• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …

A. Kesimpulan …

Sebagai akhir dari pembahasan terhadap permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini yaitu “Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan Dalam Proses Peradilan Menurut Rbg”, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan :

1. Bahwa terdapat sinkronisasi antara pelaksanaan putusan hakim dengan eksekusi sita jaminan. Hal ini dapat dilihat bahwa eksekusi sita jaminan adalah termasuk bagian dari pelaksanaan putusan, eksekusi sita jaminan juga merupakan bagian pelaksaan putusan ini dapat dilihat diantara salah satu jenis-jenis pelaksanaan putusan hakim. Pada pembahasan dapat kita temukan bahwa eksekusi sita jaminan cenderung masuk kedalam jenis pelaksanaan (eksekusi) yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Selain itu sebagai bagian dari pelaksanaan putusan, maka apabila pelaksanaan putusan hakim dapat dilaksanakan, maka otomatis eksekusi sita jaminan dapat dijalankan terutama dengan adanya permohonan pada awal proses pemerikasaan perkara.

Sedemikian erat hubungan antara kedua istilah itu sehingga ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pelaksanaan putusan, hampir seluruhnya berlaku bagi eksekusi sita jaminan, seperti adanya saran MA yang menyarankan agar suatu putusan yang dilaksanakan seyogyanya harus menunggu keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Tentunya saran MA ini akan dilihat dan dijadikan pedoman baik secara langsung maupun tidak langsung didalam menjalankan eksekusi sita jaminan.

2. Pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg harus didahului dengan tahap-tahap :

a. Adanya permohonan sita jaminan oleh penggugat yang oleh hakim dikabulkan dan dinyatakan sah dan berharga pada saat berlangsungnya proses persidangan suatu perkara. Permohonan ini adalah langkah awal dan merupakan mendasar yang berupa persiapan pelaksanaan putusan hakim apabila telah berkekuatan hukum tetap.

b. Adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sebagai bagian dari pelaksanaan putusan, eksekusi sita jaminan harus menunggu adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap ini, maka secara otomatis eksekusi sita jaminan akan berubah menjadi sita eksekusi (eksekutorial beslag). Putusan yang berkekuatan hukum tetap ini dapat digunakan penggugat sebagai dasar hukum untuk menjalankan eksekusi sita jaminan.

c. Permohonan dari pihak pemohon eksekusi. Bentuk permohonan ini dapat berbentuk lisan maupun tulisan. Untuk melaksanakan suatu eksekusi sita jaminan dalam pelaksanaan sebuah putusan sangat diperlukan permohonan dari pihak pemohon eksekusi (penggugat). Permohonan ini adalah sebagai dasar bagi hakim untuk menjalankan suatu putusan dan tanpa adanya permohonan, mustahil eksekusi sita jaminan akan berjalan.

d. Peringatan (aanmaning). Peringatan merupakan syarat formil yang pada segala bentuk pelaksanaan eksekusi termasuk eksekusi sita jaminan. Ketua PN akan memanggil tergugat (yang kalah perkara) untuk diperingatkan untuk dalam tenggang waktu paling lama 8 (delapan) hari agar melaksanakan isi putusan. Hal ini dicatat dalam berita acara sita.

e. Terlampauinya masa tenggang waktu “peingatan”. Apabila tempo 8 (delapan) hari terggugat (pihak yang kalah perkara) tidak mau memenuhi isi dalam putusan, maka Ketua PN dapat melaksanakan eksekusi sita jaminan dengan mengeluarkan surat penetapan penjualan lelang terhadap barang-barang si tergugat.

f. Pelaksanaan sita jaminan yang bernilai sita eksekutorial sebagai tahapan kearah penjualan lelang. Pelaksanaan sita jaminan ini diatur dalam Pasal 209 Rbg sampai 213 Rbg dengan tahap-tahap, sebagai berikut:

1) Berdasarkan surat perintah Ketua PN 2) Dilaksanakan panitera atau juru sita.

3) Memberitahukan penyitaan kepada tergugat. 4) Juru sita dibantu dengan dua orang saksi.

5) Pelaksanaan sita dilakukan di tempat barang terletak. 6) Membuat berita acara sita.

6) Meletakan barang sitaan ditempat semula, dan 7) Menyatakan sita sah dan berharga.

g. Penjagaan yuridis barang yang disita.

Penjagaan barang yang disita tetap pada tangan si tersita sampai tiba saatnya masa penjualan lelang. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan barang sitaan tersebut dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Barang sitaan boleh dipakai si tersita dengan catatan tidak menyebabkan turunnya harga barang sita itu.

h. Penjualan lelang.

Penjualan lelang dapat dilakukan oleh panitera atau juru sita pengadilan yang bersangkutan atau melalui kantor lelang. Sebelum penjualan lelang dimulai harus ada permohonan kepada kantor lelang. Pelaksanaan lelang biasanya dilakukan di tempat barang tersebut diletakan dan proses lelang harus dilaporkan kepada Ketua PN.

i. Lembaga paksa badan. Lembaga ini timbul karena debitur tidak mau melaksanakan kewajibannya sesuai isi putusan padahal ia mampu. Lembaga ini dikenakan pada debitur yang tidak beriktikad baik termasuk ahli warisnya dengan ketentuan utang itu lebih dari satu milyar dan si debitur

belum berusia 75 (tujuh puluh lima) tahun. Lembaga ini dapat juga dikenakan pada penanggung atau penjamin utang dari pihak debitur.

3. Perlawanan hukum terhadap sita jaminan dapat dilakukan oleh pihak yang kalah perkara atau pihak ketiga. Perlawanan diajukan secara lisan maupun tulisan kepada Ketua PN dengan mencantumkan alasan-alasan yang dijadikan dasar perlawanan. Perlawanan ini harus diajukan sebelum selesai pelaksanaan eksekusi sita jaminan. Apabila perlawanan ini dilakukan setelah selesainya eksekusi, maka harus diajukan dalam bentuk gugatan biasa (gugatan baru).

4. Penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan sita jaminan telah penulis uraikan dalam bagian-bagian seperti:

a. Rehabilitasi milik pihak ketiga melalui upaya pencabutan sita atas barang-barang milik pihak ketiga.

b. Terhadap harta penjamin (borgtocht) dapat langsung disita terlebih dahulu apabila penjamin melepaskan “hak memuntut dulu” debitur, karena kedudukan penjamin dan debitur adalah sama dihadapan kreditur.

c. Sita yang melampaui tagihan harus ditolak oleh hakim dan apabila sudah terjadi, maka seharusnya hakim mencabut sita tersebut terhadap barang-barang yang berlebih (azas proporsionalitas).

d. Apabila sita jaminan diletakan terlebih dulu terhadap barang si debitur, maka sita eksekusi atau eksekusi terhadap barang yang sama yang datang belakangan harus noneksekutabel (tidak dapat dijalankan). Sebaliknya bila sita eksekusi yang terlebih dahulu, maka sita jaminan tidak dapat

diletakan terhadap barang yang terlebih dahulu. Permohonan sita jaminan harus ditolak, upaya hukum yang diberikan oleh hakim adalah sita penyesuaian (vergelijkende beslag).

e. Seandainya barang telah dibebani hipotik, maka sita jaminan tidak oleh diletakan terhadap barang yang lebih dahulu diagunkan secara hipotik. Sita penyesuaian adalah jalan keluarnya.

f. Amar putusan pelaksanaan eksekusi sita jaminan yang kurang jelas, harus dikaitkan dengan pertimbangan putusannya, dan bila perlu dilakukan pemeriksaan setempat dan terakhir menanyakan pendapat hakim yang memutus perkara itu. Ini dilakukan agar mencari kejelasan amar putusan. g. Terhadap kekeliruan dalam proses eksekusi dapat dilakukan pengulangan eksekusi sesuai dengan azas “proces doelmatigheid”.

5. Berakhirnya pelasanaan eksekusi sita jaminan ditandai dengan ditutupnya perjanjian jual-beli oleh kantor lelang. Keadaan ini dikuatkan apabila tercapai keadaan dimana semua isi putusan telah dijalankan dan semua tagihan para kreditur telah terpenuhi serta debitur telah melaksanakan apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan M. Yahya Harahap bahwa “tidak ada sita eksekusi setelah lelang”.

Dokumen terkait