MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF PERAIRAN
UMUM DARATAN DI DANAU RAWA PENING
PROVINSI JAWA TENGAH
PARTOMO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Pebruari 2012
Partomo
ABSTRACT
PARTOMO. Collaborative Management Model of Inland Water in Rawa Pening Lake Central Java Province. Under supervision of SJAFRI MANGKUPRAWIRA, AIDA VITAYALA S. HUBEIS and LUKY ADRIANTO.
Rawa Pening Lake is an aquatic ecological system which plays important social role for surrounding residents. Disregarding involvement of surrounding residents and stakeholders in managing the lake may result in conflicting utilization of resources. Managing the lake based on collaborative management involving all stakeholders will facilitate to create self-governance that pay off all of the stakeholders. This research is intended to formulate strategic policy in managing lake based on collaborative management. The research was conducted in 4 villages using several method of sampling. Data analysis includes stakeholders analysis, vulnerability analysis, resilience, and interpretative structural modelling analysis. The results confirm that surrounding residents depended on Rawa Pening Lake resources. The finding also shows that Kecamatan Tuntang has the highest vulnerability index caused by population pressure and degraded built land. Key success factors in collaborative management of Rawa Pening Lake are involving fishermen, managing conflict and empowerment of lake resource users, and the regulatory roles of Central Government and Central Java Provincial Government. Furthermore, necessary activities needed in upwarding lake collaborative management are education and training for capacity building, besides enhancing coordination among stakeholders.
RINGKASAN
PARTOMO. Model Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh SJAFRI MANGKUPRAWIRA, AIDA VITAYALA S. HUBEIS dan LUKY ADRIANTO.
Danau Rawa Pening merupakan sebuah sistem ekologi yang mempunyai peran sosial bagi masyarakat sekitarnya. Fungsi ekologi danau mulai terancam oleh berbagai tekanan, baik yang bersifat alamiah maupun antropogenik. Kondisi ini menjadikan ekosistem danau sebagai sistem yang rentan terhadap gangguan atau tekanan yang bersifat eksternal. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya danau semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di sekitar danau. Kondisi ini dapat mengancam keberadaan danau sebagai ekosistem penyangga kehidupan dan penyedia langsung mata pencaharian bagi masyarakat sekitar danau. Dalam hal ini, masyarakat sekitar Danau Rawa Pening menggantungkan hidupnya terkait dengan mata pencaharian, terutama untuk kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pertanian. Potensi sumberdaya perikanan danau menjadi kompleks dengan semakin tingginya eksploitasi sumberdaya perikanan.
Pengelolaan Danau Rawa Pening bersifat multi stakeholders yang melibatkan peran banyak pihak. Model pengelolaan sentralistik dengan mereduksi peran masyarakat pemanfaat sumberdaya telah mengakibatkan pengelolaan danau tidak efisien. Sebaliknya, pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat tidak dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Ketidakseimbangan distribusi peran antara pemerintah dan masyarakat telah mengakibatkan konflik pemanfaatan sumberdaya dan kerusakan ekosistem danau. Hal ini yang menjadi latar belakang pentingnya pendekatan pengelolaan kolaboratif untuk memperbaiki sistem pengelolaan Danau Rawa Pening.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi tingkat kebergantungan masyarakat terhadap Danau Rawa Pening, (2) menganalisis tingkat kerentanan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening, (3) menganalisis tingkat resiliensi masyarakat sekitar Danau Rawa Pening, serta (4) merancang model pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil empat desa sampel yang ditentukan secara purposive sampling, yaitu Desa Tuntang, Desa Rowoboni, Desa Kebondowo, dan Desa Bejalen. Responden masyarakat, pejabat pemerintah, pelaku usaha, akademisi, LSM, dan responden pakar dilibatkan dalam penelitian ini. Data primer dan sekunder dianalisis menggunakan analisis stakeholders, analisis kerentanan, analisis resiliensi, dan
interpretative structural modelling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sumberdaya alam adalah sektor perikanan dan pertanian. Masyarakat nelayan dan petani memiliki tingkat kebergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya danau. Masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki tingkat kebergantungan yang rendah terhadap sumberdaya danau. Semakin tinggi tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau, maka akan meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan danau.
degradasi lahan terbangun tertinggi adalah di Kecamatan Ambarawa (23,10). Selanjutnya kerentanan keterbukaan ekonomi tertinggi adalah di Kecamatan Tuntang (24,54). Hasil standarisasi masing-masing variabel kerentanan menunjukkan bahwa Kecamatan Tuntang memiliki komposit indeks kerentanan tertinggi (0,72), sehingga dapat dikategorikan pada wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi.
Kebijakan dalam peningkatan resiliensi masyarakat sekitar Danau Rawa Pening adalah (1) pengembangan usaha kecil untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, (2) penegakan hukum terhadap pelanggaran kawasan, (3) konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, (4) penatagunaan dan pendayagunaan lahan berdasarkan keseimbangan dan kelestarian lingkungan, (5) pengaturan alat tangkap atau jaring nelayan, (6) melarang penggunaan bahan peledak, stroom, dan racun dalam menangkap ikan, (7) normalisasi kawasan Danau Rawa Pening, (8) pengembangan obyek wisata berbasis masyarakat nelayan, (9) pemberdayaan masyarakat, serta (10) memelihara kelestarian daerah tangkapan air.
Hasil analisis stakeholders menunjukkan, bahwa masyarakat pemanfaat sumberdaya yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Sedyo Rukun memiliki tingkat kepentingan tinggi dalam pemanfaatan sumberdaya, akan tetapi memiliki tingkat pengaruh yang rendah dalam penentuan kebijakan pengelolaan. Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah merupakan kelompok
stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang sama tinggi dalam proses penentuan kebijakan. Tingkat kepentingan yang tinggi terkait dengan aspek pengelolaan danau yang menjadi kewenangannya. Selanjutnya tingkat pengaruh yang tinggi terkait dengan peran penting dalam mengorganisir kegiatan pengelolaan Danau Rawa Pening.
Elemen kunci dalam menyusun kebijakan pengelolaan kolaboratif adalah (1) kelompok masyarakat yang terpengaruh dengan peubah kunci masyarakat nelayan, (2) kendala utama dalam pengelolaan dengan peubah kunci konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya, (3) tujuan pengelolaan dengan peubah kunci pemberdayaan masyarakat pemanfaat sumberdaya, (4) lembaga yang terlibat dengan peubah kunci Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, serta (5) aktivitas dalam pengembangan pengelolaan kolaboratif dengan peubah kunci melakukan pendidikan dan latihan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia, serta meningkatkan koordinasi antar stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan.
Implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini adalah (1) interaksi antara masyarakat dan danau merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk melestarikan sumberdaya danau dapat dibangun melalui pengelolaan kolaboratif, (2) pengambil keputusan dapat mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial untuk pengembangan wilayah Kecamatan Tuntang dan Ambarawa, (3) pemberdayaan masyarakat melalui penguatan modal sosial dan kelembagaan lokal merupakan bagian utama dalam perbaikan sistem ketahanan masyarakat, (4) pemberdayaan masyarakat pemanfaat sumberdaya dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia agar memiliki peran dalam penentuan kebijakan, serta (5) lembaga Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dapat berperan sebagai fasilitator dan koordinator dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF PERAIRAN
UMUM DARATAN DI DANAU RAWA PENING
PROVINSI JAWA TENGAH
PARTOMO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Abdul Kohar I, M.Sc. Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Etty Riani, M.S.
(Departemen Menajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor).
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Judul Disertasi : Model Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah
Nama : Partomo
NRP : P 062050311
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira Ketua
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Saya persembahkan karya ini kepada:
Bapak Saroyo (alm) dan Ibu Sutari (alm)
Kakak dan adik-adik tercinta
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Topik dalam
penelitian ini adalah kebijakan pengelolaan danau dengan judul penelitian Model
Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi
Jawa Tengah.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira, selaku ketua komisi pembimbing atas
perhatian tulus yang telah dicurahkan kepada penulis selama proses
pembimbingan, sejak penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian
sampai penyusunan disertasi ini. Berkat bimbingan, kesabaran dan ketulusan
beliau, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik.
2. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis, selaku anggota komisi pembimbing atas
segala arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi ini. Berkat
dukungan semangat, motivasi, dan kesabaran beliau, penulis termotivasi untuk
dapat menyelesaikan disertasi ini.
3. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing atas segala
arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi ini. Berkat dorongan
semangat, perhatian, dan kesabaran beliau, penulis termotivasi untuk
menyelesaikan disertasi ini.
4. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan.
5. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB yang telah memberikan arahan dalam
proses penyusunan disertasi dan penyelesaian studi.
6. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S dan Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. yang telah
berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian prelim.
7. Dr. Ir. Abdul Kohar I, M.Sc dan Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si. yang telah
8. Dr. Ir. Etty Riani, M.S dan Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc yang telah berkenan
menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.
9. Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Kepala Dinas Pengelolaan Sumber
Daya Air Provinsi Jawa Tengah, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pemali
Juana, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Jragung Tuntang, Kepala
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah, dan Kepala Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Semarang yang telah memberikan
pendapat dan masukan mendasar selama penelitian.
10. Kepala Desa Tuntang, Banyubiru, Kebondowo, dan Bejalen beserta segenap
masyarakatnya atas bantuan dan informasi selama pengumpulan data.
11. Ketua Kelompok Nelayan Sedyo Rukun beserta seluruh anggota kelompok
atas bantuan dan informasi selama pengumpulan data.
12. Kedua orang tua, Saroyo (alm) dan Sutari (alm), kakak dan adik tercinta atas
do’a dan segala dukungannya.
13. Seluruh teman mahasiswa Program Studi PSL-IPB atas segala saran dan
masukannya selama penyusunan disertasi ini.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan memberikan kontribusi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan, khususnya pemberdayaan masyarakat, pengelolaan
kolaboratif, dan studi lingkungan.
Bogor, Pebruari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 10 September 1966,
sebagai anak kedua dari pasangan Saroyo (alm) dan Sutari (alm). Pada Tahun
1992, penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta, dan pada Tahun 2004 menyelesaikan pendidikan S2 di
Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Sekolah Pascasarjana IPB.
Selanjutnya pada Tahun 2005 penulis menempuh pendidikan S3 pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Sejak Tahun 2005, penulis bekerja pada Yayasan Sukabumi Berkah Abadi
di Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya penulis pernah bekerja pada
perusahaan perkebunan PT. Matahari Kahuripan Indonesia di Jakarta
(1997–2002), dan perusahaan jasa konsultan bidang lingkungan hidup PT. Trisida
Pantau di Bogor (1992–1996).
Publikasi ilmiah selama mengikuti pendidikan S3 adalah Formulasi
Strategi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
telah diterbitkan pada Jurnal Ekologia Volume 6, No.1, April 2006. Artikel-artikel
lain berjudul (1) Pengelolaan Danau Berbasis Co-management: Kasus Rawa
Pening diterbitkan pada Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Volume 1, No.2, Desember 2011, dan (2) Ketergantungan dan Kerentanan
Masyarakat terhadap Sumberdaya Danau: Kasus Danau Rawa Pening diterbitkan
pada Jurnal Media Konservasi Volume 16, No.3, Desember 2011 merupakan
bagian dari disertasi ini.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Kegunaan Penelitian ... 7
1.5 Kebaruan Penelitian ... 7
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Umum Daratan ... 9
2.2 Sistem Sosial-Ekologi Danau ... 10
2.3 Kerentanan (Vulnerability) ... 12
2.4 Resiliensi (Resilience) ... 13
2.5 Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam ... 15
2.6 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif) ... 17
2.7 Pengetahuan Lokal sebagai Prasarat Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif) ... 25
2.8 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ... 28
2.9 Peranan Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat ... 30
2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 31
2.11 Hipotesis ... 35
2.12 Penelitian Terdahulu ... 35
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39
3.2 Rancangan Penelitian ... 39
3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ... 39
3.4 Metode Penentuan Wilayah Sampel ... 40
3.5 Metode Penentuan Responden ... 41
3.6 Metode Analisis Data ... 43
3.7 Definisi Operasional ... 50
IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Danau Rawa Pening ... 53
4.2 Kondisi Perikanan Danau Rawa Pening ... 57
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 60
4.4 Pengelolaan Danau Rawa Pening ... 64
V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening ... 70
5.2 Kerentanan Masyarakat sekitar Danau Rawa Pening ... 74
5.3 Resiliensi Masyarakat sekitar Danau Rawa Pening ... 80
VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING 6.1 Indentifikasi Stakeholders dalam Pengelolaan Danau Rawa Pening ... 86
6.2 Kebijakan Pengelolaan Kolaboratif di Danau Rawa Pening ... 91
6.3 Implikasi Keilmuan ... 112
VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 115
7.2 Implikasi Kebijakan ... 116
7.3 Saran Penelitian ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 119
LAMPIRAN ... 126
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Tindakan skala lokal dalam peningkatan resiliensi sistem sosial-
ekologi terkait kerentanan sumberdaya perikanan ... 12
2 Karakteristik perbedaan antara pengelolaan berbasis masyarakat, ko-manajemen, dan pengelolaan berbasis negara ... 19
3 Peran stakeholders kunci dalam pengelolaan kolaboratif ... 24
4 Rekapitulasi penelitian sejenis yang pernah dilakukan, Tahun 2010 ... 36
5 Jumlah responden dari stakeholders pemerintah, Tahun 2010 ... 42
6 Pola Pemanfaatan perairan Danau Rawa Pening, Tahun 2009 ... 54
7 Alokasi dana pengelolaan Danau Rawa Pening Tahun 2004 – 2008 ... 55
8 Kondisi demografi desa inti di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2009 ... 60
9 Distribusi pendapatan responden di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 62
10 Distribusi PDRB Kabupaten Semarang berdasarkan harga konstan (Tahun 2000) ... 63
11 Proporsi aspek kunci dalam peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 64
12 Nilai indeks pertumbuhan populasi penduduk di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 75
13 Nilai indeks degradasi lahan terbangun di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 76
14 Nilai indeks keterbukaan ekonomi di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 77
15 Nilai komposit indeks kerentanan masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 78
16 Tindakan untuk meningkatkan resiliensi terkait kerentanan Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 81
17 Penilaian kriteria dalam memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 82
18 Penilaian kriteria pengembangan modal sosial dan kelembagaan
lokal yang sudah memiliki legitimasi ... 83 19 Peubah kunci sistem pengelolaan kolaboratif Danau Rawa Pening,
Tahun 2010 ... 92
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Identifikasi permasalahan dalam pengelolaan Danau Rawa Pening
dengan kerangka DPSIR (Sulistiawati 2011) ... 6
2 Variasi ko-manajemen menurut peran pemerintah dan pelaku pemanfaat sumberdaya (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006) ... 21
3 Aliran fungsional pentingnya ko-manajemen perikanan (Adrianto 2007) ... 22
4 Perubahan rejim pengelolaan perikanan di Indonesia (Adrianto 2007) ... 23
5 Kerangka pemikiran konseptual ... 33
6 Kerangka pemikiran operasional ... 34
7 Matriks hasil analisis stakeholders (Grimble dan Chan 1995) ... 44
8 Tahapan analisis resiliensi (Walker et al. 2002) ... 47
9 Jumlah produksi ikan di Danau Rawa Pening, Tahun 2007 ... 58
10 Jumlah produksi ikan menurut jenis ikan di Danau Rawa Pening, Tahun 2007 ... 59
11 Sebaran penduduk desa sampel berdasarkan jenis mata pencaharian, Tahun 2010 ... 61
12 Perceived value of dependency terkait dengan jenis mata pencaharian penduduk di sekitar Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 69) ... 71
13 Perceived value of dependency terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 78) ... 72
14 Perceived value of dependency terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 80) ... 73
15 Nilai komposit indeks kerentanan, Tahun 2010 ... 79
16 Pengelompokan stakeholders dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 90
17 Matriks driver power dan dependence elemen kelompok masyarakat yang terpengaruh dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 93
18 Struktur sistem elemen kelompok masyarakat yang terpengaruh dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 95
19 Matriks driver power dan dependence elemen kendala utama dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 97 20 Struktur sistem elemen kendala utama dalam pengelolaan
kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 98 21 Matriks driver power dan dependence elemen tujuan pengelolaan
kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 101 22 Struktur sistem elemen tujuan pengelolaan kolaboratif di Danau
Rawa Pening, Tahun 2010 ... 102 23 Matriks driver power dan dependence elemen lembaga yang terlibat
dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 105 24 Struktur sistem elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan
kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 107 25 Matriks driver power dan dependence elemen aktivitas
pengembangan dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa
Pening, Tahun 2010 ... 109 26 Struktur sistem elemen aktivitas pengembangan dalam pengelolaan
kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 110
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta lokasi penelitian ... 126 2 Kebijakan terkait pengelolaan Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 127 3 Hasil analisis stakeholders dalam pengelolaan Danau Rawa Pening,
Tahun 2010 ... 128 4 Hasil analisis Interpretative Structural Modelling ... 129
1.1 Latar Belakang
Danau merupakan perairan umum daratan yang memiliki fungsi penting
bagi pembangunan dan kehidupan manusia. Secara umum, danau memiliki dua
fungsi utama, yaitu fungsi ekologi dan sosial ekonomi. Dari aspek ekologi, danau
merupakan tempat berlangsungnya siklus ekologis dari komponen air dan
kehidupan akuatik di dalamnya. Keberadaan danau akan mempengaruhi
keseimbangan ekosistem di sekitarnya, sebaliknya kondisi danau juga dipengaruhi
oleh ekosistem di sekitarnya. Dari aspek sosial ekonomi, danau memiliki fungsi
yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar danau.
Menurut Hartoto et al. (2009), danau memiliki fungsi sebagai penyedia jasa
lingkungan, sosial-ekologi, pendidikan, kenyamanan, budaya, kemasyarakatan,
jasa spiritual, ketahanan masyarakat, ekonomi, dan rekreasi.
Menurut Puspita et al. (2005), saat ini di Indonesia terdapat sejumlah 843
danau dan 736 situ. Kondisi sebagian besar danau telah mengalami kerusakan
ekosistem dan penurunan fungsi. Hasil penelitian FDI (2004), melaporkan bahwa
faktor-faktor penyebab rusaknya ekosistem danau adalah tidak memadainya
pengetahuan, kekurangan teknologi, keterbatasan finansial, serta kebijakan
pengelolaan yang tidak tepat. Berdasarkan data Kementerian Negara Lingkungan
Hidup (2009), terdapat sembilan danau yang kondisinya kritis dan memerlukan
prioritas untuk penanganannya, yaitu Danau Toba (Provinsi Sumatera Utara),
Danau Maninjau dan Danau Singkarak (Provinsi Sumatera Barat), Danau Tempe
(Provinsi Sulawesi Selatan), Danau Tondano (Provinsi Sulawesi Utara), Danau
Poso (Provinsi Sulawesi Tengah), Danau Limboto (Provinsi Gorontalo), Danau
Batur (Provinsi Bali), serta Danau Rawa Pening (Provinsi Jawa Tengah).
Kondisi sebagian besar situ di Indonesia juga mengalami kerusakan
ekologi dan dalam kondisi kritis. Menurut Roemantyo et al. (2003), jumlah situ di
kawasan Jabodetabek pada tahun 1940 yaitu 76 situ dengan luas 7,900 km2, selanjutnya jumlah situ pada tahun 2000 adalah 114 situ dengan luas 3,213 km2. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi fragmentasi situ yang mengakibatkan
Danau Rawa Pening dengan luas 2.770 hektar yang berada di Kabupaten
Semarang merupakan salah satu danau yang kondisinya kritis. Hasil penelitian
UNEP (1999), melaporkan bahwa berbagai faktor fisik-kimia dan biologi telah
mengakibatkan sedimentasi, serta masuknya limbah domestik dan industri.
Akumulasi endapan lumpur, limbah pertanian dan industri menyebabkan
suburnya tanaman Eichornia crassipes (Eceng Gondok). Luas tanaman Eceng
Gondok yang menutupi permukaan danau yang mencapai 1.080 hektar dengan
pertumbuhan 7,1%-10% per bulan telah menimbulkan kerusakan ekosistem danau
dan mengakibatkan krisis sumberdaya perikanan.
Potensi sumberdaya perikanan Danau Rawa Pening menjadi kompleks
dengan semakin tingginya eksploitasi sumberdaya perikanan. Berdasarkan data
Disnakan Kabupaten Semarang (2007), jumlah produksi perikanan di perairan
Danau Rawa Pening selama kurun waktu Tahun 2002 sampai dengan 2006
berturut-turut 982,5 ton, 1.033,7 ton, 1.084,5 ton, 1.026,0 ton, dan 1.042,8 ton.
Jumlah nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya danau sekitar
1.589 orang. Menurut Adrianto et al. (2010), status dan potensi sumberdaya
perikanan menjadi kompleks setelah adanya intervensi manusia karena adanya
demands (permintaan) yang kemudian diikuti eksplorasi dan eksploitasi
sumberdaya perikanan. Dalam kondisi tanpa pengelolaan, kegiatan eksploitasi
membuat sumberdaya perikanan menjadi kolaps.
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya danau semakin meningkat seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk di sekitar danau. Kondisi ini dapat
mengancam keberadaan danau sebagai ekosistem penyangga kehidupan dan
penyedia langsung mata pencaharian bagi masyarakat sekitar danau (Anshari
2006). Dalam hal ini, masyarakat sekitar Danau Rawa Pening menggantungkan
hidupnya terkait dengan matapencaharian, terutama untuk kegiatan perikanan
tangkap dan pertanian.
Danau Rawa Pening merupakan sebuah sistem ekologi yang mempunyai
peran sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Kondisi ini menjadikan
ekosistem danau sebagai sistem yang rentan terhadap gangguan atau tekanan
eksternal. Berbagai gangguan atau tekanan eksternal, baik yang bersifat alamiah
menjadi latar belakang pentingnya dilakukan penilaian kerentanan untuk
mengidentifikasi masyarakat atau tempat yang paling rentan terhadap bahaya serta
mengidentifikasi tindakan untuk mengurangi kerentanan.
Pengelolaan Danau Rawa Pening bersifat multi stakeholders yang
melibatkan banyak pihak seperti pemerintah, swasta, akademisi, lembaga
non-pemerintah, petani, nelayan, dan pelaku perikanan lainnya. Model pengelolaan
sentralistik dengan kontrol mutlak oleh pemerintah telah menghasilkan pola
pengelolaan sumberdaya berbasis pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah
mendominasi dalam penentuan kebijakan dan kurang mengakomodasikan
kepentingan masyarakat. Otoritas tunggal terbukti tidak efektif dalam pengelolaan
Danau Rawa Pening, khususnya dalam mengurangi kerusakan sumberdaya serta
menggalang dukungan dari masyarakat pemanfaat sumberdaya. Di lain pihak,
apabila masyarakat melakukan kontrol penuh terhadap pengelolaan akan
menghasilkan pola pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Model
pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat tidak dapat menjamin keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya dan mengakibatkan konflik kepentingan dalam
pemanfaatan sumberdaya.
Ketidakseimbangan distribusi peran antara pemerintah dan masyarakat
menjadi latar belakang pentingnya pendekatan pengelolaan kolaboratif untuk
memperbaiki sistem pengelolaan Danau Rawa Pening dan mengakhiri konflik
antar stakeholders tanpa adanya pihak yang dikalahkan. Seiring dengan tuntutan
desentralisasi dan kemandirian dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengelolaan
kolaboratif merupakan model pengelolaan sumberdaya alam yang paling masuk
akal. Pengelolaan kolaboratif dapat menciptakan perimbangan peran dan tanggung
jawab antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Dalam hal ini, masyarakat pemanfaat sumberdaya bertindak sebagai pelaku yang
mendayagunakan dan sekaligus memelihara sumberdaya alam, selanjutnya
pemerintah berperan sebagai fasilitator.
1.2 Perumusan Masalah
Sumberdaya Danau Rawa Pening dianggap sebagai free goods (barang
sumberdaya milik bersama adalah bahwa semua orang berhak mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumberdaya yang ada atau yang lebih dikenal dengan prinsip
open access. Menurut Nasution et al. (2007), dampak negatif dari prinsip open
access dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah tidak adanya pihak yang
peduli untuk mengembalikan atau memulihkan potensi sumberdaya yang telah
rusak. Kerusakan sumberdaya alam dapat menurunkan produktivitas ekonomi
dalam pemanfaatannya, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya tingkat
kesejahteraan masyarakat.
Eksploitasi sumberdaya danau dilakukan secara intensif untuk memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat sekitar kawasan. Pemanfaatan sumberdaya semakin
meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Hal ini dapat
mengancam keberadaan danau sebagai ekosistem penyangga kehidupan dan
penyedia langsung mata pencaharian masyarakat (Anshari 2006). Kebergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya danau tidak hanya terbatas pada upaya untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari, akan tetapi telah berkembang menjadi upaya
untuk memperoleh hasil yang lebih untuk dapat dipasarkan. Dalam hal ini, telah
berkembang beberapa mata pencaharian alternatif terkait dengan pemanfaatan
sumberdaya danau, yaitu industri rumah tangga, jasa pariwisata alam, serta usaha
perdagangan di sekitar Danau Rawa Pening.
Kebergantungan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening terhadap
sumberdaya danau terkait dengan (1) kegiatan sektor pertanian lahan pasang surut
seluas 1.020 hektar, (2) nelayan dan petani ikan sebanyak 1.589 orang,
(3) budidaya karamba ikan berjumlah 200 keramba jaring apung dan 500 keramba
tancap, (4) pemanfaatan Eceng Gondok dengan kapasitas 1.000 kg/hari,
(5) pemanfaatan gambut untuk kompos dengan kapasitas 54.000 m3/tahun, serta (6) pariwisata dengan jumlah pengunjung 50-100 orang/hari (BPSDA Jratun
2009). Konsep terpadu dalam pemberdayaan masyarakat belum tersusun, oleh
sebab itu pemanfaatan potensi sumberdaya danau menghadapi banyak kendala.
Konflik horisontal antar pemanfaat sumberdaya yang terus berlanjut telah
menyebabkan tidak efektifnya program pemberdayaan masyarakat.
Danau Rawa Pening merupakan sebuah sistem ekologi yang mempunyai
terancam oleh berbagai tekanan, baik yang bersifat alamiah maupun antropogenik.
Tekanan yang bersifat alamiah disebabkan oleh pemanasan suhu bumi secara
global dan perubahan iklim yang ekstrim. Selanjutnya tekanan yang bersifat
antropogenik merupakan faktor terpenting yang mengakibatkan kerusakan
ekosistem danau. Hal ini menjadikan danau sebagai sistem yang rentan terhadap
gangguan atau tekanan eksternal. Tingkat kerentanan yang tinggi merupakan
penghalang atau hambatan bagi keberlanjutan danau.
Penanggulangan terhadap kerusakan ekologi akan mempertinggi resiliensi
untuk dapat kembali pada kondisi keseimbangan setelah adanya gangguan.
Tingkat resiliensi bergantung pada kemampuan suatu sistem lingkungan dalam
menanggulangi berbagai gangguan eksternal. Kapasitas beradaptasi merupakan
kemampuan sistem sosial-ekologi untuk menghadapi situasi baru tanpa
kehilangan pilihan di masa depan. Dalam hal ini, resiliensi merupakan kunci
untuk meningkatkan kapasitas beradaptasi.
Pengelolaan Danau Rawa Pening bersifat lintas sektoral dan melibatkan
banyak stakeholders. Lemahnya koordinasi antar stakeholders mengakibatkan
pelaksanaan program pengelolaan cenderung sektoral. Model pengelolaan
sentralistik dengan tidak memberikan ruang bagi peranserta masyarakat
pemanfaat sumberdaya tidak mampu melindungi ekosistem danau dari kerusakan
ekologi. Ketidakadilan distribusi peran dalam pemanfaatan sumberdaya alam telah
mengakibatkan munculnya konflik kepentingan. Konflik internal terjadi akibat
adanya ketidakharmonisan hubungan antar stakeholders dalam kegiatan
pemanfaatan sumberdaya. Dalam hal ini, tidak ada kerangka hukum dan peraturan
yang secara tegas dapat dipakai untuk menyelesaikan berbagai konflik yang
terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya Danau Rawa Pening.
Ekosistem Danau Rawa Pening merupakan penyangga kehidupan dan
penyedia langsung mata pencaharian masyarakat sekitarnya. Terdapat keterkaitan
antara aktivitas masyarakat terhadap kondisi ekosistem Danau Rawa Pening.
Identifikasi permasalahan dalam pengelolaan Danau Rawa Pening mengacu
penilaian biodiversity pada kerangka Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses
(DPSIR) yang dikembangkan Bin et al. (2009) diacu dalam Sulistiawati (2011)
bertujuan mengidentifikasi aspek-aspek atau parameter-parameter kunci pada
suatu sistem dan memantau tingkat keberlanjutan dari pengelolaan.
Petumbuhan
States Changes (S) Dampak/ Impacts (I)
Krisis perikanan,
Gambar 1 Identifikasi permasalahan dalam pengelolaan Danau Rawa Pening dengan kerangka DPSIR (Sulistiawati 2011)
Kondisi ekosistem Danau Rawa Pening dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan populasi penduduk dan aktivitas masyarakat ekonomi seperti
pemanfaatan sumberdaya dan kegiatan perikanan. Hal ini mengakibatkan tekanan
terhadap ekosistem danau berupa eksploitasi sumberdaya, degradasi lahan di
sekitar danau, sedimentasi dan penyuburan yang mengakibatkan kerusakan
ekosistem danau dan kerusakan potensi sumberdaya danau. Sebagai dampaknya
adalah terjadinya krisis sumberdaya perikanan, menurunnya tingkat produktivitas
ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta terjadinya konflik
kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah dengan kerangka
DPSIR, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya Danau
Rawa Pening?
2. Bagaimana tingkat gangguan eksternal yang dapat mempengaruhi ekosistem
3. Bagaimana masyarakat sekitar Danau Rawa Pening dapat menyerap
gangguan-gangguan yang bersifat eksternal?
4. Bagaimana merancang model pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening
yang mampu memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya dengan
mengintegrasikan seluruh stakeholders?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya
Danau Rawa Pening.
2. Menganalisis tingkat kerentanan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening.
3. Menganalisis tingkat resiliensi masyarakat sekitar Danau Rawa Pening.
4. Merumuskan model dan kebijakan strategis pengelolaan kolaboratif di Danau
Rawa Pening.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:
1. Menghasilkan informasi ilmiah sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan
pengelolaan danau dengan mempertimbangkan tingkat kebergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya danau, kerentanan masyarakat, dan resiliensi
masyarakat dalam menyerap perubahan dan gangguan-gangguan yang bersifat
eksternal.
2. Bahan pertimbangan dalam perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya danau
dengan mengintegrasikan pengakuan hak dan kemitraan dari seluruh
stakeholders yang terlibat.
1.5 Kebaruan Penelitian
Konsep pengelolaan kolaboratif telah banyak diterapkan dalam
pengelolaan sumberdaya alam, terutama dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan dan hutan. Konsep yang mengintegrasikan antara masyarakat dan
ekosistem danau belum dipertimbangkan dalam pengelolaan danau. Adanya pola
interaksi antara masyarakat dan ekosistem danau akan mempermudah kontrol
Kebaruan penelitian ini apabila dibandingkan dengan penelitian-penelitian
yang pernah dilakukan adalah:
1. Strategi pengelolaan dengan mempertimbangkan tingkat kebergantungan
masyarakat, kerentanan masyarakat, dan resiliensi masyarakat sekitar danau. 2. Model pengelolaan yang mengintegrasikan masyarakat dan danau dengan
lebih memfokuskan pada masyarakat serta adanya inisiasi kemitraan antara
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perairan Umum Daratan
Air merupakan sumberdaya yang mutlak diperlukan bagi kehidupan
manusia. Kebutuhan manusia terhadap air cenderung meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan semakin beragamnya jenis pemanfaatan
terhadap sumberdaya air. Menurut Odum (1998), habitat air tawar menempati
daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi apabila dibandingkan dengan
habitat laut dan daratan. Kepentingan bagi manusia jauh lebih berarti
dibandingkan dengan luas daerahnya, karena (1) habitat air tawar merupakan
sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik dan
industri, (2) komponen air tawar adalah daerah kritis pada daur hidrologi, dan
(3) ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan yang memadai dan
murah. Selanjutnya Gunderson et al. (2006), meyatakan bahwa ekosistem akuatik
merupakan sistem paling produktif yang menyediakan layanan dalam bentuk
kualitas air serta kehidupan akuatik lainnya.
Menurut Suwignyo et al. (2003), semua badan air yang ada di daratan
diistilahkan sebagai inland water atau perairan umum daratan. Dalam kajian ilmu
lingkungan, badan-badan air tersebut dapat dibedakan antara perairan dengan
ekosistem tertutup dan perairan dengan ekosistem terbuka. Perairan dengan
ekosistem tertutup tidak terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya, misalnya
kolam buatan dan kolam budidaya. Perairan dengan ekosistem terbuka
terpengaruh oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, misalnya sungai, rawa,
waduk, dan danau.
Kajian tentang ekosistem danau telah mengalami perkembangan dalam
berbagai disiplin ilmu. Danau dipandang sebagai sistem berbatasan yang
ditentukan oleh permukaan perairan darat, sehingga dari sisi limnologi danau
harus dipahami dalam konteks lansekap penampungan. Perubahan yang
disebabkan oleh kegiatan pertanian, pemanfaatan lahan, kehutanan, konsumsi
bahan bakar fosil, dan permintaan jasa ekosistem terkait dengan danau telah
memberikan manfaat sosial ekonomi yang lebih besar (Carpenter dan Cottingham
menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan
habitat laut dan daratan.
Berdasarkan tingkat produktivitasnya, danau dapat dikelompokkan
menjadi oligotrophic dan eutrophic. Danau oligotrophic memiliki kualitas air
yang bersih dan bernilai tinggi bagi masyarakat. Danau eutrophic memiliki
kualitas air rendah dan bernilai rendah bagi masyarakat (Odum 1998). Selanjutnya
menurut Janssen dan Carpenter (1999), penyuburan yang disebabkan oleh
kelebihan masukan nutrien menjadi permasalahan yang berkembang luas pada
ekosistem danau.
Penyuburan menjadi permasalahan yang dapat terjadi pada ekosistem
perairan seiring dengan perkembangan pertanian, industri dan urbanisasi.
Permasalahan menjadi semakin serius apabila terjadi pada ekosistem lentik
(tergenang), seperti danau. Hal ini disebabkan waktu tinggal bahan pencemar dan
masa pemulihan di danau lebih lama jika dibandingkan pada ekosistem lotik
(mengalir). Laju penyuburan yang meningkat pesat pada ekosistem perairan
tergenang dapat mengakibatkan pendangkalan danau (Soeprobowati dan
Hadisusanto 2009).
Danau Rawa Pening merupakan tempat berkembangnya keanekaragaman
hayati akuatik, terutama spesies asli setempat. Keanekaragaman hayati danau
sangat rentan terhadap gangguan terutama dari spesies asing yang bukan asli
setempat. Hilangnya spesies endemik yang disebabkan oleh berkembangbiaknya
spesies asing dapat mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan danau manjadi
ekosistem daratan. Pertumbuhan Eceng Gondok yang tidak terkendali telah
mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem dan berbagai fungsi dan
manfaat Danau Rawa Pening.
2.2 Sistem Sosial-Ekologi Danau
Menurut Anderies et al. (2004), sistem sosial-ekologi didefinisikan
sebagai unit ekosistem yang dihubungkan dan dipengaruhi oleh satu atau lebih
sistem sosial. Dalam hal ini, sistem sosial-ekologi berhubungan dengan unit
ekosistem seperti wilayah pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem danau, terumbu
dengan proses sosial. Selanjutnya Berkes dan Folke (1998); Carpenter dan Folke
(2006) mendefinisikan sistem sosial-ekologi sebagai sistem alam dan sistem
manusia yang terintegrasi dengan hubungan yang bersifat timbal balik.
Dalam kajian sistem perairan danau, kondisi perubahan pada komponen
ekologi seperti berkembangnya ganggang di danau dan beberapa perubahan
komunitas tumbuhan lahan basah merupakan indikasi perubahan kondisi ekologi
yang dianggap sebagai krisis ekologi. Hal ini terkait dengan bagaimana komponen
sosial dari sistem sosial-ekologi dapat menjawab perubahan kondisi masa lalu
atau akan merespon perubahan di masa depan (Gunderson et al. 2006). Konsep
yang mengintegrasikan antara komunitas manusia dan danau dengan
mempertimbangkan proses kontrol terhadap degradasi danau. Beberapa proses
yang terkait dengan masyarakat dan danau adalah vegetasi air, tata guna lahan,
kegiatan sosial, dan perekonomian daerah. Dalam hal ini terdapat pola interaksi
yang dapat memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang interaksi antara
masyarakat dan danau (Carpenter dan Cottingham 1997).
Mengacu pendapat Adrianto dan Azis (2006), paradigma sistem
sosial-ekologi danau membicarakan unit ekosistem danau yang berasosiasi dengan
struktur dan proses sosial, dimana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem
manusia tidak dapat dipisahkan. Hal ini didasarkan pada karakteristik dan
dinamika danau yang merupakan suatu sistem dinamis dan saling terkait antara
sistem komunitas manusia dengan sistem alam sehingga kedua sistem tersebut
bergerak dinamik dalam kesamaan besaran. Diperlukan integrasi pengetahuan
dalam implementasi pengelolaan danau yang dikenal dengan paradigma sistem
sosial-ekologi.
Sistem sosial-ekologi merupakan konsep yang sangat penting dalam
kerangka ko-manajemen perikanan, karena pelaku perikanan memiliki keterkaitan
dengan dinamika ekosistem perairan dan sumberdaya perikanan. Dengan kata
lain, kedua dinamika sistem tersebut memerlukan pengintegrasian melalui
kerangka ko-manajemen perikanan. Dengan pendekatan sistem sosial-ekologi
diharapkan mampu meningkatkan resilience atau ketahanan dan menanggulangi
kerentanan melalui beberapa tindakan, baik dalam skala lokal maupun nasional
skala lokal maupun regional dalam konteks peningkatan resiliensi sistem
sosial-ekologi seperti disajikan pada Tabel 1, yaitu (1) pemeliharaan ekosistem melalui
pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan, (2) proses pembelajaran untuk
merespon dampak lingkungan dan hubungan sosial, (3) keanekaragaman dalam
konteks sistem ekologi, serta (4) modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang
memiliki legitimasi.
Tabel 1 Tindakan skala lokal dalam peningkatan resiliensi sistem sosial-ekologi terkait kerentanan sumberdaya perikanan
No Kerentanan Tindakan Skala Lokal 1 Sensitivitas terhadap
bencana dan kerusakan sumberdaya alam
1) Pemeliharaan ekosistem melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan
2) Pemeliharaan memori atas pola pemanfaatan sumberdaya, proses pembelajaran untuk merespon dampak lingkungan dan hubungan sosial
2 Kapasitas adaptif 1) Keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi 2) Keanekaragaman dalam konteks teori
sosial-ekonomi
3) Modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang memiliki legitimasi
Sumber: Modifikasi Adger et.al. (2005) diacu dalam Hartoto et al. (2009)
2.3 Kerentanan (Vulnerability)
Konsep kerentanan didefinisikan sebagai atribut yang potensial dari suatu
sistem untuk dirusakkan oleh dampak-dampak yang bersifat exogenous. Dalam
hal ini, tingkat gangguan eksternal diperkirakan dengan menggunakan
variabel-variabel ekologi dan ekonomi dalam menyusun indeks kerentanan. Tujuan dari
suatu indeks kerentanan adalah untuk menaksir tingkat gangguan eksternal pada
suatu sistem. Berbagai potensi kerusakan yang dianggap berbahaya adalah
resiko-resiko secara antropogenik dan alamiah. Resiko-resiko-resiko adalah suatu kejadian dan
proses-proses yang dapat mempengaruhi integritas biologi atau kesehatan
ekosistem. Manusia dan lingkungan alami sudah memiliki kapasitas untuk
menyerap gangguan yang kapasitasnya kecil. Semakin besar tingkat kerentanan,
pada gilirannya akan menjadi penghalang yang lebih besar pada pembangunan
berkelanjutan (Adrianto dan Matsuda 2002, 2004).
Menurut Luers (2005), karakteristik kerentanan, yaitu sensitivitas,
tersebut telah muncul dari resiko dan bahaya terkait keamanan pangan dan telah
terintegrasi ke dalam wacana penelitian masyarakat terkait perubahan lingkungan
global. Beberapa kerangka konseptual telah diusulkan dengan menggabungkan
konsep-konsep untuk menjelaskan proses secara umum yang mengacu pada
kerentanan masyarakat dan tempat. Tujuan utama dari penilaian kerentanan
adalah mengidentifikasi masyarakat atau tempat yang paling rentan terhadap
bahaya dan mengidentifikasi tindakan untuk mengurangi kerentanan.
Kompleksitas sistem sosial-ekologi sering menyulitkan dalam mengidentifikasi
kerentanan. Hal ini menjadi tantangan terutama untuk penilaian di tingkat lokal
dan nasional yang berfokus pada evaluasi kerentanan masyarakat atau tempat
yang disebabkan oleh satu atau banyak tekanan, tanpa secara eksplisit menyatakan
karakteristik masyarakat dan tempat yang dianggap rentan.
Isu kerentanan pada umumnya terkait dengan topik pembangunan
berkelanjutan. Konsep kerentanan menjadi bagian dari batasan keberlanjutan,
seperti konsep standar keamanan minimum, standar mutu, daya dukung
lingkungan, kapasitas lingkungan, maximum sustainable yield, beban kritis, dan
ruang pemanfaatan lingkungan hidup. Batasan keberlanjutan sedikitnya memiliki
empat atribut, yaitu (1) dinyatakan dalam satu atau lebih parameter yang terukur,
(2) parameter tersebut terhubung ke sasaran keberlanjutan, (3) parameter memiliki
suatu skala geografis yang sesuai, dan (4) parameter memiliki dimensi waktu yang
relevan. Parameter-parameter tersebut idealnya harus merencanakan faktor-faktor
kuantitatif, tetapi dalam kenyataannya sering disajikan informasi kualitatif yang
tidak jelas dan tidak lengkap (Adrianto dan Matsuda 2002).
2.4 Resiliensi (Resilience)
Konsep resiliensi dalam sistem ekologi diperkenalkan oleh Holling pada
tahun 1973 dalam Annual Review of Ecology and Systematics mengenai hubungan
antara resiliensi dan stabilitas. Tujuannya untuk menjelaskan model perubahan
dalam struktur dan fungsi sistem ekologi. Gagasan resiliensi berkembang sebagai
sebuah konsep untuk memahami dan mengelola sistem manusia dan alam.
Beberapa ahli ekologi mempertimbangkan resiliensi sebagai ukuran seberapa
Resiliensi sebagai ukuran seberapa jauh sistem dapat terganggu tanpa pergeseran
ke rejim yang berbeda (Walker et al. 2006).
Menurut Adrianto dan Matsuda (2004), terdapat dua konsep yang agak
berbeda terkait dengan resiliensi. Konsep yang pertama mengacu pada beberapa
sifat sistem yang mendekati keseimbangan tetap. Konsep yang kedua
dipromosikan oleh Holling (1973), yaitu menggambarkan sebagian gangguan
yang dapat diserap sebelum sistem berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Mengacu konsep yang kedua, resiliensi memusatkan pada perkiraan tingkat
gangguan atau external shocks yang merepresentasikan indeks kerentanan.
Resiliensi bertujuan menghindarkan sistem sosial-ekologi berpindah ke
formasi yang tidak dikehendaki. Hal ini bergantung pada sistem yang dapat
menanggulangi external shocks walaupun berhadapan dengan ketidakpastian.
Pada gilirannya membutuhkan pemahaman dimana resiliensi berada di dalam
sistem, dan kapan serta bagaimana dapat bertahan atau hilang. Proses peningkatan
resiliensi untuk perubahan yang tidak terduga, berbeda dengan proses untuk
memperbaiki kinerja sistem selama masa pertumbuhan dan keseimbangan.
Keduanya diperlukan tetapi lebih ditekankan pada ekosistem yang sudah
dimanfaatkan manusia. Pengambilan keputusan melalui proses analisis kebijakan
yang memaksimalkan kegunaan atau memperkecil kerugian (Walker et al. 2002).
Konsep resiliensi berusaha untuk memahami sumber dan peran perubahan,
khususnya jenis perubahan transformasi dalam sistem kapasitas beradaptasi
(Redman dan Kinzig 2003). Kapasitas beradaptasi merupakan kemampuan sistem
sosial-ekologi untuk menghadapi situasi baru tanpa kehilangan pilihan dimasa
depan. Dalam hal ini, resiliensi merupakan kunci untuk meningkatkan kapasitas
berdaptasi. Kapasitas beradaptasi dalam sistem ekologi terkait dengan
keanekaragaman genetik, keanekaragaman biologi, kemajemukan lansekap.
Dalam sistem sosial, keberadaan institusi dan jaringan pembelajaran yang
memiliki pengetahuan, pengalaman dalam pemecahan masalah, serta
keseimbangan kekuatan diantara kelompok kepentingan memiliki peran penting
dalam kapasitas beradaptasi.
Resiliensi ekologi sistem perairan dan lahan basah sebagai jumlah
Resiliensi ekologi terkait dengan perubahan variabel secara perlahan seperti tanah
atau kandungan nutrien, struktur habitat, laut, dan faktor iklim. Resiliensi telah
diuji dengan gangguan dalam bentuk kekeringan atau siklus banjir dan
sedimentasi. Resiliensi erosi merupakan hasil dari intervensi manusia yang
menstabilkan proses ekosistem, seperti mitigasi dari banjir dan kekeringan atau
kebakaran (Gunderson et al. 2006).
Menurut Folke et al. (2002), terdapat empat faktor penting yang saling
berhubungan untuk mengatasi dinamika sumberdaya alam selama perubahan dan
re-organisasi, yaitu (1) belajar dengan perubahan dan ketidakpastian,
(2) memelihara keragaman, (3) mengkombinasikan berbagai macam pengetahuan,
dan (4) menciptakan peluang untuk pengorganisasian diri.
2.5 Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki tujuan yang bertentangan. Konflik secara
konseptual dapat dibedakan dengan violence (kekerasan), yaitu tindakan,
kata-kata, sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis,
lingkungan, serta menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya
(Jamil 2007).
Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), konflik dalam pemanfaatan
sumberdaya alam memiliki banyak dimensi dan tidak terbatas pada kekuasaan,
teknologi, politik, jenis kelamin, usia dan etnis. Konflik dapat terjadi pada
berbagai tingkatan, mulai dari tingkat rumah tangga, masyarakat, wilayah, atau
dalam skala global. Konflik dapat disebabkan adanya perbedaan kekuatan diantara
individu atau kelompok, serta tindakan-tindakan yang dapat mengancam mata
pencaharian. Pemanfaatan sumberdaya alam rentan terhadap timbulnya konflik
yang disebabkan oleh:
1. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam suatu wilayah dimana terjadi interaksi
antar individu atau kelompok dapat berdampak keluar dari teritorialnya.
2. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam aspek sosial dan dalam hubungan tidak
setara, terbentuk dari berbagai aktor sosial, seperti lembaga pemerintah,
yang memiliki akses terhadap kekuasaan dapat mengontrol dan mempengaruhi
keputusan-keputusan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam.
3. Sumberdaya alam tunduk pada peningkatan kelangkaan akibat perubahan
lingkungan yang cepat, seperti peningkatan permintaan dan distribusi yang
tidak merata.
Langkah penting dalam pemahaman konflik adalah menggali faktor-faktor
yang menyebabkan konflik. Hal ini dapat membantu dalam pendekatan
pengelolaan konflik. Menurut Mangkuprawira (2008), model pendekatan
pengelolaan konflik bergantung pada jenis lingkup, bobot, dan faktor-faktor
penyebab konflik. Beberapa pendekatan yang diterapkan antara lain: pendekatan
negosiasi, dinamika kelompok, pendekatan formal dan informal, pendekatan
gender, pendekatan kompromi, dan pendekatan mediasi.
Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), para pihak yang terlibat
dalam suatu konflik memiliki pandangan yang bertentangan mengenai solusi yang
tepat untuk suatu permasalahan. Masing-masing kelompok mengakui bahwa
pandangan dari kelompoknya lebih rasional dan memiliki legitimasi. Pengelolaan
konflik bertujuan untuk tidak menghindari konflik, tetapi mengembangkan
keterampilan yang dapat membantu dalam mengekspresikan perbedaan dan
memecahkan permasalahan dengan cara kolaboratif. Faktor utama yang perlu
dianalisis dalam menentukan cakupan suatu konflik adalah:
1. Karakterisasi konflik dan stakeholders: jenis konflik yang dihadapi, jumlah
stakeholders yang terlibat, dan hubungan antara pihak yang berkonflik.
Selanjutnya dianalisis sifat dan asal-usul konflik, serta keseimbangan
kekuasaan di antara pihak yang berkonflik.
2. Tahap dalam periode perencanaan: konflik pada tahap awal mungkin berbeda
dengan konflik pada tahap pelaksanaan. Stakeholders baru mungkin akan
muncul sebagai hasil perencanaan.
3. Tahap dalam proses konflik: suatu penentuan apakah konflik berada pada titik
dimana intervensi dapat diterima.
4. Hukum dan kelembagaan: penyelesaian konflik dapat melalui lembaga formal
Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), mengidentifikasi tanggapan terhadap
konflik berdasarkan tingkat kepentingan dalam mencapai tujuan atau
mempertahankan hubungan pribadi adalah:
1. Akomodasi: ketika salah satu pihak ingin mempertahankan hubungan pribadi
dengan pihak lain, maka dapat dilakukan dengan mengakomodasi tujuan pihak
lain.
2. Penarikan: salah satu pihak dapat memilih untuk menghindari konfrontasi atau
menarik diri dari konflik karena tidak tertarik dalam memelihara hubungan
pribadi atau terkait pencapaian tujuan.
3. Kekuatan: salah satu pihak lebih memegang kekuasaan atas pihak lain dan
tidak peduli dapat merusak hubungan dalam mencapai tujuan.
4. Kompromi: salah satu pihak memberikan sesuatu agar tidak ada salah satu
pihak yang dikalahkan
5. Konsensus: menghindari adanya pihak yang dikorbankan dan mencari hasil
yang memenangkan semua pihak.
Konflik yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya Danau Rawa Pening
adalah jenis konflik horisontal, yaitu terjadi pada pihak-pihak yang memiliki
hirarki yang sama terkait dengan pemanfaatan sumberdaya danau. Pendekatan
pemecahan konflik dengan mengidentifikasi penyebab terjadinya konflik dan
mengembangkan tujuan bersama dari pihak yang berkonflik terkait dengan
pemanfaatan sumberdaya danau.
2.6 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif)
Resolusi International Union for Concervation of Nature and Natural
Resources nomor 1.42 Tahun 1996 menyatakan bahwa gagasan dasar
pengelolaan kolaboratif (ko-manajemen) adalah kemitraan antara lembaga
pemerintah, komunitas lokal dan pemanfaat sumberdaya, lembaga non-pemerintah
dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka
kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah
spesifik atau sumberdaya (IUCN 1997). Melalui konsultasi dan negosiasi, para
mitra membangun suatu persetujuan formal atas peran, hak dan tanggung jawab
ko-manajemen juga disebut dengan partisipatori, pengelolaan multi stakeholders,
atau pengelolaan kolaboratif (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006).
Menurut Borrini-Feyerabend et al. (2000), pengelolaan kolaboratif atau
ko-manajemen didefinisikan sebagai sebuah situasi, dalam hal ini dua atau lebih
aktor sosial bernegosiasi, memperjelas dan memberikan garansi di antara mereka
serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggung jawab
dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu yang diberi mandat untuk
dikelola.
Berdasarkan definisi tersebut, dalam kerangka ko-manajemen terdapat
kata kunci sebagai berikut.
1. Menggunakan pendekatan pluralistik dengan memadukan peranan para pihak
dalam mengelola sumberdaya alam.
2. Merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai keadilan
sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam.
3. Memerlukan beberapa kondisi dasar untuk dikembangkan, seperti: akses
terhadap informasi dan pilihan yang relevan, kebebasan berorganisasi,
kebebasan mengekspresikan kebutuhan, lingkungan sosial yang tidak
diskriminatif, saling percaya dalam menghargai kesepakatan yang dipilih.
Pengelolaan kolaboratif berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam
berbasis masyarakat, dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis negara. Otoritas
utama dalam pengelolaan kolaboratif adalah pemerintah pusat dengan otoritas
pemerintah dan pemerintah lokal. Otoritas dalam pengelolaan berbasis masyarakat
adalah struktur pengambilan keputusan lokal dan penduduk lokal, sedangkan
otoritas dalam pengelolaan berbasis negara adalah pemerintah. Orientasi aspek
legal pengelolaan kolaboratif adalah adanya hak properti komunal atau properti
swasta. Selanjutnya tujuan pengelolaan kolaboratif adalah menciptakan
perdamaian dan demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan
melibatkan sumberdaya manusia dari berbagai tingkatan. Secara ringkas,
karakteristik perbedaan antara pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat,
pengelolaan kolaboratif (ko-manajemen), dan pengelolaan sumberdaya alam
Tabel 2 Karakteristik perbedaan antara pengelolaan berbasis masyarakat, ko-manajemen, dan pengelolaan berbasis negara
No Karakteristik Berbasis masyarakat Ko-manajemen Berbasis negara
1 Penerapan spasial Lokasi spesifik (kecil) Jaringan multi-lokasi
(moderat sampai luas)
3 Pihak bertanggung
jawab
Komunal, badan pengambilan keputusan lokal
Multi-pihak pada tataran lokal dan nasional
Dominasi pemerintah pusat
4 Tingkat partisipasi Tinggi pada tataran lokal Tinggi pada berbagai
tingkatan
Rendah, potensi eksklusivitas
kelompok kepentingan
5 Durasi kegiatan Proses awal cepat, proses
pengambilan keputusan sensitif dan cepat tanggap terhadap perubahan kondisi lingkungan lokal
Daya penyesuaian
7 Investasi finansial dan SDM
Jangka pendek, jika tanpa dukungan eksternal yang untuk lokasi lokal spesifik, sanksi moral
10 Orientasi aspek
legal
11 Orientasi resolusi konflik
Salah satu pihak ada yang dikalahkan, akomodatif,
12 Tujuan akhir Revitalisasi atau
mempertahankan status-
13 Sumber informasi
pengelolaan
Pengetahuan lokal Pengetahuan lokal dan
barat
Dominasi pengetahuan barat
Pengelolaan kolaboratif menuntut adanya kesadaran dan distribusi
tanggung jawab secara formal dari masing-masing pihak. Konsultasi publik dan
perencanaan partisipatif ditujukan untuk menetapkan bentuk peranserta yang lebih
tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan
(Borrini-Feyerabend et al. 2000). Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006);
Adrianto (2007), community-based resources management memiliki persamaan
fungsional dengan ko-manajemen. Keduanya memiliki tujuan bagi tercapainya
pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan, berkeadilan sosial dalam
kondisi ekosistem dan lingkungan yang sehat. Perbedaan keduanya terletak pada
fokus strateginya, yaitu:
1. Community-based resources management memiliki fokus strategi pada orang
dan komunitas. Ko-manajemen memiliki fokus strategi pada kedua hal
tersebut ditambah dengan isu inisiasi kemitraan antara pemerintah dan
masyarakat pemanfaat sumberdaya.
2. Community-based resources management memiliki skala dan ruang lingkup
dalam dan luar masyarakat (dari sudut pandang masyarakat), akan tetapi
ko-manajemen memiliki skala dan ruang lingkup yang lebih luas.
Dalam kerangka persamaan tujuan dan fungsi antara community-based resources
management dan ko-manajemen, dikenal community-based co-management
(CBCM) atau ko-manajemen berbasis masyarakat. Karakteristik ko-manajemen
berbasis masyarakat adalah fokus pada masyarakat tanpa meninggalkan aspek
pentingnya kemitraan dengan pemerintah.
Distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat pemanfaat
sumberdaya bervariasi, yaitu dari tipe instruktif hingga informatif. Terdapat lima
tipe ko-manajemen menurut peran pemerintah dan masyarakat pemanfaat
sumberdaya, yaitu (1) instruktif, (2) konsultatif, (3) kooperatif, (4) advisori, dan
(5) informatif. Dalam pengertian yang luas, wilayah pengelolaan ko-manajemen
dapat diilustrasikan berada di tengah-tengah atau jalan kompromistik antara
pengelolaan di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh
masyarakat pemanfaat sumberdaya. Spektrum ko-manajemen berdasarkan
distribusi peran dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat disajikan
User Group Management
Government Management
Instructive
Cooperative
Advisory
Consultative
User Group Based Management Government Based Management
Co-management (varying degrees)
Informative
Gambar 2 menunjukkan, bahwa karakteristik masing-masing tipe proses
dalam variasi ko-manajemen adalah:
1. Instruktif: terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara
pemerintah dan pemanfaat sumberdaya. Tipe ini berbeda dengan rejim
sentralisasi, dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan
pemanfaat sumberdaya. Mekanisme dialog masih dalam konteks intruksi
informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah.
2. Konsultatif: terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pemanfaat
sumberdaya, tetapi seluruh keputusan masih dibuat oleh pemerintah.
3. Kooperatif: pemerintah dan pemanfaat sumberdaya bekerja bersama-sama
sebagai patner yang setara atau equal partner di dalam pembuatan keputusan. 4. Advisori: pemanfaat sumberdaya memberikan input kepada pemerintah atas
sebuah keputusan yang seharusnya diambil, kemudian pemerintah menetapkan
keputusan tersebut.
5. Informatif: pemerintah mendelegasikan kepada kelompok pemanfaat
sumberdaya untuk membuat keputusan. Kelompok pemanfaat sumberdaya
bertanggung jawab dan wajib menginformasikan kepada pemerintah atas
keputusan tersebut.
Inisiasi ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan biasanya
dimulai dari timbulnya krisis sumberdaya perikanan sebagai konsekuensi dari
rejim open-access. Berkurangnya sumberdaya perikanan menjadi faktor utama
bagi tragedi bersama komunitas perikanan. Prinsip ini dikenal dengan Tragedy of
the Commons yang diperkenalkan oleh Gerald Hardin pada tahun 1957. Seperti
disajikan pada Gambar 3, status dan potensi sumberdaya perikanan menjadi
kompleks setelah mulai munculnya intervensi manusia. Penyebabnya adalah
adanya demands (permintaan) yang kemudian diikuti dengan eksplorasi dan
eksploitasi sumberdaya perikanan. Dalam kondisi tanpa pengelolaan, eksploitasi
mengakibatkan sumberdaya perikanan menjadi kolaps. Hal ini menjadi salah satu
latar belakang timbulnya kesadaran pentingnya keberlanjutan dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan (Adrianto 2007).
= ordinary (biasanya)
= strengthening (penguatan) Status dan
Menurut Adrianto (2007), perubahan rejim pengelolaan perikanan mulai
terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, yaitu dari pengelolaan yang sentralistik menjadi pengelolaan
desentralistik dengan mengadopsi pengetahuan lokal masyarakat dalam
pengelolaan perikanan (pasal 2 dan pasal 6).
Pasal 2
Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.
Pasal 6
(1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan
(2) Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peranserta masyarakat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 secara temporal menjadi dasar hukum
yang kuat bagi pentingnya ko-manajemen perikanan di Indonesia. Secara
diagramatik perubahan rejim pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia
disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Perubahan rejim pengelolaan perikanan Indonesia (Adrianto 2007)
Danau Rawa Pening mengalami krisis perikanan akibat tingginya
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan. Hal ini menjadi penyebab
timbulnya permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengelolaan mengakibatkan
banyak peran dan kepentingan terhadap potensi sumberdaya. Pengelolaan berbasis
ko-manajemen merupakan salah satu proses perbaikan sistem pengelolaan
sumberdaya perikanan yang dapat mempertemukan atau mengintegrasikan
kepentingan dari seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan. Hasil
penelitian Salmi et al. (2000) di Danau Finnish Finlandia, menunjukkan bahwa
perencanaan dan pengelolaan danau yang terintegrasi dapat menyediakan forum
dialog antar berbagai individu dan kelompok kepentingan. Dalam hal ini,
keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dapat dilaksanakan pada skala lokal dan
regional dengan beberapa penyesuaian yang lebih rasional.
Dalam kerangka pengelolaan kolaboratif, definisi stakeholders adalah
semua pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan
aksi dari sistem tersebut. Dalam hal ini, unit stakeholders dapat berupa individu,
kelompok sosial atau komunitas berbagai tingkatan dalam masyarakat (Grimble