i
IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN
DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR
SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan
Studi Strata Satu (S1)
Disusun oleh:
SEPTIAN RIZKI YUDHA
NIP: 106043201352
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
TENTANG
BERPAKAIAI{ MUSLIM DAN
MUSLIMAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah
Oleh:
Septian Rizki Yudha NIM: 106043201352
Di bawah bimbingan:
Pembimbing
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 Hl 2014 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul oolmplementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif
Hukum Islam
dan
Peraturan Daerah Nomor4
Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan" telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperolehgelar
Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Perbandingan Hukum.J akarta, 1 0 Novemb er 2014
Mengesahkan Dekan,
/'-
-Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A. NIP. 1 96808121999031014
PANITIA UJIAN MUNAQASY
I(etua Mailis : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NrP. 1965 1 1 191998031002
Sekretaris Majlis : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. NIP. 1 9742 1132003121002
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NrP. 19651 i 19199803 1002
: Dr. DiawahirHejazziey, SH., MA., MH. NIP. 19551015197903
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. NrP. 1 97 42rt32003r2t002
Pembimbing
Penguji I
Penguji II
Nama
NIM
Konsentrasi
Prodi
Fakultas
Judul Skripsi
Septian Rizki Yudha r060432013s2
Perbandingan Hukum
Perbanding an Madzhab D an Hukum
Syariah Dan Hukum
:"Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor
4
Tahun 2005 diKabupaten Pesisir Selatan".
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakankarya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.2. Semua sumber
yang saya gunakan dalam penulisan skripsiini
telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlakudi
Fakultas Syariah danHukum UIN Syarif Hidayatullah lakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakuta.Septian Rizki Yudha
t0604320r352
IV
v
ABSTRAK
Septian Rizki Yudha. NIM 106043201352. IMPLEMENTAS BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN. Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 / 2014 M. ix + 65 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan yang terjadi dalam Peraturan Daerah di Kabupaten Pesisir Selatan menurut hukum Islam dan Undang-undang tahun 1945. Dalam pelaksanaannya Peraturan Daerah di Kabupaten Pesisir Selatan begitu baik khususnya bagi masyarakat yang beragama Islam mereka lebih bisa melaksanakan peraturan tersebut karena sudah perintah agamanya. Sedangkan kalo dibandingkan dengan masyarakat non-Muslim malah sebaliknya mereka merasa peraturan tersebut menjadi bebaban karena tidak terbiasa memakai pakaian yang lebih tertutup untuk mematuhi peratuan tersebut. Pada penelitian ini penulis memilih penelitian komparatif untuk membandingkan studi analisis hukum Islam. Penulis ingin mengetahui Implementasi Perpu tentang Perda berpakaian Muslim dan Muslimah dan hukum Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu menggunakan data berupa buku dan karya tulis lain yang berhubungan dengan pembahasan mengenai masalah yang di teliti dan sifatnya persepektif dan terapan. Sedangkan teknik dan pengumpulan data adalah mereduksi berbagai ide, teori, dan konsep dari berbagai literatur yang relevan serta menitikberatkan pada pencarian kata kunci yang diambil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat para ulama. Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data, dan data display.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Daerah tentang berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan ternyata bertentangan sekali dengan UUD tahun 1945 dan melanggar HAM karena Perda tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang yang ada. Perda tersebut seharusnya tidak bisa diterapkan karena yang mengenai urusan Agama adalah Pemerintah Pusat karena sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
vi Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam, yang
telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan
ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Implementasi
Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan”. Shalawat
serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW,
penunjuk jalan kebenaran dan penyampai rahmat bagi semesta alam. Tidak lupa
kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi
pengikut setia hingga akhir zaman.
Dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari akan
pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara
moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang
diharapkan karena dengan adanya mereka segala macam halangan dan hambatan
dalam penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Oleh sebab itu penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
vii
2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku pembimbing yang dengan penuh
kesabaran bersedia mengoreksi secara teliti seluruh isi tulisan ini yang
mulanya masih tidak sempurna sehingga menjadi lebih layak dan berarti.
Semoga kemudahan dan keberkahan selalu menyertai beliau dan keluarganya,
Amin.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tempat interaksi penyusun
selama menjalani studi pada jenjang Perguruan Tinggi di Jakarta.
6. Untuk Ayahanda (H. Noan bin Amat) dan Ibunda (Hj. Anih binti Menan)
yang sangat saya cintai, mungkin kata-kata tidaklah cukup untuk
menggambarkan kasih sayang dan cinta kalian. Terimakasih banyak Bapak,
Ibu, sudah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang dan tidak pernah
lelah untuk menyayangi, menyemangati, menasehati, dan membimbing saya
dari kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, tanpa doa dan dukungan dari
Bapak dan Ibu mungkin saya tidak bisa menjadi seperti sekarang ini.
7. Untuk kakak yang tercinta, (Nonih, Panky Wijaya, Yenih, Sumiati, Nur
viii
memberikan semangat dan Doa, Teman-teman Alumni MTS. Al-Kautsar,
MTP. Makanul Abidin, MTP. Fastabikul Khoirot, Orange Speed dan yang
lainnya. Teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006 dan 2007, Fauzi
Ramdan S.Sy., Dwi Prasetyo S.Hi., Ahmad Fariz Ihsanuddin, Alfiah dan Yani
Suryani yang selalu mendukung, memberi semangat dan memberikan Doa
untuk menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, penyusun sadar bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, dan atas semua kekurangan didalamnya, baik dalam pemilihan
bahasa, teknik penyusunan dan analisisnya sudah tentu menjadi tanggung jawab
penyusun sendiri. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan
dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini, juga untuk
penelitian-penelitian selanjutnya. Penyusun berharap, skripsi ini bermanfaat khususnya bagi
penyusun dan para pembaca pada umumnya serta dapat menjadi khazanah dalam
ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum Islam. Atas semua bantuan
yang diberikan kepada penyusun, semoga ALLAH SWT memberikan balasan yang
selayaknya, Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ciputat, 10 November 2014
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D.Metode Penelitian ... 6
E. Teknik Penulisan ... 10
ix
B.Tata Cara Berpakaian Muslim dan Muslimah ... 15
C.Prinsip-Perinsip Berpakaian Muslim dan Muslimah... 17
D.Fungsi Berpakaian Muslim dan Muslimah ... 22
BAB III PERATURAN DAERAH NO.4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN A.Peraturan Daearah... 25
1. Pengertian Perda ... 26
2. Landasan Pembuatan Perda ... 26
3. Muatan dan Mekanisme Penyusunan Perda ... 29
B.Otonomi Daerah ... 31
C.Kebijakan Publik ... 36
1. Pengertian Kebijakan Publik ... 36
2. Kebijakan Pemerintah ... 40
x
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWAJIBAN BERPAKAIAN
MUSLIM DAN MUSLIMAH PADA PERDA NOMOR 4 TAHUN
2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
A.Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah Menurut Hukum
Islam ... 43
B.Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang
Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten
Pesisir Selatan... 49
1. Impelementasi Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir
Selatan ... 49
2. Dampak Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan .. 53
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan... 57
B. Saran ... 58
1 A. Latar Belakang
Islam sebagai etika normatif bagi pemeluknya diharapkan dapat
diwujudkan nilainya secara sempurna. Oleh karena itu Islam bukan agama yang
hanya terbatas dalam kehidupan pribadi yang semata-mata mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, akan tetapi memberikan pedoman hidup yang utuh
danmenyeluruh.
Lengkapnya nilai Islam dalam mengatur kehidupan manusia, maka tidak
adafenomenakehidupan yang tidakterbatasdalamajaran Islam, termasukaturan
berbusana bagi kaum wanita muslimah. Hal itu nampak dari beberapa ayat
Al-Qur’an yang mengupas tentang busana muslimah, mulai dari pembahasan tentang
aurat wanita sampai pada batasan atau criteria busan muslimah itu sendiri.
Pembatasan perempuan dalam berbusana menurut Islam adalah bertujuan
untuk melindungi perempuan itu sendiri. Pencegahan awal ini untuk menjaga agar
perempuan tetap mulia dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat, serta
sebagai pembinaan ahklak agar terhindar dari persaingan, dengki dan lain-lain.
Selain itu busana muslim bagi laki-laki juga menanamkan suatu tradisi yang
2
menutup pintu pergaulan bebas.1
Busana atau pakaian, berhubungan dengan peradaban manusia. Kebutuhan
untuk berpakaian bukan hanya dirasakan manusia yang hidup diera indutrialisasi,
tetapi sejak zaman Nabi Adam AS. Sejak Nabi Adam dan Isrtinya terbujuk untuk
memakan buah kuldi dan mereka mulai mengenal rasa malu bila auratnya
terbuka, maka sejak itulah sebenarnya manusia akan pakaian sudah ada.
Keterbatasan teknologi yang menyebabkan pakaian mereka hanya daun-daun
Surga.2
Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak berkaitan dengan
kesehatan, etika, estetika, tetapi juga berhubungan dengan kondisi sosial budaya,
bahkan juga ekspresi idiologi. Bagi manusia pakian tidak berdimensi keindahan,
tetapi juga kehormatan bahkan keyakinan. Itulah sebabnya, aturan tentang pakian
termasuk yang dipandang penting oleh Allah SWT, sehingga tercantum dalam
Al-Qur’an yang mulia.
Berpakaian secara Islam, terutama bagi muslimah adalah bagian dakwah
yang penting dalam Syiar Islam diseluruh dunia, karena petunjuknya jelas
(muhkamat) dalam Al-Qur’an. Dalam dalil-dalil Al-Qur’an, busana muslimah
merupakan ketentuan tata busana bagi kaum muslimah untuk menutup auratnya
1
Husein Shahab, Jilbab menurut Al-Qur’an dan As-sunnah (Jakarta: Mizan, 1983), h.18, juga dalam Istadianta, Hikmah Jilbab dalam Pembinaan Ahklak (Sala: Ramdhani, Tt), h.Baca juga Abu Abdillah Al Mansur, Wanita dalam Quran, (Jakarta Gema Insani Prees, 1986), h. 34
2
berdasarkan syariat Islam.
Persyaratan menutup aurat itu diterapkan secara integral kedalam berbagai
ragam busana daerah yang sudah ada, sehingga tercipta desain dengan berbagai
ragam, baik secara struktural (potongan, bentuk, tenunan tekstil) maupun secara
dekoratif (corak, warna, ragam hias, tekstur, motif dan aksesoris).3 Hal ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dengan mudah masuk kedalam budaya lokal
masyarakat muslim diseluruh dunia dan menyatu dengan nilai-nilai luhur yang
mereka anut. Perpaduan itu membentuk ciri khas yang unik, tanpa perlu
menghilangkan perbedaan faktor-faktor historis, geografis, ras, etnis, ataupun
mazhab.
Fungsi pakaian terutama sebagai penutup aurat, sekaligus sebagai
perhiasan, memperindah jasmani manusia. Agama Islam memerintahkan kepada
setiap orang untuk berpakaian yang baik dan bagus. Baik berarti sesuai dengan
fungsi pakaian itu sendiri, yaitu menutup aurat, dan bagus berarti cukup memadai
serasa sebagai perhiasan tubuh yang sesuai dengan kemampuan sipemakai untuk
memilikinya. Untuk keperluan ibadah misalnya untuk shalat di masjid, kita
dianjurkan memakai pakaian yang baik dan suci. Berpakaian dengan mengikuti
muda yang berkembang saat ini, bukan merupakan halangan, sejauh tidak
menyalahi fungsi menurut Islam. Namun demikian kita diperintahkan untuk tidak
berlebih-lebihan. Berpakaian bagi kaum wanita mukmin telah digariskan oleh
3
4
Qur’an adalah menutup seluruh auratnya. Hal tersebut selain sebaya identitas
mukminah juga menghindari diri dari gangguan yang tidak diinginkan pada
dasarnya pakaian muslim tidak menghalangi pemakaiannya untuk melakukan
kegiatan sehari-hari dalam bermasyarakat. Semuanya kembali kepada niat
sipemakainya dalam melaksanakan ajaran Allah.
Dengan melihat latar belakang yang dipaparkan diatas, maka penulis
terdorong untuk melakukan penelitian dan pembahasan, sehingga penulis
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Implementasi Berpakaian
Muslim Dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat keluasan dan kompleksitas masalah dalam berpakaian
muslim dan muslimah, maka untuk fokus dalam pembahasannya penulis akan
membatasi permasalahan kewajiban berpakaian muslim dan muslimah dengan
pembatasan masalah pada Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor
2. Perumusan Masalah
Untuk memahami masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah dalam
perspektif hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di
Kabupaten Pesisir Selatan?
b. Bagaimanakah Faktor-faktor timbulnya Peraturan Daerah Kabupaten
Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan
Muslimah?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, maka tujuan penelitian yang
akan dicapai dalam penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir
Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor timbulnya Peraturan Daerah Kabupaten
Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan
6
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum dan hukum islam
yang berkaitan dengan Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir
Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
b. Memberikan informasi terhadap masyarakat khususnya mengenai
Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun
2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian
skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari
suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum ada dua jenis penelitian, yaitu penelitian
normatif dan penelitian empiris/sosiologis atau penelitian lapangan. Penelitian
normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian
hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian
lingkup yang sangat luas sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku
harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan
oleh pemerintah.4
Dalam karya ilmiah ini, penulis akan menggunakan jenis penelitian
normatif karena dalam hal ini penulis akan meneliti tentang kewajiban
berpakaian muslim dan muslimah dalam perspektif Peraturan Daerah
Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim
dan Muslimah. Penelitian ini saya lakukan melalui pendekatan yuridis
normatif, yang mempunyai pengertian bahwa penelitian ini didasarkan pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan teori-teori hukum yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
2. Sumber Data
Data-data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini adalah data
kualitatif bukan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu penelitian yang data
umumnya dalam bentuk narasi atau gambar-gambar. Sedangkan data
kuantitatif adalah data yang dapat diukur sehingga data dapat menggunakan
statistik dalam pengujiannya.5 Data yang dikumpulkan dalam skripsi ini
adalah data-data yang berkaitan dengan kewajiban berpakaian muslim dan
4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke- IV, h. 23
5
8
muslimah yang terdapat dalam al-Qur’an dan Undang-Undang, kitab atau
buku.
Sejalan dengan permasalahan diatas dan untuk memperoleh data yang
sesuai, maka literatur yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:
a. Sumber data primer, yaitu:
Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama dan harus
dipenuhi dalam penulisan skripsi, ini yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits,
Undang-Undang diantaranya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Sumber data sekunder, yaitu:
Sumber data sekunder adalah sumber data pelengkap dan harus dipenuhi
dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber data sekunder mencakup
atas buku bacaan, jurnal, media cetak, website, dan sumber data lainnya
yang berkaitan langsung dengan pembahasan skripsi ini.
c. Data Tersier
Data Tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
ilmiah dan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
3. Teknik Pengumpulan Data
Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan
data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan
wawancara atau intervie.6 Dalam hal ini, penelitian yang digunakan oleh
penulis adalah menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka dan
observasi yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data
tertulis yang biasa ditemukan dalam bahan pustaka yang terdiri dari
buku-buku atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembahasan ini.
4. Penyajian dan Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk deskriptif,
yaitu penulis menggambarkan hasil penelitian tentang kewajiban berpakaian
muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan
nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah dengan
sejelas-jelasnya. Adapun tujuan dari penyajian seperti ini tidak lain adalah
agar pembaca dapat memahami dengan jelas tentang kewajiban pakaian
muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan
nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
6
10
Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Content Analysis, yaitu melakukan analisis isi dokumen secara terperinci
dengan mengambil sari dari dokumen yang menjadi sumber data baik
dari buku-buku atau dokumen yang berisi tentang hukum positif atau
hukum Islam yang sesuai dengan kajian skripsi ini.
b. Comparative Analysis, yaitu melakukan analisis perbandingan dalam
dua hal yang berbicara pada substansi yang sama.
E. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam skripsi ini akan
penulis sajikan atau paparkan dalam 5 Bab, diantaranya:
Bab I Membahas tentang pendahuluan. Pada bab ini memuat uraian tentang
aspek-aspek rancangan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari sub-sub
bab tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tekhnik
Bab II Membahas tentang pengertian berpakaian muslim dan muslimah,tata
cara berpakaian muslim dan muslimah, perinsip-perinsip berpakaian
muslim dan muslimah dan fungsi berpakaian muslim dan muslimah.
Bab III Membahas tentang Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten
Pesisir selatan, otonomi daerah dan kebijakan publik.
Bab IV Membahas tinjauan yuridis tentang kewajiban berpakaian muslim dan
muslimah dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten
Pesisir Selatan.
Bab V Pada bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya ilmiah lazim
dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa persoalan
12
BAB II
BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Bepakaian Muslim dan Muslimah
Pengertian berpakaian Muslim dan Muslimah adalah untuk menutup semua
aurat baik itu laki-laki dan Perempuan. Aurat berasal dari bahasa Arab, Aurat
artinya “an naqsu” atau keaiban. Menurut istilah fiqih aurat adalah bagian tubuh
seseorang yang wajib ditutupi dari pandangan. Dalam kamus dijelaskan bahwa
Aurat adalah hal yang jelek untuk dilihat atau sesuatu yang memalukan bila
dilihat. Menurut syara’ yang dikatakan aurat adalah sesuatu yang diharamkan
Allah untuk diperlihatkan kepada orang lain yang tidak dihalalkan Allah untuk
melihatnya.
Dalam kejadiannya, manusia dilahirkan kemuka bumi salah satunya
membawa potensi malu terhadap lingkungannya dimana ia tinggal. Oleh untuk
menutupinya rapat-rapat, karena jika tidak bisa menutupinya maka aib yang ada
pada dirinya akan diketahui orang lain. Karena itu, untuk menutupi malunya
manusia berusaha semaksimal mungkin secara lahiriah manusia berusaha
melindungi tubuhnya dari berbagai macam gangguan, maka dari itu busana
merupakan sesuatu yang mendasar baginya untuk menjaga gangguan tersebut.
Bagaimanapun usaha untuk selalu menutup tubuh itu akan selalu ada walaupun
dalam bentuk yang sangat minim atau terbatas sesuai dengan kemampuan
Dengan pakaian manusia ingin membedakan antara dirinya atau
kelompoknya dengan orang lain. Pakaian memberikan identitas diri sehingga
dapat mempengaruhi tingkah laku si pemakai dan juga dapat mencerminkan
emosi pemakainya yang pada saat bersamaan dapat mempengaruhi emosi orang
lain.1
Pada prinsipnya Islam tidak melarang umatnya untuk berpakaian sesuai
dengan mode atau trend masa kini, asal semua itu tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Islam membenci cara berbusana seperti busana-busana orang
jahiliyah yang menampakkan lekuk-lekuk tubuh yang mengundang kejahatan dan
kemaksiatan. Konsep Islam adalah mengambil kemaslahatan dan menolak
kemudoratan.2
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan model dan coraknya. Tetapi Islam
sebagai agama yang sesuai untuk setiap masa dan tempat, memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya kepada wanita muslimah untuk merancang mode yang sesuai
dengan selera masing-masing. Tak ada mode khusus yang diperintahkan kita
dapat mengenalkan apa yang kita sukai asalkan tetap pada batas-batas Islam,
mode bukan masalah asal kita tidak mengikuti secara membabi buta. Kita harus
1 Quraish Shihab, “
Wawasan Al-Quran” (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-4 h. 161.
2
Ahmad Hasan Karzun, “AdabBerpakaianPemuda Islam”(Jakarta: Darul Falah, 1999), cet.
14
mempunyai kesadaran terhadap busana yang tidak Islami, dan berani menjadi
orang yang tidak mengikuti perkembangan mode yang berlaku pada saat itu.3
Busana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang kita pakai mulai dari
kepala hingga sampai ujung kaki.4 Hal ini mencakup antara lain Pertama, semua
benda yang melekat pada badan, seperti baju, celana, sarung, dan kain panjang.
Kedua, semua benda yang melengkapi pakaian dan berguna bagi si pemakai
seperti selendang, topi, sarung tangan, dan kaos kaki. Ketiga, semua benda yang
berfungsi sebagai hiasan untuk keindahan pakaian seperti, gelang, cincin, dan
sebagainya.5
Dalam pengertian berbusana, Al-Qur’an tidak hanya menggunakan satu
istilah saja tetapi menggunakan istilah yang bermacam-macam sesuai dengan
konteks kalimatnya. Menurut Qurais Shihab paling tidak, ada 3 istilah yang
dipakai yaitu :6
1) Al-Libas (bentuk jamak dari kata Al-Lubsu), yang berarti segala
sesuatu yang menutup tubuh. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk
menunjukkan pakaian lahir dan batin.
2) Ats-Tsiyab (bentuk jamak dari Ats-Tsaubu), yang berarti kembalinya
sesuatu pada keadaan semula yaitu tertutup.
3
Huda Khattab, “BukuPeganganWanita Islam” (Bandung: Al-Bayan, 1990), cet. Ke-2, h. 40 4
W. J. S. Poerwa Darunuda, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), h. 172
5
Nina Surtiretna, “AnggunBerjilbab”(Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. Ke-2 h. 28
6
3) AZ-sarabil yang berarti pakaian apapun jenis bahannya.
Dari pengertian diatas, dapat ditarik pengertian busana muslim sebagai
busana yang dipakai oleh wanita muslimah yang memenuhi, kriteria-kriteria
(prinsip-prinsip) yang ditetapkan ajaran Islam dan disesuaikan dengan kebutuhan
tempat, budaya, dan adat istiadat.
B. Tata Cara Berpakaian Muslim dan Muslimah
Busana muslim dan muslimah merupakan pakaian yang dikenakan laki-laki
dan perempuan selama tidak keluar dari ajaran Islam. Setiap laki-laki dan
perempuan muslim diharuskan untuk mengenakan busana muslim dan muslimah
agar terhidnar dari berbagai macam gangguan yang datang kepadanya.
Pokok pangkal dari berbusana muslim bukan apakah sebaliknya laki-laki
atau wanita memakai busana muslim dalam pergaulannya dengan masyarakat,
melainkan apakah laki-laki bebas mencari kelezatan dan kepuasan memandang
wanita. Laki-laki hanya dibolehkan memandang wanita dalam batas-batas
keluarga dan pernikahan saja. Hal ini dimaksudkan demi tercipatanya keluarga
yang sehat, harmonis dan saling mempercayai sebagai sendi terwujudnya
masyarakat yang sehat, damai, beriwibawa dan menjunjung tinggi harkat wanita.7
7
16
Pakaian wanita muslimah menanamkan tradisi yang universal dan
fundamental untuk mencegah kemerosotan moral dengan menutup pergaulan
bebas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fuad M. Facruddin yang mengatakan
bahwa busana yang dikenakan seorang muslimah bukan hanya menutup badan
saja, melainkan harus menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.8
Ada 8(delapan) tata cara dalam menutup Aurat menurut Islam:
1. Pakaian itu mestilah meutup aurat.
2. Pakaian itu tidak terlalu tipis sehingga tampak bayangan tubuh badan dari
luar.
3. Pakaian itu tidak ketat atau sempit.
4. Warna pakaian itu suram atau gelap, seperti warna hitam atau kelanu asap.
Tujuannya adalah agar lelaki tidak bernafsu melihatnya (terutamanya
pakaian seperti jilbab atau abaya).
5. Tidak memakai wangi-wangin, pakaian jangan sekali-kali disemerbakan
dengan bau-bauan yang harum, demikian juga tubuh badan wanita itu,
karena bau-bauan ini menimbulkan pengaruhnya atas nafsu laki-laki.
6. Tidak seperti pakaian laki-laki, pakaian itu tidak bertashabbuh dengan
pakaian laki yakni tiada meniru-niru atau menyerupai pakaian
laki-laki.
8
7. Pakaian itu tiada bertashabbuh dengan pakaian perempuan-perempuan
kafir dan musyrik
8. Pakaian itu bukanlah libasu sh-shuhrah, yakni pakaian untuk
bermegah-megahan, untuk menunjuk-nunjuk atau bergaya.
Dalam Al-Qur’an Islam telah mengatur tata cara tentang menutup aurat
dalam surat Al-A’raf ayat 26 yang berbunyi :
)
)
Artinya: ”Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan
pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi, pakaian
taqwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan
Allah, mudah-mudahan mereka ingat”. (QS. Al-A’raf/7: 26).
Dari penjelasan diatas, maka seseorang muslimah harus memakai pakaian
yang menutupi seluruh auratnya sesuai dengan ajaran Islam. Apabila wanita
muslimah memakai busana secara bebas tanpa memperhatikan etika yang akan
menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk bagi mereka.
C. Prinsip-Prinsip Berpakaian Muslim dan Muslimah
Dalam perkembangannya, busana muslim mau tidak mau harus mengikuti
18
masyarakat yang selalu gandrung terhadap mode yang sedang age-trend
namannya. Dengan demikian, busana muslim tidak akan hilang "eksistensinya"
selama ia bisa menyesuaikan dengan zaman.
Berkembangnya zaman akan mengakibatkan pada berkembangnya mode
termasuk busana muslim. Namun demikian tentunya busana muslim yang
berusaha menyesuaikan dengan zamannya tetap harus berada pada prinsip-prinsip
yang berlaku sesuai dengan urutan Islam yang notabene berdasarkan Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
Adapun prinsip-prinsip yang ditentukan dalam tuntunan Islam antara lain:9
1) Prinsip Pemotongan Kain yang Akan di Jahit
Dimaksud dengan pemotongan kain (pola) busana tersebut adalah
menjahit (pembuatan busana). Jaitan busana seorang wanita, harus sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Islam dibidang penjahitan
busana tersebut, kemudian mengenai pakaiannya pada badan semua harus
memperhatikan kriteria-kriteria dibawah ini :
a) Busana harus menyelubungi seluruh badan
Hal diatas dimaksudkan agar pakaian yang dipakai dapat
menutupi seluruh badan kecuali telapak tangan dan wajah.10Hal ini
karena Islam lebih menitik beratkan busana sebagai penutup, bukan
9
Syaik Abdullah Shahih al-Fauzan, Kriteria Busana Muslimah (Jakarta:Khazana Shun, (1995) cet, ke-1, h. 15.
10
sebagai hiasan.
Bila menampakkan perhiasan merupakan larangan, maka dalam
hal ini menampakkan letak-letaknya lebih dilarang, dan seandainya
tidak dikenakan busana tentu tampaklah letak-letak perhiasan, berupa
dada, kedua telapak kaki dan betis. Oleh karena itu seharusnya seorang
wanita mengenakan celana yang menutupi betisnya ataupun dua kaos
kaki yang menutupi kedua kakinya.
b) Busana tidak ketat yang dapat membentuk tubuh.
Pakaian yang ketat akan membentuk postur tubuh wanita ataupun
sebagainya. Wanita yang mengenakan pakaian ketat sehingga dapat
membentuk potongan-potongan postur tubuhnya dan keluar pada
perkumpulan-perkumpulan kaum laki-laki, maka busana itu
dikhawatirkan termasuk kategori diantara pakaian-pakaian telanjang.
Termasuk dalam pengertian pakaian telanjang adalah seorang
wanita yang mengenakan pakaian yang ketat yang tampak jelas
lekuk-lekuk dan bentuk asli tubuhnya. Tidak diragukan lagi bahwa busana
tersebut termasuk dalam kategori pakaian telanjang yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam.
c) Busana Wanita Tidak Menyerupai Busana Laki-Laki
Tidak diragukan lagi bahwa salah seorang diantara dua jenis
menyerupai pada jenis lainnya adalah menyimpang dari fisik, serta
20
adalah penyakit yang tidak bisa diobati yang tertransfer ke dalam
budaya kita sebagai konsekuensi dari ikut-ikutan gaya Barat. Hal ini
merupakan hal yang dilarang agama.
d) Tidak Menyerupai Wanita Kafir
Sekarang ini, banyak wanita muslimah yang merancang
busananya dengan pola yang bertentangan dengan ketentuan syar'a
dan norma-normanya dibidang busana. Berdasarkan realita yang
muncul dewasa ini yang popular disebut dengan "mode” dimana ia
mengalami perkembangan dan perubahan setiap hari dari yang buruk
hingga yang lebih buruk. Bentuk-bentuk busana wanita dewasa ini
sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran-ajaran Islam dan sama sekali
tidak pernah dikenal dikalangan wanita-wanita muslimah. Hal ini
terbukti dengan banyaknya pakaian-pakaian yang apabila dipakai
wanita, maka aurat wanita si pemakai akan terlihat dengan jelas.
Tujuan wanita dilarang menyerupai dengan orang-orang kafir,
diantaranya adalah penyerupaan dengan mereka dalam berbusana.
2) Prinsip yang berhubungan dengan corak (bentuk) busana
Adapun kriteria-kriteria corak busana muslimah antara lain sebagai
berikut:11
a) Tidak menjadikan busana sebagai perhiasan pada dirinya
Maksud dari busana tersebut adalah pakaian yang tampak.
11
Seorang wanita muslimah dilarang memakai pakaian dari sejumlah
pakaian, bilamana pakaian-pakaian itu merupakan pakaian tembus
pandang sebagaimana dalam pengertian secara umum.
b) Busana tidak tipis yang masih memperlihatkan bentuk aurat yang
berada dibaliknya.
Hal ini sesuai dengan tujuan berbusana yaitu menutup. Tujuan
tersebut tidak akan tercapai kecuali dengan busana yang tebal. Karena
busana yang tipis itu bukan merupakan busana menurut pandangan
Islam.
c) Busana tidak bercorak glamour
Dilarang bagi seorang wanita muslimah memilih berbagai corak
pakaian yang hanya menuruti tuntutan kesenangannya dan sama sekali
tidak ada relevansinya dengan prinsip-prinsip busana, tidak lain
bertujuan untuk menghilangkan pandangan kaum laki-laki kepadanya.
d) Tidak diberi wewangian atau parfum yang menimbulkan syahwat
Hal ini dilarang karena parfum dikhawatirkan membangkitkan
nafsu birahi. Para ulama bahkan mengikut yang semakna dengannya
sebagai pakaian indah, perhiasan yang tampak dan megah serta
bercampur baru dengan laki-laki.12
12
22
D. Fungsi Berpakaian Muslim dan Muslimah
Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi aurat, yaitu bagian tubuh
yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali yang dihalalkan dalam
agama. Dan dianjurkan untuk berpakaian terbaik yang dimilikinya dengan tidak
berlebihan.
Semakin dinamisnya budaya peradaban manusia, maka terciptalah busana
yang beraneka ragam motif dan mode. Busana dikenakan manusia tidak begitu
saja tercipta dan terpakai tanpa adanya pemikiran tentang fungsi dan tujuan dari
berbusana tersebut. Secara umum fungsi mengapa manusia menggunakan busana
adalah :13
1. Memenuhi syarat peradaban sehingga tidak menyinggung rasa kesusilaan.
2. Memenuhi syarat kesehatan, yaitu melindungi badan dari gangguan luar,
seperti panas, hujan, angin dan lain-lain.
3. Memenuhi keindahan.
4. Menutupi segala kekurangan yang ada pada tubuh kita.
Dari sudut sosiologis, busana muslimah berfungsi sebagai :14
1. Menjauhkan wanita dari pergaulan laki-laki.
2. Membedakan wanita yang berakhlak mulia dengan wanita berakhlak hina.
3. Mencegah timbulnya fitnah dari laki-laki.
13
Labib Mz, Wanita dan Jilbab (Gresik: CV. Bulan Bintang, 1999), cet. Ke 1, h. 115.
14
4. Memelihara kesucian agama wanita yang bersangkutan.
Menurut Istadiyanto, fungsi busana muslimah Pertama membentuk pola
sikap atau akhlak yang luhur dalam diri remaja sebagai pencegah terhadap
dorongan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran syariat. Kedua
mencegah orang lain untuk berbuat sewenang-wenang terhadap si pemakai.15
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan beberapa fungsi busana
yaitu:16
1. Sebagai penutup aurat.
2. Sebagai perhiasan, yaitu untuk penambah rasa estetika dalam berbusana.
3. Sebagai perlindungan diri dari gangguan luar, seperti panas terik matahari,
udara dingin dan sebagainya.
Menurut M. Quraish Shihab, selain tiga hal diatas, busana juga mempunyai
fungsi sebagai petunjuk identitas dan pembela antara seseorang dengan orang
lain,17sebagian ulama bahkan menyatakan fungsi busana yang lainnya adalah
fungsi takwa dalam arti busana dapat menghindarkan seseorang terjerumus dalam
bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhwawi.18
15
lstadiyanto, Hikmah Jilbab dan Pembinaan Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1998), h. 23.
16
Nina Surtiretna, Anggun,,, h. 15.
17
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan 1998), cet. Ke-13, h. 279.
18
24
Dari beberapa fungsi busana yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan
bahwa fungsi busana muslimah adalah sebagai petunjuk identitas, penutup aurat,
pelindung diri dan sebagai pakaian takwa. Oleh karena itu Allah SWT
memerintahkan kepada kaum wanita untuk memakai busana sesuai dengan ajaran
25
A. Peraturan Daerah
Sistem Pemerintahan Daerah yang berlaku, menempatkan kepala daerah
sekaligus sebagai pimpinan daerah otonom dan perwakilan pemerintah pusat di
dalam lingkungan pemerintahan daerah dan disebut kepala wilayah. Maka pada
tingkat daerah ini dikenal ada 2(dua) macam peraturan perundang-undangan
yang mempunyai sifat mengatur, yaitu Peraturan Daerah (selanjutnya disebut
perda) dan Keputusan Kepala Daerah.1
Perda dan keputusan Kepala Daerah adalah peraturan perundang-undangan
yang dibuat untuk menyelenggarakan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah
adalah satuan Pemerintah teritorial tingkat lebih rendah yang berhak mengatur
dan mengurus sebagian urusan pemerintah sebagai urusan-urusan rumah tangga
daerah yang bersumber pada otonomi dan tugas pembantuan.2
1
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta : UII Pres, 2005. Cet. 1. h. 62
2
UUD 1945 pasal 18, ayat 2: “Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten, dan
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
26
1. Pengertian Perda
Peraturan Daerah adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur Pemerintah Daerah yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan daerah.3 Sedangkan Perda
menurut ketetapan MPR tahun 2000 adalah merupakan peraturan untuk
melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari
daerah yang bersangkutan.4
2. Landasan Pembuatan Perda
Perda merupakan Implementasi sarana demokrasi dan sarana komunikasi
timbal balik antara Perda dan masyarakat. Pembuatan Perda memiliki perbedaan
sifat substansi materi sebab muatan Perda dibuat kadang dalam rangka
penyelenggaraan otonomi, pembantuan maupun substansi Perda sebagai
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Oleh karena Perda adalah suatu perundang-undangan yang menjadi sarana
komunikasi dan demokrasi antara Perda itu sendiri dengan masyarakat, maka
sekurang-kurangnya dalam penyusunan Perda harus memiliki 3(tiga) landasan
dalam pembuatannya.5
3
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 58
4
TAP MPR NO. III TAHUN 2000, Pasal 3, Ayat 7
5Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”
1. Landasana yuridis, yaitu landasan hukum yang menjadi dasar
kewenangan pembuatan Perda, apakah kewenangan seseorang
penjabat atau badan mempunyai dasar hukum yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar yuridis sangat
penting dalam pembuatan Perda karena akan menunjukan adanya
wewenang pembuat perda, kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan dengan materi yang diatur, mengikuti tata cara
tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya.6
Kalau tidak, maka peraturan Perundang-undangan itu akan batal demi
hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.7
Adapun dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah :
1. UUD 45 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B
2. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
3. Keputusan Presiden No. 44 tahun 1999 tentang tehnik penyusunan
peraturan perundang-undangan, bentuk rancangan undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden
4. Keputusan Mentri Dalam Negri No. 21, 22, 23 dan 24 tahun 2003
6
Tata urut Perundang-undangan Republik Indonesia adalah: (1) UUD 4; (2) Ketetapan MPR RI; (3) Undang-undang. (4) Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu); (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah.
7
28
5. Tata Tertip DPRD Propinsi Kabupaten/Kota8
6. UU NO. 23 tahun 2004
7. UU No. 10 tahun 20049
2. Landasan Sosiologis (Sosiologische Gronsleg). Suatu Perda dikatakan
mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini berarti
bahwa Perda yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai
dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada
perinsipnya yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup
(living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai,
keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak akan ada artinya. Tidak
mungkin dapat diterapkan karena tidak ditaati dan dipatuhi.
3. Landasan Filosofis (Filosofische Gronngslag). Pandangan hidup suatu
bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika yang pada dasarnya
berisi nilai-nilai yang baik dan tidak baik. Nilai yang baik adalah
pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi dari suatu daerah
tertentu. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan
berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.
8
Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21 februari tahun 2006
9
Perda dikatakan mempunyai nilai filosofis apabila rumusnya atau
normanya mendapat pembenaran, dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai
alasan yang dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik.10
3. Muatan dan Mekanisme Penyusunan Perda
Peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan ditingkat daerah
untuk menyelenggarakan Pemerintah Daerah dibidang urusan rumah tangga
daerah berdasarkan asas desentralisasi dan asas pembantuan.11 Jadi pada
perinsipnya Perda dibentuk untuk; Pertama, dalam rangka penyelenggaraan
otonomi,12 tugas pembatuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, Perda tidak boleh bertentangan dengan
kepentinggian umum, perda lain dan peraturan perundang-undangan yang lain.13
Sedangkan mekanisme penyusunan Perda dapat dilihat dalam penjelasan
umun UU No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kewenangan yang ada
10
Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar,, h. 218-219
11
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 148
12
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan: Kewenangan Daerah mencakaup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negri, pertahanan keamanan, pengadilan, moneter, fiskal, Agama, serta kewenangan bidang lainya. Penjelasan ayat ini berbunyi antara lain: khusus bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah Kepala Daerah sebagai upaya keikut sertaan daerah dalam menumbuhkembangkankehidupan beragama.
13
30
pada Kepala Daerah dan DPRD mangandung pengertian bahwa pembentukan
peraturan daerah dilakukan bersama-sama. Inisiatif pembentukan Perda dapat
dilakukan Kepada Daerah atau DPRD.14
Rancangan Perda baik hasil prakarsa Kepala Daerah maupun prakarsa
DPRD, harus melalui beberapa tahapan pembahasan dalam lingkup DPRD,15
sampai pengambilan keputusan persetujuan DPRD terhadap rancangan Perda
tersebut. Pembahasan di DPRD biasanya diformat dengan tahapan pengantar
eksekutif pada sidang paripurna Dewan, pemandangan umum fraksi, pembahasan
dalam PANSUS, catatan akhir fraksi, persetujuan anggota DPRD terhadap draf
raperda yang kemudian disampaikan kembali oleh pimpinan DPRD kepada
Kepala Daerah untuk ditetapkan sebagai Perda. Penandatanganan Perda yang
sudah disetujui dilakukan oleh Kepala Daerah dan ditandatangani serta pimpinan
DPRD.16
Dalam konsep hukum, Perda tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum
materil terhadap pihak yang menyetujuinya sejak ditandatangani. Oleh sebab itu
rumusan hukum yang ada dalam raperda tersebut sudak tidak dapat diganti secara
sepihak.
14
UU No. 32 tahun 2004, Pasal 140 ayat (1) menyebutkan Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, gubernur, atau Bupati/Walikota.
15
UU No. 10 tahun 2004, Pasal 10 ayat (11-14)
16
Pengundangan dalam lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui
agar raperda mempunyai kekuatan hukum yang memikat kepada publik. Dalam
konsep hukum, maka draf raperda sudah menjadi Perda yang berkekuatan hukum
formal dan sudah dapat diterapkan.17
B. Otonomi Daerah
Menurut sejarahnya, otonomi daerh dalam sistem kenegaraan di Indonesia
telah mengalami perkembangan yang secara konstitusional merupakan amanat
pasal 1 dan 18 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1974
dan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian di amandemen menjadi
Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang ini, otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang
dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas daerah tertentu, kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan kesatuan Republik Indonesia.18
17
Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21 februari tahun 2006
18
32
Otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara pusat
dan daerah dalam aspek politik, ekonomi, sosial-budaya. Tidak heran mengapa
sebagian besar masyarakat meresponnya secara positif sekaligus banyak berharap
pada keputusan politik ini demi masa depan mereka yang lebih baik. Tentu ada
juga kelompok masyarakat yang menggunakan momen ini untuk
memperjuangkan kepentingan dan aspirasi polotik mereka.19
UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pusat
kepada pemerintah daerah, yaitu bidang pertahanan, pertanian pendidikan dan
kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi,
perdagangan dan industri, investasi modal dan koperasi. Ada lima(5) bidang yang
tetap menjadi wewenang pemerintah pusat, yaitu bidang politik luar negeri,
pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta
Agama. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa proses legislasi
dalam bentuk perda tidak lagi disahkan oleh Pemerintah Pusat asal tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali asas
umum penyelenggaraan negara yaitu: asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas
19
efektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan Negara di
dalam Undang-Undang ini tidak lain ingin mengadopsi konsep good governance
dalam kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonimi daerah.20
Adapaun prinsip dan asas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah:
a. Prinsip otonomi daerah adalah menggunakan prinsip ekonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan Pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang. Sejalan dengan perinsip tersebut
dilaksanakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip
otonomi yang nyata adalah untuk menangani urusan Pemerintah
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang telah ada
dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud otonomi yang
bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi, yang pada
dasarnya untuk meningkatkan kesejahterahan masyarakat.
b. Asas dari otonomi daerah adalah asas desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
20
34
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Kepala Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintah oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal diwilayah tertentu.
3. Tugas pembantu adalah penugasan dari Pemerintah Kepada Daerah
dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi Kepada Desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Setelah diterapkannya otonomi daerah yang ditandai dengan
diberlakukannya Undang-Undang No 20 Tahun 1999 sejak 1 Januari 2001 yang
kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang N0 32 Tahun 2004, setiap
Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) diberikan kewenangan yang sangat untuk
mengatur dan memerintah daerahnya masing-masing.
Peluang yang diberikan oleh kebijakan otonomi daerah itu diterjemahkan
beragam oleh daerah. Salah satu “terjamah” yang dipakai adalah dengan
membuat beragam peraturan daerah (Perda). Dibeberapa daerah, termasuk
Kabupaten Pesisir Selatan terdapat fenomena yang menarik untuk dikaji secara
akademik, khusususnya dari perspektif hukum Islam dan hukum. Fenomena
tersebut adalah munculnya perda yang mengatur persoalan-persoalan terkait
perda Kabupaten Pesisir Selatan No 4 Tahun 2005 tentang Berbusana Muslim dan
Muslimah yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai perda Syariah.21
Munculnya Perda benuansa syariah demikian munculnya pro dan kontra di
masyarakat. Bagi kalangan yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai
terobosan untuk menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar
individu maupun jaminan moral untuk individu di masyarakat. Bagi kalangan
yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah dinilai berlebihan, bahkan
ada yang mengatakan secara terbuka bahwa perda syariah tersebut bertentangan
dengan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi.22
Nilai-nilai ajaran dan budaya Islam dalam norma kehidupan sosial cukup
berpengaruh dalam kebiasaan dan landasan moral masyarakat, sehingga sering di
jadikan standar dalam menilai suatu prilaku masyarakat. Begitu juga dengan
Kabupaten Pesisir Selatan yang penduduknya mayoritas muslim sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai moral kesopanan sebagai bentuk masyarakat yang
melambangkan kondisi masyarakat Pesisir Selatan terbebas dari segala bentuk
kemaksiatan.
21
Disajikan dari majalah tempo, 14 Mei 2006, h. 29
22
36
C. Kebijakan Publik
1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan Publik merupakan “(wisdom) aturan-aturan yang semestinya dan
harus diakui tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapapun dengan
kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan (policy) adalah suatu ketentuan dari
pemimpim yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada
seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan
aturan yang berlaku.”23
Kebijakan Publik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Bukanlah suatu tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan
yang direncanakan.
b. Terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang
mengarah kepada tujuan-tujuan tertentu.
c. Apa yang senyatanya dilakuakn oleh pemerintah dalam bidang-bidang
tertentu.
d. Bisa berbentuk positif dan negatif.
e. Memiliki daya ikat yang kuat terhadap masyarakat/memiliki daya
paksa.
23
Sedangkan dari model Implementasinya, kebijakan publik terdiri dari:24
a. Implementasi sistem rasional (top down)
Menurut Parson model, rasional ini berisi gagasan bahwa
Implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang di
perintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. Beberapa
Ahli yang mengembangkan model Implementasi top down adalah sebagai
berikut:
1) Van Meter dan Van Horn
Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Dwiyanto (2009),
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik,
implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
mempengaruhi kebijakan publik adalah: aktivitas implementasi dan
komunikasi antar organisasi, karakteristik agen dan
pelaksanaan/implementor, kondisi ekonomi, sosial dan publik,
kecenderungan implementor.
2) George Edward III
Salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai
dengan pernyataan abstrak, seperti; apakah yang menjadi prasyarat
bagi implementasi kebijakan, apakah yang menjadi penghambat utama
bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Sehingga untuk menjawab
24
38
pertanyaan tersebut Edward III mengusulkan 4(empat) variabel;
komunikasih, resourcees atau sumber-sumber, sikap dan struktur
birokrasi.
3) Model Grindle
Menurut Grindle implementasi kebijakan ditentukan oleh isi
kebijakan implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah
kebijakan di tranformasikan, barulah implementasi kebijakan
dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability
dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup hal-hal sebagai
berikut:25
- Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
- Jenis manfaat yang akan dihasilkan
- Drajat perubahan yang diinginkan
- Pelaksanaan program
- Sumber daya yang dikerahkan
Sementara itu konteks implementasinya adalah:
- Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
- Karakteristik lembaga dan pengusaha
- Kepatuhan dan daya tangkap
25
b. Implementasi kebijakan bottom up
Model dengan implementasi bottom up muncul secara kritik terhadap
model pendekatan rasional atau top down. Ahli kebijakan yang lebih
memfokuskan terhadap model implementasi ini adalah Adam Smith.
Menurut Smith dalam Dwiyanto (2009), implementasi kebijakan
dipandang sebagai suatu proses atau alur. Smith memandang proses
implementasi kebijakan dari prose kebijakan dari perspektif perubahan
sosial dan politik. Dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat
sebagai kelompok sarana. Menurut Smith, Implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat faktor:
1) Idelized policy yaitu pada interaksi yang digagas oleh perumus
kebijakan dengan tujuan untuk memandang, mempengaruhi dan
merangsang target group untuk melaksanakannya.
2) Target groups yaitu bagian dari policy stakeholders yang
diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana
yang diharapkan oleh perumus kebijakan.
3) Impelenting organization yaitu badan-badan pelaksana yang
40
4) Environmental factors yaitu unsur-unsur didalam lingkungan
yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek
budaya, sosial, ekonomi dan politik.26
2. Kebijakan Pemerintah
Sebuah kebijakan dapat diklasifikasikan kedalam bebera tipologi
kebijakan yaitu kebijakan distributive, Kebijakan Regulasi, dan Kebijakan
Konstituen.27 Kebijakn-kebijakan tersebut dapat digunakan oleh berbagai
lembaga baik organisasi swasta maupun pemerintah, akan tetapi pada umumnya
penggunaan istilah kebijakan merujuk kepada kebijakan yang diputuskan oleh
pemerintah bagi warganya atau sering disebut sebagai kebijakan publik.
Karenanya kebijakan publik, biasanya, sama dengan kebijakan pemerintah.
Di Indonesia, Kebijakan Pemerintah dapat berbentuk tata peraturan
perundan-undangan yang dimaksudkan untuk memandu jalanya pelaksanaan
kenegraran, pemerintahan, perlindungan masyarakat, dan pembangunan.
Sebagaimana perundang-undangan yang berlaku, jenis kebijakan pemerintah
berbentuk peraturan perundang-ndangan secara hirarkis adalah meliputi
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang-Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
26
Indiahono, Kebijakan Publik, h. 11
27
Presiden, Peraturan Presiden, Intruksi Presiden, Peraturan Keputusan Mentri dan
Peraturan Daerah.
3. Peraturan Daerah Sebagai Kebijakan Publik
Peraturan Daerah (Perda) adalah naskah dinas yang berbentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur urusan otonomi daerah dan tugas
pembentukan untuk mewujudkan kebijaksanaan baru, melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan menetapkan suatu organisasi dalam
lingkungan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).28
Keberadaan Perda penting sebab menjadi panduan dalam penentuan
kebijakan daerah dan dalam rangka melaksanakan tugas, wewenang, kebijakan,
dan tanggungjawabnya. Kebijakan Daerah dalam Perda tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum
serta peraturan daerah lain.29
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah,
artinya prakarsa berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus
peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah
yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peratuaran
Daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur diundangkan dengan
28
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Media Presindo, 2002), h. 32
29
42
penempatannya dalam Lembaga Daerah. Peraturan Daerah tertentu yang
mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD, dan tataruang,
akan berlaku jika telah melalui tahapan evaluasi dari Pemerintah Pusat. Hal
tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi ketertiban umum,
menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan/atau peraturan Daerah lainnya, terutama peraturan daerah
mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.30
30
43
DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
A. Kewajiban Berbusana Muslim dan Muslimah Menurut Hukum Islam
Dalam kehidupan didunia ini, manusia seakan selalu menemukan corak
dan mode busana yang selalu berkaitan erat dengan agama, adat istiadat, dan
kebudayaan setempat. Karena di setiap tempat memiliki gaya berpakaian yang
berbeda-beda.
Pakaian yang dikenakan oleh seorang hamba memiliki nilai ibadah di sisi
Allah Ta’ala. Dia dan Rasul-Nya telah menetapkan kaidah umum dalam
berpakaian, yang intinya adalah menutup aurat seorang hamba. Melalui cara
berpakaian, sesungguhnya Allah berkehendak memuliakan manusia sebagai
makhluk yang mulia dan sebagai identitas keislaman seseorang.1
Adapun Islam menganggap bahwa pakaian memiliki karakteristik yang
sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan
penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam :
1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim dan muslimah sebagai
ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu
1fikih-pakaian muslim dan muslimah
44
berpakaian seorang muslimmemiliki nilai ibadah.
2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya
(bagaimna dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya)
dan nafsiyahnya (dengan tolak ukur apa dan seberapa banyak dia
berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan