• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan hama dan penyakit tanaman padi (oryza sativa l.) Pada beberapa sistem budidaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan hama dan penyakit tanaman padi (oryza sativa l.) Pada beberapa sistem budidaya"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN PADI (

Oryza sativa

L.) PADA BEBERAPA

SISTEM BUDIDAYA

ABRIANI FENSIONITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ABRIANI FENSIONITA. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Padi (Oryza sativa L) pada Beberapa Sistem Budidaya. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA, DADANG dan NINA MARYANA.

(3)

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN PADI (

Oryza sativa

L.) PADA BEBERAPA

SISTEM BUDIDAYA

ABRIANI FENSIONITA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

DAFTAR ISI

Sistem Budidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik …... Keanekaragaman Hayati ... Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali ... Konsep PHT dalam Pertanian Organik …...………..………... BAHAN DAN METODE

(5)

DAFTAR TABEL

Kategori serangan penyakit ... Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan jaring serangga pada beberapa sistem budidaya ... Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan lubang jebakan pada beberapa sistem budidaya ... Jumlah ordo, famili, spesies dan individu arthropoda, indeks keanekaragaman shannon-wienner (H’) dan evenness (E) pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Kerapatan koloni bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Jumlah koloni, spesies, indeks shannon-wienner (H’) dan evenness (E) pada musim tanam ke-dua ... Analisis usahatani pada dua musim tanam pada beberapa sistem budidaya ...

Bagan pengambilan sub petak contoh tanaman padi pada satu perlakuan ... Gejala tanaman padi yang terserang penggerek batang padi: sundep, beluk dan larva penggerek batang padi ... Perkembangan luas serangan penggerek batang padi pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Perkembangan intensitas serangan penggerek batang padi pada

12

18

(6)

5.

MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Gejala penyakit tungro pada tanaman padi ... Perkembangan luas serangan tungro pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Gejala penyakit kresek pada tanaman padi ... Perkembangan intensitas serangan kresek pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Gejala penyakit cercospora pada tanaman pad i ... Perkembangan intensitas serangan bercak cercospora pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Gejala penyakit hawar pelepah daun pada tanaman padi ... Perkembangan intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Komposisi arthropoda berdasarkan peranannya pada beberapa pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ...

20

Bagan lokasi penelitian di Desa Situgede ... Curah hujan dari bulan Januari – Agustus 2005 ... Luas serangan penggerek batang padi pada MT I pada beberapa sistem budidaya ... Luas serangan penggerek batang padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan penggerek batang padi pada MT I pada beberapa sistem budidaya ...

50 51

51

51

(7)

6.

Intensitas serangan penggerek batang padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Luas serangan tungro pada MT I pada beberapa sistem budidaya ... Luas serangan tungro pada MT II pada beberapa sistem budi daya ... Intensitas serangan kresek pada MT I pada beberapa sistem budi daya ... Intensitas serangan kresek pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan bercak cercospora padi pada MT I pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan bercak cercospora padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Jumlah individu dan spesies tiap ordo dan famili serangga yang diperoleh dengan jaring serangga dan lubang jebakan pada beberapa sistem budidaya ... Peranan beberapa ordo dan famili arthropoda yang ditemukan pada beberapa sistem budidaya ...

52

(8)

ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan sintetik diterapkan di bidang pertanian (Deptan 2005).

Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik merupakan komponen utama dalam teknologi intensifikasi pertanian yang diterapkan pada saat ini untuk memaksimalkan produksi beras dan palawija (jagung, kacang -kacangan dan umbi-umbian). Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang terus menerus ternyata dapat menimbulkan efek samping yang kurang menguntungkan seperti kemunduran kualitas lingkungan dan pengurangan stabilitas produksi oleh munculnya hama dan penyakit baru, senyawa beracun pada tanaman (residu), menurunnya kesuburan tanah dan meningkatnya biaya sarana produksi (Deptan 2005).

Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat aplikasi kimia sintetik di bidang pertanian, menyadarkan masyarakat untuk mendapatkan produk pertanian yang aman untuk kesehatan (food safety) dan bersahabat dengan lingkungan (environmental friendly). Perubahan gaya hidup kembali ke alam (back to nature) menyebabkan permintaan produk pertanian organik di dunia tumbuh 20% per tahun. Data Word Trade Organization (WTO) menunjukkan dalam tahun 2000-2004 perdagangan produk pert anian organik telah mencapai 17,5 milyar dollar AS dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 100 milyar dollar AS (Darmadjati 2005).

Teknologi budi daya berkembang untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang disebut sistem input rendah. Pada sistem pertanian ini aplikasi pestisida sintetik tidak dilakukan bila tidak ada serangan hama. Sistem budidaya input rendah ini banyak diterapkan perusahaan yang produknya disebut dengan produk pertanian aman (safe agricultural products) atau di Vietnam dikenal sebagai produk pertanian hijau (green agricultural product) (Dadang 2005). Sistem input rendah ini dianggap sebagai transisi untuk mencapai sistem pertanian organik murni karena sulit untuk mengubah sistem pertanian input tinggi dengan hanya mengandalkan daur ulang sisa panen atau organik lainnya. Efisiensi pen ggunaan pupuk anorganik dengan menggunakan mikroorganisme mendukung upaya penghematan biaya pemupukan .

(9)

produksi sebesar 17 sampai 25% (Goenadi et al. 1998 dalam MAPORINA 2005). Menurut Ar-Riza et al. (2000), pemberian bahan organik dapat mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik pada lahan padi gogo, yaitu pemberian pupuk nitrogen 90 kg/ha yang dikombinasikan dengan pupuk kandang dapat meningkatkan hasil antara 133,8 sampai 183%.

Teknologi pertanian organik merupakan sistem usahatani spesifik lokasi yang diterapkan berdasarkan interaksi tanah, tanaman, ternak, manusia, ekosistem dan lingkungan. Pertanian organik menggunakan sebanyak mungkin bahan organik sebagai sumber hara dan sebagai bahan yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik yang digunakan bersumber antara lain dari pupuk kandang dan limbah pertanian (kompos) dan dibuat dengan memanfaatkan mikroba yang dapat berfungsi melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (IP2TP 2000).

Berbagai informasi tentang bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan hasil telah banyak dilaporkan. Penelitian Saragih et al. (2000) menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik yang berasal dari jerami tanaman yang baru dipanen seperti jerami padi, jerami kedelai, sekam padi atau abu sekam untuk pertanaman padi di lahan lebak dapat meningkatkan hasil sebesar 0,69 sampai 1,98 t/ha atau meningkat 19 sampai 54,7%. Pada musim tanam II pertanaman kacang hijau yang diberi kompos jerami dapat meningkatkan hasil menjadi 204% dan bila d iberi bahan bokashi maka hasilnya dapat meningkatkan menjadi 177%. Bila pada bahan bokashi tersebut diinokulasikan Effective Microorganism (EM)4 maka meningkatkan hasil menjadi 177%, sedangkan bila bahan bokashi diinokulasi Trichoderma sp. serta Azotobacter sp. maka hasilnya dapat meningkat menjadi 257% (Santosa dan Widati 2000).

(10)

sampai 81% dan Rhizoctonia solani antara 86% sampai 91% pada tanaman sayuran. Petani Bantul menggunakan campuran kotoran sapi basah, jerami dan dedaunan yang diaduk pada lahan sawah dengan dibajak dan dapat meningkatkan hasil padi menjadi 5,5 ton/ha. Petani tersebut juga membuat sendiri bahan untuk pengendali hama dan penyakit dari tumbuhan dan kotoran hewan (Tambunan 2005). Untuk mengoptimalkan sifat kompos dalam pengendalian perlu diperhatikan karakteristik kompos, pengelolaan, aplikasi dan sistem pertanian yang diterapkan.

Penerapan pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan, tidak menggunakan bahan penunjang anorganik dengan penerapan teknologi budidaya yang baik seperti pemilihan bibit berkualitas, pupuk berimbang, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) dan pengaturan pola tanam (Deptan 2005). Penelitian yang menggambarkan keberhasilan pertanian organik dalam memperoleh produk yang berkualitas dan stabil dalam jangka panjang telah banyak di lakukan, namun informasi mengenai perkembangan hama dan penyak it tanaman padi serta keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme pada lahan pertanian organik masih sangat terbatas.

Tujuan

1. Membandingkan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman padi pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik.

2. Mengetahui keanekaragaman arthropoda pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik.

3. Mengetahui keanekaragaman mikroorganisme pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik .

Hipotesis

1. Perkembangan hama dan penyakit tanaman padi relatif sama pada pertanian organik, konvensional dan input rendah.

2. Kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda pada pertanian organik relatif lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi luas serangan hama.

(11)

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menyediakan informasi mengenai kelayakan s istem pertanian organik ditinjau dari perkembangan hama dan penyakit, keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme serta analisis usahataninya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem B udidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik

(12)

serangan organisme penganggu tanaman (OPT), yang jumlahnya mencapai populasi yang membahayakan. Penggunaan insektisida telah menyebabkan terjadinya resistensi, timbulnya hama sekunder, musnahnya musuh alami dan terjadinya pencemaran lingkungan , juga dapat membahayakan kehidupan manusia, baik petani maupun konsumen (Deptan 2005).

Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah, melalui penguasaan teknologi budi daya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang, penerapan PHT dan pengaturan jarak tanam (Deptan 2005). Sistem pertanian ini menggunakan pestisida dan pupuk dalam jumlah yang rendah dan aplikasi pestisida dilakukan hanya pada tanaman yang terserang OPT. Sistem input rendah mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia, dengan memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Tujuan sistem input rendah adalah untuk memaksimalkan produksi jangka pendek serta mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang (Reijntjes et al. 1992).

Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan . Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan peng ambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani dalam proses transisi (Reijntjes et al. 1992).

(13)

dengan pertanian yang menggunakan zat-zat kimia sintetis sebagai pupuk ataupun pestisida (Sitanggang 1993).

Tanaman tomat dan jagung pada sistem organik dan input rendah dengan mengurangi pestisida sampai 50% memberi respon pada keberadaan arthropoda, patogen dan nematoda. Walaupun demikian, penggunaan pestisida ini tidak mempengaruhi hasil dan dapat mengurangi biaya pengelolaan hama dan menurunkan dampak lingkungan (Clark et al. 1998).

Pertumbuhan padi pada pertanian alami lebih toleran terhadap kerusakan yang disebabkan oleh Oulema oryzae (Coleoptera: Chrysomelidae), dan dapat meningkatkan hasil padi dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan sistem konvensional. Pada pertanaman padi di lahan konvensional, adanya kerusakan yang disebabkan o leh hama O. oryzae tersebut dapat menyebabkan tanaman padi lebih peka terhadap patogen, sehingga intensitas penyakit menjadi tinggi dan kehilangan hasil lebih besar (Andow dan Hidaka 1998).

Proteks i tanaman pada pertania n organik umumnya dilakukan melalui pengelolaan terhadap lingkungan sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama dan patogen. Pada pertanian organik dilakukan kegiatan yaitu pemantauan terhadap hama dan penyakit, rotasi tanaman dan mengurangi pengolahan tanah. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan agens hayati dan pestisida botani (Bruggen dan Termorshuizen 2005).

Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara ekologis dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari segi sosial tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk diterapkan oleh petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993).

Keanekaragaman Hayati

(14)

Aspek-aspek yang diamati dalam rangka menganalisis keanekaragaman hayati antara lain adalah jumlah spesies, kelimpahan, peny ebaran, dominasi, variasi spesies di dalam suatu habitat dan ekosistem (Magurran 1988). Keanekaragaman habitat merupakan jumlah spesies di dalam suatu habitat atau lahan pertanian (Rice 1992) dan terjadi interaksi antara spesies tersebut (Primack et al. 1998). Menurut Ludwig dan Reynold (1988) bahwa keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua komponen yang berbeda, yaitu jumlah total spesies dan kemerataan spesies. Indeks yang menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal yang disebut indeks keanekaragaman. Peubah-peubah yang disatukan menjadi suatu nilai tunggal adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan. Dengan demikian prosedur penghitungan keanekaragaman meliputi indeks kekayaan (richness indices), indeks keanekaragaman (diversity indices) dan indeks kemerataan (evenness indices) (Ludwig dan Reynold 1988; Magurran 1988). Indeks kekayaan spesies meng- gambarkan ukuran jumlah spesies pada suatu habitat atau komunitas. Banyaknya indeks yang dapat digunakan untuk menghitung kekayaan spesies antara lain Indeks Margalef, Menhinick dan Hulbert (Ludwig dan Reynolds

1988; Magurran 1988). Indeks keanekaragaman merupakan ukuran

keanekaragaman yang ditetapkan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap spesies yang diamati (Ludwig dan Reynold 1988), sedangkan Magurran (1988) menyatakan sebagai kelimpahan spesies (spesies abundance). Indeks keanekaragaman yang telah dikenal antara lain adalah Indeks Berger-Parker dan Indeks Shannon-Wienner.

Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali

(15)

dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman yang menjadi inangnya. Mikroorganisme yang berpotensi sebagai agens antagonis berasal dari berbagai divisi antara lain: bakteri, cendawan, virus maupun mikrofauna predator seperti nematoda, protozoa dan lain -lain. Agens antagonis yang ideal menurut Baker dan Cook (1974), harus memenuhi syarat yang meliputi: 1) tersedia dan berkembang di rhizosfer dan filosfer dalam upaya mencegah infeksi, 2) mampu memproduksi substrat, zat antibiotik beracun yang efektif pada konsentarsi yang rendah apabila diaplikasikan di lapangan dan tidak mudah terdegradasi dengan cepat, 3) antibiotik yang dihasilkan oleh satu agens antagonis harus mampu merangsang perkembangan antagonisme lain, 4) antibiotik yang dihasilkan tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman inang, 5) mampu beradaptasi pada kisaran inang yang luas dan dapat diproduksi secara masal untuk diperdagangkan, 6) spora perkecambahan harus muncul cepat atau setidaknya lebih cepat dari pertumbuhan patogen, 7) antagonis harus mampu beradaptasi dari pada patogen terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Secara alami di tajuk tanaman (filosfer) dan di dalam tanah (rhizosfer) terdapat beberapa mikroorganisme yang berpotensi mengendalikan patogen cendawan dan bakteri.

Pseudomonas kelompok fluorescens selain terdapat di dalam tanah juga relatif tinggi kerapatannya pada permukaan daun. Agens antagonis kelompok ini telah dikembangkan untuk skala laboratorium dan telah dipasarkan sebagai agens biokontrol, misalnya P. fluorescen A506 yang dijual dengan nama dagang BlightBanTM A506 untuk mengendalikan Erwinia amylovora penyebab fire blight pada apel dan pear (Tjahjono 2000). Bakteri kelompok ini dicirikan oleh adanya pigmen berwarna hijau kuning yang digunakan untuk iden tifikasi serta klasifikasi. P. fluorescen diantaranya memiliki sifat mampu mendominasi pemanfaatan eksudat yang dikeluarkan oleh akar, berkembang biak dengan cepat dan mampu mengkolonisasi daerah perakaran (Schippers et al. 1987).

(16)

Selain bakteri, kelompok mikroorganisme yang juga memiliki potensi sebagai agens biokontrol adalah cendawan. Salah satunya adalah Trichoderma sp. yang merupakan cendawan saprofit yang hidup dalam tanah, yang umumnya sudah digunakan untuk mengendalikan cendawan patogen, tetapi akhir-akhir ini dicoba untuk mengendalikan bakteri patogen (Cook dan Baker 1983). Cendawan Trichoderma sp. dapat mengkoloni sklerotia Rhizoctonia solani (Tronsmo 1996). Paath (1988) melaporkan bahwa hifa Trichoderma sp. bersifat antagonistik terhadap perkembangan bakteri Pseudomonas solanacearum isolat tembakau dan tomat secara in-vitro.

Konsep PHT dalam Pertanian Organik

Beberapa kebijakan pemerintah yang menunjang pengendalian hama terpadu (PHT) telah dikeluarkan sejak beberapa dekade yang lalu sangat mendukung dalam pelaksanaan pertanian organik. Kebijakan pemerintah dalam usaha pengendalian hama terpadu (PHT) dituangkan dalam REPELITA III tahun 1979/1980 – 1983/1984, yaitu Inpres no. 3 tahun 1986 tentang pelarangan penggunaan 57 formulasi pestisida untuk tanaman padi. Selain itu terdapat Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Kebijakan pemerintah lainnya yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan mentargetkan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dengan tersedianya pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Karena itu pengembangan pertanian organik merupakan salah satu pilihan dalam menunjang ketahanan pangan lokal (local food security) (Sumarsono 2005). Kebijakan pemerintah tersebut selain digunakan untuk mengamankan produksi juga untuk mengamankan faktor-faktor lingkungan dalam menciptakan pertanian berkelanjutan, aman terhadap pelaksana dan konsumen (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993).

(17)

berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan“ (Darmadjati 2005).

Usaha-usaha untuk menciptakan pertanian berkelanjutan di atas menghadapi berbagai kendala, terutama dalam ekosistem pertanian (agro ekosistem) yang umumnya rentan terhadap kerusakan oleh OPT dan bencana peledakan OPT. Hal ini disebabkan kurangnya keanekaragaman spesies tanaman, spesies serangga atau patogen dan perubahan yang tiba-tiba karena cuaca dan perlakuan petani, tidak seperti halnya dengan ekosistem alami (natural ecosystem) (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Pengendalian hama terpadu merupakan cara pengelolaan pertanian dengan setiap keputusan dan tindakan bertujuan meminimalisasi serangan OPT, sehingga mengurangi bahaya terhadap manusia, tanaman dan lingkungan. Sistem PHT memanfaatkan semua teknik dan metode (biologi, genetis, mekanis, fisik dan kimia) dengan cara seharmoni mungkin, untuk mempertahankan populasi hama berada di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomis, serta mengurangi biaya perlindungan apabila pengendalian OPT dilakukan dengan pengendalian hayati (Deptan 2005). Dalam sistem pertanian organik, musuh alami berperan dalam menekan laju pertumbuhan hama dan mengatur keseimbangan populasi hama, sehingga konsep PHT yang dipraktekkan dalam sistem pertanian organik searah dengan pem bangunan berkelanjutan. Proses penyadaran pentingnya pertanian organik tidak dapat berjalan dalam waktu singkat, harus difasilitasi dengan berbagai kebijakan seperti jaminan pemasaran . Stabilitas harga diupayakan tidak hanya terbatas pada pengelolaan pasar, tetapi peningkatkan kualitas gabah melalui pembangunan lumbung modern (ware house system). Proses sosialisasi dapat berjalan dengan cepat apabila didukung dengan fasilitas, dana dan sumber daya manusianya.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

(18)

Persiapan Lahan

Lahan yang digunakan untuk penelitian adalah lahan pertama seluas 2.400 m² yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secar a konvensional dan input rendah serta lahan ke-dua seluas 5.857 m² yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secara organik. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan oleh kerbau. Selanjutnya dilakukan proses penghalusan tanah dengan menggunakan cangkul dan garu. Untuk mempercepat proses penghalusan tanah dilakukan pengairan.

Penanaman Padi

Benih padi yang digunakan adalah varietas Cisantana yang berasal dari Balai Benih Padi di Muara, Bogor. Benih dikecambahkan dengan cara direndam dalam air selama sehari. Selanjutnya benih yang sudah berkecambah ditebarkan pada lahan pesemaian yang sudah diolah dalam kondisi berlumpur (tidak tergenang air). Setelah bibit padi berumur 21-24 hari, bibit siap dipindahkan ke lahan sawah. Penanaman dilakukan dengan cara cabut pindah (transplanting). Bibit ditanam sebanyak 2 -3 tanaman/lubang dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm.

Perlakuan

Percobaan ini terdiri dari empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan terdiri dari sistem pertanian 1) konvensional (d ipupuk dengan urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 100 kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 20 kg/ha), 2) input rendah (menggunakan bokashi 1 ton/ha, urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50 kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 10 kg/ha), 3) organik 5 (dipupuk dengan bokashi 5 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik), dan 4) organik 10 (menggunakan bokashi 10 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik). Pupuk organik bokashi diaplikasikan setengah bagian pada waktu pengolahan tanah dan sisanya diaplikasikan sehari sebelum tanam. Pupuk NPK (Urea + TSP + KCl) setengah bagian diaplikasikan sehari sebelum tanam dan sisanya diberikan pada saat tanaman berumur sekitar 14 hari setelah tanam (HST).

Pengamatan Hama dan Penyakit

(19)

setiap petak diamati seminggu sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan dan intensitas serangan hama dan penyakit.

Pengamatan pada setiap petak percobaan dilakukan dengan menentukan lima sub petak contoh berukuran 1 m x 1 m yang ditentukan secara diagonal (Gambar 1). Jumlah rumpun tanaman yang diamati adalah 9 tanaman contoh/sub petak contoh (45 rumpun /petak).

Gambar 1 Bagan pengambilan subpetak contoh tanaman padi pada satu perlakuan

Perkembangan hama dan penyakit dilakukan secara langsung di pertanaman padi dengan menghitung luas dan intensitas serangan hama utama, serta intensitas penyakit utama. Hama dan penyakit utama tanaman padi yang diamati meliputi penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar daun padi. Pengamatan dilakukan sebanyak 10 kali dengan interval pengamatan seminggu sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan dan intensitas serangan hama dan penyakit.

Luas serangan hama penggerek batang padi dan tungro dihitung dengan rumus (Direktorat Perlindungan Tanaman 2000):

L = n/N x 100%

Keterangan :

L = Luas serangan (%)

n = Jumlah rumpun padi terserang

N = Jumlah seluruh rumpun padi yang diamati

(20)

I = b/B x 100%

Intensitas penyakit kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah daun d ihitung dengan rumus Towsend & Heuberger (1943) dalam Unterstenhofer (1976):

n ? n . v

I = i x 100 % Z . N

Keterangan :

I = Tingkat kerusakan padi

n = Jumlah rumpun dengan kategori serangan ke-i v = Nilai skala tiap katego ri serangan ke-i

Z = Skala kateg ori serangan tertinggi N = Jumlah rumpun yang diamati

Kriteria penyakit dihitung berdasarkan katagori sebagai berikut:

Tabel 1 Kategori penyakit

1

(21)

jaring. Lubang jebakan dipasang sebanyak 4 buah per petak perlakuan d i pematang sawah. Lubang jebakan berupa wadah plastik (240 ml) yang telah diisi dengan larutan deterjen sebanyak 20-30 ml yang dipasang di dalam lubang tanah. Bagian tepi wadah diatur sama rata dengan permukaan tanah di sekitarnya dan dibiarkan selama 24 jam. Jebakan dilindungi dari paparan sinar matahari dan curah hujan dengan selembar seng berukuran 20 cm x 20 cm yang ditunjang besi set inggi 15 cm dari permukaan tanah. Pada MT I pengamatan arthropoda dengan jaring serangga dan lubang jebakan dilakukan sebanyak 6 kali pengambilan sampel, sedangkan pada MT II pengamatan arthropoda dengan jaring serangga sebanyak 2 kali pengambilan sampel dan dengan lubang jebakan dilakukan sebanyak 11 kali pengambilan sampel.

Arthropoda yang tertangkap dengan jaring serangga d imasukkan ke dalam botol berisi alkohol, kemudian dibersihkan dari kotoran. Arthropoda hasil tangkapan dengan lubang jebakan disaring dengan kain saring kemudian dibersihkan dan dibilas dengan air. Arthropoda yang telah dibersihkan tadi, disimpan dalam tabung film berisi larutan alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium. Pengumpulan data dilakukan setiap satu minggu sejak umur tanaman 2 minggu setelah tanam (MST) menjelang panen.

Identifikasi arthropoda dilakukan sampai tingkat famili dengan mengacu pada buku Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et al. 1996), The Pest of Crops in Indonesia (Kalshoven 1981) dan The Insect of Australia (Naumann et al. 1996). Pemisahan dilanjutkan dengan memperhatikan perbedaan morfo-spesies (hanya kode).

Ukuran keanekaragaman yang menunjukkan proporsi spesies yang paling melimpah di analisis dengan menggunakan rumus Indeks Berger-Parker (d) (Southwood 1980; Magurran 1988).

d = Nmax/N

Keterangan :

d : Kelimpahan spesies

Nmax : Jumlah individu yang paling dominan N : Jumlah total individu semua spesies

(22)

H = - ? pi ln pi

Keterangan:

H : Indeks keragaman spesies

pi : Proporsi individu yang ditemukan pada spesies ke-i

Keragaman maksimum (H’ max) dapat terjadi bila semua spesies memiliki kelimpahan yang sama, dengan kata lain H’/H’max /ln (S); dimana S adalah jumlah spesies. Perbandingan antara nilai keragaman yang diperoleh dengan nilai keragaman maksimum adalah nilai evenness (E) yang berkisar antara 0 dan 1. Nilai 1 terjadi apabila semua spesies memiliki kelimpahan yang sama (Magurran 1988):

E = H/ln S

Keterangan:

E : Indeks kemerataan spesies Evenness H : Indeks keragaman spesies

S : Jumlah spesies

Analisis Mikroorganisme

Mikroorganisme penghuni daun (filosfer) dan tanah di sekitar perakaran tanaman padi (rhizosfer) diamati dua kali yaitu pada fase pertumbuhan tanaman vegetatif dan generatif . Contoh daun (1 gr) dan tanah (5 gr) masing-masing dimasukkan ke dalam 50 ml aquades steril dan diaduk secara konstan selama 15 menit. Suspensi yang diperoleh diencerkan sampai 10-4, kemudian diambil sekitar 0,05 ml dan disebar pada media TSA, Kings B dan MA (martin agar). Untuk mengisolasi kelompok bakteri tahan panas, suspensi pengenceran selanjutnya dipanaskan dalam penangas air (clifton boiling bath) pada suhu 80º C selama 30 menit dan dibiarkan dingin. Suspensi disebar pada media TSA (tryptic soy agar).

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Lokasi penelitian terletak di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Desa Situgede terletak pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut.

Lahan pengamatan terbagai menjadi dua bagian yaitu bagian selatan merupakan lahan pertanian organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha, sedangkan sebelah utara merupakan lahan pertanian input rendah dan konvensional (Lampiran 1).

(24)

sebelah timur berbatasan dan rumah penduduk. Pada lahan input rendah dan konvensional di sebelah selatan berbatasan dengan jalan umum dan pemukiman penduduk, sebelah utara dengan rumah penduduk dan tanaman bengkuang, sebelah barat dengan aliran air, tanaman padi dan rumah penduduk, dan sebelah timur dengan aliran air dan tanaman padi.

Data perkembangan curah hujan yang terjadi selama pengamatan disajikan pada lampiran 2.

Luas dan Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Selama pengamatan ditemukan berbagai jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi baik di lahan sawah dengan sistem pengelolaan konvensional, input rendah maupun organik . Di antara hama dan penyakit yang ditemukan, penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah daun padi tampaknya mempunyai kontribusi dalam menurunkan produksi padi, dan oleh karenanya diamati lebih rinci dalam penelitian ini.

Penggerek Batang Padi

(25)

Gambar 2 Gejala tanaman padi yang terserang penggerek batang pad i: (a) sundep, (b) beluk dan (c) larva penggerek batang padi.

Luas serangan penggerek batang padi di lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik pada dua musim tanam meningkat pada pengamatan 6 sampai 9 MST dan tidak terjadi peningkatan sampai 11 MST (Gambar 3, Lampiran 3 dan 4). Luas serangan relatif tinggi pada sistem budi daya pertanian organik (5 ton/ha dan 10 ton/ha). Hal ini tampaknya karena pada pertanian organik terhadap hama tidak dilakukan aplikasi insektisida sintetik, seperti pada sistem budi daya konvensional dan input rendah yang dilakukan penaburan Furadan 3 G pada tanaman yang terserang setiap musim tanam.

Pengendalian dengan bahan kimia sintetik selain dapat menurunkan populasi hama, juga dapat menurunkan populasi parasitoid dan predator dalam jumlah yang sebanding, keadaan tersebut menguntungkan bagi perkembangan hama. Parasitoid

a b

(26)

telur Tetrastichus schoenobii (Hymenoptera: Eulophid ae), Telenomus rowani (Hymenoptera: Scelionidae) dan Trichogramma javanicum (Hymenoptera: Trichogrammatidae) merupakan faktor biotik utama dalam mengatur populasi penggerek batang padi pada populasi tinggi. Selain parasitoid, predator Cyrthorhinus lividipennis (Hemiptera: Miridae) dapat menurunkan populasi penggerek batang padi (Wigenasantana 1982). Berkurangnya populasi parasit dan predator karena kelangkaan inang dapat menimbulkan pengaruh yang besar. Keadaan tersebut menunjukkan ketidakseimbangan antara hama dengan musuh alami sehingga hama dapat berkembang pesat dan menimbulkan kerugian ekonomi. Bahan kimia sintetik dalam program pengendalian hama digunakan bila cara pengendalian yang lain yang telah direncanakan gagal sehingga perlu tindakan alternatif terakhir (Wigenasantana 1982).

Intensitas serangan hama penggerek batang padi tertinggi juga terjadi pada pertanian organik, sedangkan yang terendah pada konvensional dan input rendah (Gambar 4, Lampiran 5 dan 6). Intensitas serangan yang relatif tinggi ini dapat berpengaruh terhadap penurunan produksi padi. Menurut Direktorat Perlindungan

(a)

(27)

Tanaman (2000) bahwa pengendalian sudah harus dilakukan bila serangan penggerek batang padi telah mencapai 10-15%, pengendalian dilakukan hanya pada tanaman-tanaman yang terserang.

0 5 10 15

6 7 8 9 10 11

Intensitas serangan (%)

0 5 10 15

3 4 5 6 7 8 9 10 11

Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Minggu setelah tanam

Gambar 4 Perkembangan intensitas serangan penggerek batang padi pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

Dari kedua musim tanam menunjukkan serangan penggerek batang padi pada MT I relatif lebih tinggi dibandingkan MT II, hal ini diduga karena perbedaan musim. Pada MT I (musim hujan), kelembaban relatif lebih tinggi dari MT II. Menurut Khan dan Murthy (1955 dalam Wigenasantana 1982) bahwa tidak terdapat korelasi positif antara hujan dengan populasi hama, tetapi terdapat korelasi positif antara kelembaban dengan populasi.

Tungro

Tungro ditularkan oleh wereng hijau, Nephotettix sp. (Hemiptera: Cicadellidae). Rumpun padi yang terinfeksi virus tungro akan tampak kerdil dan anakannya sedikit, daun-daunnya menjadi kuning sampai kuning oranye dan

(a)

(28)

kecoklatan mulai dari ujung daun yang muda sampai daun tua (Gambar 5). Tanaman yang terinfeksi pada masa pembibitan dan vegetatif dapat hidup sampai fase pemasakan bulir tetapi masa pembungaan terlambat, malai menjadi kecil dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan panen terlambat dan produksi menjadi rendah.

Gambar 5 Gejala penyakit tungro pada tanaman padi

(29)

0 10 20 30

6 7 8 9 10 11

Luas serangan (%)

0 10 20 30

3 4 5 6 7 8 9 10 11

Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Minggu setelah tanam

Gambar 6 Perkembangan luas serangan tungro pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

wereng hijau sehingga keberadaan inokulum dilapang meningkat yang memungkinkan bagi vektor untuk mengakuisisi virus tungro dan menjadi infektif. Menurut Chiykowski (1981) bahwa proporsi vektor infektif di lapangan sangat menentukan tingkat serangan penyakit yang ditularkan oleh wereng hijau.

Tanaman padi yang terserang penyakit tungro akan menjadi kerdil dan pengurangan jumlah anakan. Bulir menjadi berukuran kecil-kecil dan hampa, pembentukan bunga sering terhambat, sehingga mempengaruhi terhadap penurunan produksi padi. Kerugian yang ditimbulkan penyakit tungro cukup besar, karena menyebabkan kehilangan hasil sekitar 20-90% pada sembilan varietas padi rentan yang terinfeksi (Waterworth dan Hadidi 2000).

Kresek

Penyakit kresek (Xanthomonas camprestris pv oryzae) dapat menginfeksi tanaman padi mulai dari pembibitan sampai tanaman tua. Gejala nampak pada daun berupa bercak kuning sampai putih berawal dari garis lembam berair pada tepi helaian daun (Gambar 7). Bercak bisa mulai pada salah satu atau kedua tepi daun, atau setiap bagian helain daun rusak, dan berkembang hingga seluruh daun.

(a)

(30)

Gambar 7

Gambar 7 Gejala penyakit kresek pada tanaman padi

Intensitas serangan kresek pada dua musim tanam umumnya lebih tinggi pada sistem budi daya input rendah (Gambar 8, Lampiran 9 dan 10 ). Hal ini diduga dipengaruhi oleh kelembaban yang tinggi yang mendukung perkembangan penyakit kresek. Jumlah anakan padi lebih banyak pada sistem budi daya input rendah dibandingkan dengan pertanian organik dan konvensional.

0 10 20 30 40

6 7 8 9 10 11

Intensitas serangan (%)

0 10 20 30 40

4 5 6 7 8 9 10 11

Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Gambar 8 Perkembangan intensitas serangan kresek pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

Minggu setelah tanam (a)

(31)

Jumlah anakan tanaman padi pada sistem budi daya input rendah adalah 20 anakan/rumpun dan tinggi tanaman 96 cm. Dengan jumlah anakan yang banyak dan tanaman yang tidak terlalu tinggi, memungkinkan bakteri dapat menyebar lebih cepat melalui percikan air, hujan atau penyiangan saat daun basah. Bakteri masuk ke dalam jaringan tanaman melalui lubang alami seperti stomata dan hidatoda serta luka, yang kemudian berkembang dalam ruang antar sel (Sinclair dan Backman 1989; Semangun 1990). Iklim mikro di sekitar tanaman sangat berperan dalam perkembangan penyakit kresek tersebut.

Pada pertanian organik , intensitas serangan kresek lebih rendah. Hal ini diduga karena adanya aktivitas agens antagonis. Hal ini sesuai dengan laporan Wibowo et al. (2002) bahwa P. fluorescen yang berada pada bagian tajuk tanaman (filosfer) padi mampu menekan laju infeksi patogen X. campestris pv. oryza. Hal tersebut disebabkan oleh kompetisi atau kolonisasi pada habitat yang sama.

Bercak Cercospora

Gejala serangan bercak bergaris (Cercospora oryzae) berupa garis terputus-putus berwarna kekuningan kemudian menjadi coklat kemerahan pada helaian daun (Gambar 9). Bercak pada awalnya sedikit, bila kelembaban tinggi dapat menutupi seluruh permukaan daun.

(32)

Serangan penyakit bercak cercospora pada kedua musim tanam mulai terjadi pada fase vegetatif (6 MST) dan terus meningkat sampai pengamatan ke-10, dengan intensitas serangan tertinggi pada pertanian organik 10 t/ha (Gambar 10, Lampiran 11 dan 12).

Serangan patogen penyakit ini terlihat semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Semangun (1990) bahwa daun tua tanaman padi lebih rentan terhadap penyakit bercak cercospora dibandingkan dengan daun yang muda. Pada tanaman yang muda unsur hara akan lebih difokuskan untuk pembentukan daun, sehingga daun muda lebih kuat terhadap serangan penyakit cercospora. Meningkatnya serangan pada daun tua kemungkinan disebabkan pengaruh unsur hara yang mulai berkurang pada daun, karena unsur hara diutamakan untuk pembentukan malai dan pengisian malai. Penyakit bercak cercospora dapat menjadi masalah karena ketimpangan hara, seper ti kekurangan dan kelebihan pupuk nitrogen (Semangun, 1990). Intensitas serangan penyakit ini dipengaruhi juga oleh kelembaban, dimana keadaan teduh dan gelap meningkatkan perkembangan bercak.

(a)

(33)

Hawar Pelepah Daun

Rhyzoctonia solani, sebagai penyebab penyakit hawar pelepah daun padi, dapat menginfeksi pelepah daun dan batang tanaman padi. Gejala hawar terlihat pada batang padi di atas permukaan air dan pada daun terdapat bercak-bercak keabu-abuan berbentuk oval memanjang, dapat meluas ke seluruh bagian daun dan sampai daun bendera (Gambar 11). Serangan pada tanaman stadia pengisian malai, menyebabkan proses pengisian malai tidak sempurna dan gabah menjadi hampa sehingga menurunkan produksi padi.

Gambar 11 Gejala penyakit hawar pelepah daun pada tanaman padi

(34)

Rend ahnya tingkat serangan penyakit hawar daun pada pertanian organik diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme pada kompos yang berpotensi sebagai agens antagonis. Berdasarkan pengamatan mikroorganisme di daun dan tanah tanaman padi, ditemukan bakteri Pseudomonas kelompok fluorescen (2 x 1010 coloni forming unit/g) dan bakteri tahan panas (2 x 1010 cfu/g sampai 38 x 1010 cfu/g dan 849 x 105 cfu/g sampai 154 x 105 cfu/g), serta cendawan Trichoderma sp. (0,8 x 105 cfu/g). Jhonson dan Curl (1972) serta Bulluck dan Ristaino (2002) menyatakan bahwa R. solani sebagai patogen tular tanah dapat tertekan pertumbuhannya dengan adanya penambahan kompos. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan Huang dan Benson (2002) bahwa Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. telah teridentifikasi sebagai agens pengendali hayati yang efektif untuk beberapa penyakit yang disebabkan cendawan R. solani. Pada bahan organik yang belum terdekomposisi Trichoderma spp. bersifat sebagai saprofit, tetapi setelah bahan organik mengalami pengomposan Trichoderma spp. menjadi bersifat hiperparasit terhadap R. solani (Hoitink et al. 1996).

(35)

Keanekaragaman Spesies dan Peranan Arthropoda

Kelimpahan Arthropoda

Hasil pengamatan artropoda dengan menggunakan jaring serangga dan lubang jebakan pada lahan persawahan organik 5 ton/ha, organik 10 ton/ha, konvensional dan input rendah pada MT I diperoleh 49.789 individu serangga yang terdiri dari 12 ordo, 93 famili dan 148 spesies. Pada MT II diperoleh 44.600 individu serangga yang terdiri dari 10 ordo, 89 famili dan 126 spesies. Perbedaan jumlah yang ditemukan antara MT I dan MT II kemungkinan disebabkan keadaan cuaca saat pengambilan sampel. Banyaknya famili dan individu tiap ordo dapat dilihat pada Lampiran 15.

Persentase kelimpahan individu setiap ordo serangga pada kedua musim tanam yang diperoleh dengan menggunakan jaring serangga menunjukkan kelimpahan individu terbesar terdapat pada ordo Thysanoptera pada lahan persawahan input rendah dan konvensional, ordo Diptera pada lahan persawahan organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha, sedangkan ordo Hemiptera pada keempat lahan sawah menunjukkan kelimpahan yang relatif sama tinggi (Tabel 2).

Tabel 2 Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan jaring serangga pada beberapa sistem budidaya

Serangga thrips (Thysanoptera) mulai muncul pada pertanaman padi berumur 5 MST, dengan populasi tertinggi terjadi pada saat tanaman berada pada fase

(36)

pengisian malai dan kemudian menurun menjelang panen . Kelimpahan ordo ini pada sistem pertanian input rendah dan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian organik, diduga karena lokasi kedua lahan tersebut berdekatan dengan lahan persawahan lain dengan umur tanaman yang beragam, sedangkan lahan organik dibatas i jalan, perumahan, tanaman talas dan hutan. Metcalf dan Luckmann (1982) menyatakan bahwa kelompok yang mula-mula mengadakan kolonisasi adalah serangga yang mudah terbawa angin seperti wereng, thrips dan aphids. Serangan hama thrips ini sangat jarang dilaporkan pada pertanaman padi. Tetapi serangan hama Trips oryzae (Baliothrips biformis) (Thysanoptera: Thripidae) pada tanaman muda menyebabkan daun menggulung dan berwarna kuning sampai kemerahan , pertumbuhan bibit terhambat dan pada tanaman dewasa dapat mengurangi pengisian malai (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2006). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Koswanudin dan Koesbiantoro (2000) yang menyatakan bahwa trips sudah muncul pada pertanaman padi berumur 2 MST, dengan serangan tertinggi pada tanaman muda dan menurun pada waktu menjelang panen. Munculnya serangga trips karena adanya pertanaman padi yang terus menerus selama tiga musim tanam, sehingga terjadi perpindahan dari tanaman inang lain seperti gulma ke pertanaman padi. Serangan hama Thrips ini secara tidak langsung menimbulkan kerugian terhadap hasil panen. Serangan cukup berat dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan akan memperpanjang umur tanaman sehingga menunda waktu panen.

(37)

dilakukan petani di Desa Situgede terhadap hama walang sangit atau Leptocorisa oratorius F. (Hemiptera: Alydidae), yaitu dengan tehnik pengendalian secara spesifik lokasi dengan menyebarkan cairan perasan kulit bawang putih pada pertanaman padi. Tehnik pengendalian secara tradisonal ini terlihat dapat menurunkan populasi walang sangit tersebut.

Kelimpahan arthropoda pada MT I dari pengumpulan menggunakan lubang jebakan menunjukkan bahwa persentase kelimpahan tertinggi terdapat pada ordo Collembola pada lahan persawahan input rendah (Tabel 3). Pada MT II, ordo Collembola ini menunjukkan nilai tertinggi pada keempat sistem budi daya padi. Lebih tingginya kelimpahan Collembola pada lahan input rendah (MT I) dan konvensional (MT II) diduga karena struktur lahan di pematang sawah tempat peletakan lubang jebakan pada kedua lahan kemungkinan mengandung bahan organik dan kelembaban yang lebih tinggi yang sesuai untuk kehidupan arthropoda ini. Pengamatan menunjukkan bahwa struktur lahan pematang sawah input rendah dan konvensional banyak ditumbuhi berbagai jenis rumput-rumputan dengan kelembaban tanah di tempat ini rela tif lebih tinggi dan terletak dekat dengan saluran air. Dengan banyaknya vegetasi rumput dan dekat saluran air, memungkinkan pematang sawah tersebut banyak mengandung serasah rumput dan kelembaban tanahnya lebih tinggi yang merupakan tempat sesuai untuk perkembangan Collembola. Menurut Suhardjono (2000) bahwa Collembola dapat ditemukan di hampir semua macam habitat dan keadaan vegetasi. Ditemukannya Collembola pada habitat tepian lahan sawah di Situgede menunjukkan kondisi lahan yang banyak mengandung bahan organik. Suhardjono (1992) lebih lanjut menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti pH, kandungan bahan organik dan suhu dapat mempengaru hi keberadaan Collembola.

(38)

Tabel 3 Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan

Diptera yang termasuk sebagai serangga saprofag. Odum (1971) menyatakan bahwa serangga saprofag dapat membantu menguraikan bahan organik dan hasil uraian tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Tingginya kelimpahan serangga saprofag pada lahan pinggiran dan lahan sawah pertanian organik dapat merupakan mangsa utama dan alternatif bagi serangga fitofag dan musuh alami, terutama predator. Dengan demikian, terdekomposisinya serasah/bahan organik, dan pelestarian gulma berguna dapat menyebabkan meningkatnya populasi predator, parasitoid dan serangga berguna lainnya dan tanaman utama mendapat unsur hara tambahan. Hal lain yang menyebabkan ordo Diptera kelimpahannya relatif tinggi kemungkinan karena faktor ekosistem padi sawah yang merupakan ekosistem berair. Menurut Daly et al. (1978), mengemukakan bahwa yang mendominasi serangga akuatik adalah larva Diptera.

Keanekaragaman Spesies

(39)

pertanian organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha memiliki jumlah ordo terbanyak pada kedua MT dibandingkan pada lahan konvensional dan input rendah.

Tabel 4 Jumlah ordo, famili, spesies dan individu arthropoda, indeks keaneka- ragaman shannon-wienner (H’) dan evenness (E) pada MT I dan MT II

Komposisi dan peranan arthropoda dari spesies yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 13. Pada MT I lahan pertanian organik 5 ton/ha memperlihatkan keseimbangan komposisi arthropoda yaitu dari 173 spesies yang teridentifikasi, 45,98% fitofag, 7,07% parasitoid, 17,67% predator dan 29,28% hewan lain. Untuk MT II keseimbangan komposisi arthropoda juga pada lahan pertanian organik 5 ton/ha yaitu dari 159 spesies yang teridentifikasi, 18,89% fitofag, 3,03% parasitoid, 9,79% predator, dan 69% serangga lain.

Pada MT II lahan konvensional pengurai dan serangga lain memperlihatkan nilai yang tinggi (76,88%). Komposisi arthropoda pada lahan konvensional tersebut mempunyai komposisi yang tidak merata antara fitofag, musuh alami dan pengurai dan serangga lain. Hal ini menunjukkan ekologi yang relatif kurang sehat, karena komposisi didominasi oleh fitofag serta pengurai dan serangga lain.

(40)

0

Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Persentase peranan arthropoda

Fitofag Parasitoid Predator

Pengurai & serangga lain

0

Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Gambar 13 Komposisi arthropoda berdasarkan peranannya pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

Kondisi ekosistem tanaman padi bersifat tidak stabil, sehingga sewaktu -waktu dapat terjadi peningkatan populasi hama dan populasi musuh alami tidak mampu mengimbangi perkembangan hama yang sangat cepat (Laba et al. 2000).

Serangga fitofag terdiri atas ordo Hemiptera, Orthoptera, Lepidoptera, Coleoptera, Diptera dan Thysanoptera (Lampiran 16). Serangga musuh alami (parasitoid dan predator) sebagian besar termasuk ordo Hymenoptera, Coleoptera, dan Diptera. Parasitoid yang potensial pada pertanaman padi adalah dari famili Braconidae, Trichogrammatidae, Eulophidae, Scelionidae, Mymaridae, Eupelmidae, Ichneumonidae dan Encyrtidae (Hymenoptera), Ceratopogonidae dan Tachinidae (Diptera). Predator yang mendominasi lahan adalah famili Coccinellidae, Carabidae dan Staphylinidae (Coleoptera), Coenagrionidae (Odonata), Mantidae (Mantodea), Reduviidae (Hemiptera), Formicidae (Hymenoptera) serta Tetragnathidae, Oxyopidae dan Lycosidae (Arachnida). Pengurai dan serangga lain didominasi oleh ordo Diptera dan Collembola.

(a)

(41)

Keanekaragaman, jenis dan peranan serangga yang ditemukan di lahan pertanian organik relatif menunjukkan serangga musuh alami (parasitoid dan predator), serta pengurai dan serangga lain lebih banyak ditemukan. Hal ini diduga karena lahan pertanian organik berdekatan dengan hutan, sungai, aliran air, pertanaman talas dan perumahan dibandingkan dengan lahan konvensional dan input rendah yang berdekatan dengan tanaman padi, aliran air, tanaman bengkuang dan perumahan (Lampiran 15). Vegetasi liar yang tumbuh di lahan pinggir dapat mempengaruhi keefektifan musuh alami di pertanaman yang dibudidayakan karena menyediakan inang dan mangsa, tempat berlindung dan sumber makanan (Emden 1991). Lahan pinggiran yang banyak ditumbuhi berbagai vegetasi dapat berperan sebagai habitat alternatif bagi arthropoda kelompok musuh alami (Emden 1991, Kartosuwondo 1993, Herlind a 2000), kelompok fitofag, pengurai dan pemakan plankton (Herlinda 2000). Keanekaragaman arthropoda pada vegetasi liar di lahan pinggiran mempunyai kontribusi dalam mendukung keseimbangan dan kestabilan ekosistem lahan sawah. Peranan lahan pinggiran juga sebagai habitat alternatif bagi arthropoda yang hidup pada suatu tanaman budidaya apabila tanaman budidaya tersebut tidak ada atau di luar musim tanam tanaman budidaya, sehingga lahan pinggiran berfungsi sebagai sumber arthropoda pada pertanaman musim berikutnya (Herlinda 2000).

Kerapatan dan Keanekaragaman Mikroorganisme

Kerapatan Mikroorganisme

(42)

antagonis maka kemungkinan besar patogen akan mendominasi. Perubahan terhadap populasi dan sifat antagonis cendawan saprofit (bertambahnya inokulumnya dan berpotensi menjadi patogen) menyebabkan interaksi pada patogen tanaman berubah (Vyas 1988).

Dalam penelitian ini pada kandidat agens antagonis tersebut tidak dilakukan uji potensi antagonisme lebih lanjut. Tetapi berdasarkan laporan Tjahjono (2000) bahwa beberapa galur dari Pseudomonas kelompok fluorescen dan isolat dari genus Bacillus sp. telah banyak dikembangkan sebagai antagonis yang penting dan potens ial sebagai agens biokontrol.

Tabel 5 Kerapatan koloni bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya

Organik 10 - 84,90x105 0,80x105 154,00x105 0,02x105

Keterangan : 1) P : Pseudomonas, 2) Bakteri tahan panas (Bacillus sp.)

(43)

Keanekaragaman Mikroorganisme

Secara umum pada bagian filosfer dan rhizosfer pada MT II, nilai keanekaragaman dan Evenness mikroba lebih tinggi pada pertanian organik 10 ton/ha dan 5 ton/ha dibandingkan pada lahan konvensional dan input rendah (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan spesies pada lahan pertanian organik lebih besar, demikian juga sebaran individu antara spesies lebih seragam di lahan pertanian organik dibandingkan dengan di lahan konvensional.

Tabel 6 Jumlah koloni, spesies, indeks shannon-wienner (H’) dan evenness (E) pada MT II

Jumlah/Indeks Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Filosfer

Koloni* 6,478 7,034 43,124 11,373

Spesies 11 9 13 11

H’ 1,603 1,022 1,557 1,986

E 0,668 0,465 0,607 0,828

Rhizosfer

Koloni* 7,404 7,886 26,024 17,824

Spesies 9 12 18 14

H’ 1,285 1,665 1,872 2,015

E 0,585 0,551 0,759 0,764

Keterangan: * )Jumlah koloni (106 cfu/g)

(44)

Analisis Usahatani

Hasil panen pada kedua musim tanam pada sistem budidaya konvensional dan input rendah lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian organik (Tabel 7). Masih rendahnya hasil panen pada pertanian organik kemungkinan disebabkan lokasi masih mengalami masa transisi dari kondisi sebelumnya dengan asupan pupuk anorganik ke sistem budidaya organik. Walaupun produksi lahan organik masih lebih rendah, namun kualitas beras organik dinilai sangat baik sehingga harga jualnya lebih tinggi dari hasil pertanian konvensional dan input rendah. Dengan demikian keuntungan petani dapat lebih tinggi dari pada pertanian organik. Pada pertanian organik 5 ton/ha sudah menunjukkan keuntungan yang lebih tinggi dari konvensional, tetapi biaya produksi yang dikeluarkan untuk membeli pupuk organik (bokashi) masih tinggi. Biaya produksi tersebut dapat dikurangi bila petani dapat membuat sendiri pupuk organik (bokashi) dari jerami padi lahannya dan pupuk kandang dari ternaknya sendiri. Dengan berkurangnya biaya produksi, keuntungan pada pertanian organik akan menjadi meningkat dan mungkin akan lebih tinggi dari pertanian konvensional dan input rendah.

Tabel 7 Analisis usahatani pada dua musim tanam pada beberapa sistem budidaya

(45)

Pada pertanian organik 5 ton/ha dan pertanian organik 10 ton/ha menunjukkan peningkatkan produksi tidak jauh berbeda, karena biaya produksi pada organik 10 ton/ha sangat tinggi m aka keuntungannya rendah. Walaupun nanti dikurangi dengan biaya produksi dengan membuat bokashi sendiri, sehingga dengan pertanian organik 5 ton/ha sudah memberi peluang kepada petani untuk meningkatkan produksi, dengan jaminan harga jual beras organik yang tinggi akan dapat meningkatkan pendapat petani.

(46)

PEMBAHASAN UMUM

Dari pengamatan yang telah dilakukan di lahan sawah dengan sistem pengelolaan konvensional, input rendah maupun organik, ditemukan berbagai jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi. Di antara hama dan penyakit yang ditemukan, penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah tampaknya relatif sama pada MT I dan MT II. Luas dan intensitas serangan hama dan penyakit pada MT I (musim hujan) relatif lebih tinggi dari pada MT II (musim kemarau), kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh keadaan cuaca yang sesuai untuk perkembangan hama dan penyakit.

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pada lahan konvensio nal dan input rendah yang menggunakan insektisida Furadan 3 G menunjukkan luas dan intensitas serangan hama penggerek batang lebih rendah tetapi tidak begitu jauh berbeda dengan pertanian organik. Hal ini menunjukkan pada pertanian organik kegiatan musuh alami (parasitoid dan predator) sudah dapat mengontrol populasi hama penggerek batang padi. Sehingga tanpa penggunaan insektisida, musuh alami sudah dapat mengurangi serangan hama penggerek batang padi.

Serangan penyakit tungro yang ditularkan oleh seran gga vektor Nephotettix sp. menunjukkan intensitas lebih tinggi pada pertanian organik. Hal ini didukung dengan ditemukannya serangga wereng hijau tersebut lebih banyak pada pertanian organik. Populasi dan aktivitas terbang serangga vektor infektif sangat berpengaruh terhadap potensi tertular maupun menularkan virus tungro di lapang. Kehilangan hasil karena terinfeksi tungro sangat dipengaruhi oleh stadia rumpun saat terjadi infeksi. Rumpun yang terinfeksi pada umur tanaman dua minggu setelah tanam dapat mengalami kehilangan hasil hingga 80%. Semakin lanjut umur tanaman saat terjadi infeksi, semakin rendah kehilangan hasil yang dialami (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Horikultura 1992).

(47)

relung (niche) yang sama dapat berupa kompetisi dalam menggunakan nutrisi dan ruang, antibiosis dengan menghasilkan antibiotika atau metabolit yang bersifat racun, dan parasitisme dengan cara menyerap nutrisi yang terdapat dalam patogen (Tronsmo 1996). Bakteri antagonis mampu memacu Induced Systemic Resistance (ISR) melawan patogen tumbuhan yang berskala luas, yang ditunjukkan dengan tingkat keparahan penyakit tanaman padi lebih rendah. P. fluorescens yang dieksplorasi dari tanaman padi pada awalnya diduga mempengaruhi pengaruh buruk bahkan berperan sebagai patogen beberapa jenis tanaman sayuran (tomat, cabe, cabe rawit, sawi, terong dan mentimun), akan tetapi setelah diuji dengan inokulasi buatan suntik, siram dan semprot ternyata tidak menyebabkan tanaman sakit (Wibowo et al. 2002).

Mekanisme penghambatan P. fluorescens dalam menekan patogen tanaman yaitu dengan memproduksi siderophore. Siderophore tersebut dapat mengikat besi dan turunannya di daerah sekitar perakaran, apabila unsur besi tidak tersedia maka patogen tidak dapat berkembang dengan baik (Cano dan Jaime 1988). Penghambatan pertumbuhan patogen oleh Bacillus sp. memungkinkan karena berdifusinya senyawa antibiotik yang dihasilkannya seperti ”bulbiformin” yang dapat mengakibatkan sel hifa R. solani mengalami lisis (Baker dan Cook 1974). Sementara itu Mew dan Rosales (1991) bahwa Pseudomonas spp. dan Trichoderma spp. dapat mengkoloni sklerosia cendawan R. solani dalam tanah terutama pada lahan pertanian beririgasi. Trichoderma spp. memarasit R. solani dengan hifa yang tumbuh melilit sekitar hifa cendawan inang, kemudian mendegradasi dinding sel inang dengan mengeluarkan enzim glukanase dan kitinase yang menyebabkan rusaknya lapisan kitin (selulose) dinding sel hifa cendawan patogen yang menjadi inangnya (Alexopaulus dan Mims 1979).

(48)

sudah terdekomposisi yang mengandung mikroorganisme tanah dengan populasi yang berlimpah, merupakan lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan patogen tular tanah (Jhonson dan Curl 1972).

Sebagian besar agens antagonis pad a tanaman bersifat saprofitik. Agens anatagonis tersebut relatif mudah beradaptasi terhadap lingkungan yang kurang baik (temperatur yang ekstrim, pengaruh antibiotik dan pestisida) bila dibandingkan dengan parasit tumbuhan. Mekanisme antaginisme antara agens antagonis dengan patogen dapat terjadi secara kompetisi, parasitisasi, antibiotisis dan lisis (Baker dan Cook 1974). Perubahan kelembaban tanah, pH, suhu, tekstur dan status hara (dengan penambahan bahan organik) akan mengurangi bertanya tingkat serangan patogen terutama patogen akar melalui stimulasi pertumbuhan agens antagonis. Penggunaan agens antagonis dalam pengendalian hayati patogen supaya lebih efektif terlebih dahulu harus perlu diuji kemampuan bertahannya setelah diintroduksi ke dalam tanah dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan.

Pengamatan keanekaragaman, kelimpahan dan komposisi peranan (musuh alami) arthropoda dan mik roorgansime (cendawan dan bakteri potensi antagonis) pada lahan pertanian organik relatif lebih tinggi dari pada lahan konvensional dan input rendah. Hal ini menunjukkan lahan pertanian organik bersifat relatif lebih stabil. Kestabilan ekosistem tersebut dapat terjadi apabila interaksi antara komponen ekosistem yaitu serangga fitofag, musuh musuh alami (parasitoid dan predator) dan serangga pengurai lainnya dikelola secara tepat. Ekosistem tanaman semusim bersifat kurang stabil bila dibandingkan dengan ekosistem hutan yang dicirikan dengan rendahnya keragaman hayati. Susunan jaringan pakan pada ekosistem tanaman semusim yang bersifat sederhana mengakibatkan populasi hama berada dalam keadaan tidak seimbang, sehingga mudah terjadi ledakan populasi hama (Southwood dan Way 1980). Kestabilan ekosistem padi sawah dapat dicapai dengan meningkatkan dan memantapkan keanek aragaman hayati melalui pengelolaan ekosistem, antara lain dengan mengoptimalkan budidaya dan meningkatkan peranan musuh alami.

(49)

dapat memberikan hasil yang lebih tinggi (Untung 1992). Tanpa pestisida, keanekaragaman hayati ekosistem dapat ditingkatkan sehingga musuh alami yang ada di pertanaman dapat berperan maksimal dalam mengatur populasi hama. Dengan menerapkan PHT dalam pertanian organik diharapkan dapat tercapai stabilitas ekosistem, sehingga pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dapat terwujud.

(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tingkat serangan hama dan penyakit pada pertanaman padi dengan sistem budidaya organik relatif sama dengan yang terjadi pada sistem konvensional maupun input rendah.

2. Sistem budidaya padi organik memaksimalkan peran musuh alami dan mikroorganisme berguna lainnya yang sesuai dengan prinsip PHT.

3. Ekosistem pertanian organik lebih kompleks yang tercermin dari keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme relatif lebih tinggi dari pada sistem pertanian konvensional dan input rendah.

Saran

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Abbasi PA, Al-Dahmani J, Sahin F, Hoitink HAJ, Miller SA. 2002. Effect of compost amendments on disease severity and yield of tomato in conventional and organic production systems. Plant Disease. 86:156 -161.

Agrios GN. 1987. Plant Phatology. 4th edition. New York: Academic Press. Andow DA, Hidaka K. 1998. Yield loss in conventional dan natural rice farming

systems. Agriculture, Ecosystems & Environment. 70(2/3):151-158.

Alexopoulus CJ, Mims CW. 1979. Introductory Mycology. 3 rd edition. New York: Jhon Wiley and Sons. 632 p.

Ar-Riza I, Sardjijo, Chaerudin. 2000. Prospek dan kendala pertanian o rganik dalam upaya peningkatan produksi padi di lahan kering. Di dalam: Mustajab HK, Rizal AAZ, Nurcholis M, Soeharto, Wuryani S, editor. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik, Yogyakarta 4 November 2000. Yogyakarta: CV. Cipta Tani Makmur Cirebon. hlm 157 -164.

Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San Francisco: WH. Freeman and Company. 433 p.

Borror DJ, Triplehom, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Partosoedjono S, penterjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1083 hlm.

Bulluck LR III, Ristaino JB. 2002. Effect of synthetic and organic soil fertility amendment on southern blight, soil microbial communities, and yield of processing tomato. Phytopathology 92:181-189.

Bruggen AHC van, Termorshuizen. 2005. Integrated approaches to root disease management in organic farming systems. Australasian Plant Pathology 32(2):141 -158 [abstrak ] http://www.publish.csiro.au/nid/176/act/search-advanced.htm [18 November 2005].

Clark MS, Ferris H, Klonsky K, Lanini WT, Bruggen AHC van, Zalon FG. 1998. Agronomic, economic, and environmental comparison of pest management in conventional and alternative tomato and corn systems in California. Agriculture, Ecosystems & Environment. 68(1/2):51-71.

Chiykowski LN. 1981. Epidemiology of disease caused by leafhopper borne pathogens. In Masamorosch K, Harris KF, ed. Plant Disease and Vector: Ecology and Epid emiology. New York: Academic Press.

Cano RJ, Jaime SC. 1988. Essentials of microbiology. California Polytechnic State University. San Fransisco. 649 p.

Cook RJ, Baker KF. 1983. The nature and practic e of biological control of plant pathogens. St. Paul, Minnesota: American Phytopathol. Soc. 139 p.

Dadang. 2005. Kenali pestisida, biar aman. Di dalam: Seminar Nasional Perlindungan Tanaman: Peran Pestisida dalam Produksi Pangan Nasional. Bogor 2 Oktober 2005. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman. IPB.

(52)

Darmadjati DS. 2005. Kebijakan operasional pemerintah dalam pengembangan pertanian organik di Indonesia. Di dalam: Workshop dan Kongres Nasional II MAPORINA, Jakarta 21-22 Desember 2005. Jakarta: MAPORINA.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Buku pedoman non kimia. http://www.deptan.go.id [ 12 Februari 2005].

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1992. Tungro dan wereng hijau. Didalam: Laporan akhir kerjasama teknik Indonesia-Jepang bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1993. Konsep pengendalian hama terpadu. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura.

Direktorat Perlindungan Tanaman. 2000. Pedoman pengamatan dan pelaporan perlindungan tanaman pangan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. Hama dan penyakit tanaman padi. http://www.deptan.go.id/ ditlin-tp/ [12 Juni 2006].

Domsch KH, Gams W, Anderson TH. 1993. Compendium of soil fungi. Vol. I. HW – Verlang.

Emden HF van. 1991. Plant diversity and natural enemy efficiency in agroecosystems, In Mackauer M, Ehler LE, Roland J, eds. Critical Issuesin Biological Control. Great Britain: Athenaeum Press Ltd. p. 63-80.

Herlinda S. 2000. Analisis komunitas arthropoda predator penghuni lansekap persawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. IPB.

Hoitink HAJ, Madden LV, Boehm MJ. 1996. Relationship among organic matter decomposition level, microbial species diversity, and soilborne disease severity. Di dalam Robert Hall, editor. Principles and practices of managing soilborne plant pathogens. St. Paul. Minnesota: APS Press.

Hornby D. 1990. Root diseases. In: Lynch JM, editors. The rhizosphere. New York: J Wiley & Sons.

Huang J, Benson DM. 2002. Biocontrol of Rhizoctonia stem and root rot of poisetia with Burkholderia cepacia and binucleate Rhizoctonia. P lant. Dis. 86: 47-53.

[IP2TP] Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. 2000. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik. Jakarta: Deptan.

Jhonson LF, Curl EA. 1972. Methods for research on the ecology of soil-borne plant pathogens. Minnesota: Burgess Publishing Company.

(53)

Kartosuwondo U. 1993. Dasar-dasar pemanfaatan Brassicaceae liar untuk konservasi parasitoid Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae) dalam mendukung pengendalian hama terpadu Plutella xylostella Linn. (Lepidoptera: Yponomeutidae). [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. IPB.

Koswanudin D, Koesbiantoro B. 2000. Keanekaragaman serangga hama dan arthropoda musuh alami pada pertanaman padi IP 300 di Kabupaten Sumedang. Di dalam: Soenarjo E, Sosromarsono S, Wardojo S, Prasadja I, editor. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung 16-18 Oktober 2000. Bogor: Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. hlm 229-235.

Laba IW, Djatmika K, Arifin M. 2000. Analisis keanekaragaman hayati musuh alami pada ekosistem padi sawah. Di dalam: Soenarjo E, Sosromarsono S, Wardojo S, Prasadja I, editor. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung 16-18 Oktober 2000. Bogor: Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. hlm 207-215.

Lelliot RA, Stead DE. 1987. Method for The Diagnosis of Bacterial Disease of Plants. 2 nd edition. London: Blackwell Scientific Publication.

Lorito M, Harman GE, Hayes CK, Broadway RM, Tronsmo A, Woo SL, Di Pietro A. 1993. Chitinolytic enzymes produces by Trichoderma harzianun: abtifungal activity of purified endochitinase and chitibiosidase. Phytopathology. 83:302-307.

Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical ecology: a primer on methods and computing. New York: Jhon Wiley and Sons. 337 p.

[MAPORINA] Masyarakat Pertanian Organik Indonesia. 2005. Teknologi budidaya organik. Di dalam: Panduan Work shop dan Kongres Nasional II MAPORINA, Jakarta 21-22 Desember 2005. Jakarta: MAPORINA. hlm 14 -15. Magurran AE. 1988. Ecological diversity and measurement. New Jersey:

Princeton University Press. 179 p.

Metcalf RL, Luckmann WH. 1982. Introduction to Pest Management. Second Edition. John Wiley & Sons. New York, Brisbane, Singapore.

Mew TW, Rosales AM. 1991. Relationship of soil microorganisms to rice sheath blight development in irrigated and dryland rice cultures. In Soil Borne Crop Diseases in Asia. FFTC Book Series. No. 26:147-158.

Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejhon MJ. 1996. The insect of Australia. Division of entomology commonwealth scientific and industrial research organization. Melbourne University Press.

Niemela JN, Halme E, Haila Y. 1990. Balancing sampling effort in pitfall trapping of carabid beetles. Entomol. Fennica. 1:233-238.

Gambar

Tabel 1  Kategori penyakit
Tabel 3  Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan
Tabel 5  Kerapatan koloni bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer pada MT I                dan MT II pada beberapa sistem budidaya
Tabel 6  Jumlah koloni, spesies, indeks shannon-wienner (H’) dan                          evenness (E) pada  MT II

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensiona dengan pola

Produksi kubis pada perlakuan organik lebih rendah dibandingkan dengan non organik, juga disebabkan tingginya intensitas penyakit akar gada dan hama Gryllotalpa sp.. Hal

Diagram tersebut diatas menunjukan bahwa penggunaan pupuk organik dan pestisida organik pada P3 dengan dosis pupuk 1500 gram/m 2 ,dan pestisida organik ekstrak daun

Penambahan pupuk organik dan anorganik mampu mempengaruhi pertumbuhan tanaman, hal ini dibutikan dengan lebih tingginya nilai rerata pada masing-masing pengamatan

2011.Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Padi Melalui Penggunaan Varietas Unggul Dan Sistem Tanam Jajar Legowo Dalam Meningkatkan Produktivitas Padi Mendukung Swasembada

Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensiona dengan pola

Sistem Pengolahan Benih Padi (Oryza sativa L ) Pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke mampu membantu Dinas dalam melihat berapa banyak benih padi unggulan

Khususnya di Kelurahan Purwosari yang mempunyai potensi penanaman padi organik, karena di kelurahan tersebut terdapat komunitas penyuluh pertanian yaitu PKT