intelektual dunia berdatangan ke kota itu untuk menuntut ilmu.

Sosok terkemuka yang hidup di Baghdad ketika al-Tûsî berada di kota tersebut adalah Syekh Mufîd yang tinggal di lingkungan kaum Syi’ah di Karkah sebuah tempat elit dan kaya raya. Syekh Mufîd merupakan sosok yang memiliki pengaruh dan terhormat di masyarakat. Ia seorang intelektual yang berpengetahuan luas dan mendalam tentang segala bidang kehidupan. Dia juga seorang penyair dan kritikus kesusastraan. Pada syekh Mufîd inilah, al-Tûsî memulai pelajarannya. Al-Tûsî masuk dan belajar pada kelas yang diselenggarakan oleh Syekh Mufîd.1

Syekh al-Tûsî belajar di bawah bimbingan Syekh Mufîd selama lima tahun. Selama itu, ia tidak pernah mengabaikan pelajaran gurunya walaupun

1

Muhammad Ja‘far, Al-Ishtibshâr, (Teheran: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 390 HQ), h. 45-48.

(26)

sesaat. Dia juga mengikuti pelajaran yang diberikan para sarjana lainnya, seperti Ibnu Abu Junaid al-Baghdadi, Ibn Sultan Ahwazi, Abdullah Ghazairi, dan Ibnu Abduh. Al-Tûsî belajar dari para sarjana tersebut tentang ilmu hukum Islam dan ilmu periwayatan hadis.

Pada usia 25 tahun, Syekh al-Tûsî menulis sebuah uraian tentang karya Syekh Mufîd yang berjudul al-Muqnâ. Al-Muqnâ adalah sebuah buku tentang ilmu hukum agama. Kitab ini berisikan kumpulan hadis-hadis Syi’ah. Kitab ini pula yang banyak memberikan inspirasi kepada al-Tûsî dalam menyusun karya-karyanya.

Syekh al-Tûsî merupakan sosok yang cerdas dan sangat mengagumkan. Ia memiliki prestasi yang sangat luar biasa. Gelar yang dianugerahkan kepadanya adalah gelar yang layak didapatkan oleh seorang pakar yang usianya sudah tua. Ia belajar pada berbagai syekh yang ternama ketika itu, terutama Syekh Mufîd. Setelah Syekh Mufîd meninggal dunia, al-Tûsî belajar di bawah bimbingan

seorang fâqih Syi’i (Muhammad bin Nu‘man) yang terkenal dengan sebutan

Sayyid al-Murtadhâ. Ia hidup bersama Syaikh Muhammad bin Nu‘man selama 13 tahun. Dari Sayyid Murtadâ ini, al-Tûsî belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan Syi’ah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya.

(27)

untuk menimba ilmu agama. Syekh al-Tûsî juga mendirikan perguruan tinggi agama pertama di Najaf.

Di kalangan Syi’i, al-Tûsî termasuk ulama besar yang paripurna dan mujtahidnya kaum muslimin. Hampir semua rujukan Syi’i berujung padanya dan dalam masa yang lama, kaum Syi’i memandang bahwa hadis-hadis yang diriwayatkannya dijadikan sebagai prinsip-prinsip yang mereka terima secara utuh.2 Ia adalah seorang yang jujur, faqîh, berpengatahuan luas, ahli dibidang usûl, ilmu kalam, ilmu hadis, dan lain-lain. Ia terkenal dengan sebutan Syaikh al-Tâifah yang terus menerus memberikan pelajaran dan menulis sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada tahun 460 H dalam usia 75 tahun.

B. Karya Ilmiyah Al-Tûsî

Imam al-Tûsî merupakan mufasir yang produktif. Ia banyak melahirkan karya-karya yang sangat bermanfaat, diantaranya:

1. Kitab al-Tahdzîb

Kitab ini berisikan kumpulan dari 13.590 hadis. Pada permulaan buku ini, al-Tûsî menuliskan tentang hadis-hadis menurut riwayat Syi’ah kemudian menguraikan tentang penolakan-penolakan golongan Ahli Sunnah terhadap hadis tersebut. Penjelasan hadis-hadis tersebut juga sekaligus merupakan penjelasan kritikan terhadap riwayat-riwayat dalam kitab-kitab golongan Ahli Sunnah yang dianggap bertentangan.

2

(28)

Dalam kitab ini pula, al-Tûsî menjawab penolakan-penolakan golongan Ahli Sunnah terhadap hadis-hadis Syi’ah. Dalam penolakannya, al-Tûsî menjelaskan bahwa keragu-raguan dari golongan Ahli Sunnah hanyalah membuai mereka yang kurang sempurna pengetahuannya dan mereka yang tidak mampu memahami arti kalimat-kalimat hadis dari berbagai sudut. Maka dari itu, mereka tidak mampu untuk memahami jenis perbedaan-perbedaan. 2. Kitab al-Istibsâr.

Kitab ini membahas sebanyak 5511 hadis. Kitab ini merupakan kumpulan dari hadis-hadis Syi’ah. Kita ini merupakan kitab yang dijadikan sebagai salah satu rujukan utama dari kalangan Syi’ah. Kualitas kitab ini berada satu tingkat di bawah kitab al-tahdzîb. Kedua kitab ini dipandang sebagai sumber-sumber yang tidak tertandingi dalam masalah fiqh dan termasuk dalam empat kitab fiqih yang menjadi tumpuan kajian kaum Syi’i Isnâ ‘Asyariyyah.

3. Kitab al-abwâb

Dinamakan dengan al-abwâb karena kitab tersebut tersusun dari urutan-urutan bab sebanyak bilangan sahabat Nabi Muhammad saw dan sahabat dari tiap-tiap dari para imam yang dua belas. Kitab ini juga membahas tentang prinsip-prinsip akidah, membahas masalah tauhid, dan masalah keadilan. 4. Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’an, dan lain-lain.

Kitab ini merupakan penafsiran seluruh ayat Al-Qur’an mulai dari al-Fâtihah sampai dengan al-Nâs. Kitab-kitabnya tersebut memenuhi perpustakaan-perpustakaan Syi’i, sehingga nama beliau menjulang tinggi.

(29)

C. Profil Tafsir al-Tibyân

1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan

Tafsir al-Tibyân merupakan kitab tafsir lengkap paling awal di kalangan kaum Syi’i Isnâ ‘Asyariyyah. Hal ini diisyaratkan sendiri oleh al-Tûsî dalam muqaddimah Tibyân. Kitab tafsir ini pertama kali dicetak di kota Najaf al-Asyraf dan saat ini telah beredar di beberapa negara. Dalam penulisan kitab tafsirnya ini, al-Tûsî selain mengambil riwayat dari imam-imam Syi’i, juga mengambil riwayat-riwayat dari imam Bukhari dan Muslim. Dalam tafsir ma’tsûr-nya, terdapat riwayat dari jalur ‘Aisyah dan Abu Hurairah.

Adapun tujuan penulisan tafsir al-Tibyân adalah seperti yang dikemukakan oleh al-Tûsî dalam muqaddimah al-Tibyân-nya:

“Tujuan kitab ini adalah untuk mengetahui makna-makna Al-Qur’an dan ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Adapun pembicaraan tentang adanya penambahan dan pengurangan di dalamnya, maka tidaklah patut untuk dikemukakan. Hal ini disebabkan karena telah terdapat kesepakatan ( ijmâ‘ ), bahwa isu tentang adanya penambahan atau kekurangan dalam Al-Qur’an adalah isu yang batil serta jelas ditentang oleh semua mazhab kaum muslimin. Isu tersebut juga tidak sejalan dengan pandangan yang sahih dari mazhab Syi’i. Seandainyapun isu tentang adanya pengurangan dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu memang ada, ia tidaklah dapat menggoyahkan kandungan Al-Qur’an”.3

Selain itu, al-Tûsî juga mengatakan: “Ketahuilah telah jelas dari khabar-khabar sahabat kita bahwa penafsiran Al-Qur’an tidak boleh dilakukan kecuali

dengan atsar yang sahih dari Rasulullah saw dan juga dari para imam r.a.

Perkataan imam adalah hujjah bagaikan perkataan nabi saw, dan bahwa penafsiran yang berdasarkan akal itu tidaklah boleh”. Menurut ia, bahwa dalam firman Allah swt. dan sabda Rasul-Nya tidak akan ada perselisihan dan pertentangan. Hal ini

3

(30)

didasarkan pada firman Allah swt yang terdapat dalam surat Ibrâhîm/14: 4:

ْ ﻬ

ﻴ ﻴ

ﻪ ْﻮﻗ

نﺎﺴﻠ

ﻻإ

لْﻮ ر

ْ

ﺎ ْﻠ ْرأ

ﺎ و

“Kami tidak mengutus rasul seorangpun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”.

2. Metode Penafsirannya

Dalam tafsir al-Tibyân, al-Tûsî menempuh metode tahlili dengan membagi

pembahasannya dalam tujuh bahagian. Setiap bahagian dimulai dengan sebuah ayat Al-Qur’an atau lebih kemudian dilanjutkan dengan pembahasan beberapa topik masalah satu demi satu. Pembahasan topiknya dimulai dengan pembahasaan qira’at, lalu dilanjutkan dengan argumentasi ( hujjah ), bahasa, nuzum (urutan), nuzûl, i‘râb, lalu diakhiri dengan makna ayat. Al-Tûsî sangat ahli dalam setiap bahagian tersebut. Dalam membahas makna-makna lughawi dari setiap kata, pembahasannya sangat mendalam, keterangannya sangat jelas dalam menjelaskan ayat-ayat yang mujmal, serta apabila ia membahas tentang asbab nuzul keterangan-keterangan yang diberikannya sangat jelas dan mencapai sasaran.

(31)

3. Pandangan al-Tûsî dalam Tafsir al-Tibyân

Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Tûsî menjelaskan bahwa makna-makna

Al-Qur’an itu mempunyai empat bahagian, yaitu:4

a. Bagian yang hanya Allah swt saja yang mengetahui akan makna-maknanya. Di antara contoh ayat yang termasuk dalam bahagian ini adalah surat al-A‘râf/7: 187:

ﻮهﻻإ

ﺎﻬ ْﻗﻮ ﺎﻬْﻴﻠﺠ ﻻ

ر

ﺪْ

ﺎﻬﻤْﻠ

ﺎﻤ إ

ْ ﻗ

ﺎﻬ ْﺮ

نﺎ أ

ﺔ ﺎﺴ ا

ﻚ ْﻮ ﺄْﺴ

“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: Bilakah terjadinya ? Katakanlah: sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia”.

b. Ayat yang Zahir-nya sesuai dengan maknanya.

Pada bagian ini, setiap orang yang mengerti dan menguasai bahasa Arab serta dapat berdialog dengan bahasa tersebut, maka ia akan mengetahui makna Al-Qur’an. Di antara contohnya adalah surat al-An‘âm/6: 151:

ا

ْ ا

اْﻮﻠ ْ

ﻻو

ﺤْﺎ

ﻻإ

ﷲا

مﺮ

“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar”.

c. Bagian yang global yang Zahir-nya tidak menunjukkan rinciannya. Di antara contohnya adalah surat al-Baqarah/2: 43:

ْﻴﻌآاﺮ ا

اْﻮﻌآْراو

ةﻮآﺰ ا

اْﻮ اءو

ةﻮﻠﺼ ا

اْﻮﻤْﻴﻗأو

4

(32)

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.

Ayat tersebut hanyalah menerangkan tentang perintah melaksanakan shalat, dan zakat. Adapun tentang rincian jumlah shalat dan jumlah rakaatnya, rincian syarat-syarat dan ukuran nisab zakat tidak mungkin untuk diketahui kecuali melalui keterangan dari Rasulullah saw.

d. Lafaz Al-Qur’an memiliki makna ganda atau lebih.

Pada bahagian ini, setiap satu makna dari sebuah lafaz memiliki kemungkinan benar dan makna yang dimaksud. Pada bahagian ini pula, seseorang tidak boleh untuk mengedepankan salah satu kemungkinan dari makna suatu lafaz, kecuali apabila hal tersebut dikatakan oleh nabi atau imam yang ma‘sum. Pada saat demikian, seseorang harus mengambil sikap bahwa dari zahir-nya, suatu lafaz mengandung beberapa kemungkinan, dan setiap dari kemungkinan tersebut terbuka untuk menjadi makna yang dimaksud secara terperinci.

Apabila sebuah lafaz memiliki makna ganda atau lebih kemudian di dukung dengan sebuah dalil yang menegaskan bahwa makna yang dimaksud adalah hal tersebut, maka pada saat itu boleh dikatakan bahwa itulah makna yang dimaksud.

Selain itu, pandangan lain dari al-Tûsî yang menarik untuk dijelaskan dalam tafsir al-Tibyân ini adalah sebagai berikut:

a. Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pertama setelah Rasulullah

(33)

riwayat-نْﻮﻌآار

ْ هو

ةﻮآﺰ ا

نْﻮ ْﺆ و

ةﻮﻠﺼ ا

نْﻮﻤْﻴ

ْﺬ او

اْﻮ اء

ْﺬ او

ﻪ ْﻮ رو

ﷲا

ﻜﻴ و

ﺎﻤ إ

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.

Dalam menafsirkan kata اْﻮ اء ْﺬ او tersebut, al-Tûsî mengerahkan segala kemampuannya untuk menjadikan ayat di atas sebagai dasar bagi ke-imam-an Ali r.a. Dalam tafsir al-Tibyân, al- Tûsî menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan perbuatan Ali r.a yang ketika itu beliau menyedekahkan cincinnya sementara beliau sedang ruku’. Al- Tûsî mengatakan bahwa:

(34)

b. Semua imam Syi‘i adalah ma’sûm.

Di antara prinsip pokok kaum Syi‘i adalah pendapat mereka tentang ‘ismah para imam. Mereka memandang bahwa para imam Syi‘i yang dua belas itu seperti para nabi Allah SWT yang tidak mungkin mereka terjatuh dalam kesalahan. Al- Tûsî dalam tafsir al-Tibyân berupaya menguatkan pendapat tentang ‘ismah ini dengan jalan pen-ta’wil-an ayat-ayat Allah SWT sesuai dengan riwayat-riwayat para imam dengan menundukkan ayat-ayat tersebut agar sesuai denga keyakinan mazhabnya. Demikianlah mengenai firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah/2: 124:

ﻤ ﺄ

ﻤﻠﻜ

ﻪ ر

ْﻴهاﺮْإ

ﻰﻠ ْاذإو

ﺎً ﺎ إ

سﺎ ﻠ

ﻚﻠ ﺎﺟ

ﻰ إ

لﺎﻗ

لﺎ

لﺎﻗ

ﻰ رذ

ْ و

لﺎﻗ

ْﻴﻤﻠﻈ ا

ىﺪْﻬ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".

5

(35)

Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".

Setelah menjelaskan ayat ini dari segi bahasa dan gramatikanya, al- Tûsî menjelaskan bahwa berdasarkan ayat-ayat tersebut, sahabat-sahabat kita berdalil bahwa imam itu mestilah ma‘sûm dari keburukan-keburukan. Hal ini disebabkan karena Allah SWT tidak memberlakukan janji-Nya ( imamah ) bagi orang yang zalim. Seseorang yang tidak ma‘sûm pastilah seorang yang zalim yang dapat terjadi pada dirinya sendiri maupun zalim terhadap orang lain. Al- Tûsî juga menjelaskan bahwa ayat tersebut tidaklah berarti bahwa janji Allah SWT itu tidak berlaku bagi seseorang yang sedang berada dalam keadaan zalim saja atau berlaku apabila ia telah bertaubat saja. Ayat tersebut menurutnya wajib dipahami sebagai sesuatu yang menyangkut keumuman waktu dan bahwa janji Allah SWT itu tetap tidak berlaku bagi seseorang yang pernah melakukan kezaliman sekalipun ia telah bertaubat. Selain itu, al-Tûsî juga beragumentasi bahwa jabatan imamah itu bertalian dengan jabatan kenabian. Hal ini disebabkan karena Allah SWT berbicara kepada nabi Ibrahim a.s tentang masalah imamah tersebut dalam kedudukan beliau sebagai seorang nabi.6

D. Al-Tûsî dan Fiqh Syi’ah

Kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah mempunyai fiqh tersendiri yang dinamai dengan fiqh Ja‘fari. Dalam beberapa masalah, fiqh ini berbeda dari mazhab-mazhab fiqh yang besar. Perbedaan antara fiqh Syi’ah dengan mazhab-mazhab-mazhab-mazhab

6

(36)

fiqh di lingkungan Ahlu Sunnah tidaklah besar. Perbedaan tersebut serupa besarnya dengan perbedaan antara mazhab fiqh Hanafi dengan fiqh Maliki atau Syafi’i. Atau seperti perbedaan antara mereka yang beramal dengan ketentuan-ketentuan lahiriyah nas dengan mereka yang mengambil apa yang tersirat di dalamnya.

Apabila seseorang memperhatikan kandungan kitab-kitab fiqh mereka, ia akan menjumpai pandangan-pandangan fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang sejalan dengan pendapat jumhur ulama fiqh. Seseorang tidak dapat menyatakan bahwa terdapat pendapat-pendapat dalam fiqh Ja’fari yang menyebabkannya keluar dari lingkungan Islam. Perbedaan pendapat antara fiqh Ja’fari dengan fiqh Ahlu Sunnah menunjukkan suburnya kemerdekaan berpikir dalam Islam dalam kerangka Al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam fiqh mazhab Ja’fari terdapat pendapat-pendapat lurus yang sahih untuk diambil. Dalam kenyataannya, Undang-undang ( qânûn ) Mesir telah mengambil pendapat-pendapat Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah. Di antaranya adalah menjatuhkan talak tiga sekaligus hanya berarti talak satu. Dalam pandangan ini, Majelis Muzâkarah Tafsir Mesir menyatakan bahwa pendapat tersebut diambil dari Ibnu Taimiyah, tetapi Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa pendapat tersebut diambilnya dari pendapat-pendapat para imam ahl al-bait. Dalam masalah fiqh, Syi’ah bersandar pada empat sumber, yaitu Al-Qur’an, sunnah, akal, dan ijma’.7

Al-Tûsî termasuk salah seorang fuqahâ’ kenamaan kaum Syi’ah, bahkan ia termasuk pendiri mazhab Ja’fari. Ia telah berupaya membela pendapat-pendapat

7

(37)
(38)

A. Metode Penafsiran Al-Tûsî

Berdasarkan dalil Al-Qur’an, al-Tûsî berkeyakinan bahwa sabda nabi Muhammad saw merupakan dasar yang tepat dalam menafsirkan Qur’an. Al-Tûsî juga berkeyakinan bahwa sabda (pendapat) para ulama ahlulbait merupakan suatu dasar yang dapat dijadikan hujjah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena sabda para ulama ahlulbait mengikuti sabda nabi Muhammad saw.

Adapun prinsip al-Tûsî terhadap pendapat para sahabat dan tabi’in, ia berpandangan bahwa pendapat para sahabat dan tabi’in tidak dapat dijadikan hujjah kecuali pendapatnya tersebut memiliki dukungan dari hadis nabi Muhammad saw. Hal ini disebabkan karena menurut al-Tûsî, kedudukan para sahabat1 dan tabi’in adalah sama seperti kaum muslim lainnya. Dengan demikian,

1

Syi‘i termasuk Al-Tûsî membagi sahabat menjadi tiga golongan, yaitu: pertama, golongan sahabat yang beriman kepada Allah swt, nabi Muhammad saw, serta mengorbankan diri mereka demi kepentingan Islam. Mereka adalah golongan yang paling utama. Golongan sahabat ini selalu membantu dan senantiasa bersama-sama nabi. Mereka tidak pernah melanggar perintahnya dalam setiap hal dan tidak pula mengatakan bahwa nabi berdusta. Di antara para sahabat yang termasuk dalam golongan ini adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Abû Zar al-Ghiffâri, Salmân al-Fârisi, Miqdâd, Ammar bin Yasir, dan Jâbir bin ‘Abd Allâh; kedua, golongan orang-orang yang mengingkari Islam, tetapi perbuatan mereka tidak sungguh-sungguh. Di antara sahabat yang termasuk dalam golongan sahabat ini adalah Ab- Bakr dan ‘Umar bin al-Khattâb; ketiga, golongan orang-orang yang mengingkari Islam setelah nabi Muhammad saw wafat sebagaimana yang dicatat oleh al-Bukhâri. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengutamakan nabi Muhammad saw, dan berusaha menyusup ke dalam Islam agar dimasukkan ke dalam golongan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang munafik, seperti Ab- Sufyân, Mu’âwiyyah bin Abi Sufyân, dan Yazid bin Mu’âwiyah. Lihat Rofik Suhud, dll, Antologi

(39)

dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî menggunakan metode periwayatan dari hadis-hadis nabi Muhammad saw, hadis imam ahlulbaitnya, dan dari hadis-hadis sahabat.

Menurut al-Tûsî, mufassir Syi’i dalam menafsirkan Al-Qur’an terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu:2

Kelompok pertama adalah mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan penafsiran Rasulullah saw dan para imam ahlulbait. Dalam hal ini, para mufasir Syi’i menempuh metode dengan memasukkan hadis-hadis Rasulullah dan hadis-hadis para imam ahlulbait ke dalam karangan-karangan mereka. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah Zurarah, Muhammad bin Muslim, Ma‘ruf, Jarir, dan lain-lain3.

Kelompok kedua adalah ulama yang mula-mula menulis kitab tafsir, seperti Furat bin Ibrahim, Abu Hamzah al-Samali al-‘Iyasyi (w. 320 H), ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. 329 H), dan al-Nu‘man.4 Metode yang mereka pergunakan

Islam: Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi terjemahan dari Encyclopedia of Shia, (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 345.

2

Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70-72. Lihat juga Sâlim al-Safâr al-Baghdâdi, selanjutnya dinamai al-Baghdâdi, Naqd Manhaj al-Tafsir wa al-Mufassirin al-Muqâran selanjutnya disebut Naqd Manhaj, (Beirût: Dâr al-Hâdi, 2000), h. 348-350. Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 227.

3

Zurârah bin A‘yun adalah seorang ulama ahli fiqh Sy‘i. Ia merupakan pilihan dari dua imam, yaitu imam Muhammad bin ‘Ali al-Bâqir dan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Ma‘rûf bin Khurbûz dan Jarir merupakan murid pilihan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Lihat Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70. Lihat juga al-Baghdâdi, Naqd Manhaj, h. 348.

4

(40)

dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw dan hadis-hadis dari para imam ahlulbait dengan menyebut dan meringkas sanadnya. Selain itu, mereka juga dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak mengemukakan pendapat dan pandangannya terhadap suatu masalah yang dibahas.

Kelompok ketiga adalah ulama yang memiliki berbagai cabang ilmu pengetahuan. Mereka menulis kitab tafsir menurut spesialisasinya dan sesuai dengan ilmu yang dikuasainya., seperti al-Syarif al-Rida (w. 404 H) dengan tafsirnya yang bercorak sastra ( nahj al-balâghah). Al-Tûsî (w. 460 H) dengan tafsirnya yang bercorak teologi masuk dalam kelompok ini. Selain itu, mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah Mubaidi Kunabadi dan ‘Abd al-Razzaq al-Kasyani (w. 730 H) dengan tafsirnya yang bercorak tasawuf, Syaikh ‘Abd ‘Ali al-Huwaizi (w. 1112 H) dengan tafsirnya Nur Saqalain, Sayyid Hasyim al-Bahrani (w. 1107 H) dengan tafsirnya al-Burhan, al-Faid al-Kasyyani (w. 1091 H) dengan tafsirnya al-Safi, dan lain-lain.5

Adapun metode yang mereka tempuh dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw dan hadis-hadis dari para

5

(41)

imam ahlulbait dengan menyebutkan sanadnya. Mereka juga mengemukakan pendapat dan pandangannya dalam menafsirkan Al-Qur’an terhadap suatu masalah yang dibahas.

Kelompok keempat adalah para mufasir yang mengemukakan berbagai ilmu pengetahuan dalam kitab tafsir mereka, seperti bahasa, gramatika, qira’ah, teknologi, dan lain-lain. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Tabarsi (w. 552 H) dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, dan lain-lain.

B. Prinsip Penafsiran Al-Tûsî

Adapun prinsip-prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap penafsiran Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1) Al-Qur’an mempunyai makna zahir dan makna batin

Dalam menjelaskan tujuan-tujuan agama dan memberikan

perintah-perintah kepada manusia terhadap masalah doktrin dan tindakan, Al-Qur’an telah menjelaskannya melalui kata-katanya yang zahir. Selain itu, Al-Qur’an juga telah menerangkan akan masalah tersebut melalui makna-maknanya yang batin. Imam al-Tûsî (w. 460 H) menjelaskan bahwa makna-makna batin Al-Qur’an tersebut hanya dapat dipahami oleh kaum khawwadz (elite spiritual) yang mempunyai kebersihan hati.6 Dalil yang menjelaskan tentang adanya makna batin Al-Qur’an adalah tercermin dalam sabda Rasulullah saw:

6

(42)

ﻄْأ

ﺔﻌْ

إ

ﺎًْﻄ

ﻪ ْﻄ و

ﺎًْﻄ و

اًﺮْﻬ

ن ْﺮ ْﻠ

نإ

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu mempunyai arti lahir dan batin (dimensi kedalaman). Dan dimensi kedalaman itu masih mempunyai dimensi kedalaman lagi hingga sampai tujuh dimensi kedalaman”.

Selain dari hadis tersebut, dalil yang menjadi penunjang utama akan makna batin Al-Qur’an adalah suatu bahasa kiasan yang disebutkan oleh Allah swt dalam surat al-Ra‘d/13: 17:

رﺎ ا

ﻪْﻴﻠ

نْوﺪﻗْﻮ

ﺎﻤ و

ﺎًﻴ اراًﺪ ز

ْﻴﺴ ا

ﻤ ْ ﺎ

ﺎهرﺪ ﺔ دْوأ

ْ ﺎﺴ

ًء

ء ﻤﺴ ا

لﺰْا

و

ﺤْا

ﷲا

بﺮْﻀ

ﻚ ﺬآ

ﻪﻠْ

ﺪ ز

عﺎ

ْوأ

ﺔﻴْﻠ

ءﺎ ْا

ﺎ أو

ًءﺎ ﺟ

هْﺬﻴ

ﺪ ﺰ ا

ﺎ ﺄ

ﺎ ْا

لﺎ ْ ﻷْا

ﷲا

بﺮْﻀ

ﻚ ﺬآ

ضْرﻷْا

ﻜْﻤﻴ

سﺎ ا

ْ

“Allah swt telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buah arus itu. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan-perumpamaan”.

(43)

mengalir dan menutupi permukaan sungai, namun di bawahnya tetap mengalir air yang sama yang dapat memberikan kehidupan dan manfaat pada umat manusia.

Seperti telah diisyaratkan oleh cerita kiasan di atas, kemampuan untuk memahami pengetahuan ketuhanan yang menjadi sumber kehidupan batin manusia sangatlah berbeda-beda. Di antara manusia ada yang hanya menerima pengetahuan ketuhanan pada tingkat percaya secara sederhana, dan ada pula di antara manusia yang karena kesucian fitrahnya, ia mampu memahami lambang-lambang ciptaan yang tersembunyi. Dengan kesucian jiwa yang dimilikinya, ia mengamati dalam suatu penglihatan rohani cahaya yang tidak terhingga dari Keagungan dan Kebesaran Allah swt. Hati mereka sepenuhnya tertambat dengan penuh kerinduan untuk mencapai hakekat pesan-pesan Allah swt yang sesungguhnya.7 Allah swt berfirman dalam surat al-Nisâ’/4: 36:

ﺎًﺌْﻴ

اْﻮآﺮْ

ﻻو

ﷲا

اْوﺪ ْ او

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”.

Secara zahir-nya, ayat ini menunjukkan bahwa ia melarang akan

penyembahan berhala, seperti dijelaskan dalam surat al-Hajj/22: 30:

نﺎ ْوﻷْا

ْﺟﺮ ا

اْﻮ ْﺟﺎ

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu”.

Adapun secara batinnya, ayat ﺎًﺌْﻴ ﻪ اْﻮآﺮْ ﻻو ﷲا اْوﺪ ْ او menunjukkan bahwa manusia tidak boleh mentaati siapapun selain Allah swt. Hal ini disebabkan karena taat berarti sujud di hadapan seseorang dan mengabdi

7

(44)

Begitu pula dengan firman Allah swt, surat al-‘Ankabût/29: 45:

ﺮﻜْﻤْاو

ء ْﺤ ْا

ﻰﻬْ

ةﻮﻠﺼ ا

نإ

ةﻮﻠﺼ ا

ﻗأو

“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.

Secara zahir-nya, ayat tersebut memerintahkan manusia untuk mendirikan

shalat dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu. Adapun secara batinnya, ayat tersebut memerintahkan kepada manusia untuk memuja dan mentaati Allah swt dengan seluruh hati dan jiwanya. Di balik itu, ayat tersebut secara batin mengisyaratkan bahwa di hadapan Allah swt, manusia harus menganggap dirinya tidak bernilai sama sekali dan harus selalu mengingat kepada-Nya.9

Dari kedua contoh tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur’an memiliki aspek-aspek lahir (zahir) dan aspek-aspek-aspek-aspek batin (tersirat). Aspek batin dari Al-Qur’an tidak menghilangkan atau mengurangi nilai arti zahir-nya. Bahkan ia bagaikan nyawa yang menghidupi badan. Makna zahir tidak menafikan maksud makna

8

DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 106. Lihat juga al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 34-35.

9

(45)

batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna zahir, serta makna batin mempunyai berbagai tingkatan pengertian.10

2) Hakikat muhkamat dan mutasyâbihat

Pembahasan Al-Qur’an yang berhubungan dengan ayat muhkamat dan mutasyâbihat tercantum dalam tiga surat, yaitu:

1. Surat Hûd/11: 1:

ﺮْﻴ ﺧ

ْﻴﻜ

ْنﺪ

ْ

ْ ﻠﺼ

ﻪ اء

ْ ﻤﻜْ أ

بﺎ آ

“Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”.

2. Surat al-Zumar/39: 23:

ﻰ ﺎ ﺎًﻬ ﺎ

ﺎًﺎ آ

ْﺪﺤْا

ﺴْ أ

لﺰ

ﷲا

ْ ﻬ ر

نْﻮ ْ

ْﺬ ا

دْﻮﻠﺟ

ﻪْ

ﺮﻌ ْ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.

3. Surat Âli ‘Imrân/3: 7:

ْﺬ ا

ﺎ ﺄ

ﺮﺧأو

ﻜْا

مأ

ه

ﻤﻜْﺤ

اء

ﻪْ

ﻜْا

ﻚْﻴﻠ

لﺰْأ

ىﺬ ا

ﻮه

ﻪْ

ﻪ ﺎ

نْﻮﻌ ﻴ

ْز

ْ ﻬ ْﻮﻠﻗ

“Dialah yang menurunkan al-kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyâbihat. Adapun orang-orang yang dalam

10

(46)

hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat”.

Ayat pertama (surat Hûd/11:1) menegaskan bahwa seluruh kandungan

Al-Qur’an adalah muhkam. Adapun maksud ke-muhkam-annya adalah bahwa keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah kuat, kokoh, rapih, indah susunannya, dan sama sekali tidak mengandung kelemahan dan kebatilan, baik dalam lafaz-lafaznya, rangkaian kalimatnya, maupun maknanya.

Ayat kedua (surat al-Zumar/39: 23) menegaskan bahwa seluruh kandungan ayat-ayat Al-Qur’an adalah mutasyâbih. Maksudnya adalah bahwa ayat-ayatnya berada dalam satu ragam keindahan gaya bahasa, i‘jaz, dan memiliki daya ungkap yang luar biasa.

Ayat ketiga (surat Âli ‘Imrân/3: 7) menjelaskan bahwa ayat-ayat

Al-Qur’an terbagi kepada dua bahagian, yaitu sebagian ayat yang bisa dipahami secara mandiri yang dikenal dengan muhkamat dan sebagaian ayat yang memerlukan penjelasan ayat lain dalam cara memahaminya yang dikenal dengan mutasyâbihat.11

Adapun prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat muhkamat dan mutasyâbihat adalah sebagai berikut:

Pertama, ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maksud petunjuknya jelas, tegas, dan tidak rancu, serta tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman. Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya.

11

(47)

Kedua, ayat-ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya, tetapi makna hakikinya dijelaskan dengan pen-ta’wil-an. Ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak wajib untuk diamalkan. Al-Tûsî berpandangan bahwa nabi Muhammad saw dan para imam ahlulbaitnya mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyâbih tersebut. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an merupakan um al-kitab (pokok-pokok isi Al-Qur’an). Hal ini berarti bahwa untuk mengetahui ayat-ayat mutasyâbih harus merujuk kepada ayat-ayat muhkam. Ayat-ayat mutasyâbih harus dirujuk kepada ayat-ayat muhkam guna mengetahui maknanya yang hakiki.

Berdasarkan hal tersebut, al-Tûsî berpendapat bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin tidak diketahui maknanya. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat mutasyâbih dapat diketahui makna-makna hakikinya dengan perantara ayat-ayat lain. Inilah yang dimaksud

dengan ketergantungan ayat muhkam kepada ayat mutasyâbih.12 Di antara

contohnya adalah firman Allah swt yang terdapat dalam surat Tâhâ/20:5:

ىﻮ ْ اشْﺮﻌْاﻰﻠ ﻤْ ﺮ ا

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di atas ‘Arasy”, dan ayat lain yang terdapat dalam surat al-Fajr/89:22:

ﻚ ر

ء ﺟو

“Dan datanglah Tuhanmu”.

12

(48)

Secara zahir-nya, kedua ayat tersebut menunjukkan jismiyyah (memiliki jasad) dan menggambarkan seakan-akan Allah swt itu adalah benda. Kedua ayat tersebut apabila dihubungkan dengan firman Allah swt yang terdapat dalam surat al-Syûrâ/42: 11:

ﺮْﻴﺼ ْا

ْﻴﻤﺴ ا

ﻮهو

ءْﻰ

ﻪﻠْﻤآ

ْﻴ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, maka jelaslah bahwa “bersemayam” itu bukan berarti menetap, dan “datang” itu bukan berarti pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Inilah makna batin yang terkandung dalam ayat ﻚ ر ء ﺟو dan ayat

ىﻮ ْ اشْﺮﻌْاﻰﻠ ﻤْ ﺮ ا .

Untuk menguatkan pandangan al-Tûsî tentang makna batin Al-Qur’an, ia menyandarkan keyakinannya pada dalil-dalil sebagai berikut:13

1. Sabda Rasulullah saw:

اْﻮﻠﻤْ ﺎ

ْ ْﺮ

ﺎﻤ

ﺎًﻀْﻌ

ﻪﻀْﻌ

قﺪﺼﻴ

لﺰ

ْ ﻜ و

ﺎًﻀْﻌ

ﻪﻀْﻌ

بﺬﻜﻴ

ْلﺰ

ْ

ن ْﺮ ْا

نإو

اْﻮ

ْ ﻜْﻴﻠ

ﻪ ﺎ

ﺎ و

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu tidaklah diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lain. Akan tetapi ia diturunkan agar sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kalian ketahui, amalkanlah; dan apa yang samar bagi kalian, maka imanilah”.

13

(49)

2. Perkataan imam ‘Ali karram Allah wajhah:

ﺾْﻌ

ﻪﻀْﻌ

ﺪﻬْ و

ﺎًﻀْﻌ

ﻪﻀْﻌ

ﻄْ

“Beberapa ayat Al-Qur’an saling mengisi dengan bagian-bagian yang lain yang mengungkapkan maknanya kepada kita. Beberapa bagian mengokohkan makna bagian yang lain”.

3. Perkataan imam Rida a.s:

ْﻴ ْﺴ

طاﺮ

ﻰ إ

يﺪه

ﻪﻤﻜْﺤ

إ

ن ْﺮ ْا

ﻪ ﺎ

در

ْ

“Barang siapa mengembalikan ayat mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam, maka dia telah ditunjukkan kepada jalan yang lurus”. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, mufasir Syi’i menjelaskan bahwa ayat-ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang tidak mandiri dalam madlul-nya. Oleh karena itu, untuk mengetahui hakikat makna ayat-ayat mutasyâbih harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkam. Dengan demikian, dalam ayat-ayat Al-Qur’an tidak ada satu ayatpun yang tidak diketahui maksudnya.

3) Ta’wil yang hakiki dalam Al-Qur’an

Kata ta’wil dalam Al-Qur’an tercantum pada tiga ayat, yaitu: a. Surat Âli ‘Imrân/3: 7:

ْوْﺄ

ﻠْﻌ

ﺎ و

ﻪﻠْوْﺄ

ء ْاو

ﺔ ْ ْا

ء ْا

ﻪْ

ﻪ ﺎ

نْﻮﻌ ﻴ

ْز

ْ ﻬ ْﻮﻠﻗ

ْﺬ ا

ﺎ ﺄ

ﻻإ

ﻪﻠ

ﺎ ر

ﺪْ

ْ

ﱞ آ

ﺎ اء

نْﻮ ْﻮ

ْﻠﻌْا

نْﻮ اﺮ او

ﷲا

(50)

b. Surat al-A‘râf/7: 53:

ﺤْﺎ

ﺎ ر

ر

ْتء ﺟ

ْﺪﻗ

ْﻗ

ْ

ْﻮﺴ

ْﺬ ا

لْﻮ

ﻪﻠْوْﺄ

ﻰ ْﺄ

مْﻮ

ﻪﻠْوْﺄ

ﻻإ

نْوﺮﻈْ

ْ ه

“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’w³lnya. Pada hari datangnya ta’wilnya itu berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: “sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami dengan haq".

c. Surat Yûnus/10: 39:

ﻪﻠْوْﺄ

ْ ﻬ ْﺄ

ﺎﻤ و

ﻪﻤْﻠﻌ

اْﻮﻄْﻴﺤ

ْ

ﺎﻤ

اْﻮ ﺬآ

ْ

“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wilnya”.

Dari beberapa ayat tersebut, mufasir Syi’i berpandangan bahwa keseluruhan ayat dalam Al-Qur’an adalah mempunyai ta’wil dan tidak hanya terbatas pada ayat-ayat mutasyâbihat saja. Menurut mereka, ta’wil (makna tersirat) yang terdapat dalam Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt, para nabi,

dan orang-orang suci14 di antara wali-wali Allah yang bebas dari kotoran

ketidaksempurnaan manusia. Para wali ini dapat merenungi makna-makna

14

(51)

Qur’an sekalipun hidup dalam kenyataan masa kini. Mereka juga beranggapan bahwa pada hari kebangkitan, ta’wil Al-Qur’an akan diungkapkan.

Pendapat tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa pendalaman yang memadai tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dari ahlulbait menunjukkan dengan jelas bahwa kitab suci Al-Qur’an dengan bahasa yang menarik serta pengungkapannya yang fasih dan terang, tidak pernah mempergunakan cara pengemukaan yang penuh teka-teki. Ia selalu memaparkan setiap persoalan dengan bahasa yang serasi dengan persoalannya. Menurut mufasir Syi’i, ta’wil atau penafsiran Al-Qur’an, tidaklah sekedar pengertian kata-kata secara harfiah, melainkan ia berkaitan dengan kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataaan tertentu yang berada di luar batas pemahaman manusia biasa. Dari kebenaran dan kenyataan ini, ia melahirkan prinsip-prinsip ajaran dan perintah-perintah amaliah dari Al-Qur’an.15

Para mufasir Syi’i menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa ta’wil adalah sama dengan tafsir. Mereka juga menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa ta’wil mempunyai makna yang berbeda dengan makna lahir suatu ayat. Selain itu, para mufasir Syi’i juga menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai ta’wil dan ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt. Adapun alasan penolakan mufasir Syi’i terhadap pandangan ini adalah sebagai berikut:16

Pertama, pendapat para ulama tersebut bertentangan dengan surat Yûnus/10: 39:

15

Djohan Effendi, Islam Syi'ah, h. 109. 16

(52)

نﺎآ

ْﻴآ

ْﺮﻈْﺎ

ْ ﻬﻠْﻗ

ْ

ْﺬ ا

بﺬآ

ﻚ ﺬآ

ﻪﻠْوْﺄ

ْ ﻬ ْﺄ

ﺎﻤ و

ﻪﻤْﻠﻌ

اْﻮﻄْﻴﺤ

ْ

ﺎﻤ

اْﻮ ﺬآ

ْ

ْﻴﻤﻠﻈ ا

“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wil-nya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu”.

Menurut mufasir Syi’i, ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa keseluruhan ayat di dalam Al-Qur’an itu mempunyai ta’wil, dan tidak hanya terbatas pada ayat mutasyâbihat.

Kedua, pendapat para ulama Sunni tersebut mengakibatkan pada ketidakjelasan makna hakiki secara keseluruhan dalam Al-Qur’an, apabila yang mengetahuinya hanya Allah swt. Pandangan seperti ini sangatlah tidak jelas maksudnya dan bukanlah merupakan perkataan yang fasih dalam suatu ilmu balaghah.

Ketiga, berdasarkan pendapat para ulama Sunni tersebut, maka argumentasi Al-Qur’an menjadi kurang sempurna. Hal ini bertentangan dengan firman Allah swt yang tercermin dalam surat al-Nisâ’/4: 82:

اًﺮْﻴ آ

ﺎًﻼ ْﺧا

ﻪْﻴ

اْوﺪﺟﻮ

ﷲا

ﺮْﻴﻏ

ﺪْ

ْ

نﺎآْﻮ و

ن ْﺮ ْا

نْوﺮ ﺪ

ﻼ أ

(53)

Berdasarkan ayat ini, mufasir Syi’i berpandangan bahwa seandainya diasumsikan bahwa ayat-ayat mutasyâbih berbeda dengan ayat-ayat muhkam, lalu perbedaan tersebut dihilangkan dengan mengatakan bahwa arti lahirnya bukanlah yang dimaksud, dan yang dimaksudkannya adalah arti lain yang hanya diketahui oleh Allah swt, maka menghilangkan perbedaan dengan cara seperti ini tidak menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu bukan perkataan manusia.

Keempat, tidak ada bukti sama sekali bahwa yang dimaksud dengan ta’wil dalam ayat muhkam dan mutasyâbih adalah makna yang berbeda dengan arti zahir. Di antara contoh Al-Qur’an yang menjelaskan pandangan ini adalah sebagai berikut:

Dalam kisah nabi Yusuf a.s sangatlah jelas bahwa ta’wil mimpi bukanlah sesuatu yang berbeda dengan makna lahiriah mimpi itu, akan tetapi ta’wil atas mimpi tersebut merupakan kenyataan lahiriah yang dilihat ketika tidur dalam bentuk tertentu.

(54)

Dalam masalah timbangan dan ukuran, Allah swt berfirman dalam surat al-Isrâ’/17:35:

ًﻼْوْﺄ

ﺴْ أو

ﺮْﻴﺧ

ﻚ ذ

ْﻴ ْﺴﻤْا

سﺎﻄْﺴ ْﺎ

اْﻮ زو

ْ ْﻠآاذإ

ْﻴﻜْا

اْﻮ ْوأو

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama dan lebih baik ta’wilnya”.

Dari ayat ini jelaslah bahwa ta’wil yang dikehendaki Allah dalam masalah timbangan dan ukuran adalah posisi ekonomi, terutama perekonomian yang terjadi di pasar-pasar dengan perantaraan jual-beli. Ta’wil dengan makna ini tidak bertentangan dengan makna zahir-nya dari ukuran dan timbangan tersebut. Selain itu, ta’wil dengan makna ini merupakan hakikat luar dan jiwanya yang terdapat dalam ukuran dan timbangan dengan perantaraan jujur dan adil dalam mu‘amalah.

4) Al-Qur’an dan nasikh-mansukh

Dalam ayat-ayat hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menggantikan kedudukan ayat-ayat hukum yang turun sebelumnya. Ayat yang turun terdahulu disebut mansukh (yang dihapus), dan ayat yang turun kemudian disebut nasikh (yang menghapus). Ayat-ayat nasikh berfungsi untuk mengakhiri berlakunya hukum sebelumnya. Di antara contohnya adalah antara surat al-Baqarah/2: 109:

ﺮْ ﺄ

ﷲا

ﻰ ْﺄ

اْﻮﺤ ْ او

اْﻮ ْ ﺎ

(55)

ْد

نْﻮ ْﺪ ﻻو

ﻪ ْﻮ رو

ﷲا

مﺮ ﺎ

نْﻮ ﺮﺤ ﻻو

ﺮﺧﻷْا

مْﻮﻴْﺎ ﻻو

ﷲﺎ

نْﻮ ْﺆ ﻻ

ْﺬ ا

اْﻮﻠ ﻗ

أ

ْﺬ ا

ﺤْا

ﻜْا

اﻮ ْو

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengaharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka”.

Pada surat al-Baqarah ayat 109, terdapat hukum yang memerintahkan kaum muslimin untuk bersikap lunak kepada golongan ahlul kitab, namun setelah beberapa hari kemudian, hukum tersebut dicabut. Sebagai penggantinya, Allah swt. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memerangi mereka (surat al-Taubah ayat 29). Penetapan hukum ini disebabkan karena ahlul kitab tidak beriman kepada Allah swt, serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.

(56)

sesuatu yang bisa diterima dan tidak mengandung kemusyrikan.17 Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah falsafah nasakh, di antaranya adalah surat al-Nahl/16: 101-102:

ْ هﺮ ْآأ

ْ

ﺮ ْ

ْأ

ﺎﻤ إ

اْﻮ ﺎﻗ

لﺰ

ﺎﻤ

ﻠْ أ

ﷲاو

ﺔ اء

نﺎﻜ

ًﺔ اء

ﺎ ْﺪ

اذإو

نْﻮﻤﻠْﻌ ﻻ

)

101

(

ْﻴﻤﻠْﺴﻤْﻠ

ىﺮْ و

ىًﺪهو

اْﻮ اء

ْﺬ ا

ﺤْﺎ

ﻚ ر

ْ

سﺪ ْا

حْور

ﻪ ﺰ

ْ ﻗ

)

102

(

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-ada saja”, bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui” (101). Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk menguhkan hati orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (102).

Al-Tûsî (w. 460 H) menjelaskan bahwa nasakh dalam Al-Qur'an terbagi tiga bahagian, yaitu: pertama, di-nasakh hukumnya tanpa di-nasakh lafaznya. Di antara contohnya adalah surat al-Baqarah ayat 240, surat al-Mujâdalah ayat 21, dan surat al-Anfâl ayat 65. Kedua, di-nasakh lafaznya tanpa di-nasakh hukumnya, seperti ayat rajam; dan ketiga, di-nasakh lafaz dan hukumnya, seperti surat al-Qasas ayat 12.18

17

Al-Tabâabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 61. Lihat juga Rippin (Ed), Aproaches, h. 188.

(57)

A. Hukum Ibadah

1. Shalat Qasar - Surat al-Nisâ’/4: 101:

ْﺬ ا

ﻜ ْ

ْنأ

ْ ْﺧ

ْنإ

ةﻮﻠﺼ ا

اْوﺮﺼْ

ْنأ

حﺎ ﺟ

ْ ﻜْﻴﻠ

ْﻴﻠ

ضْرﻷْا

ْ ْﺮ

اذإو

ﺎآ

ْﺮ ﻜْا

نإ

اْوﺮ آ

ﺎًْﻴ

اًوﺪ

ْ ﻜ

اْﻮ

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Dalam menafsirkan ayat ini, al-Tûsî menjelaskan bahwa seseorang boleh dan tidak berdosa untuk menqashar shalatnya. Menurutnya, shalat qasar wajib dilakukan apabila seseorang sedang bepergian dan dalam keadaan takut. Jarak yang dipersyaratkan oleh al-Tûsî adalah delapan farâsakh1. Apabila tidak dalam keadaan takut, maka ia tidak wajib qasar shalat. Ia hanya diwajibkan mengerjakan

1

Farâsakh adalah jarak yang ditempuh seseorang dalam melakukan perjalanan. Satu farâsakh sama dengan satu mil. Lihat al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Jogjakarta: Pustaka Peantren, 2004), h. 125.

(58)

shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan itu tidak dinamai dengan shalat qasar.2

Selain itu, al-Tûsî juga menjelaskan pandangan beberapa ahli tafsir atau ta’wil tentang menqasar shalat sebagai berikut:

a. Shalat qasar hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian sekalipun tidak dalam keadaan takut. Pendapat ini disponsori oleh Yu‘la bin Umayyah dan Umar bin Khattab.

b. Shalat qasar hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berpergian dan dalam keadaan takut. Pendapat ini dianut oleh al-Sadi, Abdulllah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Ka‘ab.

2. Shalat Jama’ - Surat al-Isrâ’/

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila : (1) Terdeteksi dini, (2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu

PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN PENCAPAIAN STATUS IDENTITAS DIRI REMAJA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Handle pintu yang baik adalah sesuai dengan gaya rumah kita, jika anda menyukai desain rumah modern maka pilihlah handle pintu dengan motif yang dominan kotak dengan desain rumah

Penerapan Masase Kaki dengan Citronella Oil didukung dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widowati dkk yang berjudul Pengaruh Masase

Aplikasi ini merupakan aplikasi dari analisa yang terjadi di lapangan bagaimana prosedur penyewaan fasilitas yang ada digambarkan ke dalam rancangan sistem

Metodologi penelitian yang di lakukan dengan melakukan simulasi pada software network yaitu packet tracer, dengan flowchart Pada flowchart yang berada diatas hal nya harus

Berdasarkan perhitungan perpipaan menggunakan perhitungan komputer melalui program WaterCad dengan kriteria pendistribusian air minum bahwa kecepatan minimal dalam