• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Risiko Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah di Kabupaten Aceh Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-Faktor Risiko Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah di Kabupaten Aceh Timur"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU

PADA KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH

DI KABUPATEN ACEH TIMUR

TESIS

OLEH

SASILIA

NIM:107027001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU

PADA KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH

DI KABUPATEN ACEH TIMUR

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

OLEH

SASILIA

NIM:107027001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis :

Nama Mahasiswa : SASILIA Nomor Pokok : 107027001

Program Studi : Magister Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. H. Zainuddin Amir,M.Ked(Paru),Sp.P(K)) (dr. Tetty Aman Nst, M.Med, Sc)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Tanggal lulus: 31 Mei 2013

(Prof.dr.Chairuddin P.Lubis,DTM&H,Sp.A(K))

FAKTOR-FAKTOR PENULARAN TB PARU PADA

KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH DI KABUPATEN ACEH TIMUR

(4)

Telah diuji pada Tanggal : 31 Mei 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. H. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K) Anggota : 1. dr. Tetty Aman Nst, M.Med, Sc

(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Sasilia

NIM : 1070270001

(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sasilia NIM : 107027001

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis Jenis Karya Ilmiah : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU PADA KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH DI KABUPATEN ACEH TIMUR

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 29 Maret 2013 Yang menyatakan

(7)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di Kabupaten Aceh Timur, kasus TB paru di Kabupaten Aceh Timur menunjukkan angka peningkatan dari jumlah kasus 210 (36,4%) kasus TB paru BTA (+) pada tahun 2010, terjadi peningkatan menjadi 236 (40,9%) tahun 2011 dan data laporan triwulan penemuan kasus baru BTA (+) tahun 2012 pada triwulan I 60 kasus,

triwulan II 63 kasus dan triwulan III ditemukan 51 kasus TB paru BTA (+) dengan jumlah penduduk 360.465 jiwa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang

berhubungan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh Timur. Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik

observasional menggunakan metode cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita BTA positif yang berobat di Puskesmas dalam wilayah kerja Kabupaten Aceh Timur, dengan jumlah sampel 140 orang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara variabel umur (p=0,0001), pengetahuan (p=0,0001), penyakit penyerta (p=0,0001) dan status gizi (p=0,002) dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah. Sedangkan jenis kelamin (p=0,810), pekerjaan (p=0,533), kebiasaan merokok (p=0,281) tidak berhubungan. Faktor-faktor risiko yang paling besar pengaruh atau kontribusinya terhadap penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah adalah faktor umur (umur < 15 tahun, PR 78,228), status gizi (status gizi kurus, PR 17,174) dan pengetahuan (pengetahuan kurang, PR 15,802).

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur beserta seluruh jajarannya untuk bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada penyakit menular dengan cara melakukan penyuluhan dan pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan keluarga yang akan berdampak pada peningkatan kemampuan keluarga dalam tindakan pencegahan penyakit TB.

(8)

ABSTRACT

Pulmonary tuberculosis (Pulmonary TB) is an infectious disease a public health problem in East Aceh, the cases of pulmonary tuberculosis in East Aceh district tend to increase in numbers. There were 210 (36.4%) cases of pulmonary TB smear (+) in 2010. In 2011, however, the cases increased to 236 (40.9%). According to the quarterly data reports of 2012, there were 60 new cases of pulmonary TB smear (+) found in the first quarter, and 63 cases were found in second quarter and meanwhile, in the third quarter, there were 51 cases of pulmonary TB smear (+) with a population of 360,465 inhabitants.

The purpose of the research is to determine the risk factors associated with pulmonary TB transmission in families who live together at home in East Aceh. This research is an observational analytic study using cross sectional method. The population of the research are all members of the family who live together at home with smear-positive sufferers who seek the treatment at the health center in the working area of East Aceh district. Meanwhile, The total samples of the research are 140. Data analysis is performed using logistic regression at 95% confidence level.

The result shows significant association between the variables age (p= 0,0001), knowledge (p= 0,0001), comorbidities (p = 0,0001) and nutritional status (p= 0,002) with pulmonary TB transmission in families who live together at home. While gender (p= 0,810), occupation (p= 0,533), smoking habits (p= 0,281) are not related. The risk factors of greatest influence or contribute to the spread on pulmonary TB transmission in families who live together at home are age factor (age < 15 years, PR 78,228), nutritional status (underweight nutritional status, PR 17,174) and knowledge (lack of knowledge, PR 15,802).

It is suggested to the Head of District Health Office in East Aceh and all of his staff to cooperate with non-governmental organizations that focus on infectious diseases by conducting education and training aimed at improving family knowledge that in turn will impact on increasing the ability of the family in preventing of TB disease.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan tesis yang

berjudul: “Faktor-Faktor Risiko Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal

Serumah di Kabupaten Aceh Timur” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan

jenjang pendidikan strata-2 pada Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Timur yang telah memberikan kesempatan Tugas Belajar dan bantuan dana sehingga kami dapat melaksanakan Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Sumatera Utara.

Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan Tugas Belajar sehingga kami dapat melaksanakan Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

dr. H. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K)) dan dr. Tetty Aman Nst, M.Med, Sc sebagai dosen pembimbing, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan motivasi, bimbingan dan saran-sarannya dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SPPD-KGEH atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(10)

Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran, bimbingan dan pengarahan serta bantuan selama pendidikan.

Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku konsultan statistik yang dengan penuh kesabaran telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dimana kami selalu berdiskusi.

Kepala UPT. Pelayanan Kesehatan Masyarakat dalam wilayah kerja Kabupaten Aceh Timur dan khususnya Kepala UPT. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Peureulak beserta jajarannya yang memberikan ijin penelitian dalam wilayah kerjanya.

dr. Liswati Harahap, M.Kes yang telah memberikan do’a, masukan dan

motivasi dengan penuh kasih sayang kepada penulis.

Nurhasni, AMK, “Melayani pasien TB adalah Ibadah“ yang mendampingi, mendo’akan dan memberikan semangat kepada penulis mulai dari awal pendidikan

sampai proses penyusunan tesis ini hingga selesai.

Hormat dan baktiku untuk Abah Daniel Yoseph. RH , ibuku Khadijah, bapak M. Yusuf Husen dan Alm. Jida Mariani binti Ibrahim yang telah tulus memberikan

kasih sayang, mendo’akan kami anak-anaknya untuk selalu hidup dalam ridho Allah.

Abah adalah motivator terbaikku yang senantiasa menasehatiku, “ Buat dulu orang

lain senang baru kita senang belakangan, orang jujur dan rendah hati akan mewarisi

bumi”. Ibuku memotivasiku untuk kemandirianku. Bapak adalah penyejuk hatiku dengan kasih sayangnya mengajariku untuk menikmati, “hidup bahagia”. Jida semasa hidupnya selalu mendo’akan untuk keberhasilanku. Terima kasih yang tiada batas untuk semuanya.

Hormat dan kasihku untuk suamiku Sufril Mahdi,SE dan ketiga anak-anakku

Khemal Mubaraq Buah Hatiku, Farid Alghaffar Malaikatku, Ziedane Al Akhtar Matahatiku yang telah memberi izin kepada mama untuk melanjutkan

(11)

dalam Ridho Allah juga akan mengikuti jejak mamanya melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang setinggi-tingginya, “ Menjadikan Keberadaan diri ini

bermanfaat untuk kehidupan orang lain”.

Semua pihak yang banyak membantu yang namanya tidak tersebutkan, penulis ucapkan terimakasih.

Penulis menyadari penulisan ini jauh dari kesempurnaan baik dari materi, kedalaman pembahasan, maupun penulisan. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf untuk itu, saran dan koreksi sangat penulis harapkan . Dalam keterbatasannya karya ini penulis persembahkan untuk masyarakat penderita TB paru di Kabupaten Aceh Timur khususnya masyarakat penderita TB paru di Peureulak. Semoga semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2013

Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Sasilia

Tempat/Tanggal Lahir : Rantau Panjang Peureulak, 28 Januari 1970 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Nama Ayah : Daniel Yoseph. RH Nama Ibu : Khadijah

Nama Suami : Sufril Mahdi,SE Nama Anak : 1. Khemal Mubaraq

2. Farid Alghaffar 3. Ziedane Al Akhtar

Alamat Rumah : Dusun Kesehatan Desa Lhok Dalam

Kec.Peureulak Kab. Aceh Timur-24453 e-mail : Sasiliakhemal@yahoo.co.id

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD : SD Negeri No.I Peureulak Tamat : 1983 SMP : SMP Negeri No.1 Peureulak Tamat : 1986 SMA : SMA Negeri Kw. Simpang Tamat : 1989 Strata-1 : Fakultas Kedokteran UISU Medan Tamat : 1999

RIWAYAT PEKERJAAN

(13)

DAFTAR ISI

2.1.6. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis ………. 12

2.1.7. Pemeriksaan Biakan ……….. 12

2.1.8. Pemeriksaan Tes Resistensi ……….. 13

2.1.9. Diagnosa TB ………. 13

2.1.10. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks ……… 14

2.1.11. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien ... 15

2.1.12. Tatalaksana TB anak ………. 19

2.1.13. Pemberantasan Tuberkulosis di Indonesia ……. 23

2.2. Beberapa Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru ... 23

(14)

2.3. Kerangka Konsep Penelitian ……... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Jenis Penelitian ………... 39

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 39

3.3. Populasi dan Sampel ………... . 39

3.4. Perkiraan Besar Sampel ... 39

3.5. Kriteria inklusi dan eksklusi ... 40

3.5.1. Kriteria Inklusi ... 40

3.5.2. Kriteria Eksklusi ... 40

3.6. Defenisi Operasional ...…... 40

3.7. Variabel Penelitian ………... 43

3.7.1. Variabel Dependen ..……... 43

3.7.2. Variabel Independen ……….. 43

3.8. Manajemen Data ... 44

3.8.1. Uji Validitas dan Reliabilitas ………. 44

3.8.2. Sumber data ……….. 46

3.9. Cara Kerja ……….. 46

3.9.1. Pemeriksaan pada Anggota Keluarga ………… 46

3.9.2. Pengisian Kuesioner yang sudah disiapkan …... 51

3.10.Analisa Data ……….. 54

3.11.Masalah Etika ……... 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 55

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……….... 55

4.2 Analisis Univariat ……… 55

4.3 Analisis Bivariat ………. 61

4.4 Analisis Multivariat ……… 67

4.5 Pembahasan ………. 70

4.6 Keterbatasan Penelitian ……… 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 79

5.1 Kesimpulan ………. 79

5.2 Saran ……… 80

(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Kategori Pengobatan TB Menurut WHO ... 18

2.2 Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB …………... 20

3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ………. 45

3.2 Hasil Pemeriksaan Mikroskopis dengan Mengacu kepada Skala IUATLD (International Union Against To Lung Diseases) ……….. 47

4.1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Pekerjaan ...……….. 56

4.2 Distribusi Pengetahuan Responden Tentang TB Paru …….. 57

4.3 Distribusi Kebiasaan Merokok ………….………. 57

4.4 Distribusi Penyakit Penyerta ……… 58

4.5 Distribusi Status Gizi Responden ………. 58

4.6 Distribusi Riwayat Kontak Responden ……….. 59

4.7 Distribusi Hasil Pemeriksaan ……….. 59

4.8 Distribusi Penularan TB Pada Keluarga ……….. 60

4.9 Hubungan Umur dengan Penularan TB paru pada Keluarga Yang Tinggal Serumah ………. 61

4.10 Hubungan Jenis Kelamin dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah ……….. 62

4.11 Hubungan Pekerjaan dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah ……….. 63

(16)

4.13 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Penularan TB paru

Pada Keluarga yang Tinggal Serumah ……… 65

4.14 Hubungan Penyakit Penyerta dengan Penularan TB paru

Pada Keluarga yang Tinggal Serumah ……… 65

4.15 Hubungan Status Gizi dengan Penularan TB paru pada

Keluarga yang Tinggal Serumah ………. 66

4.16 Hasil Analisis Risiko Variabel Umur terhadap Penularan

TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah ………….. 67 4.17 Hasil Analisis Risiko Variabel Pengetahuan terhadap

Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah ... 68

4.18 Hasil Analisis Risiko Variabel Penyakit Penyerta terhadap

Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah … 68 4.19 Hasil Analisis Risiko Variabel Status Gizi terhadap

Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah … 69 4.20 Hasil Akhir Analisis Multivariat terhadap Penularan TB Paru

(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Faktor Risiko Kejadian TB ……… 10

2.2 Alur Diagnosis TB Paru ……… 14

2.3 Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar ……… 22

2.4 Kerangka Konsep Penelitian ……….. 38

3.1 Cara Penyuntikan Tes Tuberkulin ……… 51

3.2 Cara Pembacaan Tes Tuberkulin ……….. 51

3.3 Alur Ringkasan Pemeriksaan Sampel... 52

(18)

DAFTAR SINGKATAN

SINGKATAN Nama Pemakaian pertama

kali pada halaman

AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome …………. 10

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ……….. 23

ARTI Annual Risk Of Tuberculosis Infection ………. 9

BB/TB Berat Badan/Tinggi Badan ……… 34

BB/U Berat Badan/Umur ……….. 20

BCG Bacille Calmete Guerin ……… 49

BMI Body Mass Index ……….. 34

BTA Bakteri Tahan Asam ………. 2

BP4 Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru ………. 1

CDR Case Detection Rate ……… 3

CI Confidence Interval ……… 31

DEPKES RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia ……….. 2

DINKES Dinas Kesehatan ………. 55

DITJEN PP& PL Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan ……… 3

DM Diabetes mellitus ……… 32

DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse …………. 1

E Etambutol ………. 18

H Isoniasid (INH = Iso Niacid Hydrazide) ………….. 18

HBC High Burden Country ………. 3

HIV Human Immunodeficiency Virus ……….. 2

(19)

IMT Indeks Massa Tubuh ……….. 34

IUATLD International Union Against To Lung Diseases …… 47

ISTC International Standard for TB Care ………. 1

KEMENKES RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ……… 3

KEPMENKES Keputusan Kementerian Kesehatan ..……… 34

KGD Kadar Gula Darah ……… 42

KMS Kartu Menuju Sehat ……….. 20

MDR TB Multy Drug Resistant Tuberculosis ………... 2

n Jumlah sampel ………. 56

WHO-NCHS World Health Organization-National Center For Health Statistic ...………. 34

OAT Obat Anti Tuberkulosis ………. 12

OR Odds Ratio ...………. 28

p Probabilitas ……….. 3

PA Postero Anterior ……… 48

PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ………. 49

PMO Pengawas Minum Obat ……… 23

PPD Purified Protein Derivate ……….. 49

PP IDAI Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia …….. 19

PPTI Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.. 8

PR Prevalence Ratio ...……….. 70

PUSKESMAS Pusat Kesehatan Masyarakat ……… 1

R Rifampisin ………. 18

S Streptomisin ……….. 18

(20)

TB Tuberkulosis ……….……… 1

TB/U Tinggi Badan/Umur ……… 34

TB/HIV Tuberculosis/Human Immunodeficiency Virus ….. 2

TB-MDR Tuberculosis-Multy Drug Resistant ………. 2

TK Taman Kanak-kanak ……….. 35

UPK Unit Pelayanan Kesehatan……… 12

WHO World Health Organization ……… 2

XDR TB Extensively Drug Resistant Tuberculosis ………… 2

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Surat Persetujuan Mengikuti Penelitian ……… 86

2 Status Penelitian ……... 88

3 Kuesioner Penelitian ………... 90

4 Master Data Uji Validitas dan Reliabilitas ……… 94

5 Lampiran Output Validitas dan Reliabilitas ……….. 95

6 Daftar Hasil Pemeriksaan ……… 97

7 Hasil Penelitian Deskriptif ……… 101

8 Hasil Penelitian Analitik dengan Chi square ... 103

9 Hasil Penelitian Analisis Multivariat ……… 110

(22)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di Kabupaten Aceh Timur, kasus TB paru di Kabupaten Aceh Timur menunjukkan angka peningkatan dari jumlah kasus 210 (36,4%) kasus TB paru BTA (+) pada tahun 2010, terjadi peningkatan menjadi 236 (40,9%) tahun 2011 dan data laporan triwulan penemuan kasus baru BTA (+) tahun 2012 pada triwulan I 60 kasus,

triwulan II 63 kasus dan triwulan III ditemukan 51 kasus TB paru BTA (+) dengan jumlah penduduk 360.465 jiwa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang

berhubungan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh Timur. Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik

observasional menggunakan metode cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita BTA positif yang berobat di Puskesmas dalam wilayah kerja Kabupaten Aceh Timur, dengan jumlah sampel 140 orang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara variabel umur (p=0,0001), pengetahuan (p=0,0001), penyakit penyerta (p=0,0001) dan status gizi (p=0,002) dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah. Sedangkan jenis kelamin (p=0,810), pekerjaan (p=0,533), kebiasaan merokok (p=0,281) tidak berhubungan. Faktor-faktor risiko yang paling besar pengaruh atau kontribusinya terhadap penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah adalah faktor umur (umur < 15 tahun, PR 78,228), status gizi (status gizi kurus, PR 17,174) dan pengetahuan (pengetahuan kurang, PR 15,802).

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur beserta seluruh jajarannya untuk bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada penyakit menular dengan cara melakukan penyuluhan dan pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan keluarga yang akan berdampak pada peningkatan kemampuan keluarga dalam tindakan pencegahan penyakit TB.

(23)

ABSTRACT

Pulmonary tuberculosis (Pulmonary TB) is an infectious disease a public health problem in East Aceh, the cases of pulmonary tuberculosis in East Aceh district tend to increase in numbers. There were 210 (36.4%) cases of pulmonary TB smear (+) in 2010. In 2011, however, the cases increased to 236 (40.9%). According to the quarterly data reports of 2012, there were 60 new cases of pulmonary TB smear (+) found in the first quarter, and 63 cases were found in second quarter and meanwhile, in the third quarter, there were 51 cases of pulmonary TB smear (+) with a population of 360,465 inhabitants.

The purpose of the research is to determine the risk factors associated with pulmonary TB transmission in families who live together at home in East Aceh. This research is an observational analytic study using cross sectional method. The population of the research are all members of the family who live together at home with smear-positive sufferers who seek the treatment at the health center in the working area of East Aceh district. Meanwhile, The total samples of the research are 140. Data analysis is performed using logistic regression at 95% confidence level.

The result shows significant association between the variables age (p= 0,0001), knowledge (p= 0,0001), comorbidities (p = 0,0001) and nutritional status (p= 0,002) with pulmonary TB transmission in families who live together at home. While gender (p= 0,810), occupation (p= 0,533), smoking habits (p= 0,281) are not related. The risk factors of greatest influence or contribute to the spread on pulmonary TB transmission in families who live together at home are age factor (age < 15 years, PR 78,228), nutritional status (underweight nutritional status, PR 17,174) and knowledge (lack of knowledge, PR 15,802).

It is suggested to the Head of District Health Office in East Aceh and all of his staff to cooperate with non-governmental organizations that focus on infectious diseases by conducting education and training aimed at improving family knowledge that in turn will impact on increasing the ability of the family in preventing of TB disease.

(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan

sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan akan berpengaruh terhadap

populasi penderita disekitarnya, dimana kemungkinan orang yang tertular akan semakin banyak hal ini sesuai dengan penularan TB yang umumnya melalui “droplet

nucleus”. International Standard for TB Care (ISTC) menekankan kepada semua penyelenggara pelayanan kesehatan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai rekomendasi internasional. Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan bahwa kontak : 1) menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis; 2) berisiko tinggi menderita tuberkulosis jika terinfeksi; 3) berisiko menderita tuberkulosis berat jika penyakit berkembang; 4) berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien. Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah :1) orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis; 2) anak berusia < 5 tahun; 3) kontak yang diduga atau diduga menderita imunokompromais, khususnya infeksi HIV

(25)

Drug Resistant/Extensively Drug Resistant Tuberculosis). Ditambah lagi prevalensi infeksi tuberkulosis pada anak-anak di rumah yang kontak dengan penderita TB paru dewasa jauh lebih banyak dalam populasi, dan ini secara signifikan jauh lebih besar pada kontak dengan penderita TB paru BTA (Bakteri Tahan Asam) positif. Sementara kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah (Putra, 2010).

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara – negara berkembang. Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (High Burden Countries). Menyingkapi hal tersebut, pada tahun 1993 WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency) (Depkes RI, 2008).

TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama diantara negara-negara dengan beban TB yang

tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target global untuk TB pada tahun 2006 yaitu 70% penemuan kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini peringkat Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi kelima diantara

negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Meskipun demikian, berbagai tantangan baru yang perlu menjadi perhatian yaitu TB/HIV, TB-MDR, TB pada anak dan masyarakat rentan lainnya (Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan, 2011).

(26)

Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA positif adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama. Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah, sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi (Jawa Barat, Sulawesi Utara, Maluku, DKI Jakarta, dan Banten) menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan (Kemenkes RI Ditjen PP& PL, 2011).

Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok faktor risiko yaitu faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan ketinggian) (Fatimah, 2008).

Soejadi,dkk (2006) melakukan penelitian di kabupaten Karo hasil penelitiannya menunjukkan ada pengaruh yang bermakna tingkat pengetahuan (0,003), kebiasaan merokok (0,023), sanitasi perumahan (0,000) dan status gizi (0,007)

terhadap kasus tuberkulosis karena probabilitas penelitiannya < α=0.05, sedangkan sosial ekonomi (0,178) tidak ada pengaruh.

(27)

Putra (2010) dalam penelitiannya berkesimpulan walaupun anggota keluarga tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA positif, tetapi untuk menjadi sakit tidaklah mudah. Terutama pada orang dewasa sebanyak 78 orang yang diperiksa tidak dijumpai BTA positif, namun pada anak dibawah lima tahun menunjukkan hasil baca tes tuberkulin dengan diameter lebih dari 10 mm. Selaras dengan penelitian Gusti (2000), pada 86 pasangan suami istri yang salah satu pasangannya menderita tuberkulosis. Hasil keseluruhannya bahwa tidak ada hubungan antara kontak erat dengan terjadinya tuberkulosis paru pada orang dewasa.

Di Provinsi Aceh TB paru masih perlu mendapat perhatian karena prevalensinya di Aceh 1,45% sementara prevalensi TB nasional 0,99%. Insiden turun dari 130/100.000 penduduk menjadi 104/100.000 penduduk pada tahun 2008. Case Detection Rate (CDR) baru mencapai 42,3% pada tahun 2009 dari target minimal (nasional) 70%. CDR lima tahun terakhir berada pada kisaran 35,5% tahun 2007 dan 51,9% tahun 2006. Pencapaian ini jauh dibawah target nasional sekurang-kurangnya 70% (Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh, 2011).

Kasus TB paru di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan Profil Dinas Kesehatan

Kabupaten Aceh Timur Tahun 2011 menunjukkan angka peningkatan dari jumlah kasus 210 (36,4%) kasus TB paru BTA (+) pada tahun 2010, terjadi peningkatan menjadi 236 (40,9%) kasus TB paru BTA (+) pada tahun 2011 dan data laporan

triwulan penemuan kasus baru BTA (+) Dinkes Kabupaten Aceh Timur tahun 2012 pada triwulan I ditemukan 60 kasus TB paru BTA (+), triwulan II ditemukan 63 kasus TB paru BTA (+) dan triwulan III ditemukan 51 kasus TB paru BTA (+) dengan jumlah penduduk 360.465 jiwa. Peningkatan kasus TB paru tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah (Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, (2012).

(28)

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin mengetahui apakah faktor- faktor risiko yang berhubungan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh Timur.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh Timur.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan umur dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

2. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

3. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan penularan TB paru pada keluarga

yang tinggal serumah

4. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

5. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

6. Untuk mengetahui hubungan penyakit penyerta dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

7. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

(29)

1.4 Hipotesis

1. Ada hubungan umur dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

2. Ada hubungan jenis kelamin dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

3. Ada hubungan pekerjaan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

4. Ada hubungan pengetahuan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

5. Ada hubungan kebiasaan merokok dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

6. Ada hubungan penyakit penyerta dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

7. Ada hubungan status gizi dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

8. Ada hubungan riwayat kontak penderita TB paru BTA (+) dengan penularan TB

paru pada keluarga yang tinggal serumah

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini nantinya adalah :

1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur dalam upaya penanggulangan Penyakit TB paru

2. Memberikan informasi data ilmiah penelitian faktor- faktor risiko penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh Timur yang nantinya dapat disebarluaskan ke tiap puskesmas dalam wilayah kerja Kabupaten Aceh Timur

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis itu biasanya disingkat menjadi TB adalah penyakit menular disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia, 2010).

TB sangat berbahaya karena bisa menyebabkan seseorang meninggal dan sangat mudah ditularkan kepada siapa saja dimana 1 orang pasien TB dengan BTA positif bisa menularkan kepada 10-15 orang disekitarnya setiap tahun (PPTI, 2010).

2.1.1 Penyebab

Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6

mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial sulfolipid yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan

arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan M.tuberculosis bersifat tahan asam yaitu tersebut dengan larutan asam-alkohol (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002).

(31)

tetap hidup dalam periode yang panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain yang ada di kamar tidur (Putra, 2010).

2.1.2 Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2008).

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien

TB paru dengan BTA positif memberi kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1–3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2008).

Risiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif (Depkes RI, 2008).

(32)

(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2008). Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:

Gambar 2.1. Faktor Risiko Kejadian TB 50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular (Depkes RI, 2008).

2.1.3 Tatalaksana Pasien TB

(33)

2.1.4 Penemuan Pasien TB

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan

penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Depkes RI, 2007).

Strategi penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB; pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya; penemuan secara aktif dari rumah ke rumah dianggap tidak cost efektif (Depkes RI, 2007).

2.1.5 Gejala klinis pasien TB

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk

(34)

2.1.6 Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama

kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

 P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan

dahak pagi (Depkes RI, 2007).

2.1.7 Pemeriksaan biakan

Peran biakan dan identifikasi M.tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:

a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis b. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.

c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda (Depkes RI, 2007).

2.1.8 Pemeriksaan tes resistensi

(35)

2.1.9 Diagnosa TB 1. Diagnosa TB paru

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman

TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru. 2. Diagnosis TB ekstra paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TBdan lain-lainnya.

(36)

Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru

Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.

2.1.10 Indikasi pemeriksaan foto toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Foto toraks dan

Antibiotik Non-OAT

pemeriksaan dahak mikroskopis

Foto toraks dan pertimbangan dokter

Suspek TB Paru

Hasil BTA + + +

Hasil BTA

- - -

Hasil BTA + + + + +

-Hasil BTA

- - -

Tidak ada perbaikan

Ada

perbaikan

TB BUKAN TB

Hasil BTA

(37)

-Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif (lihat bagan alur).

Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT (lihat bagan alur).

Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes RI, 2008).

2.1.11 Klasifikasi penyakit dan tipe pasien

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu

“definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif;

3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat;

4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah: 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai

2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:

1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter.

(38)

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:

1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi

2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost effective)

3. Mengurangi efek samping

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:

1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

(39)

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far

advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.

2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,

tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2007).

(40)

baru dengan hasil pemeriksaan dahak pewarnaan langsung BTA positif (+) atau BTA negatif (-) namun dengan lesi yang luas. Berdasarkan WHO pada tahun 1997 dalam Usman (2008) membuat klasifikasi menurut regimen pengobatan yang dibagi atas empat kategori yaitu :

1. Kategori I adalah pasien kasus dengan dahak yang positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, tuberkulosis milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis atau spondilitis bilateral dengan gangguan neurologik, penderita dengan dahak negatif tetapi kelainan paru luas, tuberkulosis usus, saluran kemih dan sebagainya.

2. Kategori II adalah kasus relaps atau gagal dengan dahak yang tetap positif.

3. Kategori III adalah kasus dengan dahak yang negatif dan kelainan paru yang tidak luas dan kasus tuberkulosis ekstrapulmoner selain dari yang disebut dalam kategori I.

4. Kategori IV adalah kasus tuberkulosis kronik. Tabel 2.1. Kategori Pengobatan TB Menurut WHO

Kategori Pengobatan TB

Pasien TB Alternatif Panduan Pengobatan TB

I Kasus baru TB paru BTA (+) Kasus baru TB paru BTA (-) dengan kerusakan parenkim yang luas

Kasus baru dengan kerusakan yang berat pada TB ekstra

IV Kasus kronis (sputum BTA tetap positif, setelah pengobatan ulang)

(41)

2.1.12 Tatalaksana TB anak

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik

overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak (Depkes RI, 2008).

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan

mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan

diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi

lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi,

(42)
(43)

Catatan :

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.

Jika dijumpai skrofuloderma** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan badan.

Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak

Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. *Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya.

**Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi TB, diawali oleh suatu limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah, dan membentuk sinus di permukaan kulit. Skrofuloderma ditandai oleh massa yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang menyerupai jembatan. Biasanya ditemukan di daerah leher atau wajah, tetapi dapat juga dijumpai di ekstremitas atau trunkus.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini: 1. Tanda bahaya

Kejang, kaku kuduk

Penurunan kesadaran

Kegawatan lain, misalnya sesak nafas

2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura 3. Gibbus, koksitis

(44)

mendapat OAT (obat anti TB). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis dicurigai TB maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT Scan, dan lain-lainnya sesuai indikasi (Depkes, 2008).

Sumber penularan dan Case Finding TB Anak : Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin (Depkes RI, 2008).

Gambar 2.3. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar

Respons (+) Respons ( )

Terapi TB diteruskan Teruskan terapi TB sambil mencari penyebabnya

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.

Skor >6

Beri OAT

(45)

Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan (Depkes RI, 2008).

2.1.13 Pemberantasan tuberkulosis di Indonesia

Menurut Noerolandra (1999) dalam Priyadi (2003), diketahui bahwa Pengobatan tuberkulosis di Puskesmas diberikan secara gratis dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bantuan teknis dari WHO (World Health Organization). Program tuberkulosis dengan DOTS melalui Puskesmas secara relatif dapat dikatakan berhasil, khususnya dari sudut operasional. Namun masih dipertanyakan dari sudut epidemiologis. Berdasarkan prosedur tetap program pemberantasan tuberkulosis yang sekarang dilaksanakan di Puskesmas yang menempatkan kasus tuberkulosis dengan BTA positif sebagai sasaran utama, dengan diagnosis pemeriksaan mikroskopis sputum, pemeriksaan ulang sputum 3 kali di masa pengobatan, obat direkomendasikan WHO, pencatatan dan pelaporan standard, ditunjuknya Pengawas Minum Obat (PMO), pelacakan penderita, serta distribusi obat

yang lancar dan berlanjut, tentu saja merupakan hal yang baru bagi rumah sakit yang menempatkan pendekatan klinis sebagai misi utama. Beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian dan perlu diantisipasi untuk keberhasilan program pemberantasan

tuberkulosis adalah tersedianya tenaga dan saranan pelayanan kesehatan sebagai pengendali program. Hal ini sangat menentukan karena pengobatan tuberkulosis yang terpantau memerlukan petugas pengendali yang akan melakukan konseling, pencatatan, keperluan pemeriksan ulang sputum, mengurus sarana stok obat dan koordinator PMO.

2.2 Beberapa Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru 2.2.1 Umur

(46)

paru. Sampai usia 2 tahun dapat mengakibatkan keadaan yang berat seperti

Tuberculosis millier dan Meningitis tuberculosis. Selaras dengan Samallo dalam Nurhidayah,dkk (2007), usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap penularan penyakit tuberkulosis dan angka penularan serta bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14 tahun. Juga Selaras dengan penelitian Diani, dkk (2011) proporsi infeksi TB pada anak <5 tahun

yang tinggal dalam satu rumah dengan 85 orang pasien TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta Selatan berdasarkan uji

tuberkulin 42,4%.

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis yaitu usia 15-50 tahun (Depkes RI, 2008). Berdasarkan penelitian Musadad (2006) menyatakan bahwa karakteristik penderita TB paru di rumah tangga sebagian besar merupakan kelompok usia produktif dimana 90,2% usianya di bawah 49 tahun dengan jenis kelamin perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Banyaknya penderita kelompok usia tersebut sangat memprihatinkan mengingat itu merupakan kelompok umur produktif yang biasanya secara ekonomi menanggung

beban biaya kelompok usia di bawah 15 tahun dan di atas 60 tahun. Bahkan terdapat 14,7% penderita TB paru berusia

di bawah 20 tahun yang masih merupakan usia sekolah.

Hasil penelitian Hariyanto (2013) menyatakan Dari 80 responden didapatkan

11 (13,8%) dengan BTA positif. Hasil analisis dengan uji

Chi square didapatkan x2 = 4,396; p = 0,036 (p< 0,05) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan TB paru BTA positif. Selaras dengan penelitian Iskandar (2010) hasil uji Chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur

responden dengan kejadian TB paru dengan nilai p = 0,018 (p< 0,05).

(47)

2.2.2 Jenis kelamin

Menurut Enarson DA ( 2003) dalam Putra (2010) di benua Afrika banyak

tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada

wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suswati (2007) menyatakan bahwa dari 200 sampel yang diteliti sebanyak 45% terdiri dari laki-laki dan sisanya 55% diderita oleh perempuan. Kondisi ini juga sesuai dengan hasil penelitian WHO yang menyatakan bahwa TB paru banyak menyerang perempuan. Kenyataan ini memang sangat memprihatinkan karena perempuan yang bertugas menjaga kualitas generasi bangsa ternyata sebagian besar banyak menderita penyakit TB paru yang bersifat kronis dan potensial menular ke anggota keluarganya apabila tidak mendapat

penanganan dengan baik dan tuntas.

Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik mendapatkan nilai p= 0,96 yang menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak bermakna

secara statistik terhadap kejadian infeksi TB paru. Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p=0,609 (p> 0,05) bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

Berbeda dengan hasil penelitian Iskandar (2010) menyatakan hasil uji

Chi square terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin responden dengan kejadian TB paru, dengan nilai p= 0,027 (p< 0,05), artinya bahwa jenis kelamin sangat berdampak terhadap terjadinya TB paru.

2.2.3 Pekerjaan

(48)

untuk terkena penyakit TB paru dibandingkan dengan orang yang sehari-hari bekerja di kantor (Sitepu, 2009).

LIPI (2000) dalam Iskandar (2010), menyatakan bahwa penurunan tingkat pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli pangan, mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proforsi yang lebih besar untuk bahan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Dan WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin (Putra, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik mendapatkan nilai p= 0,610 yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tidak bermakna terhadap kejadian infeksi TB paru, sebenarnya dengan bekerja diharapkan dapat mengurangi risiko terinfeksi TB paru, orang yang bekerja di luar rumah, relatif lebih sedikit memiliki waktu berada di dalam rumah dibandingkan kelompok yang tidak bekerja. Jika waktu berada di dalam rumah lebih sedikit, maka intensitas kontak dengan penderita TB paru akan berkurang.

2.2.4 Status ekonomi

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat

kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan pendapatan akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang tingkat pendapatan penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan merupakan bagian terbesar dari seluruh pengeluaran rumah tangga. Akan tetapi untuk negara yang sudah maju pengeluaran terbesar bukan untuk makan, melainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya (Putra, 2011).

Menurut Elvina Karyadi (2002) dalam Putra (2011) menyatakan bahwa

ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang mendapatkan penyakit TB paru, disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu juga kebutuhan akan

(49)

menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru adalah tingkat pendapatan per kapita.

Berbeda pendapat dengan hasil penelitian Sunar (2005) mengatakan tidak ada hubungan pendapatan dengan praktek penemuan tersangka TB paru (p= 0,770 dan p= 0,328). Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,0170 (p> 0,05) bahwa tingkat pendapatan bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

2.2.5 Pengetahuan

Notoatmodjo (2011) mengatakan pengetahuan merupakan hasil “tahu” setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu know (tahu), memahami (comfrehension), aplikasi (application), analisis

(analysis), sintesis (syntesis), evaluasi (evaluation). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas Notoatmodjo (2003) dalam Iskandar (2010).

Penelitian yang dilakukan di Serbia oleh Vukonic, dkk (2008) menunjukkan bahwa satu-satunya prediktor yang signifikan dari pemahaman yang benar tentang cara penularan TB adalah tingkat pendidikan dan hubungan pribadi yang dekat dengan pasien TB, prediktor terkuat dari kesalahpahaman adalah usia lebih tua.

Selaras dengan penelitian Rusnoto,dkk (2006) pengetahuan tentang TB paru yang rendah akan berisiko 23,021 kali lebih besar dari pengetahuan yang

tinggi. Juga selaras dengan hasil penelitian Iskandar (2010) hasil uji Chi square

(50)

pengetahuan dengan kejadian TB paru. Dan juga berdasarkan hasil penelitian Tobing (2009) mengatakan hasil analisis uji Chi square didapat nilai p= 0,024 berati pada α= 5% (0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan potensi penularan TB paru, analisis lebih lanjut diperoleh nilai OR= 2,5 (CI= 1,124–5,918) artinya potensi penularan TB paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan rendah. Sejalan juga dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,034, OR= 2,622 artinya tingkat pengetahuan yang kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru sebanyak 2,622 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengetahuan yang baik.

2.2.6 Sanitasi perumahan dan lingkungan

Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan di dalam maupun di luar rumah yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat dengan timbulnya atau penularan penyakit. Pengawasan lingkungan di sini meliputi pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana

lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Pentingnya lingkungan rumah yang sehat ini telah

dibuktikan WHO dengan penyelidikan-penyelidikan

di seluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa angka kematian, angka perbandingan

orang sakit yang tinggi serta sering terjadi epidemik, terdapat di tempat-tempat dimana hygiene dan sanitasi lingkungan buruk (Priyadi, 2003).

a. Kepadatan hunian

Gambar

Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru
Tabel 2.2 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang
Gambar 2.3. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan          Dasar
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kampung Ilmu Jl.Semarang Surabaya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan perdagangan buku adalah nama pengarang buku tersebut. Dengan demikian maka pengarang

Pejabat Pengadaan Kegiatan Penyelenggaraan Penyehatan Lingkungan, Program Upaya Kesehatan Masyarakat pada Dinas Kesehatan Kota Magelang Tahun Anggaran 2012

Terkait dengan hal tersebut, untuk meningkatkan Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Gresik perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi, utamanya faktor non PAD yang meliputi

1) Tebal minimum selubung beton yang menyelimuti baja tidak kurang dari pada 50 mm, kecuali yang disebutkan pada butir ke-2 di bawah.. 49 3) Selubung beton harus diberi kawat

(7) Lafz al- Jalalah ( ﷲﺍ ) yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mudaf ilayh (frase nomina),

Peneliti menyarankan kepada petugas panti untuk membantu secara penuh lansia yang sudah kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dalam pemenuhan kebutuhan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan uji friedman , pada aspek warna dalam dan aspek tekstur menunjukkan bahwa terdapat pengaruh substitusi pure

Bagi Bank Mayapada, penyaluran kredit pada sektor perdagangan yang produktif di UMKM ini akan menjadi perhatian, sekaligus harapan untuk dapat membantu peningkatan