UPAYA UNIT SATUAN NARKOBA POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN NARKOBA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (StudiPadaLemabagaPemasyarakatan Way Huwi)
Oleh MARINI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
BagianHukumPidana
FakultasHukumUniversitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan dan Ruang lingkup ... 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5
D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 6
E. Sistematika Penulisan ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Narkotika ... 11
B. Tugas dan Wewenang Kepolisian ... 17
C. Lembaga Pemasyarakatan ... 19
D. Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana ... 24
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 32
III. METODE PENELITIAN A. Pendeketan Masalah ... 38
B. Sumber dan Jenis Data ... 38
C. Penetuan Narasumber ... 39
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40
E. Analisis Data ... 41
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 42
B. Upaya Unit Satuan Narkoba Polresta Bandar Lampung Dalam Menanggulangi Peredaran Narkoba Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ... 43
B. Saran ... 59
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Narkoba
sendiri merupakan barang yang tidak lagi dikatakan barang haram yang susah
untuk didapat, melainkan barang yang amat mudah didapat karena kebutuhan
sesaat sebagai efek candu dan kenikmatan tubuh penggunanya. Pecandu narkoba
akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan barang haram ini karena
narkoba memang suatu zat yang memiliki efek candu yang kuat bagi penggunanya
dan efek ketergantungan yang luar biasa. Ketergantungan yang dialami pemakai
narkoba ini jika tidak terealisasi maka efek yang dialami adalah sakaw, yaitu
keadaan dimana orang tersebut mengalami rasa gelisah atau gangguan psikis atau
psikologis akibat kencanduan putau.1
Dampak yang ditimbulkan karena pemakaian narkoba diatas, tentu dapat kita
cermati bahwa penyalahgunaan narkoba adalah merupakan suatu tindak kejahatan
dan pelanggaran yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa si
pemakai dan juga terhadap masyarakat disekitar secara sosial.2 Penyalahgunaan
narkoba tersebut tentunya tidak lepas dari peran peredaran narkoba yang semakin
1
Heriady Willy, Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara – (Tanya Jawab dan Opini), (Yogyakarta : UII Press), 2005, hlm 70
2
meluas dalam masyarakat dan membentuk jaringan yang berakar. Peredaran
narkoba juga tidak lepas dari indikasi bahwa dikendalikannya peredaran narkoba
di Indonesia oleh jaringan internasional, sebab hampir 70 persen narkoba yang
beredar di dalam negeri merupakan kiriman dari luar negeri. Bisnis peredaran
narkoba jika ditinjau dari segi penghasilan dapat dikatakan bahwa keuntungannya
amat menjanjikan, tentu resiko yang akan dialami juga amat besar bagi para
pengedar, maupun produsen.
Peredaran dan penyalahgunaan narkoba dalam masyarakat harus dicegah dan
ditanggulangi. Upaya pencegahan ini harus benar-benar dilaksanakan sesuai
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Narkotika agar masalah narkoba ini tidak
terus tumbuh dalam masyarakat sebagai wabah yang buruk bagi perkembangan
negara. Masalah hukum ini menyangkut peran aparat penegak hukum, khususnya
Kepolisian yang sangat penting keberadaannya di tengah-tengah masyarakat
sebagai abdi negara penyeimbang dan pengayom kehidupan dalam masyarakat.
Pendapat Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa, “Semua produk hukum
baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan perundang-undangan pasti
akan memberikan dampak terhadap kinerja aparat penegak hukum.”3
Upaya pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan oleh Kepolisian dalam
penelitian ini, penulis menitik beratkan tugas Kepolisian pada kawasan kota
Bandar Lampung. Satuan Polisi Resort Kota Bandar Lampung, khususnya satuan
reserse narkoba, dalam hal ini memerlukan langkah-langkah lebih lanjut dalam
proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana peredaran narkoba.
3
3
Realisasi dari penanggulangan pemberantasan tindak pidana peredaran narkoba
tidak lepas dari peran aparat penegak hukum saja, diperlukan adanya kerjasama
dari berbagai pihak antara lain adalah peran serta masyarakat.
Hasil perkembangan saat ini dari peredaran narkoba yang semakin marak dalam
masyarakat, ditemukan sebuah kasus baru yang dapat diungkap pihak Kepolisian
Resort Kota Bandar Lampung. Peredaran narkoba tidak hanya melibatkan peran
serta warga sipil, melainkan melibatkan jaringan yang dilatar belakangi oleh
warga dalam status narapidana yang mendekam dalam lembaga pemasyarakatan.
Temuan kasus baru ini terus dikembangkan pihak Kepolisian guna mengungkap
jaringan peredaran narkoba sampai ke produsennya.
Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan pada saat prasurvey di kantor
Polresta Bandar Lampung, diketahui bahwa terhadap salah satu anggota
Kepolisian Polresta Bandar Lampung guna menjadi acuan bahwa adanya fakta
hukum berupa peredaran narkoba di kalangan narapidana yang terjadi di kota
Bandar Lampung. Informasi tersebut didapat dari anggota satuan Reskoba
Polresta Bandar Lampung Kota yaitu Tantowi Darsyah yang berhasil mengungkap
jaringan peredaran narkoba melalui penangkapan seorang tersangka pengguna
narkoba yang diketahui berprofesi sebagai penyanyi dengan barang bukti 0,5 gram
shabu-shabu.4
Penyelidikan tidak berhenti sampai disini, pihak Reskoba Polresta Bandar
Lampung dengan menggunakan keterangan tersangka pengguna, bahwa barang
bukti didapat dari salah seorang pengedar. Pengedar tersebut seorang laki-laki
4
yang kesehariannya bekerja freeline atau serabutan. Hasil yang mampu diungkap
yaitu pengedar dapat ditangkap. Selain itu, dibantu dengan kecanggihan teknologi
yang ada saat ini, penelusuran dilanjutkan dengan cara melacak komunikasi
dengan media handphone (HP) yang disita satuan Reskoba dari tangan pengguna
dan pengedar, kemudian pelacakan dimulai melalui pesan singkat (SMS) yang
akhirnya mengungkap pula bandar yang mengendalikan peredaran narkoba ini.
Bandar tersebut diketahui merupakan salah seorang narapidana yang mendekam
didalam Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Way Huwi. Penelusuran dan
pengembangan kasus tersebut, saat ini status tersangka yang merupakan
narapidana masih di proses dalam persidangan.
Gambaran kasus di atas, untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul: “Upaya Unit Satuan Narkoba Polresta Bandar Lampung Dalam
Menanggulangi Peredaran Narkoba Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi)”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Hal-hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Bagaimanakah upaya unit satuan narkoba Polresta Bandar Lampung dalam
menanggulangi peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika?
b. Apakah faktor penghambat dalam upaya menanggulangi peredaran narkoba di
5
2. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian
Hukum Pidana. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya
terbatas pada pengaturan mengenai upaya unit satuan narkoba Polresta Bandar
Lampung dalam menanggulangi peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika dan faktor faktor yang menjadi penghambat dalam upaya
menanggulangi peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan narkotika.
Sedangkan dalam lingkup wilayah penelitian ini mengambil studi di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang
hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Upaya unit satuan narkoba Polresta Bandar Lampung dalam menanggulangi
peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.
b. Faktor-faktor penghambat dalam upaya menanggulangi peredaran narkoba di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana tentang
dalam menanggulangi peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada
Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai faktor yang menjadi
penghambat dalam upaya menanggulangi peredaran narkoba di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.5
Penerapan hukum pidana (criminal law application) tidak terlepas dari adanya
peraturan perundang-undangan pidana. Menurut Sudarto, usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang berarti melaksanakan
politik hukum pidana. Politik hukum pidana dalam kepustakaan asing sering
dikenal dengan kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana adalah upaya
menanggulangi kejahatan dengan pemberian sanksi pidana atau sebagai suatu
ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan positif
dirumuskan secara lebih baik.6
5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press), 2010, hlm 125
6
7
Kebijakan hukum dengan sarana pidana merupakan serangkaian proses yang
terdiri atas tiga tahap yakni:
a. Tahap kebijakan legislatif;
b. Tahap kebijakan yudikatif;
c. Tahap kebijakan eksekutif.7
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2 (dua), yaitu
lewat jalur ”penal” (hukum pidana) dan lewat jalur ”non-penal” (bukan/diluar
hukum pidana).8 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal dapat
meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Dari pendapat tersebut di atas, bahwa
kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy).
b. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non
penal policy).9
Menjawab permasalah kedua di atas yaitu faktor penghambat dalam upaya
penegakan hukum, maka dapat menggunakan teori mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap penegakan hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum adalah sebagai berikut :
a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
7
Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni), 2003, hlm.78.
8 Ibid 9
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
e. Faktor kebudayaan.10
Kelima faktor tesebut diatas saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur daripada efektfitas penegakan
hukum.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah
yang diteliti.11 Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan,
maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan
pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan
berbagai istilah sebagai berikut :
a. Upaya adalah aspek yang dinamis dalam kedudukan (status) terhadap sesuatu.
Apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka ia menjalankan suatu upaya.12
b. Unit Satuan Narkoba adalah suatu unit kepolisian yang bertugas melakukan
pengawasan dan mengendalikan terhadap penanganan kasus-kasus tindak
pidana narkoba.
c. Penanggulangan adalah suatu rancangan semacam program kerja yang
sistematis, berdaya guna untuk meminimalisir atas kejadian alam atau human
10
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.2005, hlm. 5
11
Soerjono Soekanto, Op, Cit., hlm 132 12
9
error untuk keselamatan manusia, harta benda/aset dan lingkungan/kawasan
yang dilaksanakan oleh pemerintah atau masyarakat.13
d. Peredaran adalah peralihan (pergantian) dr keadaan yg satu ke keadaan yg lain
yang berulang- ulang seakan-akan merupakan suatu lingkaran.14
e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat
berat (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).
f. Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk
melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di
Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut
dengan istilah penjara.15
E. Sistematika Penulisan
Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka
penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
13
Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 4 14
http://www.artikata.com/arti-363029-peredaran.html, diakses 12 Mei 2013 (11.14). 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan
tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan, tinjauan tentang penyadapan,
tinjauan tentang pengaturan penyadapan dalam beberapa produk undang-undang
dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan
mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu
dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur
pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul
dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang analisis upaya unit
satuan narkoba Polresta Bandar Lampung dalam menanggulangi peredaran
narkoba di lembaga pemasyarakatan narkotika.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan
kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Narkotika
Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika Pasal 1 angka 1 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat berat. Sedangkan
menurut Djoko Prakoso:
Psikotropika ialah obat atau zat yang berbahaya yaitu zat kimia yang dapat merubah reaksi tingkah seseorang terhadap lingkungannya. Tindak pidana penyalahgunaan psikotropika adalah penggunaan psikotropika yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.13
Zat atau obat psikotropika ini dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang
susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya
halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan
dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang)
13
bagi para pemakianya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa
pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang
lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan
berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang
bahkan menimbulkan kematian.
Melihat besarnya pengaruh negatif psikotropika tersebut apabila disalahgunakan
maka pemerintah pun mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur tentang
psiktropika tersebut. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, tujuan pengaturan di bidang psikotropika itu sendiri ialah menjamin
ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika serta memberantas
peredaran gelap narkotika.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
mencantumkan bahwa psikotropika dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:
1) Psikotropika Golongan I
Psikotropika golongan ini hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
2) Psikotropika Golongan II
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
13
3) Psikotropika Golongan III
Psikotropika Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengetahuan serta mempunyai
potensi sedang mengakibatkan ketergantungan.
4) Psikotropika Golongan IV
Psikotropika Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Sebelumnya tindak pidana psikotropika didasarkan pada Pasal 204 KUHP dan Pasal
80 ayat (4) huruf b dan Pasal 81 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan. Kemudian setelah disahkan Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika dan berlaku sejak diundangkan, segala kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika diatur dalam undang-undang ini, sehingga
diharapkan akan efektif dalam menangani tindak pidana psikotropika di Indonesia.
Tindak pidana psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika tercantum dalam bab XIV mengenai Ketentuan Pidana, Pasal 59 sampai
Pasal 72. Tindak pidana yang dimaksud antara lain adalah:
1) Menggunakan psikotropika golongan I selain utnuk tujuan ilmu pengetahuan
(Pasal 59 ayat (1) huruf a)
2) Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
3) Mengedarkan psikotropika golongan I tidak disalurkan oleh pabrik obat dan
pedagang besar kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna
kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 59 ayat (1) huruf c)
4) Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan
(Pasal 59 ayat (1) huruf d)
5) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika
golongan I (Pasal 59 ayat (1) huruf e)
6) Memproduksi psikotropika golongan I selaibn di produksi oleh pabrik obat yang
telah memiliki izin (Pasal 60 ayat (1) huruf a)
7) Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan (Pasal 60 ayat (1) huruf b)
8) Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
terdaftar pada departeman yang bertanggung jawab di bidang kesehatan (Pasal 60
ayat (1) huruf c)
9) Menyalurkan, menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan Pasal 12
ayat (2) undang-undang ini (Pasal 60 ayat (2) dan 3)
10)Menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat
(2), Pasal 14 ayat (3) (Pasal 60 ayat (4)), menerima penyerahan psikotropika
selain ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) (Pasal 60 ayat (5))
11)Mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16,
tanpa surat persetujuan ekspor/impor, melaksanakan pengangkutan ekspor atau
15
12)Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika (Pasal
62)
13)Melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokuman pengangkutan
(Pasal 63 ayat (1) huruf a)
14)Melakukan perubahan tujuan negara ekspor tidak memenuhi ketentuan (Pasal 63
ayat (1) huruf b)
15)Melakukan pengemasan kembali psikoropika tidak memenuhi ketentuan (Pasal 63
ayat (1) huruf c)
16)Tidak mencantumkan label pada kemasan psikotropika (Pasal 63 ayat (2) huruf a)
17)Mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label psikotropika yang tidak
lengkap dan menyesatkan (Pasal 63 ayat (2) huruf b)
18)Mengiklankan psikotropika tidak pada media cetak ilmiah kedokteran dan/atau
media cetak ilmiah farmasi (Pasal 63 ayat (2) huruf c)
19)Melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan yang
dimaksud Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3) (Pasal 63 ayat (2) huruf d)
20)Percobaan atau perbuatan untuk melakukan tindak pidana psikotropika (Pasal 69)
21)Tindak pidana psikotropika yang dilakukan secara korporasi (Pasal 70)
22)Bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu,
menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak
pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62,
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga mencantumkan
tentang pemberatan pidana, yaitu:
1) Pasal 70 menerangkan jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 60, 61, 62, 63, dan 64 dilakukan oleh korporasi, maka disamping
dipidananya pelakuk tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda
sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan
dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
2) Pasal 71 mencantumkan bahwa barangsiapa bersengkongkol atau bersepakat
untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan,
menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, 61, 62, atau Pasal 63 di pidana sebagai permufakatan
jahat ancaman pidananya ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk pidana
tersebut.
3) Pasal 72 mencantumkan bahwa jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan
menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah atau orang di bawah pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana
belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana
penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana
17
B. Tugas dan Wewenang Kepolisian
Mengutip bahwa tidak seorangpun didunia ini yang tidak pernah mendengar kata
Kepolisian dimanapun ia berada dikota-kota besar maupun dipelosok pelosok desa
tentu ia pernah berjumpa dengan polisi dalam masa tenang terlebih lagi didalam
keributan. Masyarakat ingat dan perlu adanya polisi, akan tetapi banyak dari
masyarakat kita yang mengenal polisi itu hanya dari jauh, dan gambaran tentang
polisi yang diperoleh amat tergantung dari pengetahuannya masing-masing yang
tidak selalu menyenangkan baginya, malahan tidak sedikit orang yang menganggap
polisi itu sebagai hantu yang harus di jauhi.
Berdasarkan pengertian yang bersifat falsafati maka obyek ilmu kepolisian menurut
pembahasan para ahli adalah kontrol yang berarti pengawasan dan pengendalian dan
hal ini merupakan ihwal yang universal dan juga merupakan sesuatu yang kodrati.
Apabila kita melihat dalam diri kita sendiri sebagai manusia, maka nampaklah dalam
batin kita ada sesuatu fungsi rokhaniah yang dalam hidup kita sehari-hari bertugas
mengawasi dan mengendalikan pribadi kita untuk hidup pada jalan yang lurus
mencapai ketertiban dan ketenangan batin demi hidup sejahtera dan bahagia di dunia
ini. Fungsi rokhaniah tersebut kita kenal sebagai hati nurani.
Mudah kiranya dimengerti, bahwa agar orang dapat hidup bersama-sama dalam
suasana yang tertib dan aman, perlu diadakan peraturan-peraturan yang harus ditaati
oleh semua orang, dan dibutuhkan pula adanya suatu kelompok dari orang-orang itu
peraturan-peraturan benar-benar dipatuhi. Sebagai contoh dapat diketengahkan suatu rumah
tangga yang besar, dimana harus ada seorang, biasanya Bapak atau Ibu, yang
memimpin dan mengasuh anak-anaknya, mengatur dan membina kelakuan dan
kesopanannya.
Untuk menegakkan peraturan-peraturan negara, menjaga keamanan dan ketertiban
serta melindungi jiwa dan harta benda penduduk, maka pemerintah membentuk suatu
badan beserta pegawai-pegawainya yang khusus dibebani dengan pekerjaan itu.
Badan inilah yang disebut kepolisian. Sehubungan dengan itu maka di tiap-tiap
negara dapat dipastikan memiliki Polisinya masing-masing. Memang Polisi itu sudah
ada sejak dahulu kala, yaitu semenjak zaman orang mulai hidup bernegara.
Kata polisi itu berasal dari kata Yunani "Politea". Kata ini pada mulanya
dipergunakan untuk menyebut "Orang yang menjadi warga negara dari kota Athene",
kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan dipakai untuk menyebut
"semua usaha kota". Oleh karena pada zaman itu kota-kota merupakan negara-negara
yang berdiri sendiri, yang disebut juga "polis", maka "politea" atau "polis", diartikan sebagai: "semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan keagamaan”.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, bahwa anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia terdiri dari :
a. Anggota Polisi Negara Republik Indonesia.
19
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto polisi adalah suatu kelompok sosial yang
menjadi bagian dari masyarakat yang berfungsi sebagai penindak dan pemelihara
kedamaian yang merupakan fungsi kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Nasional).
Undang-Undang nomor 1 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 1 ayat (1), Pengertian kepolisian yaitu “Kepolisian adalah hal ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
C. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai tempat pemidanaan juga berfungsi untuk
melaksanakan program pembinaan terhadap para narapidana, dimana melalui
program yang dijalankan diharapkan narapidana yang bersangkutan setelah kembali
ke masyarakat dapat menjadi warga yang berguna di masyarakat. Pembinaan adalah
kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana
dan anak didik pemasyarakatan.
Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan dilakukan melalui
beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran No.
pembinaan dilaksanakan melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan proses
yang bersifat terpadu, yaitu :14
Tahap Pertama :
Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa
pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan
program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat
yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari
masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam LAPAS dan
pengawasannya maksimum security.
Tahap kedua :
Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung
selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain
menunjukkan keinsyafan, perbaikan disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang
berlaku di lembaga, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan
lebih banyak dan ditempatkan pada LAPAS melalui pengawasan medium security.
Tahap ketiga :
Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ dari masa pidana yang
sebenarnya dan menurut tim TPP telah dicapai cukup kemajuan, maka wadah proses
pembinaan diperluas dengan Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian
14
21
yaitu yang pertama dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa
pidananya, tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai
dengan 2/3 dari masa pidananya. Dalam tahap ini dapat diberikan Pembebasan
Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimumsecurity.
Tahap keempat :
Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan Cuti
Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar
LAPAS oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut Pembimbingan
Klien Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan pembinaan, terdapat acuan program
yang harus diikuti. Program-program pembinaan yang dimaksud meliputi dua bidang
terdiri dari :15
1. Pembinaan Kepribadian yang meliputi :
a. Pembinaan kesadaran beragama;
b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara;
c. Pembinaan kemampuan intelektual;
d. Pembinaan kesadaran hukum;
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.
2. Pembinaan Kemandirian yang meliputi :
a. Keterampilan untuk mendukung usaha mandiri, misalnya kerajinan
tangan, industri rumah tangga, reparasi mesin dan alat elektronika dan
sebagainya;
15
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya
pengelolaan bahan mentah sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan
setengah jadi atau jadi (mengolah rotan menjadi perabotan rumah tangga,
pengolahan makanan ringan berikut pengawetannya, pembuatan batu bata,
genteng dan batako);
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masingmasing;
d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan
pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi madya atau
teknologi tinggi.
Dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana yang tidak terlepas adalah
pemenuhan hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban narapidana
adalah mentaati segala peraturan yang ada di lapas, sementara hak-hak mereka antara
lain hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan makanan
yang layak, informasi dan sebagainya. Pemenuhan hak kebutuhan seksual narapidana
dalam Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan melalui mekanisme Cuti Mengunjungi
Keluarga (CMK) bagi narapidana, dimana berdasarkan tahapan pembinaan, hak CMK
bisa diperoleh oleh narapidana apabila telah memasuki tahap pembinaan ketiga
dengan pengamanan minimum security.
Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 mengemukakan suatu gagasan “Sistem
Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara. Sehubungan dengan ini maka
23
mengedepankan hak-hak narapidana.16 Hak narapidana tersebut antara lain terdapat
pada Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e. menyampaikan keluhan
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
k. mendapatkan pembebasan bersyarat
l. mendapat cuti menjelang bebas
m. mendapat hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terpenuhinya hak-hak narapidana memiliki dampak positif terhadap perikehidupan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Terwujudnya tata kehidupan yang aman dan
tertib yang pada akhirnya mampu mewujudkan narapidana yang telah siap kembali ke
16
masyarakat sebagai manusia yang bermartabat, siap menjalankan perannya di
masyarakat dan berbakti terhadap bangsa dan negara.
D. Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana
Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang mempunyai
keragaman pengertian. Penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan
pembuat undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan
hukum yang kemudian menjadi kenyataan.17 Sedangkan Soedarto mengartikan
penegakan hukum sebagai perhatian dan penggarapan perbuatan melawan hukum
yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum
yang mungkin terjadi (onrecht in potentie). Hal ini juga dikatakan oleh Soerjono
Soekanto, yang mengemukakan bahwa:
”kegiatan untuk menyerasikan hubungan nilai nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan pengejawantahan dalam sikap dan tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan dan memelihara, serta memperthankan kedamaian dan pergaulan. Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada pergaulan hidup”.18
Dirumuskan dalam Laporan Seminar Hukum Nasional Ke-4, bahwa: ”Penegakan
hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum, keadilan,
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketentraman, dan kepastian
17
Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 15 18
25
hukum, sesuai dengan UUD 1945”.19 Keberhasilan penegakan hukum pada dasarnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, dimana faktor-faktor ini mempunyai hubungan
yang erat dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Menurut Soerjono
Soekanto, faktor-faktor tersebut adalah:
a) Faktor hukumnya sendiri;
b) Faktor penegak hukum, yang meliputi aparat ataupun lembaga yang membentuk
dan menerapkan hukum;
c) Faktor sarana pendukung penegakan hukum;
d) Faktor Masyarakat;
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada
manusia dan pergaulan hidup.
Hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Pada dasarnya
hukum pidana mempunyai dua hal pokok yaitu perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu dan pidana.20 Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu adalah
perbuatan yang dilakukan orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang boleh dilakukan. Hukum
menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan apa yang bersifat melawan
hukum. Hukum tidak membiarkan perbuatan yang bersifat melawan hukum, hukum
akan menggarap secara intensif perbuatan yang bersifat melawan hukum, baik
19
Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 17 20
perbuatan yang bersifat melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in
actu), maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in
potentie).21 Perhatian dan penggarapan perbuatan melawan hukum yang terjadi dan
yang mungkin akan terjadi tersebut merupakan penegakan hukum. Penegakan hukum
merupakan sisi lain dari pembentukan hukum.
Perundang-undangan pidana harus memenuhi syarat keadilan, maksudnya
perundang-undangan pidana harus memperhatikan hak-hak pelaku tindak pidana dan korban
tindak pidana yang selama ini terabaikan. Perundang-undangan pidana harus berdaya
guna, maksudnya adalah perundang-undangan pidana harus dapat mencegah dan
menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat dengan mengenakan sanksi
pidana maupun tindakan. Dengan perundang-undangan pidana yang berkeadilan dan
berdaya guna diharapkan dapat memberikan perlindungan pada masyarakat yang
pada akhirnya dapat mencapai kesejahteraan masyarakat seperti yang dicita-citakan
bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Marc Ancel berpendapat bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari hukum pidana modern, disamping kriminologi dan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana merupakan ilmu dan seni yang memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, kepada pengadilan sebagai lembaga yang menerapkan undang-undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan agar bekerjasama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju serta sehat.22
Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang disusun dan dilaksanakan oleh suatu organisasi atau lembaga dalam rangka menghadapi permasalahan tertentu. Kebijakan
21
Sudarto, Op, Cit., hlm. 187 22
27
memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan konteks dan situasi yang dihadapi suatu organisasi atau lembaga. Menurut Soerjono Soekanto, kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana bagi pemerintah atau organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, cara bertindak, pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.23
Sementara itu Mustopawijaya, merumuskan kebijakan sebagai keputusan suatu
organisasi, baik publik atau bisnis, yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan
tertentu atau mencapai tujuan tertentu berupa ketentuan-ketentuan yang berisikan
pedoman perilaku dalam:
a. Pengambilan keputusan lebih lanjut yang harus dilakukan baik kelompok sasaran
atau unit organisasi pelaksana kebijakan
b. Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan, baik
dalam hubungan dalam unit organisasi atau pelaksana maupun kelompok sasaran
dimaksud.24
Sudarto berpendapat bahwa politik hukum adalah sebagai berikut :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Politik atau kebijakan hukum pidana berarti melakukan pemilihan untuk menghasilkan perundang-undangan pidana yang adil dan berdaya guna di masa kini maupun dimasa yang akan datang.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.25
23
Soerjono Soekanto Op, Cit., hlm. 66 24
Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 17 25
Kebijakan hukum pidana merupakan pekerjaan teknik perundang-undangan yang
dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, pendekatan yuridis
faktual berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif serta pendekatan yang
bersifat komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya. Kebijakan hukum
pidana bila dikaitkan dengan pendapatSudarto mengenai politik hukum, kebijakan
hukum pidana merupakan usaha dalam mengadakan pemilihan atau mewujudkan
perundangundangan pidana yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan di masa yang akan datang, melalui badan-badan yang berwenang
menetapkan peraturan-peraturan yang dapat mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat.
Masalah pokok dalam kebijakan hukum pidana selain masalah kriminalisasi, adalah
sanksi yang akan dikenakan kepada pelanggar. Dalam penjatuhan pidana hendaknya
mempertimbangkan efektifitas sanksi pidana itu sendiri. Sanksi pidana dikatakan
efektif apabila pidana itu benar-benar dapat mencegah terjadinya tindak pidana,
disamping itu pidana tersebut tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih
merugikan atau berbahaya daripada apabila sanksi pidana tidak dijatuhkan, disamping
itu tidak ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif dengan kerugian atau
bahaya yang lebih kecil.
Jeremy Bentham berpendapat bahwa pidana jangan digunakan apabila
‘groundless,needless, unprofitable or inefficacious’. Tujuan pengenaan pidana adalah
mewujudkan kepentingan-kepentingan social yaitu :
29
b. melindungi masyarakat dari kejahatan,kerugianatau bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku,
c. memasyarakatkan kembali si pelaku,
d. mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.26
Menurut Friedman menguraikan tentang fungsi sitem hukum, yaitu :
1. Fungsi kontrol sosial, menurut Donald Black semua hukumadalahberfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.
2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa dan konflik. Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbebtuk pertentangan lokal berskala kecil.
3. Fungsi redistribusi atau fungsi rekayasa sosial. Fungsi ini mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang digunakan oleh pemerintah.
4. Fungsi pemeliharaan sosial. Fungsi ini berguna untuk penegakan hukum, agar berjalan sesuai dengan aturan mainnya.27
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum
adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang
dicita-citakan hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku
undang-undang atau hukum.28
Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan
(sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social
control) kedamaian pergaulan hidup.29
26
Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 23 27
Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 70 28Ibid
29
Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut
penyelesaian antara nilai-nilai dengan kaidah serta dengan prolaku nyata manusia.
Pada hakikatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin hidup sosial
masyarakat karena hukum dan masyarakat terdapat suatu interelasi.
Muladi mengidentifikasikan tentang hubungan penegakan hukum pidana dengan
politik sosial menyatakan bahwa “penegakan hukum pidana merupakan bagian dari
penanggulangan kejahatan (politik kriminal)”. Tujuan akhir dari polotik kriminal
adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama untuk kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari
politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh
kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah jika dikatakan
bahwa usaha penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional.30
Berdasarkan orientasi kebijakan sosial itulah, masalah kriminal atau kejahatan harus
diperhatikan hal-hal yanjg pada intinya sebagai berikut :
1. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan pancasila. Sehubungan dengan itu maka penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
30
31
2. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu kegiatan yang mendatangkan kerugian materiil dan sprituil atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana juga harus memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”.
4. Penggunaan hukum pidana juga harus memperhitungkan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas.31
Penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini
didasarkan atas empat alasan, yaitu :
1. Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau
kekerasan dengan kemubgkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan
kekuasaan (abuse of power)
2. Hampir semua profesional dalam penegakan hukum pidana adalah pegawai
pemerintah yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani.
3. Bagi setiap orang etika dapat digunakan sebagai alat untuk membantu
memecahkan dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan
profesionalnya.
Menurut Moeljatno hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan huk yang
berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang yang disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.32
31
Bagaimana suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau bukan. Haruslah dilihat
dari ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku di Indonesia. Dari berbagai
pendapat para ahli tersebut di atas belumlah belumlah terdapat suatu rumusan yang
menjadi patokan yang tepat.
Pengertian hukum pidana yang dipakai adalah pengertian hikum pidana menurut
Edmund Mezger, hukum pidana adalah aturan hukum, yang mengikat pada suatu
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Jadi,
pengrtian hukum pidana itu meliputi dua hal pokok, yaitu aturan hukum yang
mengatur perbuatan pidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana, dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Perbuatan yang memenuhi syarat tertentu, yang dimaksud perbuatan yang memenuhi syarat tertntu adalah perbuatan yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus memnuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Perbuatan tertentu itu harus merupakan perbuatan yang dilarang
b. Perbuatan tertentu itu harus dilakukan oleh orang
2. Pidana, pidana ini merupakan suatu hal yang mutlak diperoleh dalam hukum pidana. Tujuannya agar dapat menjadi sarana pencegahan umum maupun khusus bagi anggota masyarakat agar tidak melanggar hukum pidana.33
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
32
Soerjono Soekanto, Op, Cit., hlm. 26 33
33
tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.34 Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.35
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut
dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat
Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan
dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya
undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang-undang-undang
tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain:
a. Undang-undang tidak berlaku surut.
b. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
34
Soerjono Soekanto, Op., Cit., hlm. 9. 35
c. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.
f. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
g. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).36
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran,
disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh
mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan
yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan
tersebut, adalah:
a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain
dengan siapa dia berinteraksi.
b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit
sekali untuk membuat proyeksi.
d. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan material.
e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
36
35
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan
sikap-sikap, sebagai berikut:
a. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
b. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada
pada saat itu.
c. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
d. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai
pendiriannya.
e. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
f. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
g. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
h. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam
meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
i. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan
ihak lain.
j. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran
dan perhitingan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum
akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang
peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau
fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang
seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas
tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut :
a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan. c. Yang kurang-ditambah.
d. Yang macet-dilancarkan.
e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.37
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat
dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai
kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai
pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa
dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
37
37
b. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pokok permasalahan
dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris sebagai penunjang. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan
cara menelaah dan menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan,
teori-teori, kaidah hukum dan konsep-konsep yang ada hubungannya dengan
permasalah yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah hukum terhadap objek penelitian
sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada
penerapan hukum yang berkaitan dengan bentuk-bentuk perilaku yang akan
dibahas dalam skripsi ini.
B. Sumber dan Jenis data
Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data
sekunder, yaitu :
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan.
39
skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara
terhadap beberapa penegak hukum.
2. Data sekender adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan
dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep,
doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca,
mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan
dengan permasalahan yang akan di bahas, yang terdiri antara lain:
a. Bahan hukum primer yaitu :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)
3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli
dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri
dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.
C. Penentuan Narasumber
Penentuan narasumber dalam penelitian ini diambil dari beberapa orang populasi
secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan dilakukan
dalam penenlitian ini. Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang
dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi
secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan dilakukan
dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu. Dalam penelitian
ini yang menjadi sampel adalah dari Kepolisian dan Lembaga Pemasyarakatan di
wilayah hukum Bandar Lampung. Adapun penetuan narasumber dalam penelitian
ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu :
1. Penyidik Reskoba Polerta Bandar Lampung = 2 orang
2. Penjaga Lapas Narkotika Way Huwi = 1 orang +
Jumlah = 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan Data
Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data
sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :
a. Studi Pustaka
Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang
erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat
mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk
dianalisa lebih lanjut.
b. Studi Dokumen
Mempelajari berkas-berkas dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan
41
c. Studi lapangan
Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah
direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung
dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan
mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
2. Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
berikut:
a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan
pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau
artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.
b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi
atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.
c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah
ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam
menginterprestasikan data.
E. Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan cara menganalisis data secara kualitatif, yaitu
dengan cara meneliti upaya kepolosian dalam menanggulangi peredaran narkoba
di lemaba pemasyarakatan Rajabasa, kemudian analisis ini dipaparkan secara
sistematis sehingga terjawab keseluruhan permasalahan dalam penelitian ini. Hasil
penelitian ini bersifat evaluatif analisis yang kemudian dikonstruksikan dalam
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan dalam bab hasil dan
pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Upaya unit satuan narkoba Polresta Bandar Lampung dalam menanggulangi
peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dilakukan dengan
dua cara, yaitu upaya represif dalam bentuk koordinasi terbuka, dilakukan
dengan cara pelimpahan kewenangan dari Kapolresta pada Kasat Reskoba
untuk berkoordinasi dengan Kalapas. Koordinasi dilakukan apabila ada
dugaan peredaran narkoba didalam Lapas untuk selanjutnya dilakukan razia
dan barang bukti diserahkan pada pihak Kepolisian untuk di proses pelaku
yang bersangkutan. bentuk koordinasi terbuka ini lebih mengarah pada upaya
represif dimana upaya ini merupakan segala tindakan penanggulangan
kejahatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya
kejahatan. Sedangkan upaya represif dan preventif dalam bentuk koordinasi
tertutup, koordinasi dilakukan oleh pihak Kepolisian sendiri tanpa pihak luar.
Kepolisian melakukan penelusuran terhadap tersangka pengguna yang
selanjutya dikembangkan ketingkat pengedar. Koordinasi tertutup ini
59
upaya penanggulangan yang bersifat preventif. Artinya upaya dilakukan
ketika kajahatan telah teridentifikasi berupa penemuan kasus peredaran
narkoba yang diawali dengan ditemukannya pemakai dan pengedar.
2. Faktor-faktor penghambat dalam upaya menanggulangi peredaran narkoba di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika antara lain faktor hukumnya sendiri,
faktor aparatur penegak hukum, faktor peralatan atau sarana dan prasarana,
dan faktor masyarakat. Dari faktor hukumnya sendiri kendala yang cukup
merepotkan bagi Kepolisian untuk mengungkap sebuah kasus dikarenakan
aturan dalam lembaga pemasyarakatan yang berbenturan dengan kewenangan.
Dari faktor aparatur penegak hukum masih ada oknum yang tidak baik, yang
dapat membantu narpidana melakukan aksi kejahatan. Hambatan lainnya
sarana dan prasarana adalah anggaran dana yang tidak sesuai dengan jumlah
kebutuhan yang harus diwujudkan berimbas pada kinerja yang tidak
maksimal. Sedangkan dari faktor masyarakat, lingkungan yang mendorong
orang tersebut untuk terus berhubungan dengan narkoba, hingga sampai
dijebloskan didalam sel Lapas, lingkungan antar penyalahguna narkoba tetap
ada dan akhirnya tetap membentuk sebuah komunitas didalam Lapas.
B. Saran
1. Kepada pihak Kepolisian lebih meningkatkan mutu kerja dengan lebih cepat
mengungkap sebuah kasus. Bantuan dari pihak manapun harus dimaksimalkan
guna meningkatkan kinerja agar tidak diambil alih oleh struktur organisasi
yang lebih tinggi. Pemberlakuan sanksi yang tegas apabila masih ditemukan
pengedar narkoba itu sendiri agar masyarakat mampu untuk berperilaku baik
dan bijak dalam bertindak, serta upaya untuk memeberantas bandar narkoba
yang mendekam dalam Lapas harus digali betul sampai keakar-akarnya
hingga produsen yang memproduksi narkoba tertangkap sehingga masyarakat
akan aman dari ancaman peredaran narkoba.
2. Masyarakat sebagai media informasi harus lebih peka dan berperan aktif
terhadap upaya penanggulangan peredaran narkoba. Informasi sekecil apapun
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, 2003, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Cetakan I Tahun 1990.
Gunakarya, A.Widiada, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung.
Makarao, Moh.Taufik. 2003. Tindak Pidana Narkotik, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Moeljatno, 1983, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Prakoso, Djoko, 1987, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Bina Aksara, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_________________, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sunarso, Siswantoro, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika, dalam Kajian Sosiologi Hukum, Grfindo Persada. Jakarta.
Sujatno. Adi. 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri),
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta.
Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)