BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Undang Undang Otonomi Daerah di Indonesia merupakan dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Undang Undang otonomi daerahdi Indonesia merupakan payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah Undang Undang otonomi daerahseperti, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.
Undang Undang Otonomi Daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia.
1.2. Rumusan
1.2.1. Bagaimana Undang-Undang Otonomi Daerah Sebelum Amandemen ? 1.2.2. Bagaimana Perubahan Undang-Undang Otonomi Daerah ?
1.2.3. Bagaimana Undang-Undang Otonomi Setelah Amandemen ?
1.3. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui tentang undang-undang otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Otonomi Daerah
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61)
mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.
Daerah Otonom dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 6
menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan
masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Menurut Profesor Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50)
bahwa daerah otonom adalah bagian organis dari pada negara, maka daerah otonom
mempunyai kehidupan sendiri yang bersifat mandiri dengan kata lain tetap terikat
dengan negara kesatuan. Daerah otonom ini merupakan masyarakat hukum yaitu
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2.2. Undang-Undang Otonomi Daerah Sebelum Amandemen
2.2.1. Otonomi Daerah Menurut UUD 1945 dan UUDS 1950
Gagasan untuk menerapkan sistem otonomi daerah dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dibicarakan oleh PPKI disetujui antara lain
oleh Supomo bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai desentralisasi akan
diatur dalam undang-undang. Gagasan-gagasan ini yang kemudian dituangkan
1. Seluruh daeran Indonesia akan dibagi atas daerah besar dan kecil
yang akan diatur dengan undang-undang. 2. Pengaturan tersebut harus :
1. Memperhatikan dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara.
2. Memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.
Dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 ditambah 4 hal pokok lagi, yaitu :
1. Daerah besar dan kecil bukanlah negara bagian karena daerah tersebut
dibentuk dalam kerangka negara kesatuan (eenheidsstaat).
2. Daerah besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat
administratif.
3. Daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa adalah
Swapraja dan desa atau nama lain semacam itu yang disebut
Volkgemeenschappen.
4. Republin Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai
hak asal-usul yang bersifat istimewa itu.
UUDS 1950 mengatur otonomi daerah di dalam Pasal 131, 132, dan 133.
Pasal 131 memuat empat hal sebagai berikut :
1. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil akan merupakan
daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
(otonom).
2. Bentuk susunan pemerintahan daerah otonom akan diatur dengan
undang-undang. Bentuk dan susunan itu ditetapkan dengan memperhatikan dasar
permusyawaratan dan dasar perwakilan.
3.
Kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk4.
Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugaskepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Jika dibandingkan pengaturan otonomi didalam UUD 1945 dan UUDS
1950, tampak bahwa pengaturan didalam UUDS 1950 lebih jelas dan tegas
dari pada didalam UUD 1945. UUD 1945 tidak jelas menegaskan bentuk
susunan pemerintahan di daerah, demikian juga sifat otonom. Penjelasan UUD
1945 menjelaskan bahwa di daerah akan dikenal susunan pemerintahan
administratif disamping yang bersifat otonom hal ini merupakan ketidak
jelasan. Susunan pemerintahan administratif merupakan ciri susunan
pemerintahan menurut sendi konsentrasi dan dekonsentrasi, sedangkan
pemerintahan yang bersifat otonom merupakan ciri susunan pemerintahan
menurut sendi sentralisasi dan desentralisasi. 2.2.2. Otonomi Daerah Menurut UU No. 1 Tahun 1945
UU No.1 tahun 1945 yang ditetapkan pada 23 November 1945, tiga
bulan setelah proklamasi adalah undang-undang tentang Kedudukan Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID). KNID merupakan mata rantai dari
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada saat UUD 1945 disahkan oleh
PPKI tanggal 18 Agustus 1945, PPKI juga menetapkan bahwa pekerjaan
Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional, tanpa
dibatasi pada tingkat nasional saja atau tingkat daerah. Dalam sidangnya
tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian daerah Indonesia,
bahwa daerah provinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur, dibagi dalam
keresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Gubernur dan Residen
dibentu oleh Komite Nasional Daerah.
Pasal IV aturan peralihan UUD 1945 menetapkan bahwa sebelum MPR,
DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD 1945, segala kekuasaannya dijalankan
pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian daerah
Indonesia, antara lain bahwa Daerah Provinsi yang dikepalai oleh Gubernur,
dibagi dalam keresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Tentang KNIP
diatur pula mengenai KNID, antara lain bahwa KNID dibentuk diseluruh
Indonesia dengan pusatnya di Jakarta. Usaha Komite Nasional adalah
membantu pemimpin dalam membantu Pemerintah Daerah untuk
kesejahteraan umum.
Adapun beberapa alasan yang menjadi latar belakang pembentukan UU No.1
tahun 1945 adalah :
1. Secara umum untuk menertibkan KNID.
2. Untuk memberikan jalan kepada Pemerintah Pusat mengawasi KNID. 3. Untuk menjamin keserasian (keharmonisan) kegiatan KNID dengan
Pemerintah Pusat.
4. Untuk mengurangi unsur-unsur kekuatan KNID yeng menentang
Pemerintah Pusat.
Pada 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian wilayah
pemerintah Republik Indonesia di daerah dalam susunan teritorial : Provinsi,
Keresidenan, Kooti (Swapraja) dan Kota (Gemeente). Pembagian
daerah-daerah tersebut belum dilakukan dalam rangka desentralisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945. Pemerintah daerah dibentuk dengan
tujuan mengisi kekosongan pemerintah yang ditinggalkan penduduk tentara
Jepang, artinya pemerintahan tentera Jepang sudah tidak dipatuhi lagi oleh
rakyat Indonesia yang merdeka dan berdaulat, selain itu juga bertujuan untuk
sesegera mungkin melengkapi susunan pemerintah RI sampai ke
daerah-daerah, sehingga kehadiran Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat
menjadi tampak nyata sampai ke daerah-daerah.
Kenyataannya pemerintahaan tingkat daerah tidak terbatas pada
Provinsi, Keresidenan, Kota dan Kooti (Swapraja) saja yang ada, melainkan
dalam UU no.1 tahun1945. Akibat perubahan kedudukan KNID, maka
dihidupkan kembali pemerintahan daerah otonom yang terhapus selama
pendudukan tentara Jepang. Provinsi, Kewedanaan, dan Kecamatan tidak
dilengkapi dengan KNID, karena itu tetap semata-mata sebagai unsure
dekonsentrasi yang menjalankan pemerintahan umum atau kepamongprajaan
di daerah, sebagai wakil pemerintah pusat atau aparat pemerintah daerah
atasannya.
Ada tiga alat kelengkapan pemerintah daerah yang dapat disimak dari
UU no.1 tahun 1945, yaitu :
1. KNID sebagai DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara)
yang bersama-sama dibawah pimpinan Kepala Daerah menjalankan fungsi
legislatif.
2. Badan (maksimal terdiri atas 5 orang) yang dipilih dari dan oleh KNID
sebagai badan eksekitif bersama-sama dibawah pimpinan Kepala Daerah
menjalankan fungsi pemerintahan sehari-hari termasuk dalam bidang
otonomi dan tugas pembantuan.
3. Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat menjalankan urusan
Pemerintah Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang dijalankan oleh
kantor-kantor Departemen di daerah.
Akibat dari dualisme kekuasaan pemerintahan daerah tersebut, maka UU
no.1 tahun 1945 diganti dengan UU no.22 tahun 1948.
2.2.3. Otonomi Daerah Menurut UU No.22 Tahun 1948
Sejak semula Badan pekerja KNIP dan Pemerintah Pusat menyadari
pelaksanaan pemerintahaan. Oleh karena itu hasrat untuk menetapkan
undang-undang baru guna memperbaiki kekurangan-kekurangan itu kemudian
dituangkan dalam UU no.22 tahun 1948. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan
umum UU no.22 tahun 1948 sebagai berikut : “Baik pemerintah, maupun
badan pekerja komite nasional Indonesia pusat merasa akan pentingnya untuk
dengan segera memperbaiki pemerintahan daerah yang dapat memenuhi
harapan rakyat, ialah Pemerintahan Daerah yang kolegial berdasarkan
kedaulatan rakyat (demokrasi) dengan ditentukan batas-batas kekuasaannya”. Dasar kebijakan yang baru diatur didalam UU no.22 tahun 1948 adalah
hasrat Pemerintah pusat untuk memberikan otonomi yang luas kepada daerah.
Undang-undang ini tidak menggunakan istilah “Luas” atau “Seluas-luasnya”
melainkan istilah “Sebanyak-banyaknya”.
Adapun tiga cara yang dapat digunakan untuk mewujudkan Otonomi
daerah yang sebanyak-banyaknya berdasarkan UU no.22 tahun 1948 adalah :
1. Melalui pasal 23 ayat 2 yang menentukan bahwa urusan rumah tangga
ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bahi tiap-tiap daerah.
Ketentuan ini berarti UU no.22 tahun 1948 mengatur segala wewenang
otonomi daerah berdasarkan prinsip zakelik taakafbakening.
2. Melalui pasal 28 yang memberikan peluang kepada daerah untuk
mengambil inisiatif sendiri dalam mengatur dan mengurus urusan
Pemerintah sebagai urusan rumah tangga daerah, dengan ketentuan :
a. Tidak mengatur dan mengurus segala sesuatu yang telah diatur dalam
UU, Peraturan Pemerintah (PP), atau Peraturan Daerah (Perda) yang
lebih tinggi tingkatannya
b. Tidak mengatur dan mengurus hal-hal yang menjadi urusan rumah
c. Tidak bertentangan dengan UU, PP, Perda yang lebih tingkatannya. d. Hak mengatur dan mengurus tersebut menjadi tidak berlaku jika
dikemudian hari hal-hal tersebut diatur dan diurus dengan peraturan
yang lebih tinggi tingkatannya.
3. Melalui tugas pembantuan (medebewind) yang meskipun tidak sepenuh
prinsip otonomi yang luas, tetapi didalam tugas pembantuan terdapat
otonomi untuk menerjemahkan kebijakan Pusat/Pemda yang lebih tinggi
tingkatannya didalam daerah otonom yang bersangkutan. Berdasarkan
penjelasan UU no.22 tahun 1948, tidak dibedakan secara tegas antara
otonomi dan tugas pembantuan, bahkan tugas pembantuan dipandang
sebagai dati otonomi.
Suatu daerah otonom dapat terselenggara dengan baik, membutuhkan
persyaratan-persyaratan tertentu antara lain :
1. Sumber daya alam seperti luas wilayah yang memadai untuk mendukung
berbagai kegiatan perekonomian dan kegiatan lain yang dapat menunjang
pertumbuhan daerah dan masyarakatnya.
2. Sumber daya manusia, baik kuantitas maupun kualitas yang mampu
berpartisipasi untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang
berkedaulatan rakyat dan modern.
3. Sumber keuangan untuk menunjang pelaksanaan pemerintah dan
pembangunan.
Hal ini yang menunjukan perbedaan antara UU no.22 tahun 1948 dengan
UU no.1 tahun 1945 adalah mengenai susunan pemerintahan daerah, yaitu
satuan pemerintahan otonom dan satuan pemerintahan administratif.
Sementara UU no.22 tahun 1948 hanya mengatur satu macam satuan
pemerintahan tinggkat daerah, yaitu otonom.
2.2.4. Otonomi Daerah Menurut UU NIT No.44 Tahun 1950
UU NIT (Undang-undang Negara Indonesia Timur) No.44 tahun1950
tentang pemerintah daerah timur ditetapkan pada 16 Mei 1950, yaitu pada
konstitusi RIS sejak 27 Desember 1949. Sebagai hasil dari Konferensi Meja
Bundar (KMB) antara Belanda dan Indonesia di Den Haag tanggal 23 Agustus
– 2 November 1949, kerajaan Belanda terpaksa memulihkan kedaulatan atas
wilayah Indonesia kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada
14 Desember 1949 wakil pemerintah republik Indonesia dan wakil pemerintah
daerah bagian dalam Bijeenkomst Federal Overleg menandatangani
persetujuan Undang-undang Dasar Sementara, yang kemudian dinamakan
Konstitusi Republik Indonesia serikat, mulai berlaku pada 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya konstotusi RIS maka NKRI berubah menjadi Negara
Republik Indonesia Serikat, yang terdiri atas 16 negara bagian yang disebut
“Daerah Bagian”. Semua “Daerah Bagian” dikategorika dalam dua kelompok,
yaitu yang disebut “Negara” dan kelompok yang disebut “satuan-satuan
kenegaraan yang tegak sendiri”.
Berdasarkan pasal 127 konstitusi RIS, pembuatan undang-undang diserahkan
kepada :
1. Pemerintahan bersama-sama dengan DPR dan Senat, dalam hal
peraturan-peraturan mengenai satu atau lebih daerah-daerah bagian, atau mengenai
hubungan Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut
pada pasal.
2. Pemerintah bersama-sama DPR dalam seluruh lapangan pengaturan
selebihnya.
UU NIT (Undang-undang Negara Indonesia Timur) No.44 tahun 1950
tentang pemerintah Daerah Indonesia Timur ditetapkan pada 15 Mei 1950.
Secara sengaja UU NIT no.44 tahun 1950 ditetapkan dalam rangka
ketatanegaraan pemerintahan daerah dalam lingkungan wilayah Indonesia
Timur dengan bentuk NKRI.
Dengan latar belakang tujuan tersebut, pembentukan UU NIT no.44
tahun 1950 dengan segala materi muatannya hanya mengambil oper dari UU
no.22 tahun 1948 dengan segala penyesuaiannya. Praktis bahwa isi UU NIT
tersebut sama dengan UU no.22 tahun 1948, kecuali hal-hal seperti :
1. Susunan dan penamaan daerah. UU NIT no.44 tahun 1950memungkinkan
susunan terdiri atas 2 atau 3 tingkatan (tidak harus 3 tingkatan) dengan
nama-nama : Daerah, daerah Bagian, Daerah Anak Bagian.
2. Sebutan resmi untuk DPD adal Dewan Pemerintahan dan keanggotaannya
diambil dari bukan anggota DPRD, demi memperoleh tenaga-tenaga ahli. 3. Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk
(UU no.22 tahun1948 menetapkan 5 tahun).
Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung didalam UU no.22
tahun 1948, yang diambil oper ke dalam UU NIT no.44 tahun 1950, beberapa
prinsip dapat dicatat sebagai berikut :
1. Upaya menghilangkan sifat dualistik didalam UU no.1 tahun 1945 2. Hanya ada satu pemerintahan di daerah, yaitu daerah otonom 3. Titik berat otonomi pada desa
4. Keinginan menghapuskan lembaga dan fungsi pemongpraja
5. Penyerahan urusan pemerintahan sebanyak-banyaknya kepada daerah 2.2.5. Otonomi Daerah Menurut UU No.1 Tahun 1957
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 131-133 UUDS 1950, pada
hakikatnya UU no.1 tahu 1957 memuat hal pokok, yaitu :
1. Di daerah-daerah (besar dan kecil) hanya akan ada satu bentuk susunan
pemerintah, yaitu yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah sendiri sebagai daerah otonom.
2. Kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
UUDS 1950 sebagaimana UUD 1945, telah meletakkan suatu prinsip
bahwa pemerintah daerah harus disusun dengan memperhatikan dasar
permusyawaratan dan perwakilan dalam system pemerintahan Negara.
membuka kemungkinan seluas mungkin bagi partisipasi rakyat daerah dalam
membangun daerahnya.
Mengenai pemberian otonomi seluas-luasnya adalah tetap dalam
kerangka kesatuan republik Indonesia, maka walaupun seluas-luasnya tetap
dalam pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pusat demi keutuhan
Negara Kesatuan. Dari sudut pandang hukum, pembatasan otonomi
seluas-luasnya akan menjelman dalam rumusan peraturan yang :
1. Memberikan wewenang kepada pusat untuk setiap saat menentukan
urusan-urusan pemerintah yang menjadi wewenangnya.
2. Memberikan wewenang kepada pusat untuk menarik kembali atau
mengalihkan urusan rumah tangga daerah menjadi urusan pusat.
3. Memberikan wewenang untuk menolak hasrat suatu pemerintah daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah tertentu.
4. Memberikan wewenang kepada pusat untuk melakukan pengawasan
terhadap pemerintahan daerah baik preventif, represif, maupun dalam
bentuk-bentuk pengawasan lainnya.
Keempat hal itu adalah pembatasan eksterb yang dating dari
pemerintahan pusat, sedangkan pembatasan intern yang dating dari
pemerintahan otonom itu sendiri (self restraint) sekurang-kurangnya ada dua
macam, yaitu :
1. Kemampuan ekonomi daerah, khususnya keuangan daerah.
2. Kemampuan sumber daya manusia (tenaga) baik pemerintah daerah
maupun rakyat di daerah yang bersangkutan.
Semua pembatasan otonomi seluas0luasnya itu tentu saja mempunyai
nilai spiritual dibaliknya sebagai makna pemberian otonomi seluas-luasnya.
Sekurang-kurangnya ada tiga nilai spiritual (makna) yang terkandung dibalik
pemberian otonomi seluas-luasnya adalah :
1. Dari aspek histori pemerintahan Indonesia, dasar dan kebijakan pemberian
otonomi seluas-luasnya kepada daerah dipandang sebagai reaksi terhadap
2. Dari aspek paham kerakyatan, otonomi seluas-luasnya adalah cara untuk
member kesempatan seluang mungkin bagi rakyat setempat mengatur dan
mengurus kepentingan-kepentingannya, yang sudah dapat diduga bahwa
kepentingan yang bercorak local cukup luas, sehingga harus diberi
otonomi yang luas, atau bahkan seluas-luasnya.
3. Dari aspek kebhinekaan, bahwa NKRI bersifat pluralistic dalam berbagai
segi (keyakinan, budaya, kemasyarakatan) yang menampilkan perbedaan
kepentingan, kebutuhan, dan cara pemuasannya. Perbedaan-perbedaan itu
hanya dapat dilayani melalui otonomi yang luas atau seluas-luasnya. UU no.1 tahun 1945 menggunakan sistem rumah tangga formal, UU
no.22 tahun1948 menggunakan sistem rumah tangga materiil, maka UU no.1
tahun 1957 ,menggunakan sistem rumah tangga nyata. Sistem ini dipandang
lebih sesuai untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan UUDS 1950. Dalam hal
ini pembentukan undang-undang memberikan beberapa pertimbangan sebagai
berikut :
1. Sebagai perbaikan terhadap sistem rumah tangga yang pernah digunakan
oleh undang-undang yang lalu.
2. Sistem rumah tangga nyata memberikan peluang pelaksanaan otonomi
luas untuk negara Indonesia yang majemuk karena isi otonomi daerah
didasarkan pada kenyataan yang ada.
3. Sistem rumah tangga nyata mengandung di dalamnya “kelenturan
terkendali”. Daerah-daerah dapat mengembangkan otonomi
seluas-luasnya tanpa mengurangi pengendalian baik dalam rangka bimbingan
maupun untuk menjaga keutuha negara kesatuan.
Akibat dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, maka
diadakan pula penyesuaian susunan pemerintahan daerah dengan susunan
menurut UUD 1945. Dalam rangka itu, sekaligus dilakukan pula
penyempurnaan terhadap UU no.1 tahun1957, melalui penetapan Presiden
no.6 tahun 1959 tanggal 7 November 1959 tentang pemerintahaan daerah.
Berdasarkan penpres tersebut, penyempurnaan dilakukan sekurang-kurangnya
dalam dua hal, yaitu :
1. Menghilangkan dualisme pemerintahan didaerah antara aparatur dan fungsi
otonomi serta aparatur dan fungsi ke pamongprajaan. 2. Memperbesar pengendalian pusat terhadap daerah
Mengenai pengendalian, atau campur tangan pusat terhadap daerah,
dilakukan melalui hal-hal berikut :
1. Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah
2. Kepala daerah sebagai alat pusat diberi wewenang untuk menangguhkan
keputusan DPRD jika dipandang bertentangan dengan GBHN,
kepentingan umum, dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya.
3. Kepala daerah diangkat oleh Presiden untuk daerah tingkat I dan menteri
tingkat II. Presiden atau Menteri Dalam Negeri atas persetujuan Presiden
dapat juga mengangkat kepala daerah diluar calon-calon yang diajukan
oleh DPRD.
2.2.7. Otonomi Daerah Menurut UU no.18 Tahun 1965
UU no.18 tahun 1965 hampir seluruhnya meneruskan
ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam Penpres no.6 tahun 1959 dan Penpres no.5
tahun1960. Kepala Daerah menurut UU no.18 tahun 1965 tidak lagi karena
DPRD dalam menjalankan tugas mempertanggungjawabkannya kepada
Kepala Negara” (pasal8). Kepala Daerah dalam hal ini adalah sebagai alat
pusat. Demikian pusat sepenuhnya mengendalikan daerah.
Selain itu, terdapat juga persamaan antara UU no.1 tahun 1957 dangan
UU no.18 tahun 1965, antara lain :
1. Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah
2. Sistem rumah tangga nyata. UU no.18 tahun 1965 tetap menghendaki
otonomi daerah dilaksanakan dengan sistem rumah tangga nyata, oleh
karena itu hampir seluruh penjelasan UU no.1 tahun 1957 tentang otonomi
nyata dipindahkan menjadi penjelasan UU no. 18 tahun 1965
3. Hanya ada satu macam susunan pemerintahan di daerah, yaitu daerah
otonom. Bahkan ditegaskan pula bahwa sebutan Provinsi, kabupaten,
kecamatan, kotapraja, kotaraja, kotamadya bukan merupakan perwujudan
suatu wilayah administratif. Ini berarti UU no.18 tahun 1965 hanya
menghendaki satu susunan pemerintah daerah, yaitu hanya daerah
otonom, tidak ada wilayah administratif.
2.2.8. Otonomi Daerah Menurut UU No.5 Tahun 1974
UU no.5 tahun 1974 adalah undang0undang tentang pemerintahan
daerah yang pertama lahir setelah ada konsensus nasional untuk melaksanakan
UUD secara murni dan konsekuen. Pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen yabg bertalian dengan pemerintahaan daerah adalah pelaksaan
pasal 18 UUD 1945. Dari rumusan pasal 18 UUD 1945 mengandung tiga
prinsip dasra, yaitu :
1. Prinsip desentralisasi teritorial, yaitu wilayah negara republik Indonesia
akan dibagi-bagi dalam satuan-satuan pemerintahan yang tersusun dalam
daerah besar dan kecil (grondgebied). Dengan demikian UUD 1945 tidak
2. Perintah kepada pembentu undang0undang (Presiden dan DPR) untuk
mengatur desentralisasi teritorial tersebut, harus :
a. Memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara.
b. Memandang dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
bersifat istimewa.
Secara resmi UU no.5 tahun 1974 bernama “undang-undang tentang
pokok-pokok pemerintahan daerah”. Penambahan kata penghubung “di” pada
nama undang-undang ini mempunyai makna terhadap ruang lingkupnya, yaitu
mencangkup semua pemerintahan di daerah. Ada dua pemerintahan didaerah,
yaitu pemerintahan daerah itu sendiri dan pemerintahanpusat yang ada
didaerah yang bersangkutan. Pemerintahan dilaksanakan menurut asa
desentralisasi yang di sebut daerah “otonom”, sedangkan pemerintahan pusat
didaerah dilaksanakan menurut asa desentralisasi yang di sebut “wilayah
administratif”. Pemerintahan wilayah administratif, tidak mempunyai dasar
konstitusional, melainkan dasar extra konsitusional.
Berdasarkan penjelasan umum UU no.5 tahun 1974, sistem rumah
tangga daerah yang digunakan adalah “otonomi yang nyata” tentu sama saja
dengan sistem “otonomi riil” yang dipergunakan pada UU no.1 tahun 1957 dan
UU no.18 tahun 1965. Ada pertimbangan utama untuk meninggalkan prinsip
otonomi seluas-luasnya, yaitu :
1. Pertimbangan demi keutuhan NKRI
2. Pertimbangan otonomi seluas-luasnya tidak sesuai dengan tujuan pemberian
otonomi dan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam GBHN
UU no.5 tahun 1947 tentang pokok-pokok pemerintahan didaerah yang
hanya mengatur mengenai daerah otonom dan wilayah administratif
dipandang tidak dapat menampung perkembangan keadaan. Oleh karena itu,
didalam menghadapi perkembangan keadaan, baik didalm maupun diluar
negri serta tantangan persaingan global yang semakin ketat, dipandang perlu
menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah.
Didalam penjelasan umum UU no.22 tahun 1999 diterangkan bahwa
undang-undang ini disebut “undang-undang tentangpemerintahan daerah”
karena undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan atas
desentralisasi. Penjelasan ini berarti bahwa pembagian kewenangan secara
vertikal yang bertalian dengan sendi negara sentralisasi dan desentralisasi,
khususnya desentralisasi.
Pada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan hanya pada asa
desentralisasi, dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab: 3. Otonomi yang luas maksudnya adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik. 4. Otonomi yang nyata maksudnya adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara
nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang didaerah. 5. Otonomi yang bertanggung jawab maksudnya adalah perwujudan
pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan wewenang
kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban.
Pada tahap selanjutnya Undang Undang otonomi daerah ini mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak kritik dan masukan yang
disampaikan sehingga dilakukan judicial examen terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Dengan terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya Undang Undang otonomi daerah telah mengalami beberapa kali
perubahan setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting namun tidak bersifat substansial
dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah karena hanya berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
2.4. Undang-Undang Otonom Sesudah Amandemen
2.4.1. Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004
Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, disamping karena adanya perubahan Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan beberapa
Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, seperti; Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah; dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang
Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA,
DPR, BPK, dan MA pada sidang tahunan MPR Tahun 2002 dan Keputusan
MPR Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR-RI untuk
menyampaikan saran atas laporan pelaksanaan keputusan MPR-RI oleh
Presiden, DPR,BPK dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003.
Perubahan ini juga memperhatikan perubahan Undang-undang terkait
dibidang politik, diantaranya ; Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang
Pemilu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR,DPR DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan lain-lain.
Ada pun isi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
sebagai berikut :
Ayat 2 Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
daerah dan DPRD menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat 5 Otonomi daerah adalah hak, wewenang,dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dentgan peraturan
perundangundsnagan.
Ayat 6 Daerah otonomi,selanjutnaya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 2
Ayat 1 Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang
masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.
Ayat 2 Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
Ayat 3 Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Tentang Pembentukan Daerah Pasal 4
Ayat 1 Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditetapkan dengan undangundang.
Ayat 2 Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota,
kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan
penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan
kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat
daerah.
Ayat 3 Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah
atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu
daerah menjadi dua daerah atau lebih.
Ayat 4 Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah
mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 5
Ayat 1 Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus
memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Ayat 2 Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi
Menteri Dalam Negeri.
Ayat 3 Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota
dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi
dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Ayat 4 Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor
yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor
kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain
yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Ayat 5 Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling
sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan
paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan
4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota,
sarana, dan prasarana pemerintahan.
Hak dan Kewajiban Daerah
Untuk melaksanakan kewenangannya dalam rangka penyelenggaraan
otonomi, daerah mempunyai hak (Pasal 21), yaitu:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur daerah;
d. mengelola kekayaan daerah;
f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah, yaitu meliputi: politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama
(Pasal 10 ayat (1) dan (3)). Urusan pemerintahan daerah dibagi menjadi urusan
wajib dan urusan pilihan. Urusan Wajib adalah urusan yang sangat mendasar
yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara. Sedangkan
Urusan Pilihan adalah urusan yang secara nyata ada didaerah dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah.
Pasal 22 Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2.4.2. Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 12 Tahun 2008
Selanjutnya dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diubah sebagai berikut :
Pasal 26
Ayat 1 Wakil kepala daerah mempunyai tugas :
a. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah;
f. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
Ayat 2 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah
Ayat 3 Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya.
bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Ayat 5 Untuk mengisi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari calon perseorangan dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Ayat 6 Dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik karena meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
dengan dikeluarkannya UUD no.48 tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah yang seluas-luasnya, akan tetapi seiring berjalannya waktu muncul anggapan dengan prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya tersebut dapat mengganggu kestabilan negara sebagai bentuk Negara Kesatuan.
Undang-undang no.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan didaerah. Seperti undang-undang yang sebelumnya undang-undang tentang pemerintahan daerah ini berasaskan desentralisasi dengan berprinsipkan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Akan tetapi dalam pelaksanaannya otonomi daerah dalam kurun waktu era orde baru otonomi daerah ini cendrung sentralistik dibawah sistem pemerintahan yang otoriter, sehingga prinsip demokrasi dalam kelangsungannya tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Era reformasi terbentuklah undang-undang no.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, namun dalam undang-undang ini cendrung menerapkan sebuah konsep pemerintahan yang bersifat federalis, sehingga banyak kalangan yang menolak diberlakukannya undang-undang tersebut karena bertentangan dengan bentuk Negara Kesatuan dan berharap adanya undang-undang yang baru, dengan seiring pemberlakuan undang0undang no.22 tahun 1999 yang penuh dengan pergolakan dikerenakan dibuat dalam kurun waktu yang relatif singkat dimana dalam masa transisi pemerintahan, UUD 1945 juga mengalami beberapa perubahan atau amandemen.