• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Perselisihan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan …

BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES

D. Penyelesaian Perselisihan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan …

Tentang penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan eksekusi sita jaminan akan penulis uraikan menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian ini merupakan perselisihan yang pernah terjadi pada pelaksanaan eksekusi sita jaminan.

1. Rehabilitasi milik pihak ketiga.

Rehabilitasi milik pihak ketiga ini terjadi karena dilanggarnya larangan menyita milik pihak ketiga. Upaya rehabilitasi ini harus melalui upaya pencabutan yang didasarkan karena alasan-alasan kekeliruan terhadap pemilikan barang yang disita. Menurut M. Yahya Harahap, ada dua cara upaya rehabilitasi yang dibenarkan oleh hukum yaitu:86

86 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Consevatoir Beslag, Op. Cit., h. 153 a. Pencabutan secara ex-officio.

Perintah pencabutan pengangkatan sita jaminan berdasarkan alasan kekeliruan dilakukan hakim secara ex-officio atau berdasarkan jabatan. Seandainya penggugat mengajukan bantahan, hal itu tidak perlu dilayani.

Untuk menyempurnakan pencabutan berdasarkan kekeliruan, maka pencabutan dilakukan dalam bentuk penetapan yang kemudian dituangkan dalam amar putusan. Pencantuman dalam putusan akhir dapat berupa pengesahan penetapan pencabutan atau bisa juga berupa penolakan sita jaminan.

Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas penyitaan karena barang yang disita adalah miliknya sendiri, dapat mengajukan gugatan perlawanan. Cara pemeriksaan perlawanan melalui derden verzet ini dilakukan dalam bentuk proses kontradiktoir (sifat gugatan biasa). Dengan demikian perlawanan ini harus diperiksa dalam persidangan sebagaimana memeriksa perkara biasa.

Apabila pelawan (penggugat derden verzet) dapat membuktikan bahwa barang tersebut adalah miliknya, maka hakim memutuskan pelawan adalah pelawan yang benar dan menyatakan barang yang disita adalah benar milik pelawan. Setelah itu hakim harus mengeluarkan penetapan yang berisi pencabutan sita sebagai tindak lanjut dari putusan itu.

2. Harta milik penjamin (borgtocht) dapat langsung disita terlebih dahulu.

Apakah pengadilan dapat langsung mendahulukan sita jaminan terhadap harta milik penjamin apabila harta milik tergugat (debitur) masih ada. Pada prinsipnya dapat, karena kedudukan pihak penjamin sama dan identik dengan kedudukan tergugat.87

Apabila penjamin ingin adanya perlindungan, maka ia dapat mengajukan “hak menuntut lebih dahulu” pihak debitur (Pasal 1831 KUH Perdata, voorecht van uitwinning) agar dilaksanakan sita lebih dahulu terhadap harta debitur, dan apabila harta debitur tidak cukup barulah diletakan terhadap harta penjamin.

dengan demikian penggugat (kreditur) dapat langsung mengajukan permohonan sita terhadap harta milik penjamin. Hal ini terjadi pada saat debitur tidak memenuhi kewajibannya. Kedudukan debitur utama dan penjamin adalah sama dihadapan kreditur. Dalam kedudukan yang demikian ada hak bagi kreditur “untuk memilih” siapa yang dikehendakinya.

Cara mengajukan hak menuntut lebih dahulu diatur dalam Pasal 1833 KUH Perdata, yaitu: a. Diajukan di persidangan pada “jawaban pertama”.

b. Apabila lalai maka gugur hak pihak penjamin untuk menuntut hak tersebut.

c. Mampu menunjukan harta kekayaan debitur sebagai syarat (Pasal 1834 KUH Perdata). Disisi lain, hal menuntut lebih dahulu bisa gugur apabila:

a. Apabila penjamin telah mlepaskan hak tersebut,

b. Apabila penjamin telah mengikatkan diri secara tanggung-menanggung (hoofdelik), c. Debitur dapat menunjukan bahwa dirinya dalam keadaan pailit,

d. Apabila jaminan didasarkan atas perintah hakim.88

88 Ibid, h. 156

3. Terjadi sita yang melampaui tagihan dalam putusan.

Untuk menghindari pelaksanaan sita jaminan yang melampaui jumlah batas tagihan, hakim harus berpedoman pada azas proposionalitas. Hal ini dilakukan karena pembebanan sita jaminan yang melampaui tagihan dianggap tindakan penyitaan yang tidak masuk akal. Pelaksanaan sita jaminan harus diproposionalkan dengan jumlah tuntutan dengan acauan :

a. Keseimbangan antara jumlah tagihan (tuntutan) dengan nilai barang yang disita.

b. Dalam batas perhitungan, nilai barang yang disita diperkirakan dapat mencukupi pelunasan jumlah tagihan.

c. Dilarang melakukan pembebanan sita jaminan yang jauh mlampaui batas jumlah tagihan penggugat.

Sandainya terjadi sita yang melampaui tagihan, maka upaya yang dapat dilakukan adalah pencabutan terhadap sita tersebut berdasarkan kekeliruan bahwa ada kekeliruan terhadap jumlah atau ukuran yang barang disita. Pencabutan ini dapat didasarkan pada perlawanan debitur (tersita) melalui upaya perlawanan sesuai Pasal 225 RBg. Selain itu pencabutan ini bisa didasarkan juga atas ex-officio hakim karena hakim mengetahui bahwa telah terjadi kekeliruan dalam pelaksanaan penyitaan. Sama seperti pencabutan dalam rehabilitasi pihak ketiga, bentuk pencabutan ini bersifat penetapan yang akan dituangkan dalam amar putusan.

4. Eksekusi terhadap barang sitaan.

Kasus yang akan dibahas adalah tentang eksekusi atau pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap terhadap barang-barang yang disita dalam perkara lain. Contohnya A menggugat B dalam sengketa utang-piutang, dan pada akhirnya B dihukum oleh pengadilan untuk membayar utangnya. Putusan yang telah dijatuhkan kepada si B telah berkekuatan hukum tetap. Ternyata didalam pelaksanaan sita eksekusi harta si B tersebut sudah dibebani sita jaminan guna memenuhi tuntutan pihak lain yaitu si C.

Dalam hal ini ada dua kepentingan hukum yang bertabrakan. Dimana ada pelaksanaan sita eksekusi (excutorial beslag) untuk memenuhi putusan si A, dan disisi lain ada sita jaminan sebagai

jaminan pemenuhan tagihan si C. Dalam contoh diatas eksekutorial beslag atau sita eksekusi maupun eksekusi harus takluk pada sita jaminan.89

Hal ini dapat diketahui dari pendaftaran perjanjian hipotik tersebut. Apabila suatu barang telah didaftarkan hipotok di kantor pendaftaran tanah maka dilarang melaksnakan sita jaminan terhadap barang itu pada waktu yang bersamaan. Pelarangan ini terhitung sejak tanggal pendaftaran hipotik di Dengan demikian eksekusi barang yang sedang dibebani sita jaminan harus menjadi noneksekutabel atau tidak dapat dieksekusi, karena secara faktual barang tersebut sudah lebih dahulu diperuntukan sebagai jaminan terhadap kepentingan si C. oleh karena kepentingan si C sudah lebih dahulu diletakan terhadap harta si B, maka hak dan kepentingan si C harus dilindungi.

Kebalikan dari contoh diatas, barang yang telah diletakan sita eksekusi tidak boleh dibebani sita jaminan lagi. Hal ini sesuai dengan prinsip sita bahwa “sita jaminan harus bebas dari segala macam pembebanan”. Jadi dalam waktu yang bersamaan, sita jaminan tidak boleh dilakukan terhadap barang yang sama apabila diatas barang itu telah ada pembebanan sita atau telah diangunkan kepada pihak lain. Upaya hukum yang dapat dibenarkan dalam kasus diatas adalah sita penyesuaian (vergelijkende beslag).

5. Barang yang akan disita telah dibebani hipotik.

Apabila barang yang hendak disita ternyata telah terlebih dahulu dibebani oleh hipotik, maka sesuai dengan prinsip sita maka penyitaan ini dilarang dilakukan. Upaya hukum yang dibenarkan adalah sita penyesuaian.

kantor pendaftaran tanah. Sebaliknya selama hipotik belum didaftarkan, maka tidak ada kekuatan mengikatnya, dan dapat dibebani sita jaminan.

Namun apabila sita jaminan berhadapan dengan “kuasa memasang hipotik”, maka pembebanan sita jaminan bisa dilakukan atas barang yang akan dihipotikan. Hal ini dikarenakan hipotik belum terjadi dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Alasan dikuatkan dengan pembenaran bahwa kuasa memasang hipotik adalah suatu keadaan bahwa pemegang kuasa belum melaksanakan pembuatan akta hipotik terutama akta hipotik tersebut belum didaftarkan.

Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotik baru ada setelah diikat dalam akta hipotik dan dianggap sah dan mengikat terhitung sejak tangal pendaftarannya. Dengan demikian kuasa memasang hipotik tidak bisa sama sekali menghalangi pelaksanaan pembebanan sita jaminan atas barang-barang itu, karena kuasa memasang hipotik baru bersifat tahap persetujuan pihak yang punya barang akan menghipotikan yang akan dilakukan oleh pemegang kuasa.

6. Amar putusan pelaksanaan eksekusi sita jaminan kurang jelas.

Eksekusi dijalankan sesuai deengan amar (diktum) putusan pengadilan dimana eksekusi tidak boleh melebihi atau mengurangi dan harus sama dengan isi amar putusan. Apabila amar putusan tidak jelas seperti amar putusan yang “menghukum tergugat untuk menyerahkan dan mengosongkan sebidang tanah” tanpa disertai ukuran, batas, maupun nomor sertifikat. Ketidakjelasan ini dapat dimanfaatkan pihak terekskusi untuk menolak eksekusi karena tidak ada kejelasan itu. Sebaliknya pihak pemohon eksekusi dapat juga memanfaatkan ketidakjelasan ini dengan dalih bahwa tanah yang mesti dieksekusi adalah seluruh tanah terperkara (padahal hanya sebagian dari tanah milik tergugat saja).

Cara menyelesaikan eksekusi terhadap amar putusan yang tidak jelas yaitu dengan cara:90

1). Melakukan pemeriksaan setempat yang dihadiri para pihak, kepala desa, serta dari pihak agaria (pertanahan).

a. Eksekusi dikaitkan dengan pertimbangan putusan.

Kalau amar putusan tidak jelas maka Ketua PN harus merujuk pada pertimbangan putusan. Perujukan dilakukan dengan cara mengaitkan amar dengan pertimbangan putusan. Amar putusan dengan pertimbangan putusan adalah merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Jadi dari perkara pengosongan tanah tadi misalnya Ketua PN dapat mencari kejelasan dalam pertimbangan putusan. Dalam pertimbangan putusan pasti akan ditemukan penjelasan tentang apa saja yang dikabulkan dan apa yang ditolak.

Jadi atas alasan ketidakjelasan amar putusan tidak selamanya dapat dijadikan alasan yang menyatakan eksesusi tidak dapat dijalankan (noneksekutabel). Setiap ketidakjelasan harus dikaitkan dengan pertimbangan putusan.

b. Bila ukuran dan batas tidak jelas, lakukan pemeriksaan setempat.

Jika dalam amar putusan atau pertimbangan putusan tidak mencantumkan secara jelas ukuran dan batas-batas tanah yang hendak dieksekusi, sebelum eksekusi dijalankan Ketua PN dapat memerintahkan pemeriksaan setempat untuk menemukan secara pasti luas dan letak tanah itu.

Hal ini dikuatkan dengan MA dalam kasus PN Sukabumi yang mengeluarkan penetapan noneksekutabel terhadap putusan yang tidak jelas menentukan rincian tanah yang akan dieksekusi. MA memerintahkan PN Sukabumi untuk :

2) Jika berdasarkan pemeriksaan setempat dapat dijelaskan objek tanah yang disebut dalam pertimbangan putusan, eksekusi dapat dijalankan.

3). Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan setempat sama sekali tidak diketemukan kejelasan, barulah pengadilan dapat mengeluarkan penetapan eksekusi yang “noneksekutabel” atas alasan barang objek eksekusi “tidak diketemukan”.

c. Menanyakan pendapat majelis yang memutuskan perkara.

Cara terakhir menghadapi amar putusan yang tidak jelas adalah menanyakan pendapat majelis hakim yang memutus perkara yang bersangkutan. Ketua PN dapat menanyakan maksud yang sebenarnya dari amar dan pertimbangan putusan. Biasanya pertanyaan yang ditujukan kepada majelis hakim yang memutus perkara dalam tingkat akhir. Bila yang hendak dieksekusi adalah putusan tingkat kasasi, permintaan penjelasan ditujukan kepada majelis hakim kasasi. Bila putusan itu berupa putusan tingkat banding, maka kejelasan dimintakan pada majelis hakim banding.

Jadi dilarang cepat-cepat menyatakan putusan noneksekutabel atas amar putusan yang tidak jelas, sebelum Pengadilan mengusahakan kejelasan amar dengan tiga cara diatas tadi. Seandainya ketiga cara tadi telah ditempuh barulah pengadilan dapat menyatakan putusan noneksekutabel atas amar putusan yang tidak jelas.

7. Adanya kekeliruan dalam proses eksekusi.

Adanya kekeliruan dalam proses eksekusi, maka eksekusi dapat dilakukan pengulangan. Terhadap pengulangan eksekusi tidak ada secara tegas diatur dalam undang-undang. Penerapan upaya

ini didasarkan pada azas “proces doelmatigheid”, yakni menerapkan suatu tata tertib beracara yang dianggap tepat dan bermanfaat sepanjang mengenai hal itu tidak diatur dalam undang-undang.91 Dengan demikian hanya kekeliruan yang dapat dijadikan alasan melakukan eksekusi ulang.92

91 Ibid, h 420 92 Ibid,

Landasan yang dapat dijadikan dasar pembenaran eksekusi ulang adalah: a. Kekeliruan mengenai objek eksekusi.

b. Eksekusi menyimpang dari amar (cacat hukum).

Tata cara eksekusi ulang tidak perlu dengan gugatan baru. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan eksekusi ulang kepada Ketua PN. Pihak yang berkepentingan ini bisa berupa tereksekusi atau pemohon eksekusi. Terhadap pihak ktiga tidak dapat mengajukan permintaan eksekusi ulang, ia hanya diberikan upaya perlawanan melalui gugatan biasa.

Setelah pengadilan menerima pernyataan tentang terjadinya eksekusi yang keliru, maka Ketua PN dapat melakukan penelitian tentang benar atau tidaknya kekeliruan eksekusi. Apabila terbukti ada kekeliruan maka Ketua PN mengeluarkan penetapan baru yang mencantumkan pembatalan penetapan, dan berita acara eksekusi yang terdahulu serta sekaligus memerintahkan eksekusi ulang. Mengenai pelaksanaan eksekusi ulang sama dengan tata cara eksekusi yang terdahulu dijalankan.

Biaya eksekusi ulang biasanya dibebankan pada pemohon eksekusi ulang, selama biaya eksekusi belum dibayar, maka eksekusi tidak bisa dijalankan. Pemohon eksekusi ulang belum tentu pihak yang menang perkara, bisa saja si debitur (tersitsa, tereksekusi). Dengan demikian, penetapan perintah eksekusi ulang tidak dikeluarkan pengadilan apabila pemohon eksekusi tidak membayar biaya eksekusi.

Dokumen terkait