• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi mutu koagulum karet alam dengan metode ultrasonik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi mutu koagulum karet alam dengan metode ultrasonik"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI MUTU KOAGULUM KARET ALAM

DENGAN METODE ULTRASONIK

DADI RUSADI MASPANGER

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KARAKTERISASI MUTU KOAGULUM KARET ALAM

DENGAN METODE ULTRASONIK

DADI RUSADI MASPANGER

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakterisasi Mutu Koagulum Karet Alam Dengan Metode Ultrasonik adalah karya saya sendiri dan belum diajukan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2005

(4)

DADI R. MASPANGER. Karakterisasi Mutu Koagulum Karet Alam Dengan Metode Ultrasonik. Dibimbing oleh HADI K. PURWADARIA, I WAYAN BUDIASTRA, dan AMORANTO TRISNOBUDI.

Bahan olah karet sebagian besar berbentuk koagulum dan berasal dari perkebunan rakyat. Penilaian mutunya secara umum dilakukan subyektif melalui pengamatan visual untuk penentuan kadar karet kering, kadar air dan kadar kotoran. Metode ultrasonik, sebagai metode yang bersifat obyektif dan tidak merusak , diharapkan dapat dijadikan metode alternatif untuk evaluasi mutu koagulum. Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari hubungan kadar air dan kotoran dengan sifat elastik karet dan sifat-sifat gelombang ultrasonik, mengembangkan model matematik hubungan mutu koagulum dengan sifat-sifat akustik, dan mengkaji aplikasi jaringan syaraf tiruan untuk penentuan kadar karet kering. Sampel uji yang digunakan bersifat model, dibuat dari lateks kebun yang digumpalkan dengan asam semut. Jenis kotoran terdiri atas pasir, tatal kayu karet dan campurannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar air pada selang 18-43% menyebabkan peningkatan densiti, penurunan modulus Young, atenuasi, dan kecepatan gelombang ultrasonik. Peningkatan kadar pasir hingga 20% menyebabkan peningkatan densiti dari 930 hingga 1014 kg m-3, modulus Young dari 0.295 hingga 1.12 MPa, atenuasi dari 504 hingga 1520 dB m-1, dan turunnya kecepatan gelombang dari 1516 menjadi 1441 m dtk -1. Peningkatan kadar tatal hingga 20% menyebabkan peningkatan kecepatan gelombang dari 1481 hingga 1545 m dtk-1, atenuasi dari 504 hingga 1108 dB m-1 dan penurunan densiti dari 975 menjadi 869 kg m-3 .

Persamaan matematik yang berhasil dikembangkan untuk penentuan kadar air dinyatakan sebagai (100-Ka)1/3 = 1.412 10-9ρ0.867CL

1.868

I -0.097, R2 = 0.9519,

sedangkan untuk kadar karet kering : 0.3Ka2 –4Kkot =-0.007x2 +0.585x-37.14, x = 8.077 10-9ρ0.819CL

1.877

I -0.055, dimana K3 = kadar karet kering (%), Ka = kadar air (%), ρ = densiti (kg m-3), I = atenuasi (dB m-1), CL = kecepatan gelombang ultrasonik (m s-1), E= modulus Young (MPa), Kkot = kadar kotoran (%). Perbandingan Poisson merupakan fungsi dari kadar air dan kadar kotoran : v =- 0.255 10-10 (Ka2– 2Kkot)2 + 0.0094 10-5(Ka2–2Kkot) + 0.499, R2 = 0.9422, dan modulus Young : E = (1.072 10-10ρCL

2

) /(1+1.26 10-14I 2 CL 2

) , R2 = 0.9598.

Hasil validasi menunjukkan bahwa penyimpangan tertinggi untuk kadar air prediksi mecapai 27% dengan RMSE = 1.9788, dan sebanyak 86% data memiliki penyimpangan dibawah 10%, penyimpangan tertinggi untuk kadar karet kering mencapai 12% dengan RMSE=3.0722, dan sebanyak 94% data memiliki penyimpangan dibawah 10%.

(5)

DADI R. MASPANGER. Characterization of Natural Rubber Coagulum Quality by Ultrasonic Method. Supervised by HADI K. PURWADARIA, I WAYAN BUDIASTRA, and AMORANTO TRISNOBUDI.

Raw rubber is prepared mostly in the the form of coagulum by the small holders. Its quality is commonly judged subjectively by visual measure to determine the dry rubber content, moisture content and foreign materials. Ultrasonic method, as a non-destructive objective alternative, may be considered for the evaluation of coagulum quality. The objectives of this research were to assess the relationship of coagulum quality with the rubber elasticity and the properties of ultrasonic wave, to develop the mathematical model to relate the coagulum quality with the acoustic characteristics, and to apply neural network in determining dry rubber content. Test samples were based on model, made by coagulating fresh latex with formic acid and the addition of foreign materials. The foreign materials were limited to sand, rubber wood shavings, and their mixture.

The result showed that increasing moisture content of 18-43% caused the increasing density, decreasing Young modulus, as well as decreasing attenuation and wave velocity. The increasing of sand up to 20% caused the increasing of density from 930 to 1014 kg m-3, the Young modulus from 0.295 to 1.12 MPa, the attenuation from 504 to 1520 dB m-1, and the decreasing of wave velocity from 1516 m s-1 to 1441 m s-1. The increasing of wood shavings up to 20% caused the increasing of wave velocity from 1481 to 1545 m s-1, the attenuation from 504 to 1,108 dBm-1, and the decreasing of density from 975 to 869 kg m-3.

The developed mathematical equation to determine the moisture content was expresed as (100-Ka)1/3 = 1.412 10-9ρ 0.867CL 1.868 I -0.097, R2 = 0.9519, while for the dry rubber content 0.3Ka2 –4Kkot =-0.007 x2 + 0.586 x - 37.14, with x= 8.08 10-9

ρ0.82

CL1.87 I -0.055 , where Ka = moisture content (%), K3 = dry rubber content (%),•ρ = density (kg m-3), I = attenuation (dB m-1), CL = wave velocity (m s-1), E = Young’s modulus (MPa), and Kkot = foreign materials content (%). The Poisson ratio is a function of moisture and foreign materials content : v =- 0.255 10-10 (Ka2–2Kkot)2 + 0.0094 10-5(Ka2–2Kkot)+0.499, with R2 = 0.9422, while Young’s modulus is calculated from E =(1.072 10-10ρCL2) /(1+ 1.265 10-14 I 2CL2) with R2 = 0.9598.

The results of validation indicated a highest deviation of 27% for the moisture content prediction with an RMSE=1.9788 and 86% data performed a deviation below 10%. A maximum deviation of 12% was indicated for the dry rubber content prediction with an RMSE = 3.0722 and 94% data performed a deviation below 10%,

(6)

KARAKTERISASI MUTU KOAGULUM KARET ALAM

DENGAN METODE ULTRASONIK

DADI RUSADI MASPANGER

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Ultrasonik

Nama : Dadi Rusadi Maspanger

NIM : F126010041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. Dr. Ir. Amoranto Trisnobudi Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Keteknikan Pertanian

(Prof.Dr.Ir. Budi I Setiawan, M.Agr.) (Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.)

(8)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Mutu Karet dengan judul Karakterisasi Mutu Koagulum Karet Alam Dengan Metode Ultrasonik.

Penulis menghaturkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc., Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr., dan Bapak Dr. Ir. Amoranto Trisnobudi, selaku komisi pembimbing, serta kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, MSAE, Bapak Dr. Suharto Honggokusumo, MSc., dan Bapak Dr. Ir. Sutrisno Budiman, MSc., yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi.

Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada Sdr. M. Irfan ST, Sdri. Fera KS, SSi, Ida M, SSi, dan para teknisi di BPTK Bogor dan di Laboratorium Ultrasonik, Departemen Teknik Fisika ITB, yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. Penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada istri dan anak-anak tercinta atas pengertian, perhatian dan kesabaran, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya bagi upaya pengembangan evaluasi mutu karet di Indonesia.

Bogor, September 2005 wassalam

(9)

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 September 1956 di desa Kadipaten, kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Putra kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak RE Maspanger (almarhum) dan Ibu Hj. Sutiah Sastramiharja (almarhumah). Pendidikan S1 ditempuh di Departemen Teknik Kimia ITB, lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1996 menempuh pendidikan program Magister di jurusan dan perguruan tinggi yang sama dan menyelesaikannya pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan program Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian (TEP) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... ix

DAFTAR GAMBAR ………... x

DAFTAR LAMPIRAN……….………... xiv

DAFTAR NOTASI ……….. xv

PENDAHULUAN Pendahuluan ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian... 5

Manfaat Penelitian... 6

TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Kimia Karet Alam ………... 7

Klasifikasi Mutu Bahan Olah Karet…………... 8

Teori Elastisitas Karet... 12

Ultrasonik sebagai Gelombang Elastik... 15

Aplikasi Gelombang Ultrasonik ... 23

Penyusunan Model Matematik Untuk Komposisi Koagulum ... 26

Aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan (JST) ……...……… 32

BAHAN DAN METODE Waktu, Tempat dan Tahapan Penelitian... 36

Prosedur Penelitian... 38

Pengolahan Data... 42

Aplikasi JST Untuk Penentuan Kadar Karet Kering ... 44

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kadar air dan Kotoran Terhadap Sifat Elastik Karet... 46

Pengaruh Kadar air dan Kotoran Terhadap Sifat Akustik... 44

Model Matematik Modulus Young, Kadar Air dan Kadar Karet Kering Sebagai Fungsi Densiti dan Sifat Akustik... 53 Validasi Model Matematik Modulus Young, Kadar Air dan Kadar Karet Kering Sebagai Fungsi Densiti dan Sifat Akustik... 66 Aplikasi JST Untuk Penentuan Kadar Karet Kering ... 78

Pembahasan Terhadap Penyimpangan Model Matematik ... 82

Rangkuman Hasil Penelitian ... 86

KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Perkembangan luas areal perkebunan karet dan produksi

karet alam Indonesia ... 1

2 Perkembangan ekspor karet alam Indonesia ... 2 3 Komposisi kimia lateks kebun ... 7 4 Persyaratan mutu bokar (SNI 06-2047-2002) ... 9 5 Hasil uji validasi model matematik modulus Young sebagai fungsi

densiti , atenuasi dan kecepatan gelombang ultrasonik………....

…. 69 6 Hasil uji validasi model matematik kadar air sebagai fungsi densiti ,

atenuasi dan kecepatan gelombang ultrasonik……….….

…. 75 7 Hasil uji validasi model matematik kadar karet kering sebagai fungsi

densiti , atenuasi dan kecepatan gelombang ultrasonik………...

…. 78 8 Nilai-nilai pembobot dan bias pada lapisan tersembunyi dan lapisan

masukan Jaringan Syaraf Tiruan ... 79 9 Data hasil pengujian sifat akustik dan sifat fisik koagulum

untuk validasi model matematik ... 111 10 Data hasil pengujian sifat akustik dan sifat fisik koagulum,

percobaan I, kadar air rata-rata 43.11% ... 117 11 Data hasil pengujian sifat akustik dan sifat fisik koagulum,

percobaan II, kadar air rata-rata 32.26% ... 123 12 Data hasil pengujian sifat akustik dan sifat fisik koagulum,

percobaan III, kadar air rata-rata 24.61% ... 129 13 Data hasil pengujian sifat akustik dan sifat fisik koagulum,

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Monomer isopren pembentuk molekul karet alam ... 8

2 Kurva elastisitas (stress-strain) dari logam dan karet ... 12

3 Skema geseran balok pada perhitungan modulus geser ... 13

4 Skema peregangan dan penyusutan sebuah balok ... 13

5 Elemen tegangan dan regangan pada segmen massa paralelepipida ... 18

6 Bagan gelombang diantara dua medium …... 21

7 Pergeseran posisi sebagai fungsi rambatan gelombang ……… ….. 27

8 Mekanisme transfer sinyal elektrokimia di dalam otak manusia ... 33

9 Skema komputasi program JST ... 33

10 Arsitektur JST untuk penentuan kadar karet kering ……… ... 34

11 Bagan tahap-tahap kegiatan penelitian ... 37

12 Visual preparasi sampel uji koagulum karet ………... 39

13 Peralatan ultrasonik untuk uji sifat akustik koagulum karet ... 38

14 Contoh kurva gelombang ultrasonik ... 41

15 Peralatan untuk pengujian modulus Young koagulum karet ... 41

16 Contoh kurva tegangan-regangan untuk penetapan Modulus Young ... 42

17 Contoh tampilan NN-Toolbox Matlab 6.1.0.450 ... 44

18 Sebaran nilai modulus Young koagulum karet... 46 19 Sebaran nilai kecepatan gelombang ultrasonik di dalam koagulum

karet pada beberapa tingkat kadar air dan kotoran (pasir+tatal) ... 48 20 Sebaran nilai kecepatan gelombang ultrasonik 2 MHz di dalam

koagulum karet pada beberapa tingkat kadar air - kotoran (tatal) ... 49 21 Sebaran nilai kecepatan gelombang ultrasonik 2 MHz

pada beberapa tingkat kadar air dan kotoran (tatal +pasir) ... 49 22 Sebaran atenuasi gelombang ultrasonik 2 MHz di dalam koagulum

karet pada beberapa tingkat kadar air dan kotoran (tatal+pasir) ... 50 23 Tekanan amplitudo gelombang ultrasonik di dalam koagulum karet

tanpa dan yang mengandung kotoran ……… ... 51 24 Sebaran nilai densiti koagulum karet pada beberapa tingkat kadar

air dan kotoran (pasir) ... 52 25 Sebaran nilai densiti koagulum karet pada beberapa tingkat kadar

(13)

26 Korelasi linier (a) dan parabolik (b) modulus Young (E) target sebagai fungsi hiperbolik dari densiti (ρ), kecepatan (CL) dan

atenuasi gelombang ultrasonik (I)... 54

27 Korelasi linier (a) dan parabolik (b) modulus Young (E) target sebagai fungsi geometrik dari densiti (ρ), kecepatan (CL) dan

atenuasi gelombang ultrasonik (I). ... 55

28 Korelasi modulus Young hasil uji tarik dan hasil metode ultrasonik dengan nilai perbandingan Poisson dianggap konstan ………...

56 29 Sebaran nilai (1+v)(1-2v)/1-v) koagulum karet ... 57 30 Perbandingan Poisson sebagai fungsi kadar air dan kotoran ... 58 32 Korelasi linier (a) dan parabolik (b) kadar air (Ka) target sebagai

fungsi hiperbolik dari densiti (ρ), kecepatan (CL) dan atenuasi

gelombang ultrasonik (I)... 60

33 Korelasi linier (a) dan parabolik (b) nilai kadar air (Ka) target sebagai fungsi geometrik densiti (ρ), kecepatan (CL) dan

atenuasi gelombang ultrasonik (I)... 61

34 Korelasi kadar karet kering (K3) terhadap perkalian densiti (ρ),

kecepatan (CL) dan atenuasi gelombang ultrasonik (I). ... 62

35 Korelasi linier (a) dan parabolik (b) dari beda kadar air (Ka) dan kotoran (Kkot) sebagai fungsi hiperbolik densiti (ρ), atenuasi (I) dan kecepatan gelombang ultrasonik (CL)...

63

36 Korelasi linier (a) dan parabolik (b) dari beda kadar air (Ka) dan kotoran (Kkot) sebagai fungsi geometrik densiti (ρ), atenuasi (I) dan kecepatan gelombang ultrasonik (CL) ...

64

37 Kadar kotoran (Kkot) sebagai fungsi densiti (ρ), atenuasi (I) dan

kecepatan gelombang ultrasonik (CL)... 65

38 Penyimpangan nilai modulus Young (E) seluruh sampel uji hasil prediksi model matematik 1B-regresi linier...

66

39 Penyimpangan nilai modulus Young (E) seluruh sampel uji hasil prediksi model matematik 1B-regresi parabolik...

67 40 Penyimpangan nilai modulus Young (E) seluruh sampel uji hasil

prediksi model matematik 1A-regresi parabolik... 68 41 Penyimpangan nilai modulus Young (E) hasil validasi model 1A,

E = k ρp CL q I r regresi arabolik... 68

42 Hubungan nilai variabel bebas pada model matematik modulus Young...

69 43 Korelasi modulus Young terhadap perkalian densiti (ρ) dan kecepatan

gelombang ultrasonik (CL) ... 71

44 Sebaran penyimpangan nilai kadar air terhadap nilai target untuk seluruh sampel uji hasil perhitungan model 2A regresi linier ...

(14)

45 Sebaran nilai densiti dan kecepatan gelombang ultrasonik pada

peningkatan kadar kotoran... 73 46 Sebaran penyimpangan nilai kadar air terhadap nilai target seluruh

sampel uji hasil perhitungan model 2A regresi linier... 74

47 Penyimpangan nilai kadar air hasil validasi model hiperbolik 2A regresi parabolik. ...

74 48 Frekuensi data kadar karet kering hasil prediksi model matematik

pada beberapa nilai penyimpangan terhadap nilai target ... 77 49 Arsitektur JST untuk proses pembelajaran penentuan kadar karet

kering dengan masukan sifat fisik dan akustik ... dd 79 50 Perubahan MSE selama iterasi pada proses pembelajaran JST untuk

penentuan kadar karet kering ...

dd 80 51 Korelasi linier kadar karet kering prediksi JST dan kadar karet kering

prediksi model matematik terhadap nilai target ... 81 52 Frekuensi jumlah data pada beberapa penyimpangan nilai kadar air

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman A Contoh-Contoh Jenis Bahan Olah Karet... 95 B Contoh-Contoh Tampilan Koagulum Bercampur Kotoran ... 97 C Contoh Visual Transaksi Jual Beli Bahan Olah Karet ... 98 D Penentuan Nilai Konstanta dan Eksponen Pada Model

Matematik Dengan Metode Regresi Linier Berganda ... 99

(16)

DAFTAR NOTASI

Simbol Keterangan Satuan

a Percepatan m dtk-2

c Kecepatan gelombang m dtk-1

f Gaya persatuan luas pada paralelepipida Kg m dtk-2 k Konstanta Boltzman 1. 3503x 10-23 kJ K-1

m Massa kg

A Tekanan amplitudo di dalam bahan Volt

Ao Tekanan amplitudo di dalam media acuan Volt

B Modulus bulk MPa

CL Kecepatan gelombang longitudinal m dtk-2 CT Kecepatan gelombang transversal m dtk-2 E Modulus elastisitas, modulus Young MPa

F Gaya N

G Modulus geser Kg m-2

K Modulus kekakuan (stiffness) MPa

Ka Kadar air % (b/b)

K3 Kadar karet kering % (b/b)

Kkot Kadar kotoran % (b/b)

Ix, Io Intensitas gelombang suara -

I, αI Koefisien attenuasi gelombang suara dB m -1 N Jumlah jaringan molekul per unit volume kmol m-3 R Koefisien refleksi gelombang akustik -

•S Perubahan entropi kJ K-1

T Suhu internal karet oC

TR Koefisien transmisi gelombang akustik -

Vr Fraksi volume karet cm3 cm-3

Vw Fraksi volume air cm3 cm-3

(17)

Lanjutan

Simbol Keterangan Satuan

W Energi yang disimpan kJ

Z Impedansi akustik kg m-2 dtk-1

αP Koefisien attenuasi gelombang suara Np m-1 åij Rasio perpanjangan (regangan) arah ij cm cm-1 θ, u Gangguan yang menjalar di dalam medium -

η, γ Koefisien viskositas kg m- dtk-1

λ , µ Konstanta Lame Kg m-2

ρ Densiti kg m-3

θp Fraksi volume partikel padat cm3 cm-3 τij , σij Tegangan (stress) arah ij Kg m-2

ν Perbandingan Poisson -

λ Panjang gelombang m

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karet alam (natural rubber, Hevea braziliensis), merupakan komoditas perkebunan tradisional sekaligus komoditas ekspor yang berperan penting sebagai penghasil devisa negara dari sub-sektor perkebunan, dan menjadi tumpuan pencaharian bagi banyak keluarga petani. Luas areal tanaman karet pada tahun 2003 sekitar 3.3 juta hektar, dengan produksi 1.79 juta ton atau 22% produksi karet alam dunia (7.2 juta ton), menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand (IRSG, 2003). Pada tahun 1996, peran komoditas ini pernah mencapai puncaknya dengan pangsa pasar 36.7% dari total pangsa pasar komoditas pertanian yang menyumbang devisa lebih dari 5100 juta US$ (Bank Indonesia, 2001 ).

Hingga saat ini sebagian besar perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan rakyat. Pada tahun 2003, luas arealnya mencapai tidak kurang dari 85%, sisanya merupakan perkebunan Negara dan Swasta. Dari total produksi, hampir 76% nya berasal dari perkebunan rakyat. Pada Tabel 1 ditampilkan perkembangan luas areal perkebunan dan produksi karet alam berdasarkan jenis pengusahaannya.

Tabel 1 Perkembangan luas areal perkebunan karet (ribuan ha) dan produksi karet alam Indonesia (ribuan ton)

Jenis Pengusahaan

Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Tahun

Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi

1998 3082 1243 230 192 295 227

1999 2856 1295 234 196 297 224

2000 2883 1215 213 170 276 206

2001 2855 1210 213 181 277 216

2002 2828 1223 213 189 277 218

2003 2800 1365 213 195 277 230

Sumber : Ditjenbun, Departemen Pertanian (2003)

(19)

sit menurun beralih ke karet remah, kini sekitar 90% produksi karet alam nasional merupakan karet remah. Pada Tabel 2 ditampilkan perkembangan volume ekspor karet alam selama beberapa tahun terakhir. Tampak bahwa karet remah terutama jenis SIR 20 senantiasa mendominasi jenis karet mentah yang diproduksi, lebih dari 85% adalah SIR 20, sisanya kurang dari 15% adalah jenis lainnya.

Tabel 2 Perkembangan ekspor karet alam Indonesia (ribuan ton) Tahun

Jenis mutu

1998 1999 2000 2001 2002 Rataan

Proporsi (%) Lateks Pekat 15.2 12.5 9.5 10.3 8.6 11.2 0.7 RSS 45.1 56.9 42.5 32.7 44.2 44.3 2.9 SIR 1576.5 1420.2 1322.3 1411.4 1436.0 1433.3 95.4 SIR 5 29.1 43.4 41.4 32.0 32.0 35.6 2.4 SIR 10 60.3 68.9 62.9 59.7 61.5 62.7 4,2 SIR 20 1457.7 1290.9 1210,9 1283.2 1317.3 1312.0 87.3 SIR lain 29.4 17.0 7.1 36.5 25.2 23.0 1.5 Lain-lain 4.4 5.0 5.3 42.5 13.4 14.1 0.9 Total 1641.2 1494.6 1379.6 1496.9 1502.2 1502.9 100.0

Sumber: IRSG (2003), diolah

Mutu karet remah dinilai berdasarkan sifat fisiko-kimia seperti kadar zat menguap, kadar kotoran, kadar nitrogen dan viskositas Mooney. Karet remah produksi Indonesia dikenal dengan nama SIR (Standard Indonesian Rubber), SMR untuk karet remah Malaysia, dan TSR untuk yang dihasilkan Thailand. SIR 5, 10 dan SIR 20 memiliki persyaratan mutu yang berbeda satu dengan lainnya. Sebagai contoh, SIR 10 berkadar kotoran tidak boleh lebih dari 0.1%, dan di atas 0.1% hingga 0.2% digolongkan sebagai SIR 20.

Teknologi karet remah terlahir untuk mengimbangi perkembangan karet sintetik yang mutunya dinilai berdasarkan sifat fisiko-kimia dan umumnya juga berbentuk butiran atau remahan. Tujuan lain adalah agar mampu memenuhi permintaan yang tinggi terhadap karet alam sebagai bahan baku ban kendaraan bermotor, seiring dengan pesatnya perkembangan sektor transportasi. Kondisi demikian sukar dipenuhi oleh karet sit, karena waktu pengeringannya cukup lama yakni 5-7 hari, sedangkan untuk karet remah hanya sekitar 2-3 jam.

(20)

penggumpalan harus sesegera mungkin, karena jika lateksnya kurang segar akan dihasilkan karet sit mutu rendah. Ketebalan lembarannya harus cukup tipis (1-3 mm), sehingga mengurangi peluang timbulnya kesengajaan memasukan kotoran agar beratnya meningkat. Suhu pengeringan maksimum 55-60 oC, karena suhu yang tinggi akan menyebabkan permukaan karet bergelembung dan lengket.

Berbeda dengan karet sit, karet remah dapat dibuat dari lateks yang telah menggumpal (koagulum) dengan sembarang bentuk dan ukuran, sehingga. membuka peluang timbulnya kesengajaan memasukkan kotoran agar beratnya meningkat. Suhu pengeringan yang tinggi (110-130 oC), ditambah bentuknya yang butiran atau remahan menyebabkan waktu pengeringan karet remah jauh lebih singkat dibanding karet sit. Suhu yang tinggi tersebut sesungguhnya menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap mutu karet, antara lain dapat menurunpan plastisitasnya.

Pada saat karet sit masih mendominasi produksi karet alam, petani berperan sebagai penghasil bahan olah karet (bokar) berupa lateks, dan banyak juga yang berperan sekaligus sebagai pengolahnya untuk dijadikan karet sit. Namun kini petani umumnya hanya sebagai penyedia bokar dalam bentuk koagulum. Bokar tersebut dijual ke pabrik karet remah untuk diolah menjadi karet remah SIR 10 dan terutama jenis SIR 20.

Teknologi karet remah disatu sisi berdampak positif dalam meningkatkan produksi agar mampu mengimbangi permintaan dunia untuk karet alam, sekaligus meningkatkan devisa negara, namun disisi lain ternyata menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas bokar terutama yang dihasilkan dari perkebunan rakyat. Tuntutan kapasitas pabrik karet remah yang besar dan persaingan diantara pabrik itu sendiri, mendorong petani karet untuk segera menghasilkan bokar dengan target kuantitas yang jauh melebihi perhatian terhadap kualitasnya, berakibat mutu bokar secara umum tergolong rendah, antara lain sering bercampur dengan berbagai jenis kotoran.

Perumusan Masalah

(21)

diterapkan dalam upaya meningkatkan mutu bokar. SNI 06-2047-2002 sesungguhnya lebih lunak dibandingkan dengan standar mutu sebelumnya yang mengharuskan hanya asam semut sebagai bahan penggumpal, serta ada batas maksimum ketebalan dan batas minimum kadar karet kering. Dalam standar mutu sekarang, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4 (Bab Tinjauan Pustaka), untuk bokar berupa koagulum diberi kebebasan dalam ketebalan dan kadar karet kering serta tidak perlu penggunaan asam semut sebagai koagulan asalkan tidak bersifat merusak karet.

Walaupun persyaratannya cukup longgar, namun secara umum masih sukar diimplementasikan di tingkat petani karet. Keharusan tidak boleh ada kotoran dan koagulan harus aman terhadap karet merupakan permasalahan lama yang secara teknis masih sukar dipenuhi. Prosedur penyiapan bahan olah karet oleh para petani belum sepenuhnya dilaksanakan secara baik. Lateks setelah disadap langsung digumpalkan dengan sembarang koagulan seperti asam semut, asam sulfat, tawas, cuka dan air perasan gadung di tempat yang kotor bercampur dengan berbagai jenis kotoran seperti tanah, pasir, kerikil, tatal bekas sadapan, serat goni, tali dan plastik bekas. Penambahan kotoranpun seringkali dilakukan dengan sengaja untuk meningkatkan bobot agar harga penjualan meningkat.

Selain jenis, komposisi dan distribusi kotorannya bervariasi, umur, bentuk dan ukuran koagulum juga beragam, mulai dari bentuk serpihan atau mangkok, lembaran/slab 1 hingga 10 cm sampai yang berbentuk balok 50cmx50cm, tebal sekitar 20-30 cm, gabungan dari bagian-bagian kecil bercampur lateks atau dibentuk langsung dari lateks yang sama (masif).

(22)

Belum diperolehnya metode evaluasi mutu yang obyektif, menyebabkan hingga saat ini penentuan K3 masih bersifat subyektif yakni secara visual melalui pembelahan koagulum dan selanjutnya mengamati tingkat kekotorannya untuk memperkirakan kemurnian kadar karet kering. Koagulum yang basah dan banyak mengandung kotoran biasanya ditaksir berkadar karet kering yang rendah. Besarnya nilai K3 praktis ditentukan secara kompromistik yang tidak jarang bersifat sepihak dengan resiko menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak pembeli maupun penjual.

Makin besar penyimpangan terhadap K3, akan makin besar kerugian yang ditimbulkan. Sebagai contoh untuk pabrik karet remah yang berkapasitas 50 ton/hari, pada saat harga karet remah Rp 10.000,-/kg, maka kesalahan perhitungan yang hanya 1% dapat mendatangkan kerugian sekitar Rp 5.000.000,- setiap harinya.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, agar hasil pengujian dapat diterima oleh berbagai pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli bokar, diperlukan suatu metode penentuan mutu yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak lagi mengandalkan cara perkiraan dan taksiran. Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu untuk berbagai komoditas pertanian, metode ultrasonik diharapkan dapat dikembangkan untuk keperluan evaluasi mutu koagulum karet. Keunggulan metode ultrasonik adalah tidak bersifat merusak (NDT = non destructive testing) dan relatip cepat sehingga memungkinkan untuk diterapkan secara on line

langsung ke bahan yang akan diproses.

Disebabkan beragamnya bentuk, umur, maupun jenis, komposisi dan distribusi kotoran yang terdapat di dalam koagulum, ditambah pula dengan bervariasinya cara-cara penggumpalan, maka penelitian yang komprehensif akan memerlukan waktu yang lama. Penelitian yang telah dilaksanakan ini masih bersifat pemodelan, yakni sampel uji koagulum dibuat sendiri dan jenis kotoran dibatasi hanya pasir dan tatal, berdasarkan pertimbangan bahwa kedua jenis kotoran tersebut termasuk yang paling sering ditemukan di dalam koagulum dari perkebunan rakyat.

Tujuan Penelitian

(23)

koagulum terhadap elastisitas karet dan sifat-sifat gelombang ultrasonik sebagai berikut,

1 mempelajari hubungan kadar air dan kadar kotoran koagulum dengan sifat fisik (densiti dan elastisitas) dan sifat akustik (atenuasi dan kecepatan gelombang ultrasonik) ,

2 menyusun model matematik hubungan kadar air, kadar karet kering dan kadar kotoran dengan sifat fisik dan sifat akustik,

3 melakukan uji validasi terhadap model matematik pada butir 2 di atas, dan 4 mengkaji aplikasi program JST (Jaringan Syaraf Tiruan) untuk menentukan

kadar karet kering koagulum.

Manfaat Penelitian

1 Berdasarkan informasi adanya korelasi yang nyata antara mutu koagulum dan sifat-sifat gelombang ultrasonik, diharapkan menjadi dasar pengembangan penelitian selanjutnya yang lebih komprehensif, dimana sampel uji koagulum tidak lagi bersifat pemodelan namun sudah berupa contoh uji koagulum lapangan. Metode ultrasonik diharapkan kelak dapat menjadi metode yang efisien dan efektif untuk penilaian mutu koagulum yang akan diolah menjadi karet remah. Karena penentuan kadar air, kadar karet dan kadar kotoran dengan metode ultrasonik bersifat obyektif maka berpotensi diterima secara umum oleh pelaku bisnis bahan olah karet

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Komposisi Kimia Karet Alam

Karet merupakan polimer yang bersifat elastik, sehingga sering juga disebut sebagai elastomer. Di dalam dunia perdagangan dikenal istilah karet alam dan karet sintetik. Karet alam diperoleh dengan cara menyadap lateks yakni getah pohon karet (Hevea brasiliensis M.), sedangkan karet sintetik umumnya dibuat secara polimerisasi monomer-monomer yang berasal dari fraksi minyak bumi.

Lateks merupakan cairan berwarna putih atau putih kekuningan, yang terdiri atas partikel-partikel karet dan bahan bukan karet yang terdispersi di dalam serum. Komposisi kimia lateks hevea ditunjukkan pada Tabel 3. Partikel karet berbentuk bulat berukuran antara 5 nm – 3 µm, mengandung beberapa ratus molekul cis -poliisoprena. Bahan-bahan lain seperti protein dan lipid yang membentuk senyawa fosfolipoprotein, berupa membran bermuatan negatif yang melapisi partikel karet. Membran sejenis ini menyebabkan partikel-partikel karet terdispersi secara stabil di dalam serum lateks.

Tabel 3 Komposisi kimia lateks kebun

Komponen % berat

Karet (cis-1,4-poliisopren) 30 - 35

Resin 0.5 - 1.5

Protein 1.5 - 2

Abu 0.3 - 0.7

Gula 0.3 - 0.5

Air 55 - 60

Sumber : Archer, et al. (1963)

(25)

lateks. Sedangkan lateks dapat menggumpal secara alami akibat terbentuknya senyawa-senyawa asam hasil perombakan karbohidrat dan lipid yang terdapat di dalam lateks oleh mikroorganisme (Archer, et al.,1963).

Molekul karet merupakan untaian berulang isopren yang sangat panjang. Rumus molekul karet cis-1,4 poliisopren dengan unit pembentuknya isopren dapat dilihat pada pada Gambar 1. Kekuatan atau keliatan karet makin besar dengan semakin panjangnya rantai molekul poliisopren. Rantai molekul karet ini dapat putus menjadi rantai molekul yang lebih pendek akibat reaksi oksidasi, sehingga kekuatannya berkurang.

Gambar 1 Monomer cis-poliisopren pembentuk molekul karet alam

Bahan-bahan selain karet yang terdapat di dalam lateks, seperti lipid dapat berperan sebagai antioksidan, yakni bahan pencegah terjadinya oksidasi terhadap molekul karet. Sedangkan protein, selain berfungsi sebagai penstabil sistem koloid lateks juga berperan sebagai bahan yang mempercepat proses vulkanisasi pada pembuatan barang jadi karet. Bahan-bahan tersebut cenderung rusak dan terbuang pada penggumpalan yang berlangsung secara alami (Gazeley, et al., 1988).

Klasifikasi Mutu Bahan Olah Karet

Berdasarkan standar mutu bokar yang berlaku saat ini (SNI 06-2047-2002) sebagaimana disajikan pada Tabel 4, terdapat 4 jenis bahan olah karet yakni lateks kebun, dan koagulumnya dalam bentuk sit, lump dan slab.

(26)

Tabel 4 Persyaratan mutu bokar (SNI 06-2047-2002)

Koagulum

No. Jenis Uji Lateks

kebun Sit Slab Lump

1 Kadar karet kering (K3) Mutu I, % Mutu II, %

≥ 28

≥20 -<28 - - - - - -

2 Ketebalan Mutu I, mm Mutu II, mm Mutu III, mm Mutu IV, mm

- - - - 3 5 10 - •50

>50 - 100 >100-150

>150

•50

>50 - 100 >100-150 >150

3 Kebersihan - Tidak terdapat

kotoran

Tidak terdapat kotoran

Tidak terdapat kotoran

4 Koagulan - Asam semut

atau bahan lain yang tidak merusak mutu

karet *)

Asam semut atau bahan lain yang

tidak merusak mutu karet atau

penggumpalan alami *)

Asam semut atau bahan lain yang

tidak merusak mutu karet atau

penggumpalan alami *) *) Bahan yang direkomendasikan oleh Lembaga Penelitian yang kredibel

Lateks kebun

Lateks kebun merupakan getah yang berwarna putih dan berbau segar. Umumnya lateks kebun hasil penyadapan mempunyai kadar karet kering (K3) antara 20-35%, serta bersifat kurang mantap sehingga harus segera diolah secepat mungkin. Cara penyadapan dan penanganan lateks kebun sangat berpengaruh terhadap sifat koagulum sekaligus tingkat kebersihannya.

Lateks kebun umumnya hanya digunakan untuk pembuatan SIR jenis khusus atau high grade yakni SIR 3CV, 3WF atau SIR 3L. Mutu lateks kebun yang akan dijadikan bahan olah karet remah hanya dinilai atas kadar keringnya saja, yakni mutu I jika kadar karetnya minimal 28% dan mutu II jika kadar karetnya minimal 20% sampai dbawah 28%.

(27)

dicelupkan ke dalam lateks dan dibiarkan mengambang/setimbang pada skala tertentu yang menunjukkan langsung kadar karet atau kadar air. Pada saat ini pengukuran kadar karet dengan metrolaks sudah jarang digunakan, karena dinilai harga alat cukup mahal, mudah pecah dan harus sering dikalibrasi.

Pengukuran kadar karet dengan cara penimbangan kering dilakukan dengan terlebih dulu menggumpalkan sekitar 10 g contoh lateks, lalu digiling tipis dan dikeringkan dengan oven pada 105 oC selama 24 jam. Cara ini sesungguhnya paling teliti, namun hanya sesuai untuk di laboratorium. Dalam praktek di lapangan, cara penimbangan kering hampir tidak pernah dilakukan karena kurang praktis serta hasil pengukurannya baru bisa diketahui pada keesokan harinya.

Pengukuran dengan cara penimbangan basah paling umum diterapkan. Pada cara ini, lateks setelah digumpalkan digiling tipis. Lembaran tipis karet basahnya setelah dilap dengan kain bersih kemudian ditimbang. Dengan menggunakan tabel koreksi, dicari nilai berat basah yang paling dekat dengan nilai berat keringnya. Walaupun cara penimbangan basah masih memiliki beberapa kelemahan, namun karena prosedurnya praktis, sederhana, cepat, dan hasilnya bisa diketahui dengan segera, maka cara tersebut saat ini yang paling banyak diterapkan di lapangan.

Cara pengukuran kadar karet di dalam lateks yang mutakhir diperkenalkan oleh Khalid, et al. (1994), yakni dengan mengukur konstanta dielektrik lateks. Diperoleh informasi konstanta dielektrik pada 2.45 sampai 18 GHz berkorelasi erat dengan kadar air dengan penyimpangan pengukuran hanya berkisar 3-5%.

Koagulum tipis (sit)

Bahan olah dalam bentuk koagulum sit jarang digunakan karena fungsinya hanya sebagai pencampur untuk pembuatan SIR 5. Untuk pembuatan karet remah jenis umum yakni SIR 10 dan 20, biasanya digunakan lump dan slab.

(28)

Lembaran koagulum digiling menggunakan gilingan tangan polos sebanyak 4 kali, setiap kali menggiling jarak rol diatur agar setelah penggilingan ketiga tebal lembaran karet ± 5 mm. Setelah itu lembaran karet digiling menggunakan gilingan beralur 1 kali sehingga tebal sit sekitar 3 mm. Lembaran sit dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan asam semut yang tertinggal. Lembaran sit yang diperoleh digantung di atas rak untuk dikering-anginkan di udara terbuka kira-kira 10 hari, dan diusahakan agar tidak terkena sinar matahari langsung.

Lump dan slab

Lump merupakan koagulum yang terbentuk pada mangkok penampung lateks kebun beberapa saat setelah penyadapan. Menurut Standar Mutu yang kini berlaku, proses penggumpalan harus terjadi secara alami atau dengan koagulan yang baik. Mutu I diberlakukan untuk ketebalan tidak lebih dari 50 mm, mutu II diatas 50 sampai 100 mm, mutu III lebih dari 100 hingga 150 mm, ketebalan di atas 150 mm digolongkan sebagai mutu IV.

Slab tipis adalah koagulum yang berasal dari lateks kebun yang sengaja digumpalkan dengan asam semut dan dari lump mangkok segar yang direkatkan dengan atau tanpa lateks. Slab tipis tidak boleh dikotori oleh tatal sadap, kayu, daun, pasir dan benda asing lain. Jenis-jenis kotoran tersebut merupakan bentuk utama dari limbah padat yang dihasilkan di pabrik karet remah.

(29)

Teori Elastisitas Karet

Elastisitas merupakan sifat suatu bahan yang menyerupai pegas, jika setelah dikenai gaya berupa pampatan atau regangan, bahan akan kembali ke bentuk semula.. Elastisitas karet lebih baik dibanding elastisitas plastik atau logam. Karet mampu kembali ke ukuran semula setelah diregang hingga 4-5 kali panjang awalnya, namun logam hanya mampu sampai perpanjangan sekitar 0.5% yang jika dipaksakan akan patah atau retak (failure).

Pembahasan teori elastisitas, termasuk hubungan tegangan dan regangan melibatkan pengertian modulus Young, modulus geser dan perbandingan Poisson dapat diuraikan sebagai berikut :

1 modulus Young atau disebut juga modulus elastisitas, adalah perbandingan antara tegangan (τ) dan regangan (ε) menurut persamaan (1). Gambar 2 memperlihatkan kurva tegangan-regangan dimana sampai titik A membentuk garis lurus, kemiringannya disebut sebagai modulus Young. Setelah titik A, bahan mengalami retak atau patah, sehingga tegangan yang diberikan tidak lagi linier terhadap regangannya.

E = τ/ε ………..…………..…(1)

Gambar 2 Kurva elastisitas (stress-strain) dari logam dan karet

(30)

sedangkan bagian permukaan atasnya (luas = A ) digeser dengan gaya F, maka akan timbul tegangan geser τ = gaya geser/luas geseran = F/A, disertai regangan geser (shear strain) γ = defleksi/tebal = x/t.

[image:30.612.239.433.164.308.2]

G = τ/γ ……… ………(2)

Gambar 3 Skema geseran balok pada perhitungan modulus geser

3 perbandingan Poisson (v) adalah perbandingan antara konstraksi lateral dan pertambahan panjang aksial. Sebagai contoh pada Gambar 4 ditampilkan penampang depan sebuah balok yang mengalami regangan dalam arah x (aksial) sebesar εxx , menyebabkan volume benda mengalami perubahan atau konstraksi lateral εyy. Perbandingan Poisson dinyatakan oleh persamaan (3), tanda negatif biasanya disertakan agar nilai ν tetap positif jika nilai εyy negatif.

ν = - εyy/εxx ……… ……….…………(3 )

Gambar 4 Skema peregangan dan penyusutan sebuah balok

Teori elastisitas disusun antara lain berdasarkan struktur dan konfigurasi molekul suatu bahan. Atom-atom penyusun molekul senantiasa berotasi bebas

B entuk mula- mula

B entuk s aat per egangan Penyus utan

=

εyy

(31)

diantara rantai-rantainya sehingga bahan bersifat dinamis yang jika dikenai suatu gaya luar akan memberikan gaya reaksi. Polimer lebih elastik dibanding jenis bahan lainnya, disebabkan polimer tersusun oleh struktur jaringan molekul 3-dimensi, bercabang dan mengandung chain entanglement.

Jika suatu bahan mengalami regangan atau pampatan maka akan terjadi penyimpanan energi W yang merupakan fungsi regangan åxx , åyy , åzz (berturut-turut rasio perpanjangan arah x, y dan z), suhu T, jumlah jaringan molekul per unit volume N, dan fraksi volume karet Vr , maka untuk segmen volume karet berbentuk kubus berlaku hubungan sebagai berikut (Mullins dan Thomas, 1963).

W = ½ NkT Vr1/3 ( åxx2 + åyy2 + åzz 2 - 3)……… ...…… …… … ……(4) Dalam ilmu rheologi, karet sering dianggap sebagai fluida (cairan) yang sangat pekat, jika dikenai gaya berupa regangan atau pampatan, walaupun bentuknya berubah namun perubahan volumenya sangat kecil, sehingga densiti bisa dianggap konstan. Pada kondisi tersebut bulk modulus nya jauh lebih besar dibanding modulus kekakuan, dan perkalian rasio perpanjangan arah x, y dan z =1,

åxx.åyy.åzz= 1……… …..… .….…. ……(5) Deferensiasi persamaan (5) menghasilkan :

( ∂åxx/åxx) + (∂åyy/åyy ) + (∂åzz/åzz ) = 0……… ……… …..(6) Jika gaya-gaya persatuan luas yang diberikan pada setiap sisi kubus dinotasikan sebagai f1, f2 dan f3, maka jumlah energi yang disimpan adalah :

∂W = f1∂åxx + f2∂åyy + f3∂åzz ………… ………..……….. …….(7) Menurut persamaan (5) åzz dapat dieleminasi, åxx=1/(åyy.åzz), maka gabungan persamaan (6) dan (7) dapat disusun ulang menjadi :

∂W = (åxxf1 – åzzf3) ∂åxx/åxx + (åyyf2 – åzzf3)∂åyy/åyy …… ….. ……… ……….(8) Dalam segmen kecil, persamaan (4) juga dapat diubah menjadi :

∂W = NkT Vr1/3 (åxx∂åxx+ åyy∂åyy+ åzz∂åzz)……… ………..(9) Jika ∂åzz dieleminasi, akan diperoleh :

(32)

(åxxf1 – åzzf3) = NkT Vr1/3 (åxx2 – åyy2)

(åyyf2 – åzzf3 ) = NkT Vr1/3 (åyy 2 – åzz2) ……… ….…….(11) Untuk perpanjangan hanya dalam satu arah f2=f3=0, dan åyy=åzz=åxx-1/2, maka persamaan (11) dapat disederhanakan menjadi,

f1 = NkT Vr1/3 (åxx – åxx-2) ……… ….. …...….(12) Untuk karet kering, Vr = 1, maka :

f1 = NkT (åxx – åxx-2) atau f1 = G (åxx – åxx-2)

yang sering dinyatakan sebagai gaya persatuan luas (stress) τxx ,

τxx = G (åxx – åxx-2) ..……… .……… ..…..….(13) dimana G = NkT = modulus geser

Persamaan (13) merupakan hubungan antara tegangan dan regangan. Mullins dan Thomas (1963) mengemukakan bahwa beberapa penelitian sering memodifikasi persamaan (13), antara lain dirubah menjadi persamaan sebagai berikut.

τxx = G Vr1/3 (åxx

b

– åxx

- c

) ……… ….. ….……….(14) Beberapa percobaan menunjukkan bahwa persamaan (13) mengalami penyimpangan pada åxx yang terlalu besar, hanya sesuai untuk nilai 0.4 < åxx < 1.3 (IRI, 1998). Penyimpangan kemungkinan terjadi disebabkan terbentuknya kristalisasi dan pemutusan rantai molekul jika karet diregang terlalu besar.

Ultrasonik sebagai Gelombang Elastik

(33)

Pada saat gelombang merambat, medium yang dilewatinya akan mengalami getaran. Gelombang yang arah rambatannya tegak lurus terhadap arah getaran disebut sebagai gelombang transversal, sedangkan yang berarah sama dengan arah getarannya disebut sebagai gelombang longitudinal.

Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik/akustik dengan frekuensi di atas 20 kHz, sehingga tidak terdengan oleh telinga manusia. Gelombang bunyi (sonik) memiliki daerah frekuensi 20 Hz sampai 20 kHz sehingga masih dapat didengar. Dibawah 20 Hz, manusia kembali tidak mampu menangkapnya. Gelombang akustik pada kondisi ini disebut infrasonik. Untuk menghasilkan gelombang ultrasonik diperlukan suatu transduser, dimana tegangan listrik yang diterima oleh transduser akan diubah menjadi gelombang mekanik.

Gelombang mekanik jika mengenai suatu medium akan mengalami perubahan arah atau penguraian, yakni kemungkinan gelombang akan dipantulkan dengan arah gelombang memenuhi hukum-hukum pemantulan, kemungkinan lain adalah gelombang akan diteruskan dan dibiaskan. Pembiasan tidak akan terjadi jika arah gelombang tegak lurus permukaan medium. Kecepatan gelombang, amplitudo dan panjang gelombangnya di dalam medium berbeda satu dengan yang lain tergantung sifat-sifat elastik medium yang dilewatinya, sehingga gelombang ultrasonik disebut juga sebagai gelombang elastik.

Medium yang dilewati gelombang ultrasonik dapat bersifat isotropik dan anisotropik. Pada medium yang isotropik, sifat-sifat gelombang tidak dipengaruhi oleh orientasi dari medium. Pada medium yang anisotropik, sifat-sifat gelombang sangat dipengaruhi oleh orientasi medium, menyebabkan korelasi antara propagasi gelombang dan arah dari perpindahan partikel (displacement) sangat kompleks. Dalam tulisan ini, pembahasan dibatasi hanya untuk medium isotropik.

Persamaan Gelombang Elastik di dalam Medium Isotropik

Misalkan gangguan yang menjalar di dalam medium merupakan suatu besaran

θ dengan kecepatan c sepanjang sumbu x dari suatu sistem koordinat Kartesius. Diasumsikan besaran θ tidak mengalami perubahan selama menjalar. Pada waktu t = 0, berlaku hubungan sebagai berikut (Gooberman, 1968).

(34)

Setelah waktu t, gangguan akan menjalar sejauh c.t, besaran θ tetap nilainya, hanya posisinya sekarang berubah ke posisi x = c.t, sehingga :

θ = f (x-ct) ……… ………… ………. (16)

Deferesiansi persamaan (16) menghasilkan : ) . ( '' 2 2 t c x f

x = −

∂ ∂ θ

……… …….. ….……. (17)

) . ( '' 2 2 2 t c x f c

t = −

∂ ∂ θ

……… ………. ……… (18)

Gabungan persamaan (17) dan (18) menghasilkan :

2 2 2 2 2 x c t ∂ ∂ = ∂ ∂ θ θ

……… ……… ………..( 19)

Persamaan (19) merupakan persamaan gelombang yang menjalar di dalam suatu medium elastik. Bila diambil elemen medium bermasa m, mendapat gaya F yang tidak seimbang sehingga m berpindah dalam arah x sebesar ux ,maka akan timbul percepatan a dan dengan gaya F sesuai dengan hukum Newton,

2 2 t u a x ∂ ∂

= ……… ……… ………. ….…(20)

F = m a = m 2

2

t ux ∂ ∂

………… ……… ……… ………. ….… (21)

atau : m F t ux = ∂ ∂ 2 2

……… …………. …… (22)

Jika gaya F dinyatakan dalam bentuk :

F = A 2

2

x ux ∂ ∂

……… …….. ….…… (23)

dimana A adalah suatu konstanta, maka akan didapat :

2 2 2 2 x u m A t

ux x

∂ ∂ = ∂ ∂

……… ……….. ….…… (24)

(35)

Kecepatan Gelombang Sebagai Fungsi Konstanta Elastik

Pada Gambar 5 ditampilkan tegangan-tegangan geser dan longitudinal yang bekerja di dalam sebuah elemen massa berbentuk paralelepipida yang bervolume = (∂x ∂y ∂z). Secara keseluruhan pada elemen massa tersebut terdapat 3 elemen regangan longitudinal (εxx, εyy, εzz), 3 elemen tegangan longitudinal (τxx, τyy , τzz), 3 elemen regangan geser (εxy, εxz, εyz), dan 3 elemen tegangan geser (τxy, τxz , τyz).

Gambar 5 Elemen tegangan geser dan longitudinal yang bekerja pada segmen massa paralelepipida

Jika ditinjau hanya dalam arah x, gaya netto yang bekerja dapat dinyatakan dengan persamaan :

F = (

x

xx

∂ ∂τ

+

y

xy

∂ ∂τ

+

x

xz

∂ ∂τ

)(∂x ∂y ∂z) ….……… ………….. …….. (25) m = ρo (∂x ∂y ∂z)

Dengan mensubstiitusikan persamaan (21), persamaan di atas dapat disusun ulang menjadi :

x

xx

∂ ∂τ

+

y

xy

∂ ∂τ

+

x

xz

∂ ∂τ

= ρo 2

2

t ux ∂ ∂

……….……… ……….. …..………. (26)

Hubungan tegangan-regangan dalam sebuah paralelepipida yang isotropik dapat disusun sebagai fungsi konstanta Lame λ dan µ sebagai berikut.

y

x

z

τ

x y

τ

x x

τ

x z

τ

yy

τ

yx

τ

yz

τ

zy

τ

zx

τ

zz

∂x

∂y

(36)

Regangan longitudinal:

εxx = ∂ux/∂x

εyy = ∂uy/∂y

εzz = ∂uz/∂z Regangan geser:

εxy =∂ux/∂y + ∂uy/∂x

εxz = ∂ux/∂z + ∂uz/∂x

εyz = ∂uy/∂z + ∂uz/∂y……..………(27) Tegangan longitudinal :

τxx = (λ + 2µ) εxx +λε yy + λεzz τyy = λεxx + (λ + 2µ) ε yy + λεzz τzz = λεxx + λε yy + (λ + 2µ)εzz Tegangan geser/transversal :

τyz = µε yz τxz = µεxz

τxy = µεxy ……….……(28)

Unsur-unsur tegangan pada persamaan (26) dapat diganti dengan memasukkan hubungan regangan-tegangan di atas. Setelah dideferensiasi dan disederhanakan dengan hanya meninjau perpindahan ux , maka akan dihasilkan persamaan :

(λ + 2µ) 2

2

x ux ∂ ∂

+ µ 2

2

y ux ∂ ∂

+ µ 2

2

z ux ∂ ∂

= ρo 2

2

t ux ∂ ∂

………… ……… ..…… (29)

Persamaan (29) menunjukkan terdapat dua jenis gelombang yakni : 1 gelombang longitudinal atau gelombang P (Primary wave),

2 2 t ux ∂ ∂ =       + o ρ µ λ 2 2 2 x ux ∂ ∂

……… …….. …… (30)

2 gelombang transversal atau gelombang S (secondary),

2 2 t ux ∂ ∂ = o ρ µ 2 2 y ux ∂ ∂ 2 2 t ux ∂ ∂ = o ρ µ 2 2 z ux ∂ ∂

(37)

Parameter kecepatan c pada persamaan (19) jika digabungkan dengan persamaan (26) dan (29) akan menghasilkan persamaan-persamaan :

1 gelombang longitudinal : CL = o ρ

µ λ+2

……… .…… ....…..…... (32)

2 gelombang transversal : CT = o ρ

µ

……… ……… …. (33)

Gelombang transversal hanya dapat terjadi di dalam medium padat, sedangkan gelombang longitudinal dapat terjadi di setiap jenis medium. Persamaan (32) dan (33) dapat dikembangkan lebih jauh hubungannya terhadap konstanta elastik yang lain dengan cara memanfaatkan persamaan-persamaan sebelumnya, diperoleh hubungan sebagai berikut.

1 gelombang longitudinal di dalam medium padat: CL =

) 2 1 )( 1 (

) 1 (

ν ν

ρ

ν − +

o

E

……… ……… ……… (34)

2 gelombang transversal di dalam medium padat:

CT =

) 1 ( 2ρo

E

………..……… ……… …..… (35)

3 gelombang longitudinal di dalam medium cair (modulus geser = 0) : CL =

o

B

ρ ……… ……….. ……… (36)

Impedansi Akustik dan Atenuasi

(38)

Gambar 6 Bagan gelombang diantara dua medium

Untuk mempelajari peristiwa penyerapan gelombang di dalam suatu medium, dikenal satuan impedansi Z yang nilainya ditentukan oleh rapat massa medium ρ dan kecepatan gelombang akustik C. Nilai dari amplitudo pulsa gelombang yang ditransmisikan maupun yang direfleksikan ditentukan oleh nilai koefisien refleksi R dan koefisien transmisi T sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan-persamaan berikut (Zhang, et al. 1994).

Z = ρC ..……… ….….……….(37) R =

2 1

1 2

Z Z

Z Z

− −

………..….………..……(38)

TR =

2 1

2

2

Z Z

Z

+ ……….………...(38)

TR2 = 1 – R2 …..… ……. ………..………(39)

Akibat adanya peristiwa refleksi-transmisi, energi gelombang akustik akan mengalami penurunan yang biasanya dinyatakan sebagai koefisien atenuasi αI , yang merupakan perbandingan antara intensitas awal pada jarak x di dalam medium (Ix)

Medium A Medium B

Gelombang datang

Gelombang pantul

(39)

dan intensitas mula-mula yakni sebelum memasuki medium (Io) menurut persamaan sebagai berikut (Cracknell, 1980).

αI = -      

0 ln 1

I I x

x

……… … (40)

Ukuran atenuasipun biasa dinyatakan dalam bentuk perbandingan tekanan amplitudo setelah melewati jarak x di dalam medium (px) dan sebelum memasuki medium (po), sebagai berikut,

αp = -      

0 ln 1

p p x

x

……… .……( 41)

dimana αI = 2αp

Atenuasi terjadi karena gelombang mengalami defleksi (penyimpangan) dan absorpsi (penyerapan). Defleksi dapat berupa refleksi, refraksi, dan scattering

yang terjadi pada bidang batas antar dua medium, terutama ditimbulkan karena perbedaan struktur-geometri.

Defleksi dalam bentuk refleksi (pemantulan) atau refraksi (penguraian) disebabkan adanya perbedaan impendansi akustik. Sudut refraksi maupun refleksi terhadap normal dari gelombang tranversal biasanya lebih kecil dibanding yang dialami oleh gelombang longitudinal.

Defleksi dalam bentuk scattering (penghamburan) disebabkan perbedaan karakteristik struktur daripada medium, misalnya pada material polikristalin,

scattering terjadi akibat perbedaan ukuran partikel kristal. Scattering tipe Rayleigh terjadi jika partikel terdistribusi homogen dan diameternya lebih kecil dibanding panjang gelombang.

(40)

Aplikasi Gelombang Ultrasonik

Aplikasi gelombang ultrasonik sudah sedemikian luas sejak dimulai penggunaanya pada PD II untuk mendeteksi kedalaman laut. Saat ini teknologi ultrasonik banyak digunakan antara lain di bidang-bidang sebagai berikut (Blitz, 1968; Cracknell, 1980),

Kedokteran : diagnosa janin, organ tubuh, jaringan syaraf

Geologi : analisis/identifikasi tanah, batuan, minyak, kedalaman Industri : analisis bahan, laju aliran, pemisahan, pengelasan

Dibidang pertanianpun, teknologi ultrasonik sudah banyak diterapkan terutama untuk kegiatan analisis/identifikasi yang bersifat tidak merusak (NDT = Non Destructive Testing), antara lain untuk mendeteksi mutu produk pertanian seperti komposisi kimia, kerusakan, dan kematangan buah-buahan.

Penelitian penggunaan ultrasonik untuk buah-buahan dimulai oleh Sarkar dan Wolf (1983) untuk memperkirakan kematangan buah apel. Kemudian disusul oleh Mizrach, et al. (1989, 1997, 1999) untuk mencari korelasi kecepatan dan atenuasi gelombang ultrasonik terhadap tingkat matang buah apel, melon dan alpukat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan gelombang ultrasonik di dalam buah-buahan dipengaruhi oleh susunan sel internal dan modulus elastik jaringannya. Mulet, et.al. (1999) mengamati pengaruh suhu terhadap kecepatan gelombang ultrasonik di dalam keju, menghasilkan informasi bahwa kecepatan gelombang meningkat dengan kenaikan suhu pemanasan.

Budiastra, et al. (1998) telah melakukan pengembangan teknologi gelombang ultrasonik untuk penentuan kematangan dan kerusakan buah-buahan tropika secara non-destruktif. Penelitian aplikasi ultrasonik juga telah dilakukan oleh Haryanto, et al. (2001) untuk mengamati sifat-sifat akustik buah durian, dan Rejo, et al. (2001) yang mengembangkan model Artificial Neural Network untuk penentuan tingkat mutu buah durian berdasarkan masukan sifat gelombang ultrasonik dan sifat fisiko-kimia buah.

(41)

(diamino diphenyl sulphone) epoksi dan komposit serat gelas dengan gelombang ultrasonik pada 2.25 MHz. Diperoleh informasi bahwa kecepatan gelombang longitudinal meningkat dengan kenaikan suhu vulkanisasi. Kecepatan gelombang konstan pada saat polimer sudah berada pada kondisi termoset.. Penelitian serupa sebelumnya telah pula dicoba dilakukan oleh Doring dan Stark (1998) untuk resin Urea-Formaldehid, Melamin-Formaldehid, dan Epoksi. Hipp (2002) mengamati perubahan atenuasi pada kisaran frekuensi 1.5 sampai 150 MHz untuk komposisi emulsi air dan lateks PTFE (polytetrafluoroethylene).

Selain untuk keperluan karakterisasi bahan dan pengamatan jalannya suatu proses, gelombang ultrasonikpun telah dicoba untuk keperluan sintesa. Levin, et al. (1996) melaporkan telah berhasil mensintesa unvulcanized rubber dengan cara devulkanisasi karet ban bekas, sedangkan Turkachinsky, et al. (1996) melakukan penelitian serupa namun untuk vulkanisat karet SBR pada 20 kHz sampai 50 kHz. Melalui proses devulkanisasi, ikatan-ikatan silang sulfur didegradasi, sehingga sebagian fraksi vulkanisat dapat kembali ke kondisi sebelum tervulkanisasi.

Ultrasonik juga dapat digunakan untuk mencari parameter elastik suatu bahan, seperti modulus Young, modulus geser, modulus bulk, dan perbandingan Poisson, antara lain telah dilakukan oleh Trombino (1998) untuk komposit tanah gambut, dengan menggunakan transduser 500 kHz, dan oleh Navarrete, et al. (1998) untuk kompon karet dengan bahan pengisi silika pada 240 kHz.

Ultrasonik Untuk Analisis Komposisi Karet

Salah satu tujuan penelitian ini adalah menentukan model matematik kadar air, kadar karet kering dan sifat elastik sebagai fungsi sifat akustik. Berikut diuraikan penyusunan model matematik untuk penentuan parameter mutu koagulum dengan merujuk pada teori elastisitas.

Penentuan Fraksi Volume Karet. Deformasi karet akibat adanya gaya luar (τ ) jika hanya ditinjau dalam satu arah, misal x, ditunjukkan oleh persamaan (14), τxx = G Vr1/3 (åxxb – åxx-c) ……….(14)

Tampak bahwa fraksi volume karet (Vr) dapat dihitung jika tegangan

(42)

pemberian regangan atau pampatan sebesar åxx, dapat diukur tekanan yang diperlukannya sebesar τxx dan modulus gesernya

Nilai G dan τxx juga dapat dicari melalui pengukuran kecepatan gelombang transversal CT dan longitudinal CL , sebagai berikut,

a modulus geser G dihitung dengan persamaan (33), CT = (G/ρ) ½

b persamaan (28), τxx = ( λ + 2µ ) εxx + λε yy + λεzz , jika regangan hanya berlangsung dalam satu arah x, maka τxx = (λ + 2µ) εxx. Konstanta Lame λ dan µ dicari dengan persamaan (32), CL =[(λ + 2µ) /ρo ]

½

.

Melalui

persamaan (34), CL =

) 2 1 )( 1 (

) 1 (

ν ν

ρ

ν − +

o

E

, dapat diperoleh nilai modulus

Young E. Pada persamaan ini, perbandingan Poisson í untuk karet alam

nilainya ≈ 0.5 sebagaimana diinformasikan oleh IRI (1998), Fuller, et al. (1988), dan MRRDB (1984).

Penentuan Fraksi Volume Partikel Padat. Sifat-sifat elastik sangat dipengaruhi oleh komposisi partikel padat. Menurut Mullins (1963), modulus geser G dari karet yang mengandung partikel padat dapat dihitung dengan menggunakan formula Guth-Gold berikut ini dengan asumsi tidak ada interaksi antar karet-partikel, Go = modulus geser karet tanpa partikel padat, dan Vs = fraksi volume partikel padat.

G = Go (1+ k1 Vs + k2 Vs2) ……… ………. ………..… ( 42)

Untuk bentuk partikel tertentu dan terdapat interaksi antar karet-partikel serta dipengaruhi oleh bentuk, Scobbo (1990) mengintroduksikan faktor bentuk f dengan persamaan (47). sebagai berikut.

G = Go (1+ k1f Vs + k2 f Vs2) ……… ….. …… .…. ………( 43)

Tan dan Wang (1993), memodifikasi persamaan di atas dengan memasukkan faktor a dan c yakni parameter khas partikel. Untuk partikel dengan diameter tertentu dihasilkan persamaan sebagai berikut.

(43)

Dengan melakukan percobaan pengukuran G dan Go pada beberapa nilai G, Go dan Vs , maka dapat dicari nilai-nilai konstanta. Selanjutnya persamaan yang

dihasilkan dapat digunakan untuk penentuan kadar partikel padat.

Selain model-model persamaan di atas, formula Kernel (1956) berikut dapat pula digunakan untuk menghitung konstanta elastik suatu komposit polimer yang mengandung partikel padat, dimana B = modulus bulk, G = modulus geser, dan Go = modulus geser polimer tanpa kandungan partikel padat.

p o p G B φ φ 3 ) 1 ( 4 −

= ………….………..………… …. …… .….…( 45)

3 / 5 1 p o G G φ +

= ………..………..………… ….……….…( 46)

Dengan pengujian ultrasonik, nilai B dan G dapat dihitung berdasarkan hasil pengukuran kecepatan gelombang longitudinal CL dan transversal CT , yakni,

CL =

ρ 3 / 4G B+

………..………….…… ……..…( 47)

CT = ρ

G

………..………..………….…… …… …( 48)

Pembagian persamaan (47) dan (48), menghasilkan : C = 3 4 3 ) 3 / 5 1 )( 1 ( 4 3 4 2 + + − = + =       p p p T L G B C C φ φ φ

…..………… …. ….…( 49)

Tampak bahwa dengan melakukan pengukuran kecepatan gelombang longitudinal dan transversal, maka fraksi volume partikel padat dapat dicari.

Penyusunan Model Matematik Untuk Analisis Komposisi Koagulum

Model Matematik Modulus Young

(44)

dinyatakan oleh persamaan (50), dimana u = pergeseran posisi, λ= panjang gelombang, ω = kecepatan sudut, t = waktu, x = jarak, xo = jarak pada saat amplitudo turun dengan faktor e-1 , CL = kecepatan gelombang = λω/2π, dan atenuasi didefinisikan I = xo-1.

u = uo e –x/xo

ei (ω t – 2 π x / λ)……… ..………….(5 0)

Gambar 7 Pergeseran posisi sebagai fungsi penjalaran gelombang

Gabungan persamaan (28) dan (29) untuk gelombang yang menjalar hanya dalam arah x, adalah sebagai berikut.

E 2

2

x ux ∂ ∂

= ρo 2

2

t ux ∂ ∂

………....(51)

Persamaan (51) hanya untuk material yang bersifat elastik penuh. Untuk material yang bersifat viskoelastik, gaya total yang ditimbulkan merupakan gabungan gaya elastik dan gaya viskos. Model resultansi gaya pada material viskoelastik antara lain diperkenalkan oleh Kelvin-Voigt sebagaimana disajikan pada Gambar 8.

Menurut model Kelvin-Voigt, gaya total F yang ditimbulkan merupakan penjumlahan gaya elastik dan gaya viskos sebagai fungsi dari koefisien viskositas

η, sehingga persamaan (51) menjadi,

E 2

2

x ux ∂ ∂

+ η 2

2

x t

ux ∂ ∂

= ρo 2

2

t ux ∂ ∂

………...….…..(52)

λ

xo uo/e

uo

(45)

Gambar 8 Model Kelvin-Voigt untuk resultansi gaya pada material viskoelastik.

Jika fungsi pergeseran posisi u pada persamaan (50) disubstitusikan ke persamaan (52), maka penyelesaiaan persamaannya akan menghasilkan persamaan kompleks modulus, sebagaimana disajikan berikut, dimana r = I CL/ω, I = atenuasi , CL = kecepatan gelombang dan ω/2π = frekuensi,

E’ = ρ CL2 2 2

2 ) 1 ( ) 1 ( r r + −

……. ………… ……… ..….………..….( 53)

E” = η = ρ CL2 2 2 ) 1 ( 2 r r

+ ……… …… …… ..…… .…..……( 54)

E’ disebut sebagai modulus kekakuan atau modulus elastik yang timbul karena adanya komponen elastik, dan E” disebut juga sebagai loss modulus yang timbul karena adanya komponen viskos. Nilai absolut dari E merupakan penjumlahan kedua komponen di atas, dengan penyelesaian sebagai berikut.

E = (E')2+(E")2 = 2 2

2 ) 1 ( r CL +

ρ 2 2 2

) 2 ( ) 1

( −r + r

= 2 2

2 ) 1 ( r CL +

ρ 2 2

) 1

( +r =

) 1 ( 2 2 r CL + ρ

E =

2 2 2 2 1 1 L L C I a C a + ρ

…… ……… ……… ...……… ..…… ..…….. ..(55) F

Spring

σ = E ε

Dashpot σ = η (dε/dt)

elastik

(46)

Pada persamaan (55) ditambahkan konstanta a1 dan a2 untuk penyesuaian satuan. Dengan cara pengelompokan variabel, yakni Z1 = ρCL2 dan Z2 = I2CL2 , persamaan (56) berikut tidak lain adalah fungsi hiperbolik,

E =

) 1

( 2 2

1 1 Z a Z a + ………...(56) 1/E = 1 1 2 2 ) 1 ( Z a Z a + = 1 2 1 2 1 1 1 Z Z a a Z a + −

Jika 1/E = Y , k1 = 1/a1, k2 = a2 / a1 , X1 = Z-1 dan X2 = Z2/Z1, persamaan (56) menjadi :

Y = k1 X1 + k2 X2 ……… …… …..…….…..………(5 7) Bentuk persamaan (57) merupakan fungsi linier berganda dengan nilai konstanta k1, dan k2 yang dapat ditentukan melalui operasi regresi linier berganda.

Apabila k1, dan k2 sudah dapat ditentukan, maka diperoleh persamaan sebagai berikut.

E =

2 2 2 2 1 1 L L C I k C k + ρ

……… ………… ………...………..…………....(5 8)

Modulus Young Sebagai Fungsi Geometrik. Persamaan (58) kemungkinan masih perlu dikoreksi karena berbagai pengaruh terhadap variabel yang terlibat, antara lain disebabkan ketidakseragaman ukuran maupun distribusi kotoran, dan frekuensi kerja tidak tepat 2 MHz. Model matematik yang bisa dikembangkan agar lebih sederhana adalah sebagai berikut,

(47)

Karena kecepatan gelombang di dalam karet cukup tinggi, ± 1500 m dtk-1, diasumsikan p cukup besar agar 1/CL

p

relatip kecil, bisa diabaikan, sehingga persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi,

E = (k1/k2) ρpCL2−nIm = kρpCLqIr …...… ...………….. ...(59)

Persamaan (59) merupakan persamaan geometrik, dengan 3 variabel bebas yakni ρ, CL dan I . Konstanta k dan eksponen-eksponen p, q dan r dapat dicari dengan operasi regresi linier berganda setelah terlebih dulu merubah persamaan (59) menjadi bentuk logaritmik. Jika Y = log E, ko = log k, X1 = log ρ, X2 = log CL dan X3 = log I , persamaan (59) dapat dirubah menjadi persamaan (60) sebagai berikut, log E = log k + p log ρ + q log CL + r log I

Y = ko + p X1 + q X2 + r X3 …..………(60)

Model Matematik Kadar Air

Model matematik untuk penentuan kadar air disusun berdasarkan persamaan (12), dimana nilai åxx-2 sangat rendah, bisa diabaikan, maka nilai ( f1 / åxx ) tidak lain adalah modulus Young. Selanjutnya jika temperatur dianggap konstan, maka persamaan (12) bisa disederhanakan sebagai berikut, dimana k =konstanta,

Vr1/3= k E ……… ....………..….( 61)

Persamaan (61) diturunkan untuk karet tanpa mengandung partikel padat. Jika mengacu pada persamaan (41) hingga (43) tampak bahwa partikel padat (kotoran) sangat berpengaruh terhadap nilai modulus Young, kenaikan fraksi volume partikel padat akan meningkatkan modulus Young, maka persamaan perlu dikoreksi dengan menyisipkan fraksi volume partikel padat Vs ,

(Vr

+

Vs

)

1/3= k E ……….……….… ..……( 62)

Nilai [100-(Vr+Vs)] tidak lain merupakan nilai fraksi volume air (Vw) di dalam

koagulum, sehingga persamaan di atas dapat disusun ulang menjadi,

(48)

Apabila untuk penentuan E dipilih model matematik menurut persamaan (58) atau (59), maka model matematik kadar air adalah sebagai berikut,

(100-Vw

)

1/3=

2 2 2

2 1

1 L

L

C I k

C k

+ ρ

………… ……….. …… ..…….…… (6 4) atau

(100-Vw

)

1/3

= k ρp CL q

I r ……… ….. ……….…… (6 5)

Model Matematik Kadar Karet Kering

Hilton et al. (1998) mengemukakan bahwa suku kuadrat pada persamaan (42) maupun (43) dapat diabaikan jika pengaruh partikel padat terhadap penguatan struktur relatip kecil, non-reinforcing atau semi reinforcing, sehingga kedua persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi persamaan (66), dengan k adalah konstanta, dan dianggap E berbanding lurus terhadap G.

E = k Vs ……… ……….… .….…… ….(66)

Penentuan modulus berdasarkan fraksi volume partikel padat dengan menggunakan persamaan-persamaan (42) sampai (44) adalah dengan asumsi karet dalam kondisi kering. Jika mengacu pada persamaan (12) tampak bahwa penurunan fraksi karet (Vr), bisa disebabkan naiknya kadar air (Vw) yang akan menyebabkan penurunan nilai modulus Young, sehingga faktor pengaruh kadar air perlu dimasukkan pada persamaan (66), .dengan memasukkan konstanta k2 dan b untuk mengakomodir pengaruh interaksi kadar air terhadap E.

E = k1Vs – k2Vwb……… ……… …… .…… .……(6 7)

Jika model matematik E yang dipilih menurut persamaan (58) atau (59), maka persamaan di atas menjadi,

(k1Vs – k2Vwb)= 2 2 2

2 1

1 L

L

C I k

C k +

ρ

……… ...…… ………...……( 68) atau

(k1Vs – k2Vw b

)= k ρ p CL

q

(49)

Dengan menggunakan persamaan (64) atau (65), kadar air koagulum (Vw)

dapat dihitung, selanjutnya dimasukkan ke persamaan (68) atau (69) untuk menghitung kadar kotoran Vs dan karet kering , Vr = 100 – (Vw + Vs).

Apabila komposisi karet, air dan partikel padat dikehendaki dalam fraksi berat, persamaan-persamaan (70) sampai (72) dapat digunakan untuk menghitung Ka, K3, dan Kkot, berturut-turut adalah kadar air, kadar karet kering dan kadar kotoran dalam satuan % b/b.

Ka =

(

ρw /ρc

)

Vw ……… ...…... ……….….…

Gambar

Gambar 3  Skema geseran balok pada perhitungan modulus geser
Gambar 10   Arsitektur JST untuk penentuan kadar karet kering
Gambar 11   Bagan tahap-tahap kegiatan penelitian
Gambar 13  Peralatan  ultrasonik untuk pengujian sifat akustik koagulum karet
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kompetensi ke 1 Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan keterampilan dan ilmu-ilmu social, kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk dasar dari asuhan yang

Permasalahan dalam perencanaan sistem distribusa air bersih di desa Nogosari Pacitan adalah berapakah debit air yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan air bersih

Jika setiap kotak memuat jumlah kue keju dan kue donat dalam jumlah yang sama, maka banyak kotak yang diperlukan adalah … kotak... bila umur ibu 36 tahun, maka umur

Oleh sebab itu dari hasil penelitian ini dapat disarikan bahwa agar dalam penentuan dimensi geotube yang diwakili oleh nilai hG/lG tidak terlalu jauh menyimpang dari

Perbedaan sistem bisnis antara green product dan conventional product membuat perusahaan harus menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda terutama dalam hal manajemen

Saat ini Politeknik Negeri Cilacap telah menyelenggarakan 7 (tujuh) Program Studi dan memiliki 734 mahasiswa aktif. Jumlah pegawai Politeknik Negeri Cilacap sebanyak 106

Berdasarkan hasil analisis data mengenai pengaruh kepemimpinan, kepuasan kerja dan lingkungan kerja terhadap kinerja karyawan, maka dapat diambil kesimpulan sebai berikut:

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan, ukuran kantor akuntan publik, opini audit, laba atau rugi dan umur perusahaan secara simultan berpengaruh