• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Corak Pengembangan Usaha Tani Ubi Jalar Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Corak Pengembangan Usaha Tani Ubi Jalar Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS CORAK PERKEMBANGAN USAHATANI UBI

JALAR SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA

(Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan

Dramaga Kabupaten Bogor)

SABILIL HAKIMI AMIZUAR

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Corak Perkembangan Usahatani Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Sabilil Hakimi Amizuar

(4)

ABSTRAK

SABILIL HAKIMI A. Analisis Corak Perkembangan Usahatani Ubi Jalar Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus : Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.

Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan sebesar 70 persen ketersediaan ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di Indonesia. Hal ini mendorong intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan tingkat komersialisasinya Namun kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah sehingga mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar akibat adanya perbedaan infrastruktur dan aksesibilitas pasar dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasii ubi jalar. Penelitian ini dilakukan pada dua Desa yaitu Cikarawang dan Purwasari dimana Desa Cikarawang yang memiliki akses pasar yang lebih dekat dan infrastruktur yang lebih baik daripada Desa Purwasari. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang lebih tinggi daripada tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar di Desa Purwasari yaitu 60.58 persen untuk Desa Cikarawang dan 49.84 persen untuk Desa Purwasari. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat komersialsasi usahatani di pengaruhi oleh infrastrutur dan aksesibilitas pasar. Adapun faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi tingkat komersialisasi pada kedua desa adalah luas lahan, jumlah tanggungan keluarga petani, dan harga jual ubi jalar.

Kata kunci: aksesibilitas pasar, infrastruktur, tingkat komersialisasi, ubi jalar.

ABSTRACT

SABILIL HAKIMI A. The Analysis of Sweet Potato Farming Commercialization Level and Its Determinant Factors (A case of sweet potato smallholder farmers in Cikarawang and Purwasari, Dramaga, Bogor) Supervised by NUNUNG KUSNADI.

The massive growth of sweet potato downstream industries in Indonesia has triggered the excalation of sweet potato availability as derivated product ingredient. Almost seventy percent of national sweet potato production was processd by industries. It leads to sweet potato intensification to increase its level of commercialization. However the uneven distribution of Indonesia economy contribution leads to a different infrastructure and market accessibility development. This study that was conducted in two villages namely Cikarawang and Purwasari aimed to identify the level of commercialization of sweet potato farming due to differences in infrastructure and market accessibility and to analyze the factors that affect the level of commercialization of sweet potato farming. Cikarawang has a closer market accessibility and better infrastructure than Purwasari. The result showed that level of commercialization of sweet potato farming in Cikarawang higher than level of commercialization of sweet potato farming in Purwasari (60.58 persent for Cikarawang and 49.84 persent for the Purwasari ). This indicated that the level of commercialization of swet potato farming was determined by infrastructure and market accessibility. The significant factor that influence level of commercialization of sweet potato farming in both two villages are land , farmer family size, and the price of sweet potato.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS CORAK PERKEMBANGAN USAHATANI UBI

JALAR SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA

(Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan

Dramaga Kabupaten Bogor)

SABILIL HAKIMI AMIZUAR

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkat segala kemurahan dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Corak Perkembangan Usahatani Ubi Jalar Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulisan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan pula kepada ibu Dr Ir Dwi Rachmina MSi selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva Yolynda Aviny SP MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Selanjutnya terima kasih juga disampaikan kepada tim peneliti dari Departemen Agribisnis yang diketuai oleh Ibu Dr Ir Netty Tinaprilla MM atas data-data di lapangan dari penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Usahatani Ubi Jalar melalui Peningkatan Pendapatan dan Efisiensi untuk Mendukung Diversifikasi Pangan”. Di samping iu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ahmad Bastari ketua kelompok tani Hurip di Desa Cikarawang dan Bapak Adi Suardi ketua kelompok tani Rawasari di Desa Purwasari yang telah membantu selama pengumpulan data usahatani ubi jalar dilapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan motivasinya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih kepada temen-teman Agribisnis 47 IPB dan sahabat-sahabat yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

ABSTRAK ii

ABSTRACT ii

PRAKATA vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Subsistensi Pertanian : Indikator Pengukuran dan Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhinya 5

Hubungan Kebijakan Pemerintah Terhadap Transisi Pertanian Subsisten ke

Komersial 6

KERANGKA PEMIKIRAN 8

Kerangka Pemikiran Teoritis 8

Kerangka Pemikiran Operasional 13

METODE PENELITIAN 15

Lokasi dan Waktu 15

Jenis dan Sumber Data 15

Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data 15

Pengolahan dan Analisis Data 16

GAMBARAN UMUM PENELITIAN 19

Karakteristik Wilayah 19

Karakteristik Petani Responden 20

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Struktur Biaya Usahatani Ubi Jalar 22

(10)

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Komersialisasi Usahatani

Ubi Jalar 26

Hubungan Tingkat Komersialisasi Terhadap Keuntungan Usahatani 29

SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 35

(11)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan dan alokasi konsumsi ubi jalar di Indonesia, 2009-2013a) 2 2 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar di

Indonesia tahun 2008-2013a) 3

3 Karakteristik petani responden di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari 21 4 Struktur biaya usahatani ubi jalar per hektar per musim di Desa

Cikarawang dan Desa Purwasari 23

5 Analisis tingkat komersialisasi usahatani dilihat dari rasio indikator-indikator tingkat komersialisasi usahatani antara Desa Cikarawang dan

Purwasari 24

6 Hasil pendugaan model fungsi regresi terhadap tingkat komersialisasi

usahatani 26

7 Penerimaaan usahatani ubi jalar per hektar di Desa Cikarawang dan

Desa Purwasari 30

8 Keuntungan usahatani ubi jalar per hektar dan R/C rasio di Desa

Cikarawang dan Desa Purwasari 31

DAFTAR GAMBAR

1 Tingkat Komersialisasi Usahatani 12

2 Kerangka Operasional 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Output analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

komersialisasi usahatani ubi jalar 36

2 Analisis keuntungan per hektar usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usahatani komoditi pangan yang subsisten pernah terjadi ketika Indonesia dengan perekonomiannya yang lemah belum bisa memproduksi pangan secara cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Seperti yang terjadi di Jawa dan Madura pada tahun 1963 hanya 21 persen hasil padi yang dijual ke pasar dan sebagian besar lainnya dikonsumsi keluarga petani (Mubyarto, 1989). Salah satu komoditi pangan yang dibudidayakan sebagai makanan pengganti ketika beras tidak cukup pada saat itu adalah komoditi ubi jalar. Usahatani ubi jalar dilakukan oleh para petani dengan orientasi memenuhi kebutuhan pangan keluarga sendiri. Ubi jalar diposisikan sebagai secondary crop yang dibudidayakan oleh petani pada lahan sempit yang hasil panennya hanya cukup untuk menjadi makanan pokok keluarga petani jika produksi padinya tidak mencukupi untuk konsumsi keluarganya.

Seiring dengan semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pembangunan infrastruktur pasar, dan penerapan teknologi pertanian, usahatani ubi jalar saat ini dilakukan dengan intensif sehingga komoditi ubi jalar saat ini mengalami perkembangan dengan meningkatnya ketersediaan ubi jalar per kapita per tahun sebagai bahan makanan di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Berdasarkan data neraca bahan makanan ubi jalar, laju peningkatan penggunaan ubi jalar sebagai bahan makanan adalah sebesar 4.26 persen per tahun yaitu dari 7.8 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 9.15 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan mengindikasikan bahwa permintaan terhadap ubi jalar juga mengalami peningkatan baik untuk di konsumsi untuk rumah tangga maupun untuk bahan baku industri hilir yang mengolah ubi jalar menjadi produk-produk turunan.

Sebagian ubi jalar yang tersedia sebagai bahan makanan diserap untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia dalam wujud ubi jalar primer yang belum diolah menjadi produk turunan. Berdasarkan data konsumsi menurut Pusdatin yang mengacu kepada hasil Susenas BPS, besaran konsumsi dalam wujud ubi jalar primer pada rumah tangga di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013 berfluktuasi namun laju pertumbuhannya mempunyai kecendrungan mengalami peningkatan sebesar 2.28 persen per tahun yaitu dari 2.24 kg/kapita/tahun pada tahun 2008 menjadi 2.35 kg/kapita/tahun pada tahun 2013 seperti yang tersaji pada Tabel 1.

(14)

2

turunan ubi jalar. PT. Galih Estetika memiliki kuota terbesar dengan harus memasok 600 ton/bulan atau 150 ton/minggu atau sekitar 7 container 20 feet/minggu sehingga untuk memenuhi kuota ekspor PT Galih Estetika bermitra dengan 2500 petani ubi jalar yang tersebar di Pulau Jawa (Widodo et al, 2005).

Tabel 1 Perkembangan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan dan alokasi konsumsi ubi jalar di Indonesia, 2009-2013a)

Tahun Ketersediaan (kg/kapita/

tahun)

Konsumsi Rumah Tangga (kg/kapita/

tahun)

Konsumsi Industri Ubi Jalar

(kg/kapita/ tahun)

2009 7.80 2.24 5.56

2010 7.45 2.29 5.16

2011 7.86 2.87 4.99

2012 8.89 2.35 6.54

2013 9.15 2.35 6.80

Laju Pertumbuhan (%)

4.26 2.28 6.13

a) Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

Pada Tabel 1 tersedia data besaran konsumsi ubi jalar yang terserap ke industri hilir nasional pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar dari hasil selisih antara ketersedian per kapita ubi jalar dengan konsumsi per kapita rumah tangga. Berdasarkan Tabel 1 tersebut, besaran pasokan ubi jalar yang terserap ke industri pengolahan ubi jalar juga berfluktuasi dari tahun 2009 sampai 2013 namun memiliki laju pertumbuhan yang meningkat yaitu sebesar 6.13 persen per tahun dari 5.56 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 mencapai 6.80 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Dengan demikian pada periode 2009 sampai 2013 rata-rata besaran yang terserap ke industri pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar adalah 70 persen dari ketersediaan ubi jalar (Pusdatin, 2013).

(15)

3 Tabel 2 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar di

Indonesia tahun 2008-2013a)

Tahun Luas Panen Produktivitas Produksi

(Ha) % (ku/ha) % (ton) %

2008 174 561 - 107.80 - 1 881 761 -2009 183 874 5.34 111.92 3.82 2 057 913 9.36 2010 181 073 -1.52 113.27 1.21 2 051 046 -0.33 2011 178 121 -1.63 123.29 8.85 2 196 033 7.07 2012 178 298 0.09 139.29 12.97 2 483 467 13.08 2013 161 703 -9.30 160.42 15.16 2 594 064 4.45 Rata-rata 176 271 -1.40 125.99 8.41 2 210 714 6.72 a

) Badan Pusat Statistik

Pertumbuhan positif laju produksi nasional serta meningkatnya laju penyerapan komoditi ubi jalar baik ke industri hilir pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar maupun untuk konsumsi rumah tangga dalam kurun waktu 5 tahun terakhir memperlihatkan suatu dinamisasi yang positif dari sisi supply (produksi) dan demand (permintaan) yang menjadikan ubi jalar sebagai komoditi bisnis. Implikasinya adalah kegiatan usahatani ubi jalar tidak hanya bertujuan untuk konsumsi sendiri, namun akan berorientasi kepada profit dan permintaan/pasar. Keadaan ini akan mempengaruhi corak usahatani ubi jalar yang berkemungkinan arah tujuan dari usahatani ubi jalar berubah dari subsisten menjadi komersil.

(16)

4

namun untuk menyuplai kebutuhan pasar ubi jalar sehingga petani mendapatkan profit dari usahataninya.

Perumusan Masalah

Pertumbuhan makroekonomi suatu negara melalui pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar kepada industri pengolahan produk turunan mempengaruhi tingkat komesialisasi usahatani (Pingali dan Rosegrant, 1995). Perekonomian negara Indonesia yang semakin membaik berimplikasi pada berkembangnya pasar ubi jalar yaitu dengan meningkatnya pertumbuhan industri-industri pengolahan makanan berbasis ubi jalar sehingga memicu peningkatan intensifitas usahatani ubi jalar yang terlihat pada pertumbuhan poduksi dan produktivitas dalam kurun waktu tahun 2009 sampai 2013. Peningkatan intensifitas usahatani ubi jalar mengindikasikan adanya perkembangan corak usahatani atau tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar saat ini.

Kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah. Sebagaimana yang telah diuraikan pada latar belakang dengan memberikan contoh pada dua daerah yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Jawa Barat bahwa perbedaan dalam infrastruktur dan aksesibilitas pasar kepada industri-industri hilir berbasis ubi jalar mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar melalui intensifitas pengelolaan usahatani yang berbeda, maka pertanyaan yang muncul adalah:

1. Bagaimana pengaruh infrastruktur & aksesibilitas pasar terhadap tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat komersialisasi atau corak usahatani ubi jalar serta bagaimana pengaruhnya?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar akibat adanya

perbedaan infrastruktur dan aksesibilitas pasar.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi corak usahatani ubi jalar

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Sebagai bahan informasi bagi Petani ubi jalar dalam pengambilan keputusan pada usaha budidaya ubi jalar yang dilakukan.

2. Sebagai tambahan informasi dan masukan bagi Pemerintah daerah dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian terutama menyangkut ubi jalar.

3. Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis dalam melakukan penulisan ilmiah dan penelitian.

(17)

5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada petani ubi jalar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari. Analisis tingkat komersialisasi diukur secara kuantitatif dengan indikator-indikator ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi melalui analisis regresi berganda.

TINJAUAN PUSTAKA

Subsistensi Pertanian : Indikator Pengukuran dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Berbagai pandangan dari para ahli ekonomi telah mendeskripsikan definisi dari pertanian subsisten. Menurut Mubyarto (1989) pertanian yang subsisten adalah suatu sistem bertani di mana tujuan utama dari seorang petani untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Definisi mengenai pertanian subsisten secara kuantitatif juga telah dijelaskan oleh Wharton (1969) yaitu petani yang subsisten adalah yang menjual kurang dari 50 persen dari seluruh hasil panennya. Orientasi petani yang subsisten adalah memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Subsistensi pertanian merupakan suatu hal yang kompleks yang membutuhkan pengukuran dengan indikator-indikator yang dapat mendeskripsikan tingkat subsistensi dari suatu usahatani. Ellis (1993) dalam Kostov dan Lingard (2002) mendefinisikan subsistensi pertanian dengan memberikan indikator di mana usahatani subsisten dapat diukur dengan besar proporsi tenaga kerja dalam keluarga yang lebih banyak daripada tenaga kerja luar keluarga serta penggunaan input komersil yang tidak intensif yang mengakibatkan produksi output yang rendah. Sebagai contoh Rahayu (2001) menggunakan indikator rasio upah tenaga kerja tingkat subsistensi usahatani padi ladang Luar Baduy (Jalupang Mulya) sebesar 66.02 persen lebih mengarah ke komersial dibanding Baduy Luar (Kanekes) karena proporsi tenaga kerja luar keluarga lebih besar daripada tenaga kerja dalam keluarga. Selain itu Rahayu (2001) juga menggunakan indikator rasio biaya input tenga kerja tingkat subsistensi usahatani padi ladang Luar Baduy (Jalupang Mulya) sebesar 26.61 persen lebih mengarah ke komersial dibanding Baduy Luar (Kanekes) karena proporsi input modern yang dibeli lebih besar daripada menggunakan input sendiri yang ada di dalam keluarga.

(18)

6

Umur petani memiliki pengaruh penting dalam proses transisi usahatani subsisten kepada usahatani yang komersial. Suatu usahatani yang dimulai oleh petani yang sudah tua akan lebih subsisten dari pada usahatani yang dimulai dari petani yang masih muda. Kostov dan Lingard (2002) kebanyakan usahatani subsisten dilakukan oleh para pensiunan yang susah mencari kerja karena sudah tua sehingga bertahan hidup dengan melakukan usahatani yang subsisten adalah salah satu sumber mata pencahariannya di desa.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani adalah lahan. Lahan merupakan salah satu faktor produksi kunci keberhasilan usahatani. Semakin luas lahan maka akan semakin besar penjualan dan surplus dari output usahatani (Mathjis dan Noev, 2002). Sebagai contoh menurut Lerman dan Mirzakhanian (2001) dalam Mathjis dan Noev (2002) di Negara Armenia petani yang komersil memiliki luas lahan yang lebih luas dari pada petani yang tidak komersil.

Skala rumah tangga atau jumlah tanggungan keluarga petani juga memberikan dampak kepada transisi usahatani subsisten ke usahatani komersil. Petani yang subsisten melakukan usahatani dengan orientasi pemenuhan kebutuhan sendiri dan keluarga setalah tujuan ini terpenuhi barulah petani tersebut menjual sisa hasil panennya. Produksi output usahatani yang rendah dan jumlah tanggungan keluarga petani yang banyak akan semakin membuat petani melakukan subsistensi usahatani seperti yang dikemukakan oleh Mathjis dan Noev (2002) bahwa skala rumah tangga yang lebih kecil akan membentuk surplus produksi yang lebih banyak dan marketable.

Faktor lain yang mempengaruhi upaya transisi subsistensi usahatani menuju pertanian yang komersil adalah akses kepada kredit sebagai bantuan modal petani merupakan hal yang penting bagi petan sebagai upaya untuk membentuk usahatani yang komersil. Menurut Mathjis dan Noev (2002) akses kepada kredit menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi proses komersialisasi usahatani. Adapun problem yang dihadapi oleh petani yang subsisten dalam meminta kredit dari suatu bank adalah tidak dimilikinya angunan (collateral) sebagai jaminan sehingga dibutuhkan suatu sistem yang didukung oleh pemerintah dalam menciptakan sumber-sumber pendanaan bagi para petani subsisten dengan syarat yang memudahkan mereka.

Proses komersialisasi usahatani subsisten erat hubungannya dengan perkembangan ekonomi di suatu daerah. Petani akan menjadi semakin komersil apabila memiliki akses kepada sumber ekonomi yaitu pasar. Akses kepada pasar akan sangat mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani. Menurut Mathjis dan Noev (2002) dalam penelitiannya dijelaskan bahwa jarak kepada pasar memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat komersialisasi dimana petani yang tinggal dekat pasar akan memiliki akses yang lebih baik untuk menjual output dan mendapatkan input modern untuk meningkatkan produksi usahatani.

Hubungan Kebijakan Pemerintah Terhadap Transisi Pertanian Subsisten ke Komersial

(19)

7 ada definisi yang konsesus. Namun, kebanyakan akademisi sepakat bahwa pertanian subsisten dapat dikaitkan dengan kemiskinan, rendahnya tingkat teknologi, produksi tidak efisien, dan rendahnya tingkat komersialisasi (Mathijs and Noev, 2002). Pertanian yang subsisten merupakan perkembangan yang lambat. Selain itu, petani subsisten juga tidak responsif terhadap pasar dan kebijakan pemerintah (Wharton, 1969; Lerman, 2001; von Braun and Lohlein, 2001; Bruntrup and Heidhues, 2002).

Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara memiliki korelasi yang kuat dengan komersialisasi usahatani. Menurut Pingali dan Rosegrant (1995) komersialisasi sistem pertanian merupakan fenomena yang umum dan irreversible

yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi. Tingkat komersialisasi bervariasi antar benua dan antar negara-negara dalam satu benua pada arah perubahan yang sama di seluruh dunia. Kebijakan-kebijakan mengenai liberalisasi perdagangan yang sedang diimplementasikan di negara-negara berkembang bisa mengingkatkan percepatan proses terjadinya komersialisasi. Tren komersialisasi membutuhkan pergeseran paradigma dalam perumusan kebijakan pertanian dan penentuan prioritas penelitian. Paradigma tentang swasembada pangan pokok yang telah menjadi patokan kebijakan di negara-negara berkembang menjadi semakin usang dengan pertumbuhan ekonomi. Paradigma yang relevan untuk abad ke-21 adalah penekanan pada masa depan pertanian yaitu dengan kebijakan memaksimalkan pendapatan rumah tangga petani daripada menghasilkan surplus pangan. Komersialisasi sistem pertanian diharapkan dapat menjadi perubahan yang substansial dalam organisasi produksi. Strategi jangka panjang yang penting untuk memfasilitasi kelancaran transisi ke pola komersial adalah investasi di pasar pedesaan, infrastruktur transportasi dan komunikasi untuk memfasilitasi integrasi ekonomi pedesaan, investasi pada penelitian untuk meningkatkan produktivitas, dan peningkatan pemberian modal untuk petani kecil.

(20)

8

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis Klasifikasi Usahatani Berdasarkan Corak Usahatani

Corak usahatani terbagi menjadi dua, yakni usahatani subsisten dan usahatani komersial. Usahatani subsisten adalah suatu sistem bertani dimana tujuan petani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya (Mubyarto, 1989). Sedangkan usahatani komersial berorientasi kentungan yang dihasilkan dengan menjual produksi dari usahatani untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak. Secara umum, petani yang masih menerapkan pola subsisten merupakan petani kecil. Soekartawi (1986) mengatakan pola subsisten ini biasanya dilakukan oleh petani kecil. Usahatani tersebut memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya seperti kekurangan modal, pendapatan yang rendah, dan memiliki keterbatasan sumber daya dalam mengakses faktor-faktor produksi dalam berusahatani. Adapun ciri-ciri petani kecil yang memiliki corak usahatani subsisten menurut Hernanto (1996) adalah:

a. Luas lahan sempit

b. Tingkat produktifitas tanah rendah. c. Tingkat kesuburan tanah rendah.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas rendah. e. Pendapatan petani rendah.

f. Kedudukan petani pada garis kemiskinan di pedesaan. g. Status sosial petani rendah.

h. Mobilitas fisik dan ekonomi rendah.

i. Tingkat efisiensi ekonomis maupun teknis rendah. j. Tingkat produktifitas tenaga kerja rendah.

Dari ciri-ciri diatas terdapat faktor penyebab corak subsisten usahatani dan juga akibat dari faktor penyebab yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kriteria yaitu kriteria ekonomi dan kriteria sosial. Luas lahan yang sempit, tingkat produktifitas dan kesuburan tanah yang rendah, faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas usahatani rendah, tingkat efisiensi ekonomis dan teknis yang rendah, dan tingkat produktifitas tenaga kerja yang rendah merupakan faktor sebab petani berproduksi secara subsisten. Faktor penyebab ini mengakibatkan tingkat pendapatan petani rendah. Hal ini dapat dijadikan indikator subsistensi usahatani pada kriteria ekonomi.

(21)

9

Karakteristik Empat Unsur Pokok Usahatani Subsisten dan Komersil

Untuk mencapai keberhasilan usahatani seorang petani harus bisa mendapatkan faktor-faktor produksi usahatani yang mempengaruhi usahatani tersebut. Hernanto (1996) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (internal) dan faktor-faktor di luar usahatani (eksternal). Adapun faktor internal antara lain para petani pengelola, lahan, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah keluarga, dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga. Di sisi lain, faktor eksternal yang berpengaruh pada keberhasilan usahatani adalah tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga jual, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani. Soekartawi et al. (1986) menyatakan bahwa ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dana dengan memadukan sumberdaya yang ada dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani selalu ada empat unsur pokok yang biasa disebut faktor produksi yaitu lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengelolaan (manajemen) yang terbatas ketersediaanya.

Kondisi perekonomian petani yang berbeda mengakibatkan tidak semua petani dapat menguasai keempat unsur pokok tersebut dengan baik. Perbedaan akses petani dalam kepemilikan unsur-unsur usahatani memiliki hubungan dengan orientasi usahataninya. Dalam mengidentifikasi suatu usahatani keempat unsur-unsur pokok usahatani dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman mengenai karakteristik usahatani yang nantinya dikatakan usahatani subsisten atau komersial. Petani yang subsisten tidak dapat berkembang karena memiliki keterbatasan dalam kepemilikan dan penguasaan empat unsur pokok usahatani. Adapun petani komersil memiliki akses yang besar dalam menguasai keempat unsur-unsur pokok usahatani tersebut. Uraian berikut akan menjelaskan keempat unsur pokok usahatani secara singkat untuk memberikan gambaran akan suatu usahatani yang dikatakan komersil atau subsistem berdasarkan perbedaan status kepemilikan keempat unsur-unsur pokok usahatani tersebut.

a. Lahan

Lahan merupakan faktor produksi yang mewakili unsur alam dan lahan merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lain serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Lahan usahatani dapat berupa pekarangan, sawah, tegalan dan sebagainya. lahan memiliki beberapa sifat yaitu : (1) luasnya relatif atau dianggap tetap, (2) tidak dapat dipindah-pindahkan dan (3) dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Lahan usahatani dapat diperoleh dengan membeli, menyewa, pemberian negara, membuka lahan sendiri, ataupun wakaf.

(22)

10

untuk menambah produksi komoditi komersilnya karena memiliki akses untuk hal tersebut. Dalam memperluas lahanya petani komersil akan menyewa lahan tambahan yang dimiliki oleh orang lain. Adapun petani dengan usahatani subsisten karena tujuan usahataninya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya lahan yang dikuasainya sangat terbatas yang luasnya kurang dari 0.5 ha dan tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menambah lahannya melauli tanah sewa.

b. Tenaga Kerja

Tenaga kerja menjadi pelaku usahatani yang diperlukan dalam menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Tenaga kerja dalam usahatani dibedakan ke dalam tiga jenis yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak yang dipengaruhi umur, pendidkan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan kondisi lainnya. Oleh karena itu dalam praktiknya, digunakan satuan ukuran yang umum untuk mengatur tenaga kerja yaitu jumlah jam dan hari kerja total. Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam dan luar keluarga. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja maka petani mempekerjakan buruh yang berasal dari luar keluarga dengan memberi upah. Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan angkutan. Begitu pula dengan tenaga kerja mekanik yang digunakan untuk pengolahan lahan, penanaman, pengendalian hama, serta pemanenan.

Pembahasan mengenai tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia dibedakan ke dalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani subsisten dan ke dalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani komersial. Menurut Wharton (1969) pada usahatani subsisten penyumbang terbesar tenaga kerja usahatani berasal dari dalam keluarga petani karena petani yang berorientasi subsisten memiliki keterbatasan biaya untuk mengupah tenaga kerja dari luar keluarga. Adapun sebaliknya petani dengan tingkat komersialisasi yang lebih tinggi akan menyerap tenaga kerja luar keluarga yang lebih banyak daripada tenaga kerja dalam keluarga. Selain menggunakan tenaga kerja manusia, petani komersil juga menggunakan tenaga kerja mekanik agar produksi yang diharapkan semakin bertambah baik skala maupun kualitasnya karena berorientasi pasar.

c. Modal

Modal adalah faktor produksi dalam usahatani setelah lahan dan tenaga kerja. Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta manajemen menghasilkan barang-barang baru yaitu produk pertanian. Penggunaan modal untuk membantu meningkatkan produktivitas baik lahan maupun tenaga kerja guna meningkatkan pendapatan dan kekayaan petani. Modal dalam suatu usahatani untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal usahatani diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit formal, non formal, dan lain-lain), warisan, usaha lain, atau kontrak sewa.

(23)

11 Noev (2002) bahwa akses kepada modal sering disebutkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi komersialisasi usahatani. Persyaratan angunan/jaminan dalam mengakses kredit di bank menjadi salah satu penghambat yang menyulitkan petani kecil subsisen untuk mengembangkan usahataninya agar mengarah ke komersial demi pendapatan yang lebih besar. Berbeda dengan petani komersil yang mudah mengakses kredit di bank karena memiliki aset yang bisa dijadikan sebagai jaminan.

d. Pengelolaan usahatani

Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dengan sebaik baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sedemikian rupa sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka pemahaman mengenai prinsip teknis maupun ekonomis harus dikuasi oleh pengelola. Kemampuan dalam mengelola usahatani yang baik akan menjadikan setiap keputusan baik teknis maupun ekonomis akan memberikan risiko sekecil mungkin bagi usahanya dan memberikan keuntungan yang maksimum.

Pengelolaan usahatani akan semakin baik apabila didasari dengan pemahaman akan ekonomi pertanian. Pemahaman tersebut akan bermanfaat dalam mengukur efisiensi usahatani. Salah satu pemahaman ekonomi yang digunakan pengelola usahatani untuk mencapai efisiensi adalah analisa pendapatan marjinal atau analisa biaya marjinal. Petani dengan usahatani subsisten memiliki cara pengelolaan yang berbeda dengan petani yang usahataninya berorientasi pasar. Pengelolaan yang efisien dilakukan oleh petani subsisten dengan berfokus pada pendapatan marjinal yaitu besarnya hasil produksi tidak pada rendahnya biaya untuk memproduksi hasil itu (Mubyarto, 1994). Adapun petani dengan tujuan produksi adalah pasar dan keuntungan akan menemui saingan produk yang sama dengan harga sama sehingga pengelolaan usahatani berpusat pada analisis biaya marjinal yaitu agar dapat meproduksi output yang kualitas sama namun dengan biaya yang semurah-murahnya.

Indikator Pengukuran Tingkat Komersialisasi Usahatani

Menurut Wharton (1969) subsistensi secara garis besar terdiri dari dua bagian yaitu produksi yang subsisten dan tingkat hidup subsisten. Produksi subsisten lebih banyak berkaitan dengan aspek ekonomi petani dalam ha1 ini berupa lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas lahan. Sedangkan tingkat hidup subsisten merupakan cerminan dari produksi subsisten.

Beberapa formula pengukuran tingkat subsitensi usahatani diperoleh dari beberapa kriteria Wharton (1969), yang cukup strategis untuk menilai tingkat subsistensi usahatani ubi jalar yaitu :

a. Nilai umum, sikap, dan motivasi b. Tujuan berproduksi

c. Pengambilan keputusan

d. Tingkat teknologi yang diimplementasikan para petani dibandingkan dengan rekomendasi dinas pertanian setempat

(24)

12

f. Derajat komersialisasi dari input usahatani ubi jalar, diukur dengan rasio belanja faktor input terhadap total biaya faktor input atau rasio upah tenaga kerja terhadap total tenaga kerja

g. Tingkat sumbangan pendapatan usahatani dalam ekonomi keluarga petani h. Tingkat pendayagunaan lembaga pertanian setempat

Dengan kriteria diatas dapat mengukur tingkat komersialisasi pada suatu atau wilayah usahatani. Menurut Hernanto (1996) tingkat komersialisasi ini dijelaskan melalui derajat skala yang memiliki tiga tingkatan yaitu statis/subsisten sebagai tingkat terendah, transisi/semi komersial dan tingkat dinamis/komersial.

Gambar 1 Tingkat Komersialisasi Usahatani

Menurut Wharton (1969) ada empat kriteria pengukuran tingkat komersialisasi usahatani yaitu :

a. Kriteria ekonomi

1) Rasio tingkat penjualan produk usahatani (RTPPU)

Menurut kriteria ini usahatani subsisten di gambarkan dengan baik sebagai tingkat konsumsi terbesar dari produksinya.

RTPPU = ���������������������� �������������������

2) Rasio upah tenaga kerja atau rasio biaya input beli (RUTK atau RBIB) Menurut kriteria ini modernisasi (komersial) dalam proses pertanian mewajibkan perlunya intensifikasi biaya (belanja) faktor input produksi di dalam proses usahatani.

RUTK = ������������������������������������� ��������������������������� Atau,

RBIB = ��������������������������� ���������������������� 3) Tingkat Teknologi

Menurut kriteria ini usahatani yang komersil melakukan kegiatan budidaya dengan menggunakan teknologi yang intensif diantaranya adalah teknologi kimia berupa penggunaan pupuk, teknologi biologis berupa penggunaan bibit unggul dengan produktiftas tinggi, dan teknologi mekanis berupa penggunaan alat-alat pertanian untuk meningkatkan efisiensi teknis usahatani.

4) Kebebasan membuat keputusan

Menurut kriteria ini usahatani atau petani subsisten kurang atau tebatas dalam tingkat pembuatan keputusan. Biasanya keputusan dalam berusahatani dipengaruhi oleh adat dan budaya setempat.

b. Kriteria sosial budaya

1) Faktor-faktor non-ekonomi dalam membuat keputusan

I II III

STATIS TRANSISI DINAMIS

100% SUBSISTEN KOMERSIAL 100%

(25)

13 Menurut kriteria ini ciri khusus usahatani atau petani subsisten adalah besarnya pengaruh (jika tidak dominan) dari pertimbangan sosial budaya dalam proses produksi dan penggunaan tenaga kerja.

2) Derajat atau ukuran hubungan dengan dunia luar

Menurut kriteria ini usahatani subsisten adalah suatu usahatani yang kurang berhubungan dengan dunia luar.

3) Hubungan alami antar individu

Kriteria ini cenderung untuk membedakan penduduk yang mengistimewakan ‘sistem kekeluargaan’ dari hal yang menyangkut individualistis dalam melakukan hubungannya, sebagaimana dikemukakan oleh Hoselitz (1960) dalam Wharton (1963).

4) Perbedaan psikologi

Beberapa partisipan petani merasa karakteristik psikologi sebagai tujuan akhir dan sebagai aksi implementasi akhir. Seluruh motivasi dan bermacamnya sikap yang terlihat pokok dalam efek tersebut khususnya pada prilaku sosial dan ekonomi.

c. Kriteria perkembangan (pertumbuhan)

Menurut kriteria ini usahatani subsisten adalah suatu usahatani yang proses peningkatan perkembangannya lambat, tidak terlihat perubahan baik dalam kegiatan produksi maupun pemasaran

Kerangka Pemikiran Operasional

Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan sebesar 70 persen ketersediaan ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di Indonesia. Hal ini mendorong intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan tingkat komersialisasinya Namun kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah sehingga mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar.

Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus. Objek penelitian ini adalah usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari dimana Desa Cikarawang yang memiliki akses pasar yang lebih dekat dan infrastruktur yang lebih baik daripada Desa Purwasari. Dengan adanya perbedaan akses pasar dan infrastruktur antara kedua desa akan dianalisis tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar pada masing-masing desa serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar.

(26)

14

Gambar 2 Kerangka Operasional

Desa Cikarawang Desa Purwasari

• Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan.

• Sebesar 70 persen ketersediaan ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di Indonesia sehingga mendorong intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani.

• Namun kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah.

• Hal ini mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar melalui intensifitas pengelolaan usahatani yang berbeda

Diperlukannya analisis corak perkembangan usahatani ubi jalar dengan pengukuran tingkat komersialisasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya

Perbedaan Akses Fasilitas Ekonomi dan Infrastruktur

Penentuan Corak Dengan Analisis Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi Jalar : 1.Rasio Komersialisasi Output (RKO) 2.Rasio Upah Tenaga Kerja (RUTK) 3.Rasio Biaya Input Beli (RBIB)

4.Rasio Tingkat Pendapatan Tunai (RTPT)

Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi Jalar:

• Usahatani Subsisten (statis)

• Usahatani Semi Subsisten mengarah ke subsisten (transisi-statis)

• Usahatani Semi Subsisten mengarah ke komersial (transisi-dinamis)

• Usahatani Komersial Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Corak/Tingkat Komersialisasi Usahatani :

• Luas Pengusahaan Lahan

• Umur

• Pengalaman

• Tangungan Keluarga

• Tingkat Pendidikan

• Harga Jual Output

• Dummy Desa (Perbedaan aksesibilitas pasar dan infrastruktur)

Hubungan Tingkat Komersialisasi dengan Keuntungan Usahatani Ubi

Jalar

(27)

15

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat dipilih karena Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi ubi jalar nasional di Indonesia yaitu sebesar 436 577 ton (Kementan, 2013). Kabupaten Bogor dipilih karena dalam kurun waktu tahun 2010 sampai 2012 memiliki laju pertumbuhan produksi ubi jalar yang paling tinggi yaitu 12.24 persen per tahun (BPS, 2013). Kemudian Kecamatan Dramaga dipilih secara purposive karena memiliki produktivitas ubi jalar yang paling tinggi dari seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu sebesar 210.98 kw/ha (BPS, 2013). Adapun pemilihan Desa Cikarawang dan Desa Purwasari juga secara purposive karena perbedaan jarak yang jelas bagi kedua desa untuk mengakses pasar. Hal ini untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis pengaruh perbedaan infrastruktur desa dalam mengakses pasar terhadap corak usahatani ubi jalar.

Secara letak geografis Desa Cikarawang memiliki akses yang cepat untuk menjangkau pasar dan fasilitas ekonomi di Kota Bogor dibandingkan dengan Desa Purwasari yang jauh dari Kota Bogor. Desa Cikarawang didukung dengan subsistem penunjang yang lebih memadai daripada Desa Purwasari seperti gabungan kelompok tani, bank, posdaya, dan lain-lain. Selain itu di Desa Cikarawang ada unit bisnis pengolahan ubi jalar yang sudah berjalan dalam skala

home industri sehingga dengan perbandingan-perbandingan antar kedua Desa tersebut dapat diidentifikasi perbedaan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar antara Desa Cikarawang dan Purwasari. Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2013

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan juga data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dari hasil observasi langsung dilapang, wawancara langsung dengan petani maupun pengisian kuesioner. Data primer yang diambil meliputi : (1) profil rumah tangga petani responden, (2) data usahatani, meliputi ; jenis, jumlah, harga input dan output yang digunakan, (3) aset usahatani, pola dan intensitas tanam, (4) penggunaan tenaga kerja, (5) pendapatan petani dari usahatani, (6) teknologi yang digunakan dalam budidaya, dan (7) sistem pemasaran serta permodalan. Adapun data-data sekunder diproleh dari sumber-sumber yang relevan seperti buku, jurnal, dan data-data yang didapat dari dinas instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik, Perpusatakaan, serta bahan-bahan pustaka lainnya seperti internet dan hasil-hasil penelitian terdahulu.

Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data

Pengambilan responden dilakukan dengan metode simple random sampling.

(28)

16

tergabung di kelompok tani Hurip sedangankan di Desa Purwasari adalah semua petani yang tergabung di di kelompok tani Rawasari dengan pertimbangan kedua poktan tersebut sedang berusahatani ubi jalar. Total responden yang diwawancarai sebesar 40 petani, Pengambilan responden dari kedua Desa dilakukan secara proporsional. Total populasi petani ubi jalar dari Desa Cikarawang sebanyak 60 petani sehingga sampel yang diambil sebanyak 26 petani adapun dari Desa Purwasari total populasi petani ubi jalar sebanyak 30 orang sehingga sampel yang diambil sebanyak 14 petani. Adapun rumus pengambilan sampel sebagai berikut: Responden Cikarawang :

�� =

P1

P1 + P2 x 40

Responden Purwasari :

�� =

P2

P1 + P2 x 40

Keterangan : S1 = Sampel Petani Desa Cikarawang S2 = Sampel Petani Desa Purwasari P1 = Populasi Petani Desa Cikarawang P2 = Populasi Petani Desa Purwasari

Adapun metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan petani responden dengan bantuan kuesioner. Kuesioner tebagi menjadi dua bagian yaitu bagian A yang berisi pertanyaan berkaitan dengan rumah tangga petani dan bagian B yang berisi pertanyaan berkaitan dengan usahatani ubi jalar. Selain wawancara, informasi juga diperoleh melalui observasi dari penelitian terdahulu, buku, artikel, dan literatur jurnal sebagai kelengkapan penunjang penelitian ini.

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif, yang dilakuka secara komparatif yaitu dengan membandingkan data dari kedua desa yaitu Desa Cikarawang dan Desa Purwasari yang melakukan usahatani ubi jalar. Data yang diperoleh dari lapang diolah dengan analisis tingkat subsistensi usahatani. Analisis dilakukan dengan bantuan kalkulator, Microsoft Excell 2007 dan SPSS.

Analisis Tingkat Komersialisasi Usahatani

Analisis tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar diukur dengan indikator-indikator ekonomi. Indikator-indikator-indikator ekonomi tersebut adalah :

a. Rasio Komersialisasi Output (RKO)

Rasio komersialisasi output merupakan indikator yang mengukur tingkat komersialisasi usahatani berdasarkan perbandingan besar output yang dijual terhadap total output yang dihasilkan. Menurut kriteria ini bahwa usahatani komersial digambarkan dengan proporsi output usahatani yang dijual lebih besar daripada output yang dikonsumsi sendiri.

���= ����������������������

(29)

17 b. Rasio Upah Tenaga Kerja (RUTK)

Indikator selanjutnya untuk mengukur tingkat komersialisasi usahatani adalah rasio biaya upah tenaga kerja luar keluarga terhadap total biaya upah tenaga kerja. Suatu usahatani akan semakin komersil jika nilai rasio biaya upah tenaga kerja luar keluarga semakin besar karena usahatani yang komersil merupakan usahatani yang banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga.

����=�����������������������������

���������������������� c. Rasio Biaya Input Beli (RBIB)

Menurut indikator rasio biaya input beli tingkat komersialisasi usahatani diukur dari rasio biaya input yang dibeli terhadap total biaya input yang digunakan untuk berusahatani ubi jalar. Suatu usahatani yang komersial akan memiliki struktur biaya dengan proporsi biaya tunai input beli yang lebih besar daripada biaya yang diperhitungkannya.

����=�������������������������������������

���������������������������

d. Rasio Tingkat Pendapatan Tunai (RTPT)

Analisis tingkat komersialisasi usahatani diukur dengan rasio tingkat pendapatan tunai. Rasio ini adalah besar proporsi pendapatan tunai usahatani keluarga petani terhadap total pendapatan tunai keluarga petani dalam satu tahun. Suatu usahatani yang komersial akan memberikan kontribusi pendapatan yang besar kepada total pendapatan keluarganya. ����= ������������������������������

����������������������������������

Hasil persentase tingkat komersialisasi didapatkan dengan mengakumulasikan seluruh hasil dari setiap indikator kemudian secara sistematis dapat digolongkan menjadi 4 golongan:

a. Usahatani Subsisten (statis), dimana persentase tingkat komersialisasinya sebesar 0-25%

b. Usahatani Semi Subsisten mengarah ke subsisten (transisi-statis), dimana persentase tingkat komersialisasinya sebesar 25-50%

c. Usahatani Semi Subsisten mengarah ke komersial (transisi-dinamis), dimana persentase tingkat komersialisasinya sebesar 50-75%

d. Usahatani Komersial (dinamis), dimana persentase tingkat komersialisasinya sebesar 75-100%.

Analisis Struktur Biaya Usahatani

(30)

18

Dalam pengklasifikasian suatu usahatani kepada subsisten atau komersial struktur biaya menjadi indikator untuk melihat tingkat komersialisasi dari segi intensifitas usahatani. Intensifitas usahatani ini dilihat dari adopsi teknologi pada usahatani dan penggunaan tenaga kerja usahatani. Pada luasan lahan dan komoditi yang sama suatu usahatani yang tinggi tingkat komersialisasinya akan banyak mengeluarkan biaya untuk melakukan usahatani dengan teknologi yang intensif. Menurut Hernanto (1996) bentuk-bentuk teknologi tersebut dapat berupa cara budidaya yang lebih baik, introduksi teknologi kimia seperti pupuk dan pestisida, introduksi teknologi biologis seperti bibit-bibit unggul dan introduksi teknologi mekanis meliputi alat-alat pertanian yang dapat mereduksi tenaga kerja. Kemudian dari sisi penggunaan tenaga kerja, usahatani yang lebih komersil akan lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga dari pada tenaga kerja dalam keluarga yang mana hal ini akan mempengaruhi struktur biaya usahatani. Model Regresi Berganda

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan model regresi berganda. Variabel dependen (Y) adalah tingkat komersialisasi usahatani. Variabel independen (X) adalah karakteristik petani responden yang terdiri dari luas pengusahaan lahan (X1), umur (X2), pengalaman (X3), tanggungan keluarga (X4), tingkat pendidikan (X5), harga jual output (X6). dan Dummy Desa (X7).

Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Penjelasan lebih lengkap yaitu melalui pendekatan statistik dalam hubungan antara X dan Y. Dengan demikian, metode penduga yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS). Metode ini digunakan untuk menguji nilai F-hitung, t-hitung dan R2. Oleh karena itu, kelayakan model tersebut akan diuji berdasarkan asumsi OLS, meliputi multikolinieritas, homoskedastisitas dan normalitas error. Apabila asumsi tersebut dapat dipenuhi maka koefisien regresi (parameter) yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias (Gujarati, 1999).

Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C)

Analisis R/C rasio digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usaha. R/C rasio ini menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan. Analisis R/C Rasio juga dibedakan menjadi R/C Rasio Tunai dan R/C Rasio Total.

R/C Rasio Tunai = ����� ����������

����� ����� �����

R/C Rasio Total = ����� ����������

����� �����

Menurut Soekartawi (2006), analisis R/C Rasio dapat juga dirumuskan sebagai berikut :

(31)

19 a = ��.�

��+��

Keterangan :

a : Analisis Rasio (R/C) R : Penerimaan

C : Biaya

Py : Harga Output Y : Output

FC : Biaya Tetap (Fixed Cost)

VC : Biaya Variabel (Variable Cost)

Menurut Hernanto (1989), analisis R/C Rasio digunakan untuk menganalisis usahatani dalam periode tertentu. Apabila dari hasil perhitungan R/C didapatkan nilai lebih dari 1, berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada setiap satuan biaya yang dikeluarkan, atau dengan kata lain usahatani yang dilakukan meenguntungkan. Sedangkan apabila R/C rasio bernilai kurang dari 1, maka penerimaan yang diperoleh lebih kecil dari tiap biaya yang dikeluarkan, hal ini berarti usaha yang dijalankan tidak menguntungkan.

Dalam penelitian ini besar R/C rasio usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang akan dibandingkan dengan besar R/C rasio usahatani ubi jalar di Desa Purwasari. Perbandingan ini bertujuan untuk mengetahui apakah tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar yang berbeda pada kedua desa akan mempengaruhi keuntungan usahatani yang didapatkan.

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Karakteristik Wilayah

Letak dan Luas Wilayah Desa Cikarawang dan Desa Purwasari

Desa Cikarawang terletak dalam wilayah administratif Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Batas-batas wilayah Desa Cikarawang adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : Sungai Cisadane Sebelah selatan : Sungai Ciapus

Sebelah barat : Sungai Ciaduan (pertemuan Sungai Ciapus dan Cisadane) Sebelah timur : Kelurahan Situ Gede

Secara geografis jarak Desa Cikarawang ke pusat Kecamatan Dramaga sekitar 5 km. Adapun jarak Desa Cikarawang ke pusat Kota Bogor sekitar 9.5 km. Luas wilayah Desa Cikarawang adalah 250 654 ha.

Desa Purwasari juga terletak dalam wilayah administratif Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara geogrrafi jarak Desa Purwasari ke pusat Kecamatan Dramaga sekitar 10 km dan jarak ke pusat Kota Bogor sejauh 14 km. Desa Purwasari berbatasan dengan Desa Petir di sebelah utara dan timur, dan Desa Sukajadi di sebelah selatan sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Situ Daun. Luas wilayah Desa Purwasari yaitu 211016 ha.

(32)

20

Karakteristik Petani Responden

Petani responden dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan kegiatan usahatani ubi jalar di dua desa yaitu Desa Purwasari dan Desa Cikarawang serta telah melaksanakannya minimal selama satu musim terakhir pada tahun 2013. Petani responden berjumlah 40 petani. Pada penelitian ini karakteristik petani responden terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusahatani, luas pengusahaan lahan, status usaha dan status kepemilikan lahan.

Tabel 3 menjelaskan perbandingan karakteristik petani responden antara Desa Cikarawang dan Desa Purwasari. Penjelasan mengenai perbandingan karakteristik petani responden untuk mendeskripsikan pengaruh yang didapatkan akibat dari perbedaan dua desa antara Desa Cikarawang dengan Desa Purwasari terhadap akses fasilitas ekonomi yang akan menentukan tingkat komersialisasi.. Desa Cikarawang memiliki akses fasilitas ekonomi yang lebih dekat karena lokasinya yang dekat dengan kota Bogor. Adapun Desa Purwasari jauh dari akses fasilitas ekonomi yang tersedia di kota. Dari 7 karakteristik yang diperbandingkan tidak seluruhnya dapat menjelaskan dampak dari perbedaan lokasi kedua desa terhadap akses fasilitas ekonomi di kota.

Pada wilayah Desa Cikarawang petani responden memiliki umur rata-rata 54 tahun dengan kisaran 30 sampai 75 tahun. Adapun di wilayah Desa Purwasari rata-rata umur responden sebesar 46 tahun dengan kisaran 30 sampai 72 tahun. Rata-rata umur Desa Cikarawang lebih tua daripada Desa Purwasari. Perbedaan karakteristik umur petani responden pada kedua desa secara deskriptif tidak menjeaskan pengaruh yang ditimbulkan akibat perbedaan desa terhadap akses fasilitas ekonomi.

Adapun untuk karakteristik tingkat pendidikan petani Desa Cikarawang memiliki persentase tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Purwasari. Petani responden Desa Cikarawang yang tamat SMA dan SMP berturut-turut adalah sebanyak 23.08 persen dan 19.23 persen sedangkan di Desa Purwasari berturut-turut sebanyak 7.14 persen dan 14.29 persen. Bedasarkan data tersebut membuktikan bahwa secara deskriptif perbedaan jarak akses suatu desa terhadap fasilitas ekonomi di kota mempengaruhi tingkat pendidikan sebagai karakteristik petani. Namun, baik di Desa Cikarawang mauun Purwasari tidak ada petani responden di kedua Desa yang sampai pada tingkat pendidikan ketegori Diploma, Sarjana, dan Pasca Sarjana.

(33)

21 Pengalaman petani responden yang paling rendah adalah dua tahun, sedangkan pengalaman paling lama pada petani responden adalah 60 tahun. Petani di Desa Cikarawang memiliki pengalaman berusahatani ubijalar rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Purwasari yaitu berturut-turut sebesar 28.27 tahun dan 18.57 tahun. Secara deskriptif perbedaan karakteristik pengalaman petani responen pada kedua desa tidak menjeaskan pengaruh yang ditimbulkan akibat perbedaan desa terhadap akses fasilitas ekonomi.

Tabel 3 Karakteristik petani responden di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Uraian Desa

Orang Persentase (%)

Tidak Tamat SD/Sederajat Tamat SD/Sederajat Luas Pengusahaan Lahan (m2)

< 1000 Status Usaha Ubi Jalar

Usaha Utama

(34)

22

Desa Cikarawang maupun Desa Purwasari ada pada kisaran 1 000 m2 sampai kurang dari 3 000 m2 yaitu berturut-turur sebesar 73 persen dan 78.57 persen. Kisaran luas pengusahaan lahan 3 000 m2 sampai 5 000 m2 sebesar 23.07 persen untuk Desa Cikarawang dan 7.14 persen untuk Desa Purwasari. Adapun petani yang berusahatani ubi jalar dengan luas lahan lebih dari 5 000 m2 hanya ada di Desa Cikarawang yaitu sebesar 3.83 persen. Ada hal yang menarik pada karakteristik luas pengusahaan lahan yaitu suatu desa yang memiliki akses yang dekat kepada fasilitas ekonomi akan meningkatkan komersialisasi bisnis suatu usahatani yang berdampak pada luas pengusahaan lahan. Hal ini terlihat pada Desa Cikarawang yang memiliki akses fasilitas ekonomi yang lebih dekat daripada Desa Purwasari mempengaruhi luas pengusahaan lahan ubi jalar.

Perbedaan kedua desa terhadap akses fasilitas ekonomi mendeskripsikan pengaruh terhadap karakteristik status usaha ubi jalar petani responden. Pada Desa Cikarawang akses fasilitas ekonomi seperti akses yang lebih dekat kepada pasar di Kota Bogor daripada Desa Purwasari membuat usahatani ubijalar merupakan salah satu bisnis yang menjadi pilihan utama bagi petani. Hal ini terlihat pada persentase petani Desa Cikarawang yang menjadikan pekerjaan berusahatani ubi jalar sebagai mata pencaharian utama yaitu sebesar 69.23 persen lebih besar daripada Desa Purwasari yaitu sebesar 57.14 persen. Adapun petani yang menjadikan pekerjaan usahatani ubi jalar sebagai pekerjaan sampingan sebesar 30.77 persen untuk Desa Cikarawang lebih kecil dari 42.86 persen untuk Desa Cikarawang. Bagi petani responden yang menjadikan pekerjaan usahatani ubi jalar sebagai pekerjaan sampingan pekerjaan utamnya diantaranya sebagai supir angkot, buruh tani, dan pedagang.

Status kepemilikan lahan responden Desa Cikarawang dan Purwasari terbagi menjadi dua, yaitu lahan milik sendiri dan lahan garap. Pada umumnya baik petani responden di Desa Cikarawang maupun Purwasari kepemilikan lahan merupakan lahan milik sendiri yaitu berturut-turut sebanyak 96.15 persen dan 92.86 persen. Adapun sisanya status kepemilikan lahan merupakan lahan garap.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Biaya Usahatani Ubi Jalar

(35)

23 Tabel 4 Struktur biaya usahatani ubi jalar per hektar per musim di Desa

Cikarawang dan Desa Purwasari

Biaya Usahatani Cikarawang Purwasari Rupiah

Biaya irigasi dan pajak PBB tidak dimasukkan dalam komponen biaya tunai

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa Desa Cikarawang memiliki tingkat komersialisasi yang lebih tinggi dibandingkan Desa Purwasari jika dilihat dari penggunaan atau adopsi teknologi dalam berusahatani. Introduksi teknologi pupuk lebih intensif dilakukan petani di Desa Cikarawang daripada petani di Desa Purwasari dilihat dari proporsi biaya pupuk dan pestisida. Proporsi biaya pupuk dan pestisida di Desa Cikarawang sebesar 24.34 persen sedangkan di Desa Purwasari sebesar 10.94 persen. Pupuk yang digunakan dalam usahatani ubi jalar di kedua desa terbagi menjadi dua yaitu pupuk organik dan pupuk non organik. Pupuk organik yang digunakan berupa pupuk kandang adapun pupuk non organik yang digunakan diantaranya adalah urea, TSP, KCL, NPK, dan pupuk daun.

Adapun proporsi biaya yang dikeluarkan untuk introduksi teknologi mekanis dilihat dari besar biaya penyusutan alat-alat pertanian. Introduksi teknologi mekanis lebih banyak dilakukan petani di Desa Cikarawang daripada petani di Desa Purwasari dengan proporsi biaya sebesar 7 persen untuk Desa Cikarawang dan 3 persen untuk Desa Purwasari. Hal ini menunjukkan usahatani di Desa Cikarawang lebih komersil daripada usahatani di Desa Purwasari karena memiliki intensifitas teknologi yang lebih tinggi.

Selain dilihat dari adopsi teknologi usahatani, intensifitas usahatani juga dilihat dari penggunaan tenaga kerja. Berdasarkan Tabel 4 proporsi biaya tunai yang dikeluarkan petani di Desa Cikarawang untuk tenaga kerja luar keluarga lebih besar daripada proporsi biaya diperhitungkan untuk tenaga kerja dalam keluarga. Adapun di Desa Purwasari sebaliknya penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih banyak daripada tenaga kerja luar keluarganya. Hal ini mendeskripsikan bahwa usahatani di Desa Cikarawang lebih komersil karena dilakukan lebih intensif daripada usahatani di Desa Purwasari.

(36)

24

Biaya irigasi dan pajak PBB tidak dimasukkan dalam komponen biaya tunai dikarenakan biaya irigasi dan biaya pajak PBB bukan kriteria untuk melihat perbedaan tingkat komersialisasi suatu usahatani pada struktur biaya usahatani. Biaya irigasi di Desa Cikarawang sebesar Rp 19 231 adapun di Desa Purwasari tidak ada biaya irigasi yang berarti bahwa irgasi di Desa Purwasari tidak dikelola dengan baik sehingga infrastruktur irigasi di Desa Cikarawang lebih baik daripada infrastruktur irigasi di Desa Purwasari. Adapun biaya pajak PBB di Desa Cikarawang sebesar Rp 319 679 lebih besar daripada biaya pajak PBB di Desa Purwasari sebesar Rp 237 798 hal ini dikarenakan lokasi Desa Cikraawang merupakan daerah komersil karena lebih dekat dengan Kota Bogor.

Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi jalar

Pengukuran tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar pada Desa Cikarawang dan Purwasari menggunakan beberapa indikator yaitu rasio komersialisasi output, rasio biaya input beli, rasio upah tenaga kerja luar keluarga, dan rasio tingkat pendapatan usahatani. Besar tingkat komersialisasi adalah hasil rata-rata dari keseluruhan indikator-indikator yang telah dihitung. Adapun hasil rasio dari masing-masing indikator dan besar tingkat komersialisasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Rasio komersialisasi output merupakan indikator yang mengukur tingkat komersialisasi usahatani berdasarkan perbandingan besar output yang dijual terhadap total output yang dihasilkan. Jika dilihat dari tujuan produksi dalam usahatani ubi jalar antara Desa Cikarawang dan Purwasari tidak ada perbedaan. Kebanyakan hasil usahatani ubi jalar di dua desa tersebut untuk dijual daripada dikonsumsi sendiri karena ubi jalar bukanlah makanan pokok bagi kedua desa tersebut melainkan beras. Selain itu, motivasi petani untuk menjual hasil usahatani adalah permintaan pasar yang selalu ada disetiap harinya untuk komoditi ubi jalar yang akan dijadikan makanan cemilan atau olahan. Berdasarkan Tabel 5 besar rasio output yang dijual terhadap total produksinya di Desa Cikarawang sebesar 99.73 persen adapun pada Desa Purwasari sebesar 97.44 persen. Berdasarkan rasio ini mengindikasikan bahwa kedua desa telah melakukan usahatani yang komersil karena menjual hasil outputnya lebih banyak daripada output yang dikonsumsi sendiri.

Tabel 5 Analisis tingkat komersialisasi usahatani dilihat dari rasio indikator-indikator tingkat komersialisasi usahatani antara Desa Cikarawang dan Purwasari

(37)

25 Menurut indikator rasio biaya input beli tingkat komersialisasi usahatani diukur dari rasio biaya input yang dibeli terhadap total biaya input yang digunakan unuk berusahatani ubi jalar. Tingkat komersialisasi akan semakin tinggi jika nilai rasio biaya input beli dalam usahatani semakin besar karena dalam kriteria ini suatu usahatani komersial adalah suatu usahatani yang faktor inputnya lebih banyak dibeli daripada milik sendiri atau segalanya yang berasal dari bukan beli. Dari hasil yang tertera pada Tabel 5 bahwa besar nilai rasio biaya input beli untuk Desa Purwasari sebesar 38.37 persen lebih rendah dibandingkan Desa Cikarawang yang memiliki rasio sebesar 57.04 persen. Berdasarkan hasil yang didapatkan dari indikator rasio biaya input beli corak usahatani Desa Cikarawang lebih komersil dibandingkan dengan Desa Purwasari.

Indikator selanjutnya untuk mengukur tingkat komersialisasi usahatani adalah rasio biaya upah tenaga kerja luar keluarga terhadap total biaya upah tenaga kerja. Suatu usahatani akan semakin komersil jika nilai rasio biaya upah tenaga kerja luar keluarga semakin besar karena usahatani yang komersil merupakan usahatani yang banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Berdasarkan Tabel 5 besar rasio upah tenaga kerja luar keluarga di Desa Cikarawang sebesar 51.11 persen lebih besar daripada Desa Purwasari sebesar 47.54 persen. Hal ini menunjukkan bahwa corak usahatani Desa Cikarawang lebih komersial dibandingkan dengan Desa Purwasari. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa salah satu kriteria dari petani kecil adalah banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga daripada menggunakan tenaga kerja luar keluarga seperti yang dilakukan oleh petani Desa Purwasari.

Salah satu indikator yang dapat menjadi ukuran tingkat komersialisasi suatu usahatani adalah rasio tingkat pendapatan usahatani terhadap total pendapatan rumah tangga petani. Tingkat komersialisasi usahatani akan semakin tinggi seiring semakin besarnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total pendapatan rumah tangga. Dalam penelitian ini besarnya pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan yang dihasilkan selama satu tahun dan dibandingkan dengan pendapatan usahatani selama dua musim dengan asumsi 1 tahun ada dua musim tanam dan menghasilkan pendapatan yang sama tiap musimnya. Hasil perhitungan membuktikan bahwa besar rasio tingkat pendapatan usahatani untuk Desa Cikarawang sebesar 34.47 persen lebih tinggi daripada Desa Purwasari yang memiliki rasio sebesar 16.09 persen sehingga corak usahatani Desa Cikarawang lebih komersil dibandingkan dengan Desa Purwasari.

(38)

26

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi Jalar

Pada penelitian ini analisis keseluruhan variabel menggunakan metode analisis regresi berganda. Adapun variabel-variabel yang dianalisis untuk dilihat pengaruhnya terhadap tingkat komersialisasi usahatani merupakan karakteristik petani responden yaitu luas pengusahaan lahan (X1), umur (X2), pengalaman (X3), tanggungan keluarga (X4), tingkat pendidikan (X5), harga jual output (X6). dan Dummy (X7). Data-data primer dari masing-masing variabel baik dependen maupun independen pada dinormalisasikan terlebih dahulu bertujuan untuk menyetarakan satuan antar variabel setelah itu diolah dengan regresi linear berganda. Hasil pendugaan fungsi regresi terhadap tingkat komersialisasi usahatani dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pendugaan model fungsi regresi terhadap tingkat komersialisasi usahatani

Variabel Koefisien Regresi

Koefisien Simpangan

Baku

T-Hitung P-Value

Konstanta 38.938 13.473 2.890 0.007 Luas Pengusahaan Lahan (X1) 28.728 9.374 3.065 0.004 Umur (X2) -0.042 0.205 -0.204 0.840 Pengalaman (X3) 0.017 0.167 0.104 0.918 Tanggungan Keluarga (X4) -3.161 1.402 -2.255 0.031 Pendidikan (X5) 0.875 1.919 0.456 0.652 Harga Jual Output (X6) 11.880 6.054 1.962 0.048 Dummy (X7) 2.469 4.049 0.610 0.546

R-sq = 53.1%

R-sq (adj) = 42.9%

α = 5%

F hit = 5.18

F tabel = 2.34

Berdasarkan Tabel 6, hasil pendugaan model fungi regresi tingkat komersialisasi menunjukkan bahwa nilai F-hitung sebesar 5.18 nilai ini lebih besar daripada nilai F-tabel yaitu 2.34. Kondisi ini menjelaskan bahwa model layak digunakan. Selain uji F kelayakan model fungsi dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 53.1 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) tersebut memiliki arti bahwa 53.1 persen pengaruh tingkat komersialisasi usahatani dijelaskan oleh modeldugaan yang diperoleh, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Hal ini menyimpulkan bahwa ada faktor-faktor lain diluar model yang dapat mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani.

(39)

27 Luas lahan hingga saat ini menjadi isu strategis dalam pengembangan pertanian Indonesia. Besar kecilnya luas pengusahaan lahan sangat mempengaruhi tingkat komersialisasi yang berdampak pada pendapatan usahatani. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa luas pengusahan lahan merupakan variabel yang memiliki korelasi tertinggi terhadap tingkat komersialisasi. Berdasarkan hasil statistik variabel luas pengusahaan lahan memiliki nilai korelasi yang positif yaitu sebesar 28.73 yang menyatakan bahwa semakin besar luas lahan yang ditanami ubi jalar maka akan semakin besar tingkat komersialisasinya dimana peningkatan luas lahan sebesar 1 ha akan meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani sebesar 28.73 persen dengan asumsi semua variabel lain tetap (ceteris paribus).

Pengaruh luas lahan yang ditanami ubi jalar signifikan terhadap tingkat komersialisasi ubi jalar dengan besar P-valuenya 0.004 (0.4 persen) yang kurang dari taraf nyata 5 persen karena luas lahan menjadi faktor penentu dalam keputusan untuk meningkatkan penjualan hasil panen dari produksi usahatani ubi jalar.

Semakin luas lahan yang ditanami ubi jalar akan meningkatkan proporsi output yang dijual setelah kebutuhan konsumsi sendiri untuk rumah tangga petani terpenuhi. Kemudian jika dilihat dari penggunaan input semakin luas lahan ubi jalar maka penggunaan input semakin meningkat pula. Peningkatan penggunaan input mendorong petani untuk membeli input modern untuk menghasilkan produksi yang optimal sehingga meningkatkan rasio biaya input beli. Pada penggunaan tenaga kerja juga akan meningkat seiring dengan peningkatan luas lahan. Sumber daya manusia dalam keluarga yang dimiliki petani terbatas maka penggunaan tenaga kerja luar keluarga akan semakin besar sehingga berimplikasi dalam meningkatnya rasio upah tenaga kerja luar keluarga. Oleh sebab itu peningkatan luas lahan ubi jalar dapat meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar berdasarkan pengaruhnya yang terjadi pada indikator-indikator tingkat komersialisasi usahatani.

Gambar

Tabel 1  Perkembangan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan dan alokasi
Tabel 2  Perkembangan luas  panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar di Indonesia tahun 2008-2013a)
Gambar 2 Kerangka Operasional
Tabel 3  Karakteristik petani responden di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari
+4

Referensi

Dokumen terkait

Desa Prangat Baru juga memiliki beberapa lahan yang ditujukan untuk.. keperluan khusus, di antaranya adalah lahan pekarangan seluas delapan puluh

yaitu 9,653 &gt; 1,980 diterima pada taraf signifikansi 5%. Semakin tinggi motivasi kerja yang dimiliki karyawan maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja yang

Steinberg, (1993: 296) menyatakan bahwa para peneliti melihat ada tiga domain kemandirian perilaku pada remaja, yaitu: (1) changes in decision-making abilities yaitu

dalam bentuk perumpamaan atau analog dengan sesuatu yang konkret yang.. telah diketahui secara yakin sehingga lebih mengena dan lebih

dikembangkan adalah mengidentifikasi masalah, faktor penyebab, alternatif solusi, dan konsekuensi) Consultation (konselor berkonsultasi dengan guru, orang tua, kepala sekolah,

Simpulan penelitian ini adalah pendekatan kontekstual dengan media kartu warna dapat meningkatkan keterampilan guru, aktivitas siswa, dan keterampilan menulis pantun

the Charlotte Bronte’s Jane Eyre and social background of English society at. the first half of the 19 th

mencari hadis untuk menetapkan suatu hukum. Mereka cukup dengan kitab-kitab muktabarah dan tidak menelusurinya sampai kepada nas Alquran dan Hadis, kecuali