• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Fungsi Penciuman pada Lansia di Panti Jompo Binjai Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Fungsi Penciuman pada Lansia di Panti Jompo Binjai Tahun 2014"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

DATA RIWAYAT HIDUP

Nama : Putra Baruna

Tempat/Tanggal Lahir : Aceh, 25 september 1992

Agama : Islam

Alamat : Jl. Asam Kumbang, Komp. Garden Pesona no.4 Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Negeri 068475 Medan 1999-2005 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Aceh 2005-2008 3. Sekolahg Menengah Atas Negeri 1 Aceh 2008-2011 4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2011- Sekarang

Riwayat Organisasi :

(2)

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ( INFORMED CONSENT )

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan

Alamat :

Telah menerima dan mengerti penjelasan peneliti tentang penelitian “GAMBARAN FUNGSI PENCIUMAN PADA LANSIA DI PANTI JOMPO DI BINJAI TAHUN 2014 ” termasuk tujuan, keuntungan serta efek samping yang dapat ditimbulkannya. Dengan penuh kesadaran serta tanpa paksaan, saya bersedia menjadi peserta penelitian tersebut.

Demikianlah surat persetujuan ini saya perbuat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan siapapun.

Binjai, November 2014 Yang menyatakan persetujuan

(3)

Lampiran 3

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Selamat siang Bapak/Ibu.

Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri. Nama saya Putra Baruna. Saat ini saya sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan sedang melakukan penelitian Karya

Tulis Ilmiah dengan judul “GAMBARAN FUNGSI PENCIUMAN PADA LANSIA DI PANTI JOMPO DI BINJAI TAHUN 2014 yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi penciuman pada lansia.

Bapak / Ibu akan dilakukan pemeriksaan gambaran penciuman dengan cara Bapak/Ibu akan ditutup matanya dan kemudian Bapak/Ibu menentukan bau apa yang didekatkan ke hidung Bapak/Ibu. Dari penelitian yang ada, tidak ditemukan bukti yang dapat membahayakan atau merugikan dari dilakukannya penelitian ini. Tetapi, bila Bapak / Ibu tidak berkenan, Bapak/Ibu boleh menolak untuk menjadi subjek penelitian. Adapun biaya penelitian ini tidak akan dibebankan kepada Bapak / Ibu dan data ini akan saya rahasiakan.

Bila ditemukan hal-hal yang tidak diinginkan, ataupun yang ingin ditanyakan, silahkan menghubungi saya :

Nama : Putra Baruna

Alamat : Kompleks Garden Pesona Asri No. 4 Medan Telepon : 082168442052

Demikian yang dapat saya sampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang Bapak / Ibu berikan, saya ucapkan terima kasih.

Hormat Saya Peneliti

(4)

Lampiran 4

TAKSIRAN DANA PENELITIAN

A. PEMASUKAN

1. Biaya pribadi : Rp 650.000,00

B. PENGELUARAN

1. Biaya pengurusan izin penelitian di tempat penelitian : Rp 200.000,00

2. Biaya transportasi : Rp 100.000,00

3. Biaya peralatan dan pencetakan : Rp 350.000,00

TOTAL BIAYA : Rp 650.000,00

(5)

Lampiran 5

Kelompok Umur Lansia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid lanjut usia 32 80.0 80.0 80.0

lanjut usia tua 8 20.0 20.0 100.0 Total 40 100.0 100.0

Jenis Kelamin Lansia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid laki-laki 14 35.0 35.0 35.0

Perempuan 26 65.0 65.0 100.0 Total 40 100.0 100.0

Riwayat Penyakit Lansia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid tidak ada 14 35.0 35.0 35.0

(6)

Fungsi Penciuman Lansia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid normosmia 11 27.5 27.5 27.5

anosmia 6 15.0 15.0 42.5 hiposmia 13 32.5 32.5 75.0 disosmia 5 12.5 12.5 87.5 agnosmia 5 12.5 12.5 100.0 Total 40 100.0 100.0

Kelompok Umur Lansia * Kelompok Penciuman Crosstabulation

kelompok penciuman

Total Normal terganggu

kelompok umur lansia lanjut usia Count 11 21 32 % within kelompok umur

lansia

34.4% 65.6% 100.0%

lanjut usia tua Count 0 8 8 % within kelompok umur

lansia

.0% 100.0% 100.0%

Total Count 11 29 40

% within kelompok umur lansia

(7)

Statistics

umur lansia

N Valid 29 Missing 0

Mean 69.79

Std. Deviation 7.178

Fungsi Penciuman Lansia * Selera Makan Lansia Crosstabulation

Count

selera makan lansia

Total baik tidak baik

fungsi penciuman lansia normosmia 11 0 11 Anosmia 0 6 6 Hiposmia 1 12 13 Disosmia 2 3 5 Agnosmia 1 4 5

(8)
(9)
(10)
(11)

DAFTAR PUSTAKA

Abikusno, Nugroho, 2013. Kelanjutusiaan Sehat Meniju Masyarakat Sehat untuk

Segala Usia. Buletin Jendela. Hal: 25

Ballenger, J.J., 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus

Paranasal. dalam Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala

dan leher. Edisi ke-13. Jakarta : Binarupa Aksara. Hal :1-25.

_______. Hidung dan sinus paranasal. Dalam: Ballenger, J.J. Alih bahasa FK UI.

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jilid 1. Jakarta:

Bina Rupa Aksara; 2002. Hal 1-27.

Boyce, J.M., dan Shone, G.R., 2006. Effects of Ageing on Smell and Taste. Postgrad Med J; 82: 239-241. South wales.

Broek, P.V.D., dan Feenstra L., 2010. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal.

Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12.

Jakarta: EGC, Hal: 99-100.

Burling, Stacey, 2014. As We Age, Declining Sense of Smell Affects Appetites. Tribune Content Agency LLC. Washington.

Charlotte, A., et al, 2009. Health Characteristic of Adults Aged 55 Years and

Over: United States, 2004-2007. CDC.

Corbridge, R.J., 1998. The Nose and Nasopharynx dalam Essential ENT Practice. United State. Hal: 19.

Darmodjo, 2002. Pertambahan Jumlah Lansia Indonesia Terpesat di Dunia. Darmojo, Boedhi, 2009. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

Departemen Kesehatam RI. 2003. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut untuk

Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bini Masyarakat Ditjen

Binkesmas Depkes RI.

Despopulous, A,. Silbernagl,. Central nervous system and senses in color atlas of

physiology. 5th ed. New York: Thieme; 2003. Hal: 340-41.

(12)

Doty, R.L., Bromley, S.M., Panganiban, W.D., Olfactory function and

disfunction. In: Bailey, B.J., Johnson, J.T., Newlands, S.D. editors. Head

and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott

William & Wilkins; 2006. P: 290-305.

Effendi, Nasrul, 2009. Dasar-Dasar Perawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta : EGC.

Fatmah. 2010, Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ganong, W.F., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC. Hal:

195-197.

Gallo, 1998. Gerontologi. EGC. Jakarta.

Huriyati, E., Budiman, B.J., Nelvia, T., 2013. Gangguan fungsi penghidu dan

pemeriksaannya. Universitas Andalas Padang. Padang.

Hollinshead, W.H., 1996. The Head and Neck. Anatomy for Surgeons, Hoeber

Harper Int. Ed. New York. Vol.1: 234-76.

Kopke, R.D., dan Jackson R.L. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed.

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp,

1993. Hal: 269 – 87.

Maryam, et al, 2008. Mengenal U

Nugroho, W., 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.

sia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta :

Salemba Medika.

Prasetyo, S.J., 2012. Karakteriktik Penderita Rinosinusitis di Rumah sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011. Skripsi. Universitas

Sumatera Utara. Medan.

Rambe, A.Y.M., 2003. Rinitis Vasomotor. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Rustika, Woro Riyadina, 2000. Profil Penduduk Lanjut Usia di Indonesia

(Analisis Data

susenas 1995). Media Litbang Kesehatan; 10 (2): 16-26. Jakarta.

(13)

Schiffman, S.S., dan Graham, B.G., 2000. Taste and Smell Perception Affect

Appetite and Immunity in the Elderly. European Journal of Clinical

Nutrition; 54 (3): 54-63.

Shen, Jing, 2003. Olfactory Dysfunction and Disorders. Makalah. Dept.of Otolaryngology, UTMB.

Sherwood, L., 2009. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal: 248-250.

Simmen, D., Olfaction in rhinology-methods of assesing the sense smell.

Rhinology 2006; 48: 98-101

Snell, R.S., 2006. Anatomi klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal: 803-805.

Soetjipto, D., 1997. Hidung dalam Soepardi 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT.

Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, hal: 89.

_______, Wardani RS. 2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ke-6. Jakarta : FK UI, hal :

118-122.

______. 2010. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI,

hal: 145-149.

Stammberger, H., dan Lund, V.J., 2008. Anatomy of the nose and paranasal

sinuses. In: Browning, G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology,

Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold. Hal:

1318-1320.

WHO, 1994. Departement of Psychiatry Centre for Participant Report Outcomes. Wrobel, B.B. Olfactoryand sensory attributes of the nose. Otolaryngol Clin N Am 2005; 38: 1163-70.

Wreksoatmodjo, Budi Riyanto, 2013. Perbedaan Karakteristik Lanjut Usia yang

Tinggal di Keluarga dengan yang Tinggal di Panti di Jakarta Barat.

(14)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 3.1 Lansia dan Fungsi penciuman 3.2 Defenisi Operasional

 Lansia : suatu fenomena alamiah akibat proses menua, bukanlah suatu penyakit. Seseorang dikatakan lansia jika sudah berumur 60 tahun ke atas (WHO).

 Umur : jumlah tahun hidupyang dihitung berdasarkan tahun masehi sejak pasien lahir sampai.

Cara pengukuran: Wawancara

Lansia

Fungsi Penciuman :

1. Normosmia 2. Anosmia 3. Hiposmia 4. Disosmia 5. Agnosmia Karakteristik Lansia :

 Umur

(15)

Hasil ukur : 1. 60-74 tahun (lanjut usia) 2. 75-90 tahun (lanjut usia tua) 3. 90 tahun keatas (usia sangat tua) Skala ukur : Interval

 Jenis kelamin : siafat jasmani yang membedakandua makhluk yaitu laki-laki dan perempuan.

Cara pengukuran : Wawancara Hasil ukur : 1. Laki-laki

2. Perempuan Skala ukur : Nominal

 Riwayat penyakit : penyakit terdahulu yang diderita lansia yang ada pada panti jompo.

Cara Pengukuran : Data dari panti atau wawancara pasien dan keluarga

Hasil ukur : 1. Trauma kepala

2. Diabetes mellitus

3. dll

Skala ukur : Nominal

 Selera makan : keinginan seseoran terhadap makan makanan. Cara Pengukuran : Wawancara pada perawat

Hasil ukur : 1. Baik 2. Tidak baik Skala ukur : Nominal

 Fungsi penciuman: Untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan

Cara Pengukuran: Pemeriksaan langsung dengan teh, kopi dan jeruk Hasil ukur: 1. Normosmia: kemampuan penciuman normal

2. Anosmia: hilangnya kemampuan penciuman

(16)
(17)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan desain Cross

Sectional yang bertujuan untuk menggambarkan variable yang diteliti. Pada

penelitian ini yang ingin diketahui oleh peneliti adalah Gambaran Fungsi

Penciuman pada Lansia di Panti Jompo Binjai Tahun 2014.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Jompo Binjai Tahun 2014 pada bulan April-Desember 2014.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Penelitian

Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh lansia di Panti Jompo Binjai Tahun 2104.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik total sampling. Pada metode ini, semua populasi dijadikan sampel penelitian. Semua data pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan menjadi sampel

Adapun yang menjadi kriteria inklusi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Pasien lansia yang terdapat dipanti jompo karya kasih. 2. Pasien yang dapat berkomunikasi.

3. Mampu di lakukan pemeriksan penciuman walaupun ada keterbatasan dalam mobilisasi.

(18)

Adapun yang menjadi kriteria eksklusi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Yang tidak bersedia dilakukan pemeriksaan. 2. Pasien yang mengalami gangguan kejiwaan.

3. pasien yang manderita stroke, gangguan kelainan organik bawaan hidung, menderita influenza, rhinitis, sinusitis saat di lakukan pemeriksaan.

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini menggunakan alat ukur pemeriksaan penciuman (Nervus Olfaktorius) :

7. Wadah kecil untuk tempat teh, kopi, dan jeruk.  Cara pemeriksaan :

1. Pasien duduk

2. Meriksa lubang hidung pasien (dengan menggunakan senter), apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau polip. Karena hal ini dapat mengganggu ketajaman penciuman. 3. Zat pengetes diletakkan dalam wadah.

4. Pasien disuruh tutup mata

5. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu secara bergantian, lubang hidung yang sedang tidak diperiksa, ditutup dengan tangan.  Penilaian :

(19)

- Disosmia - Agnosmia  Tindak lanjut:

- Pada lansia yang mengalami gangguan penciuman seperti normosmia, anosmia, hiposmia, dan disosmia, maka ditanyakan kepada lansia langsung atau perawatnya apakah ada gangguan selera makan pada lansia tersebut.

4.5 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data hanya dilakukan satu kali dan dianalisis secara bersamaan dalam waktu yang sama (secara sumultan). Data yang digunakan pada penelitian ini hanya data primer yaitu hasil pemeriksaan fungsi penciuman pada lansia dipanti jompo Binjai Tahun 2014. Data ini diperoleh dari panti jompo Binjai. Kemudian data yang ingin diteliti yaitu semua lansia yang berada dipanti jompo tersebut.

4.6 Pengolahan dan Analisa Data

(20)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlangsung di Panti Jompo Unit Pelayanan Terpadu Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai yang beralamat di Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Binjai merupakan Panti Jompo yang dikelola oleh pemerintah.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel

5.1.2.1 Deskripsi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur

Sampel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi kelompok lanjut usia, dan lanjut usia tua serta usia sangat tua namun tidak ditemui sampel pada kelompok usia ini. Gambaran usia sampel ditampilkan pada tabel 5.1 berikut ini :

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok umur Jumlah Persentase (%)

Lanjut usia (60-74 tahun) 32 80

Lanjut usia tua (75-90 tahun) 8 20

Usia sangat tua (90 tahun ke atas) 0 0

Total 40 100

(21)

5.1.2.2 Deskripsi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin ditampilkan paa tabel 5.2 berikut ini :

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 14 35

Perempuan 26 65

Total 40 100

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, sampel yang paling banyak adalah perempuan. Sampel laki-laki berjumlah 14 orang (35%), dan sampel perempuan berjumlah 26 orang (65%).

5.1.2.3 Deskripsi Sampel Berdasarkan Riwayat Penyakit

Deskripsi riwayat penyakit sampel ditentukan apakah menderita penyakit kronis sebelumnya seperti Diabetes mellitus dan Trauma kepala.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit Frekuensi Persentase (%)

Tidak ada 14 35

Trauma kepala 1 2.5

Diabetes mellitus 5 12.5

Lain-lain (Hipertensi, jantung koroner, osteoarthritis)

20 50

(22)

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jumlah sampel yang menderita penyakit lain adalah paling banyak dengan jumlah 20 orang (50%), sampel yang menderita trauma kepala berjumlah 1 orang (2,5%), sampel yang menderita diabetes mellitus berjumlah 5 orang (12,5%), dan sampel yang tidak ada riwayat penyakit berjumlah 14 orang (35%).

5.1.3 Analisis Fungsi Penciuman Lansia 5.1.3.1 Gambaran Fungsi Penciuman Lansia

Secara umum, fungsi penciuman lansia dibagi menjadi fungsi penciuman normal (normosmia) dan fungsi penciuman terganggu (anosmia, hiposmia, disosmia, dan agnosmia). Distribusi sampel berdasarkan fungsi penciumannya ditampilkan pada tabel 5.4 berikut ini :

Tabel 5.4 Gambaran Fungsi Penciuman Pada lansia

Fungsi penciuman Frekuensi Persentase (%)

Normosmia 11 27.5

Anosmia 6 15

Hiposmia 13 32.5

Disosmia 5 12.5

Agnosmia 5 12.5

Total 40 100

Dari hasil penelitian didapatkan jumlah sampel yang mengalami gangguan

penciuman lebih banyak dibanding yang normal. Dari berbagai jenis gangguan penciuman, hiposmia adalah yang paling banyak dengan jumlah 13 orang (32,5%), sampel yang menderita anosmia berjumlah 6 orang (15%), sampel yang

(23)

5.1.3.2 Rata-Rata Usia Lansia yang Mengalami Mangguan Penciuman

Dari kedua kelompok umur lansia ditentukan pada kelompok umur mana yang paling banyak mengalami gangguan penciuman dan rata-rata pada usia berapa yang paling banyak ditemui gangguan penciuman.

Tabel 5.5 Rata-Rata Usia Lansia Yang Mengalami Gangguan Penciuman

Kelompok Umur

Kelompok Penciuman

Total Normal Terganggu

Lanjut usia (60-74 tahun) 11 (34.4%) 21 (65.6%) 32 (100%)

Lanjut usia tua (75-90 tahun) 0 (0%) 8 (100%) 8 (100%)

Usia sangat tua (90 ke atas) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)

Jumlah 11 (27.5%) 29 (72.5%) 40 (100%)

Rata-rata usia yang mengalami gangguan penciuman

70 (69.79)

Berdasarkan tabel 5.5 di atas didapatkan pada kelompok lanjut usia (60-74 tahun) sebagian besar memiliki gangguan penciuman yaitu sebanyak 21 (65.6%)

(24)

5.1.3.3 Gambaran Nafsu Makan pada Lansia yang Mengalami Gangguan Penciuman

Pada lansia yang mengalami gangguan penciuman, dinilai apakah terdapat gangguan selera makan pada lansia dengan jumlah yang signifikan. Hasil yang didapatkan ditampilkan pada tabel berikut ini :

Tabel 5.6 Analisa Selera Makan Lansia yang mengalami Gangguan Penciuman

Fungsi Penciuman lansia

Selera makan lansia

Baik Tidak baik

Fungsi Penciuman Baik (normosmia) 11 (100%) 0 (0%)

Gangguan Fungsi

(25)

sampel yang memiliki selera makan tidak baik sebanyak 3 orang (60%) sedikit lebih tinggi dibanding yang memiliki selera makan yang baik yaitu 2 orang (40%). Pada jenis agnosmia yang sulit mengenal satu macam bau didapati lansia yang memiliki selera makan tidak baik jumlahnya besar yaitu 4 orang (80%) sedangkan yang memiliki selera makan baik sebagian kecil yaitu 1 orang (20%).

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik Sampel

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar sampel berada pada kelompok umur lanjut usia (60-74 tahun) berjumlah 32 sampel (80%). Menurut Charlotte (2009), kelompok usia pada lansia yang ditemukan di Indonesia sebagian besar berada pada kelompok 60-75 tahun yaitu sebesar 70%. Ditambahkan pada penelitian Wreksoatmodjo (2013) bahwa 47% lansia usia 60-70 tahun di penelitiannya tinggal di panti dan 60% lansia usia di atas 60-70 tahun tinggal di panti.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sampel yang paling banyak adalah perempuan. Sampel laki-laki berjumlah 14 orang (35%), dan sampel perempuan berjumlah 26 orang (65%). Menurut Rustika (2000), sebagian besar lansia di Indonesia berjenis kelamin perempuan sebesar 52%. Menurut data tersebut dinyatakan bahwa banyaknya lansia perempuan dibanding laki-laki disebabkan perbedaan hormonal antara perempuan dan laki-laki. Perempuan memiliki hormone estrogen yang memiliki efek protektif terhadap penyakit kardiovaskuler bagi wanita sebelum usia menopause yang sering terjadi pada pria. Sedangkan sebagian besar pria memiliki beban kerja yang berat dan pola hidup yang kurang sehat seperti merokok dan meminum alkohol yang lebih banyak dijumpai pada wanita.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jumlah sampel yang menderita penyakit lain adalah paling banyak dengan jumlah 20 orang (50%), sampel yang

(26)

faktor terhadap gangguan penciuman lansia. Berdarkan penelitian Wreksoatmodjo (2013) lansia yang menderita diabetes yang tinggal di panti jompo sebesar 8%. Penyakit lain yang ada pada lansia adalah hipertensi sebesar 30%. Ini menyatakan bahwa lansia yang tinggal di panti tidak lebih berpenyakit dalam hal ini terhadap diabetes mellitus. Hal yang perlu jadi pertimbangan adalah ketersediaan fasilitas kesehatan di sekitar panti untuk membantu dalam hal kontrol kesehatan lansia.

5.2.2 Analisa Fungsi Penciuman Lansia

Dari hasil penelitian didapati bahwa sebagian besar lansia memiliki gangguan fungsi penciuman dibanding yang fungsi penciumannya normal. Dari hasil penelitian didapati bahwa jenis gangguan penciuman yang paling sering didapati pada lansia adalah hiposmia. Hasil ini sejalan dengan penelitian Schiffman yang menyatakan gangguan penciuman yang paling sering pada usia di atas 60 tahun pada penelitian tersebut adalah hiposmia. (Schiffman, 2000)

Kelompok lansia yang mengalami gangguan penciuman dijumpai mulai dari kelompok usia 60-74 tahun dan meningkat pada usia di atasnya dan sering dijumpai pada usia 70 tahun. Menurut penelitian Burling (2014), 60% orang usia 65-80 tahun memiliki gangguan penciuman dan bahkan lebih dari 80% lansia memiliki gangguan penciuman di usia mulai dari 80 tahun. Sejalan dengan penelitian Schiffman (2000) dinyatakan bahwa gangguan penciuman dimulai pada usia 60 tahun dan meningkat puncaknya pada usia 70 tahun. Peningkatan usia menyebabkan banyaknya kemosensori yang hilang sehingga menurunkan fungsi penciuman. Sehingga ini menyebabkan meningkatnya ambang untuk penciuman, menurunkan kemampuan untuk membedakan atau mengenali baud an rasa serta mengurangi intensitas rangsangan yang besarnya di atas batas ambang penciuman. Sedangkan menurut (Boyce, 2006 dan Shone 2006) gangguan penciuman pada lansia disebabkan menurunnya bulbus olfaktorius dan banyaknya kematian sel epitel di region penciuman. Gangguan penciuman yang dapat timbul antara lain

(27)

Dari hasil penelitian didapati bahwa lansia yang memiliki fungsi penciuman baik tidak memiliki masalah nafsu makan sedangkan yang memiliki gangguan penciuman memiliki masalah nafsu makan. Menurut Schiffman (2000) mengungkapkan bahwa hilangnya pengecapan pada lansia berhubungan dengan perubahan kanal ion pada membrane sel pengecap. Sel pengecap dipersarafi oleh nervus 7, 9, dan 10 kemudian dengan perjalaran ke jalur Nukleus Solitarius di medulla pada batang otak menerima impuls dari pengecapan dan luar reseptor visera. Persarafan dari indera pengecap ini bekerjasama dengan persarafan indra

(28)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Jenis kelamin yang lebih banyak adalah perempuan yang berjumlah 26 orang (65%. Sedangkan sampel laki-laki berjumlah 14 orang (35%).

2. Sebagian besar lansia berada pada kelompok umur lanjut usia (60-74 tahun) berjumlah 32 sampel (80%), sebagian kecil berada pada kelompok umur lanjut

usia tua (75-90 tahun) berjumlah 8 sampel (20%).

3. Jumlah sampel yang menderita penyakit lain selain diabetes mellitus maupun trauma kepala yang mungkin berpengaruh pada fungsi penciuman adalah paling banyak dengan jumlah 20 orang (50%), sampel yang menderita trauma kepala berjumlah 1 orang (2.5%), sampel yang menderita diabetes mellitus berjumlah 5 orang (12.5%), dan sampel yang tidak ada riwayat penyakit berjumlah 14 orang (35%).

4. Sampel yang mengalami gangguan penciuman lebih banyak dibanding yang normal. Dari berbagai jenis gangguan penciuman, hiposmia adalah yang paling banyak dijumpai dengan jumlah 13 orang (32,5%).

5. Kelompok lanjut usia (60-74 tahun) sebagian besar memiliki gangguan penciuman yaitu sebanyak 21 (65.5%) orang sedangkan yang memiliki fungsi penciuman normal sebanyak 11 (34.4%) orang. Namun hal yang berbeda ditemukan pada kelompok lanjut usia tua (75-90 tahun) yang mana semua sampel 8 (100%) orang mengalami gangguan penciuman.

(29)

6.2. Saran

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Nasus Ekternus

Nasus ekternus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi melalui radik nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua nares

atau lubang hidung. Setiap nares dibatasi di lateral oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi. Rangka nasus ekternus dibentuk di atas oleh Os. nasal, prosesus frontalis ossis maksillaris, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah rangka ini dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilage nasi superior dan inferior, dan kartilage septi nasi (Snell 2006: 803).

2.1.2 Kavum Nasi

Kavum nasi terletak dari nares di depan sampai choanae di belakang. Rongga ini dibagi oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap belahan mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial (Snell 2006: 803).

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina Os. maksila dan prosesus horisontal Os. Palatum. Sedangkan bagian atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, Os. nasal, prosesus frontalis Os. maksila, korpus Os. etmoid dan korpus Os. sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen N. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. Ada pun dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis Os. maksila, Os. lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis Os. palatum dan lamina pterigoideus media (Rambe, 2003).

Recessus sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak di atas

(31)

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka : celah antara konkainferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior : celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis Os. etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum (Ballenger, 1994).

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus Os. sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sphenoid (Ballenger, 1994).

Meatus media merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinusf rontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal

(32)

Meatus nasi inferior terletak dibawah dan lateral konka inferior dan padanya terdapat muara duktus nasolakrimalis. Sebuah lipatan membarana mukosa membentuk katup yang tidak sempurna, yang melindungi muara duktus. (Snell, 2006: 803)

Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa hidung. (Hollinshead1996 dan Corbridge 1998)

(33)

Gambar 2.1Anatomi hidung (Snell, 2006: 804).

2.1.3 Aliran Limfe Kavum Nasi

Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibularis. Bagian lain dari kavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi servikales profundi superior (Snell, 2006: 805).

2.1.4 Perdarahan Hidung

Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama: (Rambe, 2003).

1. A. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dandinding lateral hidung.

(34)

3. A. sfenopalatina, terbagi menjadi A. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan A. septi posterior yang menyebar pada septumnasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang A.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung A. palatina mayor dan A. sfenopalatinayang keluar dari foramen sfenopalatina bersama N. sfenopalatina dan memasukirongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidungmendapat pendarahan dari cabang-cabang A. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang A. sfenopalatina, A. etmoid anterior, A. labialis superior dan A. palatina mayor, yangdisebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudahcedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Soetjipto et

al, 1997 dalam Soepardi 1997).

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingandengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke venaoftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus (Rambe, 2003).

2.1.5 Persarafan Hidung

Saraf motorik oleh cabang N. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.

Saraf sensoris bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari N. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari N. nasosiliaris, yang berasal dari N. oftalmika (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari N. maksila melalui ganglion sfenopalatina (Kopke, 1993).

Saraf otonom terdapat 2 macam saraf otonom yaitu : (Rambe, 2003). a. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik).

(35)

petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu N. petrosus superfisialis mayor membentuk N. vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalamganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatine mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.

b. Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik).

Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialismayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsisdidalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebarmenuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadapjaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer danvasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan N. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinoreakan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.

Nervus olfaktorius (penciuman) turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbusolfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu padamukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung (Dhingra, 2007 dan Soetjipto 2007).

2.1.6 Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap

(36)

kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).

Sinus maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris. Sinus ini berbentuk piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam

prosesus zygomatikus maksila. Atap di bentuk oleh dasar orbita, sedangkan dasar dibentuk oleh prosessus alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar ketiga, dan kadang-kadang akar kaninus menonjol ke dalam sinus. Sinus maksilaris bermuara kedalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke dalam infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris. Membran mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh N. alveolaris superior dan N. infraorbital (Snell, 2006: 805).

Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum intersinus (Prasetyo, 2012). Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto X-ray sulit dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi

(37)

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010).

Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior (Prasetyo, 2012). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun

mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan (Stammbergeret al, 2008).

Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjiptoet al, 2010).

Sinus ethmoidalis terdapat di dalam os ethmoidalis, di antara hidung dan orbita. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi atas tiga kelompok: anterior, media, dan posterior. Kelompok anterior bermuara kedalam infundibulum; kelompok media bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada atau di atas bulla ethmoidalis dan kelompok posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membran mukosa dipersarafi oleh N. ethmoidalis anterior dan posterior (Snell 2006: 805).

2.2 Fisiologi Sistem Penciuman

Berdasrkan teori struktural, teori revolusioner dan teori funsional, maka salah satu fungsi fisiologis hidung adalah fungsi penghidu, karena terdapatnya

(38)

Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan 1000 tipe yang berbeda. Selama deteksi bau, sebuah bau di uraikan menjadi berbagai komponen. Setiap reseptor berespon hanya terhadap satu komponen diskret suatu bau dan bukan terhadap molekul odoran keseluruhan. Karena itu, masing-masing bagian dari suatu odaran didektesi oleh satu dari ribuan reseptor yang berbeda, dan sebuah reseptor dapat berespons terhadap komponen bau tertentu yang terdapat di berbagai aroma. Agar dapat dibaui, suatu bahan harus (1) cukup mudah menguap sehingga sabagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui

udara inspirasi dan (2) cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mucus yang menutupi mukosa olfaktorius (Sherwood, 2009: 248).

Bagian dari fungsi penciuman yang terlibat adalah neuroepitel olfaktorius,bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius(Huriyati et al, 2013).

2.2.1 Neuroepitel Olfaktorius

Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka superior, septum bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar lempeng kribriformis (Gambar 2.2).

(39)

Gambar 2.2Regio neuroepitel olfaktorius (Ganong 2008: 195)

(40)

Gambar 2.3 Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius (Ganong 2008: 195). Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius, bersatu dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan reseptor protein G yang terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor olfaktorius akan menyebabkan stimuli guanine nucleotide, yang akan mengaktifkan enzim adenilat siklase untuk menghasilkan second messenger yaitu

adenosin monofosfat (Huriyati et al, 2013).Ini akan menyebabkan masuknya Na+

(41)

Gambar 2.4Proses transduksi dari stimulus olfaktorius (Despopulous 2003:340-341).

2.2.2 Bulbus Olfaktorius

Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal (Despopulous 2003). Bundel akson saraf penciuman (fila) berjalan dari rongga hidung dari lempeng kribriformis diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam masing-masing fila terdapat 50 sampai 200 akson reseptor penciuman pada usia

(42)

Gambar 2.5Proyeksi skematik neuroreseptor olfaktorius ke bulbus olfaktorius (Huriyati et al, 2013).

2.2.3 Korteks Olfaktorius

(43)

Gambar 2.6 Korteks olfaktorius (Huriyati et al, 2013).

Saraf yang berperan dalam sistem penciuman adalah nervus olfaktorius (N I). Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita bisa mencium bau seperti bau strawberi, apel, dan lain-lain.

Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori trigeminus (N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera penghidu tapi menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar, rasa dingin, rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus berinteraksi secara fisiologis.

Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (NO) dan organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf

(44)

pengujian elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini (Doty et al, 2006, dalam Bailey 2006).

2.2.4 Adaptasi Penciuman

Telah umum diketahui bahwa jika seseorang secara terus menerus terpajan oleh bau tertentu (bahkan bau yang paling tidak mengenakkan), persepsi bau akan menurun dan akhirnya berhenti. Fenomena yang kadang-kadang bermanfaat ini disebabkan oleh adaptasi, atau desensititasi, yang relative cukup cepat terjadi pada

system olfaktorius. Fenomena ini diperantarai oleh Ca2+yang bekerja melalui kalmodulin atau kanal ion bergerbang-nukleotida siklik (cyclic nucleotide gated, CNG). Jika CNG A4 dihilangkan, adaptasi akan melambat (Ganong 2008: 197).

Adaptasi bersifat spesifik untuk bau tertentu, dan responsivitas terhadap bau lain tidak berubah. Ada yang membersihkan odoran dari tempat pengikatan di reseptor olfaktorius sehingga sensasi bau tidak terus-menerus ada setelah sumber bau hilang. Di mukosa penciuman baru-baru ini didektesi adanya beberapa enzim pemakan bau yang berfungsi sebagai pembersih molekuler, membersihkan molekul-molekul odoriferous sehingga mereka tidak terus-menerus merangsang reseptor olfaktorius. Enzim-enzim pembersih odoran ini secara kimiawi sangat mirip dengan enzim detoksifikasi yang ditemukan di hati. Kemiripan ini mungkin bukan kebetulan. Para peneliti berspekulasi bahwa enzim-enzim hidung mungkin memiliki fungsi rangkap sebagai pembersih mukosa olfaktorius dari odaran lama dan mengubah bahan-bahan kimia yang berpotensi toksi menjadi molekul yang tidak membahayakan. Detoksifikasi semacam ini akan memiliki fungsi yang sangat penting, karena terbukanya saluran antara mukosa olfaktorius dan otak (Sherwood, 2009: 250).

2.2.5 Gangguan Penciuman

Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia. Gangguan penghidu dapat berupa: (Wrobel 2005, dan Simmen 2006).

(45)

c. Hiposmia yaitu penurunan kemampuan menghidu baik berupa sensitifitas ataupun kualitas penghidu.

d. Disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan phantosmia. Parosmia yaitu perubahan kualitas sensasi penciuman, sedangkan phantosmia yaitu sensasi bau tanpa adanya stimulus odoran/ halusinasi odoran.

e. Presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua.

Pada manusia telah ditemukan beberapa lusin jenis anosmia yang

berlainan; kelainan ini diperkirakan disebabkan oleh tidak adanya atau gangguan fungsi pada salah satu dari berbagai anggota family reseptor bau. Ambang penghidu meningkat seiring dengan pertumbuhan usia, dan lebih dari 75% pada orang berusia di atas 80 tahun mengalami gangguan dalam mengidentifikasi bau (Ganong 2008: 197).

2.2.6 Penyebab Gangguan Penciuman

Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu gangguan transpor odoran, gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan transpor disebabkan pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius, misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas, atau polusi udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit neurodegeneratif, atau tumor intrakranial (Huriyati et al, 2013).

2.3 Lansia

2.3.1 Pengertian Lansia

Usia lanjut adalah suatu fenomena alamiah sebagai akibat proses menua, oleh karena itu fenomena ini bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan

(46)

Selain itu lansia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis pada tubuh pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam et

al, 2008).

Semua orang yang dikaruniai umur yang panjang, pada suatu saat pasti akan mengalami suatu proses penuaan. Proses penuaan ini tidak hanya terjadi pada suatu bagian-bagian tertentu saja, tetapi seluruh bagian di tubuh kita akan

mengalami proses penuaan. Hal ini dapat dilihat misalnya dengan menjadi kisutnya pipi,tumbuhnya uban pada rambut, berkurangnya proses pendengaran, mundurnya dayaingat dan kemampuan berpikir, serta berkurangnya daya penglihatan sehinggamemerlukan bantuan kacamata untuk membaca (Gallo, 1998).

Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).

2.3.2 Klasifikasi Lansia

Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat tentang klasifikasi umur lansia.

Menurut World Health Organization (WHO), lanjut usia meliputi:

a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun b. Lanjut usia (elderly) adalah usia antara 60-74 tahun

(47)

Departemen kesehatan RI membagi lansia sebagi berikut:

a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas b. Kelompok lanjut usia (55-64 tahun) sebagai masa peresenium

c. Kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai masa senium

Jika dilihat dari pembagian umur dari tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang-orang yang telah berumur 65 tahun keatas. Saat ini berlaku UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia yang berbunyi “ Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun

keatas” (Nugroho, 2008).

2.3.3 Teori-Teori Proses Penuaan a. Teori Genetik Lock

Menurut teori ini menua telah terprogram secaragenetik untuk spesies spesies tertentu. Setiap spesies di dalam inti sel nya mempunyai suatu jam genetic yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu (Nugroho, 2008).

b. Teori Radikal Bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan

regenerasi (Maryam et al, 2008). c. Teori Menua Akibat Metabolisme

Perpanjangan umur karena penurunan jumlah kalori tersebut, antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme (Darmodjo, 2002).

d. Immunology Slow Theory

Menurut teori ini, sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh (Maryam et al, 2008).

e. Mutasi Somatik (Teori Error Catastrophe).

(48)

yangmenyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur, sebaliknya menghindari radiasi dan zat kimia yang bersifat toksik dapat memperpanjang umur (Nugroho, 2008).

f. Teori Stress

Teori stress mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-selnya yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress yang menyebabkan

sel-sel tubuh lelah terpakai (Maryam et al, 2008). g. Teori Rantai Silang

Pada teori ini, diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau usang menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan dan hilangnya fungsi sel (Maryam

et al, 2008).

2.3.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia

Hal-hal perubahan yang terjadi pada lansia adalah : (Nugroho, 2008). 1. Sel

Sel menjadi berkurang jumlahnya/lebih sedikit, ukuran sel lebih besar, jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati menurun, jumlah sel otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu, otak menjadi atropi, beratnya berkurang hingga 5-10%. 2. Sistem Pensyarafan dan Penciuman

Sistem panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya respon motorik dan reflek.

3. Sistem Pendengaran

(49)

4. Sistem Penglihatan

Spingter pupil timbul sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang, kornea lebih berbentuk speris (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap, penurunan / hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia, seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas lensa, lapang pandang menurun, daya membedakan warna menurun.

5. Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan menjadi kaku, elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, curah jantung menurun, kehilangan elastisitas pembuluh darah, kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan pendarahan, tekanan darah meningkat akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat.

6. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Yang sering ditemui antara lain temperature tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis lebih kurang ± 35ºC ini akibat metabolism yang menurun,keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak seningga terjadi penurunan aktivitas otot.

7. Sistem Pernapasan

Otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atropi, kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, aktivitas silia menurun, paru kehilangan elastisitas, ukuran alveoli melebar, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan kemampuan untuk batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis.

8. Sistem Pencernaan

Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendi

(50)

peristaltik lemah, fungsi absorbsi melemah, hati semangkin mengecil dan tempat menurun, aliran darah berkurang.

9. Sistem Reproduksi

Pada wanita terjadi penciutan ovary, uterus, payudara, vulva mengalami atropi, selput lender vagina menurun sedangkan pada pria testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur. 10. Sistem Genitourinaria

Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,penyaringan di

glomerulus menurun,dan fungsi tubulusmenurun sehingga kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun.

11. Sistem Integument

Kulit mengerut atau keriput,permukaan kulit cendrung kusam, kasar dan bersisik, timbul bercak pigmentasi, terjadi perubahan pada daerah sekitar mata, respon terhadap trauma menurun, mekanisme proteksi kulit menurun, kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.

12. Sistem Musculoskeletal

(51)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

World Health Organization (WHO) menetapkan 60 tahun keatas sebagai

usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Proses menua merupakan proses yang

terus-menerus secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain, hingga tubuh “mati” sedikit demi sedikit (Nugroho, 2008).

Pada tahun 2012 Indonesia termasuk negara Asia ketiga dengan jumlah absolut populasi di atas 60 tahun terbesar yakni setelah Cina (200 juta), India (100 juta) dan menyusul Indonesia (25 juta). Bahkan diperkirakan Indonesia akan mencapai 100 juta lanjut usia (lansia) dalam tahun 2050. Penduduk dianggap berstruktur tua di negara berkembang apabila penduduk usia 60 tahun ke atas sudah mencapai 7% dari total penduduk. Pada tahun 2010 proporsi penduduk lansia di Indonesia telah mencapai sekitar 10% (Abikusno, 2013).

Lanjut usia (lansia) merupakan proses alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang. Di dalam struktur anatomis proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran di dalam sel. Proses ini berlangsung secara alamiah, terus-menerus dan berkesinambungan yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomi, fisiologi dan biokimia pada jaringan tubuh dan akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2003).

Masalah penciuman merupakan salah satu kemunduran fisik dari proses penuaan. Namun, data mengenai jumlah lansia yang mengalami gangguan fungsi penciuman masih belum diketahui secara pasti khususnya di Indonesia. Pada hal bisa saja terdapat lansia yang mengalami gangguan fungsi penciuman yang

(52)

pengecapan dan tentunya ini akan mempengaruhi jumlah gizi yang masuk ke dalam tubuh dan mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia tersebut (Darmojo, 2009).

Disfungsi penciuman dapat timbul dari berbagai penyebab dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Sekitar 2 juta orang Amerika mengalami beberapa jenis disfungsi penciuman. Penelitian telah menunjukkan bahwa disfungsi penciuman mempengaruhi setidaknya 1% dari populasi di bawah usia 65 tahun, dan lebih dari 50% dari populasi yang lebih tua dari 65 tahun. Rasa bau

menentukan rasa makanan dan minuman dan juga berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk mendeteksi bahaya lingkungan, seperti makanan basi, kebocoran gas, asap atau populasi udara. Sensasi bau dapat mempengaruhi asupan makanan dan nafsu makan (Shen, 2003).

Data mengenai disfungsi penciuman pada lansia yang ada di Indonesia belum diketahui secara pasti. Maka dari itu, peneliti ingin mengetahui jumlah lansia yang mengalami gangguan penciuman di Kota Binjai, Panti jompo Binjaidipilih karena merupakan salah satu panti jompo yang berada dekat dengan tempat peneliti tinggal.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahn dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran fungsi penciuman pada lansia di Panti Jompo Binjai Tahun 2014?”.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

(53)

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui gambaran lansia dipanti jompo tersebut seperti umur, jenis kelamin dan riwayat penyakit sebelumya.

b. Untuk mengetahui rata-rata usia lansia yang mengalami gangguan penciuman seandainya didapati pada saat penelitian.

c. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh terhadap selera makan seandainya didapati gangguan penciuman.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang gambaran fungsi penciuman pada lansia.

1.4.2. Bagi Panti Jompo

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi pengelola panti jompo tentang bagaimana gambaran fungsi penciuman pada lansia yang ada di panti jompo tersebut.

1.4.3. Bagi Profesi Kedokteran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan sumber referensi tentang gambaran fungsi penciuman pada lansia untuk mahasiswa kedokteran sebagai daftar pustaka pembelajaran.

1.4.4. Bagi Peneliti Lain

(54)

ABSTRAK

Lanjut usia (lansia) merupakan proses alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang. Di dalam struktur anatomis proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran di dalam sel. Salah satu kemunduran fisik dari proses penuaan adalah masalah penciuman. Disfungsi penciuman dapat timbul dari berbagai penyebab dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. jumlah lansia yang mengalami gangguan fungsi penciuman masih belum diketahui secara pasti khususnya di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi penciuman pada lansia di panti jompo Binjai Tahun 2014.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan desain Cross

Sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia di panti jompo binjai tahun

2014. Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik total sampling. Data tersebut kemudian dianalisa secara statistik deskriptif dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS.

Hasil penelitian ini ditemukan dari 40 orang lansia jenis kelamin laki-laki berjumlah 14 orang (35%), dan perempuan berjumlah 26 orang (65%) dengan mayoritas umur terdapat pada kelompok umur 60-74 tahun berjumlah 32 orang (80%). Sebagian besar sampel mengalami gangguan penciuman yaitu sebanyak 29 orang (72,5%) dan rata-rata usia lansia yang mengalami gangguan penciuman berada pada usia 70 tahun. Pada lansia dengan gangguan penciuman mayoritas memiliki selera makan tidak baik sebanyak 25 orang (86,2%).

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lansia mengalami gangguan penciuman dan sebagian besar lansia dengan gangguan penciuman memeliki selera makan tidak baik.

(55)

ABSTRACT

Ederly is natural process on people with long age. Be an elderly means a decreasing of cells function. One of the decrement is smell disfunction. Smell disfunction can influence the quality life of patient. The number of elderly who have smell disfunction is still unknown especially in Indonesian.

This study purposes to know how the description of smell function on elderly in nursing home in Binjai at 2014.

This study is descriptif with cross sectional design. Population on this study are all of the elderly in nursing home in Binjai 2104. Samples are taken by total sampling technic. Then the data are analyzed with descriptive statistic by using SPSS.

The result of this study shows on 40 elderly, 14 (35%) are male and 26 (65%) are female. The majority of age group is at 60-74 years old 32 (80%). Most of the samples have smell disfunction as 29 (72,5%) and average of alderly with smell disfunction is on 70 years old. Elderly with smell disfunction who also have bad appatite are 25 (86,2%).

From this sudy can be concluded that most of elderly have smell disfunction and elderly with smell disfunction also have bad appetite.

(56)

GAMBARAN FUNGSI PENCIUMAN PADA LANSIA

DI PANTI JOMPO BINJAI TAHUN 2014

OLEH:

PUTRA BARUNA

110100037

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(57)

GAMBARAN FUNGSI PENCIUMAN PADA LANSIA

DI PANTI JOMPO BINJAI TAHUN 2014

“Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran”

OLEH:

PUTRA BARUNA

110100037

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(58)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Fungsi Penciuman pada Lansia di Panti Jompo Binjai Tahun 2014

Nama : Putra Baruna NIM : 110100037

Pembimbing Penguji I

(dr. Farhat, M.ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K)) (dr. Dwi Rita Anggraini, M.Kes, Sp.PA)) NIP : 197003162002121002 NIP: 197711282003122002

Penguji II

(dr. Gerben F.Hutabarat,DTM&H,Sp.MK) NIP: 130318029

Medan, 10 Januari 2015 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(59)

ABSTRAK

Lanjut usia (lansia) merupakan proses alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang. Di dalam struktur anatomis proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran di dalam sel. Salah satu kemunduran fisik dari proses penuaan adalah masalah penciuman. Disfungsi penciuman dapat timbul dari berbagai penyebab dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. jumlah lansia yang mengalami gangguan fungsi penciuman masih belum diketahui secara pasti khususnya di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi penciuman pada lansia di panti jompo Binjai Tahun 2014.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan desain Cross

Sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia di panti jompo binjai tahun

2014. Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik total sampling. Data tersebut kemudian dianalisa secara statistik deskriptif dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS.

Hasil penelitian ini ditemukan dari 40 orang lansia jenis kelamin laki-laki berjumlah 14 orang (35%), dan perempuan berjumlah 26 orang (65%) dengan mayoritas umur terdapat pada kelompok umur 60-74 tahun berjumlah 32 orang (80%). Sebagian besar sampel mengalami gangguan penciuman yaitu sebanyak 29 orang (72,5%) dan rata-rata usia lansia yang mengalami gangguan penciuman berada pada usia 70 tahun. Pada lansia dengan gangguan penciuman mayoritas memiliki selera makan tidak baik sebanyak 25 orang (86,2%).

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lansia mengalami gangguan penciuman dan sebagian besar lansia dengan gangguan penciuman memeliki selera makan tidak baik.

(60)

ABSTRACT

Ederly is natural process on people with long age. Be an elderly means a decreasing of cells function. One of the decrement is smell disfunction. Smell disfunction can influence the quality life of patient. The number of elderly who have smell disfunction is still unknown especially in Indonesian.

This study purposes to know how the description of smell function on elderly in nursing home in Binjai at 2014.

This study is descriptif with cross sectional design. Population on this study are all of the elderly in nursing home in Binjai 2104. Samples are taken by total sampling technic. Then the data are analyzed with descriptive statistic by using SPSS.

The result of this study shows on 40 elderly, 14 (35%) are male and 26 (65%) are female. The majority of age group is at 60-74 years old 32 (80%). Most of the samples have smell disfunction as 29 (72,5%) and average of alderly with smell disfunction is on 70 years old. Elderly with smell disfunction who also have bad appatite are 25 (86,2%).

From this sudy can be concluded that most of elderly have smell disfunction and elderly with smell disfunction also have bad appetite.

(61)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Karya tulis ilmiah ini diberi judul “Gambaran Fungsi Penciuman pada Lansia di Panti Jompo Binjai Tahun 2014” disusun untuk melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan tahap sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam pengerjaan karya tulis ilmiah ini, peneliti mendapatkan bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Farhat, M.ked (ORL-HNS). Sp.THT-KL(K) selaku dosen pembimbing penelitian dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

2. dr. Dwi Rita Anggraini, M.kes, Sp.PA selaku dosen penguji I 3. dr. Gerben F. Hutabarat, DTM&H, Sp.MK selaku dosen penguji II

4. Ibunda, ayahanda tercinta, seluruh keluarga, dan sahabat yang telah susah payah untuk memberikan dukungan baik moril maupun materil sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Peneliti menyadari karya tulis ilmiah ini masih ada kekurangan baik dari segi isi maupun bahasanya. Untuk itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, peneliti berharapkan karya tulis ilmiah ini dapat membawa manfaat terutama bagi peneliti sendiri dan para pembaca sekalian.

Medan, 10 Januari 2015 Peneliti

(62)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN PERSETUJUAN... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI...v

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 2

1.3. Tujuan Penelitian... 2

1.1.1.Tujuan umum... 2

1.1.2.Tujuan khusus... 3

1.1.3.Manfaat Penelitian... 3

1.1.4.Bagi peneliti... 3

1.1.5.Bagi panti jompo... 3

1.1.6.Bagi profesi kedokteran...3

1.1.7.Bagi peneliti lain... 3

BAB 2 TINJAUN PUSTAKA... 4

2.1. Anatomi Hidung... 4

2.1.1. Nasus eksternus... 4

2.1.2. Cavum nasi... 4

(63)

2.1.4. Perdarahan Hidung... 7

2.1.5. Persarafan hidung... 8

2.1.6. Sinus paranasal... 9

2.2. Fisiologi Sistem Penciuman... 11

2.2.1. Neuroepitel olfaktorius... 12

2.2.2. Bulbus olfaktorius... 15

2.2.3. Korteks olfaktorius... 16

2.2.4. Adaptasi penciuman... 18

2.2.5. Gangguan penciuman... 18

2.2.6. Penyebab gangguan penciuman... 19

2.3. Lansia... 19

2.3.1. Pengertian lansia... 19

2.3.2. Klasifikasi lansia... 20

2.3.3. Teori-teori proses peneuan... 21

2.3.4. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia... 22

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL.... 25

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 25

3.2. Defenisi Operasional... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN... 28

4.1. Desain Penelitian... 28

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 28

4.3. Populasi dan Sampel... 28

4.3.1. Populasi penelitian... 28

4.3.2. Sampel penelitian... 28

4.4. Instrumen Penelitian... 29

4.5. Metode Pengumpulan Data... 30

(64)

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

5.1. Hasil Penelitian... 31

5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian... 31

5.1.2. Deskripsi karakteristik sampel... 31

5.1.2.1. Deskripsi sampel berdasarkan kelompok unur... 31

5.1.2.2. Deskripsi sampel berdasarkan jenis kelamin... 32

5.1.2.3. Deskripsi sampel berdasarkan riwayat penyakit 32 5.1.3. Analisis fungsi penciuman pada lansia... 33

5.1.3.1. Gambaran fungsi penciuman pada lansia... 33

5.1.3.2. Rata-rata usia lansia yang mengalami gangguan penciuman... 34

5.1.3.3. Gambaran nafsu makan pada lansia yang mengalami gangguan penciuman... 35

5.2. Pembahasan... 36

5.2.1. Karakteristik sampel... 36

5.2.2. Analisa fungsi penciuman lansia... 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN...39

6.1. Kesimpulan...39

6.2. Saran... 40

(65)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Anatomi hidung 7

Gambar 2.2 Regio neuroepitel olfaktorius 13

Gambar 2.3 Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius 14 Gambar 2.4 Proses Transduksi dari stimulus olfaktorius 15

Gambar 2.5 Proyeksi skematik neuroreseptor olfaktorius

Ke bulbus olfaktorius 16

Gambar 2.6 Korteks olfaktorius 17

(66)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik sampel berdasarkan

kelompok umur 31

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi karakteristik sampel berdasarkan

jenis kelamin 32

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi karakteristik sampel berdasarkan

riwayat penyakit 32

Tabel 5.4 Gambaran fungsi penciuman pada lansia 33 Tabel 5.5 Rata-rata usia lansia yang mengalami gangguan

Penciuman 34

Tabel 5.6 Analisa selera makan lansia yang mengalami

(67)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Daftar riwayat hidup

Lampiran 2 Informed Consent

Lampiran 3 Lembar penjelasan

Lampiran 4 Laporan dana penelitian

Lampiran 5 Output SPSS

Lampiran 6 Ethical clearance

Gambar

Gambar 3.1 Lansia dan Fungsi penciuman
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.4 Gambaran Fungsi Penciuman Pada lansia
+7

Referensi

Dokumen terkait

penanggulangan kemiskinan setiap bulan September; dan.. menyampaikan laporan tentang daftar pendampingan kegiatan,daftar perolehan sumbangan baik berupa barang, dana,

[r]

BANK PEMBANGUNAN DAERAH KALIMANTAN TIMUR Per 30 September 2016 dan 20152. (Dalam

[r]

O Meningkatkan pemahaman tentang proses penyusunan dan kriteria pemilihan obat dalam Fornas. O Meningkatkan penerapan Fornas di fasilitas pelayanan kesehatan oleh dokter,

[r]

Kinerja ELNUSA keseluruhan yang sangat baik ini tidak lain adalah hasil kerja keras dan kesungguhan Direksi dan segenap karyawan ELNUSA dalam program Turnaround yang

(kode emiten: ELSA), salah satu perusahaan nasional penyedia jasa energi yang tetap berfokus pada jasa hulu migas, pada Rabu 14 Maret 2013, menyelenggarakan Rapat Umum