• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

LEGAL REVIEW OF REHABILITATION AS SANCTIONS IN NARCOTICS ABUSE PREVENTION EFFORT LINKED WITH LAW NUMBER 35 OF 2009 ON NARCOTICS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

Oleh

Nama : Rhamdhan Maulana NIM : 31610002

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dibawah Bimbingan: Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H

NIP: 41273300012

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)

iii LEMBAR PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR………..……… I

DAFTAR ISI…... iii

ABSTRAK……… vi

ABSTRACT…... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Identifikasi Masalah………..……. 9

C. Tujuan Penelitian………...….... 9

D. Kegunaan Penelitian………..10

E. Kerangka Pemikiran……….…….. 12

F. Metode Penelitian………..……... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA A. Pidana dan Pemidanaan …... 27

1. Kebijakan Hukum Pidana………..……….. 27

2. Pengertian Pidana…….…….………..………. 48

3. Teori Tujuan Pemidanaan…..………..………. 54

B. Tindak Pidana Narkotika ………..………..……… 58

1. Pengertian Narkotika………..58

2. Tindak Kejahatan Narkotika.……….. 63

(3)

1. Rehabilitasi Sebagai Sanksi Tindakan……..………. 67 2. Penyalah guna Narkotika Bagi Diri Sendiri sebagai

Korban……….………... 70

3. Penghapusan Pidana Bagi Penyalah guna Narktoika………..74 BAB III PENANGANAN KASUS PECANDU DAN PENYALAH GUNA

NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN DATA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA BARAT

A. Data Penanganan Rehabilitasi Terhadap Pecandu dan Penyal

guna Narkotika Berdasarkan pada Data Badan Narkotika

Nasional Provinsi Jawa Barat……….………. 84

89 B. Tugas, Peran dan Fungsi Badan Narkotika Nasional

dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan

Narkotika……….

C. Terapi Penyembuhan Terhadap Pecandu dan Penyalah guna

Narkotika dengan Rehabilitasi Medis dan Sosial……….92 D. Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor:

172/PID.Sus/2012/PN.BB………..……….102

BAB IV REHABILITASI SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A. Penjatuhan Sanksi Rehabilitasi Sebagai Sanksi Alternatif

Terhadap Penyalah guna Narkotika………. 105 B. Efektifitas Sanksi Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan

(4)

BAB V PENUTUP

A. Simpulan……….………….……….… 117

B. Saran………..……… 118

DAFTAR PUSTAKA………... 119

(5)

119

Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Badan Narkotika Nasional, Pedoman dan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, BNN, Jakarta. 2004.

Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana, kencana, Semarang, 2011.

Efendi Muhammad, Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011

Gatot Suparmo, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta 2007.

Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 2007.

Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2012.

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung. 2003.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.

Muladi dan Barda nawawi arief, Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 2010.

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Rena Yulia, Viktimologi, Graaha ilmu, Yogyakarta, 2010.

Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Semarang, 1998.

(6)

Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana, CV Armico, Bandung, 1990.

Sumarmo ma’sum, Penanggulangan Bahaya narkotika dan ketergantungan Obat, Cv haji masagung, Jakarta,1987.

Taufik makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan

Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika Ke dalam

lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Sumber Lain

Berkas Sosialisasi Terapi Ketergantungan Narkotika, Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat.

Koesnoen, Perkembangan Pembinaan Narapidana di Luar Negeri. Bahan ceramah Seminar Kriminologi ke-1. Semarang. 1969.

Laporan Akuntabilitas Institusi Pemerintah, Badan Narkotika Nasional Jawa Barat Tahun 2013.

Laporan Akuntabilitas Institusi Pemerintah, Badan Narkotika Nasional Jawa Barat Tahun 2014.

(7)

Sumber Internet

http://www.negarahukum.com/hukum/latar-belakang-regulasi-narkotika.html.

http://www.gepenta.com/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,57-lang,id-c,artikel-t,Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx.

http://cirebonnews.com/berita/item/5558-bnn-pecandu-narkoba-capai-42-juta?tmpl=component&print=1#.U6ljq6NPiVp.

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia.

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia

http://www.gepenta.com/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,57-lang,id-c,artikel-t,Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx.

http://www.indoganja.com/2013/12/Konvensi-Tunggal-PBB-Tentang-Narkotika-1961.html.

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia.

www.scribd.com/doc/93201942/Tujuan-BNN.

(8)

Nama : Rhamdhan Maulana

Tempat Tanggal Lahir : Bandung 23 Maret 1992

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Rancaekek Komplek Permata Hijau Blok E no 60

Telpon : 085624396181

Pendidikan Formal : - SDN 1 Permata Hijau

: - SMPN 1 Cicalengka

: - SMAN 1 Cileunyi

Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada rekayasa

(9)

i

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat serta karena ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan

skripsi yang dengan judul “Tinjauan Hukum Tehadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”, solawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat dan sampai kepada kita umatnya di akhir zaman.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada

ayahanda dan ibunda yang telah memberikan motivasi, doa yang barokah dan

dorongan moril serta materil yang tiada henti-hentinya kepada peneliti.

Peneliti mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada yang

terhormat dan terpelajar Dwi Iman Muthaqin, SH., MH selaku pembimbing

skripsi peneliti yang berkenan meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan dan dorongan kepada peneliti sejak pengajuan judul skripsi,

penyusunan, hingga penulisan skripsi ini.

Ucapan terimakasih yang tulus juga peneliti sampaikan kepada semua

pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada peneliti, sampai

dengan selesainya Skripsi ini terutama kepada yang terhormat:

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, M.Sc., selaku Rektor

Universitas Komputer Indonesia;

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Prof. DR Mien

(10)

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Komputer Indonesia, Hetty

Hassanah, S.H., M.H

4. Arinita Sandria, S.H., M.Hum, selaku dosen wali angkatan 2010 yang selalu

dengan penuh kesabaran dan ke ikhlasan mengayomi kami semua.

5. Instansi Pemerintah Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa barat yang

telah menerima dan menyediakan tempat serta waktunya untuk peneliti

melakukan penelitian.

6. Komisaris Polisi Yusdaniel, S.IP., M.H yang telah bersedia bertukar pikiran

dan mengarahkan peneliti untuk membuat skripsi.

7. Bapa Edi Hartanto selaku staf deputi bidang rehabilitasi yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk di wawancara dan memberikan data terkait

skripsi yang peneliti buat.

8. Kepada rekan-rekan angkatan 2010 semua yang telah memberikan

motivasi, dan juga dorongan kepada peneliti untuk menyelesaikan Skripsi

ini

Akhir kata, semoga segala pengorbanan yang diberikan oleh

orang-orang terkasih dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, baik moril maupun

materil mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang

Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga penulisan skripsi ini

bermanfaat bagi Peneliti sendiri dan bagi para masyarakat pada umumnya.

Bandung 12 februari 2014

Peneliti

(11)

1

A.

Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan bahwa Negara

Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila dan bukan

berdasarkan atas kekuasaan, sifat negara hukum yang dapat ditunjukan

jika alat-alat perlengkapannya bertindak menurut dan terikat kepada

aturan-aturan yang ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan

yang dikuasai untuk mengadakan aturan-aturan itu.1

Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan jiwa bangsa

Indonesia harus menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksanaanya,

ketentuan ini menunjukan bahwa di negara Indonesia menjamin adanya

perlindungan hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum.2

Kewajiban bagi setiap penyelenggaraa negara untuk menegakan

keadilan dan kebenaran berdasarkan pancasila yang selanjutnya

melakukan pedoman peraturan-peraturan pelaksanaan, selain itu sifat

hukum yang berdasarkan pancasila, hukum mempunyai fungsi

pengayoman agar cita-cita luhur bangsa Indonesia tercapai dan

terpelihara.3

1 Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 2007, hlm. 92. 2 Ibid.

(12)

Tujuan dari hukum itu diantaranya untuk mencapai kepastian dan

keadilan hukum, untuk menjamin dua hal tersebut perlu adanya

peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis yang berasaskan

keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat,

keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam perikehidupan, untuk

itu negara Indonesia menandatangani ketentuan baru dalam Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap

Narkotika dan Psikotropika (Convention Against Illicit Traffic In Narcotics

Drugs And Psychotropic Substances) tahun 1988 yang telah diratifikasi

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan

Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.4

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang

Narkotika) mempunyai cakupan yang cukup baik dari segi norma, ruang

lingkup materi, maupun sanksi pidana. Tujuan pembentukan

Undang-Undang Narkotika salah satunya adalah menjamin pengaturan upaya

rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.

Pengertian narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dapat

menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang yang

menggunakannya.5

4 http://www.negarahukum.com/hukum/latar-belakang-regulasi-narkotika.html,

Diakses pada tanggal 23 april 2014, pada pukul 7.30 WIB.

(13)

Narkotika menurut smith kline adalah zat-zat atau obat yang dapat

mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat

tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi

narkotika ini sudah termasuk candu zat-zat yang di buat dari candu

(morphine, codein, methadone).6

Pengaruh penggunaan narkotika tersebut dapat mengakibatkan

terjadinya berbagai tindak pidana, yang secara langsung menimbulkan

akibat demoralisasi terhadap masyarakat khususnya generasi muda, dan

terutama bagi pengguna zat berbahaya tersebut.7

Tindak pidana menurut pompe adalah suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak

sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan

hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjamin kepentingan umum.8

Tindak pidana narkotika yang diatur dalam Undang-Undang

Narkotika dapat dikelompokan dari segi bentuk perbuatannya

diantaranya adalah, kejahatan yang menyangkut produksi narkotika,

kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika, kejahatan yang

menyangkut pengangkatan narkotika, kejahatan yang menyangkut

penguasaan narkotika, tindak kejahatan yang menyangkut

penyalahgunaan narkotika, kejahatan yang menyangkut tidak

melaporkan pecandu narkotika, kejahatan yang menyangkut label dan

6 Ibid, hlm. 18. 7 Ibid, hlm 45.

8 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,

(14)

publikasi, kejahatan yang menyangkut jalannya peradian, kejahatan

yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika, kejahatan yang

menyangkut keterangan palsu, kejahatan yang menyangkut

penyimpangan fungsi lembaga, dan kejahatan yang menyangkut

pemanfaatan anak dibawah umur.9

Penyalahgunaan narkotika adalah merupakan tindak kejahatan

dan pelanggaran yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa

pemakai dan juga terhadap masyarakat di sekitar secara sosial.10

Penyalah guna narkotika bagi diri sendiri disatu sisi merupakan

pelaku tindak pidana yang dapat dijatuhi sanksi penjara, tetapi disisi lain

merupakan korban. Penyalah guna narkotika bagi diri sendiri dapat di

klasifikasikan kepada kategori korban Self victimizing victims, yaitu

mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya

sendiri,11 karena penyalah guna narkotika menderita sindroma

ketergantungan (dependence) yang semula disebut adiksi dan habitasi

akibat dari penyalah guna narkotika yang dilakukanya sendiri,12 atau

dapat dikatakan kejahatan tersebut merupakan kejahatan tanpa korban.

9 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 199. 10 Taufik Makarao, Op.Cit, hlm. 49.

11 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan, Graha ilmu,

Yogyakarta, 2010, hlm 54.

12 Sumarmo masum, Penanggulangan Bahaya Narkotika Dan Ketergantungan obat,

(15)

Undang–Undang Narkotika memberi sanksi hukum yang berbeda bagi pelaku penyalah guna, pengedar, dan bandar. Sanksi secara umum

adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang

berlaku.13

Penetapan sanksi untuk penyalah guna narkotika harus sesuai

dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri, tujuan dari hukum pidana

pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang

perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi

kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dalam perimbangan

yang serasi dari kejahatan atau tindakan tercela di satu pihak dan dari

tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.14

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial

welfare). tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah

perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.15

Berdasarkan Pasal 54 Undang–Undang Narkotika, pecandu Narkotika wajib direhabilitasi, sedangkan pecandu adalah orang yang

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan

ketergantungan baik secara fisik maupun psikis, berdasarkan Surat

Edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor. 4 Tahun 2010, tentang

Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu

13 Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,

Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 29.

14 Kanter dan Sianturi, Op.Cit. hlm. 55.

(16)

Narkotika, ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial.

Ini berarti menempatkan penyalahguna narkotika sebagai korban

kejahatan narkotika.16

Rehabilitasi berasal dari dua kata, yaitu “re” yang berarti kembali dan “habilitasi” yang berarti kemampuan. Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan, kemampuan dalam hal ini adalah

kemampuan fisik dan psikis seseorang.17

Rehabilitasi pecandu narkotika dibagi menjadi dua tahap, yang

pertama adalah rehabilitasi medis dan yang kedua adalah rehabilitasi

sosial, yang dimaksud rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan

pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari

ketergantungan narkotika. Rehabilitasi medis pecandu narkotika

dilaksanakan dirumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah dan

ditunjuk oleh menteri kesehatan, dalam rehabilitasi medis ini pecandu di

obati agar dapat lepas dari ketergantungan zat kimia narkotika.18

Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara

terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika

dapat melaksanakan kembali melaksanakan fungsi sosial dalam

kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial dilakukan untuk

mengembangkan kemampuan fisik dan psikis seorang pecandu agar

16

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia, Diakses pada tanggal 5 april 2014, Pada pukul 10.00 WIB.

17 Efendi Muhammad, Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2006,

hlm 23.

(17)

pulih dan dapat beraktifitas kembali secara normal di dalam masyarakat,

dapat dilakukan melalui pendekatan keagamaan.19

Dua tahap rehabilitasi bagi pecandu narkotika yaitu rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial, yang kedua rehabilitasi tersebut

merupakan sanksi tindakan (maatregel) dimaksudkan untuk

mengamankan masyarakat dan memperbaiki si pembuat20 dan juga

sebagai penerapan model penghukuman baru yaitu dekriminalisasi, yang

merupakan model penghukuman non kriminal sebagai salah satu

kontruksi hukum modern, yang bertujuan menekan (demand reduction) dalam rangka mengurangi supply narkotika illegal, dan berdampak pada

penyelesaian permasalahan narkotika di Indonesia.21

Kasus yang akan dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini terkait

dengan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 172/PID.Sus/

2012/ PN.BB, terdakwa bernama muhamad Deni Santani, yang terbukti

tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan 1

dengan jenis narkotika ganja bagi diri sendiri.

Penangkapan Deni Santani berdasar pada laporan warga daerah

majalaya sering terjadi penyalahgunaan Narkotika jenis ganja,

berdasarkan informasi tersebut kemudian berdasar pada laporan

tersebut Yeyen Rendi dan Adit Tirta Anasir yang keduanya anggota

satuan narkoba Polres Bandung, langsung melakukan penyelidikan

dan berhasil melakukan penangkapan terhadap Deni Santiani di

19Ibid.

20 Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm 182 21

(18)

Kampung Saparako Desa Majalaya Kecamatan Majalaya Kabupaten

Bandung, ketika dilakukan penggeledahan 2 (dua) paket kecil daun

ganja kering yang dibungkus kertas koran dan kertas jilid buku yang

disimpan dalam saku celana yang dikenakan oleh terdakwa.

Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung memutuskan 4 tahun

penjara karena terbukti tanpa hak melawan hukum menggunakan

narkotika golongan 1 bagi diri sendiri.22

Undang-Undang Narkotika memiliki dua ketentuan hukum tentang

penyalah guna narkotika yaitu rehabilitasi dan pidana penjara. Ketentuan

dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika tentang pecandu dan

penyalah guna narkotika yang wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial, Pasal 103 Undang-Undang Narkotika tentang hakim

yang berhak memutus dan menetapkan terdakwa untuk menjalani

rehabilitasi, jika terdakwa terbukti atau dapat membuktikan bahwa

terdakwa merupakan korban penyalah guna narkotika dan juga

pertimbangan terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun

2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan,

Dan Pecandu Narkotika Ke dalam Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi

Sosial, akan tetapi pada kenyataanya lebih banyak kasus penyalah guna

narkotika yang di putus pidana penjara di banding dengan rehabilitasi.

22

Putusan Nomor 172/PID.Sus/ 2012/ PN.BB.

(19)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk

skripsi dengan judul: “Tinjauan Hukum Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti

mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah sanksi rehabilitasi dalam upaya penanggulangan

penyalahgunaan narkoba adalah sanksi yang sesuai dengan tujuan

pemidanaan?

2. Bagaimanakah efektifitas sanksi rehabilitasi dalam upaya

penanggulangan penyalahgunaan narkotika di wilayah jawa barat?

C.

Tujuan Penelitian

Setelah melihat permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka

penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui, memahami dan mengkaji sanksi rehabilitasi dalam upaya

penanggulangan penyalahgunaan narkotika merupakan sanksi yang

sesuai dengan tujuan pemidanaan.

2. Mengetahui, memahami dan mengkaji sanksi rehabilitasi dalam upaya

(20)

D.

Kegunaan Penelitian

Dengan tujuan penelitian yang telah diuraikan diatas, maka

penelitian ini diharapkan dapat member kontribusi dan influence baik dari

segi teoritis maupun praktis untuk seluruh masyarakat, khusunya bagi

para pelaku penyalah guna narkoba, sebagai berikut:

1. kegunaan teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan

peneliti mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan

penanganannya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan tambahan bagi

kepustakaan khususnya mengenai masalah tindak pidana

penyalahgunaan narkotika.

2. Kegunaan praktis

a.

Bagi mahasiswa

1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan dari segi hukum pidana yang berkaitan dengan

masalah tindak pidana penyalahgunaan narkotika

2. Melatih cara berfikir praktis dan logis untuk memecahkan

masalah hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana dan

(21)

b.

Bagi masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi

masyarakat mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika,

sehingga masyarakat paham akan bahaya menggunakan narkoba

beserta konsekwensi hukumnya dan tidak ada masyarakat yang

menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

c.

Bagi Lembaga

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

informasi bagi lembaga Fakultas Hukum Universitas Komputer

Indonesia dalam program kekhususan hukum pidana sebagai suatu

sarana melakukan pengkajian masalah-masalah aktual secara

ilmiah khususnya dalam penegakan hukum pada tindak pidana

penyalahgunaan narkotika.

d.

Bagi Pemerintah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran sebagai bahan dan sumber penemuan hukum, sehingga

pemerintah khususnya instansi terkait akan lebih memperhatikan

penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana penyalahgunaan

(22)

E.

Kerangka Pemikiran

Setiap warga negara Indonesia memerlukan perlindungan hukum

yang dapat memberikan keadilan guna mencapai kesejahteraan dalam

perikehidupannya.

Dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

menyebutkan bahwa:

“Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial

Amanat yang terkandung pada alinea keempat Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah merupakan keadilan dalam

penegakan supermasi hukum dan juga mengharuskan pemerintah untuk

mensejahterakan masyarakat melalui pembangunan nasional, dan juga

mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Keadilan adalah perlakuan yang sama di mata hukum dan

pemerintahannya sehubungan dengan keadilan tersebut Pasal 27 ayat 1

Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemeritahan dan wajib menjungjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut

Undang-Undang Dasar 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban

yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing.

(23)

diperlakukan adil oleh pemerintah, di sisi lain warga negara juga wajib

mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku.23

Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam

masyarakat. Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala

hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok

(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.

Ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif

yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala

bentuknya.24

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang

berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan

aturan-aturan untuk:25

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,

yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa

pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi

pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.

23 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Alumni, Bandung. 2003, hlm. 24.

24 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,

Bandung, 2002, hlm. 3.

(24)

Van Hattum mengemukakan hukum pidana positif adalah sebagai

berikut:26

“Suatu keseluruhan dan asa-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan

khusus yang bersifat hukuman.”

Pembentukan Undang-Undang Narkotika merupakan lex specialis

derogate lex generalis, karena tindak pidana narkotika merupakan tindak

pidana khusus yang harus diatur melalui peraturan yang khusus dan

terpisah dari peraturan perundang-undangan lainnya.

Tugas dan peran yang diamanatkan oleh Undang-undang

Narkotika dan Undang-undang Psikotropika melalui Kepres Nomor.17

Tahun 2002 tentang upaya Pencegahan, Pemberantasan

Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) melalui Departemen

Pemerintah terkait, diantaranya dengan upaya penegakan hukum, bagi

penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika yang merupakan pelaku

tindak pidana Narkoba.27

Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum dengan

menganut asas legalitas dalam hukum pidana Asas legalitas ini dikenal

dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia

lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu)28,

Hanya perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan dalam aturan hukum

26 Van Hattum, Dikutip dalam P.A.F Lamintang, Op.Cit, hlm. 2.

27Badan Narkotika Nasional, Pedoman dan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, BNN, Jakarta. 2004.

(25)

pidana dapat dituntut untuk dijatuhi pidana apabila aturan tersebut

dilanggar, karena hukum pidana menganut asas legalitas, seperti yang

tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan

ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari

perbuatan itu.”

Terkait dengan penghukuman maka harus sejalan dengan tujuan

pemidanaan, terdapat 2 (dua) teori tentang tujuan pemidanaan yaitu:29

1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen)

2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen).

Pengertian narkotika Secara umum, adalah zat yang dapat

menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang

menggunakanya, yaitu dengan cara mamasukan kedalam tubuh.30

Istilah yang dipergunakan bukanlah narcotics pada farmacologie

(farmasi), melainkan sama artinya dengan drug yaitu sejenis zat yang

apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh

tertentu pada tubuh pemakai, yaitu:31

1. Mempengaruhi kesadaran

2. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku

manusia

3. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa;

a. Penenang

29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, 2010, hlm.10.

(26)

b. Perangsang (bukan rangsangan sexsual)

c. Menimbulkan halusinasi (pemakaiannya tidak mampu

membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan

kesadaran akan waktu dan tempat.

Pengertian narkotika menurut Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa:

“Yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan.”

Narkotika menurut sudarto mengandung arti yaitu:32

“Perkataan narkotika berasal dari bahasa yunani yaitu

narke yang berarti terbius dan tidak sadarkan diri.”

Definisi narkotika dari biro bea dan cukai Amerika Serikat dalam

buku Narcotic Identification Manual sebagaimana dikutif oleh Djoko

Prakoso, Bambang Riyadi, dan Mukhsin dikatakan bahwa:33

“Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja,

kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasich, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam hallucinogen dan stimulant.”

32Ibid.

(27)

Tindak pidana (strafbaar feit) menurut simons merumuskan

bahwa:34

“Adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam

dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum

(onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seseorang yang mampu bertanggung jawab.”

Tindak pidana narkotika telah diatur dalam Undang-Undang

narkotika dan dapat di klasifikasikan sebagai berikut:35

1. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika

2. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika

3. Kejahatan yang menyangkut pengangkatan narkotika

4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika

5. Tindak kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika

6. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika

7. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi

8. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradian

9. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika

10. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu

11. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga

12. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur

(28)

Undang-Undang Narkotika telah memberikan sanksi hukuman

yang berbeda antara, pengedar bandar, dan penyalahguna narkotika,

Sanksi terhadap bandar narkotika diatur dalam Pasal 113

Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:

“1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).”

Bandar narkotika pada pasal tersebut dapat disimpulkan adalah

orang yang memproduksi mengimpor dan menyalurkan narkotika dalam

jumlah atau skala yang besar.

Pengedar narkotika diatur dalam Pasal 114 Undang-Undang

narkotika yang menyebutkan bahwa:

“1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliarrupiah).

(29)

singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).”

Penyalahguna narkotika diatur dalam pasal 127 ayat 1

Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:

“Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.”

Definisi Penyalah guna menurut Pasal 1 butir 15 Undang Narkotika

adalah:

“Orang yang menggunakan narkotika tanpa hak melawan atau

melawan hukum.”

Penyalah guna narkotika bagi diri sendiri merupakan korban jika

dilihat dari tipologi koban ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban

itu sendiri menurut Stephen Schafer termasuk pada self victimizing victims

(korban yang juga sebagai tumbal), yaitu seorang yang menjadi korban

karena kejahatan yang dilakukannya sendiri 36, karena pecandu narkotika

menderita sindroma ketergantungan (dependence) yang semula disebut

adiksi (ketergantungan) dan habitasi (kebiasaan) akibat dari

penyalahgunaan narkotika yang dilakukanya sendiri.37

36 Stephen Schafer, Dikutip dalam buku Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan

Terhadap Korban Kejahatan, Graha ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 53-54.

(30)

Korban menurut Van Boven merujuk pada kepada deklarasi

prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan

penyalahgunaan kekuasaan adalah sebagai berikut:38

“Orang yang secara individual menderita maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan maupun

kelalaian.”

Korban mempunyai hak untuk mendapatkan rehabilitasi ataupun

restitusi sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara

kepada korban tersebut, mengacu pada pendapat Arif Gosita hak korban

penyalah guna narkotika adalah mendapatkan pembinaan dan

rehabilitasi.39

Rehabilitasi bagi korban penyalah guna dan pecandu narkotika

dibagi menjadi dua tahap yang pertama adalah rehabilitasi medis, dan

yang kedua rehabiitasi sosial. Rehabilitasi medis dijelaskan dalam

Undang-Undang Narkotika Pasal 1 butir 16 yang menyebutkan bahwa:

“Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan

secara tepadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan

narkotika.”

Rehabilitasi sosial dijelaskan delam Pasal 1 butir 17

Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:

“Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara

terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu

(31)

narkotika dapat melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan

masyarakat.”

Hakim dalam yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat

memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan atau terdakwa

menjalani pengobatan atau perawatan, berdasar pada Pasal 103

Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:

“1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan

menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.” Definisi rehabilitasi dikemukakan oleh Suparlan, yang mana

rehabilitasi tersebut mengandung arti:40

“Rehabilitasi merupakan suatu proses kegiatan untuk

memperbaiki kembali dan mengembangkan kemampuan fisik,

serta mental seseorang sehingga orang itu dapat mengatasi

masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya serta keluarganya.”

Tindakan (Maatregel) Sering dikatakan berbeda dengan pidana,

maka tindakan bertujuan melindungi masyarakat, sedangkan pidana

bertitik berat pada pengenaan sanksi kepada pelaku suatu perbuatan.

Mengenai suatu tindakan untuk orang yang tidak mampu atau kurang

(32)

Dekriminalisasi pengguna narkotika merupakan model

penghukuman non kriminal, penghukuman yang menghapuskan istilah

pelaku kejahatan (kriminal), seseorang yang diberikan sanksi tapi bukan

sanski terhadap tindakan kriminal tetapi lebih kepada perbaikan kepada

pengguna narkotika yang dilakukan dengan cara rehabilitasi, dengan

tujuan kebutuhan akan narkotika akan berkurang dan permintaan supply/

narkotika ilegal akan menurun.

Berdasarkan uraian diatas peneliti berpendapat agar kasus ini

perlu dituangkan ke dalam suatu kajian hukum berupa penulisan karya

ilmiah untuk mencari jalan atas permasalahan yang terjadi.

F.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1.

Spesifikasi Penelitian

Dalam spesifikasi penelitan ini bersifat pendekatan Deskriptif

Analitis yaitu:41

“Menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan

hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.”

Suatu pendekatan deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data

yang seteliti mungkin tentang masyarakat, sehingga mampu

menjelaskan seperti apa tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang

41 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia

(33)

berkembang di masyarakat dan bagaimana tindakan hukum yang tepat

agar dapat mengambalikan seorang penyalah guna menjadi lepas dari

ketergantungan narkotika.

2.

Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan Yuridis Normatif, yaitu:42

“Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan norma-norma hukumya yang merupakan patokan untuk bertingkah laku

atau melakukan perbuatan yang pantas.”

3.

Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Penelitian kepustakaan yaitu:43

“Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan teratur dan

sistematis menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan bahan

pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat

edukatif, informatif, dan kreatif kepada masyarakat.”

Studi kepustakaan ini untuk mempelajari dan meneliti literatur

tentang hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana

penyalahgunaan narkotika dan bagaimana penanganan mengenai

pelaku yang sekaligus sebagai korban, sehingga data yang diperoleh

adalah sebagai berikut:

42Ibid, hlm. 15.

43 Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja

(34)

1. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti

Undang-Undang dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Surat

Edaran Mahkaman Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan

Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika

Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial.

2. Data sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami

bahan hukum primer antara lain:44

a) Rancangan peraturan perundang-undangan

b) Hasil karya ilmiah para sarjana

c) Hasil-hasil penelitian

3. Data Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan infomasi

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.45

b. Penelitian lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan yaitu:

“Suatu cara memperoleh data yang bersifat primer.”46

Penelitian ini dimaksudkan untuk menunjang dan melengkapi data

primer, dengan cara melakukan pencarian data sekunder berupa

observasi lapangan dan wawancara secara terstruktur.

44 Ronny Hanitjo Soemitro, Op.Cit, hlm. 53. 45 Ibid.

(35)

4.

Teknik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi

literatur dan studi lapangan. Studi literatur digunakan untuk

mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan primer, bahan sekunder

maupun bahan tertier, sedangkan studi lapangan digunakan untuk

memperoleh data primer yang diperoleh dari instansi-instansi yang

terkait dengan masalah penelitian.

5.

Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ialah sebagai

berikut:

a.

Observasi digunakan catatan lapangan (catatan berkala).

b.

Interview, dipergunakan Directive Interview atau pedoman wawancara

terstruktur, dengan menggunakan buku catatan untuk mencatat hasil

pembicaraan narasumber.

6.

Analisi Data

Analisis data dilakukan dengan metode yuridis kualitatif, yaitu

dengan cara penyusunan data secara kualitatif dan sistematis untuk

mencapai kejelasan masalah yang dibahas, kemudian data yang telah

disusun dianalisis untuk dicari kesimpulan.

7.

Lokasi penelitian

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data dan bahan untuk

(36)

a.

Perpustakaan:

1) Perpustakaan Hukum Universitas Padjadjaran Bandung yang

bertempat di jalan Imam Bonjol No 21.

2) Perpustakaan Hukum Universitas Pasundan Bandung yang

bertempat di jalan Lenngkong Dalam No. 17 Bandung.

b.

Beberapa Instansi yaitu:

1) Badan Narkotika Provinsi Jawa Barat yang beralamatkan Jl.

terusan Jakarta No. 50 Antapai Bandung.

2) Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang bertempat di jalan Surapati No.

47.

3) Pengadilan Bale Bandung yang beralamat di Jalan Jaksa Naranata

(37)

27

NARKOTIKA

A. Pidana dan Pemidanaan

1. Kebijakan Hukum Pidana

Penangulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan

cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula

yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control. Dilihat

sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang

mempermasalahkan apakah perlu kejahatan ditanggulangi, dicegah

atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana.1

Sanksi pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban kita di

masa lalu (a vestige of our savage past) yang seharusnya di hindari

pendapat itu ternyata berdasarkan pada pandangan bahwa pidana

merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang

kejam.2

Sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh

dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh

ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas

kemanusiaan. Dikemukakan selanjutnya bahwa gerakan pembaruan

1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, 2010, hlm 149.

(38)

pidana di Eropa Kontinental dan di inggris terutama justru merupakan

reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana.3

Dasar pemikiran lainnya ialah adanya pemahaman

determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai

kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena

dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun

faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian, kejahatan

sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang

abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat di

persalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana.4

Seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang

memiliki ketidak normalan organi dan mental, maka bukan pidana

yang seharusnya dikenakan kepadanya, tetapi yang diperlukan adalah

tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan untuk memperbaiki.5

Pandangan determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan

sangat mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi dengan tokoh

antara lain Lombroso, Garofalo, Fern. Menurut Alif Ross pandangan

iniah yang kemudian berlanjut pada gerakan modern the campaign

against punishment (kampanye meniadakan hukuman).6

3 M.Cherif Bassiouni, Subtantive Criminal Law, Dikutip dalam buku Muladi dan

Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm 150.

4Ibid, hlm. 151. 5 Ibid.

6 Alif Ros, On Guilt, Responsibility and Punisment, Dikutip dalam Buku Muladi dan

(39)

Pemikiran/ide penghapusan pidana itu dikemukakan pula oleh

Filippo Gramatica, seorang tokoh extrim dari aliran defense sosial,

yang merupakan perkembangan lebih dari aliran modern.

Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah

mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan

pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial

mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana kesalahan

dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti

sosial. Jadi, pada prinsipnya ajaran Gramatica menolak

konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.7

Pandangan atau alam pikiran untuk menghapuskan pidana dan

hukum pidana seperti dikemukakan di atas menurut Roeslan Saleh

adalah keliru beliau mengemukakan tiga alasan mengenai masih

perlunya pidana dan hukum pidana adapun intinya adalah sebagai

berikut:8

a. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan- tujuan

yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalannya bukan

terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan

antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan

masing-masing.

7 Marc Ancel, Social Defense, Dikutip dalam buku Muladi dan Barda Nawawi Arief,

Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 152.

8 Reoeslan Saleh, Mencari Azas-Azas Umum Sesuai Untuk hukum pidana nasional,

(40)

b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai

arti sama sekali bagi seorang terhukum, dan di samping itu harus

tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang

telah dilakukannya itu tidaklah dapat di biarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan

pada penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak

jahat yaitu warga negara masyarakat yang mentaati norma-norma

masyarakat.

Memperhatikan alasan diatas, maka Roeslan Saleh tetap

mempertahankan adanya pidana dan hukum pidana dilihat dari sudut

politik kriminal dan dari sudut tujuan fungsi dan pengaruh dari hukum

pidana itu sendiri. Istilah yang digunakan beliau sendiri ialah masih

adanya dasar asusila dari hukum pidana.9

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal,

yaitu:10

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang

menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang

berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah

keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui

9 Ibid, hlm 153.

(41)

undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk

menegakan norma-norma sentral dari masyarakat.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada

hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan

masyarakat (sosial defence) dan upaya mencapai kesejahteraan

masyarakat (sosial welfare). dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau

tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik

kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu

laporan Kursus Latihan ke-34 yang diselenggarakan oleh United

Nations of Asia and Far East Institute for Prevention of Crime and

Treatment of Offenders (UNAFEI)di Tokyo tahun 1973 sebagai

berikut:11

“Most of group members agreed some discussion that “protection of the society” could be accepted as the final goal of

criminal policy, although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like “happiness of

citizens”, “a wholesome and cultural living”, ”social welfare” or equality” .

Kesejahteraan masyarakat dapat diterima sebagai tujuan akhir dari kebijakan kriminal, meskipun tidak di jelaskan tentang tujuan utama adalah kesejahteraan masyarakat, yang mungkin mungkin akan dijelaskan oleh istilah-istilah seperti kebahagiaan warga, kesejahteraan sosial atau kesetaraan”

Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral

dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai

kesejahteraan sosial).

11 Sumary Report, Resource Material Series No. 7, UNAFEI, Dikutip dalam Buku

(42)

Marc Ancel menyatakan, bahwa modern criminal science terdiri

dari tiga komponen Crimonlogy, Criminal Law dan Penal Policy

dikemukakan olehnya, bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus

seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik

dan memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang

tetapi juga pada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan

juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

Marc Ancel meyatakan:12

“Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai tekhnik peraturan perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelediki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional,dimana para sarjana dan praktisi, para ahli krimonologi dan para sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang

realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat”

Marc Ancel mengemukakan bahwa system hukum pidana abad

XX masih tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat

disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang yang

beritikad baik dan juga dan oleh semua ahli dibidang sosial.13

Istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau belanda

politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah

kebijakan hukum pidana dapat pula di sebut dengan istilah politik

12 Marc Ancel Di kutip dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana,

Kencana, Semarang, 2011, hlm 23.

(43)

hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain

penal policy, criminal law policy atau strafrechts politiek.14

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari

politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut sudarto, Politik

Hukum adalah:15

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang

terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang di

cita-citakan.

Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya

menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan

pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan

daya guna.16 Dalam kesempatan ini beliau menyatakan, bahwa

melaksanakan politik hukum pidana berarti, usaha mewujudkan

peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi yang pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan

datang.17

14Ibid, hlm. 26.

15 Sudarto, Dikutip dalam, Ibid. 16Ibid.

(44)

Politik hukum pidana adalah sebagai bagian dari politik hukum

maka, politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana

mengusahakan atau membuat dan merumuskan peraturan

perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat

pula dalam dalam definisi penal policy dari Marc Ancel yang

menyebutkan secara singkat bahwa suatu ilmu sekaligus seni yang

bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan

secara lebih baik. Peraturan hukum positif (the positif rules) dalam

definisi Marc Ancel itu jelas peraturan perundang-undangan hukum

pidana. Degan demikian, istilah penal policy menurut Marc Ancel

adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.

Menurut A Mulder, Strafrechts politiek (politik hukum) ialah garis

kebijakan untuk menentukan:18

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu

dirubah atau di perbaharui.

b. Apa yang dapat di perbuat untuk mencegah terjadinya tindak

pidana.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan

pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

(45)

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah

penentuan:19

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada

pelanggar.

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat

dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan pembangunan

nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah diatas harus pula

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan

sosial-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum

pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah

sentral diatas, harus pula dilakukandengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang

tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang

hukum pidana tetapi juga pada pembangunan hukum pada

umumnya.20

Pendekatan demikian terlihat pula misalnya, pada tulisan

Satjipto Rahardjo yang berjudul Pembangunan Hukum yang

Diarahkan Kepada Tujuan Nasional. Dikemukakan oleh oleh Satjipto

Rahadrjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum

sebelum dan sesudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada

keputusan politik yang diambil dalam kedua masa tersebut dan

(46)

pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum masing-masing.

Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17

agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang

sebesar-besarnya, maka keputusan demikian harus dirumuskan

dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur hukumnya pun harus

menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.21

Bertolak dari pendekatan kebijakan tersebut maka Sudarto

berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang

pertama diatas, yang sering disebut sebagai kriminalisasi harus

diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut;22

a. Pembangunan hukum pidana harus mmperhatikan tujuan

pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil

dan makmur yang merata materiil, spiritual berdasarkan Pancasila

sehubungan dengan ini maka (pengunaan) hukum pidana bertujuan

untuk menangulangi kejahatan dan mengadakan penguguran

terhadap tindakan penangulangan itu sendiri, demi kesejahteraan

dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi

dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak

dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil

dan/atau spiritual) atas warga masyarakat.

c. Pengunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip

biaya dan hasil (cost and benefit principle).

21 Ibid, hlm 31.

(47)

d. Pengunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitan

atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,

yaitu jangan sampai kelampauan beban tugas (overbelasting).

Kesimpulan dari simposium pembaruan Hukum Pidana Nasional

pada bulan agustus 1980 di semarang. Dalam salah satu laporannya

dinyatakan antara lain:23

”Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan

haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat”.

Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi

laporan simposium itu antara lain menyatakan: untuk menetapkan

suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan

kriteria umum seperti berikut:24

a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat

karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban

atau dapat mendatangkan korban.

b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang

dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan

penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban pelaku,

dan pelaku, kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi

tertib hukum yang dicapai.

23 Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Dikutip dalam, Ibid, hlm.

32.

(48)

c. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang

tidak seimbang yang nyata-nyata tidak dapat diemban oleh

kemampuan yang dimilikinya.

d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi

cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan

masyarakat.

Kriteria umum diatas, dalam symposium tersebut memandang

perlu pula untuk memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat

mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu dengan

melakukan penelitian, khusunya yang berhubungan dengan kemajuan

tekhnologi dan perubahan sosial.

Menurut bassiouni keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan

dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu

yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk:25

a. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya

dengan hasil-hasil yang ingin dicapai.

b. Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam

hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari.

c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam

kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian

sumber-sumber tenaga manusia; dan

d. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminaslisasi yang

berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya

yang sekunder.

(49)

Problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan

adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta

tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang

subjektif, misalnya nilai-nilai, kedalam membuat keputusan.

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut

Bassiouni seharusnya di pertimbangkan sebagai salah satu scientific

device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan nilai

emosional (the emossionally laden value judgment approach) oleh

kebanyakan badan-badan legislatif. Dikemukakan pula, bahwa

perkembangan dari a policy oriented approach ini lamban datangnya,

kerena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian.

Masalahnya antara lain, terletak pada sumber-sumber keuangan

untuk melakukan orientasi ilmiah itu. Kelambanan yang demikian itu

ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus

menerus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap

keseluruhan sistem, mengakibatkan timbulnya krisis kelebihan

kriminalisasi (the crisis of overreach of the criminal law), yang pertama

mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan

perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua

mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan

saksi yang efektif.26

(50)

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat

dibagi dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur

nonpenal (bukan/di luar hukum pidana). Secara kasar dapatlah

dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal

lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindasan/ pemberantasan/

penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur nonpenal

lebih menitikberatkan pada pada sifat p

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Pada bait ketujuh dalam lirik lagu Charleston les déménageurs de piano , asonansi dapat dikenali menggunakan teknik baca markah secara morfologis, dengan

Dengan kata lain, dalam setiap pembelajaran mata pelajaran apapun, termasuk pembelajaran kimia, sangat diha- rapkan bahwa materi yang diajarkan tidak hanya sebagai

Untuk dapat diterapkannya hukuman qishash kepada pelaku harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat tersebut adalah korban harus orang orang yang

Sebagai bahan masukan guna menambah wawasan dalam penelitian, khususnya yang berkaitan dengan penelitian ini serta untuk membantu penulis untuk lebih mengetahui

Wahyu cahya Agung yang sebelum menjadi kepala desa sempat bekerja di Balai Latihan Kerja untuk melakukan sertifikasi terhadap para calon BMI dan memahami betul dinamika

Ada beberapa tahapan yang dapat ditempuh untuk membangun kemitraan Polri dengan Masyarakat, yaitu: (1) Mengoptimalkan fungsi forum kemitraan polisi dan masyarakat

Pada ekstrak buah pisang warna benedict yaitu biru, pisang masak yang berwarna cokelat tua + benedict warnanya menjadi biru, warna pisang (masak) + benedict (dipanaskan) menjadi