• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI TAHANAN SEBAGAI BAGIAN PROGRAM PERAWATAN TAHANAN DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI TAHANAN SEBAGAI BAGIAN PROGRAM PERAWATAN TAHANAN DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI TAHANAN SEBAGAI BAGIAN PROGRAM PERAWATAN TAHANAN

DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG Oleh

ANDREW CARLOS ALAMANZO

Penahanan merupakan salah satu bentuk pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang tersangka pelaku tindak pidana. Agar penahanan tersangka pelaku tindak pidana tidak termasuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia, maka KUHAP mengatur secara ketat penahanan tersangka. Salah satu hak tersangka dalam masa penahanan adalah mendapatkan pendidikan dan pengajaran

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung? (2) Apakah faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari pihak Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

(2)

Andrew Carlos Alamanzo

tahanan, yaitu kesulitan dalam menyampaikan berbagai materi pengajaran dan pendidikan kepada tahanan, hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan para tahanan yang pada umumnya berpendidikan rendah dan kepribadian tahanan yang tidak stabil sehingga menghambat materi pengajaran dan pendidikan yang disampaikan petugas kepolisian

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan terhadap tahanan pada Polresta Bandar Lampung hendaknya lebih ditingkatkan dan sarana prasarana berupa buku-buku panduan bagi para tahanan hendaknya disediakan secara memadai sehingga proses pembelajaran kepada para tahanan akan menjadi lebih maksimal. (2) Tahanan Polresta Bandar Lampung hendaknya melakukan berbagai kegiatan yang diprogramkan dengan penuh kesadaran dan keseriusan, sebab upaya ini ditempuh untuk memudahkan proses integrasi ke tengah-tengah masyarakat apabila tahanan telah melalui proses hukum dan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan untuk kembali berintegrasi dalam kehidupan sosial.

(3)
(4)

PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI TAHANAN SEBAGAI BAGIAN PROGRAM PERAWATAN TAHANAN

DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG (Skripsi)

Oleh

ANDREW CARLOS ALAMANZO

2011117

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teori dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 13

II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan ... 15

B. Pengertian dan Hak-Hak Tersangka... 18

C. Penegakan Hukum Pidana dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya... 20

D. Sistem Peradilan Pidana ... 26

III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Masalah ... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penenentuan Narasumber ... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

E. Analisis Data ... 35

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Karakteristik Narasumber ... 36

(6)

C. Faktor-Faktor yang Menghambat Pelaksanaan Pendidikan dan

Pengajaran Bagi Tahanan di Polresta Bandar Lampung ... 57

V PENUTUP ... 60

A. Simpulan ... 60

B. Saran ... 61

(7)
(8)
(9)

MOTO

Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakanlah. Dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.

- Q.S. Al-Hasyr : 7

Jadikanlah shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.

- Q.S 2 : 45

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.

(10)

PERSEMBAHAN

Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat hidayah-Nya dan dengan segala kerendahan hati,

Kupersembahkan Karya Kecilku ini kepada :

Kedua Orang Tua Tercinta, Bapak (Hafriza Burhan)

Ibu (esther),

Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukungku, terima kasih untuk semua kasih sayang dan cinta luar biasa sehingga aku bisa

menjadi seseorang yang kuat dan konsisten kepada cita-cita

Adik (Geraldo Marcelino) dan Adik (Michael Alvaro) sepupu (Giadi.Alesandrro,fabio , endrico,yudhistira,bob,kasih vicky, terry

(alm),Harold kevin ,arnold,Nandito fabricio)

tersayang yang selalu mendampingi dan membantuku dalam segala hal, Tumbuh besar dalam suatu keluarga membuatku kuat dan mengerti

akan arti hidup sesungguhnya

Seluruh keluarga besar yang memotivasi dan memberikan doa untuk keberhasilanku

Almamater tercinta Universitas Lampung

(11)
(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan baik. Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan

skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan

kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Tetapi dengan adanya keterlibatan

berbagai pihak yang telah memberikan doa, bantuan, dorongan, bimbingan,

petunjuk, kritik dan saran, akhirnya penulis dapat melalui semuanya dengan baik.

Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih

sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Hi. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Hi. Yuswanto, S.H., M.H., selaku PD 1 Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung

5. Ibu Dr, Erna Dewi S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah bersedia

membantu, mengkoreksi dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi

(13)

6. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah

bersedia meluangkan waktunya membantu, mengkoreksi dan memberi

masukan agar terselesaikannya skripsi ini.

7. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H; selaku Pembahas I yang selalu membantu dan

membahas skripsi saya serta untuk selalu mengoreksi skripsi saya selama ini.

8. Ibu Dona Raisa Monica, SH., MH, selaku Pembahas II yang tiada henti

membantu saya sampai saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

ilmu dan pengetahuan kepada penulis yang kelak akan sangat berguna bagi

penulis, serta seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

10.Kedua orang tuaku, Bapak Hafriza Burhan Bsc. SH dan Ibu Esther yang

sangat kucintai, kusayangi dan kuhormati, terima kasih atas doa, dukungan,

motivasi serta pengorbanan luar biasa yang selama ini diberikan demi

kesuksesan dan keberhasilan anaknya. Semoga hati kita selalu dipersatukan

sebagai suatu keluarga.

11.Adik Geraldo Marcelino dan Adik Michael Alvaro terima kasih atas motivasi

tiada henti, serta memberikan tamparan semangat yang sangat berarti,

dukungan dan kasih sayang dengan penuh kesabaran selama ini.

12.Untuk Omaku tercinta Ibu Frida Jillian Kessel dan Ibu Hj Hafsah

nasution(Alm) dan Opa ku tercinta Mahidin Tjeknang (Alm) dan Hi Burhan

Haki (Alm) serta keluarga besar dari pihak Bapak dan Ibu, yang selalu

(14)

13.Sahabat terbaikku Erwan Andri yusta, Erwin Andri yusta ,Padli achmad,

Redick geriyanto, Iban, Okem, Boggi, Eric Rey, Erik Arnando Edwin

setiawan, Aong, Hari, Rudi, Fajar putra, Rino, Herriansyah, Muhammad Reza,

Arnansyah Novan ,Aditya Agus Pramuji, Rahmad Syahrial, Martin Pranata,

Defri nico, Onki prianto, Didi ghazali, Abdu rs, Odang, Ardi, Yoga Anggara,

Hidayat,Tyo saezar, Fitri Ndoy, Tiara Zulfa , Risda Idfira, Metacecah. yang

menjadi teman berbagi di segala keadaan.

14.Rekan-rekan seperjuangan, Ibnu Sina Fahturahman, Ghea Eliana Abrar, Junisa

Harahap, Lirta Amalia, Raysa Andayu Putri, Dahliana, Zevina Zoravianda,

Ola Meria Amalia, Sylvia Widya Chandra, Chairinta Bunga, Aisha Andiarina,

Linda Susilawati, Vega Sarlita, Rizky Putri, Diah Ayu Sartika, Windy Astria,

Rizella Ananda, Devy Citra, Lia Novira Amir, Ockta, Faiz Nadiyansyah,

Ridho Dinilhaq, M. Ade Damara kp, Herri Alvavera, Rommi Primatama,

Thomson, Rendi Rinaldi, Apriansyah Rinaldo, Agam, Mamanda, reydi, Ibnu

farhan, M Agung maulido, Moch Riski Christian Kartono, Agus Taufik,

Taufik Ardiansyah, Evryanto, Erdit Tj, Achmad Rojali (Alm), Riza Ghazali,

Oddi Yuranda, serta seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Hukum

Universitas Lampung, terima kasih atas waktu dan bantuan kalian semoga kita

semua menjadi orang yang berguna bagi Bangsa dan Negara.

15.Keluarga Kecilku “Kreasi Otak Gue “ (K O G) Lampung yang selalu berdiri

disampingku.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

(15)

Semoga segala kebaikan dapat diterima sebagai pahala oleh Allah SWT. Penulis

menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karena kesempurnaan hanya

milik Allah dan kesalahan adalah milik penulis, akan tetapi sedikit harapan

semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya,

khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu

pengetahuan. Semoga skripsi ini kedepannya akan bermanfaat. Semoga Allah

SWT meridhoi segala langkah hidup kita.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis

(16)
(17)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka.

Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan

secara efektif dan efisien kepada tersangka dan sebagai tindakan untuk memenuhi

prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

sederhana, bebas dan biaya ringan. Ketentuan tentang penempatan tahanan

menentukan bahwa sebelum ada Rutan maka penahanan dapat dilakukan di

tempat tertentu misalnya kantor polisi, kejaksaan dan pengadilan.

Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan, “Dalam menjalankan hak

dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan

oleh undang-undang dengan maksud semata-semata untuk menjamin pengakuan

serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi

tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan

ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 tersebut jika ditafsirkan secara negatif

mengandung arti, bahwa setiap pembatasan terhadap hak dan kebebasan

(18)

2

maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis, merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (selanjutnya

disingkat HAM).

Salah satu bentuk pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang adalah

penahanan tersangka pelaku tindak pidana. Agar penahanan tersangka pelaku

tindak pidana tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM, maka sejalan

dengan ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang disebut Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) mengatur secara ketat

penahanan tersangka.

Pasal 20 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penahanan atau penahanan lanjutan

terhadap tersangka hanya untuk kepentingan penyidikan. Selanjutnya Pasal 21

Ayat (1) disebutkan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menibulkan kekhawatiran bahwa

tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau

mengulangi tindak pidana.

Penjelasan KUHAP menentukan bahwa setiap oang yang disangka, ditangkap,

ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap

tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya

(19)

3

Berdasarkan ketentuan KUHAP dan penjelasannya tersebut maka diketahui

bahwa seorang tersangka yang ditahan bukanlah orang yang bersalah melainkan

karena kepentingan penyidikan menghendakinya. Oleh karena itu terhadap

tersangka yang ditahan, pejabat yang berwenang melakukan penahanan wajib

memberikan perawatan terhadap tersangka yang ditahan tersebut.

Berkaitan dengan perawatan tahanan, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung jawab Perawatan Tahanan

(selanjutnya disingkat PP Nomor 58 Tahun 1999) menentukan:

(1) Wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan di Rutan/Cabang Rutan ada pada Menteri dan dilaksanakan oleh Kepala Rutan/Cabang Rutan.

(2) Dalam hal Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tertentu ditetapkan oleh Menteri sebagai Rutan, maka wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan, oleh Kepala Lapas/Cabang Lapas yang bersangkutan.

(3) Dalam hal tahanan yang di tempatkan di tempat tertentu yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan, maka wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan ada pada Menteri dan dilaksanakan oleh pejabat yang memerintahkan penahanan.

Berdasarkan ketentuan di atas maka diketahui bahwa penahanan tersangka di sel

Kantor Kepolisian yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan dapat

dikategorikan sebagai penempatan tahanan di tempat tertentu yang belum

ditetapkan sebagai Cabang Rutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3)

PP Nomor 58 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) PP Nomor 58 Tahun

1999, terhadap tersangka yang ditahan yang di sel kantor kepolisian, maka

wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan dilaksanakan oleh

(20)

4

Salah satu institusi Kepolisian yang menempatkan tahanan di sel Kantor

Kepolisian yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 Ayat (3) PP Nomor 58 Tahun 1999 adalah Kepolisian Resor Kota

(selanjutnya disingkat Polresta) Bandar Lampung. Hal ini berarti wewenang, tugas

dan tanggung jawab perawatan tahanan yang di tempatkan di sel Polresta Bandar

Lampung dilaksanakan oleh penyidik Polresta Bandar Lampung sebagai pejabat

yang memerintahkan penahanan.

Salah satu bentuk perawatan tahanan yang diatur dalam Pasal 20 PP Nomor 58

Tahun 1999 adalah Hak Tahanan untuk mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran

sebagai berikut:

(1) Bagi tahanan dapat diberikan kesempatan mengikuti pendidikan dan pengajaran.

(2) Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat berupa:

a. Penyuluhan hukum;

b. Kesadaran berbangsa dan bernegara; dan

c. Lainnya sesuai dengan program perawatan tahanan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 20 PP Nomor 58 Tahun 1999, maka

pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan yang di tempatkan di sel

Markas Polresta Bandar Lampung dilakukan oleh penyidik Polresta Bandar

Lampung.

Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan pada dasarnya adalah upaya

yang dilakukan oleh negara dalam memenuhi hak-hak tahanan. Penyidik yang

berinteraksi langsung dengan tahanan mempunyai kewajiban moral untuk

merubahnya menjadi manusia yang bisa menyadari kesalahannya sendiri dan mau

(21)

5

bimbingan dan pengawasan yang bersifat persuasi edukatif yaitu berusaha

merubah tingkah laku melalui keteladanan kepada tahanan sehingga menggugah

hatinya untuk melakukan hal-hal terpuji, menempatkan tahanan sebagai manusia

yang memiliki potensi dan memiliki harga diri dengan hak-hak dan kewajibannya

yang sama dengan manusia lain.

Permasalahan yang terjadi dalam kaitannya dengan pendidikan dan pengajaran

bagi tahanan adalah adalah secara ideal seorang tersangka maupun narapidana

yang telah menjalani proses pendidikan dan pengajaran oleh aparat penegak

hukum dalam sistem peradilan pidana dan telah dinyatakan bebas untuk kembali

berintegrasi dengan masyarakat, maka seharusnya ia tidak akan melakukan

kejahatan atau tindak pidana lagi karena ia telah mendapatkan pembinaan

keagamaan dan kesadaran hukum. Pada kenyataannya seorang narapidana masih

berpotensi mengulangi kejahatannya kembali dan menjadi seorang residivis. Hal

ini dapat disebabkan masih buruknya stigma masyarakat terhadap mantan

narapidana, sehingga ia merasa terkucilkan dari pergaulan masyarakat dan

berpotensi kembali mengulangi kejahatannya, sebagai bentuk kekecewaannya

pada masyarakat yang tidak mau menerima kehadirannya sebagai mantan pelaku

kejahatan yang pernah ditahan atau menjalani hukuman.

Pendidikan dan pengajaran bagi tahanan dalam konteks ini mempunyai peranan

yang besar dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, karena diharapkan

dapat membimbing seseorang yang telah melakukan pelanggaran hukum dan

menjalani hukuman untuk dapat mencapai reintegrasi, yaitu pemulihan kesatuan

(22)

6

Untuk mencapai tujuan di atas, harus ditunjang oleh adanya partisipasi dari

tersangka itu sendiri, berupa adanya kemauan atau tekad akan perbaikan atas

dirinya serta menyesali perbuatannya. Masyarakat di lain pihak hendaknya mau

menerima mantan pelaku kejahatan dan tidak mengasingkannya. Menerimanya

dalam arti mengarahkan agar bertingkah laku dengan baik, dan bukan selalu

mencurigainya. Sebab pembinaan narapidana akan berhasil dengan baik apabila

ada kerjasama antara aparat penegak hukum dan masyarakat luas.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melaksanakan penelitian dan

menuangkan ke dalam Skripsi yang berjudul: “Pelaksanaan Pendidikan dan

Pengajaran Bagi Tahanan sebagai Bagian Program Perawatan Tahanan di

Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah maka permasalahan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di

Polresta Bandar Lampung?

b. Apakah -faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi

tahanan di Polresta Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada pelaksanaan pendidikan

(23)

7

bentuk perawatan tahanan. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah di Polresta

Bandar Lampung dan waktu penelitian dilaksanakan pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas pemahaman tentang

permasalahan yang telah ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di

Polresta Bandar Lampung.

b. Untuk mengetahui faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan

pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Setelah penelitian ini dilaksanakan dan mendapat hasil maka penulis mempunyai

harapan akan dapat memberikan masukan terhadap dunia akademik maupun dunia

praktis sebagai berikut:

a. Secara teoritis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam

rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum

nasional, terutama hukum acara pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan

perawatan tahanan penahanan.

b. Secara Praktis, penelitian ini berguna sebagai bahan informasi dan acuan untuk

mahasiswa dan instansi terkait yang diharapkan akan timbul rasa tanggung

(24)

8

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

a. Teori Tujuan Pemidanaan

Terdapat tiga teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, yaitu:

1) Teori Absolut atau pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah

melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu

pembalasan yang mutlak dari suatu perbuatan tindak pidana tanpa tawar

menawar. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas dalam

pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pidana tidak pernah

dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau

kebaikan masyarakat. tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang

yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Hal ini harus dilaksanakan

karena setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatanya dan perasaan

balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila

tidak demikian mereka sernua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil

bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan

umum. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa menurut

teori absolut atau pemba1asan ini pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan

hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi mutlak menjadi suatu keharusan

kerana hakekat dan pidana adalah pembalasan.1

1

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori Kebijakan Hukum Pidana. Alumni, Bandung.

(25)

9

2) Teori Relatif atau Tujuan

Tujuan pidana bukanlah sekedar rnelaksanakan pembalasan dari suatu

perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam

arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat,

melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan.

Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhk:an pidana

saja, sehingga dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini

adalah terletak pada tujuannya.

Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi

khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general prevention),

prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga

pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi

tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti

telah dikenal dengan rehabilitation theory. Ada tiga bentuk pengaruh dalam

pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk

memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu

kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. 2

3) Teori Integratif atau Gabungan

Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu

tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya

tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana

diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan

2Ibid

(26)

10

masyarakat. Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping

sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan

baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat.

Timbulnya teori gabungan atau aliran integratif ini karena adanya berbagai

kelemahan pada teori pembalasan dan teori tujuan. Menurut Binding

kelemahan-kelemahan terdapat pada teori pembalasan adalah terlalu sulit

untuk menentukan berat ringannya pidana diragukan adanya hak negara untuk

menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, pidana pembalasan tidak bermanfaat

bagi masyarakat. Dalam teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah

kejahatantan sehingga dijatuhkan pidana yang berat oleh teori pencegahan

umum maupun teori pencegahan khusus, jika ternyata kejahatan itu ringan,

maka penjatuhan pidana yang berat tidak akan memenuhi rasa keadilan bukan

hanya masyarakat tidak puas tetapi juga penjahat itu sendiri. 3

b. Penahanan dan Hak-Hak Tersangka

Penahanan merupakan tindakan penghentian kemerdekaan sebagai hak asasi

manusia yang dimiliki oleh setiap orang. KUHAP sebagai hukum acara pidana

yang berlaku di Indonesia saat ini menjunjung tinggi HAM, karena itu KUHAP

memberikan pembatasan waktu penahanan. Jika waktu itu dilampaui, maka

pejabat yang melakukan penahanan wajib mengeluarkan tahanan demi hukum”.4

Menurut M. Yahya Harahap, “Landasan penahanan meliputi dasar hukum,

keadaan, serta syarat-syarat yang memberi kemungkinan melakukan tindakan

3Ibid

. 1984. Hlm.34.

4

Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984,

(27)

11

penahanan antara yang satu dengan yang lain dari dasar tersebut, saling menopang

kepada unsur yang lain. Sehingga kalau salah satu unsur tidak ada, tindakan

penahanan kurang memenuhi asas legalitas meskipun tidak sampai di kualifikasi

sebagai tindakan yang tidak sah (ilegal).”5

Penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu

perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Setiap

penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang secara tegas

dinyatakan dalam Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau

Lapas/cabang lapas di tempat tertentu merupakan rangkaian proses pemidanaan

yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan dengan proses

penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang pengadilan serta pelaksanaan

putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan. Proses pemidanaan tersebut

dilaksanakan secara terpadu dalam Integrated Criminal Justice System. Perawatan

tahanan di Rutan/Cabang Rutan atau Lapas/Cabang Lapas atau di tempat tertentu

bertujuan antara lain untuk:6

a. Memperlancar proses pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun pada tahap peruntutan dan pemeriksaan dimuka pengadilan.

b. Melindungi kepentingan masyarakat dari pengulangan tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan, atau

c. Melindungi si pelaku tindak pidana dari ancaman yang mungkin akan dilakukan oleh keluarga korban atau kelompok tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan.

5

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta,

2009. hlm. 165.

6

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan

(28)

12

Hak tahanan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini ditekankan pada hak

kodrati yang dimiliki oleh setiap orang dan pelaksanaannya dilakukan dengan

memperhatikan statusnya sebagai tahanan dan satu-satu hak yang hilang adalah

hak untuk hidup bebas. Oleh karena itu perawatan tahanan harus dilakukan sesuai

dengan program perawatan tahanan dengan memperhatikan tingkat proses

pemeriksaan perkara. Kewajiban tahanan untuk secara tertib mengikuti

program-program perawatan adalah bersifat fakultatif yang tidak bersifat memaksa.

Kewajiban tersebut semata-mata untuk memberikan manfaat yang

menguntungkan bagi dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan sehingga

perasaan stres, bosan dan putus asa dapat dilalui secara baik.

Darwan Prinst7, mengemukakan “hak-hak tersangka/terdakwa yang diatur dalam

KUHAP, sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia, akan tetapi oleh

karena perumusannya lemah seringkali hal ini menjadi nihil. Oleh karena itu ada

kemungkinan bahwa KUHP harus direvisi untuk tidak memberi peluang atas

pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa. Pelaksanaan suatu undang-undang

ditentukan oleh kualitas, moral dan etika para pelaksananya”.

2. Konseptual

Konseptual adalah kumpulan dari berbagai teori yang dihubungan satu sama lain

untuk dapat memberikan suatu gambaran atas suatu fenomena.8 Konseptual

sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

7

Darwin Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm.5.

8

(29)

13

a. Pelaksanaan adalah proses melaksanakan atau melakukan suatu kegiatan/

program berdasarkan perencanaan guna mencapai hasil atau tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya9

b. Pendidikan dan pengajaran adalah kegiatan memberikan materi atau nilai-nilai

tertentu kepada peserta didik melalui proses pengajaran yang sistematis atau

terprogram untuk mencapai hasil10

c. Perawatan tahanan adalah proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan mulai

dari penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan dari Rumah Tahanan

Negara (Rutan)11

d. Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang di tempatkan dalam

Rutan/Cabang Rutan atau di tempat tertentu. 12

e. Kepolisian menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah institusi yang melaksakan tugas

mewujudkan keamanan dalam negeri, meliputi terpeliharanya keamanan dan

ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan para pembaca memahami skripsi ini , maka penulisan skripsi

ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

9

Solihin Abdul Wahab. Kebijakan Publik. Rajawali Press. Jakarta. 2006.hlm.43

10

Sanjaya Wina. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. 2007.hlm.12

11

Darwin Prinst, Op cit, hlm.7.

12

(30)

14

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,

Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan

dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian penahanan dan permasalahan

di sekitar penahanan, pengertian dan hak-hak tersangka, sistem peradilan

pidana dan penegakan hukum pidana.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan

Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur

Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

terdiri dari pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan dan

faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran

bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan

pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan

(31)

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan

1. Pengertian Penahanan

Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa di

tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan

penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan ketentutan di atas terlihat bahwa substansi dari pengertian penahanan

ialah menempatkan sesorang di tempat tertentu. Menurut Andi Hamzah

penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan.1 Hal ini

senada dengan pendapat Lamintang yang mengatakan bahwa Penahanan pada

dasarnya adalah suatu tindakan yang membatasi kebebasan kemerdekaan

seseorang.2 Seseorang di sini bukanlah setiap orang melainkan orang-orang yang

menurut undang-undang dapat dikenakan penahanan. Orang yang menurut

undang-undang dapat dikenakan penahanan berdasarkan pasal di atas ialah

seorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa.

1

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

2001. hlm. 19

2

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung.

(32)

16

Berbeda dengan bentuk perampasan kemerdekaan yang lain yaitu penangkapan

yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik saja maka penahanan dapat dilakukan

oleh pejabat yang berwenang dalam setiap jenjang tahapan sistem peradilan

pidana. Pada tahap penyidikan penyidik dapat melakukan penahanan, dalam tahap

penuntutan penuntut umum dapat melakukan penahanan dan tahap pemeriksaan di

Pengadilan mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (Pengadilan

Banding) dan Mahkamah Agung (Pengadilan Kasasi), hakim dapat melakukan

penahanan yang lamanya telah diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 29 KUHAP.

Sebagai bentuk perampasan kemerdekaan penahanan seperti halnya penangkapan

pada prinsipnya bertentangan dengan hak kebebasan bergerak yang merupakan

hak asasi manusia yang harus dihormati. Oleh karena itu demi kepentingan umum

penahanan dapat dilakukan dengan persyaratan yang ketat.

Persyaratan yang ketat tersebut dapat dilihat pada alasan untuk melakukan

penahanan. Alasan penahanan yang bersifat subjektif yaitu alasan penahanan yang

digantungkan pada pandangan/penilaian pejabat yang menahan terhadap tersangka

atau terdakwa. Alasan ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) di mana pejabat yang

berwenang menahan dapat menahan tersangka/terdakwa apabila menurut

penilaiannya si tersangka/terdakwa di kwatirkan hendak melarikan diri,

menghilangkan barang bukti serta dikuatirkan mengulangi tindak pidana lagi.

KUHP selain mengatur alasan penahanan yang bersifat subjektif, juga mengatur

alasan penahanan yang bersifat objektif dalam Pasal 21 Ayat (4). Alasan

penahanan objektif yaitu alasan penahanan yang didasarkan pada jenis tindak

(33)

17

tidak semua tindak pidana dapat dikenakan penahanan terhadap tersangka atau

terdakwa. Adapun tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan yaitu tindak

pidana yang ancaman pidananya maksimal 5 ke atas serta tindak pidana

sebagaimana disebutkan secara limitatis dalam Pasal 21 Ayat (4) sub d.

2. Permasalahan disekitar Penahanan

Pada prinsipnya penahanan merupakan pembatasan terhadap kebebasan seseorang

yaitu kebebasan bergerak di mana hal ini merupakan salah satu hak asasi manusia

yang harus dihormati. Berdasaarkan prinsip hak asasi manusia tersebut maka

perampasan kemerdekaan dapat dilakukan apabila didasarkan pada hukum yang

berlaku. Oleh karena itu pada prinsipnya pengaturan tentang kewenangan

penahanan hendaknya didasarkan pada landasan filosofis bahwa kemerdekaan

seseorang adalah merupakan hak asasi manusia yang mendasar, yang tidak dapat

dikurangi dibatasi oleh siapapun dalam bentuk apapun (non derogable rights).

Berdasarkan landasan filosofis tersebut maka tepatlah kalau KUHAP memandang

penahanan bukanlah suatu keharusa (imperatif) melainkan suatu kebolehan

(fakultatif) yaitu penahanan boleh dilakukan asal memenuhi syarat yang

ditentukan oleh undang-undang. 3

Praktiknya ternyata apabila terpenuhi syarat objektif pada umumnya pejabat yang

berwenang selalu menggunakan haknya untuk menahan, seolah-olah penahanan

merupakan suatu keharusan. Melihat uraian di atas seandainya ada faktor yang

dapat menghilangkan alasan penahanan hendaknya jangan digunakan kewenangan

tersebut. Misalnya apabila ada pihak yang menjamin seorang tersangka/terdakwa

3

(34)

18

akan kooperatif untuk dilakukan pemeriksaan, menjamin bahwa tersangka/

terdakwa tidak akan melarikan diri, menjamin tidak akan menghilangkan barang

bukti, menjamin untuk tidak mengulangi tindak pidana lagi sebaiknya

kewenangan untuk melakukan penahanan tidak perlu digunakan. KUHAP telah

memberikan instrumen kepada tersangka atau terdakwa berupa hak untuk

mengajukan penangguhan penahanan.

Penangguhan penahanan dapat dikemukan alasan untuk kooperatif terhadap

pemeriksaan yang pada pokoknya menghilangkan penilaian subjektif dari pejabat

yang menahan bahwa tersangka dikuatirkan melarikan diri, mengulangi tindak

pidana lagi, dan menghilangkan barang bukti. Terhadap jaminan berupa orang

maka orang yang menjamin harus bisa meyakinkan pejabat yang menahan bahwa

tersangka akan kooperatif. 4 Apabila pejabat yang berwenang menahan merasa

kwatir kalau tersangka/terdakwa hendak melarikan diri, menghilangkan barang

bukti dan mengulangi tindak pidana lagi serta tindak pidana yang dilakukan

merupakan tindak pidana yang dapat ditahan dan tidak ada alasan yang dapat

menegasikan kekuatiran maka pejabat tersebut boleh menggunakan

kewenangannya untuk melakukan penahanan.

B. Pengertian dan Hak-Hak Tersangka

Pengertian tersangka dapat di ketemukan dalam Pasal 1 butir yang menentukan

bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Berdasarkan pengertian ini dapat dijelaskan bahwa dasar untuk menetapkan

4

(35)

19

seseorang menjadi tersangka adalah adanya bukti permulaan yang cukup yang

mengarah kepada perbuatan seorang tersebut ataupun suatu keadaan yang

mengarah kepada orang tersebut.

Penjelasan Pasal 17 KUHAP memberikan penjelasan tentang bukti permulaan

yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Namun

KUHAP tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud bukti permulaan untuk

menduga adanya tindak pidana. Ada dua pandangan untuk menentukan apa yang

dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Pertama, dikatakan ada bukti

permulaan yang cukup apabila telah terpenuhinya minimum dua alat bukti.

Kedua, apabila ada barang bukti dan kesaksian. Untuk pandangan yang pertama

didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang menentukan seseorang dapat dipidana

dengan sekurang-kurangnya didasarkan pada dua alat bukti yang sah dan

keyakinan hakim.

Pasal 184 KUHAP menentukan secara limitatif disebutkan alat bukti yang dapat

digunakan sebagai dasar pembuktian kesalahan tersangka yaitu: 1. Keterangan

Saksi, 2. Keterangan Ahli, 3. Surat, 4. Petunjuk, 5. Keterangan terdakwa.

Minimum dua alat bukti dapat muncul dari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.

Sebagai orang yang patut diduga maka seorang tersangka adalah seseorang yang

belum tentu bersalah, oleh karena itu seorang tersangka yang ditahan harus

diberikan hak-haknya sesuai hak yang melekat pada diri seorang manusia. Hal ini

(36)

20

seseorang tidak boleh dikatakan sebagai orang yang bersalah sebelum ada

keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.5

Realisasi terhadap pelaksanaan asas praduga tak bersalah maka KUHAP

merumuskan beberapa hak bagi tersangka. Hak-hak tersebut tersebar di dalam

pasal – pasal KUHAP antara lain:

a. Hak untuk mendapat bantuan hukum mulai dari tingkat penyidikan sampai

pemeriksaan di pengadilan;

b. Hak untuk mengajukan saksi yang meringankan;

c. Hak untuk mendapatkan turunan berita acara pemeriksaan;

d. Hak untuk berhubungan dengan penasihat hukumnya, keluarganya.

e. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran; 6

Hak-hak yang diberikan kepada tersangka di atas adalah menunjukkan bahwa

tersangka adalah orang yang belum tentu bersalah. Melalui penggunaan hak-hak

tersebut tersangka dapat mengajukan pembelaannya untuk membuktikan bahwa

dirinya adalah orang yang tidak bersalah

C. Penegakan Hukum Pidana dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan

hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila

berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan

dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di

dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai

5

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23

6

(37)

21

pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan

untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana7

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaraan penegakan hukum

pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi

sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan

yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut

masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang

melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui

penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan

hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban

kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan

mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.8

7

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan

Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm.76.

8

(38)

22

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana

materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, namun

demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks

sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan

kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan

demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran

yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang

bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Pandangan penyelenggaraan tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai

model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang

yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan

meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan

penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak

menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan

dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime

control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa

tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 9

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana

substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam

bentuk yang bersifat preventif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan

nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana

yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

9

(39)

23

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut

Muladi yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat

diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari

proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan

penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka

atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar

penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.10

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap

batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku

kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk

mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar

pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum

dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk

disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem

peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai

dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang

menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan

perlindungan hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan

ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan

undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan

10

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,

(40)

24

bertanggungjawab. Semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum

dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di

dalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling interrelasi dan mempengaruhi.

Artinya penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan

antara satu dengan yang lainnya, karena saling berkaitan dan mempengaruhi.

Penegakan hukum pada dasarnya bukan semata-mata pelaksanaan

perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu

sebagai berikut11:

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan

kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya

berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang

kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

(2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas

atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan

hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa

kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran

adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap

11

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta.

(41)

25

lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa,

terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan

hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin

menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan

hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan

penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi

kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan

hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat,

maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

(5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.

Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan

nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin

banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan

kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

(42)

26

bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk

melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.

D. Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban

kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan

mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 12

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana

materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun

demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks

sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan

kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan

demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran

yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang

bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 13

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum

pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi

sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

12

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan

Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994. hlm. 12-13

13

(43)

27

lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan

yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut

masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana

substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam

bentuk yang bersifat preventif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan

nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana

yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Sistem peradilan pidana merupakan arti seperangkat elemen yang secara terpadu

bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti

gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain

berada dalam ketergantungan. Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk

pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai

institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem penegakan hukum semata-mata.

a. Pendekatan administratif

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum

sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik

(44)

28

dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem

yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

b. Pendekatan sosial

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga

masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau

ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam

melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial. 14

Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup

praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerja sama

membentuk suatu integrated criminal justice system.

Integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan

keselarasan yang dapat dibedakan dalam:

a. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka

hubungan antar lembaga penegak hukum.

a. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat

vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

b. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati

pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh

mendasari jalannya sistem peradilan pidana.15

14

Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 6

15Ibid

(45)

29

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen

dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Oleh karena

peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal

(criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum

pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari

penegakan hukum. Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan

pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai the network of court and

tribunals which deal with criminal law and it enforcement. (jaringan peradilan

pidana dalam mekanisme hukum pidana dan penegakan hukum) 16

Keselarasan dan keterkaitan antara subsistem yang satu dengan yang lainnya

merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu

subsistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya.

Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu

subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada subsistem lainnya.

Keterpaduan antara subsistem itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistem

menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu

komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa

diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik

sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu

bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti

16Ibid

(46)

30

gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain

berada dalam ketergantungan. 17

Setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan,

proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan

dan lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini pendekatan pengembangan

terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah

meningkatnya diferensiasi internal dari keempat unsur dasar sistem hukum

tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan

penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat

terhadap unsur-unsur dasar tersebut. 18

Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan

berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek

adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum

pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka

menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum

pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana

pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan

politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.19

17

Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 9

18Ibid

. hlm. 10

19

(47)

31

Faktor penegak hukum dalam hal ini menempati titik sentral, karena

undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak

hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh

masyarakat. Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana

bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan

mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap

setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistem,

terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan

kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah

(48)

32

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis

empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan

dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum,

sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan

pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi

kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan

penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk

mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber

hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder

dalam penelitian ini, terdiri dari:

1

(49)

33

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat

dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab

Perawatan Narapidana.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan

hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta

memahami permasalahan, seperti literatur, kamus hukum dan sumber lain

(50)

34

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai penyampai informasi yang

dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:

1). Penyidik Polresta Bandar Lampung = 2 orang

2). Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library

research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan

serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari

buku-buku literatur serta melakukan pengkajian ketentuan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi dokumentasi

untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Prosedur pengolahan data dalam penelitian ini meliputi tahapan sebagai

berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui

kelengkapan data dan dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang

telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar

(51)

35

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan

merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan

sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara

sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk

memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode

induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan

(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar

Lampung dilaksanakan sebagai upaya agar para tahanan memiliki kesadaran

beragama, berbangsa, bernegara, kesadaran hukum serta hak dan

kewajibannya dalam menjalani proses hukum sebagai tersangka, terdakwa

dan terpidana. Pengajaran dan pendidikan dilakukan dengan maksud agar

tahanan yang telah menjalani hukuman dan kembali ke dalam kehidupan

masyarakat akan menjadi manusia yang lebih baik serta tidak mengulangi

lagi perbuatan tindak pidana yang melanggar hukum (resosialisasi).

2. Faktor- faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi

tahanan di Polresta Bandar Lampung terdiri dari:

a. Faktor sarana dan fasilitas, yaitu terbatasnya buku-buku khusus bagi

tahanan yang berisi tentang hak dan kewajiban mereka selama menjalani

proses hukum sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana, sehingga pihak

kepolisian hanya menyediakan panduan dalam bentuk fotokopian atau

(53)

61

b. Faktor masyarakat, yaitu masih adanya pemahaman masyarakat bahwa

mantan pelaku kejahatan yang harus dijauhi atau dihindari, karena

berpotensi kembali melakukan kejahatan. Padahal seharusnya mantan

pelaku kejahatan yang telah bebas perlu mendapatkan santunan dan

perhatian agar mereka tidak mengulangi perbuatan melawan hukum yang

dapat merugikan diri mereka sendiri, orang lain, bangsa dan negara.

c. Faktor tahanan, yaitu kesulitan dalam menyampaikan berbagai materi

pengajaran dan pendidikan kepada tahanan, hal ini disebabkan oleh latar

belakang pendidikan para tahanan yang pada umumnya berpendidikan

rendah dan kepribadian tahanan yang tidak stabil sehingga menghambat

materi pengajaran dan pendidikan yang disampaikan petugas kepolisian

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan terhadap tahanan pada Polresta

Bandar Lampung hendaknya lebih ditingkatkan dan sarana prasarana berupa

buku-buku panduan bagi para tahanan hendaknya disediakan secara memadai

sehingga proses pembelajaran kepada para tahanan akan menjadi lebih

maksimal.

2. Tahanan Polresta Bandar Lampung hendaknya melakukan berbagai kegiatan

yang diprogramkan dengan penuh kesadaran dan keseriusan, sebab upaya ini

ditempuh untuk memudahkan proses integrasi ke tengah-tengah masyarakat

apabila tahanan telah melalui proses hukum dan keluar dari Lembaga

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan pengetahuan pada umumnya yang digali dari objek eksternal (korespondesi), 53 pengetahuan irfani digali dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran

Pada Tahun yang sama, Zhu Yuan Zhang menobatkan dirinya menjadi Kaisar dengan Gelar Kaisar Ming Tai Zu [ 明太祖 ] dan menyebutkan Dinasti yang baru didirikannya tersebut menjadi

On the one hand, it is initially hard to understand how evaluative judgements can be objectively true; on the other hand, even leaving the objectivity question aside, it is hard to

Tenaga ini adalah unit untuk mengukur kemampuan seseorang melakukan sesuatu aktiviti fizikal seperti mandaki gunung. Dalam teori biokimia,

I was fairly sure he, too, had been riding behind the enslaved Good Folk, and from what little Flint had been able to tell me, I deduced this was Esten.. He

Kas kecil digunakan untuk pengeluaran uang yang bersifat tunai dengan jumlah yang relatif kecil. Dengan saldo kas yang relatif tetap pada jumlah yang tidak terlalu besar,

Walaupun ingin tahu merupakan kemampuan bawaan mahluk hidup, ia tidak bisa dikategorikan sebagai naluri (instink) karena ia tidak termasuk pola tindakan yang

Saya memilih membeli aksesoris dari toko karena selama ini saya tidak pernah merasa rugi menggunakan.. SS S J