• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan Dalam Proses Peradilan Menurut RBG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan Dalam Proses Peradilan Menurut RBG"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES PERADILAN MENURUT RBG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nama : Muhammad Harsono NIM : 060200170

Departemen : Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES PERADILAN MENURUT RBG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Disetujui

Ketua Departemen Hukum Perdata

(Prof. DR. Tan Kamello, SH, M.S) NIP. 19620421198803

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof. DR. Tan Kamello, SH, M.S) (Hermansyah, SH, M.Hum)

NIP. 19620421198803 NIP. 195805161986011002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semoga dihari-hari kedepan kita tetap mendapat rahmat, hidayah dan petunjuk- Nya didalam menjalani kehidupan ini.

Bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diwajibkan untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi dengan judul “PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES PERADILAN MENURUT RBG”.

Kepada bapak dan mamaku, terima kasih atas kasih sayang dan doa-doanya serta dukungannya baik moril dan materil. Kepada adik-adikku M.Yuda dan Fauziah Ayu Maulani, semoga kelak menjadi anak yang berguna baik bagi nusa dan bangsa, terutama bagi agamanya. Tidak lupa terima kasih buat Kak Seri atas bantuan tugas akhirnya juga.

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari teman-teman baik secara moril mupun materil, untuk itu penulis menyadari tanpa bantuan mereka mungkin skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

(4)

II Bapak Prof. DR. Tan Kamello SH, MS, selaku ketua departemen hukum perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan pandangan dalam pengerjaan skripsi ini.

III Bapak Prof. DR. Tan Kamello SH, MS, selaku dosen pembimbing satu yang telah memberikan masukan-masukan dan pengarahan kepada penulis yang sangat menunjang selesainya skripsi ini.

IV Bapak Hermansyah SH, M. Hum, selaku dosen pembimbing dua yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyempurnakan apa-apa yang penulis uraikan dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya.

V Seluruh dosen-dosen dan staf yang ada di Fakultas Hukum ini yang telah banyak membimbing dan membantu penulis didalam proses perkuliahan pada tempo terdahulu.

VI Kepada teman-temanku seperjuangan Sere Yordan dan Azi Rianto, terima kasih atas dukungan dan bantuannya. Semoga persahabatan kita abadi selamanya.

VII Kepada Andry, Reymon, Maya SH, Eben, Marta, Yola, Duma, Rinto, Brando, Yuli, Dila, Selly dan teman bandku, Jelo, Iqbal, Hendra serta temen-temen lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu semoga kita tetap kompak selalu. Salam persahabatan.

Medan, Maret 2010

Hormat Penulis

Muhammad Harsono

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …... i

Daftar Isi …... iii

Abtraksi …... v

BAB I PENDAHULUAN …... 1

A.Latar Belakang …... 1

B. Perumusan Masalah …... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan …... 6

D.Tinjauan Kepustakaan …... 8

E. Metode Penelitian …... 13

F. Keaslian Penulisan …... 14

G.Sistematika Penulisan …... 14

BAB II TINJAUAN UMUM PENYITAAN …... 16

A.Pengertian Penyitaan …... 16

B.Tujuan Penyitaan …... 20

C.Syarat dan Alasan Penyitaan …... 24

D.Bentuk-Bentuk Penyitaan …... 31

E.Ruang Lingkup Penyitaan …... 43

BAB III PRINSIP-PRINSIP POKOK SITA …... 48

A.Sita Berdasarkan Permohonan …... 48

B.Permohonan Berdasarkan Alasan …... 49

C.Penggugat Wajib Menunjukan Barang Objek Sita …... 54

D.Pemeriksaan Sita Sepanjang Pemeriksaan Sidang …... 57

E.Mendahulukan Penyitaan Barang Bergerak …... 62

(6)

G.Pengabulan Berdasarkan Pertimbangan Objektif …... 67

H.Kekuatan Mengikat Sita …... 69

I. Sita Penyesuaian …... 71

J. Sita Terhadap Barang Perdata Dalam Perkara Pidana …... 74

K.Dilarang Menyita Barang-Barang Tertentu …... 75

L.Dilarang Memindahkan Atau Membebani Barang Sitaan …... 79

BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES PERADILAN MENURUT RBG …... 81

A. Sinkronisasi Pelaksanaan Putusan Hakim Dengan Eksekusi Sita Jaminan …... 81

B. Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan Menurut Rbg …... 88

C. Perlawanan Hukum Terhadap Eksekusi Sita Jaminan …... 105

D. Penyelesaian Perselisihan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan …... 107

E. Berakhirnya Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan …... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …... 117

A. Kesimpulan …... 117

B. Saran …... 121

(7)

ABTRAKSI

Pelaksaaan eksekusi sita jaminan didalam praktek peradilan merupakan bagian dari pelaksanaan putusan atau eksekusi yang sangat penting dilaksanakan guna merealisasikan isi putusan dan tentunya memberikan rincian tentang apa-apa saja yang menjadi hak dan apa-apa saja yang merupakan kewajiban para pihak. Pelaksanaan eksekusi sita jaminan ini dibagi menjadi beberapa tahap seperti adanya permohonan sita jaminan terlebih dahulu kepada hakim majelis dan diakhiri dengan penjualan lelang (lelang eksekusi) atau melalui lembaga paksa badan. Dalam skripsi ini hal-hal yang akan dibahas adalah hal-hal yang sudah baku ataupun sudah menjadi kebiasaan di dalam praktek peradilan. Sebenarnya pelaksanaan eksekusi sita jaminan secara tidak langsung sudah dimulai dengan adanya permohonan peletakan sita jaminan (consevatoir beslag) terhadap harta tergugat. Dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka terhadap permohonan sita jaminan tadi yang dikabulkan oleh hakim, maka demi hukum sita jaminan akan otomatis berubah menjadi sita eksekusi yang yang bernilai eksekutorial. Adanya nilai eksekutorial inilah yang akan dijadikan salah satu acuan pelaksanaan eksekusi sita jaminan. Setelah sita jaminan bernilai eksekutorial maka eksekusi sita jaminan dapat dilakukan tentunya dengan diawali dengan adanya permohonan sita dan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (PN). Pada akhirnya eksekusi ini akan diakhiri dengan penjualan lelang baik melalui penitera atau kantor lelang. Namun tidak tertutup penggunaan lembaga paksa badan bila debitur tidak beriktikad baik sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2000.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang bersifat normatif . Langkah pertama yang dilakukan penelitian hukum secara normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemakaian instrumet hukum pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakan persoalan ini dalam prespektif hukum acara perdata pada khususnya yang terkait dengan pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

(8)

ABTRAKSI

Pelaksaaan eksekusi sita jaminan didalam praktek peradilan merupakan bagian dari pelaksanaan putusan atau eksekusi yang sangat penting dilaksanakan guna merealisasikan isi putusan dan tentunya memberikan rincian tentang apa-apa saja yang menjadi hak dan apa-apa saja yang merupakan kewajiban para pihak. Pelaksanaan eksekusi sita jaminan ini dibagi menjadi beberapa tahap seperti adanya permohonan sita jaminan terlebih dahulu kepada hakim majelis dan diakhiri dengan penjualan lelang (lelang eksekusi) atau melalui lembaga paksa badan. Dalam skripsi ini hal-hal yang akan dibahas adalah hal-hal yang sudah baku ataupun sudah menjadi kebiasaan di dalam praktek peradilan. Sebenarnya pelaksanaan eksekusi sita jaminan secara tidak langsung sudah dimulai dengan adanya permohonan peletakan sita jaminan (consevatoir beslag) terhadap harta tergugat. Dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka terhadap permohonan sita jaminan tadi yang dikabulkan oleh hakim, maka demi hukum sita jaminan akan otomatis berubah menjadi sita eksekusi yang yang bernilai eksekutorial. Adanya nilai eksekutorial inilah yang akan dijadikan salah satu acuan pelaksanaan eksekusi sita jaminan. Setelah sita jaminan bernilai eksekutorial maka eksekusi sita jaminan dapat dilakukan tentunya dengan diawali dengan adanya permohonan sita dan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (PN). Pada akhirnya eksekusi ini akan diakhiri dengan penjualan lelang baik melalui penitera atau kantor lelang. Namun tidak tertutup penggunaan lembaga paksa badan bila debitur tidak beriktikad baik sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2000.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang bersifat normatif . Langkah pertama yang dilakukan penelitian hukum secara normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemakaian instrumet hukum pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakan persoalan ini dalam prespektif hukum acara perdata pada khususnya yang terkait dengan pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup bermasyarakat. Namun dalam membina hubungan bermasyarakat tersebut, sering terjadi gesekan kepentingan diantara mereka. Gesekan-gesekan kepentingan tersebut biasanya menjadi sengketa hukum diantara mereka. Adakalanya para pihak yang merasa dirugikan tidak puas dengan solusi yang ada, sehingga ia mengajukan sengketanya ke pengadilan.

Demikian pula didalam ruang lingkup hukum perdata dimana seorang yang merasa dirugikan didalam suatu sengketa dapat mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan kepada pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (tindakan menghakimi sendiri).1

Hakim tidak boleh menolak tuntutan hak yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan walaupun dengan dalih bahwa hukumnya tidak diatur atau kurang jelas (Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004). Larangan menolak memeriksa tuntutan hak atau penuntutan karena hakim tidak tahu akan hukumnya (ius curia nouvit), maka hakim harus menggali dan mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004).

(10)

Hukum acara perdata positif yang masih berlaku hingga saat ini adalah Rbg dan HIR, khusus diluar Jawa dan Madura seperti kita yang ada di Sumatera berlaku penuh ketentuan Rbg sebagai hukum acara perdata positif, sesuai dengan ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV Undang-Undang Dasar RI tanggal 18 Agustus 1945. Namun RBG dan HIR tidaklah merupakan aturan yang lengkap yang mampu mencakup semua ruang lingkup hukum acara positif di Indonesia. Peraturan-peraturan yang melengkapi RBG dan HIR contohnya antara lain :

H.Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang No .4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

I. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Banding (hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura).

J. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum. K.Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

L. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

M.RV dan RO, yang dinyatakan tidak berlaku lagi, namun dalam prakteknya dua aturan ini masih dijadikan acuan pelengkap bila ada aturan-aturan yang tidak jelas.

Selain beberapa peraturan baru diatas, Surat Edaran Mahkamah Agung yang disingkat SEMA tidak kalah penting peranannya dalam hukum acara perdata positif. SEMA khusus ditujukan pada pengadilan-pengadilan dibawahnya seperti Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri yang berisikan petunjuk-petunjuk bagi hakim dalam menghadapi perkara-perkara perdata.

(11)

perkara yang diselesaikan dimana didalamnya ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum para pihak dengan objek yang dipersengketakan.2

Hal ini dapat diartikan bahwa suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu berkekuatan untuk dilaksanakan sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara

Namun sudah pasti putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekusi sehingga putusan pengadilan tersebut dapat dilaksanakan seluruhnya sehingga tercapai apa yang disebut Rule of Law atau demi tegaknya hukum dan keadilan.

3

Untuk mengatasi permasalahan diatas didalam hukum acara perdata diatur sebuah lembaga yang bernama Lembaga Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang diatur dalam Pasal 261 Rbg atau 227 ayat 1 HIR. Pasal 261 Rbg menjelaskan sebagai berikut : Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang berhutang, sebelum dijatuhkan putusan atasnya, atau sebelum putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, berdaya upaya akan menghilangkan atau membawa barangnya yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, dengan maksud menjauhkan barang itu dari para penagih hutang, maka . Kekuatan eksekutorial putusan hakim terdapat pada kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Walaupun putusan pengadilan itu dapat dilakukan dan mempunyai kekuatan eksekutorial, tetapi banyak pihak yang masih merasa khawatir bahwa selama proses persidangan berlangsung tergugat akan menjual barang-barangnya atau dengan jalan lain mengalihkan hak atas barangnya, sehingga jika waktunya telah tiba putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan hendak dilaksanakan, barang yang menjadi objek persengketaan tidak dapat dieksekusi karena barang tersebut tidak berada ditangan tergugat lagi yang tentunya sangat merugikan bagi pihak penggugat.

(12)

atas permintaan orang yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan perintah supaya disita barang itu akan menjaga hak memasukkan permintaan itu, selain daripada itu kepada orang yang meminta diberitahukan pula, bahwa ia akan menghadap pada persidangan Pengadilan Negeri yang akan ditentukan, seboleh-bolehnya dalam persidangan yang pertama akan datang untuk menyebut dan meneguhkan gugatan.

Biasanya dengan tidak adanya barang-barang yang dipersengketakan yang bisa dieksekusi dengan putusan yang ada tentunya sangat merugikan bagi pihak penggugat. Untuk itulah sangat diperlukan peranan lembaga sita jaminan. Lembaga sita jaminan dapat menjaga barang-barang yang disengketakan itu dari perbuatan penggugat yang mau menjual ataupun mengalihkan hak atas barang tersebut, sehingga bila tiba waktunya putusan pengadilan akan dilaksanakan dapat menjamin kepentingan dari pihak penggugat.

Dalam prakteknya sita jaminan yang dalam gugatan dikabulkan oleh hakim dan dinyatakan sah dan berharga otomatis akan menjadi sita eksekutorial dalam rangka mendukung putusan tersebut. Namun tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan secara sebenar-benarnya yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan yang bersifat condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan, sedangkan putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif tidak memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya4

Penggugat disini sangat berkepentingan sekali sita jaminan yang diajukan kepada pengadilan dikabulkan dan dinyatakan sah dan berharga oleh hakim. Namun disini hakim diminta untuk benar-benar waspada terhadap putusan pengabulan sita tersebut dikemudian hari putusan pengabulan sita tersebut tidak terlalu merugikan pihak tergugat. Dalam kenyataanya sering penyitaan dilaksanakan terhadap barang-barang yang nilainya lebih tinggi atau bahkan lebih rendah dari objek sengketa,

.

(13)

sehingga apabila barang yang disita tidak memenuhi dari nilai objek sengketa, maka penggugat memohon kepada pengadilan agar dilakukan sita jaminan terhadap barang-barang tetap atau tidak bergerak milik tergugat.

Selain itu hakim dituntut untuk lebih teliti dalam pengabulan sita jaminan yang menjadi sita yang sah dan berharga karena sering kali sita jaminan yang telah dilakukan kemudian diakhiri putusan sita tersebut dicabut kembali oleh hakim. Tentunya ini sangat merugikan pihak tergugat. Hal ini terjadi karena hakim kurang teliti terhadap syarat- syarat untuk mengabulkan permohonan sita jaminan.

Disamping itu di dalam perkara pelunasan hutang kadang- kadang di dalam waktu pelaksanaan sita jaminan ada pihak ketiga yang mengaku bahwa barang yang disengketakan tersebut adalah miliknya. Sehingga pelaksanaan sita jaminan bahwa tersebut merupakan warisan yang belum terbagi waris dan pihak ketiga tersebut merupakan ahli waris yang berhak pula atas barang yang disita. Sehingga kepentingan hukum atas barang tersebut terganggu dengan adanya sita jaminan tersebut.

Di dalam pelaksanaan di tempat barang tersebut berada belum tentu berjalan mulus saja. Bisa saja terjadi barang yang ditujukan oleh penggugat tidak diketemukan. Hal ini tentunya sangat membingungkan bagi kita. Selain itu sering kali amar putusan kurang jelas, sehingga mengakibatkan eksekusi sita jaminan jadi terhambat. Misalnya berbeda ukuran objek barang yang disita antara apa yang ditetapkan di amar putusan dengan yang ada di lapangan. Ada lagi pelaksanaan eksekusi menjadi keliru dan bagaimana pengaturannya dan tindak lanjutnya tentu sangat membingungkan.

(14)

Berdasarkan uraian tersebut diatas hakim sekali lagi harus teliti dalam memeriksa suatu permohonan sita jaminan. Para hakim harus benar- benar melihat suatu permohonan sita jaminan secara utuh dan menyeluruh tidak hanya melihat syarat dan pertimbangan hukumnya saja tetapi harus melihat fakta yang ada di lapangan agar putusan nanti dapat dilaksanakan dan mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak.

Oleh karena atas dasar pemikiran- pemikiran tersebut di atas, penulis tertarik untuk memilih judul skripsi yang menyangkut tentang hal- hal yang berkaitan dengan lembaga sita jaminan dan bagaimana cara pelaksanaan eksekusi sita jaminan yang sesuai dengan aturan hukum acara perdata yang berlaku, berserta bagaimana keadaan berakhirnya pelaksanaan sita jaminan.

Adapun judul skripsi ini adalah “PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES PERADILAN MENURUT RBG”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan atas uraian-uraian tersebut pada latar belakang maka penulis mencoba merumuskan permasalahan yang akan dibahas serta dianalisa dengan bertitik tolak pada peraturan-peraturan yang berlaku, teori, pendapat para sarjana, serta azas-azas hukum guna melengkapi pembahasan secara lengkap dan menyeluruh.

(15)

Adapun permasalahan yang penulis angkat didalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

F. Bagaimana sinkronisasi pelaksanaan putusan hakim dengan eksekusi sita jaminan. G.Bagaimana tata cara pelaksanaan eksekusi sita jaminan menurut RBG.

H.Bagaimana peranan hukum terhadap eksekusi sita jaminan.

I. Bagaimana penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan eksekusi sita jaminan. J. Bagaimana keadaan berakhirnya pelaksanaan eksekusi sita jaminan.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Didalam penulisan skripsi ini penulis mempunyai beberapa tujuan pokok yang akan dicapai didalam pembahasan skripsi ini. Pembahasan tersebut didukung dengan adanya pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap suatu permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diwajibkan untuk mengambil mata kuliah penulisan skripsi dan berakhir pada pelaksanaan ujian skripsi. Hal ini dimaksudkan untuk menarapkan atau mempraktekkan ilmu yang diperoleh mahasiswa selama perkuliahan berlangsung di fakultas.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :

M.Untuk mengetahui peranan lembaga sita jaminan dalam proses peradilan perdata dan kemungkinan untuk menggunakan lembaga sita jaminan tersebut.

N.Berusaha mengetahui gambaran secara jelas tentang tata cara atau proses pelaksanaan eksekusi sita jaminan yang dilakukan oleh pengadilan berdasarkan perintah ketua pengadilan.

(16)

seharusnya pelaksanaan sita jaminan itu berjalan sesuai aturan yang berlaku.

P. Dari hasil kesimpulan tersebut akhirnya penulis akan menarik saran-saran guna pengembangan teori-teori hukum terutama dibidang sita jaminan.

Q.Memenuhi kurikulum yang ditetapkan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan sebagai syarat untuk menyelesaikan program pendidikan strata 1 (satu).

Selanjutnya penulisan skripsi ini, diharapkan bermanfaat untuk :

1. Manfaat secara teoritis.

Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg.

Skripsi ini juga mendorong kita semua terutama bagi mahasiswa untuk mencoba mengembangkan teori yang pernah diperoleh dimasa perkuliahan dengan fakta-fakta yang ada didalam praktek peradilan perdata.

2. Manfaat secara praktis.

(17)

Selain itu penulis juga berharap dapat memberikan pengetahuan tentang pelaksanaan eksekusi sita jaminan sesuai aturan yang berlaku, disamping juga menjelaskan tentang arti dan prinsip- prinsip sita dalam proses peradilan perdata.

Terakhir, penulis juga berusaha menjelaskan aturan-aturan yang masih berlaku bagi pelaksanaan eksekusi sita jaminan, yang kemudian kelak akan berguna bagi pembaca terutama bagi mereka yang berminat dan tertarik pada lembaga sita jaminan.

D. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan kepustakaan didalam skripsi ini adalah menguraikan beberapa istilah-istilah atau kata-kata yang berkaitan erat dengan judul skripsi ini. Istilah-istilah yang akan diuraikan ini sangat erat hubungannya dengan pembahasan dan isi skripsi ini sendiri.

Dengan cara mengumpulkan data-data dari sumber-sumber yang ada kemudian mempelajarinya dengan cara analisis deduktif, pengertian dari istilah-istilah atau kata-kata kunci ini akan dijabarkan secara umum. Ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pengulangan dari pengertian tentang istilah-istilah atau kata-kata kunci ini.

Istilah yang pertama akan penulis uraikan adalah mengenai istilah eksekusi. Eksekusi menurut bahasa Indonesia diartikan dengan nama pelaksanaan putusan. Menurut Prof. Subekti, beliau mengalihkan istilah eksekusi dengan istilah “pelaksanaan” putusan5. Begitu pula Retno Wulan Susianto mengalihkannya kedalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan” putusan6

5 Subekti, Acara Perdata, BPHN, Jakarta, 1967, halaman 128

(18)

penulis tersebut dapat dijadikan sebagai perbandingan, bahkan hampir semua penulis telah membakukan istilah pelaksanaan putusan sebagai kata ganti eksekusi. Hal ini telah dianggap sudah tetap karena jika kita bertitik tolak dari ketentuan bab ke 10 bagian ke 5 HIR atau title ke 4 bagian ke 4 Rbg, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten uitvoer ligging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankan putusan pengadilan tersebut secara sukarela (vrijwillig, voluntary).

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Indonesia, ia menyimpulkan bahwa pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakikatnya tidak lain adalah realisasi daripada kewajiban para pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang dicantumkan dalam putusan tersebut. Disini dapat diamati bahwa Sudikno Mertokusumo mengistilahkan eksekusi dengan pelaksanaan putusan hakim.

Selain itu eksekusi adalah serangkaian tindakan hukum yang dilakukan pengadilan pada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang merupakan sebuah aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemiraksaan perkara, dimana eksekusi tiada lain adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.

(19)

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa eksekusi adalah merupakan serangkaian tindakan pengadilan dalam perkara perdata kepada pihak yang kalah agar mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap demi menjaga dan memenuhi hak-hak dari si penggugat dalam suatu perkara perdata yang dilakukan dengan memakai bantuan kekuatan umum yang dipimpin oleh ketua pengadilan, dilakukan oleh panitera dan dibantu oleh juru sita dan dua orang saksi.

Istilah lain yang berhubungan dengan judul skripsi ini adalah kata “sita jaminan”. Sita jaminan salah satu lembaga yang terdapat dalam hukum acara perdata yang diatur dalam Pasal 227 HIR atau Pasal 261 Rbg. Sita jaminan adalah sita yang dapat dilakukan oleh pengadilan atas permohonan penggugat untuk mengamankan barang yang sedang dipersengketakan agar tidak rusak, dihilangkan, atau dipindahtangankan sebelum perkara itu berakhir. Untuk melaksanakan sita jaminan haruslah berdasarkan permohonan dari penggugat yang biasanya dicantumkan dalam surat gugatan dengan menyebutkan alasan- alasannya. Langkah ini diambil oleh penggugat karena khawatir akan adanya perbuatan dari pihak tergugat selama jalannya persidangan akan menjual atau mengalihkan hak-hak atas objek yang dipersengketakan sehingga dapat membuat putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan karena tergugat tidak mempunyai harta kekayaan lagi.

Sita jaminan juga memiliki arti berupa tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua majelis persidangan untuk menjamin dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.

(20)

berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan kata lain bahwa terhadap barang- barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan, atau dipindahtangankan kepada pihak lain.

Disisi lain pengertian sita jaminan diatur dalam Pasal 261 Rbg atau Pasal 227 HIR bahwa menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut. Tujuannya adalah agar barang tersebut tidak digelapkan atau diasingkan tergugat selama proses persidangan berlangsung, sehingga saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut penggugat dapat terpenuhi dengan jalan menjual barang sitaan itu.

Sita jaminan adalah merupakan tindakan hukum yang diambil pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan sehingga dapat disimpulkan bahwa sita jaminan merupakan tindakan yang eksepsional.Selain itu sita jaminan pada hakekatnya merupakan perintah perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat atas permohonan tergugat baik bersifat temporer maupun bersifat permanen. Ini dapat diartikan bahwa sita merupakan satu cara untuk memenuhi kepentingan dari penggugat dalam melunasi pembayaran utang tergugat kepada tergugat.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa sita jaminan merupakan upaya hukum untuk menjamin barang yang menjadi objek sengketa agar tidak dijual atau dialihkan hak kepemilikannya oleh tergugat kepada pihak lain yang dimohonkan pada proses persidangan kepada ketua majelis yang menangani perkara yang disengketakan agar pada suatu saat putusan telah berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan dan dijalankan sebagaimana mestinya.

(21)

Rbg sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 6 Keputusan Raja dalam Stb. No. 23 Tahun 1847 guna menjamin adanya kepastian hukum acara tertulis di muka pengadilan bagi golongan bumi putera dan timur asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang), maka pada tahun 1927 Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam Stb. No. 227 tahun 1927 dengan sebutan Rbg diundangkan. Ketentuan hukum acara perdata dalam Rbg adalah ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada dalam Inladsch Reglement (IR) untuk golongan Bumi Putera dan Timur Asing di Jawa dan Madura, ditambah ketentuan- ketentuan hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku dikalangan mereka sebelumnya.

Dari uraian diatas sebelumnya dapat penulis simpulkan bahwa Rbg ditetapkan pada Pasal 3 Ordonansi 11 Mei Tahun 1927 di dalam Stb. No. 227 Tahun 1927 dan mulai berlaku pada Tanggal 1 Juli Tahun 1927 adalah merupakan pengganti berbagai peraturan yang berupa reglement-reglement. Reglement-reglement yang tersebar ini hanya berlaku dalam suatu daerah tertentu saja seperti Reglement bagi daerah Ambon, Aceh, Sumatera Barat, Palembang, Kalimantan, Minahasa, dan lain- lain.

Rbg terdiri dari lima bab, dari Pasal 1 sampai Pasal 723. Bab I, III, IV, dan V yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan acara pidana sudah tidak berlaku lagi berhubungan dengan Undang- Undang Darurat No.Tahun 1951. Sedangkan tentang acara perdata termuat dalam bab III terdiri dari Pasal 104 sampai Pasal 323 (yang merupakan bagian kecil RBG), masih berlaku.

Bagian acara perdata yang termuat dalam Bab III, terdiri dari tujuh titel. Namun titel I, II, III, VI, dan VII telah tidak diperlukan lagi, karena pengadilan Districhtgerecht, Districraad, Magistraadgerecht, Residentiegerecht, dan Raad Van Justitie sudah tidak ada lagi.

Yang masih diperlukan adalah titel IV dan V yang berlaku bagi Landraad yang sekarang menjadi Pengadilan Negeri yang terdiri dari:

(22)

Bagian I (Pasal 142 s/d Pasal 188) tentang Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan.

Bagian II (Pasal 189 s/d Pasal 198) tentang Musyawarah dan Putusan.

Bagian III (Pasal 199 s/d Pasal 205) tentang Banding.

Bagian IV (Pasal 206 s/d Pasal 258) tentang Menjalankan Putusan.

Bagian V (Pasal 259 s/d Pasal 272) tentang Beberapa hal mengadili perkara yang istimewa.

Bagian VI (Pasal 273 s/d Pasal 281) tentang Izin berperkara tanpa ongkos perkara.

2. Titel V

(Pasal 282 s/d Pasal 314) tentang Bukti.

E. Metode Penelitian

1. Sifat / Bentuk Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, langkah pertama yang dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemakaian instrumen hukum tata cara pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg.

(23)

dalam perspektif hukum perdata khususnya berkaitan dengan penggunaan instrumen pelaksanaan eksekusi sita jaminan menurut Rbg.

2. Data

Bahan atau data yang diteliti berupa data sekunder yang terdiri dari :

a. bahan / sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja.

b. bahan / sumber sekunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

(24)

F. Keaslian Penulisan

Pembahasan skripsi ini dengan judul : “PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES PERADILAN MENURUT RBG” adalah merupakan wacana yang sebenarnya telah lama didengungkan. Pemakaian lembaga sita jaminan ini mengingat adanya kekhawatiran bahwa selama gugatan diajukan ada niat dari pihak tergugat untuk menjual atau mengalihkan hak-hak atas barang yang menjadi objek sengketa tersebut. Selain itu penggunaan sita jaminan ditujukan agar gugatan tidak hampa (illusioner).

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada dalam melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum USU. Dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

(25)

Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Umum Penyitaan yang terdiri atas pengertian penyitaan, tujuan penyitaan, syarat dan alasan penyitaan, bentuk-bentuk penyitaan, dan ruang lingkup penyitaan.

Bab III : Prinsip-Prinsip Pokok Sita yang terdiri atas prinsip sita berdasarkan permohonan, permohonan berdasarkan alasan, penggugat wajib menunjukkan barang objek sita, permintaan sita sepanjang pemeriksaan sidang, mendahulukan penyitaan barang bergerak, penggugat tidak boleh diberikan penjagaan sita, pengabulan berdasarkan pertimbangan objektif, kekuatan mengikat sita, sita penyesuaian,sita terhadap barang perdata dalam perkara pidana, dilarang menyita barang-barang tertentu, dan dilarang memindahkan atau membebani barang sitaan.

Bab IV : Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan dalam Proses Peradilan Menurut RBG yang terdiri atas sinkronisasi pelaksanaan putusan hakim dengan eksekusi sita jaminan, tata cara pelaksanaan eksekusi sita jaminan menurut Rbg, perlawanan hukum terhadap eksekusi sita jaminan, penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan eksekusi sita jaminan, dan berakhirnya pelaksanaan eksekusi sita jaminan.

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM PENYITAAN

A. Pengertian Penyitaan

Penyitaan berasal dari terminologi Beslag (Belanda), dan didalam istilah bahasa indonesia “beslag” namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan. Beberapa pengertian penyitaan yaitu:

1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama paksa berada ke dalam keadaan penjagaan.

2. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu ditahukan secara resmi (official) berdasarkan permintaan pengadilan atau hakim.

3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut.1

1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. Cit., h. 283

Dengan mempertahankan pengertian tersebut, dapat dikemukakan beberapa esensi fundamental sebagai landasan penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan.

(27)

Sita merupakan tindakan hukum yang diambil pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan. Sering sita itu dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan.

Dalam penyitaan ini seolah-olah pengadilan telah menghukum tergugat lebih dulu. Sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan putusan. Bila kita analisis, penyitaan membenarkan putusan yang belum dijatuhkan. Tegasnya, sebelum pengadilan menyatakan pihak tergugat bersalah berdasarkan putusan. Tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat.

Itu sebabnya, tindakan penyitaan merupakan tindakan hukum yang sangat ekspensional. Pengabulan penyitaan merupakan tindakan hukum pengecualian, yang penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala pertimbangan yang hati-hati sekali. Tidak boleh diterapkan secara serampangan tanpa alasan yang kuat, yang tidak didukung oleh fakta yang mendasar.

Jangan sampai terjadi sita telah diletakkan atas harta kekayaan tergugat, tetapi gugatan ternyata ditolak oleh pengadilan. Kebijakan mengabulkan sita jaminan, sejak semula sebaiknya sudah dilandasi oleh bukti-bukti yang kuat tentang akan dikabulkan gugatan penggugat.

(28)

menyalahkan tergugat, namun dengan adanya penyitaan, kepercayaan masyarakat terhadap tergugat sudah mulai hilang dan luntur. Dapat kita simpulkan bahwa pengadilan berdampak psikologis.2

Dengan memperhatikan akibat-akibat negatif seperti ini, para hakim harus dituntut untuk teliti di dalam menjalankan permohonan sita. Hakim harus menyadari bahwa situ atau penyitaan adalah bergerak dapat sangat eksepsional, sita memaksakan kebenaran gugatan,3

2 Ibid, h. 284 3 Ibid, h. 283

dimana sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan untuk menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi tergugat telah dihukum dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta kekayaannya.

2. Sita sebagai tindakan perampasan

Pada hakikatnya penyitaan merupakan perintah perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah perampasan itu, dilakukan pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan permohonan tergugat. Perampasan harta tergugat tersebut adakalanya :

a. Bersifat permanen

Penyitaan bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan dengan perintah penyerahan kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau apabila penyitaan dilanjutkan kelak dengan penjualan lelang untuk melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.

(29)

Penyitaan yang dilakukan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dapat dinyatakan bersifat temporer apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita.

Perintah pengangkatan sita jaminan yang seperti ini terjadi berdasarkan surat penetapan pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan hakim sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak.

Berbicara mengenai makna penyitaan sebagai tindakan perampasan berdasarkan perintah hakim, makna perampasan dalam penyitaan jangan diartikan secara sempit dan bersifat mutlak. Mengartikan secara sempit dan mutlak, bisa menimbulkan penyalahgunaan lembaga sita jaminan.

Penyalahgunaan itu terus terjadi dalam praktek sebagai akibat dari kelemahan menafsirkan arti sita jaminan sebagai perampasan yang mutlak. Tidak demikian halnya bahwa sita atau penyitaan sebagai tindakan-tindakan perampasan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat bukan bersifat mutlak terlepas dari hak dan penguasaan serta pengusahaan barang yang disita dari tangan tergugat. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun penyalahgunaan, perlu diketahui acuan yang tepat dan proposional memberlakukan barang sitaan. Acuan yang mesti dipedomani terhadap perlakuan barang sitaan terutama bagi hakim adalah :

a. Sita semata-mata hanya sebagai jaminan

Istilah, maksud dan esensi jaminan, harta yang disita ditunjukkan untuk menjamin gugatan tergugat, agar gugatan itu tidak ilusioner.

(30)

Sekalipun barang yang disita dirampas atas perintah hakim, hak milik atas barang tersebut masih tetap berada di tangan tergugat sampai putusan dieksekusi. Keliru sekali anggapan sementara pihak- pihak maupun hakim, yang berpendapat sita bersifat melepaskan hak milik tergugat atas barang yang disita sejak tanggal berita acara sita diperbuat.

c. Penguasaan benda sitaan tetap dipegang tergugat

Sejalan dengan acuan yang menegaskan hak milik atas benda sitaan tidak tanggal dari kekuasaan tergugat, maka penguasaan atas benda sitaan tetap berada ditangan tergugat. Salah besar praktek hukum yang mengabsahkan pelimpahan benda sitaan berpindah ke tangan pengugat. Penerapan dan praktek hukum yang seperti itu, jelas bertentangan Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg.

Pada pasal tersebut secara tegas ditentukan bahwa juru sita atau penyita meninggalkan barang yang disita dalam keadaan semula ditempat dimana barang itu disita. Dan si tersita disuruh untuk menyimpan atau menjaganya. Sekalipun untuk membawa dan menyimpan sebagian barang di tempat penyimpanan yang dianggap patut, penjagaan, dan penguasaan hak miliknya tetap ditangan si tersita, Cuma hal itu diberitahukan kepada polisi agar barang tersebut tidak dilarikan orang.

Demikian kira-kira ringkasan yang tersimpul pada Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg. Pasal ini adalah memberi kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan penjagaan, penguasaan, dan pengusahaan barang yang disita di tangan penggugat atau dibawah penjagaan pengadilan.

(31)

Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai dampak psikologis sita. Dari segi pelaksanaannya, penyitaan sifatnya terbuka yang umum, seperti:

a. Pelaksanaannya secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya.

b. Secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa, namun bisa pula di tonton oleh masyarakat luas

c. Administratif Justisial, penyitaan barang tertentu harus diumumkan dalam buku register kantor yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas.

Berdasarkan hal-hal tersebut, penyitaan berdampak terdapat psikologis yang sangat merugikan nama baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis. Tindakan penyitaan meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafilitas korporasi dan bisnis yang dijalankan. Pengaruh buruk penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis tersita, tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial.

B. Tujuan Penyitaan

Sepintas lalu sudah sering disingung apa yang menjadi tujuan sita jaminan. Tujuan utamanya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan harta kekayaan kepada pihak ke tiga.

(32)

tergugat atas harta sengketa, secara hukum telah terjamin keutuhan keberadaan barang yang disita misalnya didalam contoh surat gugatan perkara harta bersama dalam perkara warisan pada bagian petitum biasanya di mohonkan kepada hakim agar dilakukan sita jaminan terhadap barang-barang yang disengketakan.4

b. Akibat hukum dari segi pidana.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa sita jaminan harus diajukan oleh pihak penggugat selama perkara berlangsung guna menjaga keutuhan barang barang yang menjadi objek sengketa.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, sita jaminan merupakan upaya hukum agar tercipta keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai keputusan dapat di eksekusi, hal ini menjaga agar gugatan pada saat proses eksekusi tiba terjadi tidak hampa sehingga dengan telah diletakkannya sita pada harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dan pelaksanaan penyitaan telah didaftarkan dan diumumkan kepada masyarakat, maka terhitung sejak tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, (sesuai dengan Pasal 213 Rbg), telah digariskan akibat hukumnya seperti yang diatur dalam Pasal 215 Rbg) yaitu :

1. Demi hukum melarang tergugat untuk menjual, memindahkan barang sitaan kepada siapa pun

2. Pelanggaran atas itu, menimbulkan dua sisi akibat hukum :

a. Akibat hukum dari segi perdata.

Apabila barang menjadi objek sengketa dilakukan tindakan jual beli atau penindasan hak atau barang tersebut maka tindakan atau perbuatan tersebut batal demi hukum.

Akibat dari batalnya demi perbuatan tindakan tersebut,secara hukum, status barang tersebut kembali menjadi dalam keadaan semula sebagai barang sitaan, sehingga tindakan atau perbuatan pemindahan hak atas barang dianggap tidak pernah terjadi (never existed). Ini diatur dalam Pasal 215 Rbg.

(33)

Dalam hukum pidana, apabila pihak tergugat / yang kena sita melakukan penjualan atau pemindahan hak dan barang-barang menjadi sengketa, diancam sesuai Pasal 231 KUHP, tindakan pidana yang diancam dengan Pasal 231 KUHP ini adalah berupa tindak kejahatan yang dengan sengaja melepas barang yang telah dijatuhi sita menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan.tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun.

Apabila kita merinci, tindak kejahatan yang diatur Pasal 231 KUHP adalah tindakan terhadap barang sitaan berupa :

1. Melepaskan barang yang disita, baik menjual, maupun memindahkan hak atas barang yang menjadi objek sengketa.

2. Melepaskan barang yang disimpan atas perintah hakim, dan 3. Menyembunyikan barang yang dilepaskan dari sitaan.

Dari teknis peradilan, penyitaan (beslag) adalah salah satu upaya hukum yang dilakukan penggugat memohonkan diadakannya lembaga sita guna menjamin dan melindungi hak dan kepentingannya atas harta kekayaan tergugat agar tetap terjaga keutuhannya sampai diperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht).

Upaya ini dilakukan untuk menjaga agar tidak ada etikad buruk (bad faith) dari pada tindakan penggugat yang berusaha melepaskan diri dan mengelak memenuhi tanggung jawab perdata sesuai putusan pengadilan yang merupakan kewajibannya yamg timbul karena adanya Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau Wanprestasi telah dilakukannya.

(34)

Seandainya ada tindakan tidak baik dari penggugat (bad faith) maka baik dari segi perdata dan pidana sudah ada aturan dan ancaman hukum atas perbuatan / tindakan tersebut. Namun aturan ini berlaku setelah penyitaan diumumkan melalui pendaftaran pada buku register kantor yang berwewenang sesuai Pasal 213 Rbg.

Dengan mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan Pasal 215 Rbg dan Pasal 231 KUH Perdata, terjamin perlindungan yang kuat penggugat atas terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan.5

Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diterangkan terlebih dahulu. Ini dapat kita lihat pada Pasal 214 Rbg yang menegaskan bahwa setiap barang yang disita dilarang diperjualbelikan atau dipindahkan tergugat kepada pihak ketiga atau pihak lain.

Ada tujuan lain yang tidak kalah penting dalam penyitaan, selain dari memberi kepastian kepada penggugat bahwa gugatannya telah dijamin dan mempunyai arti dan nilai apabila gugatannya dikabulkan oleh pengadilan. Yaitu adanya sita, berarti sudah ada secara pasti objek eksekusi atas kemenangan penggugat, atau disimpulkan objek eksekusi sudah pasti.

Hal ini menjaga agar kemenangan penggugat tidak ilusioner (hampa) sehingga kemenangan penggugat ada suatu materinya, yakni barang yang disita tersebut :

a. Dapat langsung diserahkan kepada pihak penggugat, jika sengketa perkara merupakan hak milik

b. Atau jika barang yang disita dapat di eksekusi melalui penjualan lelang, jika perkara yang sengketakan merupakan perselisihan hutang-piutang atau tuntutnan ganti rugi berdasarkan PMH atau wanprestasi.

(35)

Dalam hal ini perbuatan jual beli merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam Pasal 214 Rbg, dimana jual beli akan batal demi hukum, apabila terlebih dahulu telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti itu, sita itu masih tetap menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki harta sitaan tersebut. Sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.6

Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum langsung menjadi sita eksekusi.

Namun dalam hal ini, penggugat harus menjelaskan secara terperinci dan menunjukkan identitas barang yang hendak disita pada saat permohonan sitq diajukan pada ketua majelis. Ini agar menjaga objek eksekusi yang sudah pasti tadi benar-benar ada dan sesuai data di lapangan. Misalnya penggugat harus menjelaskan letak, ukuran dan batasan-batasannya.

7

6 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Pustaka, Bandung, 1990, h.. 9 7 Himpunan Tanya Jawab Rakerda, MA RI, 1987-1962, h. 177

Lebih lanjut penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila telah berketentuan hukum tetap, kemenangan atas penggugat dapat langsung dijamin dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut. Akhirnya apabila kita lihat penjelasan diatas, kita yang menangkap tentang tujuan pokok dari penyitaan yakni sebagai berikut :

1. Untuk melindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan menjadi tidak hampa (ilusioner), pada saat putusan setelah berkekuatan hukum tetap.

(36)

C. Syarat dan Alasan Penyitaan

1. Syarat Pengajuan Penyitaan.

Penyitaan tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan.

Syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim. Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita.

a. Sita Berdasarkan Permohonan.

1) Permohonan diajukan dalam surat gugatan.

Biasanya dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama didalam surat gugatan. Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok.

(37)

a). Gugatan sita dirumuskan setelah uraian posita atau dalil gugat.

Menurut penulis cara yang seperti ini adalah cara yang tepat, perumusan dalil gugat itulah layak dan tidak layak diajukan permohonan sita, karena dari perumusan dalil gugat beserta penjelasan mengenai uraian fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, akan lebih tepat dan lebih mudah dirumuskan permohonan sita serta alasan kepentingan penyitaan.

b). Permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada petitum kedua.

Biasanya setelah diuraikan perumusan permohonan sita pada akhir posita gugat, permohonan sita itu dipertegas lagi dalam petitum gugat, yang berisi permintaan kepada pengadilan supaya sita yang diletakkan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dinyatakan sah dan berharga.

2) Permohonan terpisah dari pokok perkara.

Ada kalanya permohonan sita diajukan terpisah dari pokok perkara, pada bentuk permohonan ini penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri yang terpisah dari gugatan pokok perkara.

Disamping gugatan perkara, penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan. Namun didalam prakteknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan.

(38)

Tenggang waktu pengajuan sita adalah sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat diajukan dan kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang dibenarkan oleh hukum.8

Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dijatuhkan”. Makna dan penafsiran kalimat tersebut menurut penulis terbatas pada ruang lingkup

Penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Memperhatikan kekuatan tersebut selain menentukan tenggang waktu pengajuan sita, namun sekaligus juga mengandung permasalahan tentang instansi tempat pengajuan sita. Menurut ketentuan undang – undang, pengajuan permohonan sita dapat dilakukan :

1) Selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum berkekuatan hukum tetap.

Menurut Pasal 261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu ini yang dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan belum dijatuhkan atau selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jadi selama putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan sita.

2) Sejak mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri sampai putusan dijatuhkan.

(39)

proses pemeriksaan sidang pengadilan negeri. Sehingga jika proses pemeriksaan diinstansi pengadilan negeri masih berlangsung, maka dapat diajukan permohonan sita.

3) Atau selama putusan belum dapat dieksekusi.

Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg juga memuat ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dapat dieksekusi (dilaksanakan)”. Selama putusan belum dapat dilaksanakan mengandung arti yuridis selama putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 9

Memang secara tegas undang-undang memberi hak dan kewenangan kepada hakim untuk menyita harta kekayaan atau harta terpekara milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, namun hakim harus teliti dan cermat didalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini karena sita sangat eksepsional sekali sifatnya.

Jadi permohonan sita dapat dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap yang dapat dibanding maupun dikasasi.

c. Permohonan sita harus berdasarkan alasan.

Permohonan sita yang telah dimohonkan tadi selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi dengan suatu alasan sita yang kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat sita atau penyitaan, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta menimbang alasan sita tersebut dengan teliti. Jangan sampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan tersebut dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.

(40)

Sebelum permohonan sita dikabulkan hakim, hakim berhak dan berwewenang memeriksa fakta-fakta tentang adanya dugaan atau persangkaan berupa petunjuk-petunjuk penggelapan yang hendak dilakukan tergugat atas barang-barang yang menjadi objek sengketa tersebut. Apabila alasan sita memang telah sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan telah memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa perlu dilakukan sita, maka permohonan sita dapat dikabulkan. Sebaliknya apabila alasan permohonan sita tidak sesuai dengan fakta-fakta, aturan-aturan, dan unsur-unsur penilaian persangkaan hakim, maka sewajarnya permohonan sita ditolak.

Hal ini ditujukan untuk melindungi hak dari tergugat juga. Walaupun esensi atau alasan utama sita terletak pada “tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi objek perkara”, namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan jangan sampai terlalu merugikan pihak tergugat.

d. Permohonan sita diajukan pada instansi yang berwewenang.

Dari ketentuan Pasal 261 ayat 1 Rbg dapat kita lihat tentang batas pengajuan tenggang waktu sita. Didalam permasalahan kewenangan memerintahkan pelaksanaan sita, masih merupakan pendapat diantara praktisi hukum.

1) Pendapat pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.

Menurut pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang memmpunyai kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) sebagai instansi tingkat banding.

Sehubungan dengan pendapat ini, telah dirinci aturan penerapan penyitaan sebagai berikut: a) Apabila Pengadilan Negeri (PN) menolak sita, maka Pengadilan Tinggi (PT) tidak

(41)

membatalkan putusan PN.

b) Apabila penggugat menganggap perlu dilakukan penyitaan, sedangkan perkara sudah pada tingkat banding, maka permohonan tetap diajukan kepada PN, karena PN berwewenang penuh memutus pengabulan atau permohonan sita.

2) Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi (PT) berwewenang memerintah sita. Menurut pendapat Prof. Subekti10

1) Menjelaskan letak, sifat ,dan ukuran barang.

, Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi (PT) selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkat banding. Alasan beliau berpijak pada Pasal 261 Rbg yang didalamnya terdapat kalimat “Sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Disini Prof. Subekti menyimpulkan kalimat tersebut ” menunjukan “ bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok perkaranya belum diputus dalam tingkat banding.

e. Penggugat wajib menunjuk barang yang hendak disita.

Seperti kita ketahui sebelumnya, permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti, baik mengenai sifat, letak, ukuran yang berkaitan dengan identitas barang.

Jadi, kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang yang diminta untuk disita mengandung unsur:

2) Mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang (bukti surat barang). 3) Penegasan positif status barang adalah milik tergugat.

(42)

Namun diantara beberapa unsur kewajiban diatas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus dapat menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti barang. Menurut praktek yang sudah ada, dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat , letak, dan ukurannya, ditambah dengan unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan tergugat.Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal 1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya.11

Pada diri hakim tidak ada kewajiban hukum untuk mencari dan menemukan identitas atau rincian barang yang menjadi objek sita. Hal ini adalah mutlak kewajiban penggugat. Oleh karena itu, sangat mustahil bagi penggugat meminta hakim mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena penyitaan adalah untuk kepentingan penggugat maka dialah yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.12

Ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaan sita adalah, sebagai berikut:

2. Alasan Penyitaan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa upaya penyitaan adalah tindakan yang bersifat eksepsional dan merupakan perampasan harta kekayaan tergugat sebelum jatuh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Jadi permohonan sita atau penyitaan harus berdasarkan alasan yang kuat. Didalam pengajuan gugatan, penggugat harus dapat menunjukan kepada hakim tentang adanya relevansi dan urgensi penyitaan dilakukan dalam perkara yang bersangkutan.

(43)

a. Adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari akal guna menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dimana dilakukan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.

b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang objektif, dimana: 1) Penggugat harus mampu menunjukan fakta-fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.

2) Sekurang-kurangnya, penggugat dapat menunjukan adanya indikasi objektif tentang adanya upaya untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan penggugat.

3) Sesuai dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata.13

Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak permohonan sita apabila alasan sita tidak kuat. Karena menurut undang- undang, yang berhak menilai alasan sita adalah hakim. Jadi alasan sita harus dapat benar-benar meyakinkan hakim. Semua alasan-alasan yang diangkat oleh penggugat pada

Hakim harus mampu melihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan kerugian dari pihak penggugat.

Hal ini harus diperkuat dengan eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan maka timbul kerugian dari pihak penggugat. Kesimpulannya, penggugat tidak dibenarkan mendasarkan kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat untuk mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal 720 Rv, alasan dapat dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk yang nyata.

(44)

akhirnya untuk kepentingan tergugat sendiri agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti,14

1) Sita revindikasi (Revindikatoir) dalam Pasal 260 RBg. dan telah berkekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan.

D. Bentuk - bentuk penyitaan (Beslag)

Pada bagian ini penulis mencoba membagi bentuk-bentuk penyitaan (beslag) menjadi beberapa macam penyitaan, yaitu penyitaan berdasarkan jenisnya, kemudian bentuk-bentuk penyitaan lainya berdasarkan prinsip sita, dan bentuk penyitaan berdasarkan pelaksanaanya.

1. Penyitaan berdasarkan jenisnya.

Didalam bentuk-bentuk penyitaan berdasarkan jenisnya, penulis menitik-beratkan pembagian bentuk ini berdasarkan posisi hak milik atau dimana benda tersebut berada sebagai barang objek sengketa.

Menurut bentuk-bentuk penyitaan berdasarkan jenisnya, ada dua macam, yaitu: a. Penyitaan terhadap barang milik sendiri.

Penyitaan ini ditujukan kepada harta kekayaan penggugat atau kreditur yang berada atau dikuasai oleh orang lain. Penyitaan ini guna menjalankan dan menjamin penyerahan barang yang disita apabila telah jatuh putusan dari hakim. Jadi sita jaminan ini bukan untuk menjamin suatu tagihan utang.

Sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri ada dua macam, yaitu:

Permintaan untuk mengajukan permohonan sita revindikasi dapat diajukan secara lisan maupun tertulis kepada ketua Pengadilan Negeri (PN), dimana tempat orang yang memegang

(45)

barang tersebut tinggal. Hal ini agar penyitaan atas barang sitaan jauh lebih mudah.

Menurut Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 1751 KUH Perdata disebutkan bahwa hanyalah pemilik benda yang bergerak yang barangnya dikuasai orang lain yang dapat mengajukan sita revindikasi. Hal ini juga berlaku kepada hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk meminta kembali barangnya apabila harga barang tidak dibayar. Pemilik barang tersebut juga dapat mengajukan sita revindikasi (Pasal 1145 KUH Perdata dan Pasal 232 KUH Dagang).

Tuntutan revindikasi ini dapat dikabulkan langsung terhadap orang yang menguasai barang sengketa tanpa meminta pembatalan lebih dahulu tentang jual beli dan barang yang dilakukan oleh orang tersebut dengan pihak lain.15

Ciri khas lainnya pada bentuk sita revindikasi adalah, sita revindikasi hanya terbatas pada benda bergerak saja, sehingga tidak mungkin diajukan dan dikabulkan terhadap benda tidak bergerak, walaupun dalil gugatan berdasarkan hak milik. Menurut Pasal 505 KUH Perdata barang bergerak ini dapat dibagi atas benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.

Ada beberapa ciri khas dari bentuk sita revindikasi yaitu antara lain benda yang menjadi objek sengketa tersebut telah dikuasai atau berada di tangan tergugat secara tidak sah atau dengan cara melawan hukum, atau dengan mana tergugat tidak berhak atasnya.

16

15 Subekti, Kumpulan Putusan MA, h. 243

16 P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2009, h. 206

Selain itu sita revindikasi hanya dapat dimohonkan berdasarkan sengketa hak milik, dan dasar alasan sengketa hak milik itu terbatas pula pada :

(46)

Jadi sita revindikasi tidaklah mungkin diajukan berdasarkan sengketa utang-piutang atau ganti-kerugian. Ia hanya khusus bagi sengketa hak milik saja. Pendek kata , benda yang menjadi objek sengketa sita revindikasi yang didapat oleh tergugat bukan berdasarkan alasan yang sah, bukan karena jual beli, bukan karena tukar-menukar, pinjam-meminjam, disewakan dan lain sebagainya. Seandainya terjadi penguasaan benda sitaan tersebut berdasarkan suatu alas hukum yang sah, tidak dapat dimajukan sita revindikasi. Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah sita jaminan atau upaya hukum hak reklame.

Didalam sita revindikasi, penjagaan dan penguasaan barang sitaan pada saat sita dikabulkan dan dinyatakan sah dan berharga, maka hakim secara langsung memerintahkan penyerahannya secara langsung kepada penggugat. Sehingga pada saat itu pula penjagaan dan penguasaan berpindah ketangan penggugat.

Biasanya permohonan sita revindikasi diajukan kepada dhakim dengan tujuan agar barang tergugat yang telah disita untuk segera diserahkan kepada penggugat selaku pemilik yang sah atas benda tersebut.

2) Sita marital (Maritale Beslag) dalam Pasal 823-823j Rv.

Permohonan sita marital ini dapat dimohonkan kepada pengadilan oleh seorang istri, yang tunduk pada hukum perdata selama proses sengketa perceraian di periksa di pengadilan. Hal ini untuk mencegah agar pihak lawannya (suami) tidak mengasingkan barang-barang tersebut, sesuai Pasal 190 KUH Perdata dan Pasal 823 Rv.

(47)

perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Maritale beslag atau sita marital merupakan pengkhususan yang hanya dapat diajukan berhubungan dengan adanya perkara perceraian.

Dalam Pasal 215 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa “tidak mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan haknya dengan mempergunakan upaya-upaya yang diatur dalam hukum acara perdata”. Upaya ini akan berfungsi menyelamatkan gugatan atau pihak yang berkepentingan dari kemungkinan illusioner.

Apabila kita mengaitkan Undang- Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan PP No .9 Tahun 1975, ada isyarat ada hak bagi istri atau suami yang mengajukan permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara perceraian berlangsung.

Menurut pasal 24 ayat (2) huruf c PP No.9 Tahun 1975, disimpulkan bahwa:

a) Memberi hak pada suami atau istri untuk mengajukan maritale beslag atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung.

b) Pengadilan berwewenang untuk mengabulkan maritale beslag agar terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan.

Penerapan sita marital meliputi seluruh harta perkawinan (terutama apabila terjadi perceraian) yang diartikan bagi seluruh harta kekayaan bersama (harta gono-gini) baik yang ada pada suami maupun yang ada pada istri.

(48)

Tentang penjualan harta bersama yang telah disita adalah atas izin hakim17

Mengenai permohonan izin penjualan penjualan harta bersama, izin penjualan tersebut bersifat voluntair bukan bersifat contentiosa atau bersifat partai.

berdasarkan putusan.

18

Penyitaan terhadap barang milik tergugat biasanya disebut dengan sita consevatoir (consevatoir beslag). Menurut Sudikno Mertokusumo

Ini diajukan guna mempermudah proses beracara dalam permohonan izin untuk penjualan barang sitaan oleh pengadilan.

b. Penyitaan terhadap barang milik tergugat (debitur).

19

Apabila kita menelusuri praktek-praktek peradilan, didalamnya akan ditemukan beragam pengalihan arti yang berbeda diantara pengadilan yang satu dengan pengadilan yang lain. Didalam Yurisprudensi Jawa Barat yang diterangkan dalam buku Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Consevatoir Beslag oleh M. Yahya Harahap,

, sita consevatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua pengadilan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Penyitaan dapat menjaga barang agar tidak dialihkan atau tidak dijual.

Sifat dari sita consevatoir ini dapat juga berupa tekanan apabila, barang sitaan tidak sampai dijual. Hal ini terjadi karena tergugat telah memenuhi prestasinya sebelum putusan dilaksanakan. Didalam penggunaan arti sita consevatoir atau consevatoir beslag masih banyak ragam arti yang digunakan. Tentunya kita ingin mendapatkan suatu arti yang tepat yang dapat dibakukan sebagai standar di dalam praktek hukum di lingkungan peradilan.

20

17 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op. Cit., h. 149 18 Ibid, h. 150

19 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 93 20 M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 2

(49)

halnya dengan Pengadilan Negeri Sumedang mempergunakan isitilah sita jaminan untuk menggantikan istilah Consevatoir Beslag. Selain itu, selain istilah sita jaminan dan sita pengukuhan, ada pendapat lain yang mengalihkan Consevatoir Beslag menjadi “Sita Pengabdian”.

Pada masa belakangan ini, Consevatoir Beslag hampir dialihkan dengan istilah sita jaminan. Prof. Subekti dalam bukunya hukum acara perdata,21

1) Sita jaminan diletakan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya.

beliau tegas mengalihkan. istilah consevatoir beslag menjadi istilah yang bernama sita jaminan. Hal ini diperkuat dengan adanya SEMA No.05/1975 Tanggal 1 Desember 1975, yang telah mengalihbahasakan consevatoir beslag menjadi sita jaminan. Yurisprudensi juga menguatkan pergantian tempat consevatoir beslag menjadi sita jaminan. Seperti contohnya pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Tanggal 11 November 1976 No.607/K/Sip/1974.

Sita jaminan diatur dalam Pasal 261 Rbg. Sita jaminan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

2) Sita jaminan juga bisa diletakan terhadap harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau tuntutan ganti rugi.

Dari kedua ciri diatas dapat kita simpulkan atas harta kekayaan tergugat pada perkara hak milik, utang-piutang atau pada tuntutan ganti-kerugian.

Objek sita jaminan dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak baik terhadap benda berwujud maupun tidak berwujud (lychammelijk on lychammelijk). Tentang benda berwujud tentunya dapat kita temukan dengan mudah. Sedangkan benda tak berwujud misalnya macam- macam hak22

Pembebanan sita jaminan bisa hanya terbatas pada barang tertentu jika gugatan seperti hak gadai , hak merek dan lainya.

21 Subekti, Op. Cit., h. 48

Referensi

Dokumen terkait