EMISI CO2, NISBAH C/N, dan TEMPERATUR pada PENGOMPOSAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) dengan MENGGUNAKAN
Trichoderma harzianum dan Eisenia fetida
SKRIPSI
TATY CHADIJAH HUTABARAT 040303044
ILMU TANAH
EMISI CO2, NISBAH C/N, dan TEMPERATUR pada PENGOMPOSAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) dengan MENGGUNAKAN
Trichoderma harzianum dan Eisenia fetida
SKRIPSI
Oleh :
TATY CHADIJAH HUTABARAT 040303044
ILMU TANAH
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Sumatra Utara, Medan
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
( Ir.T.Sabrina Djunita, MAgr, Sc,Ph.D ) (Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf MP Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing
)
DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Skripsi : Emisi CO2, Nisbah C/N, dan Temperatur pada
Pengomposan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dengan Menggunakan dan Eisenia fetida
Nama : Taty Chadijah Hutabarat
NIM : 040303044
Departeman : Ilmu Tanah
Program Studi : Bioteknologi Tanah
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
( Ir.T.Sabrina Djunita, MAgr, Sc,Ph.D ) (Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf MP Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing
)
Mengetahui
Ketua Departemen ( Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP )
ABSTRAK
Produk utama dari pengomposan adalah kompos, disamping itu dihasilkan juga
CO2, panas dan air selama proses berlangsung. Gas CO2 yang diproduksi adalah hasil
dari metabolism organism yang menjalankan pengomposan. Besar emisi gas CO2
dipengsruhi oleh jenis bahan kompos dan organism yang terlibat. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui emisi CO2 yang diproduksi selama pengomposan
eceng gondok dengan menggunakan agen perombak mikroorganisme Trichoderma
harzianum dan makroorganisme cacing tanah Eisenia fetida. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian USU, Medan.
Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial yang
terdiri dari 4 perlakuan yaitu tanpa agen perombak (D0), 10 g E. fetida (D1), 100 mL
T. harzianum (D2) dan 10 g Eisenia fetida + 100 mL T. harzianum (D3) dan 6
ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan T. harzianum dan
E. fetida dapat menurunkan emisi CO2, Nisbah C/N pada pengomposan yang diproses
menggunakan T. harzianum dan E. fetida lebih rendah dibandingkan nisbah C/N
kompos yang diproses dengan menggunakan agen perombak maupun menggunakan T.
harzianum dan E. fetida.
Kata kunci: Emisi CO2, Eceng gondok, Trichoderma harzianum dan
ABSTRACT
The main product of composting is compost, beside that it also released CO2,
warm and water. Carbondioxide is produced that involvingin composting. The amount
of emission CO2 is influced by the type of compost raw materials and organisms
involved during the aims of this study was determine the emission CO2 produced of
composting water hyacinth using microorganism Trichoderma harzianum and
macroorganism Eisenia fetida. The research was conducted at the laboratory of Soil
Biology of Agricultural Faculty University of North Sumatera. The experiment design
was used non factorial Randomized Block Design included 4 treatments such as
without decomposer (D0), 10 g E. fetida (D1), 100 mL T. harzianum (D2) dan 10 g
Eisenia fetida + 100 mL T. harzianum (D3) and 6 replicates. The results of the study
showed that the application of T. harzianum and Eisenia fetida decreased the emission
CO2. The ratio of C/N compost the be processed using T. harzianum and Eisenia fetida
were lower than C/N ratio of compost without using T. harzianum and Eisenia fetida.
RIWAYAT HIDUP
Taty Chadijah Hutabarat, dilahirkan di Medan pada tanggal 11agustus 1986
anak dari Ayahanda Amarullah Hutabarat dan Ibu Masrah Butar-Butar. Ama. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Tahun 2004 penulis lulus dari MAN I Medan dan pada tahun 2004 lulus
seleksi masuk USU melalui jalur SPMB. penulis memilih minat Biologi Teknologi
Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian.
Adapun kegiatan yang diikuti penulis selama berada di Fakultas Pertanian
adalah :
• Anggota Organisasi Ikatan Mahasiswa Ilmu Tanah (IMILTA)
• Pengurus Pengajian Al-Bayan Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
USU Periode 2007-2008
• Melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Perkebunan Nusantara IV
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul dalam
skripsi ini adalah Emisi CO2, Nisbah C/N dan Temperatur pada Pengomposan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dengan Menggunakan Trichoderma harzianum dan Eisenia fetida yang merupakan salah satu syarat untuk dapat
memperoleh Gelar Sarjana di Departem,en Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Ir.
T. Sabrina Djunita, MAgr, Sc, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak
Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak
membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Tidak lupa pula kepada seluruh dosen staf pengajar Departemen Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan yang telah banyak memberikan
masukan, arahan dan juga bimbingan kepada penulis selama menjalani perkuliahan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan khususnya kepada Ayahanda tercinta
Amarullah Hutabarat dan Ibunda Hj. Masrah Butar-Butar, Kakak saya Nur’aisyah
Hutabarat, adik saya Nurnahar Hutabarat dan seluruh keluarga besar saya atas segala
doa, perhatian dan jerih payah yang telah diberikan baik dalam bentuk materi, tenaga
dan juga fikiran.
Kepada seluruh teman-teman mahasiswa Ilmu Tanah : Fitra Syawal, Faisal
Antri, Eka, dan semua stambuk 2003 sampai 2008 yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, All Crew 236, teman-teman asisten seluruh laboratorium yang ada di
Departemen Ilmu tanah, karyawan jurusan. Kepada sahabat saya, Acun, Mada, Haris
Pane, Aceh, Ardi, Tegoeh, Yansen, Ook, Kimung, serta belahan jiwaku Deny Darman.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk
perbaikan skripsi ini kedepan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga
skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Maret 2010
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... i
RIWAYAT HIDUP ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Kegunaan Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Eceng Gondok ... 4
Pengomposan ... 8
Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan ... 10
Produk dari Proses Pengomposan ... 14
BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
Bahan dan Alat Penelitian ... 21
Metoda Penelitian... 22
Pelaksanaan Penelitian ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian ... 24
Pembahasan ... 35
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 61
Saran ... 61
DAFTAR TABEL
Halaman
Nilai kumulatif Emisi CO2 Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan
menggunakan berapa agen Perombak ... .... 20
Nilai Temperatur Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan
berapa agen Perombak ... .... 25
Nilai pH Kompos Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan
berapa agen Perombak si ... .... 26
Nilai Konsentrasi Karbon Organik Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan
menggunakan berapa agen Perombak ... .... 28
Nilai NTotal Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan berapa
agen Perombak ... .... 29
Nilai Nisbah C/N Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Grafik Emisi CO2 Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan
berapa agen Perombak ……….. ...36
Grafik Temperatur Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan
berapa agen Perombak ... .... 25
Grafik pH Kompos Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan
berapa agen Perombak si ... .... 26
Grafik Konsentrasi Karbon Organik Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan
menggunakan berapa agen Perombak ... .... 28
Grafik NTotal Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan berapa
agen Perombak ... .... 29
Grafik Nisbah C/N Pada proses pengomposan Eceng Gondok dengan menggunakan
berapa agen Perombak ... .... 30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Data Sidik Ragam Emisi CO2 ……….. ...36
Data Sidik Ragam Temperatur Pada proses pengomposan Eceng Gondok ... .... 25
Data Sidik Ragam pH Kompos Pada proses pengomposan Eceng Gondoki ... .... 26
Data Sidik Ragam Konsentrasi Karbon Organik Pada proses pengomposan Eceng
Gondok ... .... 28
Data Sidik Ragam N Total Pada proses pengomposan Eceng Gondok ... .... 29
ABSTRAK
Produk utama dari pengomposan adalah kompos, disamping itu dihasilkan juga
CO2, panas dan air selama proses berlangsung. Gas CO2 yang diproduksi adalah hasil
dari metabolism organism yang menjalankan pengomposan. Besar emisi gas CO2
dipengsruhi oleh jenis bahan kompos dan organism yang terlibat. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui emisi CO2 yang diproduksi selama pengomposan
eceng gondok dengan menggunakan agen perombak mikroorganisme Trichoderma
harzianum dan makroorganisme cacing tanah Eisenia fetida. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian USU, Medan.
Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial yang
terdiri dari 4 perlakuan yaitu tanpa agen perombak (D0), 10 g E. fetida (D1), 100 mL
T. harzianum (D2) dan 10 g Eisenia fetida + 100 mL T. harzianum (D3) dan 6
ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan T. harzianum dan
E. fetida dapat menurunkan emisi CO2, Nisbah C/N pada pengomposan yang diproses
menggunakan T. harzianum dan E. fetida lebih rendah dibandingkan nisbah C/N
kompos yang diproses dengan menggunakan agen perombak maupun menggunakan T.
harzianum dan E. fetida.
Kata kunci: Emisi CO2, Eceng gondok, Trichoderma harzianum dan
ABSTRACT
The main product of composting is compost, beside that it also released CO2,
warm and water. Carbondioxide is produced that involvingin composting. The amount
of emission CO2 is influced by the type of compost raw materials and organisms
involved during the aims of this study was determine the emission CO2 produced of
composting water hyacinth using microorganism Trichoderma harzianum and
macroorganism Eisenia fetida. The research was conducted at the laboratory of Soil
Biology of Agricultural Faculty University of North Sumatera. The experiment design
was used non factorial Randomized Block Design included 4 treatments such as
without decomposer (D0), 10 g E. fetida (D1), 100 mL T. harzianum (D2) dan 10 g
Eisenia fetida + 100 mL T. harzianum (D3) and 6 replicates. The results of the study
showed that the application of T. harzianum and Eisenia fetida decreased the emission
CO2. The ratio of C/N compost the be processed using T. harzianum and Eisenia fetida
were lower than C/N ratio of compost without using T. harzianum and Eisenia fetida.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air
mengapung. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga
tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang merusak lingkungan perairan. Eceng
gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air kebadan air lainnya.
Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang
mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan
pot assium.
Adapun dampak negatif yang ditimbulkan eceng gondok antara lain
meningkatnya evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun
tanaman), menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga
menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air dan dapat menurunkan
nilai estetika lingkungan perairan.
Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara bagi tanaman dengan
cara pengomposan. Untuk itu perlu adanya pengomposan untuk menanggulangi
masalah tersebut dan juga untuk menghindari pencemaran lingkungan yang ada.
Kompos merupakan hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau
limbah organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara
mikroorganisme yang bekerja didalamnya, sedangkan pengomposan merupakan
pengurairan dan pemantapan bahan-bahan organik secara biologis dalam temperatur
thermophilik (suhu tinggi) dengan hasil akhir berupa bahan yang cukup bagus untuk
Untuk mempercepat proses pengomposan banyak cara yang dilakukan
misalnya dengan penambahan aktivator seperti EM4, Trichoderma, kotoran ternak,
urea dan lain-lain. Aktivator biologi seperti Trichoderma, EM4 disebut juga sebagai
dekomposer, yang aktif terlibat dalam perombakan bahan organic menjadi senyawa
inorganik. Hasil akhir utama dari upaya pengomposan adalah kompos, namun selama
pengomposan yang bersifat aerob berlangsung akan diproduksi CO2, air dan panas.
Produksi CO2, air dan panas saling berkaitan dan jumlah CO2 yang diproduksi
menunjukkan laju respirasi yang terjadi, atau dengan kata lain aktivitas
mikroorganisme. Untuk mendukung pertanian yang berbasis lingkungan maka semua
aktivitas pertanian harus memperhatikan efek produk dan proses memproduksi produk
terhadap lingkungan. Jika CO2 harus dihasilkan dalam proses pengomposan apakah
ada perbedaan jumlah CO2 yang dihasilkan dengan penggunaan dekomposer yang
berbeda
Dalam penelitian Rahmaini (2008) menyimpulkan bahwa pengomposan jerami
padi dengan menggunakan T.harzianum dan cacing tanah dapat mengurangi kadar
CO2 kompos sebesar 5,87 mg CO2/g 24h dibandingkan tanpa menggunakan agen
perombak sebesar 53,18 mgCO2/g 24h tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah
CO2 yang diproduksi, perubahan nisbah C/N, temperature maupun pH kompos.
Sementara dengan menggunakan sumber bahan organic yang sama jumlah CO2 yang
diproduksi pada pengomposan menggunakan cacing tanah, trichoderma tidak berbeda
nyata dengan jumlah CO2 tanpa menggunakan dekomposer. Namun nisbah C/N dari
kompos yang menggunakan dekomposer (Cacing tanah maupun trichoderma) nyata
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang
kandungan CO2 , nisbah C/N dan temperatur dari proses pengomposan bahan organic
yang berbeda yaitu eceng gondok dengan menggunakan Trichoderma harzianum dan
Eisenia fetida.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui emisi CO2, nisbah C/N dan temperatur pada pengomposan
eceng gondok dengan menggunakan jamur Trichoderma harzianum dan cacing tanah
Eisenia fetida.
Hipotesis Penelitian
1. Pemberian T.harzianum dapat menurunkan emisi CO2, nisbah C/N dan
temperatur pada pengomposan eceng gondok.
2. Pemberian E. fetida dapat menurunkan emisi CO2, nisbah C/N dan temperatur
pada pengomposan eceng gondok.
3. Pemberian T.harzianum dan E. fetida dapat menurunkan emisi CO2, nisbah
TINJAUAN PUSTAKA Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di
rawa-rawa, danau, waduk dan sungai yang alirannya tenang. Menurut sejarahnya,
eceng gondok di Indonesia dibawa oleh seorang ahli botani dari Amerika ke kebun
Raya Bogor. Akibat pertumbuhan yang cepat (3% per hari), eceng gondok ini mampu
menutupi seluruh permukaan suatu kolam. Eceng gondok tersebut lalu dibuang
melalui sungai disekitar Kebun Raya Bogor sehingga menyebar ke sungai-sungai,
rawa-rawa dan danau-danau di seluruh Indonesia. Eceng gondok dewasa, terdiri dari
akar, bakal tunas, tunas atau stolon, daun, petiole, dan bunga. Daun-daun eceng
gondok berwarna hijau terang berbentuk telur yang melebar atau hamper bulat dengan
garis tengah sampai 15 sentimeter. Pada bagian tangkai daun terdapat masa yang
menggelembung yang berisi serat seperti karet busa. Kelopak bunga berwarna ungu
muda agak kebirua. Setiap kepala putik dapat menghasilkan sekitar 500 bakal biji atau
5000 biji setiap tangkai bunga, sehigga eceng gondok dapat berkembang biak dengan
dua cara yaitu dengan tunas dan biji.
Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsure hara
tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Eceng gondok mempunyai
sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyeraplogam-logam berat, senyawa sulfida,
selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan mengandung selulosa yang lebih
tinggi besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain.
Kompos
Kompos adalah zat akhir suatu proses fermentasi tumpukan sampah/serasah
fermentasi suatu pemupukan dicirikan oleh hasil bagi C/N besar yang
menurun.Bahan-bahan mentah yang biasa digunakan seperti; merang, daun, sampah dapur, sampah
kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil bagi C/N yang melebihi 30
(Sutedjo, 2002).
Di alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya, lewat proses alamiah.
Namun proses tersebut berlangsung lama sekali padahal kebutuhan akan tanah yang
subur sudah mendesak. Oleh karenanya proses tersebut perlu dipercepat dengan
bantuan manusia. Dengan cara yang baik, proses mempercepat pembuatan kompos
berlangsung wajar sehingga bisa diperoleh kompos yang berkualitas baik
(Murbandono, 2000).
Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan
meningkatkan kesuburan tanah, merangsang perakaran yang sehat. Kompos
memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organic tanah dan
akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.
Aktivitas mikroba tanahyang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan
penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap
unsure hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu
tanaman menghadapi serangan penyakit.
Kompos memilki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
Aspek ekonomi:
1. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah
Aspek lingkungan:
1. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah
2. Mengurangi kebtuhan lahan untuk penimbunan
Aspek bagi tanah/tanaman:
1. Meningkatkan kesuburan tanah
2. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah
3. Meningkatkan kapasitas jerap air tanah
4. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah
5. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
6. Menyediakan hormone dan vitamin bagi tanaman
7. Menekan pertumbuhan/srangan penyakit tanaman
8. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah
(Isroi; Wikipedia, 2008)
Kompos dibuat dari bahan organic yang berasal dari bermacam-macam
sumber. Dengan demikian, kompos merupakan sumber bahan organic dan nutrisi
tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulose 15-60%,
hemiselulose 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-30%, disamping itu tedapat bahan larut
air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam ammonium) sebanyak
2-30% dan 1-15% lemak larut eter dan alcohol, minyak dan lilin (Sutanto, 2002).
Pengomposan
Menurut Simamora dan Salundik (2002) pengomposan merupakan proses
perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi bahan organik oleh mikroorganisme dalam
kompos. Dalam mengunakan aktivator pengomposan strategi yang lebih maju adalalah
dengan memanfaatkan organisme yang dapat mempercepat proses
pengomposan.organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing tanah.
Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos yang dihasilkan dikenal
dengan sebutan kascing. Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah mikroba,
baik bakteri, aktinomicetes maupun kapang/cendawan. Saat ini dipasaran banyak
sekali beredar activator-aktivator pengomposan, misalnya Promi, OrgaDec, SuperDec,
ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, BioPos, dan lain-lain. Activator yang menggunakan
Promi, OrgaDec, SuperDec dan Acticomp tidak memerlukan tambahan bahan-bahan
lain dan tanpa pengadukan secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup
untuk mempertahankan suhu dan kelembaban agar proses proses pengomposan
berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat dipercepat hingga 2 minggu untuk
bahan-bahan lunak/mudah dikomposkan hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras/sulit
dikomposkan (Isroi; Wikipedia, 2008).
Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik
menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara
karbohidrat dan nitrogen yang terkandung didalam suatu bahan. Nilai nisbah C/N
tanah adalah 10-12. Bahan organik yang mamiliki nisbah C/N sama dengan tanah
memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Djuarnani dkk, 2005).
Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat, selulosa,
hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air 2) zat putih telur menjadi
amoniak, CO2 dan air 3) peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat
dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan demikian C/N semakin rendah
dan relative stabil mendekati C/N tanah (Indriani, 2007).
Ada dua mekanisme proses pengomposan berdasarkan ketersediaan oksigen
bebas, yakni pengomposan secara aerobik dan anaerobik.
a. Pengomposan secara aerobic
Pada pengomposan secara aeorobik, oksigen mutlak dibutuhkan.
Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan oksigen dan
air untuk merombak bahan organik dan mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen,
fosfor, belerang dan unsure lainnya untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya
(Simamora dan Salundik, 2006).
Dalam system ini kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap menjadi CO2
dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses
pengomposan aerobik tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan
berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan
energi (Sutanto, 2002).
Hasil dari dekomposisi bahan organik secara aerobik adalah CO2, H2O
(air), humus dan energi. Proses dekomposisi bahan organik secara aerobik dapat
disajikan dengan reaksi sebagai berikut:
Bahan Organik
(Djuarnani dkk, 2005).
b. Pengompsan secara Anaerobik
Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis secara struktur
Proses ini merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi temperatur
seperti yang terjadi pada proses pengomposan secara aerobik.Namun,pada proses
anaerobik perlu tambahan panas dari luar sebesar 300C (Djurnani dkk,2005).
Pengomposan anaerobic akan menghasilkan gas mentah (CH4), karbondioksida
(CO2), dan asam organic yang memiliki bobot molekul rendah seperti asam asetat,
asam propionate, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat. Gas metan bisa
dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternative (biogas). Sisanya berupa lumpur yang
mengandung bagian padatan dan cairan. Bagian padatan ini yang disebut kompos.
Namun, kadar airnya masih tinggi sehingga sebelum digunakan harus dikeringkan
(Simamora dan Salundik,2006).
Pembuatan kompos pada prinsipnya cukup mudah bisa dilakukan dengan cara
membiarkan bahan organic hingga melapuk atau menambahkan activator untuk
mempercepat proses pengomposan. Pembuatan kompos dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya:
c. Pembuatan kompos dengan cacing tanah (Vermicomposting)
Vermikompos merupakan bahan campuran hasil proses pengomposan bahan
organic yang memanfaatkan kegiatan cacing tanah. Apabila kegiatan cacing tanah
dibiarkan dalam waktu beberapa bulan tanpa penambahan bahan organic baru, maka
keseluruhan bahan berubah menjadi kasting. Cacing tanah dapat mengkonsumsi semua
jenis bahan organic seberat tubuh cacing. Sebagai contoh 1 kg cacing tanah setiap
hari mampu mengkonsumsi bahan organic seberat 1 kg. Komposisi hara produk akhir
proses pengomposn konvensional (casting) mengandung cukup banyak hara tersedia,
Tapiador (1981) 1000 ton bahan organic lembab dapat diubah oleh cacing tanah
menjadi 300 ton kompos (Sutanto, 2002).
Untuk dapat bernapas, cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya karena
tidak memiliki alat pernapasan. Oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme
tubuh diambil dari udara dengan bantuan pembuluh darah yang terdapat dibawah
kutikula. Pembuluh darah itupun dapat berfungsi melepaskan karbondioksida (CO2)
sebagai sisa hasil metabolism. Namun, agar proses bernapas pada cacing tanah dapat
berlangsung dengan baik, kelembaban lingkungannya harus cukup tinggi (Palungkun,
1999).
Bermacam-macam spesies cacing tanah yang masing-masing memerlukan
kondisi linkungan yang berbeda: jenis tanah dan pH, kandungan lengas dan
temperature. Spesies local harus dipilih apabila akan digunakan untuk kultur cacing,
karena lebih adaptif dengan kondisi setempat. Kecuali ada pertimbangan lain,
misalnya kemampuan cacing tanah dalam memanfaatkan limbah organic. Lumbricus
rubellus (cacing tanah berwarna merah) dan Eisenia foetida merupakan cacing yang
toleran pada temperatur yang tinggi sehingga sangat bermanfaat. Pengomposan model
ini selain diperoleh vermikompos yang kaya hara, juga dihasilkan biomassa cacing
sebagai sumber protein hewani (Sutanto, 2002).
Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan a. Ukuran Bahan
Bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi kerena luas
permukaannya meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme perombak.
Ukuran bahan mentah yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara berkurang
akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada
di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal (Djuarnani, dkk, 2005).
Bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Bahan yang keras
sebaliknya dicacah hingga berukuran 0.5-1 cm, sedangkan bahan yang tidak keras
dicacah dengan ukuran yang agak besar sekitar 5 cm. pencacahan bahan yang tidak
keras sebaliknya tidak terlalu kecil karena bahan yang terlalu hancur (banyak air)
(kelembabannya menjadi tinggi) (Indriani, 2007).
b. Nisbah C/N
Kondisi kelengasan dan bahan dasar kompos menentukan nisbah C/N dan nilai
pupk kompos. Hasil akhir kompos hara mengandung antara 30-60% bahan
organic.pengujian kimiawi termasuk pengkuran C, N dan nisbah C/N merupakan
indicator kematangan kompos. Apabila nisbah C/N kompos 20 atau lebih kecil
berarti kompos tersebut siap digunakan. Akan tetapi, nisbah C/N bahan kompos yang
baik dapat berkisar antara 5 dan 20 (Sutanto, 2002).
Jika C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu,
diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk menyelesaikan degradasi bahan
kompos sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan
akan memilki mutu rendah. Jika nisbah C/N terlalu rendah atau kurang dari 30,
kelebihan nitrogen N yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi
dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amonia atau terdenitrifikasi (Djuarnani,
Pada proses dekomposisi bahan organik, sebahagian C akan diassimilasikan dalam
mikroorganisme dan sebahagian lagi hilang dalam bentuk CO2 oleh proses respirasi.
Rasio C dan N dari mikroorganisme berkisar 10. Oleh karena itu jika bahan memiliki
ratio C dan N tinggi maka perlu penambahan N, dan jika ratio C/N bahan organik
rendah maka N yang terlalu banyak akan hilang.
Tingkat kelembaban dan aerasi tidak mempengaruhi jumlah C dan N yang
hilang, tetapi rasio C/N dari residu mempengaruhi jumlah N yang tervolatilisasi pada
proses pengomposan. Sedangkan jumlah C yang hilang dalam bentuk gas berkorelasi
dengan BOD5 (ketersediaan C) dari bahan. Jumlah N yang hilang juga berhubungan
dengan panjang berlangsungnya proses pengomposan (Baca et al., 2001). Dari
hubungan antara C dan N yang hilang dalam proses pengomposan menunjukkan
bahwa 85% dari total awal N kompos tersedia bagi mikrobia untuk tumbuh dan 70%
dari C tersedia hilang sebagai CO2 selama proses immobilisasi.
Mikroorganisme akan mengikat nitrogen tetapi tergantung pada ketersediaaan
karbon. Apabila ketersediaan karbon terbatas (nisbah C/N terlalu rendah)tidak cukup
senyawa sebagai sumber energy yang dapat dimanfaatkan mikroorganisme untuk
mengikat seluruh nitrogen bebas. Dalam hal ini jumlah nitrogen bebas dilepaskan
dalam bentuk gas NH3- dan kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas rendah.
Apabila ketersediaan karbon berlebihan (C/N>40) jumlah nitrogen sangat terbatas
sehingga merupakan factor pembatas pertumbuhan mikroorganisme. Proses
dekomposisi menjadi terhambat karena kelebihan karbon pertama kali harus
Dari hubungan antara C dan N yang hilang dalam proses pengmposan
menunjukkan bahwa 85% dari total awal N kompos tersedia bagi mikroba untuk
tumbuh dan 70% dari C tersedia hilang sebagai CO2 selama proses immobilisasi (Baca
et al., 1993).
c. Komposisi Bahan
Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat.
Pengomposan bahan organic dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan
kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang
dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik, mikroorganisme juga
mendapatkan bahan tersebut dari luar (Indriani, 2007).
Laju dekomposisi bahan organik juga tergantung dari sifat bahan yang akan
dikomposkan. Sifat bahan tanaman tersebut diantaranya jenis tanaman, umur, dan
komposisi kimia tanaman. Semakin muda umur tanaman maka proses dekomposisi
akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan kadar airnya masih tinggi, kadar
nitrogennya tinggi , imbangan C/N yang sempit serta kandungan lignin yang rendah
(Simamora dan Salundik, 2006)
d. Kelembaban dan Aerasi
Bahan mentah yang baik untuk penguraian atau perombakan berkadar air
50-70%. Bahan dari hijauan biasanya tidak memerlukan tamabahan air, sedangkan cabang
tanaman yang kering atau rumput-rumputan harus diberi air saat dilakukan
penimbunan. Kelembaban timbunan secara menyeludiusahakan sekitar 40-60%
(Musnamar.2006). aerasi yang tidak seimbang akan menyebabkan timbunan berada
Kandungan kelembaban udara optimum sangat diperlukan dalam proses
pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40-60% dengan nilai yang
paling baik adalah 50%. Kelembaban yang optimum harus dijaga untuk memperoleh
jumlah mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan
dengan cepat. Apabila kondisi tumpukan terlalu lembab, tentu dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga
terjadi kondisi anaerobic yang akan menimbulkan bau. Bila tumpukan terlalu kering
(kelembaban kurang dari 40%), dapat mengakibatkan berkurangnya populasi
milroorganisme pengurai karena terbatasnya habitat yang ada (Anonim, 2008).
e. Temperatur
Pada pengomposan secara aerobic akan terjadi kenaikan temperature yang
cukup cepat selama 3-5 hari pertama dan temperature kompos dapat mencapai
55-700C. kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan
mikrooranisme. Pada kisaran temperature ini, mikroorganisme dapat tumbuh 3
kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 550C. Selain itu, pada
temperature tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan
organic. Penurunan nisbah C/N juga dapat berjalan dengan sempurna
(Djuarnani dkk, 2005).
Kegagalan untuk mencapai temperature termofilik dalam waktu 3 sampai 6
hari disebabkan timbunan terlalu tipis untuk mempertahankan panas atau kelembaban
yang berlebihan atau nisbah C/N bahan organic terlalu rendah atau hara yang
pengomposan, meskipun bahan kompos telah dibalik dan disiram tidak timbul panas
(Sutanto, 2002).
Berdasarkan kemampuan bertahan hidup, mikroba terbagi atas 3 kelompok,
yaitu psycrofilik (50–100C), mesofilik (10/150C–40/450C) dan termofilik (40/450C–
700C). Suhu yang berkisar antara 600C dan 700C merupakan kondisi optimum
kehidupan mikroorganisme tertentu (Sutanto, 2002) dan membunuh patogen yang
tidak kita kehendaki. Ukuran reaktor kompos terutama tingginya mempengaruhi suhu
kompos. Semakin tinggi volume timbunan dibanding permukaan maka semakin
mudah timbunan menjadi panas. Timbunan bahan yang paling ideal menurut
Murbandoro (2000) adalah 1,2–2 m.
f. Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu,
dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk
menaikkan pH (Indriani, 2007).
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang
optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5-7,5. pH kotoran ternak
umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan organic dan pH bahan itu sendiri. Sebagai
contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau local, akan menyebabkan
pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (Wikipedia Indonesia,
2008).
g. Pengadukan atau Pembalikan Tumpukan
Pengadukan sangat diperlukan agar cepat tercipta kelembaban yang dibutuhkan
saat proses pengomposan berlangsung. Pengadukan pun dapat menyebabkan
terciptanya udara dibagian dalam timbunan, terjadinya penguarian bahan organic yang
mampat, dan proses penguraian berlangsung merata. Hal ini terjadi karena lapisan
pada bagian tengah tumpukan akan terjadi pengomposan cepat. Pembalikan sebaliknya
dilakukan dengan cara pemindahan lapisan atas ke lapisan tengah., lapisan tengah ke
lapisan bawah, dan lapisan bawah ke lapisan atas (Musnamar, 2006).
Pencampuran yang kurang baik dari komposan yang mempunyai tingkat
kematangan berbeda harus dihindarkan karena menyebabkan terjadinya genangan di
tempat-tempat tertentu, kehilangan struktur yang tidak seragam dan nisbah hara yang
tidak seimbang dari timbunan kompos. Pada kondisi yang menguntungkan , awal
homogenesis limbah dapat dilaksanakan pada saat pengumpulan limbah dan
kemungkinan melalui proses penghalusan. Homogenisasi dan pencampuran bahan
dasar kompos dan bahan aditif sekaligus mengatur kandungan lengas dari bahan yang
sudah matang (Sutanto, 2002).
h. Organisme Perombak
Jasad hidup dalam tanah atau mikroorganisme tanah terdiri dari dua golongan
besar, yaitu golongan fauna dan golongan flora. Golongan fauna terdiri dari mikro
fauna (cacing tanah, semut, rayap). Golongan flora terdiri dari mikro flora (Bakteri,
fungi, ganggang dan aktinomicetes).
Dilihat dari fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperature
rendah (10-450C) berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organic
sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan.
Sementara itu, bakteri termofilik yang hidup pada temperature tinggi (45-650C) yang
tumbuh dalam waktu tebatas berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein
sehingga bahan kompos dapat terdegredasidengan cepat (Djuarnani dkk, 2005).
Mikrorganisme kelompok mesophilik dan termophilik melakukan proses
pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organic dilarutkan dan kemudian diuraikan.
Cara kerjanya yaitu dengan mengeluarkan enzim yang dilarutkan enzim yang
dilarutkan kadalam selaput air (water film) yang melapisi bahan organic, enzim
tersebut berfungsi menguraikan bahan organic menjadi unsure-unsure yang mereka
serap, karena terjadi di permukaan bahan, maka proses proses penguraian ini akan
mengakibatkan mikroorganisme. Demikian seterusnya, semakin besar
populasi mikroorganisme, semakin cepat pula proses pembusukan (Rochaeni
dkk, 2008).
Semua organisme hidup termasuk fungi memerlukan nutrient untuk
mendukung pertumbuhannya. Nutrient berupa unsure-unsur atau senyawa kimia dari
lingkungan digunakan sel sebagai konstituen kimia penyusun sel. Secara umum,
nutrient yang diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, kalium,
organism hidup memiliki karbon sebagai salah salah satu senyawa pembangun tubuh
(Gandjar dkk, 2006).
Produk dari Proses Pengomposan
Kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos,
disamping kandungan logam beratnya. Bahan organic yang tidak terdekomposisi
secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan pertumbuhan tanaman.
Penambahan kompos yang belum matang kedalam tanah dapat menyebabkan
terjadinya persaingan bahan nutrient antara tanaman dan mikroorganisme tanah.
Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Djuarnani dkk, 2005).
Menurut Isroi ( 2008), secara umum kompos yang sudah matang dapat
dicirikan dengan sifat sebagai berikut:
1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah
2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspense
3. Nisbah C/N sebesar 10-20, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasinya
4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah
5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, dan
6. Tidak berbau
Menurut IPPT (2001), keunggulan dari vermikompos adalah sebagai berikut:
1. Vermikompos mengandung berbagai unsure hara yang dibutuhkan tanaman seperti
N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Al, Na, Cu, Zn, Bo, dan Mo tergantung pada bahan
yang digunakan, dapat meningkatkan kesuburan tanah, dan juga dapat membantu
2. Vermikompos berperan memperbaiki kemampuan menahan air, membantu
menyediakan nutrisi bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah dan menetralkan pH
tanah
3. Vermikompos mempunyai kemampuan air sebesar 40-60%. Hal ini karena struktur
vermikompos yang memiliki ruang-ruang yang mampu menyerap dan menyimpan
air, sehingga mampu mempertahankan kelembaban
Produk dari proses pengomposan yang dihasilkan oleh cacing kotoran cacing
(kascing) yang biasanya lebih netral dari tanah dimana cacing tersebut hidup. Salah
satu kemungkinan alasannya adalah bahwa cacing tanah menetralisir tanah pada saat
melaluinya dengan mengeluarkan kelenjar kalsiferous. Hal ini ada yang meragukan
dan memberikan alasan lain yaitu bahwa kotoran cacing dinetralisir oleh sekresi dari
ususnya dan oleh ammonia yang dikeluarkan oleh cacing (Anas, 1990).
Tabel 3. Komposisi Komponen Kimiawi pada Kascing
Komponen Komposisi (%)
Nitrogen (N) 1,1-4,0
Fosfor (P) 0,3-3,5
Kalium (K) 0,2-2,1
Belerang (S) 0,24-0,63
Magnesium (Mg) 0,3-0,6
Besi (Fe) 0,4-1,6
Kalsium (Ca) 0,25-0,6
(Sumber: Palungkun, 1999)
Tabel 4. Standar Kualitas Kompos Secara Umum
Komponen Kandungan (%)
Kadar air 41,00-43,00
K2O 0,32-0,80
Ca 1,00-2,09
Mg 0,10-0,19
Fe 0,50-0,64
Al 0,50-0,92
Mn 0,02-0,04
(Sumber: Musnamar, 2006).
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan April sampai
Mei 2009.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eceng gondok
sebagai bahan bahan yang dikomposkan dan kotoran lembu sebagai aktifator, T.
harzianum dan E. fetida sebagai perombak bahan organic, media (PDA) untuk tempat
tumbuh T. harzianum, air sebagai pelarut sekaligus menyiram kompos supaya terjaga
kelembabannya dan bahan kimia lainnya untuk keperluan analisis.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sterofom untuk tempat
kompos, thermometer untuk mengukur temperature kompos, botol untuk tempat
NaOH, timbangan dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk analisis.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non factorial
dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan.
Masing-masing perlakuan adalah:
D0 = 1kg eceng gondok
D1 = 1kg eceng gondok + 10g E. fetida
D2 = 1kg eceng gondok + 100mL T. harzianum
D3 = 1kg eceng gondok + 100mL T. harzianum + 10g E. fetida
Dengan demikian diperoleh 24 unit percobaan (4x6)
Model Linier Rancangan Acak Kelompok (RAK) non factorial:
Yij = µ + δi + αj + ∑ij
Dimana:
Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan Blok ke-j
µ = nilai tengah umum
δi = pengaruh perlakuan ke-i
αj = pengaruh blok ke-j
∑ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan blok ke-j
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Agen Perombak di Laboratorium Biologi Tanah FP USU
a. Perbanyakan T. harzianum
1.Diambil 1 ose dari media agar miring (koleksi pribadi) kemudian digoreskan ke
media PDA padat lalu diinkubasi selama 3 hari
3.Diambil biakan murni tersebut sebanyak 1x1 cm dari permukaan media
kemudian dimasukkan ke media PDA cair untuk diperbanyak lalu diinkubasi
selama 1 minggu
b. Persiapan Cacing
1. Diambil E. fetida
2. Ditentukan bobotnya setelah itu diaplikasikan ke kompos
Persiapan Bahan Organik
Eceng gondok dipotong-potong menjadi kecil-kecil dengan ukuran kurang dari
5cm, hal ini bertujuan agar memperluas permukaan perombakan oleh mikroorganisme
dan cacing tanah yang diberikan sehingga dapat mempercepat proses dekomposisi
eceng gondok. Eceng gondok yang telah dicacah dicampur dengan kotoran lembu
kering udara 100g/kg eceng gondok.
Pengomposan
Eceng gondok sebanyak 1 kg kering udara yang telah dicacah dimasukkan
kedalam sterofom. Kemudian diberi agen perombak T. harzianum dan E.
fetida (setelah kompos berumur 8 hari) sesuai dengan perlakuan. Kemudian dilakukan
pencampuran bahan sampai homogen dan disiram dengan air sampai kondisi cukup
lembab. Pengomposan ini menggunakan metode vermikompos (Mulat, 2003).
Pemeliharaan kompos meliputi penyiraman, pembalikan, pengukuran respirasi
CO2 dan temperature kompos dilakukan setiap hari, dengan tujuan menjaga fluktuasi
respirasi CO2 dan temperatur tersebut.
Akhir Pengomposan
Akhir pengomposan ditandai dengan berubahnya laju respirasi CO2, nisbah
C/N dan temperature selama 26 hari masa pengomposan.
Pengukuran CO2 selama Pengomposan (Schinner et al, 1996), dengan tahapan sebagai
berikut:
1. Dimasukkan NaOH (0,05M) kedalam botol
2. Botol tersebut dihubungkan langsung dengan menggunakan selang ke sterofom
yang berisi kompos eceng gondok
3. Diinkubasi selama 1 hari
4. Dituang NaOH (0,05M) tadi kedalam beaker gelas
5. Ditambahkan 2 mL BaCl2 (0,5M) lalu diberi 4 tetes larutan indicator
6. Kemudian titrasi dengan HCl (0,1M)
• Untuk kontrol, lakukan prosedur diatas tanpa eceng gondok
mgCO2/gdm.24h = dm SWx x x s c % 100 2 , 2 ) ( − keterangan:
C = Volume HCl yang digunakan kontrol (mL)
S = Volume HCl yang digunakan sampel (mL)
2,2 = Faktor konversi (1 mL dari 0,1M HCl equivalen dengan
100% -1 dm = Faktor kekeringan eceng gondok yang terjadi
Parameter Penelitian
- Respirasi CO2 (mgCO2/g dm.24h)
Respirasi CO2 dengan metode titrasi yang diukur setiap hari selama 25 hari masa
pengomposan
- Nisbah C/N
Nisbah C/N diukur pada awal (0 hari), tengah (12 hari), dan akhir (25 hari) masa
pengomposan
- Temperatur (0C)
Temperature diukur setiap hari selama 25 hari masa pengomposan
- pH
pH diukur pada (0 hari), tengah (12 hari), dan akhir (25 hari) masa pengomposan
- Bobot Cacing Tanah (g)
TINJAUAN PUSTAKA Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di
rawa-rawa, danau, waduk dan sungai yang alirannya tenang. Menurut sejarahnya,
eceng gondok di Indonesia dibawa oleh seorang ahli botani dari Amerika ke kebun
Raya Bogor. Akibat pertumbuhan yang cepat (3% per hari), eceng gondok ini mampu
menutupi seluruh permukaan suatu kolam. Eceng gondok tersebut lalu dibuang
melalui sungai disekitar Kebun Raya Bogor sehingga menyebar ke sungai-sungai,
rawa-rawa dan danau-danau di seluruh Indonesia. Eceng gondok dewasa, terdiri dari
akar, bakal tunas, tunas atau stolon, daun, petiole, dan bunga. Daun-daun eceng
gondok berwarna hijau terang berbentuk telur yang melebar atau hamper bulat dengan
garis tengah sampai 15 sentimeter. Pada bagian tangkai daun terdapat masa yang
menggelembung yang berisi serat seperti karet busa. Kelopak bunga berwarna ungu
muda agak kebirua. Setiap kepala putik dapat menghasilkan sekitar 500 bakal biji atau
5000 biji setiap tangkai bunga, sehigga eceng gondok dapat berkembang biak dengan
dua cara yaitu dengan tunas dan biji.
Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsure hara
tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Eceng gondok mempunyai
sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyeraplogam-logam berat, senyawa sulfida,
selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan mengandung selulosa yang lebih
tinggi besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain.
Kompos
fermentasi suatu pemupukan dicirikan oleh hasil bagi C/N besar yang
menurun.Bahan-bahan mentah yang biasa digunakan seperti; merang, daun, sampah dapur, sampah
kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil bagi C/N yang melebihi 30
(Sutedjo, 2002).
Di alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya, lewat proses alamiah.
Namun proses tersebut berlangsung lama sekali padahal kebutuhan akan tanah yang
subur sudah mendesak. Oleh karenanya proses tersebut perlu dipercepat dengan
bantuan manusia. Dengan cara yang baik, proses mempercepat pembuatan kompos
berlangsung wajar sehingga bisa diperoleh kompos yang berkualitas baik
(Murbandono, 2000).
Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan
meningkatkan kesuburan tanah, merangsang perakaran yang sehat. Kompos
memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organic tanah dan
akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.
Aktivitas mikroba tanahyang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan
penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap
unsure hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu
tanaman menghadapi serangan penyakit.
Kompos memilki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
Aspek ekonomi:
1. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah
2. Mengurangi volume/ukuran limbah
Aspek lingkungan:
1. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah
2. Mengurangi kebtuhan lahan untuk penimbunan
Aspek bagi tanah/tanaman:
1. Meningkatkan kesuburan tanah
2. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah
3. Meningkatkan kapasitas jerap air tanah
4. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah
5. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
6. Menyediakan hormone dan vitamin bagi tanaman
7. Menekan pertumbuhan/srangan penyakit tanaman
8. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah
(Isroi; Wikipedia, 2008)
Kompos dibuat dari bahan organic yang berasal dari bermacam-macam
sumber. Dengan demikian, kompos merupakan sumber bahan organic dan nutrisi
tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulose 15-60%,
hemiselulose 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-30%, disamping itu tedapat bahan larut
air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam ammonium) sebanyak
2-30% dan 1-15% lemak larut eter dan alcohol, minyak dan lilin (Sutanto, 2002).
Pengomposan
Menurut Simamora dan Salundik (2002) pengomposan merupakan proses
kompos. Dalam mengunakan aktivator pengomposan strategi yang lebih maju adalalah
dengan memanfaatkan organisme yang dapat mempercepat proses
pengomposan.organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing tanah.
Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos yang dihasilkan dikenal
dengan sebutan kascing. Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah mikroba,
baik bakteri, aktinomicetes maupun kapang/cendawan. Saat ini dipasaran banyak
sekali beredar activator-aktivator pengomposan, misalnya Promi, OrgaDec, SuperDec,
ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, BioPos, dan lain-lain. Activator yang menggunakan
Promi, OrgaDec, SuperDec dan Acticomp tidak memerlukan tambahan bahan-bahan
lain dan tanpa pengadukan secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup
untuk mempertahankan suhu dan kelembaban agar proses proses pengomposan
berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat dipercepat hingga 2 minggu untuk
bahan-bahan lunak/mudah dikomposkan hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras/sulit
dikomposkan (Isroi; Wikipedia, 2008).
Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik
menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara
karbohidrat dan nitrogen yang terkandung didalam suatu bahan. Nilai nisbah C/N
tanah adalah 10-12. Bahan organik yang mamiliki nisbah C/N sama dengan tanah
memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Djuarnani dkk, 2005).
Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat, selulosa,
hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air 2) zat putih telur menjadi
amoniak, CO2 dan air 3) peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat
dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan demikian C/N semakin rendah
dan relative stabil mendekati C/N tanah (Indriani, 2007).
Ada dua mekanisme proses pengomposan berdasarkan ketersediaan oksigen
bebas, yakni pengomposan secara aerobik dan anaerobik.
a. Pengomposan secara aerobic
Pada pengomposan secara aeorobik, oksigen mutlak dibutuhkan.
Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan oksigen dan
air untuk merombak bahan organik dan mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen,
fosfor, belerang dan unsure lainnya untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya
(Simamora dan Salundik, 2006).
Dalam system ini kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap menjadi CO2
dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses
pengomposan aerobik tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan
berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan
energi (Sutanto, 2002).
Hasil dari dekomposisi bahan organik secara aerobik adalah CO2, H2O
(air), humus dan energi. Proses dekomposisi bahan organik secara aerobik dapat
disajikan dengan reaksi sebagai berikut:
Bahan Organik
(Djuarnani dkk, 2005).
b. Pengompsan secara Anaerobik
Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis secara struktur
Proses ini merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi temperatur
seperti yang terjadi pada proses pengomposan secara aerobik.Namun,pada proses
anaerobik perlu tambahan panas dari luar sebesar 300C (Djurnani dkk,2005).
Pengomposan anaerobic akan menghasilkan gas mentah (CH4), karbondioksida
(CO2), dan asam organic yang memiliki bobot molekul rendah seperti asam asetat,
asam propionate, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat. Gas metan bisa
dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternative (biogas). Sisanya berupa lumpur yang
mengandung bagian padatan dan cairan. Bagian padatan ini yang disebut kompos.
Namun, kadar airnya masih tinggi sehingga sebelum digunakan harus dikeringkan
(Simamora dan Salundik,2006).
Pembuatan kompos pada prinsipnya cukup mudah bisa dilakukan dengan cara
membiarkan bahan organic hingga melapuk atau menambahkan activator untuk
mempercepat proses pengomposan. Pembuatan kompos dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya:
c. Pembuatan kompos dengan cacing tanah (Vermicomposting)
Vermikompos merupakan bahan campuran hasil proses pengomposan bahan
organic yang memanfaatkan kegiatan cacing tanah. Apabila kegiatan cacing tanah
dibiarkan dalam waktu beberapa bulan tanpa penambahan bahan organic baru, maka
keseluruhan bahan berubah menjadi kasting. Cacing tanah dapat mengkonsumsi semua
jenis bahan organic seberat tubuh cacing. Sebagai contoh 1 kg cacing tanah setiap
hari mampu mengkonsumsi bahan organic seberat 1 kg. Komposisi hara produk akhir
proses pengomposn konvensional (casting) mengandung cukup banyak hara tersedia,
Tapiador (1981) 1000 ton bahan organic lembab dapat diubah oleh cacing tanah
menjadi 300 ton kompos (Sutanto, 2002).
Untuk dapat bernapas, cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya karena
tidak memiliki alat pernapasan. Oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme
tubuh diambil dari udara dengan bantuan pembuluh darah yang terdapat dibawah
kutikula. Pembuluh darah itupun dapat berfungsi melepaskan karbondioksida (CO2)
sebagai sisa hasil metabolism. Namun, agar proses bernapas pada cacing tanah dapat
berlangsung dengan baik, kelembaban lingkungannya harus cukup tinggi (Palungkun,
1999).
Bermacam-macam spesies cacing tanah yang masing-masing memerlukan
kondisi linkungan yang berbeda: jenis tanah dan pH, kandungan lengas dan
temperature. Spesies local harus dipilih apabila akan digunakan untuk kultur cacing,
karena lebih adaptif dengan kondisi setempat. Kecuali ada pertimbangan lain,
misalnya kemampuan cacing tanah dalam memanfaatkan limbah organic. Lumbricus
rubellus (cacing tanah berwarna merah) dan Eisenia foetida merupakan cacing yang
toleran pada temperatur yang tinggi sehingga sangat bermanfaat. Pengomposan model
ini selain diperoleh vermikompos yang kaya hara, juga dihasilkan biomassa cacing
sebagai sumber protein hewani (Sutanto, 2002).
Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan a. Ukuran Bahan
Bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi kerena luas
permukaannya meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme perombak.
akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada
di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal (Djuarnani, dkk, 2005).
Bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Bahan yang keras
sebaliknya dicacah hingga berukuran 0.5-1 cm, sedangkan bahan yang tidak keras
dicacah dengan ukuran yang agak besar sekitar 5 cm. pencacahan bahan yang tidak
keras sebaliknya tidak terlalu kecil karena bahan yang terlalu hancur (banyak air)
(kelembabannya menjadi tinggi) (Indriani, 2007).
b. Nisbah C/N
Kondisi kelengasan dan bahan dasar kompos menentukan nisbah C/N dan nilai
pupk kompos. Hasil akhir kompos hara mengandung antara 30-60% bahan
organic.pengujian kimiawi termasuk pengkuran C, N dan nisbah C/N merupakan
indicator kematangan kompos. Apabila nisbah C/N kompos 20 atau lebih kecil
berarti kompos tersebut siap digunakan. Akan tetapi, nisbah C/N bahan kompos yang
baik dapat berkisar antara 5 dan 20 (Sutanto, 2002).
Jika C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu,
diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk menyelesaikan degradasi bahan
kompos sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan
akan memilki mutu rendah. Jika nisbah C/N terlalu rendah atau kurang dari 30,
kelebihan nitrogen N yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi
dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amonia atau terdenitrifikasi (Djuarnani,
Pada proses dekomposisi bahan organik, sebahagian C akan diassimilasikan dalam
mikroorganisme dan sebahagian lagi hilang dalam bentuk CO2 oleh proses respirasi.
Rasio C dan N dari mikroorganisme berkisar 10. Oleh karena itu jika bahan memiliki
ratio C dan N tinggi maka perlu penambahan N, dan jika ratio C/N bahan organik
rendah maka N yang terlalu banyak akan hilang.
Tingkat kelembaban dan aerasi tidak mempengaruhi jumlah C dan N yang
hilang, tetapi rasio C/N dari residu mempengaruhi jumlah N yang tervolatilisasi pada
proses pengomposan. Sedangkan jumlah C yang hilang dalam bentuk gas berkorelasi
dengan BOD5 (ketersediaan C) dari bahan. Jumlah N yang hilang juga berhubungan
dengan panjang berlangsungnya proses pengomposan (Baca et al., 2001). Dari
hubungan antara C dan N yang hilang dalam proses pengomposan menunjukkan
bahwa 85% dari total awal N kompos tersedia bagi mikrobia untuk tumbuh dan 70%
dari C tersedia hilang sebagai CO2 selama proses immobilisasi.
Mikroorganisme akan mengikat nitrogen tetapi tergantung pada ketersediaaan
karbon. Apabila ketersediaan karbon terbatas (nisbah C/N terlalu rendah)tidak cukup
senyawa sebagai sumber energy yang dapat dimanfaatkan mikroorganisme untuk
mengikat seluruh nitrogen bebas. Dalam hal ini jumlah nitrogen bebas dilepaskan
dalam bentuk gas NH3- dan kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas rendah.
Apabila ketersediaan karbon berlebihan (C/N>40) jumlah nitrogen sangat terbatas
sehingga merupakan factor pembatas pertumbuhan mikroorganisme. Proses
dekomposisi menjadi terhambat karena kelebihan karbon pertama kali harus
Dari hubungan antara C dan N yang hilang dalam proses pengmposan
menunjukkan bahwa 85% dari total awal N kompos tersedia bagi mikroba untuk
tumbuh dan 70% dari C tersedia hilang sebagai CO2 selama proses immobilisasi (Baca
et al., 1993).
c. Komposisi Bahan
Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat.
Pengomposan bahan organic dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan
kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang
dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik, mikroorganisme juga
mendapatkan bahan tersebut dari luar (Indriani, 2007).
Laju dekomposisi bahan organik juga tergantung dari sifat bahan yang akan
dikomposkan. Sifat bahan tanaman tersebut diantaranya jenis tanaman, umur, dan
komposisi kimia tanaman. Semakin muda umur tanaman maka proses dekomposisi
akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan kadar airnya masih tinggi, kadar
nitrogennya tinggi , imbangan C/N yang sempit serta kandungan lignin yang rendah
(Simamora dan Salundik, 2006)
d. Kelembaban dan Aerasi
Bahan mentah yang baik untuk penguraian atau perombakan berkadar air
50-70%. Bahan dari hijauan biasanya tidak memerlukan tamabahan air, sedangkan cabang
tanaman yang kering atau rumput-rumputan harus diberi air saat dilakukan
penimbunan. Kelembaban timbunan secara menyeludiusahakan sekitar 40-60%
(Musnamar.2006). aerasi yang tidak seimbang akan menyebabkan timbunan berada
dalam keadaan anaerob dan akan mebyebabkan bau busuk dari gas yang banyak
Kandungan kelembaban udara optimum sangat diperlukan dalam proses
pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40-60% dengan nilai yang
paling baik adalah 50%. Kelembaban yang optimum harus dijaga untuk memperoleh
jumlah mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan
dengan cepat. Apabila kondisi tumpukan terlalu lembab, tentu dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga
terjadi kondisi anaerobic yang akan menimbulkan bau. Bila tumpukan terlalu kering
(kelembaban kurang dari 40%), dapat mengakibatkan berkurangnya populasi
milroorganisme pengurai karena terbatasnya habitat yang ada (Anonim, 2008).
e. Temperatur
Pada pengomposan secara aerobic akan terjadi kenaikan temperature yang
cukup cepat selama 3-5 hari pertama dan temperature kompos dapat mencapai
55-700C. kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan
mikrooranisme. Pada kisaran temperature ini, mikroorganisme dapat tumbuh 3
kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 550C. Selain itu, pada
temperature tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan
organic. Penurunan nisbah C/N juga dapat berjalan dengan sempurna
(Djuarnani dkk, 2005).
Kegagalan untuk mencapai temperature termofilik dalam waktu 3 sampai 6
hari disebabkan timbunan terlalu tipis untuk mempertahankan panas atau kelembaban
yang berlebihan atau nisbah C/N bahan organic terlalu rendah atau hara yang
pengomposan, meskipun bahan kompos telah dibalik dan disiram tidak timbul panas
(Sutanto, 2002).
Berdasarkan kemampuan bertahan hidup, mikroba terbagi atas 3 kelompok,
yaitu psycrofilik (50–100C), mesofilik (10/150C–40/450C) dan termofilik (40/450C–
700C). Suhu yang berkisar antara 600C dan 700C merupakan kondisi optimum
kehidupan mikroorganisme tertentu (Sutanto, 2002) dan membunuh patogen yang
tidak kita kehendaki. Ukuran reaktor kompos terutama tingginya mempengaruhi suhu
kompos. Semakin tinggi volume timbunan dibanding permukaan maka semakin
mudah timbunan menjadi panas. Timbunan bahan yang paling ideal menurut
Murbandoro (2000) adalah 1,2–2 m.
f. Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu,
dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk
menaikkan pH (Indriani, 2007).
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang
optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5-7,5. pH kotoran ternak
umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan organic dan pH bahan itu sendiri. Sebagai
contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau local, akan menyebabkan
penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi ammonia dari senyawa-senyawa
pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (Wikipedia Indonesia,
2008).
g. Pengadukan atau Pembalikan Tumpukan
Pengadukan sangat diperlukan agar cepat tercipta kelembaban yang dibutuhkan
saat proses pengomposan berlangsung. Pengadukan pun dapat menyebabkan
terciptanya udara dibagian dalam timbunan, terjadinya penguarian bahan organic yang
mampat, dan proses penguraian berlangsung merata. Hal ini terjadi karena lapisan
pada bagian tengah tumpukan akan terjadi pengomposan cepat. Pembalikan sebaliknya
dilakukan dengan cara pemindahan lapisan atas ke lapisan tengah., lapisan tengah ke
lapisan bawah, dan lapisan bawah ke lapisan atas (Musnamar, 2006).
Pencampuran yang kurang baik dari komposan yang mempunyai tingkat
kematangan berbeda harus dihindarkan karena menyebabkan terjadinya genangan di
tempat-tempat tertentu, kehilangan struktur yang tidak seragam dan nisbah hara yang
tidak seimbang dari timbunan kompos. Pada kondisi yang menguntungkan , awal
homogenesis limbah dapat dilaksanakan pada saat pengumpulan limbah dan
kemungkinan melalui proses penghalusan. Homogenisasi dan pencampuran bahan
dasar kompos dan bahan aditif sekaligus mengatur kandungan lengas dari bahan yang
sudah matang (Sutanto, 2002).
h. Organisme Perombak
Jasad hidup dalam tanah atau mikroorganisme tanah terdiri dari dua golongan
besar, yaitu golongan fauna dan golongan flora. Golongan fauna terdiri dari mikro
fauna (cacing tanah, semut, rayap). Golongan flora terdiri dari mikro flora (Bakteri,
fungi, ganggang dan aktinomicetes).
Dilihat dari fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperature
rendah (10-450C) berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organic
sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan.
Sementara itu, bakteri termofilik yang hidup pada temperature tinggi (45-650C) yang
tumbuh dalam waktu tebatas berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein
sehingga bahan kompos dapat terdegredasidengan cepat (Djuarnani dkk, 2005).
Mikrorganisme kelompok mesophilik dan termophilik melakukan proses
pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organic dilarutkan dan kemudian diuraikan.
Cara kerjanya yaitu dengan mengeluarkan enzim yang dilarutkan enzim yang
dilarutkan kadalam selaput air (water film) yang melapisi bahan organic, enzim
tersebut berfungsi menguraikan bahan organic menjadi unsure-unsure yang mereka
serap, karena terjadi di permukaan bahan, maka proses proses penguraian ini akan
mengakibatkan mikroorganisme. Demikian seterusnya, semakin besar
populasi mikroorganisme, semakin cepat pula proses pembusukan (Rochaeni
dkk, 2008).
Semua organisme hidup termasuk fungi memerlukan nutrient untuk
mendukung pertumbuhannya. Nutrient berupa unsure-unsur atau senyawa kimia dari
lingkungan digunakan sel sebagai konstituen kimia penyusun sel. Secara umum,
nutrient yang diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, kalium,
magnesium, natrium, kalsium, nutrient mikro (besi, mangan, zinc, kobalt,
organism hidup memiliki karbon sebagai salah salah satu senyawa pembangun tubuh
(Gandjar dkk, 2006).
Produk dari Proses Pengomposan
Kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos,
disamping kandungan logam beratnya. Bahan organic yang tidak terdekomposisi
secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan pertumbuhan tanaman.
Penambahan kompos yang belum matang kedalam tanah dapat menyebabkan
terjadinya persaingan bahan nutrient antara tanaman dan mikroorganisme tanah.
Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Djuarnani dkk, 2005).
Menurut Isroi ( 2008), secara umum kompos yang sudah matang dapat
dicirikan dengan sifat sebagai berikut:
1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah
2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspense
3. Nisbah C/N sebesar 10-20, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasinya
4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah
5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, dan
6. Tidak berbau
Menurut IPPT (2001), keunggulan dari vermikompos adalah sebagai berikut:
1. Vermikompos mengandung berbagai unsure hara yang dibutuhkan tanaman seperti
N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Al, Na, Cu, Zn, Bo, dan Mo tergantung pada bahan
yang digunakan, dapat meningkatkan kesuburan tanah, dan juga dapat membantu
2. Vermikompos berperan memperbaiki kemampuan menahan air, membantu
menyediakan nutrisi bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah dan menetralkan pH
tanah
3. Vermikompos mempunyai kemampuan air sebesar 40-60%. Hal ini karena struktur
vermikompos yang memiliki ruang-ruang yang mampu menyerap dan menyimpan
air, sehingga mampu mempertahankan kelembaban
Produk dari proses pengomposan yang dihasilkan oleh cacing kotoran