• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KEPARAHAN DAN INTENSITAS PENYAKIT

KARAT TUMOR TEGAKAN SENGON (

Paraserianthes

falcataria

(L.) Nielsen) PADA HUTAN RAKYAT DI BOGOR

ADE MULYA SYAKIRIN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ADE MULYA SYAKIRIN. Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor. Dibimbing oleh MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH.

Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) merupakan salah satu jenis tanaman yang dipilih masyarakat desa sebagai tanaman hutan rakyat. Penanaman sengon juga dapat dilakukan dengan pola tanam monokultur. Pola tanam monokultur dapat meningkatkan resiko penyebaran penyakit secara cepat. Salah satu penyakit tersebut adalah karat tumor. Penyakit karat tumor pada sengon disebabkan oleh jenis fungi Uromycladium tepperianum. Penelitian ini dilakukan untuk menilai tingkat keparahan penyakit (disease severity) dan membandingkan intensitas penyakit karat tumor pada tegakan sengon di hutan rakyat yang menggunakan pola tanam agroforestri dan pola tanam monokultur. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala Horsfall-Barrat dengan metode forest health monitoring untuk menilai kesehatan hutan. Berdasarkan penilaian, hutan dengan pola tanam agroforestri memiliki luas serangan penyakit sebesar 12.16% dan termasuk dalam kategori keparahan penyakit yang sedang dengan intensitas penyakit 6.39 %. Hutan dengan pola tanam monokultur memiliki luas serangan penyakit sebesar 15.87% dan termasuk dalam kategori keparahan penyakit yang sedang dengan intensitas penyakit 7.65 %.

Kata kunci: agroforestri, karat tumor, keparahan penyakit, monokultur, sengon

ABSTRACT

ADE MULYA SYAKIRIN. Disease Severity and Intensity of Gall Rust Disease on Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) Stands in Community Forest in Bogor. Supervised by MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH.

Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) is a kind of plant that choosen by people as villager forest plantation. Sengon plantation could be planting by monoculture pattern. Although it can increasing the risk of disease outbreak. One such disease is rust galls. Rust gall caused by fungi Uromycladium tepperianum. This study was conducted to assess the severity of disease and comparing the intensity of its in sengon plantation that using agroforestry and monoculture cropping pattern. Assessment is done by using the Horsfall-Barratt scale with forest health monitoring method for assessing forest health. Based on the assessment, forest with agroforestry cropping pattern have extensive disease at 12.16% and it is included in the category of medium disease severity with 6.39% disease intensity. Forests with monoculture cropping pattern have extensive disease at 15.87% and it is included in the category of medium disease severity with 7.65% disease intensity.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

TINGKAT KEPARAHAN DAN INTENSITAS PENYAKIT

KARAT TUMOR TEGAKAN SENGON (

Paraserianthes

falcataria

(L.) Nielsen) PADA HUTAN RAKYAT DI BOGOR

ADE MULYA SYAKIRIN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor

Nama : Ade Mulya Syakirin

NIM : E44100086

Disetujui oleh

Muhammad Alam Firmansyah, SHut, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari–Mei 2014 ini ialah Tingkat Keparahaan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Muhammad Alam Firmansyah, SHut, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi, solusi, dan seluruh bantuannya dalam penyelesaian skripsi, serta Dra Illa Anggraeni yang telah memberikan saran dalam penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dikti yang sebagian telah mendanai penelitian ini melalui program Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dengan judul penelitian Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf dan petugas laboratorium pathologi hutan, pengaruh hutan, dan kebakaran hutan yang telah membantu penyediaan sarana dan prasarana penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pemilik Hutan Sengon di Desa Benteng dan Desa Giri Mulya. Bapak, ibu, kakak, dan keluarga tercinta yang selalu

memberikan do’a dan dukungan secara moral dan spiritual dalam penyusunan

skripsi. Terimakasih juga kepada Kasfy Allama yang telah memberikan bantuan dan semangat dalam penulisan skripsi. Teman satu angkatan Silvikultur 47, teman-teman Kost Tasima, Hario Alfarisi selaku teman satu bimbingan, serta kakak Vera Linda yang telah memberikan banyak masukan. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 3

Pengumpulan Data 3

Tahapan Penelitian 4

Bahan 4

Alat 4

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 5

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6

Penilaian Keparahan dan Intensitas Penyakit 7

Analisis Kualitas Tapak (Site Quality) 13

Forest Health Monitoring (FHM) 16

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 23

(10)

DAFTAR TABEL

1 Tingkat keparahan penyakit karat tumor 10

2 Penilaian intensitas serangan menggunakan skala Horsfall-Barrat 11 3 Skoring intensitas penyakit berdasarkan skala Horsfal-Barrat 11

4 Skoring akhir parameter PLI 17

5 Skoring PLI pada klaster I dan II 18

6 Skoring akhir parameter VCR 18

7 Skoring VCR pada klaster I dan II 19

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk klaster plot FHM 3

2 Diagram alir penelitian 4

3 Luas serangan penyakit pada hutan agroforestri dan monokultur 10 4 Persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan

agroforestri pada tiap skala 12

5 Persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan

monokultur pada tiap skala 12

6 Intensitas serangan karat tumor pada hutan agroforestri dengan

monokultur 13

7 Perbandingan nilai KTK pada hutan agroforestri dengan monokultur 15 8 Perbandingan nilai pH pada hutan agroforestri dengan monokultur 16 9 Rata-rata LCR, CDS, FTR, CDB, dan CD pada areal hutan

agroforestri dan hutan monokultur 19

10 Penilaian akhir PLI dan VCR 20

DAFTAR LAMPIRAN

1

Perhitungan luas serangan penyakit 23

2 Perhitungan intensitas penyakit karat tumor hutan agroforestri dan

monokultur 24

3 Deskripsi kode jenis kerusakan dan nilai ambang keparahan 25

4 Deskripsi kode lokasi kerusakan 26

5 Nilai pembobotan untuk setiap kode kerusakan, lokasi dan keparahan 27

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan sumber daya alam yang semakin meningkat berdampak adanya tekanan bagi masyarakat. Di lain pihak masih banyak lahan kering yang tidak produktif belum dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Salah satu usaha untuk mengembangkan pemanfaatan lahan kering ataupun lahan kritis yang tidak produktif adalah dengan menanam tanaman berkayu (hutan rakyat) dengan menggunakan pola tanam agroforestri yang mempunyai nilai komersial. Selain manfaat tersebut, pengembangan hutan rakyat juga menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi di masyarakat pedesaan (Dirgantara 2008).

Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) merupakan salah satu komoditas kayu perdagangan yang saat ini diminati oleh berbagai industri kayu. Jenis kayunya yang mudah diolah dan dikembangkan menjadi salah satu jenis pohon yang paling banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam pola tanam agroforestri di Indonesia. Sengon termasuk dalam jenis pohon intoleran yang tidak memerlukan naungan untuk tumbuh. Pertumbuhannya yang tergolong fast growing species (cepat tumbuh) menjadi pilihan bagi masyarakat untuk menjualnya langsung atau mengolahnya menjadi kayu papan. Sengon menghasilkan kayu berwarna terang dan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku veneer dan juga dipakai untuk bahan kayu pertukangan. Selain itu sengon juga bisa digunakan untuk bahan baku pulp.

Penanaman sengon juga dapat dilakukan dengan pola monokultur. Menurut Anggraeni (2008) penanaman dengan menggunakan pola ini menimbulkan berbagai permasalahan yang serius salah satunya adalah penyakit karat tumor (gall rust). Penyebab penyakit karat tumor pada sengon salah satunya adalah jenis fungi Uromycladium tepperianum. Jenis fungi ini masuk dalam divisio Basidiomycota, kelas Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pileolariaceae. Fungi ini umumnya dianggap sebagai parasit obligat (hanya dapat tumbuh dan berkembang biak pada jaringan hidup) (Anggraeni 2008). Pengendalian penyakit karat tumor saat ini masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia dinilai memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya berupa rusaknya tanaman pertanian atau degradasi tanah. Pengendalian lainnya adalah dengan sistem perawatan silvikultur intensif dengan memaksimalkan pola tanam dan perlakuan tanah. Selain itu perlakuan lain seperti prunning (pemangkasan), thinning (penjarangan), dan clear cutting (tebang habis) mampu mengurangi timbulnya karat tumor.

(12)

2

pola tanam agroforestri dan hutan yang menggunakan pola tanam monokultur di Bogor, Jawa Barat.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, penulis membuat rumusan penelitian yaitu bagaimana tingkat keparahan dan intensitas serangan penyakit yang diakibatkan oleh karat tumor pada hutan dengan pola tanam agroforestri dibandingkan dengan hutan monokultur di Bogor, Jawa Barat.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menilai tingkat keparahan penyakit dan membandingkan intensitas penyakit karat tumor pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di hutan rakyat yang menggunakan pola tanam agroforestri dan monokultur.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat sekitar hutan terkait penyakit karat tumor dan penerapan pola tanam yang tepat, guna mengurangi intensitas dan tingkat keparahan serangan karat tumor pada hutan sengon.

Ruang Lingkup Penelitian

(13)

3

Gambar 1 Bentuk klaster plot FHM

METODE

Pengumpulan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini terdiri atas pengambilan data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang langsung diambil dari pengukuran di lapangan. Sebelum pengambilan data primer dilakukan, langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan klaster plot FHM (Gambar 1), pada area hutan agroforestri maupun monokultur. Plot klaster terdiri atas empat annular plot dengan jari-jari 17.95 m dan di dalamnya terdapat subplot (dipisah) dengan jari-jari 7.32 m dan mikroplot dengan jari-jari 2.07 m yang dibuat dengan azimuth 90° dari titik pusat subplot, adapun jarak antara titik pusat subplot dengan mikroplot adalah 3.66 m. Azimuth antar annular plot yakni plot 1 dan 2 sebesar 360°, annular plot 1 dan 3 sebesar 120°, dan annular plot 1 dan 4 adalah 240°.

Pembuatan plot dilakukan dengan menggunakan meteran 30 meter dan kompas. Data primer yang diambil pada plot FHM adalah tinggi pohon menggunakan haga hypsometer, diameter pohon menggunakan meteran jahit, jarak datar (horizontal distance) menggunakan meteran 30 m dan kompas, pengukuran panjang dan lebar tajuk menggunakan meteran, dan azimuth menggunakan kompas. Data lain yang diambil adalah pengamatan kerusakan tegakan dan jumlah tegakan yang terserang penyakit karat tumor.

Kegiatan lain selain inventarisasi tegakan dan pengamatan kerusakan adalah pengambilan sampel tanah pada masing-masing klaster. Sampel tanah diambil pada tiga titik mikroplot yakni antara plot 1 dengan 2, plot 1 dengan 3 dan plot 1 dengan 4. Masing-masing mikroplot berjarak 18.30 m dari titik pusat subplot. Sampel tanah diambil dengan kedalaman 0−15 cm dan diameter 10 cm. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan lima titik secara acak di

masing-Soil sample

(14)

4

masing mikroplot. Kemudian dikompositkan untuk masing-masing mikroplot. Sampel tanah tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui kadar keasaman tanah (pH) dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah untuk mengetahui kesuburan tanah pada lahan.

Tahapan Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir penelitian

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) berumur 4 tahun di hutan agroforestri dan monokultur.

Alat

(15)

5 sampel tanah, dan kamera digital untuk mengambil foto penelitian, kalkulator, mistar, kertas label, plastik, tally sheet, dan alat tulis.

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di hutan rakyat Desa Benteng, Kecamatan Ciampea dan hutan rakyat Desa Giri Mulya Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari–Mei 2014.

Prosedur Analisis Data

Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi pada klaster plot dilakukan dengan pencatatan jenis pohon pada annular plot berdiameter 17.95 m. Pada sub plot berdiameter 7.32 m tiang dan pancang dicatat. Parameter yang digunakan dalam data primer adalah diameter dan tinggi pohon.

Analisis Intensitas Penyakit

Pencatatan jumlah pohon dan luas serangan penyakit dihitung kemudian dianalisis intensitas penyakitnya pada hutan agroforestri dan monokultur. Data lain yang dianalisis adalah kerusakan akibat penyakit karat tumor terhadap masing-masing klaster. Parameter yang dicatat adalah intensitas penyakit dan luas serangan karat tumor.

Hasil analisisnya yang diperlukan adalah nilai atau persentase dari jumlah pohon yang terserang penyakit, luas serangan, dan intensitas penyakit yang dinilai dengan menggunakan skala Horsfall-Barrat. Hasil analisis tersebut digunakan untuk mengukur tingkat keparahan penyakit pada hutan sengon yang menggunakan pola tanam agroforestri dan monokultur. Intensitas serangan suatu patogen dihitung dengan rumus (Towsend dan Huberger 1963 dalam Kadeni 1990) yaitu:

I = Intensitas serangan

N= Jumlah pohon yang diamati n = Pohon yang terserang karat tumor v = Nilai kategori serangan

Z = Nilai kategori serangan tertinggi

Analisis Kualitas Tapak

Sampel tanah yang diambil kemudian dibawa ke laboratorium tanah untuk dilakukan analisis pH tanah dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Kedua data ini diperlukan untuk menentukan kadar kesuburan tanah pada masing-masing hutan. Kesuburan tanah kemudian dibandingkan diantara kedua tipe hutan.

I = ∑ n x v

(16)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Desa Benteng merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa ini memiliki luas keseluruhan 2.84 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 12009 jiwa. Masyarakat desa umumnya memiliki mata pencaharian pertanian tanaman pangan. Beberapa warga menggunakan lahannya untuk membudidayakan tanaman pertanian di areal kehutanan atau agroforestri.

Desa Giri Mulya merupakan salah satu desa yang berada dalam Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa ini memiliki kepadatan penduduk sebanyak 4061 jiwa. Wilayah Kecamatan Cibungbulang pada sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rumpin dan Ranca Bungur, sebelah barat Kecamatan Leuwiliang, sebelah timur Kecamatan Ciampea, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pamijahan.

Suharjito (2000) menyatakan hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Artinya hutan tersebut dibangun, dikelola dan dimanfaatkan oleh rakyat di atas tanah milik atau tanah adat, sehingga dalam pengelolaannya petani atau masyarakat yang mengelola hutan tersebut memiliki peran yang besar. Petani hutan rakyat mengelola hutan rakyat tersebut dengan berbagai macam model pengelolaan. Menurut Awang (2001), dilihat dari susunan jenisnya terdapat dua model pengelolaan hutan rakyat, yaitu (1) Hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi oleh satu jenis tanaman keras saja. Pada hutan ini cenderung tidak ada tanaman pertanian di dalam hutan rakyat, (2) Hutan rakyat agroforestri, hutan rakyat ini ditumbuhi oleh lebih dari satu jenis tanaman. Pada hutan ini ditanami tanaman pangan, buah-buahan, atau sayur-sayuran.

Agroforestri merupakan salah satu bentuk pengelolaan lahan yang memadukan prinsip-prinsip pertanian dan kehutanan. Prinsip pertanian adalah suatu pemanfaatan lahan untuk memperoleh pangan, serat, dan protein hewani. Sedangkan dari segi prinsip kehutanan yaitu untuk memperoleh produksi kayu pertukangan, kayu bakar, fungsi estetik, hidrologi, dan konservasi flora dan fauna (Fadri 2010).

Ahli ekologi mengemukakan bahwa peningkatan jumlah kelompok fungsional dalam suatu ekosistem akan meningkatkan jumlah perubahan yang akan dialami oleh suatu sistem sebelum organisasi ekosistem itu berubah. Sifat-sifat ini dapat didefinisikan sebagai resiliensi sistem ekologi.

Keragaman fungsi yang diperankan oleh suatu spesies sangat terbatas dan karenanya ahli ekologi mengemukakan bahwa peningkatan kekayaan jumlah spesies akan meningkatkan pula keragaman fungsi ekologi yang akhirnya menghasilkan peningkatan stabilitas ekologi. Sistem agroforestri dinilai memiliki keragaman fungsi yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem monokultur.

(17)

7 growing species (tumbuh cepat) dengan daur 4 tahun panen. Kelebihan lain dari sengon adalah tahan terhadap kondisi tanah yang kurang hara.

Hutan dengan pola tanam agroforestri umumnya memiliki persyaratan modal yang rendah, menghasilkan berbagai barang yang bermanfaat secara ekonomis, dan dapat membantu mempertahankan tingkat hara tanah, mengurangi erosi, dan konservasi air. Pengikatan N oleh tanaman dalam pola tanam agroforestri dapat meningkatkan asupan nitrogen pada tanah yang dikontribusikan oleh tanaman legum seperti sengon. Fiksasi N bergantung pada tanah, iklim, spesies, dan manajemen areal tegakan hutan (Szott et al 1991).

Penilaian Keparahan dan Intensitas Penyakit

Penilaian penyakit atau phytopathometry adalah suatu pengukuran penyakit. Determinasi dari nilai x (fraksi penyakit). Tidak ada resep yang tepat dalam penilaian penyakit, pathometry atau phytopathometry merupakan suatu studi kuantitatif tentang penderitaan tanaman. Pengetahuan mengenai kejadian penyakit, keparahan penyakit tanaman, dan pola spasial dari penyakit tanaman menjadi penting sejalan dengan ekonomi pertanian yang memerlukan keputusan kritis yang lebih banyak pada setiap tingkat. Pemerintah umum dan institusi pribadi menggunakan informasi ini untuk mengevaluasi hasil penelitian jangka panjang dan sumber-sumber alokasinya. Petani dan penasehat pertanian menggunakannya untuk membuat keputusan manajemen. Pengetahuan ini juga merupakan unsur penting untuk meningkatkan efisiensi pengawasan tanaman, monitoring, dan peramalan penyakit.

Nurhayati (2011) menyatakan keparahan penyakit (disease severity) merupakan proporsi atau persentase luas tanaman yang sakit. Sedangkan intensitas penyakit adalah gambaran kuantitatif meliputi kepadatan atau density jumlah individu per area, atau jumlah individu per volume yang terserang penyakit. Keparahan penyakit tegakan sengon dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan pendekatan plot level index atau tingkat kerusakan pohon pada satu ekosistem. Areal hutan agroforestri dan hutan monokultur menggunakan cara tersebut untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang diakibatkan oleh karat tumor.

Syaufina (2008) mengemukakan bahwa kriteria kondisi vegetasi terdiri atas tiga indikator, yakni kerusakan individu, tingkat keparahan vegetasi, dan keanekaragaman vegetasi. Penelitian ini dilakukan pada areal hutan rakyat yang tergolong homogen sehingga indikator yang digunakan untuk menilai kriteria kondisi vegetasi adalah kerusakan individu pohon, dan tingkat keparahan vegetasi. Indikator keanekaragaman vegetasi tidak digunakan dikarenakan indikator ini hanya digunakan pada hutan alam.

Permasalahan Penyakit Pohon

(18)

8

Pengendalian ini menitik beratkan pada pengendalian secara kimiawi. Akan tetapi pengendalian tersebut saat ini justru menimbulkan masalah baru yang penting, yakni kekebalan hama dan penyakit terhadap bahan kimia yang biasa digunakan.

Keterkaitan faktor lingkungan dengan perkembangan suatu penyakit tanaman sangat jelas. Hal ini mengingat tanaman tumbuh pada suatu media tumbuh, pada suatu ruang atau wilayah yang membutuhkan cahaya, kelembaban dan udara serta berhubungan erat dengan keberadaan organisme lain. Kelembaban mempengaruhi perkembangan penyakit, dalam proses infeksi atau penetrasi, germinasi spora dan penyebaran spora. Sumber kelembaban ini berasal dari hujan, irigasi dan juga kelembaban relatif udara (RH). Kelembaban sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Karena patogen umumnya memerlukan adanya lapisan air atau kelembaban tertentu untuk dapat melakukan infeksi atau penetrasi pada inangnya. Cuaca berkabut dan lembab pada malam hari yang diikuti oleh sinar matahari yang cerah di pagi hari dapat menstimulasi pembentukan konidia dalam jumlah besar pada daun yang terinfeksi fungi ataupun patogen lainnya. Keadaan ini bila terjadi terus menerus dapat memicu terjadinya epidemi (Nurhayati 2011).

Gejala penyakit karat tumor pada sengon menunjukkan gejala yang khas, yaitu pembengkakan pada bagian tumbuhan yang terserang. Epidemi penyakit karat tumor karena fungi U. tepperianum ini akan menyebabkan penurunan produksi kayu. Gejala penyakit karat tumor ini merupakan hiperplasia (pertumbuhan berlebih) gejala penyakit ini diawali deengan adanya pembengkakan lokal di bagian tanaman yang terserang. Lama kelamaan pembengkakan tersebut akan berubah menjadi tumor. Tumor yang ditimbulkan bermacam-macam bentuk dan ukuran.

Karat tumor ini menyerang seluruh bagian tanaman baik daun, cabang, batang utama, maupun pucuk tanaman. Tumor yang masih muda berwarna hijau kecoklatan muda, kemudian akan berkembang dan diselimuti oleh lapisan seperti tepung berwarna agak kemerahan yang merupakan kumpulan dari spora patogen. Tumor yang tua berwarna coklat kemerahan sampai hitam dan biasanya tumor sudah keropos berlubang serta digunakan sebagai sarang semut. Selain semut, karat tumor yang sudah tua juga akan dimanfaatkan oleh penggerek batang sengon sebagai tempat berlindung. Jika tanaman mengalami serangan yang parah, maka seluruh bagian tanaman dipenuhi oleh tumor, kemudian daun mengering mengalami kerontokan, diikuti oleh batang dan cabang pohon dan akhirnya tanaman mati

Rahayu (2008) menyatakan fungi karat tumor hanya memerlukan 1 jenis inang saja yakni sengon untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya (monosiklik). Jamur hanya membentuk satu macam spora yang dinamakan teliospora. Secara spesifik, teliospora mempunyai struktur yang berjalur, bergerigi dan setiap satu tangkai terdiri dari 3 teliospora. Ukuran spora berkisar antara lebar 14-20 µm dan panjang 17-28 µm.

(19)

9 pertanaman. Benih yang berasal dari induk superior dengan karakteristik yang jelas akan menghasilkan tanaman yang relatif kuat dan lebih toleran terhadap karat tumor. Bibit sengon yang ditanam di hutan rakyat pada umumnya diusahakan sendiri oleh petani dengan menggunakan biji yang tidak jelas asal-usul induk dan kualitasnya.

Rahayu (2008) menyatakan penyakit karat tumor berkembang intensif di daerah berkabut (kelembaban tinggi). Adanya kabut di musim kemarau maupun musim penghujan berpotensi meningkatkan terjadinya penyakit karat tumor baik di persemaian maupun di lapangan. Tanaman sengon yang tumbuh di tempat tinggi seperti di lereng bukit maupun gunung, berpeluang mendapatkan serangan karat tumor lebih besar dibanding tanaman sengon yang tumbuh di tempat rendah dan rata. Pada dasarnya, ketinggian tempat bukanlah faktor utama yang dapat meningkatkan resiko terjadinya serangan jamur karat ini. Namun kondisi lingkungan seperti kelembaban yang tinggi, angin yang perlahan serta adanya kabut, umumnya terdapat di lokasi yang relatif tinggi.

Pertanaman murni di hutan tanaman, mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap penyakit karat tumor dibanding pertanaman campuran di hutan rakyat. Namun pengelolaan penyakit karat tumor di hutan rakyat jauh lebih komplek dibanding pengelolaan penyakit di hutan tanaman industri. Hal ini disebabkan lebih kompleknya faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit karat tumor di hutan rakyat dibanding hutan tanaman. Strategi pengendalian karat tumor di hutan rakyat perlu mendapat perhatian yang lebih besar agar mendapatkan hasil yang optimal.

Tingkat Keparahan Penyakit

Tingkat keparahan penyakit dalam penelitian ini menggunakan tolak ukur seberapa parah kerusakan suatu tegakan hutan dalam suatu tingkatan. Perlu dilakukannya penilaian tingkat keparahan penyakit tegakan hutan guna menanggulangi kerusakan yang terjadi dengan menerapkan pengendalian penyakit. Pengendalian yang saat ini diterapkan adalah dengan melakukan pemangkasan pada bagian pohon yang terserang karat tumor. Bagian yang terserang selanjutnya dilapisi campuran belerang dengan garam. Pelapisan bagian pohon dengan campuran belerang dan garam terbukti ampuh mengurangi terjangkitnya karat tumor pada tegakan sengon.

(20)

10

Sumber: Modifikasi dari IRRI (1996)

Luas serangan penyakit dapat dikur dengan mengamati seluruh pohon yang diamati, kemudian mengamati pohon yang positif terkena penyakit karat tumor (Lampiran 2). Rumus yang digunakan untuk menghitung luas serangan (Agrios 1988) adalah:

Luas Serangan = Jumlah Pohon yang terserang penyakit X 100 % Jumlah pohon yang diamati

Gambar 3 menunjukkan dari 74 pohon pada hutan agroforestri 9 diantaranya terserang penyakit karat tumor. Penilaian luas serangan penyakit karat tumor klaster I (hutan agroforestri) sebesar 12.16 % sedangkan pada klaster II (hutan monokultur) menjukkan 10 dari 63 pohon yang diamati terserang penyakit karat tumor sehingga persentase luas serangan penyakit sebesar 15.87 %. Hutan dengan pola tanam monokultur cenderung terserang penyakit karat tumor lebih luas dibanding hutan dengan pola tanam agroforestri. Hutan agroforestri maupun monokultur dapat dikategorikan memiliki tingkat keparahan penyakit yang tergolong sedang.

Gambar 3 Luas serangan penyakit pada hutan agroforestri dan monokultur

(21)

11

Intensitas Penyakit Karat Tumor

Intensitas penyakit dalam penelitian ini berkaitan dengan tinggi atau rendahnya setiap pohon yang terserang penyakit berdasarkan skala. Penilaian intensitas penyakit tegakan sengon pada penelitian ini menggunakan skala Horsfall-Barrat sebagai acuan skala intensitas penyakit. Horsfall-Barrat membagi suatu skala logaritme untuk pengukuran penyakit tanaman. Skala tersebut mempunyai 50% sebagai pusat alami dan yang menentukan sebagai contoh skala keseimbangan berkisar 50%.

Tabel 2 menyatakan bahwa suatu tegakan dengan persentase intensitas penyakit bila dibawah 50 % dikatakan tanaman tidak sakit dan bila diatas 50 % dikatakan tanaman sakit. Penilaian intensitas penyakit pohon akibat serangan karat tumor selanjutnya akan dimasukkan ke dalam skala Horsfall-Barrat untuk menentukan skoring intensitas penyakit karat tumor pada tegakan sengon (Tabel 2). Hasil skoring dari skala Horsfall-Barrat selanjutnya akan ditentukan kategori intensitas.

Skala Berat Serangan Persentase Kerusakan Pohon yang Terserang Karat Tumor

Tabel 2 Penilaian intensitas serangan menggunakan skala Horsfall-Barrat

Intensitas Penyakit (%) Kategori Penyakit Karat Tumor

(22)

12

Penggunaan skala Horsfall-Barrat dapat digunakan juga untuk menilai persentase jumlah pohon yang terserang penyakit karat tumor pada hutan agroforestri maupun monokultur. Sehingga penyakit karat tumor dapat terdeteksi dengan jelas pada skala yang ditentukan.

Gambar 4 Persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan agroforestri pada tiap skala

Gambar 4 menunjukkan intensitas penyakit karat tumor berdasarkan jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan agroforestri. Persentase tertinggi ada pada skala 5 sebesar 5.41 % sedangkan persentase paling rendah ada pada skala 7 yakni 2.70 %. Kerusakan pohon akibat karat tumor yakni pada skala 6 dan 7 dapat dikatakan tinggi sehingga perlu dilakukan pengendalian secepatnya agar fungi U. tepperianum tidak menyebar lebih luas.

Gambar 5 Persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan monokultur pada tiap skala

Gambar 5 menunjukkan persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan monokultur. Persentase yang paling tinggi ada pada skala 5 sebesar 12.70 % sedangkan persentase paling rendah ada pada skala 6 dan 7 yakni 1.59 % (Gambar 5). Langkah selanjutnya dalam penilaian intensitas penyakit menggunakan skala Horsfall-Barrat dilakukan secara menyeluruh pada tiap ekosistem yakni pada hutan agroforestri dan monokultur (Lampiran 2). Penilaian

(23)

13 yang dilakukan pada hutan dengan pola tanam agroforestri memiliki intensitas serangan karat tumor sebesar 6.39 % sedangkan hutan dengan pola tanam monokultur memiliki intensitas serangan sebesar 7.65 % (Gambar 6).

Berdasarkan penilaian intensitas serangan penyakit, dapat dikatakan bahwa hutan agroforestri maupun monokultur tergolong memiliki intensitas serangan penyakit karat tumor yang ringan. Tegakan sengon pada hutan monokultur cenderung lebih banyak yang terserang penyakit karat tumor dibanding hutan agroforestri. Beberapa pohon sengon pada hutan monokultur memiliki tingkat kerusakan yang berat, diantaraya diakibatkan oleh dieback yang tinggi, banyaknya luka terbuka, lubang gerek akibat hama, kemudian yang utama adalah karat tumor yang sudah lama bersarang dalam suatu pohon. Sehingga lama-kelamaan karat tumor yang telah tua tersebut menjadi sarang bagi penggerek batang sengon.

Analisis Kualitas Tapak (Site Quality)

Tanah merupakan medium kehidupan tanaman. Hadjowigeno (1987) mengemukakan tanah adalah media khusus yaitu sebagai media tumbuhnya tumbuhan darat. Berhasil tidaknya pertumbuhan tanaman banyak ditentukan oleh sifat tanah, karena sifat-sifat tanah menentukan kesesuaian lingkungan akar tanaman (Walla 1997).

Kualitas tapak menjadi salah satu indikator kesehatan hutan karena merupakan suatu pengukuran yang mengacu kepada kemampuan tapak tumbuh, terutama tanah untuk menyokong pertumbuhan (produktivitas) tanaman. Dan merupakan gambaran sifat-sifat, fungsi, atau kondisi yang mengacu pada kesehatan tanah secara umum (Numahara 2001).

Pohon memberikan pengaruh positif terhadap kesuburan tanah, antara lain melalui peningkatan masukan bahan organik, peningkatan ketersediaan N dalam tanah bila pohon yang ditanam dari keluarga leguminose, mengurangi kehilangan bahan organik tanah dan hara melalui perannya dalam mengurangi erosi limpasan

6.39

(24)

14

permukaan dan pencucian, memperbaiki sifat fisik tanah, dan perbaikan struktur tanah.

Organisme tanah memberikan keuntungan bagi tanah karena membantu menyediakan ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman. Tingginya kelembaban udara dan suhu di daerah tropis menyebabkan tingginya pembusukan bahan organik. Fungsi lain dari organisme tanah yakni membantu pengendalian serangan hama dan penyakit. Organisme tanah memakan organisme lain yang lebih kecil dapat menekan serangan hama penyakit dengan cara mengontrol jenis dan jumlah organisme di dalam tanah.

Mikroorganisme tanah, fungi tanah mempunyai peranan penting dalam mendekomposisi di dalam tanah, terutama dalam tanah hutan. Secara umum dilihat dari populasi dan jenisnya, fungi pada tanah top soil lebih banyak dari pada subsoil, hal ini menunjukkan tanah top soil lebih sesuai bagi sejumlah fungi dari pada subsoil. Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh lingkungan tanah top soil yang lebih sesuai, diantaranya mempunyai aerasi (pengudaraan) yang cukup, selang suhu yang cukup dan adanya sumber pangan yang cukup (Adam 2002).

Sifat Kimia Tanah

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tanah dapat secara langsung terkait dengan tanah atau terkait dengan segala sesuatu yang dipengaruhi oleh tanah seperti tanaman dan air. Dari sisi sifat kimia tanah, faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai indikator kualitas tanah adalah kemasaman tanah (pH) dan Kapasitas Tukar Kation (KTK).

Kemasaman tanah (pH) merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam gram ion per-liter. Tanah dikatakan masam jika pH-nya kurang dari 7, netral jika pH sama dengan 7 dan basa jika pH-nya lebih besar dari 7. Umumnya tanah di Indonesia bereaksi masam dengan pH 4.0 sampai 5.5, sehingga tanah dengan pH 6.0 sampai 6.5 sering dikatakan cukup netral meskipun sebenarnya masih agak masam.

Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan tanah dalam menjerap dan mempertukarkan kation-kation. Menurut Hardjowigeno (1986), KTK adalah banyaknya kation (dalam mili ekuivalen) yang dapat dijerap oleh tanah persatuan berat tanah. KTK merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau dengan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah berpasir. Hal ini terjadi karena unsur-unsur hara terdapat dalam komplek jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci air.

Kemampuan tanah untuk menahan ion-ion nutrisi dalam bentuk tersedia yang dapat dimanfaatkan tanaman sangat penting dalam hutan. Hal ini disebabkan hutan pada umumya tumbuh pada tanah-tanah yang memiliki sediaan zat-zat nutrisi yang rendah. Secara umum, tanah yang terdiri dari partikel-partikel liat memiliki KTK yang rendah, namun KTK yang rendah ini sangat penting bagi nutrisi tumbuhan dan siklus nutrisi yang efisien.

(25)

15 6.2. Nilai KTK pada area ini termasuk dalam skor 4, berdasarkan skoring tersebut maka KTK tanah memiliki kategori sedang. Tanah pada areal hutan agroforestri di Desa Benteng tergolong subur karena memiliki tingkat kemasaman tanah yang netral. Kesuburan tanah berkaitan erat dengan tingkat pertumbuhan tegakan. Tegakan sengon yang berada pada hutan agroforestri cenderung lebih resisten terhadap penyakit dikarenakan unsur hara yang cukup dan dapat tumbuh optimal. Selain itu struktur tanah pada hutan agroforestri yang gembur juga mendukung pertumbuhan tegakan sengon. Ketahanan terhadap penyakit ditandai dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih rendah dibanding hutan monokultur.

Pada areal hutan monokultur, sampel tanah pada mikroplot 1, 2, dan 3 menunjukkan nilai KTK sebesar 19.96, 17.19, dan 16.43 meq/100 gr, dengan rata-rata KTK sebesar 17.86. nilai derajat keasaman tanah (pH) pada mikroplot 1, 2, dan 3 sebesar 5, 5.6, dan 5.3, dengan rata-rata pH sebesar 5.3. Nilai KTK pada area ini termasuk dalam skor 4, berdasarkan skoring tersebut maka KTK tanah memiliki kategori sedang. Tanah pada areal hutan monokultur di Desa Giri Mulya cenderung masam karena pH bernilai kurang dari 6.

Berdasarkan hasil perhitungan KTK tanah pada hutan agroforestri memiliki nilai KTK sebesar 19.10 meq/100 gr sedangkan pada hutan monokultur 17.86 meq/100gr. Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai KTK hutan agroforestri lebih tinggi dibanding hutan monokultur.

(26)

16

Gambar 8 Perbandingan nilai pH pada hutan agroforestri dengan monokultur

Gambar 8 menunjukkan bahwa pH tanah pada hutan monokultur memiliki nilai yang lebih rendah yakni sebesar 5.3 dibandingkan dengan hutan agroforestri sebesar 6.2, dengan demikian nilai pH hutan agroforestri tergolong lebih tinggi dari hutan monokultur.

Tanah yang masam dan struktur tanah yang padat mengakibatkan pertumbuhan pohon yang kurang maksimal, selain itu KTK tanah yang rendah menyebababkan kesuburan tanah menurun. Pertumbuhan sengon yang terhambat karena kurang suburnya tanah menyebabkan pohon rentan terhadap penyakit karat tumor. Kondisi lingkungan hutan monokultur yang relatif kurang terawat dan keragaman yang rendah dinilai menjadi penyebab intensitas penyakit karat tumor yang lebih tinggi dibanding hutan agroforestri.

Forest Health Monitoring (FHM)

Kondisi Kerusakan Pohon

FHM merupakan suatu kegiatan pencatatan parameter yang berulang atau pengambilan data-data contoh sebagai pembanding terhadap informasi dasar yang telah teridentifikasi. Menurut Supriyanto et al. (2001), terdapat empat indikator yang seusai untuk hutan tropis Indonesia, meliputi produktivitas, biodiversitas, vitalitas (kondisi pohon), dan kualitas tapak. Tujuan keseluruhan dari FHM adalah untuk menilai dan melaporkan tentang status saat ini, perubahan dan kencendrungan jangka panjang dalam kesehatan ekosistem hutan, memonitor jenis-jenis tanaman yang mengindikasikan kondisi hutan dan mengidentifikasi hubungan antara gangguan-gangguan alami dan gangguan akibat aktivitas manusia dikaitkan dengan kondisi ekologis hutan.

Kondisi kerusakan pohon dapat diukur dari hasil perhitungan skoring Tree Level Indeks (TLI). Rata-rata dari TLI akan dihitung kembali dalam parameter Plot Level Indeks (PLI). Pembagian skoring akhir untuk parameter PLI ditetapkan dengan pembagian nilai tertinggi dan terendah dalam 10 kelas (Tabel 4).

(27)

17

Penilaian kerusakan tegakan dilakukan pada setiap plot pada klaster hutan agroforestri dan monokultur. Pada klaster agroforestri terdapat 74 pohon sedangkan klaster monokultur terdapat 63 pohon, dimana pada kedua klaster tersebut tidak ditemukan pohon yang mati. Sebaran diameter pada klaster agroforestri yakni 6.69–22.61 cm, sedangkan pada hutan monokultur adalah

4.78−22.45 cm.

Pada hutan agroforestri maupun monokultur terdapat beberapa tegakan yang positif terkena serangan penyakit karat tumor. Bagian yang terserang lebih banyak pada batang dan cabang pohon. Tanda-tanda adanya karat tumor dapat dilihat dengan adanya jendolan berwarna coklat keemasan pada bagian-bagian pohon yang terserang

Berdasarkan hasil penilaian kerusakan pohon pada klaster 1 ditemukan adanya tiga kerusakan pada pohon sengon yakni pohon dengan kode 1.2.1, 1.2.2, 1.2.3, 1.2.6, 1.2.10, 1.2.13, 1.3.5, 1.3.8, 1.3.11, 1.3.13, 1.3.17, 1.3.19. Lima puluh satu pohon lainnya memiliki dua dan satu kerusakan. Keparahan pada klaster I berkisar kode 1 hingga 8, namun kerusakan terbanyak adalah kode 3. Tipe kerusakan tertinggi paling banyak berupa kerusakan dengan kode 21 dan 22 atau kerusakan yang disebabkan hilangnya ujung dominan atau mati ujung serta cabang patah dan mati (Lampiran 3). Selebihnya dua pohon dengan kode 1.2.6 dan 1.2.11 terserang penyakit ganoderma (akar merah). Perlu pengendalian segera agar penyebaran penyakit tersebut tidak meluas. Kerusakan lain berupa luka terbuka, batang patah dan daun berubah warna (tidak hijau). Kemudian kerusakan akibat karat tumor pada pohon dengan kode 1.1.10, 1.1.13, 1.12.13, 1.3.11, 1.3.13, 1.3.19, 1.4.4, 1.4.14, dan 1.4.18.

Hasil penilaian kerusakan pohon pada klaster II ditemukan adanya tiga kerusakan pada pohon sengon yakni pohon dengan kode 2.1.14, 2.1.15, 2.3.3, 2.3.5, 2.4.3, 2.4.8, 2.4.14, dan 2.4.15. Sedangkan lima puluh lima pohon lainnya ditemukan satu dan dua kerusakan saja. Keparahan pada klaster II berkisar antara kode 1 hingga 8 namun tidak ditemukannya kode 1, namun keparahan terbanyak ada pada kode 2 (Lampiran 5). Tipe kerusakan yang paling banyak ada pada kode 21 dan 22 atau kerusakan yang disebabkan hilangnya ujung dominan atau mati ujung serta cabang patah dan mati. Sebanyak 17 pohon mengalami tipe kerusakan

PLI Skor PLI

(28)

18

Tabel 5 Skoring PLI pada klaster I dan II

Klaster Jumlah pohon Nilai PLI Skoring

1 74 3.26 8

2 63 3.52 8

luka terbuka pada pohon dengan kode 2.1.2, 2.1.5, 2.1.10, 2.1.14, 2.1.15, 2.3.1, 2.3.2, 2.3.3, 2.3.4, 2.3.5, 2.3.9, 2.4.2, 2.4.4, 2.4.6, 2.4.8, 2.4.12, dan 2.4.15. Kemudian kerusakan yang diakibatkan penyakit karat tumor menyerang pohon dengan kode 2.1.7, 2.1.12, 2.1.13, 2.2.2, 2.2.13, 2.3.3, 2.4.5, 2.4.7, 2.4.8, dan 2.4.14.

Nilai PLI yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kerusakan pohon semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah nilai PLI menunjukkan kondisi tegakan semakin bagus. Penilaian pada masing-masing klaster berdasarkan PLI pada klaster I memiliki nilai PLI sebesar 3.26 sedangkan pada klaster II menunjukkan nilai PLI sebesar 3.52. Nilai ini menunjukkan bahwa pada areal hutan agroforestri maupun monokultur memiliki skor 8. Skor yang dimiliki oleh hutan agroforestri dan monokultur dapat dikategorikan ringan. Bentuk kerusakan yang ada tidak terlalu menimbulkan kerugian secara ekonomi (Tabel 5).

Kondisi Tajuk

Indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan hutan adalah kondisi tajuk dengan melakukan Value Crown Ratio (VCR). Rata-rata dari VCR akan dihitung kembali dalam parameter VCR. Pembagian skoring akhir untuk parameter VCR ditetapkan dengan pembagian nilai tertinggi dan terendah dalam 10 kelas. Skor VCR tertinggi menunjukkan kondisi kesehatan tajuk yang semakin baik (Tabel 6).

Penilaian kondisi tajuk pada FHM yang digunakan dalam perhitungan VCR adalah Live Crown Ratio (LCR), Crown Density (CDS), Foliage Transparancy

(29)

19

Berdasarkan hasil penilaian, rata-rata LCR pada klaster I hutan agroforestri didapatkan persentase sebesar 40 % begitupun dengan klaster II memiliki nilai rata-rata LCR sebesar 40 %, persentase CDS pada klaster I lebih tinggi yakni sebesar 40 % dibanding pada klaster II sebesar 30 %, untuk parameter FTR didapatkan persentase yang sama baik pada klaster I maupun klaster II yakni sebesar 70 %. Persentase parameter CDB untuk kedua klaster menunjukkan nilai yang sama yakni 40 %, kemudian nilai CD klaster I lebih besar yakni 3.17 m sedangkan pada klaster II sebesar 2.83 m.

Penilaian VCR pada areal hutan monokultur lebih besar dibanding areal hutan agroforestri, yakni 2.19 dan 2.11 (Tabel 7). Meskipun demikian nilai VCR kedua areal ini tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tajuk tegakan sengon yang cepat pulih dari keadaan lingkungan yang rusak.

Berdasarkan skoring kesehatan hutan nilai VCR pada areal hutan agroforestri maupun monokultur mendapat skoring 4 pada masing-masing areal. Dapat dikatakan bahwa kondisi kesehatan hutan pada hutan agroforestri maupun monokultur tergolong sedang. Kondisi kesehatan tajuk yang sedang sangat dipengaruhi oleh kondisi kerusakan pohon akibat penyakit karat tumor, selain itu faktor abiotik seperti suhu dan curah hujan yang tinggi menentukan kepadatan tajuk tegakan sengon. Sengon merupakan jenis pohon yang memiliki tajuk yang

Gambar 9 Rata-rata LCR, CDS, FTR, CDB, dan CD pada areal hutan agroforestri dan hutan monokultur

Klaster Jumlah pohon Rata-rata VCR Skoring

1 74 2.11 4

2 63 2.19 4

(30)

20

cenderung kurang rindang. Perbandingan penilaian rata-rata PLI dan VCR untuk hutan agroforestri dengan monokultur dapat ditunjukkan pada Gambar 10

Gambar 10 Penilaian akhir PLI dan VCR

Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai PLI dari hutan monokultur lebih tinggi yakni 3.52 dibandingkan dengan hutan agroforestri sebesar 3.26. Nilai VCR pada hutan monokultur sebesar 2.19 dan hutan agroforestri sebesar 2.11, hal ini menandakan bahwa hutan agroforestri memiliki nilai VCR yang lebih rendah dari hutan monokultur.

Adanya hasil penilaian keparahan penyakit (disease severity) yang menyatakan bahawa penyakit karat tumor yang terjadi pada klaster I maupun klaster II termasuk kedalam kategori ringan. Jika dikaitkan dengan kondisi kerusakan pohon atau kondisi tajuk maka penyakit karat tumor yang menyerang tegakan sengon kedua areal ini tidak memberikan dampak yang berarti. Hasil penilaian disease severity tersebut dapat dikaitkan dengan hasil skoring FHM dimana berdasarkan kondisi kerusakan pohon dan tajuk menyatakan bahwa klaster I dan II tergolong dalam kondisi yang ringan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(31)

21

Saran

Harus dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kecocokan pH tanah yang mendukung berkembangnya penyakit karat tumor sehingga dapat dilakukan pengendalian lebih awal. Perlu dilakukan sosialisasi tentang pola tanam agroforestri kepada masyarakat desa yang memiliki lahan tegakan sengon atau jenis lain sehingga dapat meningkatkan produktifitas lahan dan meningkatkan ketahanan hutan terhadap penyakit karat tumor.

DAFTAR PUSTAKA

Adam B. 2002. Analisis sifat fisik, kimia, dan biologi tanah hutan pada tanaman hutan pinus (Pinus merkusii) kelas umur II, IV, VIII di RPH Cikole dan RPH Lembang BPKH Lembang KPH Bandung Utara Unit III Jawa Barat [Internet][Skripsi]. [Diunduh 2014 Juni 1]. Tersedia pada http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/16389/E02bad.pdf?sequ dalam: Makalah Workshop Penanggulangan Serangan karat Tumor pada Tanaman Sengon, 19 Nop 2008; Yogyakarta. Bogor (ID): Puslitbang Hutan Tanaman

Awang S. 2001. Gurat hutan Rakyat di Kapur Selatan. Yogyakarta (ID): Debut Press

[BPTH] Balai Penelitian Tanaman Hias. 2009. Panduan karakterisasi tanaman hias krisan [Internet]. [Diunduh 2014 Sep 5]. Tersedia pada http://pn.puslithorti.net/referensi/deskriptor-krisan.pdf

Bock CH, Gottwald TR, Parker PE, Cook AZ, Ferrandino F, Parnell. 2009. The Horsfall-Barrat scale and severity estimates of citrus cancer. Eur J Plant Pathol. 125:23-38.doi 10.1007/s10658-009-9455-x

Dirgantara U. 2008. Analisis potensi fisik, sosial dan ekonomi untuk pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi [Internet][Tesis]. [Diunduh 2013 Nov 30]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tersedia pada http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/1234 56789/ 11118/2008udi.pdf?sequence=2

Fadri A. 2010. Pertumbuhan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada kebun campuran di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor [Internet][Skripsi]. [Diunduh 2014 Januari 20]. Tersedia pada http://repository.ipb.ac.id/ bitstream/ handle/ 123456789 /63442/ E 10afa.pdf?sequence=1

(32)

22

[IRRI] International Rice Research Institute. 1996. Standard Evaluation System of Rice. Philippines (PH): International Rice Research Institute.

Kadeni A. 1990. Studi kasus derajat kerusakan pada sengon (Paraserianthes falcataria) dan kerugiannya karena serangan Xystrocera festiva di Kecamatan Cibeureum Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Nuhamara ST, Kasno. 2001. Present Status of Forest Vitality. FHM Technical Report No. 11. Di dalam : Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest Volume II. Japan: ITTO dan Bogor: SEAMEO-BIOTROP

Nurhayati. 2011. Epidemologi penyakit tumbuhan [internet]. [Diunduh 2014 Juni 13]. Tersedia pada http://eprints.unsri.ac.id/1199/1/ buku_ epidemiologi_pdf_ 2011_tbr.pdf

Rahayu S. 2008. Penyakit karat tumor pada sengon [internet]. [Diunduh 2014 Maret 10]. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tersedia padahttp://www.biotifor.or.id/modules/publikasi/files/PENYAKIT%20KARA T%20TUMOR%20PADA%20SENGON.pdf

Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor (ID): Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor

Supriyanto, Stole KW, Soekotjo, Gintings AN. 2001. Plot Establishment. FHM Technical Report No. 1. Di dalam : Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest Volume I. Japan: ITTO dan

Bogor (ID): SEAMEO−BIOTROP

Syaufina. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Malang (ID): Bayumedia Publishing

Szott TL, Fernandes CME, Sanches P. 1991. Soil-plant interaction in agroforestry systems. For.Ecol.Manage., 45: 127-152

[USDA-FS] USDA Forest Service. 1997. Forest Health Monitoring: Field Methods Guide (International – Indonesia 1997). Asheville NC: USDA Forest Service Research Triangle Park

Utomo WH. 2004. Agroforestri: hidup layak berkesinambungan pada lahan sempit [Internet]. [Diunduh 2013 Nov 30]. Tersedia pada http://wanihadi.lecture.ub.ac.id/files/2012/07/UTOMO-Agroforestri-tekanan-penduduk1.pdf

(33)

23

LAMPIRAN

(34)

24

(35)
(36)

26

(37)
(38)

28

(39)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Januari 1992 dari ayah Firdaus Rusli dan ibu Yuliafni. Penulis adalah putra kelima dari lima bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tangerang Selatan dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada berbagai organisasi mahasiswa dan kegiatan yang berlangsung di departemen. Pada tahun 2011 penulis mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Merpati Putih. Penulis begabung menjadi anggota Manajemen Operasional Leadership Entrepreneurship School (LES) 2012 yang merupaka lembaga struktural dibawah Departemen Pengembangan Potensi Sumber Daya Mahasiswa (PPSDM) BEM KM IPB, penulis juga aktif sebagai anggota Human Resource Development (HRD) hiimpunan profesi Tree Grower Community (TGC) periode 2012/2013. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen (MPD) BELANTARA Departemen Silvikultur 2012. Pengalaman lain yang dimiliki penulis adalah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Silvikultur tahun ajaran 2013/2014 semester genap. Penulis juga menjadi asisten praktikum Praktik Pengelolaan Hutan pada tahun 2014.

Penulis telah melaksanakan kegiatan Praktik Pengelolaan Ekosistem Hutan di Sancang Timur – Papandayan pada tahun 2012, kemudian pada tahun 2013 penulis telah melaksanakan Praktik Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi serta bulan Februari tahun 2014 penulis melaksanakan Praktik Kerja Profesi di BPDAS Citarum-Ciliwung Bogor, Jawa Barat. Penulis telah menyelesaikan skripsi dengan judul “Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

pada Hutan Rakyat di Bogor” sebagai upaya untuk memperoleh gelar Sarjana

Gambar

Gambar 1  Bentuk klaster plot FHM
Gambar 2  Diagram alir penelitian
Tabel 1  Tingkat Keparahan Penyakit Karat Tumor
Tabel 2  Penilaian intensitas serangan menggunakan skala Horsfall-Barrat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilakukan pilihan pada tombol Input maka akan muncul sub menu “DataGempa” yang akan menghasilkan tampilan yang berbeda jika dilakukan pilihan pada sub Menu

Data ini penulis peroleh dari hasil penelitian kepustakaan yaitu berupa putusan- putusan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan buku-buku atau

Random Forest Classifier diperoleh tingkat pengenalan tertinggi untuk ekstraksi menggunakan PCA sebesar 100% pada variasi data 95% ,sedangkan tingkat pengenalan

Tujuannya, Untuk menyediakan gambaran secara umum mengenai penerapan penghitunganpencatatan, penyetoran, dan pelaporan pajak pertambahan nilaiperusahaan sesuai dengan

Instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar ranah kognitif yaitu menggunakan tes , untuk mengukur sejauh mana pemahaman siswa pada materi laju reaksi

• Diversity of approaches: Most literature focused on ankle-foot orthosis (AFO) and an upper-limb splint. To consider diversity in approach, the literature for

Pendidikan adalah upaya manusia untuk memanusiakan manusia (Sudjana, 1991:1) artinya pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar dengan tujuan membentuk

Sebaliknya, jika nilai error tidak sama dengan nol maka terdapat halangan di sekitar kursi roda, aksi selanjutnya yaitu mengumpankan nilai error tersebut pada