• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA UNIT SATUAN NARKOBA POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN NARKOBA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (StudiPadaLemabagaPemasyarakatan Way Huwi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA UNIT SATUAN NARKOBA POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN NARKOBA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (StudiPadaLemabagaPemasyarakatan Way Huwi)"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA UNIT SATUAN NARKOBA POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN NARKOBA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (StudiPadaLemabagaPemasyarakatan Way Huwi)

Oleh MARINI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

BagianHukumPidana

FakultasHukumUniversitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)
(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Narkotika ... 11

B. Tugas dan Wewenang Kepolisian ... 17

C. Lembaga Pemasyarakatan ... 19

D. Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana ... 24

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 32

III. METODE PENELITIAN A. Pendeketan Masalah ... 38

B. Sumber dan Jenis Data ... 38

C. Penetuan Narasumber ... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40

E. Analisis Data ... 41

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 42

B. Upaya Unit Satuan Narkoba Polresta Bandar Lampung Dalam Menanggulangi Peredaran Narkoba Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ... 43

(6)

B. Saran ... 59

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Narkoba

sendiri merupakan barang yang tidak lagi dikatakan barang haram yang susah

untuk didapat, melainkan barang yang amat mudah didapat karena kebutuhan

sesaat sebagai efek candu dan kenikmatan tubuh penggunanya. Pecandu narkoba

akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan barang haram ini karena

narkoba memang suatu zat yang memiliki efek candu yang kuat bagi penggunanya

dan efek ketergantungan yang luar biasa. Ketergantungan yang dialami pemakai

narkoba ini jika tidak terealisasi maka efek yang dialami adalah sakaw, yaitu

keadaan dimana orang tersebut mengalami rasa gelisah atau gangguan psikis atau

psikologis akibat kencanduan putau.1

Dampak yang ditimbulkan karena pemakaian narkoba diatas, tentu dapat kita

cermati bahwa penyalahgunaan narkoba adalah merupakan suatu tindak kejahatan

dan pelanggaran yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa si

pemakai dan juga terhadap masyarakat disekitar secara sosial.2 Penyalahgunaan

narkoba tersebut tentunya tidak lepas dari peran peredaran narkoba yang semakin

1

Heriady Willy, Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara – (Tanya Jawab dan Opini), (Yogyakarta : UII Press), 2005, hlm 70

2

(8)

meluas dalam masyarakat dan membentuk jaringan yang berakar. Peredaran

narkoba juga tidak lepas dari indikasi bahwa dikendalikannya peredaran narkoba

di Indonesia oleh jaringan internasional, sebab hampir 70 persen narkoba yang

beredar di dalam negeri merupakan kiriman dari luar negeri. Bisnis peredaran

narkoba jika ditinjau dari segi penghasilan dapat dikatakan bahwa keuntungannya

amat menjanjikan, tentu resiko yang akan dialami juga amat besar bagi para

pengedar, maupun produsen.

Peredaran dan penyalahgunaan narkoba dalam masyarakat harus dicegah dan

ditanggulangi. Upaya pencegahan ini harus benar-benar dilaksanakan sesuai

dengan dikeluarkannya Undang-Undang Narkotika agar masalah narkoba ini tidak

terus tumbuh dalam masyarakat sebagai wabah yang buruk bagi perkembangan

negara. Masalah hukum ini menyangkut peran aparat penegak hukum, khususnya

Kepolisian yang sangat penting keberadaannya di tengah-tengah masyarakat

sebagai abdi negara penyeimbang dan pengayom kehidupan dalam masyarakat.

Pendapat Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa, “Semua produk hukum

baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan perundang-undangan pasti

akan memberikan dampak terhadap kinerja aparat penegak hukum.”3

Upaya pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan oleh Kepolisian dalam

penelitian ini, penulis menitik beratkan tugas Kepolisian pada kawasan kota

Bandar Lampung. Satuan Polisi Resort Kota Bandar Lampung, khususnya satuan

reserse narkoba, dalam hal ini memerlukan langkah-langkah lebih lanjut dalam

proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana peredaran narkoba.

3

(9)

3

Realisasi dari penanggulangan pemberantasan tindak pidana peredaran narkoba

tidak lepas dari peran aparat penegak hukum saja, diperlukan adanya kerjasama

dari berbagai pihak antara lain adalah peran serta masyarakat.

Hasil perkembangan saat ini dari peredaran narkoba yang semakin marak dalam

masyarakat, ditemukan sebuah kasus baru yang dapat diungkap pihak Kepolisian

Resort Kota Bandar Lampung. Peredaran narkoba tidak hanya melibatkan peran

serta warga sipil, melainkan melibatkan jaringan yang dilatar belakangi oleh

warga dalam status narapidana yang mendekam dalam lembaga pemasyarakatan.

Temuan kasus baru ini terus dikembangkan pihak Kepolisian guna mengungkap

jaringan peredaran narkoba sampai ke produsennya.

Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan pada saat prasurvey di kantor

Polresta Bandar Lampung, diketahui bahwa terhadap salah satu anggota

Kepolisian Polresta Bandar Lampung guna menjadi acuan bahwa adanya fakta

hukum berupa peredaran narkoba di kalangan narapidana yang terjadi di kota

Bandar Lampung. Informasi tersebut didapat dari anggota satuan Reskoba

Polresta Bandar Lampung Kota yaitu Tantowi Darsyah yang berhasil mengungkap

jaringan peredaran narkoba melalui penangkapan seorang tersangka pengguna

narkoba yang diketahui berprofesi sebagai penyanyi dengan barang bukti 0,5 gram

shabu-shabu.4

Penyelidikan tidak berhenti sampai disini, pihak Reskoba Polresta Bandar

Lampung dengan menggunakan keterangan tersangka pengguna, bahwa barang

bukti didapat dari salah seorang pengedar. Pengedar tersebut seorang laki-laki

4

(10)

yang kesehariannya bekerja freeline atau serabutan. Hasil yang mampu diungkap

yaitu pengedar dapat ditangkap. Selain itu, dibantu dengan kecanggihan teknologi

yang ada saat ini, penelusuran dilanjutkan dengan cara melacak komunikasi

dengan media handphone (HP) yang disita satuan Reskoba dari tangan pengguna

dan pengedar, kemudian pelacakan dimulai melalui pesan singkat (SMS) yang

akhirnya mengungkap pula bandar yang mengendalikan peredaran narkoba ini.

Bandar tersebut diketahui merupakan salah seorang narapidana yang mendekam

didalam Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Way Huwi. Penelusuran dan

pengembangan kasus tersebut, saat ini status tersangka yang merupakan

narapidana masih di proses dalam persidangan.

Gambaran kasus di atas, untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul: “Upaya Unit Satuan Narkoba Polresta Bandar Lampung Dalam

Menanggulangi Peredaran Narkoba Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi)”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Hal-hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Bagaimanakah upaya unit satuan narkoba Polresta Bandar Lampung dalam

menanggulangi peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika?

b. Apakah faktor penghambat dalam upaya menanggulangi peredaran narkoba di

(11)

5

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian

Hukum Pidana. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya

terbatas pada pengaturan mengenai upaya unit satuan narkoba Polresta Bandar

Lampung dalam menanggulangi peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika dan faktor faktor yang menjadi penghambat dalam upaya

menanggulangi peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan narkotika.

Sedangkan dalam lingkup wilayah penelitian ini mengambil studi di Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang

hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Upaya unit satuan narkoba Polresta Bandar Lampung dalam menanggulangi

peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.

b. Faktor-faktor penghambat dalam upaya menanggulangi peredaran narkoba di

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana tentang

(12)

dalam menanggulangi peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada

Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai faktor yang menjadi

penghambat dalam upaya menanggulangi peredaran narkoba di Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.5

Penerapan hukum pidana (criminal law application) tidak terlepas dari adanya

peraturan perundang-undangan pidana. Menurut Sudarto, usaha mewujudkan

peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi

pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang berarti melaksanakan

politik hukum pidana. Politik hukum pidana dalam kepustakaan asing sering

dikenal dengan kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana adalah upaya

menanggulangi kejahatan dengan pemberian sanksi pidana atau sebagai suatu

ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan positif

dirumuskan secara lebih baik.6

5

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press), 2010, hlm 125

6

(13)

7

Kebijakan hukum dengan sarana pidana merupakan serangkaian proses yang

terdiri atas tiga tahap yakni:

a. Tahap kebijakan legislatif;

b. Tahap kebijakan yudikatif;

c. Tahap kebijakan eksekutif.7

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2 (dua), yaitu

lewat jalur ”penal” (hukum pidana) dan lewat jalur ”non-penal” (bukan/diluar

hukum pidana).8 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal dapat

meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Dari pendapat tersebut di atas, bahwa

kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy).

b. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non

penal policy).9

Menjawab permasalah kedua di atas yaitu faktor penghambat dalam upaya

penegakan hukum, maka dapat menggunakan teori mengenai faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap penegakan hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

7

Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni), 2003, hlm.78.

8 Ibid 9

(14)

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan

e. Faktor kebudayaan.10

Kelima faktor tesebut diatas saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari

penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur daripada efektfitas penegakan

hukum.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah

yang diteliti.11 Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan,

maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan

pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan

berbagai istilah sebagai berikut :

a. Upaya adalah aspek yang dinamis dalam kedudukan (status) terhadap sesuatu.

Apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan

kedudukannya, maka ia menjalankan suatu upaya.12

b. Unit Satuan Narkoba adalah suatu unit kepolisian yang bertugas melakukan

pengawasan dan mengendalikan terhadap penanganan kasus-kasus tindak

pidana narkoba.

c. Penanggulangan adalah suatu rancangan semacam program kerja yang

sistematis, berdaya guna untuk meminimalisir atas kejadian alam atau human

10

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.2005, hlm. 5

11

Soerjono Soekanto, Op, Cit., hlm 132 12

(15)

9

error untuk keselamatan manusia, harta benda/aset dan lingkungan/kawasan

yang dilaksanakan oleh pemerintah atau masyarakat.13

d. Peredaran adalah peralihan (pergantian) dr keadaan yg satu ke keadaan yg lain

yang berulang- ulang seakan-akan merupakan suatu lingkaran.14

e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat

berat (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).

f. Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk

melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di

Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut

dengan istilah penjara.15

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka

penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun

sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

13

Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 4 14

http://www.artikata.com/arti-363029-peredaran.html, diakses 12 Mei 2013 (11.14). 15

(16)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan

tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan, tinjauan tentang penyadapan,

tinjauan tentang pengaturan penyadapan dalam beberapa produk undang-undang

dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan

mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu

dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur

pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul

dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang analisis upaya unit

satuan narkoba Polresta Bandar Lampung dalam menanggulangi peredaran

narkoba di lembaga pemasyarakatan narkotika.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan

kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Narkotika

Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika Pasal 1 angka 1 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat berat. Sedangkan

menurut Djoko Prakoso:

Psikotropika ialah obat atau zat yang berbahaya yaitu zat kimia yang dapat merubah reaksi tingkah seseorang terhadap lingkungannya. Tindak pidana penyalahgunaan psikotropika adalah penggunaan psikotropika yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.13

Zat atau obat psikotropika ini dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang

susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya

halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan

dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang)

13

(18)

bagi para pemakianya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa

pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang

lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan

berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang

bahkan menimbulkan kematian.

Melihat besarnya pengaruh negatif psikotropika tersebut apabila disalahgunakan

maka pemerintah pun mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur tentang

psiktropika tersebut. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika, tujuan pengaturan di bidang psikotropika itu sendiri ialah menjamin

ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu

pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika serta memberantas

peredaran gelap narkotika.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

mencantumkan bahwa psikotropika dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:

1) Psikotropika Golongan I

Psikotropika golongan ini hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan

dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat

mengakibatkan sindroma ketergantungan.

2) Psikotropika Golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

(19)

13

3) Psikotropika Golongan III

Psikotropika Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengetahuan serta mempunyai

potensi sedang mengakibatkan ketergantungan.

4) Psikotropika Golongan IV

Psikotropika Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Sebelumnya tindak pidana psikotropika didasarkan pada Pasal 204 KUHP dan Pasal

80 ayat (4) huruf b dan Pasal 81 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1992 tentang Kesehatan. Kemudian setelah disahkan Undang-Undang Nomor 35

tahun 2009 tentang Narkotika dan berlaku sejak diundangkan, segala kegiatan yang

berhubungan dengan psikotropika diatur dalam undang-undang ini, sehingga

diharapkan akan efektif dalam menangani tindak pidana psikotropika di Indonesia.

Tindak pidana psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika tercantum dalam bab XIV mengenai Ketentuan Pidana, Pasal 59 sampai

Pasal 72. Tindak pidana yang dimaksud antara lain adalah:

1) Menggunakan psikotropika golongan I selain utnuk tujuan ilmu pengetahuan

(Pasal 59 ayat (1) huruf a)

2) Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika

(20)

3) Mengedarkan psikotropika golongan I tidak disalurkan oleh pabrik obat dan

pedagang besar kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna

kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 59 ayat (1) huruf c)

4) Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan

(Pasal 59 ayat (1) huruf d)

5) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika

golongan I (Pasal 59 ayat (1) huruf e)

6) Memproduksi psikotropika golongan I selaibn di produksi oleh pabrik obat yang

telah memiliki izin (Pasal 60 ayat (1) huruf a)

7) Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak

memenuhi standar dan/atau persyaratan (Pasal 60 ayat (1) huruf b)

8) Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak

terdaftar pada departeman yang bertanggung jawab di bidang kesehatan (Pasal 60

ayat (1) huruf c)

9) Menyalurkan, menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan Pasal 12

ayat (2) undang-undang ini (Pasal 60 ayat (2) dan 3)

10)Menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat

(2), Pasal 14 ayat (3) (Pasal 60 ayat (4)), menerima penyerahan psikotropika

selain ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) (Pasal 60 ayat (5))

11)Mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16,

tanpa surat persetujuan ekspor/impor, melaksanakan pengangkutan ekspor atau

(21)

15

12)Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika (Pasal

62)

13)Melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokuman pengangkutan

(Pasal 63 ayat (1) huruf a)

14)Melakukan perubahan tujuan negara ekspor tidak memenuhi ketentuan (Pasal 63

ayat (1) huruf b)

15)Melakukan pengemasan kembali psikoropika tidak memenuhi ketentuan (Pasal 63

ayat (1) huruf c)

16)Tidak mencantumkan label pada kemasan psikotropika (Pasal 63 ayat (2) huruf a)

17)Mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label psikotropika yang tidak

lengkap dan menyesatkan (Pasal 63 ayat (2) huruf b)

18)Mengiklankan psikotropika tidak pada media cetak ilmiah kedokteran dan/atau

media cetak ilmiah farmasi (Pasal 63 ayat (2) huruf c)

19)Melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan yang

dimaksud Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3) (Pasal 63 ayat (2) huruf d)

20)Percobaan atau perbuatan untuk melakukan tindak pidana psikotropika (Pasal 69)

21)Tindak pidana psikotropika yang dilakukan secara korporasi (Pasal 70)

22)Bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu,

menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak

pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62,

(22)

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga mencantumkan

tentang pemberatan pidana, yaitu:

1) Pasal 70 menerangkan jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksudkan

dalam Pasal 60, 61, 62, 63, dan 64 dilakukan oleh korporasi, maka disamping

dipidananya pelakuk tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda

sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan

dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

2) Pasal 71 mencantumkan bahwa barangsiapa bersengkongkol atau bersepakat

untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan,

menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 60, 61, 62, atau Pasal 63 di pidana sebagai permufakatan

jahat ancaman pidananya ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk pidana

tersebut.

3) Pasal 72 mencantumkan bahwa jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan

menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum

menikah atau orang di bawah pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana

belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana

penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana

(23)

17

B. Tugas dan Wewenang Kepolisian

Mengutip bahwa tidak seorangpun didunia ini yang tidak pernah mendengar kata

Kepolisian dimanapun ia berada dikota-kota besar maupun dipelosok pelosok desa

tentu ia pernah berjumpa dengan polisi dalam masa tenang terlebih lagi didalam

keributan. Masyarakat ingat dan perlu adanya polisi, akan tetapi banyak dari

masyarakat kita yang mengenal polisi itu hanya dari jauh, dan gambaran tentang

polisi yang diperoleh amat tergantung dari pengetahuannya masing-masing yang

tidak selalu menyenangkan baginya, malahan tidak sedikit orang yang menganggap

polisi itu sebagai hantu yang harus di jauhi.

Berdasarkan pengertian yang bersifat falsafati maka obyek ilmu kepolisian menurut

pembahasan para ahli adalah kontrol yang berarti pengawasan dan pengendalian dan

hal ini merupakan ihwal yang universal dan juga merupakan sesuatu yang kodrati.

Apabila kita melihat dalam diri kita sendiri sebagai manusia, maka nampaklah dalam

batin kita ada sesuatu fungsi rokhaniah yang dalam hidup kita sehari-hari bertugas

mengawasi dan mengendalikan pribadi kita untuk hidup pada jalan yang lurus

mencapai ketertiban dan ketenangan batin demi hidup sejahtera dan bahagia di dunia

ini. Fungsi rokhaniah tersebut kita kenal sebagai hati nurani.

Mudah kiranya dimengerti, bahwa agar orang dapat hidup bersama-sama dalam

suasana yang tertib dan aman, perlu diadakan peraturan-peraturan yang harus ditaati

oleh semua orang, dan dibutuhkan pula adanya suatu kelompok dari orang-orang itu

(24)

peraturan-peraturan benar-benar dipatuhi. Sebagai contoh dapat diketengahkan suatu rumah

tangga yang besar, dimana harus ada seorang, biasanya Bapak atau Ibu, yang

memimpin dan mengasuh anak-anaknya, mengatur dan membina kelakuan dan

kesopanannya.

Untuk menegakkan peraturan-peraturan negara, menjaga keamanan dan ketertiban

serta melindungi jiwa dan harta benda penduduk, maka pemerintah membentuk suatu

badan beserta pegawai-pegawainya yang khusus dibebani dengan pekerjaan itu.

Badan inilah yang disebut kepolisian. Sehubungan dengan itu maka di tiap-tiap

negara dapat dipastikan memiliki Polisinya masing-masing. Memang Polisi itu sudah

ada sejak dahulu kala, yaitu semenjak zaman orang mulai hidup bernegara.

Kata polisi itu berasal dari kata Yunani "Politea". Kata ini pada mulanya

dipergunakan untuk menyebut "Orang yang menjadi warga negara dari kota Athene",

kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan dipakai untuk menyebut

"semua usaha kota". Oleh karena pada zaman itu kota-kota merupakan negara-negara

yang berdiri sendiri, yang disebut juga "polis", maka "politea" atau "polis", diartikan sebagai: "semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan keagamaan”.

Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, bahwa anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia terdiri dari :

a. Anggota Polisi Negara Republik Indonesia.

(25)

19

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto polisi adalah suatu kelompok sosial yang

menjadi bagian dari masyarakat yang berfungsi sebagai penindak dan pemelihara

kedamaian yang merupakan fungsi kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Nasional).

Undang-Undang nomor 1 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Pasal 1 ayat (1), Pengertian kepolisian yaitu “Kepolisian adalah hal ihwal yang

berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan”.

C. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai tempat pemidanaan juga berfungsi untuk

melaksanakan program pembinaan terhadap para narapidana, dimana melalui

program yang dijalankan diharapkan narapidana yang bersangkutan setelah kembali

ke masyarakat dapat menjadi warga yang berguna di masyarakat. Pembinaan adalah

kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana

dan anak didik pemasyarakatan.

Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan dilakukan melalui

beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran No.

(26)

pembinaan dilaksanakan melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan proses

yang bersifat terpadu, yaitu :14

Tahap Pertama :

Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa

pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan

program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat

yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari

masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam LAPAS dan

pengawasannya maksimum security.

Tahap kedua :

Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung

selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim

Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain

menunjukkan keinsyafan, perbaikan disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang

berlaku di lembaga, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan

lebih banyak dan ditempatkan pada LAPAS melalui pengawasan medium security.

Tahap ketiga :

Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ dari masa pidana yang

sebenarnya dan menurut tim TPP telah dicapai cukup kemajuan, maka wadah proses

pembinaan diperluas dengan Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian

14

(27)

21

yaitu yang pertama dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa

pidananya, tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai

dengan 2/3 dari masa pidananya. Dalam tahap ini dapat diberikan Pembebasan

Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimumsecurity.

Tahap keempat :

Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan Cuti

Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar

LAPAS oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut Pembimbingan

Klien Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan pembinaan, terdapat acuan program

yang harus diikuti. Program-program pembinaan yang dimaksud meliputi dua bidang

terdiri dari :15

1. Pembinaan Kepribadian yang meliputi :

a. Pembinaan kesadaran beragama;

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara;

c. Pembinaan kemampuan intelektual;

d. Pembinaan kesadaran hukum;

e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.

2. Pembinaan Kemandirian yang meliputi :

a. Keterampilan untuk mendukung usaha mandiri, misalnya kerajinan

tangan, industri rumah tangga, reparasi mesin dan alat elektronika dan

sebagainya;

15

(28)

b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya

pengelolaan bahan mentah sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan

setengah jadi atau jadi (mengolah rotan menjadi perabotan rumah tangga,

pengolahan makanan ringan berikut pengawetannya, pembuatan batu bata,

genteng dan batako);

c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masingmasing;

d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan

pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi madya atau

teknologi tinggi.

Dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana yang tidak terlepas adalah

pemenuhan hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban narapidana

adalah mentaati segala peraturan yang ada di lapas, sementara hak-hak mereka antara

lain hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan makanan

yang layak, informasi dan sebagainya. Pemenuhan hak kebutuhan seksual narapidana

dalam Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan melalui mekanisme Cuti Mengunjungi

Keluarga (CMK) bagi narapidana, dimana berdasarkan tahapan pembinaan, hak CMK

bisa diperoleh oleh narapidana apabila telah memasuki tahap pembinaan ketiga

dengan pengamanan minimum security.

Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 mengemukakan suatu gagasan “Sistem

Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara. Sehubungan dengan ini maka

(29)

23

mengedepankan hak-hak narapidana.16 Hak narapidana tersebut antara lain terdapat

pada Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya

b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani

c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

e. menyampaikan keluhan

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya

yang tidak dilarang

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu

lainnya

i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga

k. mendapatkan pembebasan bersyarat

l. mendapat cuti menjelang bebas

m. mendapat hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Terpenuhinya hak-hak narapidana memiliki dampak positif terhadap perikehidupan

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Terwujudnya tata kehidupan yang aman dan

tertib yang pada akhirnya mampu mewujudkan narapidana yang telah siap kembali ke

16

(30)

masyarakat sebagai manusia yang bermartabat, siap menjalankan perannya di

masyarakat dan berbakti terhadap bangsa dan negara.

D. Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana

Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang mempunyai

keragaman pengertian. Penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk

mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan

pembuat undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan

hukum yang kemudian menjadi kenyataan.17 Sedangkan Soedarto mengartikan

penegakan hukum sebagai perhatian dan penggarapan perbuatan melawan hukum

yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum

yang mungkin terjadi (onrecht in potentie). Hal ini juga dikatakan oleh Soerjono

Soekanto, yang mengemukakan bahwa:

”kegiatan untuk menyerasikan hubungan nilai nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan pengejawantahan dalam sikap dan tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan dan memelihara, serta memperthankan kedamaian dan pergaulan. Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada pergaulan hidup”.18

Dirumuskan dalam Laporan Seminar Hukum Nasional Ke-4, bahwa: ”Penegakan

hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum, keadilan,

dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketentraman, dan kepastian

17

Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 15 18

(31)

25

hukum, sesuai dengan UUD 1945”.19 Keberhasilan penegakan hukum pada dasarnya

dipengaruhi oleh beberapa faktor, dimana faktor-faktor ini mempunyai hubungan

yang erat dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Menurut Soerjono

Soekanto, faktor-faktor tersebut adalah:

a) Faktor hukumnya sendiri;

b) Faktor penegak hukum, yang meliputi aparat ataupun lembaga yang membentuk

dan menerapkan hukum;

c) Faktor sarana pendukung penegakan hukum;

d) Faktor Masyarakat;

e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada

manusia dan pergaulan hidup.

Hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan

yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Pada dasarnya

hukum pidana mempunyai dua hal pokok yaitu perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu dan pidana.20 Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu adalah

perbuatan yang dilakukan orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang boleh dilakukan. Hukum

menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan apa yang bersifat melawan

hukum. Hukum tidak membiarkan perbuatan yang bersifat melawan hukum, hukum

akan menggarap secara intensif perbuatan yang bersifat melawan hukum, baik

19

Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 17 20

(32)

perbuatan yang bersifat melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in

actu), maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in

potentie).21 Perhatian dan penggarapan perbuatan melawan hukum yang terjadi dan

yang mungkin akan terjadi tersebut merupakan penegakan hukum. Penegakan hukum

merupakan sisi lain dari pembentukan hukum.

Perundang-undangan pidana harus memenuhi syarat keadilan, maksudnya

perundang-undangan pidana harus memperhatikan hak-hak pelaku tindak pidana dan korban

tindak pidana yang selama ini terabaikan. Perundang-undangan pidana harus berdaya

guna, maksudnya adalah perundang-undangan pidana harus dapat mencegah dan

menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat dengan mengenakan sanksi

pidana maupun tindakan. Dengan perundang-undangan pidana yang berkeadilan dan

berdaya guna diharapkan dapat memberikan perlindungan pada masyarakat yang

pada akhirnya dapat mencapai kesejahteraan masyarakat seperti yang dicita-citakan

bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Marc Ancel berpendapat bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari hukum pidana modern, disamping kriminologi dan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana merupakan ilmu dan seni yang memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, kepada pengadilan sebagai lembaga yang menerapkan undang-undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan agar bekerjasama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju serta sehat.22

Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang disusun dan dilaksanakan oleh suatu organisasi atau lembaga dalam rangka menghadapi permasalahan tertentu. Kebijakan

21

Sudarto, Op, Cit., hlm. 187 22

(33)

27

memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan konteks dan situasi yang dihadapi suatu organisasi atau lembaga. Menurut Soerjono Soekanto, kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana bagi pemerintah atau organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, cara bertindak, pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.23

Sementara itu Mustopawijaya, merumuskan kebijakan sebagai keputusan suatu

organisasi, baik publik atau bisnis, yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan

tertentu atau mencapai tujuan tertentu berupa ketentuan-ketentuan yang berisikan

pedoman perilaku dalam:

a. Pengambilan keputusan lebih lanjut yang harus dilakukan baik kelompok sasaran

atau unit organisasi pelaksana kebijakan

b. Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan, baik

dalam hubungan dalam unit organisasi atau pelaksana maupun kelompok sasaran

dimaksud.24

Sudarto berpendapat bahwa politik hukum adalah sebagai berikut :

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Politik atau kebijakan hukum pidana berarti melakukan pemilihan untuk menghasilkan perundang-undangan pidana yang adil dan berdaya guna di masa kini maupun dimasa yang akan datang.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.25

23

Soerjono Soekanto Op, Cit., hlm. 66 24

Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 17 25

(34)

Kebijakan hukum pidana merupakan pekerjaan teknik perundang-undangan yang

dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, pendekatan yuridis

faktual berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif serta pendekatan yang

bersifat komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya. Kebijakan hukum

pidana bila dikaitkan dengan pendapatSudarto mengenai politik hukum, kebijakan

hukum pidana merupakan usaha dalam mengadakan pemilihan atau mewujudkan

perundangundangan pidana yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan di masa yang akan datang, melalui badan-badan yang berwenang

menetapkan peraturan-peraturan yang dapat mengekspresikan apa yang terkandung

dalam masyarakat.

Masalah pokok dalam kebijakan hukum pidana selain masalah kriminalisasi, adalah

sanksi yang akan dikenakan kepada pelanggar. Dalam penjatuhan pidana hendaknya

mempertimbangkan efektifitas sanksi pidana itu sendiri. Sanksi pidana dikatakan

efektif apabila pidana itu benar-benar dapat mencegah terjadinya tindak pidana,

disamping itu pidana tersebut tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih

merugikan atau berbahaya daripada apabila sanksi pidana tidak dijatuhkan, disamping

itu tidak ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif dengan kerugian atau

bahaya yang lebih kecil.

Jeremy Bentham berpendapat bahwa pidana jangan digunakan apabila

‘groundless,needless, unprofitable or inefficacious’. Tujuan pengenaan pidana adalah

mewujudkan kepentingan-kepentingan social yaitu :

(35)

29

b. melindungi masyarakat dari kejahatan,kerugianatau bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku,

c. memasyarakatkan kembali si pelaku,

d. mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.26

Menurut Friedman menguraikan tentang fungsi sitem hukum, yaitu :

1. Fungsi kontrol sosial, menurut Donald Black semua hukumadalahberfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.

2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa dan konflik. Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbebtuk pertentangan lokal berskala kecil.

3. Fungsi redistribusi atau fungsi rekayasa sosial. Fungsi ini mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang digunakan oleh pemerintah.

4. Fungsi pemeliharaan sosial. Fungsi ini berguna untuk penegakan hukum, agar berjalan sesuai dengan aturan mainnya.27

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum

adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang

dicita-citakan hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku

undang-undang atau hukum.28

Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan

sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan

(sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social

control) kedamaian pergaulan hidup.29

26

Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 23 27

Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm. 70 28Ibid

29

(36)

Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut

penyelesaian antara nilai-nilai dengan kaidah serta dengan prolaku nyata manusia.

Pada hakikatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin hidup sosial

masyarakat karena hukum dan masyarakat terdapat suatu interelasi.

Muladi mengidentifikasikan tentang hubungan penegakan hukum pidana dengan

politik sosial menyatakan bahwa “penegakan hukum pidana merupakan bagian dari

penanggulangan kejahatan (politik kriminal)”. Tujuan akhir dari polotik kriminal

adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama untuk kesejahteraan

masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari

politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh

kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah jika dikatakan

bahwa usaha penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari

pembangunan nasional.30

Berdasarkan orientasi kebijakan sosial itulah, masalah kriminal atau kejahatan harus

diperhatikan hal-hal yanjg pada intinya sebagai berikut :

1. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan pancasila. Sehubungan dengan itu maka penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

30

(37)

31

2. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu kegiatan yang mendatangkan kerugian materiil dan sprituil atas warga masyarakat.

3. Penggunaan hukum pidana juga harus memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”.

4. Penggunaan hukum pidana juga harus memperhitungkan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas.31

Penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini

didasarkan atas empat alasan, yaitu :

1. Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau

kekerasan dengan kemubgkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan

kekuasaan (abuse of power)

2. Hampir semua profesional dalam penegakan hukum pidana adalah pegawai

pemerintah yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani.

3. Bagi setiap orang etika dapat digunakan sebagai alat untuk membantu

memecahkan dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan

profesionalnya.

Menurut Moeljatno hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan huk yang

berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang yang disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.32

31

(38)

Bagaimana suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau bukan. Haruslah dilihat

dari ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku di Indonesia. Dari berbagai

pendapat para ahli tersebut di atas belumlah belumlah terdapat suatu rumusan yang

menjadi patokan yang tepat.

Pengertian hukum pidana yang dipakai adalah pengertian hikum pidana menurut

Edmund Mezger, hukum pidana adalah aturan hukum, yang mengikat pada suatu

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Jadi,

pengrtian hukum pidana itu meliputi dua hal pokok, yaitu aturan hukum yang

mengatur perbuatan pidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana, dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Perbuatan yang memenuhi syarat tertentu, yang dimaksud perbuatan yang memenuhi syarat tertntu adalah perbuatan yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus memnuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Perbuatan tertentu itu harus merupakan perbuatan yang dilarang

b. Perbuatan tertentu itu harus dilakukan oleh orang

2. Pidana, pidana ini merupakan suatu hal yang mutlak diperoleh dalam hukum pidana. Tujuannya agar dapat menjadi sarana pencegahan umum maupun khusus bagi anggota masyarakat agar tidak melanggar hukum pidana.33

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang

mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai

32

Soerjono Soekanto, Op, Cit., hlm. 26 33

(39)

33

tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.34 Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor

yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,

sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.35

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi

dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan

hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut

dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat

Indonesia.

1. Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan

dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya

undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang-undang-undang

tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain:

a. Undang-undang tidak berlaku surut.

b. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

34

Soerjono Soekanto, Op., Cit., hlm. 9. 35

(40)

c. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.

e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.

f. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

g. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).36

2. Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya

mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran,

disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh

mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan

yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan

tersebut, adalah:

a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain

dengan siapa dia berinteraksi.

b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit

sekali untuk membuat proyeksi.

d. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,

terutama kebutuhan material.

e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

36

(41)

35

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan

sikap-sikap, sebagai berikut:

a. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

b. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada

pada saat itu.

c. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

d. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai

pendiriannya.

e. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.

f. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.

g. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.

h. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam

meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

i. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan

ihak lain.

j. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran

dan perhitingan yang mantap.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum

akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup

tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang

(42)

peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau

fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang

seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas

tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut :

a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan. c. Yang kurang-ditambah.

d. Yang macet-dilancarkan.

e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.37

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian

dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat

dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai

kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan

mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai

pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa

dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari

hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang

dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:

a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

37

(43)

37

b. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum

(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pokok permasalahan

dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis

empiris sebagai penunjang. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan

cara menelaah dan menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan,

teori-teori, kaidah hukum dan konsep-konsep yang ada hubungannya dengan

permasalah yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah hukum terhadap objek penelitian

sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada

penerapan hukum yang berkaitan dengan bentuk-bentuk perilaku yang akan

dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data

sekunder, yaitu :

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan.

(45)

39

skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara

terhadap beberapa penegak hukum.

2. Data sekender adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan

dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep,

doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca,

mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan

dengan permasalahan yang akan di bahas, yang terdiri antara lain:

a. Bahan hukum primer yaitu :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli

dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri

dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.

C. Penentuan Narasumber

Penentuan narasumber dalam penelitian ini diambil dari beberapa orang populasi

secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan dilakukan

(46)

dalam penenlitian ini. Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang

dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi

secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan dilakukan

dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu. Dalam penelitian

ini yang menjadi sampel adalah dari Kepolisian dan Lembaga Pemasyarakatan di

wilayah hukum Bandar Lampung. Adapun penetuan narasumber dalam penelitian

ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu :

1. Penyidik Reskoba Polerta Bandar Lampung = 2 orang

2. Penjaga Lapas Narkotika Way Huwi = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data

sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang

erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat

mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk

dianalisa lebih lanjut.

b. Studi Dokumen

Mempelajari berkas-berkas dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan

(47)

41

c. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah

direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung

dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan

mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai

berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan

pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau

artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi

atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam

menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara menganalisis data secara kualitatif, yaitu

dengan cara meneliti upaya kepolosian dalam menanggulangi peredaran narkoba

di lemaba pemasyarakatan Rajabasa, kemudian analisis ini dipaparkan secara

sistematis sehingga terjawab keseluruhan permasalahan dalam penelitian ini. Hasil

penelitian ini bersifat evaluatif analisis yang kemudian dikonstruksikan dalam

(48)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan dalam bab hasil dan

pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Upaya unit satuan narkoba Polresta Bandar Lampung dalam menanggulangi

peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dilakukan dengan

dua cara, yaitu upaya represif dalam bentuk koordinasi terbuka, dilakukan

dengan cara pelimpahan kewenangan dari Kapolresta pada Kasat Reskoba

untuk berkoordinasi dengan Kalapas. Koordinasi dilakukan apabila ada

dugaan peredaran narkoba didalam Lapas untuk selanjutnya dilakukan razia

dan barang bukti diserahkan pada pihak Kepolisian untuk di proses pelaku

yang bersangkutan. bentuk koordinasi terbuka ini lebih mengarah pada upaya

represif dimana upaya ini merupakan segala tindakan penanggulangan

kejahatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya

kejahatan. Sedangkan upaya represif dan preventif dalam bentuk koordinasi

tertutup, koordinasi dilakukan oleh pihak Kepolisian sendiri tanpa pihak luar.

Kepolisian melakukan penelusuran terhadap tersangka pengguna yang

selanjutya dikembangkan ketingkat pengedar. Koordinasi tertutup ini

(49)

59

upaya penanggulangan yang bersifat preventif. Artinya upaya dilakukan

ketika kajahatan telah teridentifikasi berupa penemuan kasus peredaran

narkoba yang diawali dengan ditemukannya pemakai dan pengedar.

2. Faktor-faktor penghambat dalam upaya menanggulangi peredaran narkoba di

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika antara lain faktor hukumnya sendiri,

faktor aparatur penegak hukum, faktor peralatan atau sarana dan prasarana,

dan faktor masyarakat. Dari faktor hukumnya sendiri kendala yang cukup

merepotkan bagi Kepolisian untuk mengungkap sebuah kasus dikarenakan

aturan dalam lembaga pemasyarakatan yang berbenturan dengan kewenangan.

Dari faktor aparatur penegak hukum masih ada oknum yang tidak baik, yang

dapat membantu narpidana melakukan aksi kejahatan. Hambatan lainnya

sarana dan prasarana adalah anggaran dana yang tidak sesuai dengan jumlah

kebutuhan yang harus diwujudkan berimbas pada kinerja yang tidak

maksimal. Sedangkan dari faktor masyarakat, lingkungan yang mendorong

orang tersebut untuk terus berhubungan dengan narkoba, hingga sampai

dijebloskan didalam sel Lapas, lingkungan antar penyalahguna narkoba tetap

ada dan akhirnya tetap membentuk sebuah komunitas didalam Lapas.

B. Saran

1. Kepada pihak Kepolisian lebih meningkatkan mutu kerja dengan lebih cepat

mengungkap sebuah kasus. Bantuan dari pihak manapun harus dimaksimalkan

guna meningkatkan kinerja agar tidak diambil alih oleh struktur organisasi

yang lebih tinggi. Pemberlakuan sanksi yang tegas apabila masih ditemukan

(50)

pengedar narkoba itu sendiri agar masyarakat mampu untuk berperilaku baik

dan bijak dalam bertindak, serta upaya untuk memeberantas bandar narkoba

yang mendekam dalam Lapas harus digali betul sampai keakar-akarnya

hingga produsen yang memproduksi narkoba tertangkap sehingga masyarakat

akan aman dari ancaman peredaran narkoba.

2. Masyarakat sebagai media informasi harus lebih peka dan berperan aktif

terhadap upaya penanggulangan peredaran narkoba. Informasi sekecil apapun

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2003, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Cetakan I Tahun 1990.

Gunakarya, A.Widiada, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung.

Makarao, Moh.Taufik. 2003. Tindak Pidana Narkotik, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Moeljatno, 1983, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Prakoso, Djoko, 1987, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Bina Aksara, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

_________________, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Sunarso, Siswantoro, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika, dalam Kajian Sosiologi Hukum, Grfindo Persada. Jakarta.

Sujatno. Adi. 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri),

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta.

Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

(52)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Referensi

Dokumen terkait

Bank/Pos penyalur tentang penyaluran dana Bantuan Siswa Miskin sesuai dengan ke-.. tentuan pengadaan barang dan

Association of leukocyte and neutrophils count with infarct size, left ventricular function and outcomes after percutaneus coronary intervention for ST-elevation

Pasalnya, ketika itu tahun 1930 atau sepuluh tahun setelah berdirinya lembaga pendidikan tinggi pertama, hanya ada 91 mahasiswa Indonesia terdapat pada tiga lembaga pendidikan

The necessary complementarity thesis suggests the whole moti- vation for formulating modern virtue ethics was misconceived: the failures of deontology and consequentialism

[r]

sehingga memungkinkan untuk digunakan dalam pengembangan komersil. Kekurangan dari penggunaan bootstrap adalah website yang dibangun akan memiliki tampilan yang

Penelitian bertujuan menganalisa penyebab munculnya persamaan nomor sertipikat pada obyek tanah yang berbeda dan mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap

Pembuatan referensi direkomendasaikan menggunakan software pengelolaan daftar pustaka seperti Endnote atau Mendelay dalam bentuk IEEE style. Daftar pustaka disajikan