• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Dan Pemetaan Penyebab Bulai Jagung Di 13 Provinsi Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman Dan Pemetaan Penyebab Bulai Jagung Di 13 Provinsi Indonesia"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN DAN PEMETAAN PENYEBAB PENYAKIT

BULAI JAGUNG DI 13 PROVINSI INDONESIA

UMMU SALAMAH RUSTIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “ Keragaman dan Pemetaan Penyebab Penyakit Bulai Jagung di 13 Provinsi Indonesia ” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

UMMU SALAMAH RUSTIANI. Keragaman dan Pemetaan Penyebab Bulai Jagung di 13 Provinsi Indonesia. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, dan SURYO WIYONO.

Penyakit bulai pada jagung di Indonesia merupakan kendala utama penurunan produksi karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 100%. Penggunaan kultivar tahan bulai yang intensif di tahun 1970-an mampu menurunkan tingkat kejadian penyakit bulai. Namun kejadian penyakit bulai dilaporkan kembali pada tahun 1990-an ketika ada temuan bahwa telah terjadi pematahan ketahanan beberapa kultivar hibrida yang pada mulanya dilaporkan tahan bulai, mulai terinfeksi oleh penyebab bulai.

Data penurunan hasil hingga puso, kejadian ketahanan bulai terhadap fungisida, patahnya ketahanan kultivar tahan bulai, serta kejadian penyakit yang selalu ada sepanjang tahun, memicu upaya pengendalian bulai terus dilakukan. Langkah pengendalian yang tepat perlu didukung oleh diagnosis penyebab penyakit yang memadai. Namun hingga kini, identifikasi pseudo fungi penyebab bulai yang tergolong dalam kelas Oomycetes masih sulit dilakukan. Identifikasi secara molekuler terkendala ketiadaan primer spesifik spesies di Indonesia. Langkah pengendalian juga terkendala oleh terbatasnya informasi tentang fisiologi dan ekologi, serta keragaman yang tinggi diantara pseudo fungi penyebab bulai di Indonesia.

Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan mempelajari karakter morfologi, molekuler, fisiologi, dan lingkungan abiotik spesies pseudo fungi penyebab penyakit bulai pada jagung di Indonesia. Penelitian tersebut telah menambah pengetahuan tentang keragaman morfologi, molekuler, gejala dan perubahan fisiologi yang terjadi, serta faktor lingkungan abiotik yang mempengaruhi perkembangan penyakit. Pengetahuan tersebut digunakan dalam penyusunan peta sebar penyakit bulai berbasis morfologi, molekuler dan peta preferensi penyakit berbasis faktor abiotik yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit bulai di Indonesia.

Pengamatan terhadap jagung bergejala bulai di-13 provinsi di Indonesia menunjukkan adanya tiga kelompok morfologi pseudo fungi penyebab bulai. Kelompok pertama mempunyai konidia dengan bentuk bulat dan agak bulat (spherical dan subspherical) berukuran 12-23 x 25-44 µ m dan berdinding tipis, konidiofor bercabang 3 sampai 4 kali berukuran 111-410 µ m dilengkapi dengan sterigmata diidentifikasi sebagai P. maydis. Konidia kelompok ke-2 berbentuk spherical berlapis tebal dengan ukuran ketebalan 1-2 µ m, berdiameter 9-10 x 10-11 µ m, dengan konidiofor membentuk percabangan sebanyak 2 kali teridentifikasi sebagai P. sorghi. Konidia kelompok ke-3 berdinding tipis, berbentuk oval, berdiameter 11-15 x 15-40 µ m dengan konidiofor bercabang 3 kali, berukuran 150-300 µ m diidentifikasi sebagai P. philippinensis. Spesimen Peronosclerospora sp. aff. P. sorghi asal NTT berbeda dengan spesimen asal Bogor dan Malang, sehingga spesimen P. sorghi asal NTT, berpeluang diusulkan sebagai kandidat jenis baru.

(5)

keragaman genetik yang tinggi. Analisis sikuen DNA dan asam amino menunjukkan bahwa terjadi variasi yang tinggi antar spesimen pseudo fungi penyebab bulai jagung di Indonesia.

Pengamatan terhadap faktor lingkungan abiotik di-5 provinsi di Jawa menunjukkan bahwa spesies pseudo fungi P. maydis lebih banyak dijumpai pada dataran rendah (400 mdpl) dan sedang (400-700 mdpl) bersuhu sekitar 25-30 °C, kelembapan relatif 80-100%, curah hujan 1000-4000 mm/tahun, dan tipe tanah aluvial. Namun kejadian penyakit di-13 provinsi di Indonesia menunjukkan preferensi terhadap curah hujan rerata tahunan yang beragam sesuai dengan spesies penyebab penyakit. Spesies P. maydis dijumpai pada curah hujan dengan kisaran paling lebar yaitu 1000 sampai 4000 mm/tahun, selanjutnya untuk P. sorghi dijumpai pada kisaran 1500-3000 mm/tahun. Spesies P. philippinensis mempunyai kisaran terpendek yaitu 1500-2000 mm/tahun.

Preferensi spesies pseudo fungi juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan lokasi. Pemetaan daerah sebar penyakit bulai dan pemetaan preferensi spesies pseudo fungi penyebab bulai terhadap curah hujan rerata per tahun telah disusun. Peta yang telah disusun dapat digunakan sebagai dasar penentuan kultivar jagung yang akan ditanam di suatu lokasi berbasis karakter lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap penyakit bulai di Indonesia.

Variasi gejala di lapangan dan di rumah kaca telah diamati di semua area survei pada fase pertumbuhan tanaman dan kultivar jagung yang berbeda-beda. Kejadian penyakit dengan kisaran tertinggi lebih banyak diamati terjadi pada fase vegetatif tanaman. Keragaman respons tanaman jagung berbeda-beda, dan tidak dipengaruhi oleh jenis kultivar jagung yang ditanam. Variasi gejala yang diamati antara lain gejala klorotik sistemik, klorotik non sistemik, gejala kerdil, gejala daun menyempit dan tegak seperti kipas, serta gejala malformasi tongkol dan biji jagung. Keragaman gejala di lapangan tampaknya berhubungan dengan spesies pseudo fungi penyebab bulai pada jagung.

Konfirmasi perubahan fisiologi di rumah kaca menunjukkan bahwa gejala klorosis berkaitan dengan penurunan kandungan total klorofil daun berkisar 75.9% sampai 89.8% dan penurunan konduktansi stomata akibat penutupan stomata oleh propagul pseudo fungi bulai. Abnormalitas tongkol jagung disebabkan oleh gangguan proses fotosintesis yang ditunjukkan dengan penurunan gula total pada daun. Infeksi pseudo fungi pada beberapa kultivar lokal jagung berpengaruh terhadap peningkatan enzim yang berperan dalam pertahanan tanaman terhadap penyakit yakni polifenol oksidase dan peroksidase.

(6)

SUMMARY

UMMU SALAMAH RUSTIANI. Diversity and Disease Mapping of Downy Mildew of Maize in 13 Provinces in Indonesia. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, and SURYO WIYONO.

Downy mildew is very detrimental disease of maize production in the world. The use of intensive downy mildew-resistant cultivars in the 1970s was able to decrease the incidence of downy mildew. However, the incidence of downy mildew was reported back in the 1990s when there were reports that there has been resistance to metalaxyl in Kediri and Bengkayang, as well as some of the cultivars which are initially reported downy mildew resistant, again infected by downy mildew.

The economic importance of downy mildew of maize and the recent report of disease emergence of downy mildew in some of hybride of maize, as well as the obstacles of control strategies of the disease, triggering the ongoing research to mitigate this disease. Appropriate control measures require to be supported by adequate etiological diagnosis. Identification of downy mildew based on morphological characters still unreliable. Control measures are also constrained by limited information on the physiology and ecology, as well as a high diversity among pseudo fungi causes downy mildew in Indonesia.

Adequate information regarding the identification key based on morphological and morphometric characteristic of the causal fungi of maize downy mildew in Indonesia is limited. However there were no specific primers available to identify the causal pseudo fungi of maize downy mildew based on PCR. Study for detection and identification of morphological, morphometric, and molecular based is urgently required. Conducted a study to characterize morphological, molecular, physiological, and environmental abiotic pseudo species of fungi causes downy mildew on maize in Indonesia is highly needed. Furthermore, the results of the characterization purposed gathering information about the diversity of morphology, molecular, symptoms and physiological changes that occur, as well as abiotic environmental factors that influence the development of disease.

Artificial sporulation induction method performed to obtain the whole morphology of the pseudo fungi. The fungi were morphologically identified based on the shape and morphometric conidia, conidiophores, and sterigmata. Observation of symptomatic maize downy mildew collected from 13 provinces in Indonesia showed that conidia with spherical and subspherical measuring 10.4-21.4 x 9.7-12.1 µm, branched conidiophores 3 to 4 times the size of 111-410 µ m equipped with sterigmata identified as P. maydis. Another spherical conidia padded with size of 1-2 µm thickness, diameter of 9-10 x 10-11 µ m, with a branching conidiophores forming 2 times identified as P. sorghi. P. philippinensis observed with thin-walled conidia, oval, diameter of 11-15 x 15-40 µm with branched conidiophores 3 times, measuring 150-300 µ m. Peronosclerospora sp. aff. P. sorghi specimens from NTT differs with other two specimens from Bogor and Malang. Based on those conidia characters of the specimens this species from NTT propose as a new species candidate infra species level

(7)

moderate altitudes compared to the high altitude. Alluvial soil type was more predominant than other types. Ecological character of this disease is limited during last four decades. The prevalence and morphological character of P. maydis at different geographic and climate were studied. A total of 228 samples to determine prevalence of P. maydis were surveyed in this study from five provinces of Java.

Disease incidence and ecological data for each location were recorded. Morphological character was observed including conidial and coniodiophore measurement suporting identification of the causal fungi. Identification based on morphological character of conidium showed that 68% as samples identified as P. maydis. The most prevalence of java downy mildew based on disease incidence in Java, highly occured in area with temperature range of 25-30 °C, relative humidity 80-100%, and 1000-3000 mm annual rain fall. P. maydis was found frequently in maize at low altitude (0-500 m.asl), vegetative stadia of maize, and alluvial soil type. Two examples of downy mildew symptoms were observed in Bogor and Malang with a range of medium to high altitude identified as P. sorghi.

However, the average annual rainfall showed varies of disease incidence in 13 provinces in Indonesia. The preferences of annual rainfall depend on the causal species of downy mildew. P. maydis found in precipitation with the widest range of 1000 to 4000 mm / year , P. sorghi found in the range of 1500-3000 mm / year, and P. philippinensis species have the shortest range is 1500-2000 mm / year.

Variations of symptoms in the field and in the greenhouse have been observed ranging from symptoms of systemic and non-systemic chlorotic, stunted symptoms, symptoms of leaf narrow and upright like a fan, as well as symptoms of malformations cobs and maize kernels. Confirmation of physiological changes in the greenhouse showed that chlorosis symptoms associated with a decrease in total chlorophyll content of leaves ranging from 75.9% to 89.8% and a decrease in stomatal conductance due to stomatal closure by propagules of downy mildew. Decreasing of chlorophyll content and total sugars in leaves results an abnormal of maize cobs infected by downy mildew artificially. However, increasing of enzymes of phenolic compound that play an important role in plant defense against the disease (polyphenol oxidase and peroxidase) showed at local cultivars of maize from 5 provinces in Indonesia.

Adequate knowledge generated from this research can be used to support the strategies of control against downy mildew of maize in Indonesia. Control strategies of downy mildew is based on current knowledge about morphology and molecular pseudo fungus causes downy mildew, as well as physiology of infected maize and abiotic environment that influence the development of downy mildew is expected to reduce the risk of downy mildew epidemic at the field level.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Fitopatologi

KERAGAMAN DAN PEMETAAN PENYEBAB PENYAKIT

BULAI JAGUNG DI 13 PROVINSI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

(10)

Penguji pada Sidang Tertutup:

1. Prof. Dr. Memen Surahman, M.Sc.Agr.r I

(Departemen Agronomi dan Hortikultura Bagian Ilmu dan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor)

2. Dr. Ir. Gayuh Rahayu

(Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Insitut Pertanian Bogor, Bogor)

, MS

Penguji pada Sidang Promosi: 1. Dr. Ir. Gayuh Rahayu

(Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Insitut Pertanian Bogor, Bogor)

2. Dr. Ir. Eliza Suryati Rusli, M.Si

(Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian, Surabaya)

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah keragaman dan pemetaan penyebab penyakit bulai jagung di-13 provinsi Indonesia.

Terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. Meity Suradji Sinaga, M.Sc., Prof. Dr. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc., dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. selaku komisi pembimbing. Penghargaan penulis juga disampaikan kepada Prof. Dr. memen Surachman, M.Sc.Agr, Dr. Ir. Gayuh Rahayu, MS, dan Dr. Eliza Suryati Rusli, M.Si. sebagai penguji luar komisi. Disamping itu tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Ir.Rudi Eko Subagiono M.Sc. dari BB Litbang Sumber Daya Lahan Pertanianatas verifikasi data jenis tanah penulis dan Dr. Dono Wahyuno, M.Sc atas sumbangan isolatnya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Badan SDM Kementerian Pertanian, Kepala Badan Karantina Pertanian, Kepala Unit Pelaksana Teknis lingkup Badan Karantina Pertanian beserta staf antara lain BUTTMKP, BBKP Tanjung Priok, BBKP Makassar, BBKP Tanjung Perak, dan UPT lain diantaranya BKP Bengkulu, BKP Lampung, BKP Yogyakarta, BKP Cilacap, BKP Kupang, BKP Manado, dan BKP Pontianak, yang telah memfasilitasi selama survei di lapangan dan pelaksanaan penelitian di rumah kaca.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan fungsional POPT, rekan-rekan yang membantu di rumah kaca dan di lapangan yang tidak bisa disebut satu persatu, serta semua rekan seperjuangan Fitopatologi Angkatan 2011 atas saling memberi semangat. Penghormatan yang tinggi kepada ayah, ibu, mertua, suami, anak-anak, dan keluarga besar atas doa dan dukungannya hingga akhir studi.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan pertanian bangsa.

(13)

DAFTAR ISI

3 PEMETAAN PSEUDO FUNGI PENYEBAB BULAI JAGUNG DI INDONESIA BERBASIS KERAGAMAN MORFOLOGI

4 KERAGAMAN GENETIK PERONOSCLEROSPORA DI INDONESIA

Pendahuluan 36

5 KERAGAMAN GEJALA PENYAKIT BULAI DAN RESPONS FISIOLOGI KULTIVAR JAGUNG TERHADAP INFEKSI Peronosclerospora maydis DI RUMAH KACA

Pendahuluan 53

(14)

DAFTAR TABEL

1 Deskripsi morfologi dan morfometri spesies pseudo fungi penyebab bulai jagung (Smith dan Renfro 2002; CIMMYT 2010)

10 2 Nama pasangan, urutan basa, dan ukuran pita DNA masing-masing primer

spesifik yang digunakan untuk uji konfirmasi morfologi pseudo fungi bulai temuan di area survei di-13 provinsi di Indonesia

27

3 Program siklus PCR untuk pasangan primer PmUF/PmUR, PsUF/PsUR, PsrUF/PsrUR, dan ppUF/PpUR, dengan 1 kali siklus pada awal sintesa yang dilanjutkan dengan jumlah siklus sesuai dengan nama primer

28

4 Daftar runutan nukleotida, daerah asal, dan nomor asesi spesimen Peronosclerospora spp yang telah didaftar di pangkalan data nukleotida NCBI

29

5 Persen homologi maksimum, nilai e-value, dan query cover spesimen pseudo fungi Peronosclerospora spp hasil survei di-13 provinsi di Indonesia dibandingkan dengan sikuen yang tersedia di NCBI

40

6 Penilaian ketahanan tanaman terhadap infeksi pseudo fungi penyakit bulai jagung

54 7 Masa inkubasi dan persen kejadian penyakit kultivar jagung lokal terinfeksi

Peronosclerospora maydis di rumah kaca

56 8 Kejadian penyakit yang diamati pada kultivar lokal jagung dari beberapa

lokasi survei, berikut informasi lain diantaranya hasil identifikasi secara morfologi dan/ atau molekuler Peronosclerospora spp

61

9 Rerata kandungan unsur kimia akibat perubahan fisiologi jagung kultivar lokal oleh infeksi Peronosclerospora maydis di rumah kaca dengan inokulasi buatan

62

10 Frekuensi kejadian penyakit bulai pada 228 titik di-5 provinsi di Jawa berdasarkan tipe tanah dan ketinggian tempat

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alur penelitian keragaman dan pemetaan penyakit bulai di Indonesia 6 2 Morfologi pseudo fungi penyebab bulai jagung, a) Peronosclerospora

maydis, b) P. philippinensis, c) P. sorghi, d) P. sacchari, e) P. spontanea, f) Sclerospora graminicola, g) Sclerophthora macrospora

12

3 Metode pengambilan contoh secara transek garis, untuk menghitung kejadian penyakit (KP) pada satu petak contoh; a) garis transek kondisi di lapangan, b) petak contoh untuk penghitungan KP

19

4 Konidiofor Peronosclerospora spp dengan panjang 377 µ m keluar dari stomata daun (tanda panah) dengan bentuk menyempit ke arah sel basal, hyaline, bercabang, dan determinate, diamati di bawah mikroskop elektron (SEM)

21

5 Perbedaan morfologi konidia Peronosclerospora sorghi spesimen asal a) Bogor dan b) Malang, dengan P. sorghi spesimen asal c) NTT, diamati di bawah mikroskop cahaya

22

6 Perkecambahan konidia Peronosclerospora spp diamati di bawah mikroskop kompon, a) tabung kecambah konidia, b) perkembangan lebih lanjut tabung kecambah membentuk sel yang menggembung (bloated), c) sel konidiofor memulai percabangan membentuk bakal sterigmata, d) pertumbuhan sterigmata yang dilengkapi konidia yang telah masak, menempel di ujung sterigmata

24

7 Konidiofor dan konidia Peronosclerospora spp. (a) konidia kelompok 1 (P. maydis) dengan dinding sel tipis, dibandingkan dengan konidia kelompok 2 (P. sorghi) yang berdinding tebal, dan konidia oval penciri kelompok 3 (P. philippinensis), (b) konidiofor P. maydis dengan 4 kali percabangan sterigmata dibandingkan dengan konidiofor P. sorghi dengan 2 kali percabangan, dan P. philippinensis dengan 3 kali percabangan konidiofor, c) konidiofor dan konidia kelompok 1 untuk P. maydis, kelompok 2 untuk P. sorghi, dan konidia dan konidiofor kelompok 3 untuk P. philippinensis, yang diamati di bawah mikroskop cahaya menggunakan pewarna methylene blue

25

8 Konstruksi primer spesifik P. maydis, P. sorghi. P. eriochloae, P. sacchari, Sclerospora macrospora, pada area COXII dan COX, serta P. philippinensis dan Slerophthora graminicola pada area ITS

28

9 Visualisasi pita DNA hasil amplifikasi dengan A) primer PmUF/PmUR pada gel agaros 1,5% (M) Penanda DNA 100pb (Thermosci), (1) kontrol positif, (2) kontrol negatif, (3) Peronosclerospora maydis spesimen Bogor, (4) P. maydis spesimen Lampung; B) Primer PsUF/PsUR pada gel agaros 2%, (M) Penanda 50pb (Thermosci), (1) kontrol negatif, (2) kontrol positif, (3) spesimen Phythophthora capsici (BIOTROP), (4) spesimen Colletotrichum acutatum (Hartati 2014), (5) spesimen Malang, (C) Primer PpUF/PpUR pada gel agaros 2%, (M) penanda DNA 50pb (Thermosci), (1) kontrol negatif, (2) kontrol positif, (3) spesimen P. philippinensis spesimen Lampung, (4) P. philippinensis spesimen Sulawesi Selatan, (5) P. philippinensis spesimen Sulawesi Utara, (D) primer PsrUF/PsrUR pada gel agarose 1,2%, (M) penanda DNA 100pb, (1) kontrol negatif, (2) Peronosclerospora sorghi spesimen Lampung, (3) P. sorghi spesimen

(16)

Makassar, (4) P. sorghi spesimen NTT, (5) P. sorghi spesimen Malang 10 Peta sebar pseudo fungi penyebab penyakit bulai jagung

Peronosclerospora maydis, P. sorghi, dan P. philippinensis di-13 provinsi di Indonesia yang diamati mulai bulan Januari 2013 sampai Februari 2014 berdasarkan ciri morfologi dan sikuen DNA

31

11 Visualisasi fragmen DNA hasil amplifikasi dengan (A) primer PpUF/PpUR pada gel agaros 2%; (M) penanda DNA 100pb (Thermosci); (1) kontrol negatif; (2) spesimen Peronosclerospora philippinensis asal Lampung; (3) Takalar; (4) Maros; (5) Minahasa Selatan; (6) kontrol positif; (B) primer PmUF/PmUR pada gel agaros 1,5%; (1) spesimen P. maydis asal Sukabumi; (2) Purwokerto; (3) Madura; (4) Maros; (6) kontrol positif P. maydis; (C) primer PsUF/PsUR pada gel agaros 1,5%; (1) spesimen P. sorghi asal lampung; (1) Bogor; (2) Malang; (3) Bengkayang; (4) Maros; (5) Takalar; (6) NTT; (8) kontrol positif P. sorghi; (M) penanda DNA 100pb (Thermosci)

39

12 Kladogram hubungan antara spesimen Peronosclerospora spp dari beberapa lokasi di Indonesia berbasis cytochrome oxidase COX untuk P. maydis dan P. sorghi dengan P. philippinensis yang dideposit di pangkalan data NCBI sebagai spesies out of group. Analisis didasarkan pada metode Neighbour Joining dengan nilai ulangan bootstrap 1000x yang tersedia di perangkat lunak Mega 6.0 menunjukkan 2 kelompok yang terpisah berbasis COX. Kelompok 1 terdiri dari spesies P. maydis dan kelompok 2 teridiri dari spesimen P. sorghi.

41

13 Cladogram spesimen Peronosclerospora maydis (Pm) hasil survei di-13 provinsi di Indonesia dengan spesimen Pm yang tersimpan di pangkalan data NCBI

42

14 Variasi sangat tinggi (blok merah) urutan nukleotida DNA hasil pensejajaran antara spesimen Peronosclerospora maydis (Pm) hasil survei dengan spesimen Pm yang tersimpan di pangkalan data NCBI

42

15 Cladogram spesimen Peronosclerospora sorghi (Ps) hasil survei di-13 provinsi di Indonesia dengan spesimen Ps yang tersimpan di pangkalan data NCBI

44

16 Variasi sangat tinggi (blok merah) urutan nukleotida DNA hasil pensejajaran antara spesimen Peronosclerospora sorghi (Ps) hasil survei dengan spesimen Ps yang tersimpan di pangkalan data NCBI

44

17 Cladogram spesimen Peronosclerospora philippinensis (Pp) hasil survei di-13 provinsi di Indonesia dengan spesimen Pp yang tersimpan di pangkalan data NCBI

45

18 Variasi sangat tinggi (blok merah) urutan nukleotida DNA hasil pensejajaran antara spesimen Peronosclerospora philippinensis (Pp) hasil survei dengan spesimen Pp yang tersimpan di pangkalan data NCBI

45

19 Area konservasi (blok kuning) variasi (tanda panah berwarna merah) hasil pensejajaran asam amino spesimen Peronosclerospora maydis (Pm) dan P. sorghi (Ps) hasil survei dengan spesimen Pm dan Ps yang terdeposit di pangkalan data NCBI menggunakan perangkat lunak clustal omega dan jalview version 2

46

20 Variasi gejala infeksi Peronosclerospora spp pada stadia vegetatif tanaman jagung di lapangan; a) klorotik sistemik; b) klorotik non sistemik; c)

(17)

klorotik sejajar venasi daun; d) daun seperti kipas dan tanaman mengerdil; dan e) belang daun sistemik

21 Variasi gejala kipas dijumpai di lokasi yang berbeda yakni a) kipas disertai tanaman mengerdil di Yogyakarta dataran sedang; b) kipas disertai penyempitan daun di NTT dan Sulawesi Utara; c) kipas tanpa disertai pengerdilan tanaman di Lampung, serta d) tanda berupa butiran seperti tepung yang menyertai semua gejala yang diamati

58

22 Gejala abnormalitas tongkol jagung akibat infeksi pseudo fungi bulai pada fase pertumbuhan generatif jagung jagung; a) tongkol tidak tertutup klobot; b) tongkol tidak terisi penuh dengan biji

59

23 Kisaran persen kejadian penyakit bulai dari sangat rendah (0-5); rendah (>5-10); sedang (>10-20); agak tinggi (>20-40); tinggi (>40-60); sangat tinggi (>60) pada fase vegetatif dan fase generatif tanaman jagung berbagai kultivar di-5 Provinsi di Jawa

60

24 Gejala infeksi Peronosclerospora maydis pada tongkol jagung kultivar lokal Raja Madura dengan teknik inokulasi buatan di rumah kaca

60 25 Persen kejadian penyakit (KP) di-13 provinsi di Indonesia pada nilai rerata

kondisi faktor lingkungan abiotik meliputi suhu (°C), kelembapan relatif (%), curah hujan (cm/tahun), dan jumlah hari hujan berdasarkan data BPS tahun 2014

70

26 Dominasi rerata suhu (A); kelembapan relatif enam bulan (B); dan curah hujan enam bulan (mm) (C); terhadap persentase kejadian penyakit (%) yang diamati di 228 lokasi di-5 Provinsi di Jawa mulai bulan Januari sampai Juli 2013

71

27 Peta preferensi penyakit bulai pada curah hujan rerata per tahun di Indonesia versi Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tahun 2013

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data lokasi survei di-13 provinsi di Indonesia 91 2 Rerata suhu, kelembapan relatif, curah hujan, dan jumlah hari hujan

(BPS 2014) dan persen kejadian penyakit (KP) bulai pada tanaman

jagung di-13 provinsi di Indonesia yang menjadi area survei penelitian 100 3 Tahap induksi sporulasi buatan pseudo fungi Peronosclerospora penyebab

bulai jagung (Burhanuddin 2011) 101 4 Tahap identifikasi Peronosclerospora dengan metode PCR 102 5 Teknik inokulasi buatan spesimen Peronosclerospora maydis pada

beberapa kultivar jagung lokal di rumah kaca 103

6 Daftar istilah bentuk konidia yang digunakan dalam penentuan

morfologi pseudo fungi (Ulloa dan Hanlin 2000) 104 7 Istilah morfologi yang tercantum pada Illustrated Dictionary of

Micology edisi pertama oleh Ulloa dan Hanlin (2000) 106 8 Empat lokasi survei di-3 provinsi di Jawa yang tidak menunjukkan

gejala bulai jagung

(19)

1

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Jagung (Zea mays) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang mempunyai peran strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia. Komoditas ini mempunyai beragam fungsi baik untuk pangan maupun pakan ternak. Sistem perekonomian nasional menempatkan jagung sebagai kontributor terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan. Hal ini dikarenakan sumbangan jagung terhadap produk domestik bruto (PDB) terus meningkat setiap tahun.

Upaya maksimal peningkatan produksi jagung di dalam negeri sebagai upaya swasembada jagung telah mampu menaikkan angka produksi jagung nasional pada tahun 2014 sebesar 3.3% (BPS 2014). Akan tetapi jumlah produksi tersebut hingga kini belum mampu mencukupi kebutuhan lokal, sehingga masih diperlukan impor baik dalam bentuk biji-bijian konsumsi maupun benih. Menurut catatan BPS (2014), importasi jagung dari beberapa negara produsen antara lain India, Brasil, Thailand, dan Amerika pada tahun 2014 ditujukan untuk mengisi kebutuhan nasional sekitar 50%. Negara-negara pengimpor jagung termasuk daerah endemik organisme penganggu tumbuhan karantina (OPTK) terbawa benih dan biji-bijian, antara lain pseudo fungi penyebab bulai jagung (BKP 2011).

Spesies penyebab bulai di Indonesia hingga kini adalah Peronosclerospora maydis, P. philippinensis, dan P. sorghi. Spesies P. maydis telah dilaporkan sebagai penyebab utama bulai jagung di Indonesia sejak seratus tahun lalu. Spesies asli Indonesia ini dikenal sebagai java downy mildew. Dua spesies lain penyebab bulai jagung termasuk dalam daftar OPTK kategori A2 (Semangun 2008; Wakman 2005; BKP 2011). Hasil analisis risiko introduksi pseudo fungi P. sorghi melalui importasi jagung dari negara endemik bulai menunjukkan kategori risiko tinggi. Oleh karena itu kewaspadaan terhadap masuk dan tersebar spesies tersebut di wilayah Indonesia harus ditingkatkan.

Kewaspadaan akan masuk dan tersebarnya OPTK tersebut di Indonesia diinisiasi melalui penelitian tentang morfologi, molekuler, peta daerah sebar, dan lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap pseudo fungi penyebab bulai jagung yang hingga kini masih kurang memadai. Kesamaan morfologi yang tinggi di antara spesies penyebab bulai masih menjadi kendala diagnosis penyakit yang valid. Penelitian komprehensif tentang cara bertahan dan peta daerah sebar penyakit bulai jagung tertuang dalam suatu disertasi oleh Semangoen pada tahun 1968. Namun informasi yang sudah lama tersebut perlu diperbarui. Oleh sebab itu, informasi terkini tentang pseudo fungi bulai jagung di Indonesia masih diperlukan, terlebih karena pseudo fungi bulai mempunyai arti penting secara ekonomi.

(20)

2

Burhanuddin 2009) serta beberapa kultivar yang dilaporkan tahan bulai, mulai terinfeksi oleh pseudo fungi bulai.

Laporan terkini tentang kejadian penyakit hingga menyebabkan kerugian sampai 80% di beberapa sentra jagung di Jawa Timur, di Kabupaten Sidrap, dan di Kalimantan Barat menambah data tentang arti penting bulai jagung di Indonesia (Bachtiar dan Tenrirawe 2008; Soenartiningsih dan Talanca 2010; Soenartiningsih 2011; Surtikanti 2011). Lebih lanjut dilaporkan bahwa kejadian penyakit pada kultivar jagung rentan bulai, pada bulan Januari sampai Februari 2013 di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur mencapai lebih dari 90% pada jagung berumur 20-30 hari, namun pada umur lebih dari 70 hari kejadian penyakit menurun hingga mencapai 10% (pengamatan pribadi).

Penyakit bulai berdasarkan penelitian terdahulu, disebabkan oleh 10 spesies pseudo fungi yang tergolong dalam 3 genera yaitu 7 spesies dari genus Peronosclerospora, 2 spesies dari Sclerophthora, dan 1 spesies dari Sclerospora (White 2000; Wakman 2006). Laporan peta sebar pseudo fungi penyebab penyakit di Indonesia, yang hanya disebabkan oleh 3 spesies pseudo fungi yaitu P. maydis, P. philippinensis, dan P. sorghi telah dilakukan Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) Maros sejak tahun 2002 (Wakman 2006; Burhanuddin 2011b; Surtikanti 2012). Namun demikian pemetaan tersebut belum mewakili kondisi geografis lokasi Indonesia secara keseluruhan. Kondisi geografis diketahui turut berperan dalam kejadian penyakit. Oleh karena itu pemetaan yang mewakili kondisi geografis lokasi di Indonesia perlu dilakukan. Informasi pemetaan suatu penyakit tanaman diperlukan guna efisiensi tindakan pengelolaan dalam rangka pengendalian penyakit tanaman.

Laporan terbaru ditemukannya spesies P. sorghi berdasarkan karakter morfologi pada tahun 2002 dan 2006 oleh Balitsereal Maros, merupakan laporan yang masih perlu dikonfirmasi. Konfirmasi laporan tersebut penting berkenaan dengan status P. sorghi sebagai OPTK kategori A1, yakni OPTK yang belum pernah dilaporkan terdapat di Indonesia. Status OPTK P. sorghi berdasarkan laporan tersebut sejak tahun 2011 berubah menjadi kategori A2 yaitu OPTK yang dilaporkan ada di wilayah terbatas di Indonesia (BKP 2011).

Spesies P. sorghi telah dilaporkan juga terdapat di Malaysia dan Thailand sejak lama (Bonman 1983, Ahmad et al. 1994), namun masih terdapat keraguan penamaan atau identitas spesies, karena morfologi yang menyerupai diantara spesies penyebab bulai. Konfirmasi dengan metode molekuler untuk mengetahui identitas pseudo fungi penyebab bulai dengan tepat masih sangat diperlukan, untuk memperoleh identitas spesies penyebab bulai yang valid. Semangoen (1968) menduga bahwa spesies P. sorghi sebenarnya bukan spesies yang berbeda dengan P. maydis, namun mungkin patovar dari P. maydis. Dugaan ini makin menambah informasi bahwa identifikasi morfologi terkendala dalam penentuan spesies penyebab yang lebih valid.

(21)

3

Temuan terbaru spesies P. sorghi pada tahun 2002, laporan ketahanan penyebab bulai terhadap fungisida, serta temuan spesies baru di Australia, semakin mendorong pentingnya segera dilakukan pemetaan penyebab penyakit bulai di Indonesia. Lebih-lebih spesies P. philippinensis juga telah dilaporkan menyebar ke wilayah Lampung serta laporan terdahulu keberadaan spesies P. spontaneum di Sulawesi Utara, yang saat ini belum pernah lagi dilaporkan. Keseluruhan informasi keberadaan OPT/K tersebut masih perlu dikonfirmasi. Konfirmasi atas keberadaan suatu OPT/K diperlukan guna pembaruan status kategori OPT/K serta langkah mitigasi risiko pemasukan pseudo fungi tersebut di wilayah Indonesia. Oleh karena itu identifikasi penyebab bulai diperlukan dalam rangka optimalisasi langkah mitigasi dampak negatif yang ditimbulkan melalui tindakan pengendalian. Identifikasi dilakukan di area sentra produksi dan bukan sentra produksi, khususnya di area perbatasan yang berpotensi terjadi introduksi OPT/K yang merugikan tersebut.

Langkah pengendalian yang tepat perlu didukung oleh diagnosis penyebab penyakit yang memadai. Namun hingga kini, identifikasi pseudo fungi penyebab bulai yang tergolong dalam kelas Oomycetes masih sulit dilakukan. Hal ini disebabkan adanya kesamaan morfologi konidia dan konidiofor pseudo fungi yang tinggi. Oleh karena itu, identifikasi morfologi perlu dikonfirmasi dengan identifikasi secara molekuler. Beberapa penelitian molekuler terutama untuk Peronosclerospora di Indonesia berbasis simple sequence repeats (SSR) menunjukkan adanya perbedaan spesies penyebab bulai di lokasi yang terpisah secara geografi.

Hasil konfirmasi morfologi dan keragaman berbasis marka SSR oleh peneliti sebelumnya menyebutkan bahwa spesimen penyebab bulai di Indonesia terbagi 3, yakni spesimen Kediri, spesimen Karo, dan spesimen Sulawesi (Muis et al. 2013, Lukman et al. 2013). Keragaman morfologi dan molekuler spesimen Peronosclerospora spp. yang terjadi di Indonesia menimbulkan dugaan telah terjadi evolusi di tingkat spesies. Menurut Nei dan Kumar (2000), sejarah evolusi makhluk hidup dapat dilakukan melalui pendekatan perubahan morfologi dan fisiologi. Studi evolusi berbasis molekuler digunakan sebagai perangkat pendukung pendekatan morfologi dan fisiologi. Pada bidang sistematika biologi, pengetahuan tentang filogenetik baik morfologi maupun molekuler berperan penting dan menjadi dasar ilmiah penetapan sistematika atau taksonomi mahluk hidup.

Akhirnya penentuan identitas makhluk hidup yang digunakan sebagai dasar taksonomi suatu organisme sangat esensial dilakukan. Namun kondisi saat ini di Indonesia terjadi kelangkaan pengetahuan tentang karakter morfologi, molekuler, fisiologi inang, pola hubungan patogen dengan inang dan ekologi penyakit bulai jagung. Studi ekologi yang dilakukan peneliti sebelumnya, antara lain tentang pengaruh faktor lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap perkembangan pseudo fungi penyebab bulai masih kurang memadai. Studi pengaruh cahaya, suhu, dan kelembapan optimum untuk perkecambahan konidia (Sudjadi et al. 1978, Bonde et al. 1992) belum mencukupi untuk kondisi saat ini.

(22)

4

dalam pengembangan kunci identifikasi pseudo fungi bulai pada jagung. Kunci identifikasi yang tersedia dapat berguna sebagai informasi awal dalam penentuan strategi pengendalian. Informasi morfologi, molekuler, fisiologi, dan ekologi dapat digunakan dalam analisis keragaman intra dan inter spesies Peronosclerospora di Indonesia sebagai dasar pembuatan peta daerah sebar pseudo fungi bulai di Indonesia.

Perumusan Masalah

Berbekal latar belakang dan kerangka pikir, maka dapat ditentukan perumusan masalah dari penelitian ini antara lain adalah pengetahuan tentang keragaman morfologi dan molekuler pseudo fungi penyebab penyakit bulai jagung di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu, identifikasi berbasis morfologi dan molekuler merupakan metode diagnosis yang esensial dilakukan. Metode diagnosis perlu didukung oleh pengetahuan tentang deteksi pseudo fungi penyebab bulai pada jagung di lapangan berdasarkan gejala serta konfirmasi perubahan fisiologis tanaman jagung terinfeksi bulai di rumah kaca. Kedua hal tersebut digunakan untuk data pendukung yang memadai dalam mengetahui pola hubungan pseudo fungi bulai dengan tanaman jagung sebagai inangnya. Pengetahuan tentang karakter ekologi yang mempengaruhi perkembangan penyakit juga penting diketahui dalam rangka pengetahuan dasar epidemik penyakit bulai di Indonesia. beberapa hal tersebut diatas juga bermanfaat untuk mengetahui perkembangan kejadian evolusi bulai di Indonesia berdasarkan pendekatan morfologi, molekuler, fisiologi, dan ekologi. Keseluruhan informasi akan dituang dalam suatu peta sebar penyebab penyakit bulai jagung di Indonesia. Peta sebar penyakit bulai penting dilakukan untuk efisiensi strategi pengendalian penyakit bulai yang akan diterapkan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang keragaman morfologi dan genetika pseudo fungi penyebab bulai jagung di Indonesia, menetapkan kunci identifikasi berbasis morfologi, morfometri, dan molekuler beberapa spesimen Peronosclerospora penyebab bulai di Indonesia, memetakan penyebab penyakit bulai di beberapa sentra produksi dan bukan sentra produksi di Indonesia, memperoleh pengetahuan tentang keragaman gejala dan perubahan bahan kimia tanaman sebagai respons fisiologi tanaman jagung terhadap infeksi pseudo fungi penyebab bulai yang berbeda-beda, serta memetakan kejadian penyakit berbasis lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap perkembangan penyakit bulai jagung di Indonesia.

Manfaat Penelitian

(23)

5

Kebaharuan dan Keunggulan

Nilai kebaruan dan keunggulan penelitian ini terletak pada pengetahuan dasar terkini tentang pseudofungi penyebab penyakit bulai jagung di Indonesia yang mempunyai keragaman morfologi, morfometri, dan molekuler. Pengetahuan tersebut digunakan dalam penyusunan kunci identifikasi pseudofungi penyebab bulai serta peta sebar penyebab penyakit bulai jagung di Indonesia. Kedua hal tersebut merupakan hal esensial dalam penentuan strategi pengendalian penyakit bulai yang akan diterapkan.

Ruang Lingkup Penelitian

(24)

6

(25)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pseudo fungi Penyebab Bulai pada Jagung

Laporan terkini menyebutkan bahwa pseudo fungi penyebab bulai (downy mildew) pada jagung ada 11 spesies. Spesies penyebab bulai telah dilaporkan di Australia, China, Filipina, India, Indonesia, Jepang, Nigeria, Malaysia, Kenya, Thailand, dan AS. Spesies penyebab bulai di beberapa negara tersebut berbeda-beda. Secara keseluruhan spesies penyebab bulai jagung adalah kelompok pseudo fungi Peronosclerospora australiensis, P. heteropogoni, P. maydis, P. philippinensis, P. sacchari, P. sorghi, P. spontanea, Sclerospora graminicola, Sclerophthora macrospora, dan S. rayssiae (Thakur dan Mathur 2002, Putnam 2007, Perumal et al. 2008, Lukman et al. 2013, BKP 2013). Namun Telle et al. (2011) melaporkan spesies P. eriochloae dapat menginfeksi jagung di wilayah subtropis Australia, yakni daerah Queensland sebelah tenggara. Informasi ini masih perlu konfirmasi untuk mendapatkan nama spesies penyebab yang lebih tepat.

Taksonomi. Pseudo fungi penyebab penyakit bulai pada awalnya merupakan anggota Kingdom Mycetae famili Peronosporaceae (Quimio 1981). Namun demikian taksonomi pseudo fungi lebih lanjut memasukkan penyebab bulai tersebut kedalam Kingdom Stramenopila (Chromista), Filum Oomycota, Kelas Oomycetes, Famili Sclerosporaceae, Ordo Sclerosporales, yang tergolong pseudo fungi/ fungal like organism (Alexopoulus et al. 1996; Phillips et al. 2002; Dick 2002; CABI 2014). Morfologi pseudo fungi Peronosclerospora dulu dimasukkan dalam anggota Sclerospora. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa terjadi perbedaan antara ke-2 genus tersebut. Perbedaan utama terletak pada perkecambahan konidia atau sporangia. Pada Peronosclerospora, konidia berkecambah membentuk tabung kecambah, sedangkan sporangia Sclerospora berkecambah membentuk zoospora, yakni spora motil berflagel ganda (Quimio 1998; Dick 2002).

P. australiensis. Identifikasi awal terhadap spesimen yang menginfeksi jagung di wilayah Australia Barat adalah P. maydis. Studi lebih lanjut oleh pseudoacrotricha, namun juga dijumpai menginfeksi jagung. Spesies ini hanya pernah dilaporkan dapat melakukan infeksi pada tanaman jagung di Australia, namun masih perlu konfirmasi lebih lanjut tentang identitas pseudo fungi penyebab bulai tersebut (Telle et al. 2011).

(26)

8

tergabung dengan EPPO (European Plant Protection Organization) memberi kode untuk spesies ini yakni PRSCSO (CABI 2007; White 2000).

P. maydis. Sinonim nama pseudo fungi ini adalah Sclerospora maydis Butl. et Bisby dan Peronospora maydis Racib, namun nama yang diterima saat ini adalah Peronosclerospora maydis (Shaw). Nama umum yang sering digunakan dalam penulisan ilmiah adalah downy mildew of corn dan Java downy mildew (CABI 2014). Pseudo fungi ini merupakan spesies asli Indonesia yang sudah dilaporkan sejak seratus tahun lalu (Semangun 2008).

P. philippinensis. Pseudo fungi ini bersinonim dengan Sclerospora phillippensis, dengan nama umum yang sering dipakai oleh peneliti adalah Phillippine downy mildew. Analisis isoenzim oleh Bonde et al. (1984) menunjukkan bahwa P. philippinensis yang berasal dari Filipina dengan P. sacchari asal Taiwan ternyata merupakan spesies yang sama. Namun demikian studi ini masih perlu kajian lebih dalam untuk mengetahui status takson antara dua spesies tersebut.

P. heteropogoni. Spesies P. heteropogoni menyebabkan penyakit yang dikenal dengan Rajasthan downy mildew, yang telah dilaporkan menimbulkan masalah serius produksi jagung di Rajasthan, India. Inokulum awal pseudo fungi pada tanaman Heteropogon contortus menjadi sumber inokulum untuk pertanaman jagung. Tanaman jagung yang ditanam terlambat dari musim tanam, akan rusak akibat infeksi P. heteropogoni yang melimpah di alam (Smith dan Renfro 2002). Miselia pseudo fungi ini diketahui dapat terbawa benih jagung, sebagai media penularan ke benih jagung yang sehat (Thakur dan Mathur 2002).

P. spontaneum. Inang utama spesies P. spontaneum adalah tebu, namun demikian tanaman jagung diketahui sebagai inang sekundernya. Nama ilmiah yang lebih dulu digunakan adalah Sclerospora spontanea. Nama umum dari pseudo fungi ini adalah Spontaneum downy mildew (White 2000; CABI 2014).

P. sacchari. Spesies pseudo fungi ini mempunyai sinonim dan nama umum Sclerospora sacchari dan Sugarcane downy mildew, dikarenakan inang utamanya adalah tebu. Studi terdahulu juga menyebutkan bahwa P. philippinensis yang selama ini dijumpai sebenarnya adalah spesies P. sacchari (White 2000; CABI 2014).

Sclerospora graminicola. Pseudo fungi ini telah menjadi masalah serius sejak 70 tahun lalu di pertanaman jagung di Israel dan AS. Pseudo fungi yang disebut sebagai graminicola downy mildew atau penyakit green ear, dijumpai pada beberapa rumput-rumputan di dunia. Struktur oospora pseudo fungi diketahui mampu bertahan selama 3 tahun, yang kemudian akan menjadi inokulum primer infeksi pada tanaman jagung (Smith dan Renfro 2002). Sporangia pseudo fungi dapat terdispersi oleh angin sejauh 3 km dalam kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit bulai di lapangan (Thakur dan Mathur 2002).

Sclerophthora macrospora. Pseudo fungi ini menyebabkan penyakit yang disebut crazy top, yang biasanya dijumpai di area dengan suhu hangat. Namun demikian di AS dan Canada penyakit ini menyebar luas di area jagung sehingga menyebabkan kerugian yang cukup substansial (Smith dan Renfro 2002).

(27)

9

dan Thailand, pada area dengan curah hujan pertahun 100-200 cm (Smith dan Renfro 2002). Spesies ini menimbulkan kerugian yang sangat tinggi pada pertanaman jagung rentan yang ditanam di area dengan curah hujan yang tinggi. Kejadian penyakit pada area tersebut dijumpai berkisar 70 sampai 100%. Kondisi suhu tanah yang hangat dan kelembapan udara yang tinggi berperan dalam keparahan penyakit (Putnam 2007).

Deteksi dan Identifikasi Pseudo fungi Penyebab Bulai Jagung Deteksi patogen menurut pengertian istilah bahasa adalah usaha menemukan dan menentukan keberadaan suatu patogen. Pengertian identifikasi merupakan penentuan atau penetapan identitas suatu patogen berdasarkan patogen yang sudah ada. Deteksi dan identifikasi patogen dapat diartikan sebagai langkah diagnosis terhadap patogen penyebab penyakit tanaman yang diperlukan guna keperluan proteksi tanaman (IPPC 2009).

Identifikasi pseudo fungi penyebab penyakit dapat diawali dengan melakukan identifikasi morfologi pseudo fungi. Morfologi salah satu pseudo fungi penyebab bulai yakni P. sorghi (Gambar 2) adalah miselium dengan hifa coenocytic (tidak bersekat), intercellulair dan membentuk haustoria (Francis et al. 1983). Konidiofor determinat, hialin, panjang lebih dari 300 µm (180-300 µm), mengandung sel basal yang diseparasi oleh septa dari main trunk, dan bercabang di bagian atasnya. Trunk secara sedikit demi sedikit meruncing ke bagian ujung (atas) dari sel basal. Cabang yang meruncing mempunyai sterigmata sepanjang 13 µm dimana masing-masing akan menghasilkan satu konidium (Francis et al. 1983).

Konidiofor tumbuh baik secara tunggal atau berkelompok, dari stomata di permukaan daun bagian bawah atau kadang-kadang di permukaan daun sebelah atas. Konidia berukuran 15-29 x 15-27 µm, subglobose, hialin, non-poroid dan non-papillate. Konidia berkecambah pada air dan mempenetrasi daun jagung secara langsung melalui stomata daun. Oogonia berbentuk spherical, dengan diameter 40-55 µm, oospores berdiameter 31-37 µm diameter, spherical, dan hialin dengan kuning terang pada lapisan sebelah luar. Oospora berkecambah melalui pelebaran sel-sel tabung kecambah (Francis dan Williams 1983). Deskripsi morfologi pseudo fungi penyebab dibedakan menurut bentuk dan ukuran konidia, sterigmata, dan konidiofor (Tabel 1). Morfologi pseudo fungi penyebab (Gambar 2), bervariasi tergantung lokasi ditemukannya pseudo fungi (Semangoen 1968).

(28)

10

Karakterisasi patogen penyebab dapat diawali dengan cara mendeteksi keragaannya melalui beberapa teknik identifikasi. Beberapa teknik telah dikemukakan oleh para peneliti selain berdasarkan morfologi, identifikasi dapat dilakukan terhadap protein maupun asam nukleat organisme yang bersangkutan. Namun demikian Mathiyazhagan et al. (2008) dan Ladhalaksmi et al. (2009), mengemukakan bahwa metode deteksi menggunakan polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode yang cepat, sensitif, dan handal untuk deteksi pseudo fungi Oomycetes. Metode ini merupakan metode konfirmasi setelah dilakukan identifikasi morfologi pseudo fungi.

Pengembangan primer untuk identifikasi pseudo fungi penyebab bulai pernah dilakukan oleh Ladhalakshmi et al. (2009). Primer yang digunakan pada studi tersebut disusun pada area SCAR (sequence characterized amplified region) untuk mengidentifikasi spesimen P. sorghi yang berasal dari jagung dan dari sorgum. Primer yang didesain pada area tersebut, yakni primer SCAR- F (TTGCACAGCCACTCTATTG) dan SCAR-R (CCTCAACTACGGTTTATGA), terbukti mempunyai spesifikasi dan reprodusibilitas yang tinggi untuk identifikasi spesimen P. sorghi asal tanaman jagung, dengan produk DNA yang dihasilkan berukuran 800pb.

Metode diagnostik penyebab bulai pada jagung dan sorgum baru-baru ini telah dikembangkan di Amerika Serikat (AS). Salah satu pengembangan metode diagnostik adalah menggunakan real time PCR. Primer dirancang di area antara daerah SSR di genom P. sorghi. Primer dapat mengamplifikasi DNA P. philippinensis, P. maydis, dan Sclerospora graminicola. Hasil analisis DNA lebih lanjut menunjukkan adanya keragaman yang cukup besar menggunakan sidik jari DNA AFLP (amplified fragment lengh polymorphisme). Penelitian ini berhasil melakukan amplifikasi seluruh genom penyebab bulai jagung dan sorgum (Luster 2007).

Metode diagnostik pseudo fungi lain, yakni Sclerophthora rayssiae var. zeae telah dikembangkan di India, dimana patogen ini pertama kali dilaporkan. Deteksi awal dapat dilakukan dengan meletakkan jaringan tanaman bergejala klorotik di dalam ruangan lembap bersuhu 22-25 °C. Inkubasi pada kondisi tersebut selama 3 sampai 9 jam akan menghasilkan sporangia. Spora akan dapat diamati dengan cara membersihkan jaringan yang telah diinkubasi pada 2% larutan sodium hidroksida pada suhu 45-50 °C, kemudian dicuci beberapa kali pada akuades, dan diberi pewarnaan methylene blue 0,1% yang dicampur ke dalam gliserin 50%, selama 20 menit pada suhu 45-50 °C (Putnam 2005).

Tabel 1 Deskripsi morfologi dan morfometri tiga spesies Peronosclerospora penyebab bulai jagung (Smith dan Renfro 2002; CIMMYT 2010)

Nama Spesies/ Karakter Morfologi dan Morfometri

Nama Umum Konidiofor Konidia

(29)

11

(30)

12

(31)

13

Keragaman Genetik Spesimen Pseudo fungi Bulai di Dunia Ilmuwan palaeobiogi sepakat bahwa interaksi faktor biotik dalam pola hubungan antar mahluk hidup memicu kejadian evolusi mahluk hidup terkait dalam skala kecil dan rentang waktu yang pendek. Namun kesepakatan tersebut ditolak oleh Barnosky (2001 dalam Voje et al. 2015) bahwa faktor abiotiklah yang paling berpengaruh dalam evolusi mahluk hidup. Oleh karena itu Voje et al. (2015) membuat suatu kajian bagaimana faktor biotik dan abiotik mempengaruhi kejadian evolusi mahluk hidup. Beberapa hasil kajian tersebut antara lain menyebutkan bahwa faktor biotik dan perubahan faktor abiotik merupakan pemicu terjadinya evolusi skala makro. Pengamatan terhadap kejadian evolusi makro selama jutaan tahun menunjukkan adanya peranan faktor biotik yang tidak dapat diabaikan dalam proses evolusi mahluk hidup. Akan tetapi pola hubungan faktor geografis dengan faktor abiotik yang tidak stabil turut serta berperan dalam terjadinya perubahan faktor biotik, selanjutnya efek perubahan abiotik akan memacu ketidakstabilan suatu ekosistem.

Prioritas dalam studi konservasi mahluk hidup biasanya berkaitan dengan fungsi ekosistem dan viabilitas jangka panjang suatu populasi mahluk hidup. Keragaman genetik jarang digunakan sebagai prioritas studi konservasi. Akan tetapi studi tentang pola hubungan keragaman spesies dengan genetik dipelajari melalui riset tentang species-genetic diversity correlation (SGDC). Studi tersebut menyatakan bahwa keragaman spesies diantara anggota suatu komunitas mahluk hidup berhubungan erat dengan keragaman genetik antar populasi, yang secara paralel dipengaruhi oleh karakter lingkungan abiotik (Kahilainen et al. 2014).

Korelasi keragaman spesies dengan keragaman genetik berjalan dua arah. Pola hubungan diantara keragaman spesies dengan keragaman genetik saling mempengaruhi dan keseluruhan proses melibatkan keragaman lingkungan abiotik. Keragaman lingkungan bisa dalam skala geografi (spasial), temporal, atau spasiotemporal. Keragaman lingkungan abiotik akan mempengaruhi keragaman spesies melalui seleksi alam, namun juga mempengaruhi keragaman genetik antar populasi melalui seleksi dan adanya genetic drift. Semakin tinggi keragaman lingkungan akan menyebabkan lebih banyak spesies yang beradaptasi terhadap lingkungan yang beragam pada area tersebut. Oleh karena itu area yang beragam akan lebih menjaga banyak spesies daripada area yang terlokalisir (Kahilainein et al. 2014).

Keragaman genetik dapat terjadi pada mikroorganisme dan mahluk hidup lainnya, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Keragaman genetik terjadi melalui proses antara lain mutasi, yakni suatu proses perubahan yang terjadi pada bahan genetik yang menyebabkan perubahan ekspresinya. Keragaman genetik ini dikenal sebagai keragaman hayati atau biodiversitas. Organisme baru hasil mutasi disebut mutan, dan genotipe sebelum terjadi proses mutasi diberi istilah genotipe liar (Jusuf 2001).

(32)

14

membedakan keragaman dan kemampuan patogenesitas diantara spesimen spesies Peronosclerospora pada jagung dibanding marka molekuler RAPD (random amplified polymorphisme DNA) (Perumal et al. 2008; Hikmawati et al. 2011).

Karakterisasi dan morfologi spesimen pseudo fungi di-9 lokasi di daerah Kediri, Medan, dan Maros telah dievaluasi berbasis SSR. Karakterisasi tersebut menunjukkan adanya tiga kelompok yang berbeda sesuai lokasi, yakni kelompok Kediri, kelompok Medan, dan kelompok Maros. Namun demikian masih perlu dilakukan konfirmasi bahwa ke-3 kelompok tersebut merupakan spesies Peronosclerospora yang berbeda-beda (Hikmawati et al. 2012; Muis et al. 2012). Analisis filogenetik Oomycetes sangat diperlukan guna membedakan genetika antar spesies pseudo fungi parasit pada jagung tersebut. Alasan mengapa perlu pembedaan karakter molekuler karena pembedaan spesies berbasis morfologi terhadap spesies kriptik tersebut kurang memadai (Ladhalaksmi et al. 2009; Shivas et al. 2011).

Respon Fisiologis Tanaman Jagung terinfeksi Pseudo Fungi Bulai Kultivar rentan akan mengalami gangguan fisiologis berupa gangguan sistem metabolisme dan enzim oksidasi. Namun pada kultivar tahan menunjukkan perubahan dalam rangka adaptasi fisiologis sebagai bentuk resistensi tanaman terhadap pseudo fungi penyebab bulai. Perubahan lebih lanjut dari infeksi pseudo fungi penyebab bulai telah dipelajari dengan komprehensif pada jaringan pearl millet (Pennisetum glaucum) terinfeksi pseudo fungi Sclerospora graminicola oleh Kumar et al. (2011).

Adanya efektor baik berupa enzim inhibitor maupun toksin, yang memperkuat profil patogen, sebaliknya akan menyebabkan hambatan proses enzimatis dalam sistem metabolisme tanaman. Perubahan fisiologi yang ditunjukkan pada kultivar jagung yang rentan mampu menyebabkan penurunan hasil sangat signifikan bahkan sampai bero. Perubahan tersebut berhubungan dengan pembentukan akar yang berkurang, buah tidak terbentuk atau terbentuk namun berbiji sedikit, tangkai lebih panjang dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya (Semangun 2008).

Tanaman Arabidopsis sebagai model, mempunyai tingkat resistensi terhadap infeksi yang rendah. Penelitian terhadap arabidopsis menunjukkan bahwa pada kultivar yang sangat rentan terjadi akumulasi propagul pada interselular. Sel epidermis menunjukkan vigor lebih tinggi dibanding sel mesofil, sehingga hifa pseudo fungi yang terbentuk pada saat penetrasi ke mesofil akan dapat langsung kontak ke epidermis tanpa membentuk haustoria. Hal ini menyebabkan terjadi nekrosis jaringan tanaman akibat adanya haustoria dalam jumlah melimpah di sel tanaman, yang menyebabkan sel lisis.

(33)

15

drastis hingga 97.7%. Penurunan kandungan klorofil total dan karotenoid dianalisis dibandingkan dengan kandungan daun dan malai sehat. Hasil analisis menunjukkan bahwa klorofil a mengalami penurunan 59% sedangkan klorofil b tidak terbentuk sama sekali (Kumar et al. 2011).

Beberapa aktivitas fotosintesis yang menurun tampak dari kandungan klorofil dibawah normal. Hal ini sejalan dengan studi oleh Mandal (2009), yang meneliti aktivitas fotosintesa Plantago ovata terinfeksi pseudo fungi Peronospora plantaginis. Hasil studi menunjukkan bahwa infeksi pseudo fungi menyebabkan penurunan kandungan klorofil pada sel palisade parenkim dan mesofil daun P. ovata. Kandungan kloroplas akan menurun sebanding dengan peningkatan keparahan penyakit. Hal ini terjadi disebabkan oleh adanya penetrasi hifa pseudo fungi ke dalam sel tanaman, yang mempengaruhi distabilitas dan integritas struktur sel, sehingga terjadi kebocoran sel termasuk diantaranya kebocoran kloroplas.

Propagul pseudo fungi yang memblokade secara fisik hingga memenuhi stomata daun menyebabkan asimilasi karbon menurun akibat menurunnya konduktansi stomata. Penurunan proporsi cahaya yang diabsorbsi klorofil berasosiasi dengan photosystem II (PSII) selama fotokimiawi, menyebabkan peningkatan klorosis daun terinfeksi. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan CO2 lebih tinggi pada daun terinfeksi dibanding daun sehat pada saat respirasi gelap (Mandal 2009).

Kandungan gula yang tinggi mungkin berkontribusi terhadap penghambatan pembentukan biji. Perubahan kualitatif gula akibat infeksi tidak dibarengi transport gula masuk ke jaringan pseudo fungi sehingga gula menumpuk di jaringan tanaman. Menurut Mandal (2009), penumpukan gula terjadi karena proses transportasi gula melalui floem ke seluruh tanaman yang melambat, atau sebagai reaksi dari penghambatan fotosintesa akibat infeksi pseudo fungi.

Pada kultivar arabidopsis yang resisten, tidak terjadi pelimpahan jumlah propagul pseudo fungi bulai. Observasi menunjukkan bahwa setelah inokulasi hifa ke sel epidermis, dengan segera akan terjadi respon hipersensitif yang cepat dan terlokalisir, sehingga tidak memungkinkan hifa pseudo fungi untuk terus berkembang dan mengabsorbsi nutrisi sel tanaman (Koch dan Slusarenko 1990).

Prolina dilaporkan memodulasi fungsi tertentu antara lain sebagai bahan esensial proses pemulihan tanaman dari kondisi cekaman. Akumulasi prolina menunjukkan adanya peningkatan ketahanan terhadap penyakit, namun demikian peningkatan prolina bebas berhubungan dengan penurunan aktivitas sintesa protein. Hal ini sejalan dengan penelitian Arun (2010), yang menunjukkan bahwa peningkatan prolina pada kultivar tahan sebesar 942.6% dan kultivar rentan sebesar 454.9%, dibandingkan prolina pada tanaman sehat.

(34)

16

sejalan dengan meningkatnya katalase sebagai inhibitor oksidasi IAA. Aktivitas POX yang berperanan dalam pembentukan substansi barier pada lokasi patogen menginfeksi, dijumpai berasosiasi dengan kultivar tahan. Aktivitas POX pada HHB-67 (kultivar tahan) menunjukkan 972 kali lebih tinggi dibanding jaringan sehat.

Adaptasi fisiologi oleh tanaman dipicu adanya efektor Oomycetes telah dilaporkan oleh Denance et al. (2013). Efektor sitoplasmik anggota Oomycetes mempunyai motif asam amino RxL96. Motif asam amino ini disekresikan ke dalam sel tanaman, selanjutnya akan memicu kejadian plant cell death sehingga invasi di jaringan tanaman tidak dapat dilanjutkan. Respon pertahanan inang dipicu adanya pengenalan secara langsung dan tidak langsung gen ketahanan inang (R) terhadap efektor dan kemudian mengaktifkan effector triggered immunity, untuk mengatasi infeksi pseudo fungi Oomycetes (Denance 2014).

(35)

17

3 PEMETAAN PSEUDO FUNGI PENYEBAB BULAI JAGUNG DI INDONESIA BERBASIS KERAGAMAN MORFOLOGI

Pendahuluan

Penyakit bulai pada jagung disebabkan oleh 11 spesies pseudo fungi yang tergolong dalam 3 genera yaitu 8 spesies dari genus Peronosclerospora, 2 spesies dari genus Sclerophthora, dan 1 spesies dari genus Sclerospora (White 2000; Wakman 2002; Shivas et al. 2011). Hingga saat ini baru 3 spesies yang dilaporkan menginfeksi tanaman jagung di Indonesia yaitu P. maydis, P. philippinensis, dan P. sorghi (Burhanuddin 2010). Salah satu dari ke-3 spesies Peronosclerospora tersebut, yakni P. sorghi baru dilaporkan keberadaannya di Indonesia pada tahun 2002 (Wakman 2006). Saat ini pemetaan keberadaan pseudo fungi penyebab bulai jagung di Indonesia belum memadai. Konfirmasi atas pemetaan dan keberadaan suatu OPT/K diperlukan guna pembaruan status kategori OPT/K.

Pembaharuan status OPTK secara rutin dilakukan untuk mendukung penerapan regulasi perkarantinaan di Indonesia. Regulasi dibidang perkarantinaan merupakan salah satu strategi proteksi tanaman dalam sistem pengendalian penyakit tanaman secara terpadu. Oleh karena itu, informasi status OPTK yang tertuang dalam suatu peta sebar penyakit sangat penting dilakukan.

Pemetaan pseudo fungi jagung di Indonesia terkendala oleh ketiadaan kunci identifikasi morfologi dan ketersediaan primer spesifik untuk identifikasi pseudo fungi bulai jagung. Deteksi dan identifikasi patogen berdasarkan istilah dalam international standard for phytosanitary measures (ISPM) No. 27 tentang protokol diagnosis, dapat diartikan sebagai langkah diagnosis terhadap patogen penyebab penyakit tanaman yang diperlukan guna keperluan proteksi tanaman (IPPC 2009).

Ketiadaan kunci identifikasi pseudo fungi penyebab bulai yang tergolong dalam kelas Oomycetes hingga saat ini menemui hambatan dengan adanya morfologi spesies penyebab bulai yang mempunyai kesamaan di antara spesies penyebab. Oleh karena itu, identifikasi morfologi perlu dikonfirmasi dengan identifikasi secara molekuler. Identifikasi pseudo fungi penyebab bulai yang memadai sangat diperlukan dalam rangka optimalisasi tindakan pengendalian.

Teknik deteksi dan identifikasi pseudo fungi bulai tersebut sangat diperlukan saat ini, terlebih setelah spesies penyebab bulai tersebut menurut Xu et al. (2012) dimasukkan dalam daftar organisme asing atau invasive allien species (IAS) di beberapa negara antara lain China. Oleh karena itu pengetahuan tentang diagnosis spesimen pseudo fungi bulai ini merupakan kebutuhan yang mendesak dalam rangka pemetaan dan mitigasi risiko penyakit bulai di negara produsen jagung.

Informasi tentang diagnosis pseudo fungi bulai jagung diharapkan dapat sebagai petunjuk langkah pengendalian yang lebih efektif dan efisien. Justifikasi ilmiah berkenaan dengan informasi tersebut di Indonesia belum memadai, sehingga perlu dilakukan studi tentang deteksi, identifikasi berbasis morfologi, morfometri, dan molekuler untuk pseudo fungi penyebab bulai pada jagung.

(36)

18

morfometri, dan molekuler di beberapa lokasi baik di sentra produksi maupun bukan sentra produksi jagung. Hasil identifikasi spesies penyebab bulai dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan peta sebar. Peta sebar penyakit bulai jagung di Indonesia sesuai informasi identitas pseudo fungi penyebab bulai yang memadai, diharapkan dapat membantu strategi pengendalian terutama dalam penentuan kultivar yang akan ditanam di suatu lokasi.

Bahan dan Metode

Pengambilan Contoh Tanaman Jagung Bergejala Penyakit Bulai Contoh diambil dari tanaman jagung bergejala bulai di-13 provinsi di Indonesia, yaitu di-5 sentra produksi jagung di Indonesia : Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), serta 8 provinsi yang bukan sentra produksi yaitu DI Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, Bengkulu, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Papua (Swastika et al. 2002; BPS 2014). Metode pengambilan contoh adalah secara transek garis (Gambar 3), dengan tanaman dalam satu garis pada lahan pertanaman merupakan satu petak contoh. Metode ini paling sesuai sebagai metode pengambilan contoh untuk studi bioekologi suatu populasi (Fachrul 2012). Kejadian penyakit (KP) dihitung berdasarkan rumus :

Kejadian penyakit dalam satu petak contoh yang diamati merupakan rerata KP keseluruhan garis transek dalam petak yang bersangkutan. Penghitungan jumlah tanaman menggunakan alat penghitung (hand counter). Data KP akan digunakan pada penelitian berikutnya (Bab 5 dan 6).

(37)

19

a b

Gambar 3 Metode pengambilan contoh secara transek garis untuk menghitung kejadian penyakit (KP) pada satu petak contoh; a) garis transek kondisi di lapangan, b) petak contoh untuk penghitungan KP

Induksi Sporulasi Buatan Penyebab Bulai

Induksi sporulasi secara buatan dapat berhasil dilakukan apabila memenuhi kriteria antara lain tanaman jagung yang diambil adalah jagung bergejala klorosis yang disertai tanda propagul warna putih seperti tepung, masa pertumbuhan jagung adalah masa vegetatif, yang ditandai dengan tidak adanya alat generatif tanaman seperti malai, serta kondisi lingkungan di luar ruang preparasi tidak dalam kondisi hujan. Pada saat induksi sporulasi, pemberian label dilakukan sesuai dengan lokasi penghambilan sampel jagung.

Sporulasi buatan untuk menghasilkan morfologi utuh pseudo fungi dilakukan dengan metode induksi sesuai Burhanuddin (2011). Daun tanaman jagung yang terinfeksi penyakit bulai pada stadia vegetatif diambil dari lapangan. Daun tanaman yang dipilih sebagai contoh adalah daun ke-3 dari pucuk tanaman yang memperlihatkan gejala bulai yang disertai tanda adanya massa propagul pseudo fungi berwarna putih seperti tepung menyebar di permukaan daun bagian bawah. Batang yang mengandung daun ke tiga dipotong lalu dibungkus kertas koran untuk menjaga daun tetap segar. Batang berdaun tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik klip. Daun dalam kantong plastik akan tetap segar sampai beberapa jam. Sesampai di lokasi preparasi sporulasi, daun ke-3 dipotong bagian pangkal untuk kemudian segera dicuci dibawah air mengalir, dengan cara menjepit daun dengan dua jari dan mengusapnya sambil disiram dibawah air keran untuk memastikan stomata daun bersih dari kotoran dan propagul pseudo fungi.

Gambar

Gambar 1   Bagan alur penelitian keragaman dan pemetaan penyakit bulai
Tabel 1 (Lanjutan)
Gambar 2  Morfologi pseudo fungi penyebab bulai jagung, a) Peronosclerospora
Gambar 3  Metode pengambilan contoh secara transek garis untuk menghitung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini diketa- hui bahwa penyakit bulai telah tersebar luas pada tanaman jagung di semua kabupaten yang di Pulau Madura yaitu

Pengaruh Penggunaan Beberapa Varietas dan Aplikasi Pseudomonas fluorescens untuk Mengendalikan Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis) pada Tanaman Jagung (Zea mays

Hasil kajian menunjukkan: (1) di lokasi Kediri penyakit bulai menurunkan produksi 12-80%, sedangkan di lokasi Pasuruan penyakit bulai menurunkan produksi 20-38%; (2) meskipun

Salah satu kendala dalam budidaya jagung adalah penyakit bulai yang disebabkan Peronosclerospora maydis Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berupa

Pengaruh Paenibacillus polymyxa dan Pseudomonas fluorescens dalam molase terhadap keterjadian penyakit bulai (Perenosclerospora maydis L.) pada tanaman jagung manis.. The

Hasil penelitian hubungan faktor lingkungan terhadap laju infeksi dan pola sebaran penyakit bulai pada tanaman jagung di kabupaten jombang adalah sebagai

Skripsi dengan judul : Pengelompokan Genotipe Jagung Berdasarkan Tingkat Ketahanan terhadap Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis) dan Daya Hasilnya, telah diuji

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik morfometri dan tingkat patogenisitas strain Peronosclerospora yang diambil dari beberapa lokasi sentra produksi jagung