• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI PUPUK ORGANIK DARI PENGOLAHAN LIMBAH

RUMINANSIA BESAR DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

DENGAN CACING TANAH

HESTI DINNI OKTAVIANTI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Hesti Dinni Oktavianti

(4)
(5)

ABSTRAK

HESTI DINNI OKTAVIANTI. Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah. Dibimbing oleh HOTNIDA CH SIREGAR dan SALUNDIK

Limbah RPH dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan. Maka dari itu, pengolahan limbah menjadi suatu produk perlu dilakukan, misalnya produk vermikompos. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi produksi pupuk organik dari pengolahan limbah RPH oleh cacing tanah sebagai dekomposernya. Selain itu, penelitian ini juga untuk menganalisis potensi dalam aplikasinya di bidang perkebunan dan pertanian. Penelitian dilaksanakan di Jalan Perwira No 89, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang mencakup data pemeliharaan cacing tanah, data statistik jumlah ternak yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan, luas areal tanaman sawit di perkebunan rakyat dan perkebunan besar, serta luas panen padi. Peubah yang diamati adalah populasi cacing, jumlah limbah RPH, kecukupan pakan cacing, jumlah pupuk organik, kebutuhan pupuk organik sawit dan padi. Pemodelan ARIMA dilakukan untuk memperoleh kurva laju pertambahan produksi pupuk organik dan analisis regresi untuk memperoleh persamaan kebutuhan pupuk organik sawit tiap tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa feses dan isi rumen sapi di RPH seluruh Indonesia mampu menghasilkan 43 107.84 ton pada tahun 2013 dan cacing mampu menghasilkan 1 436.93 ton biomassa cacing tanah, serta dan 28 020.09 ton vermikompos. Produksi vermikompos dari limbah RPH tahun 2013-2014 jauh lebih rendah dari kebutuhan perkebunan sawit, namun mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan lahan sawah.

Kata kunci: cacing tanah, padi, pupuk organik, sawit

ABSTRACT

HESTI DINNI OKTAVIANTI. Production of Organic Fertilizers of Large Ruminant Waste Treatment in Slaughterhouse with Earthworm. Supervised by HOTNIDA CH SIREGAR and SALUNDIK

(6)

get the equation of organic fertilizer needs of palm year-1. The results showed that the faeces and rumen contents of cattle in slaughterhouses throughout Indonesia is able to produce 43 107.84 tonnes in 2013 and worms capable of producing 1 436.93 tons of biomass earthworms and vermicompost and 28 020.09 tonnes. Vermicompost production of slaughterhouse waste in 2013-2014 was much lower than the needs of oil palm plantations, but is able to fill about 50% of the field.

(7)

PRODUKSI PUPUK ORGANIK DARI PENGOLAHAN LIMBAH

RUMINANSIA BESAR DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

DENGAN CACING TANAH

HESTI DINNI OKTAVIANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah

Nama : Hesti Dinni Oktavianti NIM : D14110040

Disetujui oleh

Ir Hotnida CH Siregar, MSi Pembimbing I

Dr Ir Salundik, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Irma Isnafia Arief, SPt, MSi Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Mei 2015 ini ialah Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada pembimbing Ibu Ir Hotnida CH Siregar, MSi dan Bapak Dr Ir Salundik, MSi atas waktu, tenaga, saran, dan bimbingan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir Komariah, MSi selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukkan yang bermanfaat bagi Penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Adik, dan Adi Satria atas segala doa, kasih sayang dan bantuannya. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada teman satu tim penelitian atas kerja sama dan dukungannya Rina Tri Astuti dan teman-teman IPTP 48 yang telah mendukung selama penelitian. Terima kasih juga kepada Pemerintah atas beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) yang diberikan selama masa kuliah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Hesti Dinni Oktavianti

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

METODE 3

Lokasi dan Waktu Penelitian 3

Bahan 3

Alat 3

Prosedur 3

Pemeliharaan Cacing Tanah 3

Pengumpulan Data 4

Peubah yang Diamati 4

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Populasi Cacing 6

Limbah RPH dan Daya Tampung 7

Jumlah Pupuk Organik 8

Kebutuhan Pupuk Organik Sawit 9 Kebutuhan Pupuk Organik Padi 10

SIMPULAN DAN SARAN 11

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 15

(14)

1

DAFTAR TABEL

1 Pertambahan populasi cacing L. rubellus selama setahun 6 2 Jumlah feses dan isi rumen dari limbah RPH di Indonesia 7 3 Kebutuhan pupuk organik pertanian padi 10

DAFTAR GAMBAR

1 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia 8 2 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia dan proyeksinya

sepuluh tahun ke depan

9 3 Kurva produksi pupuk organik, kebutuhan pupuk organik sawit di

perkebunan rakyat dan besar

10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produksi pupuk organik dari limbah feses sapi dan rumen RPH di Indonesia

15 2 Kebutuhan pupuk organik untuk sawit di perkebunan rakyat dan

perkebunan besar

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumah Pemotongan Hewan berdasarkan Permentan No 13 tahun 2010 merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum (Kementan 2010). Limbah yang dihasilkan dari RPH berupa limbah padat meliputi rumput sisa pakan, kotoran sapi, dan isi rumen, sedangkan limbah cair meliputi air pembersih ruang potong, air pembersih intestinal, air pembersih kandang ternak, dan darah. Limbah-limbah ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan terutama penurunan kualitas air dan udara karena berpotensi memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggapi ini adalah dengan pengadaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), namun hingga saat ini pelaksanaannya masih belum maksimal seperti di RPH Pegirian Surabaya yang limbahnya masih menimbulkan bau yang bahkan sampai mengganggu tempat wisata Sunan Ampel (Halwan 2015). Selain itu, ketidakmaksimalan ini juga disebabkan oleh keterbatasan dana anggaran bantuan seperti RPH Tembus Mantuil Banjarmasin sehingga RPH ini tidak memiliki IPAL dan limbahnya dibuang ke drainase yang terhubung dengan sungai yang dipakai warga untuk kebutuhan sehari-hari (Fud 2015).

Masalah-masalah serius yang timbul dari limbah ini perlu diantisipasi dengan alternatif penanganan limbah tersebut, salah satunya adalah dengan diolah menjadi pupuk organik misalnya vermikompos. Cara pengolahan vermikompos dengan bantuan cacing tanah sehingga selain dampaknya untuk mengurangi masalah lingkungan juga dapat memberikan nilai tambah untuk RPH tersebut yaitu dengan dihasilkannya vermikompos dan cacing tanah. Jumlah ternak sapi yang dipotong di RPH setiap tahunnya dapat mencapai angka di atas satu juta sehingga dapat dijadikan pemicu dengan limbah yang dihasilkannya untuk produksi pupuk organik dan budidaya cacing tanah.

Selama ini, masih banyak masyarakat yang menggunakan pupuk kimia pada tanamannya. Padahal menurut Sutanto (2002), pertanian yang bergantung pada bahan kimia dapat meningkatkan kerusakan atau degradasi yang terjadi di permukaan bumi, seperti desertifikasi, penurunan keragaman hayati, salinitas, penurunan kesuburan tanah, akumulasi senyawa kimia di dalam tanah maupun perairan, dan erosi sehingga penggunaan pupuk organik dapat dijadikan solusi untuk mengatasi degradasi tersebut.

(16)

2

olahannya berupa minyak kelapa sawit yang merupakan produksi perkebunan terbesar di Indonesia yang selama ini dalam sistem pemupukannya menggunakan pupuk anorganik, serta dapat diaplikasikan di lahan padi yang merupakan penghasil pangan pokok yang sekarang ini sering menggunakan pupuk anorganik dan diharapkan dapat menghasilkan beras organik untuk mendukung program Go Organic. Hal ini dikarenakan pupuk organik dapat mengembalikan kesuburan tanah.

Cacing tanah merupakan hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) yang banyak ditemukan di permukaan tanah hingga di dalam tanah. Ada beberapa jenis cacing tanah yang banyak dibudidayakan di berbagai negara yaitu Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, Pheretima asiatica, dan Eudrellus eugeniae. Di Indonesia, jenis L. rubellus banyak dibudidayakan dan dianggap memiliki produtivitas yang tinggi, jumlah kokonnya paling banyak dibandingkan dengan cacing lain yaitu sebesar 106 kokon cacing-1 tahun-1 (Edwards dan Lofty 1977). Cacing L. rubellus

sering digunakan sebagai dekomposer karena berdasarkan penelitian dari Anwar (2009), cacing ini relatif lebih efektif dibandingkan dengan Pheretima hupiensis

maupun Eudrellus sp. dalam mendekomposisi bahan organik. Vermikompos hasil dekomposisi cacing L. rubellus memiliki kandungan C/N yang paling mendekati 30 yang menunjukkan tingkat kematangan paling tinggi dibanding kedua spesies lainnya pada waktu pengomposan yang sama. Cacing L. rubellus dapat menekan proses dekomposisi lebih lanjut oleh mikroba terhadap vermikompos, sehingga hara yang terdapat dalam vermikompos dapat dipertahankan. Cacing ini diklasifikasikan ke dalam Filum Annelida, Kelas Oligochaeta, Ordo Opisthophora, Famili Lumbricidae, Genus Lumbricus dan Spesies L. rubellus (Sugiri 1988). Menurut Brata (2009), L. rubellus memiliki warna merah seragam, letak klitelum pada segmen 27-32, jumlah segmen antara 90-150, dan panjang dapat mencapai 7-15 cm.

Permintaan cacing tanah di pasaran sangat tinggi karena selain menghasilkan pupuk organik, cacing tanah memiliki kegunaan sebagai pakan ikan, pakan burung, pakan unggas, obat, kosmetik, makanan, dan minuman. Menurut beberapa pembudidaya cacing tanah di Jawa Barat, permintaan cacing untuk memenuhi kebutuhan produk kesehatan dan kosmetik mencapai 20 ton bulan-1, serta permintaan tertinggi datang dari luar negeri seperti dari Malaysia, Tiongkok, dan Korea Selatan (Infoloka 2015). Pembudidaya cacing di Jawa Timur mampu menghasilkan 7 ton bulan-1 dan memiliki omset sekitar Rp 300 juta dengan memasok cacing tersebut ke Dinas Perikanan Provinsi Jatim, tempat pemancingan, dan pengusaha perikanan (Marantina 2014). Menurut hasil penelitian, penggunaan cacing tanah di bidang peternakan dalam fungsinya sebagai pakan ayam pedaging yang berdasarkan penelitian Resnawati (2005), penggunaan tepung cacing tanah taraf 15% dalam ransum memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan, bobot karkas, bagian potongan karkas, dan organ dalam ayam pedaging, serta menurut Damayanti et al.

(17)

3

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis potensi produksi pupuk organik dari pengolahan limbah RPH oleh cacing tanah sebagai dekomposernya. Penelitian ini juga untuk menganalisis potensi dalam aplikasinya di bidang perkebunan dan pertanian.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang didapatkan dari pemeliharaan cacing tanah, Badan Pusat Statistik, artikel, dan internet. Data sekunder meliputi data statistik pemotongan ternak RPH, luas areal tanaman sawit di perkebunan rakyat dan perkebunan besar, serta luas panen padi.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Jalan Perwira No 89, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan bulan April sampai Mei 2015.

Bahan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Bahan yang digunakan dalam data primer adalah cacing tanah, vermikompos, serta limbah feses dan rumen sapi, sedangkan data sekunder diambil dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistik, artikel, dan internet. Data yang dianalisis adalah data statistik jumlah ternak yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan tahun 2000-2013, luas areal tanaman sawit perkebunan rakyat dan perkebunan besar tahun 2000-2013, serta luas panen padi tahun 2013-2014.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipa berukuran panjang 20 cm dan diameter 4 inci sebanyak 20 buah sebagai wadah cacing pemeliharaan, timbangan digital, gunting, plastik untuk menutup bagian bawah pipa, lakban untuk mengikatnya, dan alat tulis. Peralatan yang digunakan untuk mengolah data hasil penghitungan adalah komputer. Pengolahan data akan dibantu dengan menggunakan perangkat lunak statistik EViews 8 dan Microsoft Excel.

Prosedur

Pemeliharaan Cacing Tanah

(18)

4

5, 10, dan 15 kali bobot badan cacing tanah dengan masing-masing 5 ulangan. Selanjutnya, diamati waktu yang dibutuhkan cacing tanah untuk merombak campuran pakan tersebut menjadi vermikompos setiap 24 jam.

Pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penghitungan penyusutan media yang didapat dari data pemeliharaan cacing tanah. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, artikel, dan internet. Pemasokan data dan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan EViews 8. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk tulisan hasil dan pembahasan.

Peubah yang Diamati

Populasi Cacing L. rubellus. Populasi cacing L. rubellus adalah jumlah cacing yang

dihasilkan tahun-1 dengan asumsi mortalitas 2% bulan-1 dan dewasa kelamin 3 bulan (Sihombing 1999), serta pada jenis pakan campuran cacahan batang pisang dan kotoran sapi menghasilkan 6 juvenil (anak cacing) kokon-1 bulan-1 (Samosir 2000), pakan kotoran sapi menghasilkan 4.26 juvenil kokon-1 bulan-1, pakan kelinci menghasilkan 4.31 juvenil kokon-1 bulan-1 (Nuh 2000), dan campuran ampas tahu dan serbuk sabut kelapa menghasilkan 4.24 juvenil kokon-1 bulan-1 (Agustina 2002). Populasi cacing didapatkan dengan rumus :

Jumlah Cacing Tanah = {(∑ induk cacing tanah bulan ke-i x ∑ juvenil) + (∑ juvenil bulan ke-i)} x (100% - 2%)

Keterangan : i = 12 2% = mortalitas

Jumlah Limbah RPH. Jumlah limbah RPH adalah jumlah feses dan rumen yang dihasilkan dari sapi yang dipotong di RPH dengan asumsi 1 ekor menghasilkan 7.5 kg feses dan 25 kg isi rumen (Padmono 2005). Jumlah limbah RPH didapatkan dengan rumus:

Produksi Feses dan Isi Rumen Sapi (ton) = jumlah sapi x (jumlah feses sapi + jumlah isi rumen)

Kecukupan Pakan Cacing. Kecukupan pakan cacing adalah jumlah biomassa cacing yang dapat dipelihara pada limbah yang dihasilkan oleh limbah RPH tahun-1.

Kecukupan pakan cacing didapatkan dengan rumus :

Kecukupan Pakan Cacing (ton tahun-1) =

Produksi Pupuk Organik. Jumlah pupuk organik adalah jumlah pupuk organik yang dihasilkan dari tahun 2000-2013. Hasil pengamatan pemeliharaan cacing tanah dalam penelitian ini menunjukkan bahwa produksi vermikompos mencapai 65% dari bahan baku campuran feses dan isi rumen sapi. Jumlah pupuk organik didapatkan dengan rumus:

Produksi Pupuk Organik (ton) = jumlah feses dan isi rumen sapi x 65% produksi feses dan isi rumen sapi

(19)

5

Kebutuhan Pupuk Organik Sawit. Kebutuhan pupuk organik sawit adalah total pupuk organik yang dibutuhkan di perkebunan sawit tahun-1, baik di perkebunan sawit rakyat maupun perkebunan besar dengan asumsi jarak tanam 9.2 m x 9.2 m x 9.2 m dan jarak antar baris 7.97 m dengan 127 tanaman ha-1 dan pupuk yang dibutuhkan 30 kg tanaman-1 tahun-1 (Sukmawan 2014). Kebutuhan pupuk organik sawit didapatkan dengan rumus:

Kebutuhan Pupuk Organik (kg) = luas perkebunan sawit x (pohon ha-1 x kebutuhan pupuk organik pohon-1)

Kebutuhan Pupuk Organik Padi. Kebutuhan pupuk organik padi adalah total pupuk organik yang dibutuhkan di lahan padi tahun-1 dengan asumsi bahwa kebutuhan pupuk organik ha-1 adalah 2 ton (Rambe dan Yahumri 2011). Kebutuhan pupuk organik padi didapatkan dengan rumus:

Kebutuhan Pupuk Organik (kg) = luas sawah x kebutuhan pupuk organik ha-1

Analisis Data

Pemodelan ARIMA

Pemodelan ARIMA (EViews 8) digunakan untuk memperoleh kurva laju pertambahan produksi pupuk organik. Model persamaan ARIMA (Suganda 2006):

y = a + AR + MA

Keterangan:

Analisis Regresi Linier

Analisis regresi linier untuk memperoleh persamaan kebutuhan pupuk organik sawit setiap tahun. Model persamaan kebutuhan pupuk organik sawit (Walpole 1997):

y = a + bx

Keterangan:

Kebutuhan pupuk organik padi dianalisis secara deskriptif karena data luasan sawah yang diperoleh hanya 2 tahun yaitu 2013-2014.

y = produksi pupuk organik

a = konstanta

AR = variable autoregressive

MA = variable moving average

y = kebutuhan pupuk organik sawit

a = konstanta

b = koefisien regresi

(20)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi Cacing

Cacing L. rubellus merupakan cacing yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut Anwar (2009), cacing L. rubellus lebih efektif dibandingkan dengan Pheretima hupiensis maupun Eudrellus sp. dalam mendekomposisi bahan organik. Populasi cacing dihitung dengan menggunakan asumsi mortalitas 2% bulan

-1

dan dewasa kelamin 3 bulan (Sihombing 1999), serta pada jenis pakan campuran cacahan batang pisang dan kotoran sapi menghasilkan 6 juvenil (anak cacing) bulan-1 (Samosir 2000), pakan feses sapi 4.26 juvenil bulan-1, pakan feses kelinci 4.31 juvenil bulan-1 (Nuh 2000), serta campuran ampas tahu dan serbuk sabut kelapa menghasilkan 4.24 juvenil bulan-1 (Agustina 2002). Jumlah cacing selama satu tahun panen dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pertambahan populasi cacing l. rubellus selama setahun

Jenis pakan Awal tahun (kg) Akhir tahun (kg) Cacahan batang pisang dan kotoran sapi (7:3)a 1 420.03

Feses sapib 1 193.36

Feses kelincib 1 198.54

Ampas tahu dan serbuk sabut kelapac 1 191.03

a

Sumber: Samosir 2000; bNuh 2000; cAgustina 2002

Tabel 1 menunjukkan bahwa pakan cacahan batang pisang dan kotoran sapi menghasilkan jumlah cacing terbanyak yaitu sekitar 420.03 kg tahun-1, sedangkan pakan campuran ampas tahu dan serbuk sabut kelapa menghasilkan jumlah cacing paling sedikit (191.03 kg tahun-1). Hal ini dikarenakan ampas tahu memiliki kandungan protein yang tinggi bagi cacing tanah yaitu sekitar 23.62% (Duldjaman 2004) padahal menurut Sihombing (1999), syarat pakan untuk cacing adalah kurang dari 15%. Hasil penelitian Astuti (2001) menunjukkan bahwa pakan yang memiliki kadar protein yang sangat tinggi mengakibatkan menurunnya bobot badan cacing dan akhirnya menimbulkan kematian karena keracunan protein. Cacahan batang pisang memiliki kadar protein yang sesuai bagi cacing tanah yaitu 6.30% dan kadar air yang tinggi (94.08%) sehingga dapat menjaga kelembaban media hidup cacing tanah (Marlina 1999). Pertambahan populasi cacing pada keempat jenis pakan yang tercantum pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan feses sapi sebagai pakan cacing tanah sebaiknya dikombinasikan dengan bahan lain seperti isi rumen yang mengandung serat kasar tinggi (25.5%) (Padmono 2005) untuk meningkatkan porositas kotoran sapi. Hasil pengamatan pemeliharaan cacing dalam penelitian ini menunjukkan bahwa campuran feses dan isi rumen sapi menghasilkan media yang

porous sehingga ketersediaan oksigen bagi cacing tanah di dalam media hidup meningkat. Cacing tanah lebih banyak tinggal di dalam media dan memerlukan oksigen yang cukup dalam media (Brata 2009).

(21)

7

cacing tanah diapause, selain itu tubuh cacing tanah ketika di permukaan akan terlihat berputar, kejang, dan mengeluarkan cairan selom dari kulit, lalu beberapa jam setelahnya akan mati. Selain itu, bila cacing makan media yang asam, kelenjar kalsiferus tidak bisa menetralkan asam, maka di tembolok terus berlangsung fermentasi, lalu tembolok menjadi asam sehingga terjadi pembengkakan dan pecah. Tubuh cacing terdiri dari 75%-90% air, jadi kehilangan air dalam tubuh merupakan masalah utama untuk kelangsungan hidup cacing sehingga kelembaban harus sangat diperhatikan. Bahan organik sangat mempengaruhi penyebaran cacing tanah karena tanah yang memiliki kadar bahan organik yang tinggi akan meningkatkan jumlah cacing tanah. Penyediaan pakan tidak hanya mempengaruhi ukuran populasi cacing, namun juga terhadap laju pertumbuhan dan fekunditasnya yang limbah dari ternak memiiki pengaruh lebih baik dibandingkan dengan limbah tanaman (Edwards dan Lofty 1977).

Limbah RPH dan Daya Tampung

Limbah yang dihasilkan oleh sapi di RPH, beberapa diantaranya yaitu feses dan isi rumen. Perhitungan pada Tabel 2 menggunakan asumsi bahwa feses yang dihasilkan oleh sapi sebanyak 7.5 kg ekor-1 dan isi rumen 25 kg ekor-1 (Padmono 2005), serta kemampuan cacing tanah dalam mengkonsumsi campuran feses dan isi rumen diperoleh dari pengamatan dalam pemeliharaan cacing tanah di penelitian ini yaitu 1 kali bobot hari-1 sehingga cacing tanah mampu menghabiskan 30 kg campuran kedua limbah tersebut. Tabel 2 menunjukkan produksi pupuk organik yang dihasilkan dari feses dan isi rumen sapi RPH di Indonesia. Tabel 2 memperlihatkan bahwa pada tahun 2013 penggunaan feses dan isi rumen dari limbah RPH di Indonesia dapat menghasilkan 1 436.93 ton biomassa cacing tanah dan 28 020.09 ton vermikompos atau berturut-turut 3.33% dan 65% dari total kedua limbah tersebut.

Tabel 2 Jumlah feses dan isi isi rumen dari limbah RPH di Indonesia

(22)

8

Feses sapi mengandung protein 0.005%, potassium 0.0006%, dan pospat 0.0025%, sedangkan isi rumen mengandung protein 10.5%, lemak 1.20%, serat kasar 25.5%, pospor 0.5%, potasium 0.4%, kalsium 0.6%, sodium 0.9%, dan magnesium 0.08% (Padmono 2005) yang menunjukkan bahwa campuran kedua limbah ini sangat baik digunakan sebagai pakan cacing tanah karena kandungan proteinnya kurang dari 15% (Sihombing 1999). Menurut Edwards dan Lofty (1977), media yang memiliki protein yang tinggi lebih dapat diterima dibandingkan dengan protein yang rendah. Namun jika proteinnya terlalu tinggi maka akan menyebabkan cacing tersebut mengalami keracunan seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Astuti (2001). Bobot cacing tanah dalam penelitian tersebut sangat menurun dan akhirnya cacing mati akibat keracunan protein. Kandungan serat kasar yang tinggi di dalam campuran antara limbah feses dan isi rumen sapi memberikan dampak yang positif terhadap aerasi media karena serat kasar ini dapat memperbaiki aerasi media sehingga mencegah akumulasi asam dan gas-gas (Brata 2009). Hal ini menunjukkan bahwa pakan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan pertumbuhan, kesehatan bahkan mortalitas cacing itu sendiri.

Jumlah Pupuk Organik

Feses dan isi rumen sapi yang menimbulkan cemaran lingkungan dapat diolah menjadi pupuk organik untuk menimimalisir cemaran lingkungan dan mengubahnya menjadi produk yang berguna. Pupuk organik yang melibatkan cacing tanah dalam proses penguraian atau dekomposisi bahan organik disebut dengan kascing atau vermikompos (Redaksi AgroMedia 2007), dalam penelitian ini digunakan bantuan cacing L. rubellus. Penghitungannya menggunakan asumsi dari hasil pemeliharaan cacing tanah bahwa susut media setelah pengomposan sebesar 35%. Produksi pupuk organik dapat dilihat dari Gambar 1.

Gambar 1 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia

Kurva dari Gambar 1 menunjukkan bahwa pertambahan produksi pupuk organik tidak stabil, terlihat dari grafik yang naik turun. Laju pertumbuhan produksi pupuk organik ini dipengaruhi oleh populasi sapi yang dipotong di RPH karena penghitungan dari produksi pupuk organik ini mengacu pada populasi sapi dan hasil limbahnya. Sebagai contoh, produksi pupuk organik yang paling rendah berada pada tahun 2006 karena terdapat isu daging sapi yang bercampur dengan daging celeng maupun daging busuk yang memberikan pengaruh terhadap penurunan penjualan

0

1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014

(23)

9

daging sapi (Burhani 2006). Penjualan daging sapi yang menurun ini menunjukkan permintaan terhadap daging juga menurun sehingga pemotongan sapi di RPH akan menurun pula. Hal ini dibuktikan dari data BPS (2014) yang menunjukkan bahwa pengeluaran rata-rata per kapita untuk daging menurun drastis dari tahun 2005 ke tahun 2006 yaitu dari 2.44% ke 1.85%. Contoh tersebut menunjukkan bahwa produksi pupuk organik dari limbah feses dan isi rumen sapi sangat tergantung dari isu yang beredar di masyarakat yang menentukan konsumsi daging sapi.

Produksi pupuk organik dari feses dan isi rumen sapi sampai tahun 2023 dapat diprediksi dengan kurva pemodelan ARIMA berdasarkan produksi pupuk organik tersebut tahun 2000-2013 dan menghasilkan persamaan y = 259.73-0.92 MA(1) + produksit-1+ produksit-2 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia dan proyeksinya sepuluh tahun ke depan

Gambar 2 memperlihatkan bahwa produksi pupuk organik akan mengalami peningkatan sekitar 6% tahun-1 (garis biru). Garis merah menunjukkan selang kepercayaan dari nilai dugaan tersebut. Semakin lebar selang kepercayaan, semakin tinggi pula tingkat kesalahannya. Hal ini disebabkan karena di setiap tahun akan ada faktor yang tidak terduga misalnya penurunan atau peningkatan populasi sapi di tahun tersebut. Vermikompos yang dihasilkan dari proses penguraian limbah berupa feses dan isi rumen dengan bantuan cacing dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Jika harga vermikompos Rp 1 500,- kg-1 (Agromaret 2015), maka di tahun 2013 akan menghasilkan omset sebesar Rp 42 030 150 000,-.

Kebutuhan Pupuk Organik Sawit

(24)

10

Gambar 3 Kurva produksi pupuk organik, kebutuhan pupuk organik sawit di perkebunan rakyat dan besar

Gambar 3 memperlihatkan tahun ke yang tercantum tahun mengikuti pola persamaan regresi linier pada Gambar 3. Persamaan regresi dapat diinterpretasikan bahwa kebutuhan pupuk di perkebunan rakyat setiap tahun meningkat sebesar 87 305 ton, sedangkan kebutuhan pupuk di perkebunan besar setiap tahun meningkat sebesar 94 991 ton. Prediksi kebutuhan pupuk di kedua perkebunan sawit memiliki koefisien determinasi (R) sekitar 95% yang berarti kenaikan kebutuhan pupuk sangat ditentukan oleh tahun. Hal ini dikarenakan tidak mudah merubah usaha perkebunan ke usaha lain dari tahun ke tahun akibat investasi yang cukup besar. Sebaliknya, produksi pupuk organik ternyata jauh dibawah kebutuhan kedua perkebunan dan tidak dapat prediksi oleh tahun karena memiliki koefisien determinasi yang rendah (2.85%) akibat produksi dari tahun ke tahun sangat fluktuatif. Aplikasi vermikompos pada kebun sawit masih dapat dipertimbangkan karena pemberian pupuk organik di perkebunan sawit dengan taraf dosis 30 tanaman-1 tahun-1 dapat meningkatkan lingkar batang dan kadar hara K daun, serta mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah (Sukmawan 2014).

Kebutuhan Pupuk Organik Padi

Pupuk organik (vermikompos) yang dibutuhkan lahan sawah dihitung dengan menggunakan asumsi bahwa kebutuhan pupuk organik ha-1 adalah 2 ton (Rambe dan Yahumri 2011). Kebutuhan pupuk organik lahan sawah dan produksi vermikompos pada tahun yang sama disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kebutuhan pupuk organik pertanian padi Tahun Luas lahan

Sumber: Kementan (2014); bAngka sementara

(25)

11

Tabel 3 menunjukkan bahwa produksi vermikompos dari limbah berupa feses dan isi rumen sapi mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan lahan sawah terhadap pupuk organik. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organik memiliki potensi untuk ditingkatkan jika dilihat dari data pupuk organik yang dihasilkan dari limbah RPH mampu memenuhi setengah dari kebutuhan pupuk organik untuk lahan padi di Indonesia. Peningkatan penggunaan vermikompos pada lahan sawah memiliki beberapa keuntungan karena dibandingkan dengan kompos, menurut Sinha et al.

(2011), vermikompos memiliki beberapa keunggulan diantaranya hampir tidak berbau, cacing tanah memberikan nutrien dari limbah organik untuk meningkatkan nilai pada produk akhir dan membuat mereka bio-available, mengembangbiakkan mikroba yang bermanfaat di produk akhir, menghancurkan mikroba berbahaya di produk akhir sehingga membuatnya bebas patogen dan higienis, menghilangkan bahan kimia beracun dari produk kompos, merendahkan emisi gas rumah kaca oleh pengomposan limbah, dan menggunakan energi yang rendah dalam proses pengomposan.

Sifat-sifat tersebut sangat berdampak positif terhadap produksi padi yang merupakan bahan makanan utama penduduk Indonesia. Hasil penelitian Rambe dan Yahumri (2011) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk 2 ton ha-1 mampu menekan penggunaan pupuk anorganik 4%-16,7% dan menghemat biaya pupuk 4%-12%, selain itu meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas padi jika dibandingkan dengan pupuk anorganik yang hanya sebesar 6.5 ton ha-1 musim tanam-1 padahal dengan pupuk organik dapat menghasilkan 7.4 ton ha-1 musim tanam-1 (Santoso 2012).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Limbah berupa feses dan isi rumen sapi di RPH seluruh Indonesia menghasilkan 43 107.84 ton campuran feses dan isi rumen pada tahun 2013 dan bila diuraikan cacing mampu menghasilkan 1 436.93 ton biomassa cacing tanah, serta 28 020.09 ton vermikompos. Produksi vermikompos hingga tahun 2023 dapat dihitung berdasarkan persamaan y = 259.73-0.92 MA(1) + produksit-1 + produksit-2. Produksi

vermikompos dari limbah RPH tahun 2013-2014 jauh lebih rendah dari kebutuhan perkebunan sawit, namun mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan lahan sawah.

Saran

(26)

12

DAFTAR PUSTAKA

Agromaret. 2015. Mahakam farm [internet]. [diunduh 18 Mei 2015]. Tersedia pada http://agromaret.com/96687/mahakam_farm.

Agustina R. 2002. Pengaruh taraf ampas tahu dalam media serbuk sabut kelapa terhadap produksi kokon, juvenil, omega 3 dan pada cacing tanah (Lumbricus rubellus). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Anwar EK. 2009. Efektivitas cacing tanah Pheretima hupiensis, Edrellus sp. dan

Lumbricus sp. dalam proses dekomposisi bahan organik. J Tanah Trop. 14(2):149-158.

Astuti ND. 2001. Pertumbuhan dan perkembang biakan cacing tanah Lumbricus rubellus dalam media kotoran sapi yang mengandung tepung darah. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah ternak yang dipotong di Rumah

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang, Indonesia, 1999, 2003-2014 [internet]. [diunduh 8 Juni 2015]. Tersedia pada http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/vie w/id/937.

Brata B. 2006. Pertumbuhan tiga spesies cacing tanah akibat penyiraman air dan pengapuran yang berbeda. JIPI. 8(1): 69-75.

Brata B. 2009. Cacing Tanah: Faktor Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangbiakan. Bogor (ID) : IPB Pr.

Burhani R. 2006. Harga daging sapi mulai naik jelang lebaran [internet]. [diunduh 8 Juni 2015]. Tersedia pada http://www.antaranews.com/berita/44699/harga-daging-sapi-mulai-naik-jelang-lebaran.

Chanthakhoun V, Wanapat M, Anusorn C, Phongthorn K. 2012. Comparison of ruminal fermentation characteristics and microbial populastion in swamp buffalo and cattle. J Live Sci. 143:172-176.

Dahono.2012. Pembuatan kompos dan pupuk cair organik dari kotoran dan urin sapi.

LPTP. hlm 1-12.

Damayanti E, Ahmad S, Hardi J, Tri U. 2009. Pemanfaatan tepung cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai agensia anti-pullorum dalam imbuhan pakan ayam broiler. JITV. 14(2): 83-89.

Duldjaman M. 2004. Penggunaan ampas tahu untuk meningkatkan gizi pakan domba lokal. Media Peternakan. 27(3): 07-110.

(27)

13

[Epetani]. 2010. Memantau gaung gerakan “Go Organik 2010” [internet]. [diunduh 16 Juni 2015]. Tersedia pada http://epetani.pertanian.go.id/berita/memantau-gaung-gerakan-go-organik-2010-220.

Fud. 2015. Anggaran bantuan RPH menggantung [internet]. [diunduh 16 Juni 2015]. Tersedia pada http://www.radarbanjarmasin.co.id/banua2-2/banjarmasin/5542-proposal-ipal-rph-tak-jelas-rimbanya.html.

Halwan M. 2015. Ngeri, wisata religi sunan ampel surabaya tercemar bau kotoran babi [internet]. [diunduh 16 Juni 2015]. Tersedia pada http://www.suara- islam.com/read/index/13378/Ngeri--Wisata-Religi-Sunan-Ampel-Surabaya-Tercemar-Bau-Kotoran-Babi.

Infoloka. 2015. Peluang cerah budidaya cacing, permintaan ekspor sangat tinggi [internet]. [diunduh 22 Mei 2015]. Tersedia pada http://infoloka.com/peluang-cerah-budidaya-cacing-permintaan-ekspor-sangat-tinggi.

[Kementan] Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging. Jakarta (ID): Kementan.

[Kementan] Kementrian Pertanian. 2014. Produksi, luas panen, dan produktivitas padi dan palawija di Indonesia [internet]. [22 Mei 2015]. Tersedia pada www.pertanian.go.id/.../tabel-1-prod-lspn-prodvitas-padi-palawija.pdf.

Marantina. 2014. Bisnis cacing, Adam kantongi Rp 300 juta sebulan [internet]. [diunduh 22 Mei 2015]. Tersedia pada http://bisniskeuangan.kompas.com/re ad/2014/09/26/103751826/Bisnis.Cacing.Adam.Kantongi.Rp.300.Juta.Sebulan. Marlina N. 1999. Konversi data hasil analisis proksimat ke dalam bahan segar.

Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak. Neraca. 2014. Perkebunan sawit rakyat minta diperhatikan [internet]. [diunduh 18

Mei 2015]. Tersedia pada http://www.neraca.co.id/article/45134/perkebunan-sawit-rakyat-minta-diperhatikan.

Nuh H. 2000. Pengaruh jenis media campuran kotoran sapi, kotoran kelinci dan cacahan batang pisang terhadap produktifitas dan kualitas nutrisi cacing tanah (Lumbricus rubellus). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nyoman W, Budiarsa SW, Mahendra MS. 2008. Studi pengaruh air limbah pemotongan hewan dan unggas terhadap kualitas air sungai Subak Pakel I di Desa Darmasaba Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. Ecotrophic. 3(2):55-60.

Padmono D. 2005. Alternatif pengolahan limbah Rumah Potong Hewan – Cakung. J Tek Ling. 6(1):303-310.

Rambe SSM, Yahumri. 2011. Efisiensi penggunaan pupuk dan lahan dalam upaya meningkatkan produktivitas padi sawah. Di dalam: Rambe SSM, Yahumri, editor. Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian; 2011 Juli 7; Bengkulu, Indonesia. Bengkulu (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. hlm 180-188.

Redaksi AgroMedia. 2007. Petunjuk Pemupukan. Purwa DR, editor. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka.

(28)

14

Rohim AM, Napoleon A, Momon SI, Silvia R. 2011. Pengaruh vermikompos terhadap perubahan kemasaman (pH) dan P-tersedia tanah. []. Jurusan Tanah dan Program Studi Agroekoteknologi. Ogan (ID): Universitas Sriwijaya. Samosir CMF. 2000. Studi performans produksi cacing tanah dari tiga spesies yang

berbeda. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Santoso NK. 2012. Analisis komparasi usaha tani padi organik dan anorganik di Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sambirejo Kabupaten Sragen. [sripsi]. Fakultas Pertanian dan Bisnis. Salatiga (ID): Universitas Kristen Satya Wacana.

Sihombing DTH. 1999. Satwa Harapan I: Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya. Bogor (ID): Pustaka Wira Usaha Muda.

Sinha RK, Sunil H, Sunita A, Krunal C, Dalsukh V. 2011. Earthworms-The Wste Managers: Their Role in Sustainable Waste Management Converting Waste into Resource while Reducing Greenhouse Gases. New York (US): Nova Science.

Suganda D. 2006. Analisis harga CPO di pasar fisik medan dan pasar berjangka Malaysia serta Rotterdam. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sugiri N. 1988. Zoo Avertebrata. Vol 2. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Sukmawan Y. 2014. Peranan pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur satu tahun pada tanah marginal. [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sukmawati. 2013. Respon tanaman kedelai terhadap pemberian pupuk organik, inokulasi, FMA dan varietas kedelai di tanah pasiran. Media Bina Ilmiah. 7(4): 26-31.

Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Trisnawati Y, Suminto, Agung S. 2014. Pengaruh kombinasi pakan buatan dan cacing tanah (Lumbricus rubellus) terhadap efisiensi pemnafaatan pakan, pertumbuhan dan kelulushidupan lele dumbo (Clarias gariepinus). J Aquacult Man and Technol. 3(2):86-93.

(29)
(30)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 6 Oktober 1993 dari ayah Ngajiman dan ibu Nuryanti. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2011 Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Rembang dan pada tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN undangan dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif sebagai staf divisi kewirausahaan HIMAPROTER IPB tahun 2013/2014 dan staf divisi keputrian

Gambar

Tabel 2 Jumlah feses dan isi isi rumen dari limbah RPH di Indonesia
Gambar 2 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia dan proyeksinya sepuluh
Gambar 3 Kurva produksi pupuk organik, kebutuhan pupuk organik sawit di

Referensi

Dokumen terkait

Artikel ini mengulas tentang kandungan senyawa kimia dan aktivitas antimalaria ekstrak daun kembang bulan ( Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray) sebagai obat alternatif

Pemeriksaan hematokrit merupakan salah satu pemeriksaan bidang hematologi. Karena waktu penyimpanan akan mempengaruhi kondisi darah salah satunya eritrosit

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan (p value 0,016), pelatihan (p value 0,009), insentif (p value 0,000) dengan Kinerja Kader Posyandu

Pengajaran mikro dilaksanakan mulai Februari sampai Juni 2013. Dalam Pengajaran mikro mahasiswa melakukan praktek mengajar pada kelas kecil. Adapun yang berperan

Sehingga penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Gaya Hidup, Citra Merek , dan Kualitas Produk terhadap Keputusan Pembelian Sepatu Sneakers

1) Pemetaan yang akurat mengenai kompetensi angkatan kerja yang ada yang dibutuhkan. 2) Meningkatnya efektifitas rekrutmen dengan cara menyesuaikan kompete yang

Dengan banyaknya biro-biro perjalanan swasta yang muncul di negara kita ini membuat terjadinya persaingan merebut konsumen, Banyak orang yang menginginkan hal-hal yang praktis

Profil Bappeda merupakan salah satu wujud pelayanan kami kepada para pengguna untuk dapat membuka informasi bagi siapa saja yang ingin mengenal Bappeda lebih baik serta untuk