ISOLASI DAN KARAKTERISASI PROTEIN PUPA
Bombyx
mori
SERTA APLIKASINYA PADA PEMBUATAN
SUSU BUBUK TINGGI PROTEIN
ACEP USMAN ABDULLAH
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Isolasi dan Karakterisasi Protein Pupa Bombyx mori serta Aplikasinya pada Pembuatan Susu Bubuk Tinggi Protein adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
ACEP USMAN ABDULLAH. Isolasi dan Karakterisasi Protein Pupa Bombyx mori serta Aplikasinya pada Pembuatan Susu Bubuk Tinggi Protein. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI dan ZAKIAH WULANDARI.
Pupa ulat sutera (Bombyx mori) memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber fortificant alternatif pada susu bubuk tinggi protein. Penelitian ini bertujuan: 1) mengisolasi protein pupa ulat sutera dan mengarakterisasi isolat protein pupa ulat sutera (IPPUS) yang dihasilkan, 2) menerangkan dampak fortifikasi IPPUS terhadap karakteristik susu bubuk dan mencari persentase terbaik fortifikasi IPPUS. Perlakuan yang digunakan ialah fortifikasi IPPUS ke dalam susu bubuk dengan persentase yang berbeda, yaitu 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Delipidisasi menurunkan 60.87% kandungan lemak tepung pupa sedangkan modifikasi pH isolasi protein menghasilkan kemurnian protein IPPUS yang tinggi, 81.84%. Fortifikasi IPPUS meningkatkan kualitas protein susu bubuk dan 20% IPPUS dipilih sebagai persentase terbaik dengan susu bubuk yang dihasilkan berklaim tinggi protein dan berkarakteristik fisik dan kimia masih layak.
Kata kunci: isolat protein, pupa, susu bubuk
ABSTRACT
ACEP USMAN ABDULLAH. Isolation and Characterization of Bombyx mori Pupae Protein and Its Application on Producing High Protein Powdered Milk. Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and ZAKIAH WULANDARI.
Silkworm pupae (Bombyx mori) could be potentially developed as an alternative fortificant source for high protein powdered milk. The objectives of this research are 1) to isolate the silkworm pupae’s protein and to characterize the acquired silkworm pupae’s protein isolate (SPPI), 2) to discuss powdered milk’s characteristic affected by SPPI fortification and to find its best percentage fortification. The treatment used was fortification of SPPI into powdered milk in different levels as follows: 0%, 5%, 10%, 15%, and 20%. Defatting process decreased 60.87% fat content of powdered pupae. Modified protein isolation method produced SPPI with high purity protein, 81.84%. Protein quality of powdered milk increased after SPPI fortification and 20% SPPI fortification was selected as the best percentage producing high protein-claimed powdered milk with acceptable physical and chemial characteristic.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
ISOLASI DAN KARAKTERISASI PROTEIN PUPA
Bombyx
mori
SERTA APLIKASINYA PADA PEMBUATAN
SUSU BUBUK TINGGI PROTEIN
ACEP USMAN ABDULLAH
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Isolasi dan Karakterisasi Protein Pupa Bombyx mori serta Aplikasinya pada Pembuatan Susu Bubuk Tinggi Protein Nama : Acep Usman Abdullah
NIM : D14080330
Disetujui oleh
Dr Ir Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA (Alm) Pembimbing I
Zakiah Wulandari, STP MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kehendak-Nyalah karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Skripsi ini terwujud atas bimbingan dan arahan yang sangat berarti dari Dr Ir Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA (alm) dan Zakiah Wulandari, STP MSi selaku pembimbing; atas bantuan dana penelitian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Fakultas Peternakan IPB serta bantuan pupa ulat sutera dari Rumah Sutera Alam Bogor.
Apresiasi juga penulis sampaikan kepada tim PKMP atas bantuan teknisnya selama penelitian dan kepada kedua orang tua atas dukungan dan kepercayaan yang tinggi. Semoga karya ilmiah ini berguna dan menginspirasi bagi dunia ilmu dan pengetahuan.
DAFTAR ISI
Karakteristik Susu Bubuk yang Difortifikasi IPPUS 6
Penentuan Persentase Terbaik Fortifikasi IPPUS 10
Karakteristik Organoleptik Susu Bubuk Persentase Terbaik 10
setelah Mengalami Formulasi Lanjutan 10
SIMPULAN DAN SARAN 11
DAFTAR PUSTAKA 11
LAMPIRAN 13
DAFTAR TABEL
1 Jumlah, pelarut, dan titik isoelektrik/pengendap protein empat fraksi 3 2 Kandungan lemak tepung pupa dengan dan tanpa delipidisasi 4
3 Kandungan sifat fisik dan kimia IPPUS 5
4 Kandungan protein dan kecernaan protein in vitro susu bubuk 6 5 Kandungan protein dan asam amino pada sampel dan pembanding 7 6 Kelarutan dan kehalusan mesh 80 susu bubuk pada perlakuan lima taraf 8 7 Kandungan air, energi kasar (GE), abu, dan NaCl susu bubuk 9 8 Kandungan kalsium dan fosfor IPPUS, susu bubuk 0% IPPUS 9 9 Tingkat aroma dan rasa IPPUS pada susu bubuk persentase terbaik 11
DAFTAR GAMBAR
1 Alur kerja penelitian keseluruhan 2
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan klaim produk tinggi protein 13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat dengan berbagai aktivitas tinggi menuntut ketersediaan pangan yang bergizi tinggi dan praktis. Pangan yang difortifikasi protein merupakan pangan praktis untuk kalangan masyarakat yang membutuhkan asupan protein tinggi. Salah satu contoh pangan yang difortifikasi protein dan saat ini menjadi tren baru di Indonesia ialah susu bubuk tinggi protein dengan protein yang digunakan bersumber dari whey dan kasein.
Pupa ulat sutera (Bombyx mori) merupakan hasil samping (by-product) industri pemintalan benang sutera yang mengandung protein tinggi (55.6%) dengan asam amino yang seimbang (Tomotake et al. 2010). Pemanfaatan pupa ulat sutera sebagai produk pangan komersial sudah umum dilakukan di negara lain. Penelitian tentang potensi pemanfaatan pupa ulat sutera sebagai fortificant protein belum banyak dilakukan. Khan et al. (2011) telah mengisolasi protein pupa ulat sutera kemudian mengaplikasikan isolat protein yang didapatkan sebagai fortificant protein pada susu bubuk. Penelitian lanjutan dibutuhkan guna menghasilkan isolat protein yang lebih murni melalui perbaikan metode isolasi protein sehingga dihasilkan susu bubuk dengan karakteristik lebih baik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1) mengisolasi protein pupa ulat sutera (Bombyx mori) dan mengarakterisasi isolat protein pupa ulat sutera (IPPUS) yang dihasilkan, 2) menerangkan dampak fortifikasi IPPUS terhadap karakteristik susu bubuk dan mencari persentase terbaik fortifikasi IPPUS.
Ruang Lingkup Penelitian
Cakupan penelitian ini mulai dari pembuatan isolat protein pupa ulat sutera sampai penerapannya pada susu bubuk. Pengujian dilakukan pada produk penelitian ini yang meliputi tepung pupa delipidisasi, IPPUS, dan susu bubuk yang difortifikasi IPPUS. Formulasi lanjutan pada susu bubuk yang difortifikasi IPPUS dengan persentase terbaik juga tercakup pada penelitian ini.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan dan Alat
Pupa ulat sutera berasal dari hasil samping proses pemintalan benang sutera di Rumah Sutera Alam, Ciapus, Bogor. Susu segar berasal dari sapi perah jenis Friesian Holstein (FH) yang diperoleh langsung setelah pemerahan di pagi hari di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB. IPPUS dan susu dikeringkan dengan pengering semprot Buchi 190 mini spray dryer. Kandungan asam amino dianalisis dengan high performance liquid chromatography (HPLC).
Prosedur
Prosedur penelitian ini terdiri atas 5 tahap utama: pembuatan tepung pupa, delipidisasi (defatting), isolasi protein, fortifikasi IPPUS ke susu bubuk, dan analisis IPPUS dan susu bubuk yang difortifikasi IPPUS. Alur kerja penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Alur kerja penelitian keseluruhan
Pembuatan Tepung Pupa
Tepung pupa diperoleh melalui pencucian dengan air bersih, perebusan (10 menit, 100 oC), pengeringan pada oven (24 jam, 60 oC), dan penghalusan dengan blender. Kandungan lemak tepung pupa selanjutnya dikurangi melalui delipidisasi.
Delipidisasi (Modifikasi Agboola et al. 2005)
Tepung pupa dicampur pada 1:4 heksana teknis (b/v). Campuran diaduk selama 30 menit dan disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 5 000 rpm dan suhu 4 oC sehingga dihasilkan pelet. Pelet kemudian dibiarkan selama 24 jam di ruang asam.
Isolasi Protein
Isolasi protein tepung pupa hasil delipidisasi dilakukan dengan modifikasi metode Yuslinawati (2006) melalui mekanisme ekstraksi dan presipitasi protein (Gambar 2). Ekstraksi dilakukan pada kondisi basa (pH 11) untuk melarutkan
bubuk difortifikasi IPPUS Susu bubuk yang
Analisis karakteristik Analisis karakteristik
3 fraksi-fraksi protein yang dikandung oleh tepung pupa berdasarkan prinsip kelarutan protein. Presipitasi dilakukan pada kondisi asam (pH 4.1) untuk mengendapkan fraksi-fraksi protein terlarut berdasarkan titik isoelektrik protein.
Gambar 2 Alur proses isolasi protein tepung pupa ulat sutera Tabel 1 Jumlah, pelarut, dan titik isoelektrik/pengendap protein empat fraksi
protein tepung pupa Bombxy mori* Fraksi
IPPUS yang dihasilkan dari proses isolasi protein kemudian dipurifikasi melalui pencucian dengan akuades dan sentrifugasi. Pengeringan selanjutnya dilakukan dengan pengering semprot pada suhu inlet 180 oC dan suhu outlet 90 oC dengan hasil akhir IPPUS berbentuk bubuk (Purbayanto 2009). Rangkaian tahap isolasi protein ditampilkan pada gambar 2.
Fortifikasi IPPUS ke Susu Bubuk
Fortifikasi IPPUS dilakukan dengan menambahkan bubuk IPPUS ke susu bubuk dengan konsentrasi 0% (kontrol), 5%, 10%, 15%, dan 20% (b/b). Susu bubuk diperoleh melalui pengeringan susu sapi segar dengan pengering semprot pada suhu inlet 180 oC dan suhu outlet 90 oC yang sebelumnya sudah melewati pasteurisasi, evaporasi, dan homogenisasi (Purbayanto 2009).
Tepung pupa delipidisasi
Penambahan akuades (1:3)
Residu
4
Analisis IPPUS dan Susu Bubuk yang Difortifikasi IPPUS
IPPUS dan susu bubuk yang difortifikasi IPPUS dianalisis berdasarkan: 1) karakteristik kimia melalui pengujian beberapa kandungan komponen berikut : protein kasar dengan metode Kjeldahl (AOAC 2005), asam amino dengan teknik HPLC (AOAC 2005), air (AOAC 2005), abu (AOAC 2005), lemak dengan metode Soxhlet (AOAC 2005), energi kasar dengan bomb kalorimeter (AOAC 2005), NaCl (Metode Volhard), kalsium (AOAC 2005), dan fosfor (AOAC 2005); 2) kecernaan protein secara in vitro (Saunders et al. 1973); 3) karakteristik fisik: rendemen (AOAC 2005), kelarutan dengan kertas saring berabu (modifikasi AOAC 1995), dan kehalusan tepung dengan ayakan mesh 80 (modifikasi DSN 1992); dan 4) uji mutu hedonik (Rahayu 2001).
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga kali pengulangan. Data dianalisis secara parametrik dengan analysis of variance (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey dan uji polinomial ortogonal (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Khusus data organoleptik dianalisis secara nonparametrik dengan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji pembandingan berganda (Mattjik dan Sumertajaya 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Karakterisasi IPPUS
IPPUS diperoleh melalui perbaikan metode isolasi protein guna meningkatkan kemurnian isolat protein dibandingkan dengan metode penelitian sebelumnya. Invensi penelitian ini dari penelitian sebelumnya ialah aplikasi delipidisasi dan modifikasi pH isolasi protein.
Tabel 2 Kandungan lemak tepung pupa dengan dan tanpa delipidisasi
Sampel Kandungan lemak (% bk)
Tepung pupa tanpa delipidisasi 26.43* Tepung pupa dengan delipidisasi 10.34 *
Sumber: Khan et al. (2011).
5 Tabel 3 Kandungan sifat fisik dan kimia IPPUS
Peubah yang diukur Kandungan (%) Kadar protein 81.84 ± 0.62* Kecernaan protein 94.59 ± 0.43* Kadar lemak 6.22 ± 0.10*
Kadar air 7.16 ± 0.03
Kadar abu 3.94 ± 0.55*
Rendemen 29.94*
*Pengukuran dalam basis kering
IPPUS yang diperoleh belum mencapai kemurnian protein di atas 90% sebagaimana isolat protein umumnya (White et al. 2013). Meskipun demikian, kemurnian protein IPPUS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemurnian protein rata-rata konsentrat protein yang secara umum tidak mencapai 76% (Sogi et al 2002; Sogi and Chandi 2006; Mao and Hua 2012). Isolasi protein menghasilkan pasta IPPUS dengan warna coklat kekuningan (Gambar 3). Pasta IPPUS dikeringkan dengan pengeringan semprot dan menghasilkan bubuk IPPUS dengan karakteristik seperti pada Tabel 3.
a b c
Gambar 3 Tepung pupa hasil delipidisasi (a), pasta IPPUS (b), dan bubuk IPPUS hasil pengeringan pasta IPPUS dengan pengering semprot (c)
6
Karakteristik Susu Bubuk yang Difortifikasi IPPUS
Profil Protein dan Kecernaan Secara in Vitro
Kandungan protein susu bubuk meningkat seiring dengan meningkatnya taraf fortifikasi IPPUS. Peningkatan ini terjadi karena IPPUS mengandung protein yang sangat tinggi, 81.84% (Tabel 3). Peningkatan protein secara sangat nyata terjadi pada susu bubuk dengan taraf fortifikasi IPPUS 20% yang mengandung protein sebesar 40.44% (Tabel 4). Susu bubuk pada seluruh perlakuan telah memenuhi standar kandungan protein berdasarkan SNI 01-2970-2006 yang mensyaratkan kadar protein susu bubuk minimal 23% (BSN 2006). Klaim produk tinggi protein tepat diberikan untuk susu bubuk yang difortifikasi IPPUS 20% sesuai aturan CAC (2001) yang mensyaratkan minimal 20% dari angka kecukupan gizi (AKG) protein manusia dipenuhi dari produk tersebut. Kebutuhan 20% protein tersebut setara dengan 12 g protein (Lampiran 1).
Tabel 4 Kandungan protein dan kecernaan protein in vitro susu bubuk pada perla- kuan lima taraf fortifikasi IPPUS
IPPUS
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kapital yang tidak sama dan huruf kecil yang tidak sama masing-masing berbeda sangat nyata (P < 0.01) dan berbeda nyata (P < 0.05).
Persentase kecernaan protein dan persentase protein tercerna susu bubuk ditunjukkan pada Tabel 4. Kecernaan protein menunjukkan kemampuan suatu protein dalam bahan pangan untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim protease di saluran pencernaan. Persentase protein tercerna menunjukkan banyaknya protein yang tersedia untuk digunakan oleh tubuh yang dapat dihitung melalui perkalian persentase kecernaan protein dan persentase kandungan protein (Muchtadi 2010).
7
Profil Asam Amino
Tabel 5 menerangkan bahwa IPPUS mengandung asam amino lengkap yang dapat dilihat dari ketersediaan asam-asam amino esensial. Kandungan asam amino IPPUS terlihat rebih rendah dibandingkan dengan susu bubuk kontrol, namun jumlah susu bubuk kontrol yang dibutuhkan untuk mencapai 100 g protein jauh lebih tinggi, yaitu 343 g bahan, sedangkan IPPUS hanya 132 g bahan. Fenilalanina merupakan asam amino pembatas pada IPPUS sedangkan metionina merupakan asam amino pembatas pada susu bubuk kontrol dan susu bubuk 20% IPPUS.
Tabel 5 Kandungan protein dan asam amino pada sampel dan pembanding
Peubah yang diukur A1 B2 C3 D4
Asam aspartat 7580.94 6458.26 6021.28 7400.00 Asam glutamat 13937.88 14805.91 16506.62 22900.00 Fenilalanina5 2197.95 3675.71 2880.87 5000.00
Glisina 5593.58 1958.09 1790.81 2600.00
Histidina 7515.14 2679.49 2335.84 2400.00
Isoleusina5 3961.57 4431.47 4931.22 5300.00
Leusina5 7515.14 11301.96 8798.34 10200.00
Lisina5 9528.82 9687.39 10173.89 7600.00
Metionina5 2934.98 3126.07 1920.58 4500.00
Prolina 11437.22 8382.00 6799.90 -
Serina 2777.05 3710.07 4048.79 4600.00
Sisteina 3224.53 1889.39 1609.14 -
Tirosina 4580.15 3710.07 4879.31 4700.00
Treonina5 2303.24 3263.48 3114.46 2700.00
Valina5 3264.02 4774.99 4256.42 5900.00
BCAA6 14740.72 20508.42 17985.98 21400.00
1
IPPUS,2Susu bubuk tanpa fortifikasi IPPUS, 3Susu bubuk 20% IPPUS, 4Susu bubuk tinggi protein komersial, 5Asam amino esensial, 6Branched chain amino acids (isoleusina, leusina, dan valina), tanda hubung em (—) menunjukkan tidak tercantum pada label kemasan produk.
8
Karakteristik Fisik
Fortifikasi IPPUS menurunkan tingkat kelarutan susu bubuk secara tidak nyata (Tabel 6). Penurunan kelarutan ini terjadi seiring dengan meningkatnya taraf fortifikasi IPPUS. Rendahnya tingkat kelarutan IPPUS akibat denaturasi protein selama proses isolasi bertanggung jawab terhadap menurunnya kelarutan susu bubuk ini (Winarno 2008).
Tabel 6 Kelarutan dan kehalusan mesh 80 susu bubuk pada perlakuan lima taraf fortifikasi IPPUS
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (P > 0.05), 2Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda ayakan ukuran mesh 80. Fortifikasi IPPUS menurunkan kehalusan susu bubuk dan menurun secara sangat nyata pada taraf fortifikasi IPPUS 10% (Tabel 6). Ukuran partikel IPPUS yang tidak merata, sebagian memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan susu bubuk, menyebabkan rendahnya kehalusan susu bubuk secara keseluruhan. Rendahnya kelarutan protein dalam air akibat denaturasi memungkinkan IPPUS mengalami penggumpalan sebelum pengeringan dan mempersulit proses evaporasi. Proses penghalusan tepung pupa dengan blender turut berpengaruh terhadap ukuran partikel IPPUS yang dihasilkan. Fortifikasi IPPUS 10% telah menghasilkan susu bubuk dengan kehalusan mesh 91.60% (>90%) yang masih tergolong kualitas baik (Ambarsari et al. 2009).
Karakteristik Kimia
9 lebih tinggi dibanding kontrol yaitu 7.16% (Tabel 3). Kadar air paling tinggi terdapat pada susu bubuk dengan fortifikasi IPPUS 20%, yakni 4.71% yang masih tergolong kualitas baik (kadar air < 5%) (BSN 2006).
Tabel 7 Kandungan air, energi kasar (GE), abu, dan NaCl susu bubuk pada perla- kuan lima taraf fortifikasi IPPUS
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata (P < 0.05), 2Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (P > 0.05), 2, 3Pengukuran pada basis kering.
Kandungan energi kasar (gross energy) susu bubuk meningkat seiring dengan meningkatnya taraf fortifikasi IPPUS. Kandungan energi terbesar dicapai pada susu bubuk dengan taraf fortifikasi IPPUS 20%, 5307.84 kal/g. Peran protein sebagai sumber energi turut berkontribusi terhadap peningkatan energi ini. Kandungan abu susu bubuk menurun seiring dengan meningkatnya taraf fortifikasi IPPUS akibat kadar abu IPPUS yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol yaitu 3.94% (Tabel 3). Kadar abu yang tinggi menunjukkan kadar mineral yang tinggi. Kandungan NaCl susu bubuk tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata setelah perlakuan fortifikasi IPPUS. Artinya, tahap pencucian pada metode isolasi protein mampu membersihkan sisa NaCl pada IPPUS sebagai hasil dari reaksi antara NaOH dan HCl selama proses isolasi protein.
Kandungan Kalsium dan Fosfor
Tabel 8 menunjukkan bahwa IPPUS mengandung kadar kalsium (Ca) dan fosfor (P) lebih rendah dibandingkan dengan susu bubuk. Hal ini wajar karena komponen terbesar IPPUS ialah protein. Persentase kalsium dan fosfor dalam abu yang masih rendah menandakan adanya mineral-mineral lain dengan jumlah total yang tinggi dalam IPPUS.
10
Susu bubuk 20% IPPUS mengandung kalsium dan fosfor berturut-turut 223 mg dan 262 mg per sajian (36 g). Artinya, susu tersebut dapat menyumbang 27.87% dan 43.67% dari AKG kalsium dan fosfor orang dewasa yang membutuhkan 800 mg dan 600 mg masing-masing (LIPI 2004).
Penentuan Persentase Terbaik Fortifikasi IPPUS
Fortifikasi IPPUS secara linear meningkatkan kualitas protein susu bubuk yang dilihat dari kadar rotein, kecernaan protein, dan persentase protein tercerna. Peningkatan kualitas protein tersebut dibatasi dengan kualitas fisik dan kimia susu bubuk yang umumnya mengalami penurunan secara linear. Fortifikasi IPPUS dimaksudkan untuk menghasilkan susu bubuk tinggi protein sehingga kualitas protein menjadi penentu utama pemilihan persentase terbaik fortifikasi IPPUS. Susu bubuk semua perlakuan belum bisa diklaim sebagai pangan tinggi protein kecuali pada perlakuan 15% dan 20% IPPUS (CAC 2001). Susu bubuk 20% IPPUS memiliki kualitas protein lebih tinggi dibandingkan dengan susu bubuk 15% IPPUS dengan karakteristik fisik dan kimia tidak jauh berbeda. Informasi tersebut menjadi dasar penentuan 20% IPPUS sebagai persentase terbaik fortifikasi IPPUS pada susu bubuk.
Karakteristik Organoleptik Susu Bubuk Persentase Terbaik setelah Mengalami Formulasi Lanjutan
Formulasi lanjutan pada susu bubuk persentase terbaik dilakukan dengan penyaringan mesh 80 sebelum penambahan flavor pada taraf 15%, 20%, dan 25% (Lampiran 2). Penampilan umum susu bubuk persentase terbaik setelah formulasi lanjutan dan hasil uji mutu hedoniknya ditampilkan pada Gambar 5 dan Tabel 9.
a b c d
Gambar 5 Susu bubuk persentase terbaik yang ditambahkan flavor 0% (a), 15% (b) 20% (c), dan 25% (d)
11 mengandung residu asam amino hidrofobik (Matoba and Hata 1972). Penyaringan dengan saringan mesh 80 membantu memperhalus dan menyeragamkan tekstur susu bubuk.
Tabel 9 Tingkat aroma dan rasa IPPUS pada susu bubuk persentase terbaik dengan tiga taraf penambahan flavor
Flavor (%) Aroma IPPUS1 Rasa IPPUS1 nyata (P < 0.01); 1: tidak tercium/terasa, 2: lemah, 3: agak kuat, 4: kuat, 5: sangat kuat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Delipidisasi dan modifikasi pH isolasi protein menghasilkan isolat protein pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam bentuk bubuk dengan warna coklat kekuningan yang memiliki kemurnian protein 81.84%. Fortifikasi IPPUS pada susu bubuk mampu meningkatkan kualitas protein susu bubuk. Persentase terbaik ialah fortifikasi 20% IPPUS yang menghasilkan susu bubuk berklaim tinggi protein dengan karakteristik fisik dan kimia masih layak.
Saran
Penelitian lebih lanjut tentang daya simpan dan keamanan pangan susu bubuk yang difortifikasi IPPUS serta penyempurnaan metode isolasi protein sangat disarankan.
DAFTAR PUSTAKA
Agboola S, Ng D, Mills D. 2005. Characterisation and functional properties of Australian rice protein isolates. J Cer Sci. 41:283–290.
Ambarsari I, Sarjana, Choliq A. 2009. Rekomendasi dalam penetapan standar mutu tepung ubi jalar. J Standardisasi. 11(3):212–219.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Method of Analysis. Washington DC (US): AOAC.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-2970-2006: Susu Bubuk. Jakarta (ID): BSN.
12
[DSN] Dewan Standarisasi Nasional Indonesia. 1992. SNI 01-2891: Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): DSN.
[FAO/WHO] Food and Agricultural Organization/World Health Organization. 1973. Energy and Protein Requirements. Report of a Joint FAO/WHO Ad Hoc Expert Committee. Geneva (CH): FAO/WHO.
Ju ZY, Hettiarachchy NS, Rath N. 2001. Extraction, denaturation and hydrophobic properties of rice flour proteins. J Food Sci. 66(2):229–232. Khan MS, Ribka, Abdullah AU, Wulandari Z, Maheswari RRA, Aulia UN,
Pratama R. 2011. Fortification of Bombyx mori silkworm pupae by-product isolate protein in powdered milk. 18th Tri-University International Joint Seminar and Symposium; 2011 Oct 26–31; Jiangsu, China. Jiangsu (CN): Jiangsu University.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): LIPI.
Mao X, Hua Y. 2012. Composition, structure and functional properties of protein concentrates and isolates produced from walnut (Juglans regia L.). Int J Mol Sci. 13:1561−1581. doi:10.3390/ijms13021561.
Matoba T, Hata T. 1972. Relationship between bitterness of peptides and their chemical structure. Agric Biol Chem. 36(8):1423.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. Bogor (ID): IPB Pr.
Muchtadi D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung (ID): Alfabeta. Purbayanto AT. 2009. Efek pengaturan suhu outlet pada pengering semprot
terhadap sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing bubuk [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saunders RM, Connor MA, Booth AN, Bickoff EM, Kohler GO. 1973. Measurement of digestibility of alfalfa protein concentrates by in vivo and in vitro methods. J Nutr. 103:530–535.
Shimomura Y, Murakami T, Nakai N, Nagasaki M, Harris RA. 2004. Exercise promotes BCAA catabolism: effects of BCAA supplementation on skeletal muscle during exercise. J Nutr. 134: 1583S–1587S
Sogi DS, Chandi GK. 2006. Functional properties of rice bran protein concentrates. J Food Eng. 79:592−597.
Sogi DS, Garg SK, Bawa AS. 2002. Functional properties of seed meals and protein concentrates from tomato processing waste. J Food Sci. 67:2997–3001. Tomotake H, Katagiri M, Yamato M. 2010. Silkworm pupae (Bombyx mori) are
new sources of high quality protein and lipid. J Nutr Sci Vitaminol. 56:446– 448.
Wang W, Wang N, Zhou Y, Zhang Y, Xu L, Xu J, Feng F, He G. 2010. Isolation of a novel peptide from silkworm pupae protein components and interaction characteristics to angiotensin I-converting enzyme. Eur Food Res Technol. 232:29–38.doi 10.1007/s00217-010-1358-8.
White SS, Fox KM, Jervis SM, Drake MA. 2013. Influence of heating and acidification on the flavor of whey protein isolate. J Dairy Sci. 96:1366–1379. Yuslinawati. 2006. Isolasi dan karakterisasi sifat-sifat fungsional protein ampas
13
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perhitungan klaim produk tinggi protein
Kebutuhan protein (AKG pria dewasa) : 60 g/hari
Syarat pangan tinggi protein : min 20% AKG/sajian
Batas minimal kandungan protein pada
produk tinggi protein : 12 g/sajian
Saran penyajian : 36 g*
Persentase protein susu bubuk terbaik : 40.44% bk atau 38.53% bb
Kandungan protein susu bubuk terbaik
sesuai saran penyajian : 38.53% x 36 g = 13.87 g
*
Sesuai saran penyajian susu bubuk tinggi protein komersial
Lampiran 2 Formulasi lanjutan susu bubuk persentase fortifikasi IPPUS terbaik
Komposisi Persentase flavor (g)
0%* 15% 20% 25%
*Sampel standar pada uji mutu hedonik
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang dilahirkan di Sukabumi pada 22 Januari 1990 dari pasangan orang tua Badrudin, SPdSD dan Neneng Nurhayati. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Sukaraja, Sukabumi (2007) kemudian masuk ke IPB melalui jalur SNMPTN (2008).
14