• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan."

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL DINAMIKA PERTUMBUHAN EKONOMI

PEDESAAN DAN PERKOTAAN

SUGIYANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

S u g i y a n t o r o

(3)

ABSTRACT

SUGIYANTORO. Dynamics Model for Rural and Urban Economic Growth. Under supervision of ENDAR H. NUGRAHANI and RETNO BUDIARTI.

Lewis theory of structural change has focused on mechanisms that allow countries to transform their domestic economic structure to a more modern economy. The proposed model deals with the mechanism of interaction between rural and urban Economic. This model is concerned with the process of labor transfer from rural to urban areas. This study aims to model the dynamics of economic growth in rural and urban areas, including determining the equilibrium solution and to carry out simulation of the model. The simulation results show that the transfer of labor from rural to urban areas will increase the rate of change of capital so that structural changes can be realized. In addition, increased propensity to save in rural areas will also accelerate structural change.

Key words: economic growth model, rural and urban interaction, labor migration, propensity to save, structural change, equilibrium

(4)

RINGKASAN

SUGIYANTORO. Model Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan. Dibimbing oleh ENDAR H. NUGRAHANI dan RETNO BUDIARTI.

Dewasa ini, hampir semua negara di dunia tengah bekerja keras untuk melaksanakan pembangunan. Salah satu komponen utama keberhasilan pembangunan ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang mempunyai arti penting bagi setiap negara adalah akumulasi modal, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi.

Sebagian besar negara di dunia ini termasuk Indonesia dalam kategori negara berkembang dengan perekonomian yang terbelakang. Model pertumbuhan ekonomi yang akan dibahas menggunakan pendekatan pola perubahan struktural yang dirumuskan oleh W. Arthur Lewis yang dikenal dengan Teori Pembangunan Lewis. Teori perubahan struktural memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih berkembang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa yang tangguh dengan cara tenaga kerja di pedesaan yang mengalami surplus pindah ke perkotaan.

Model pertumbuhan ekonomi telah banyak dimodelkan oleh Zhang (2005). Di antara model pertumbuhan ekonomi yang diajukan oleh Zhang telah dikaji oleh Tajau (2008), Herliani (2009). Tajau menekankan pada modal dan

knowledge, sedangkan Herliani pada perpindahan/pertukaran modal antar-kelompok. Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya proses perpindahan tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan, serta pertumbuhan output

dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat model dinamika pertumbuhan ekonomi pedesaan dan perkotaan, termasuk didalamnya menentukan solusi ekuilibrium, dan membuat simulasi dari model tersebut.

Pada model ini diasumsikan sistem ekonomi terdiri atas dua daerah, yaitu daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Diasumsikan bahwa di pedesaan terjadi surplus tenaga kerja, tingkat suku bunga besarnya sama pada kedua daerah, semua pekerjaan di daerah pedesaan menghasilkan output yang sama sehingga tingkat upah riil di daerah pedesaan ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja rata-rata, dan pertumbuhan tenaga kerja masing-masing daerah mengikuti fungsi logistik.

(5)

struktural. Perubahan struktural belum terjadi pada saat kecenderungan menabung daerah pedesaan 30%, dan saat kecenderungan menabungnya meningkat menjadi 48% perubahan struktural hampir terjadi. Kemudian saat kecenderungan menabungnya meningkat lagi menjadi 68% perubahan struktural sudah terjadi. Jika semakin kecil kecenderungan konsumsi daerah pedesaan atau dengan kata lain semakin besar kecenderungan menabungnya, maka perubahan struktural akan terwujud dengan cepat dan begitu pula sebaliknya. Dampak dari perubahan struktural dapat meningkatkan output produksi, pendapatan bersih, banyaknya konsumsi dan tabungan, serta dapat menurunkan jumlah tenaga kerja yang pindah. Semua nilai dari variabel-variabel endogen tersebut selalu lebih besar pada saat perubahan struktural telah terjadi bila dibandingkan dengan pada saat perubahan struktural itu belum terjadi, kecuali variabel perpindahan tenaga kerja. Dengan demikian cara untuk mengoptimalkan variabel-variabel tersebut sebaiknya dengan cara mendorong terjadinya perubahan struktural terlebih dahulu.

Kondisi ekuilibrium didapat sebagai persamaan implisit dari fungsi modal perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan simulasi, gambar arah medan menuju pada dua titik tetap akan tetapi hanya ada satu titik tetap yang stabil, sehingga solusi pada saat ekuilibrium tunggal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada saat ekuilibrium, baik terjadi ataupun tidak terjadi perubahan struktural, masing-masing kasus mempunyai satu titik tetap yang stabil.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)
(8)

Judul Tesis : Model Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan Nama : Sugiyantoro

NRP : G551090171

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. Ketua

Ir. Retno Budiarti, M.S. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Matematika Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)

Karya ini aku persembahkan buat:

Istriku Siti Juwairiah Saefoeddin

Anak-anakku: Muhammad Hafidz Massugi,

Abdul Harits Massugi, Zahra Putri Massugi,

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2010 ini adalah model pertumbuhan ekonomi yang memperhatikan surplus tenaga kerja, dengan judul Model Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. dan Ibu Ir. Retno Budiarti, M.S. yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dalam penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah membiayai penelitian ini. Kepada ibunda, istri, anak-anakku, dan seluruh keluarga atas segala doa, motivasi, serta kasih sayangnya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penulisan tesis ini. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka di dunia dan akhirat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2011

(11)

MODEL DINAMIKA PERTUMBUHAN EKONOMI

PEDESAAN DAN PERKOTAAN

SUGIYANTORO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Matematika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 27 Juni 1979 dari pasangan bapak Sastro Suwito dan ibu Seminah. Penulis merupakan putra ke lima dari enam bersaudara.

Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Warmare Manokwari Papua Barat. Pada tahun yang sama pula penulis diterima masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih Jayapura Papua melalui jalur UMPTN. Penulis memilih program studi Pendidikan Matematika pada Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Setelah mengikuti perkuliahan selama sembilan semester, pada bulan Maret 2002 penulis dinyatakan lulus.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan Penelitian ... 2

1.3Manfaat Penelitian ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pengertian Pertumbuhan Ekonomi ... 3

2.2Komponen Pertumbuhan Ekonomi ... 3

2.2.1 Akumulasi Modal ... 3

2.2.2 Populasi dan Pertumbuhan Angkatan Kerja ... 4

2.2.3 Kemajuan Teknologi ... 5

2.3Model Pertumbuhan Ekonomi ... 6

2.4 Perubahan Struktur Ekonomi ... 8

2.5 Fungsi Produksi ... 8

2.6 Ekuilibrium ... 15

2.7 Fungsi Logistik ... 17

3 MODEL DINAMIKA PEDESAAN DAN PERKOTAAN 3.1 Perumusan Model ... 19

3.2 Ekuilibrium Sistem Dinamik ... 22

4 SIMULASI MODEL 4.1Menentukan Variabel-variabel Endogen di Setiap Titik Waktu ... 25

4.1.1 Pertumbuhan Modal ... 25

4.1.2 Perpindahan Tenaga Kerja ... 30

4.1.3 Pendapatan Bersih ... 32

4.1.4 Output Produksi ... 35

4.1.5 Besarnya Konsumsi dan Tabungan ... 39

4.2Menentukan Variabel-variabel Endogen di Saat Ekuilibrium ... 47

4.2.1 Modal ... 48

4.2.2 Pendapatan Bersih ... 53

(14)

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 55

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Besaran parameter modal masing-masing daerah saat kecenderungan

menabung daerah pedesaan rendah ... 26 2. Titik tetap stabil modal dalam tiga kondisi ... 52 3. Pendapatan bersih masing-masing daerah saat ekuilibrium dalam

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan rendah ... 27 2. Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan sedang ... 28 3. Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan tinggi ... 29 4. Modal total kedua daerah ... 30 5. Perpindahan tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan ... 31 6. Pendapatan bersih masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan rendah ... 32 7. Pendapatan bersih masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan sedang ... 33 8. Pendapatan bersih masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan tinggi ... 34 9. Pendapatan bersih total dari daerah pedesaan dan daerah perkotaan

dalam tiga kasus ... 35 10.Output produksi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan rendah ... 36 11.Output produksi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan sedang ... 37 12.Output produksi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan tinggi ... 38 13.Output produksi total dari daerah pedesaan dan daerah perkotaan

dalam tiga kasus ... 39 14.Besarnya konsumsi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan rendah ... 40 15.Besarnya konsumsi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

(17)

16. Besarnya konsumsi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung

pedesaan tinggi ... 42

17. Besarnya konsumsi total dari daerah pedesaan dan daerah perkotaan dalam tiga kasus ... 43

18.Besarnya tabungan masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan rendah ... 44

19.Besarnya tabungan masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan sedang ... 45

20. Besarnya tabungan masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan tinggi ... 46

21. Besarnya tabungan total dari daerah pedesaan dan daerah perkotaan dalam tiga kasus ... 47

22.Medan arah tenaga kerja saat ekuilibrium ... 48

23.Medan arah modal saat kecenderungan menabung pedesaan rendah ... 49

24.Medan arah modal saat kecenderungan menabung pedesaan sedang ... 50

25. Medan arah modal saat kecenderungan menabung pedesaan tinggi ... 51

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pembuktian Persamaan (3.2 dan 3.3) ... 61

2. Pembuktian Persamaan (3.9) ... 63

3. Pembuktian Persamaan (3.10) ... 64

4. Pembuktian Persamaan (3.11) ... 65

5. Pembuktian Persamaan (3.12) ... 66

6. Pembuktian Persamaan (3.14) ... 68

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dewasa ini, hampir semua negara di dunia tengah bekerja keras untuk melaksanakan pembangunan. Salah satu komponen utama keberhasilan pembangunan ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang mempunyai arti penting bagi setiap negara adalah akumulasi modal, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi.

Sebagian besar negara di dunia ini dalam kategori negara berkembang dengan perekonomian yang terbelakang. Menurut model pembangunan yang diajukan oleh Lewis, perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan yang kelebihan penduduk – ini merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (surplus labor) sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian, maka sektor itu tidak akan kehilangan output produksinya – dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor pedesaan.

Model Pertumbuhan Ekonomi telah banyak dimodelkan oleh Zhang (2005). Model yang diajukan oleh Zhang telah dikaji oleh Tajau (2008) dalam tesisnya tentang model pertumbuhan ekonomi dua daerah berdasarkan modal dan

knowledge. Kemudian oleh Herliani (2009) tentang model distribusi pertumbuhan ekonomi antarkelompok pada dua daerah. Tajau menekankan pada modal dan knowledge sedangkan Herliani pada perpindahan/pertukaran modal antarkelompok.

(20)

penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut. Adapun laju atau kecepatan perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi bahwa “para kapitalis” yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali modalnya dari sebagian besar keuntungan.

1.2Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini ada tiga tujuan yang akan dicapai, ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Membuat model dinamika pertumbuhan ekonomi pedesaan dan perkotaan. 2. Menentukan solusi ekuilibrium dari model tersebut.

3. Membuat simulasi terhadap model dan solusi ekuilibrium.

1.3Manfaat Penelitian

Penelitian mempunyai beberapa manfaat, adapun manfaat dalam penelitian ini di antaranya sebagai berikut:

1. Mengetahui dinamika pertumbuhan ekonomi pedesaan dan perkotaan. 2. Dapat memprediksi pertumbuhan ekonomi pedesaan dan perkotaan di masa

yang akan datang.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Sukirno (1994) Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.

2.2Komponen Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Todaro dan Smith (2006), tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang mempunyai arti penting bagi setiap negara adalah akumulasi modal, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi.

2.2.1 Akumulasi Modal

Akumulasi modal termasuk semua investasi baru seperti tanah, peralatan fisik, dan sumber daya manusia melalui perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan, dan keterampilan kerja. Akumulasi modal akan diperoleh bila sebagian dari pendapatan yang diterima saat ini ditabung dan diinvestasikan lagi dengan tujuan meningkatkan output dan pendapatan di masa depan. Pabrik-pabrik, mesin, peralatan, dan bahan-bahan baku baru akan meningkatkan stok modal fisik suatu negara (yaitu total nilai riil neto dari semua barang modal produktif secara fisik) dan memungkinkan untuk meningkatkan tingkat output yang ingin dicapai. Investasi produktif secara langsung tersebut ditopang oleh investasi infrastruktur seperti jalan, listrik, air dan sanitasi, komunikasi, dan sebagainya. Sebagai contoh, investasi yang dilakukan oleh seorang petani dalam traktor baru dapat meningkatkan output total dari sayur-sayuran yang diproduksi, tetapi tanpa fasilitas transportasi yang memadai untuk mengangkut produk ekstra ini ke pasar lokal, maka investasinya tidak dapat menambah produksi pangan nasional.

(22)

lahan pertanian sehingga produktivitasnya meningkat. Bila 100 hektar tanah yang mendapat saluran irigasi dapat memproduksi output yang setara dengan 200 hektar tanah yang tidak mendapat saluran irigasi, maka pembuatan irigasi semacam itu sama saja dengan melipatgandakan kuantitas tanah yang belum mendapat irigasi. Penggunaan pupuk buatan dan pembasmian hama dengan pestisida sehingga dapat menaikkan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada. Semua bentuk investasi tersebut merupakan cara untuk memperbaiki kualitas sumber daya alam yang ada saat ini. Akan tetapi pengaruhnya sama saja dengan membuka lahan baru.

Demikian juga investasi dalam sumber daya manusia yang dapat memperbaiki kualitas pekerja sehingga mempunyai pengaruh yang sama atau bahkan lebih kuat terhadap produksi seiring dengan meningkatnya jumlah manusia. Selain itu, perbaikan di bidang kesehatan secara signifikan juga dapat meningkatkan produktivitas. Dengan demikian konsep investasi di bidang sumber daya manusia dan penciptaan modal manusia analog dengan perbaikan kualitas.

Semua fenomena tersebut dan banyak yang lainnya merupakan bentuk-bentuk investasi yang bertujuan untuk mengakumulasi modal. Akumulasi modal juga dapat menambah sumber daya baru misalnya membuka lahan tidur.

2.2.2 Populasi dan Pertumbuhan Angkatan Kerja

(23)

2.2.3 Kemajuan Teknologi

Dalam bentuk yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas tradisional seperti bercocok tanam, membuat baju, atau membangun rumah. Ada tiga klasifikasi dasar dari kemajuan teknologi yaitu: kemajuan teknologi yang bersifat netral, kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja, dan kemajuan teknologi yang hemat modal.

Kemajuan teknologi yang bersifat netral terjadi bila tingkat output yang lebih tinggi dicapai dengan kuantitas dan kombinasi faktor-faktor input yang sama. Inovasi sederhana seperti yang berasal dari pembagian tenaga kerja dapat menghasilkan tingkat output total yang lebih tinggi dan tingkat konsumen yang lebih besar bagi semua individu. Ditinjau dari analisis kemungkinan produksi, perubahan teknologi yang bersifat netral akan melipatgandakan output total secara konseptual sama dengan melipatgandakan semua input-input produksi.

Sebaliknya, kemajuan teknologi dapat dihasilkan dengan menghemat salah satu dari modal atau tenaga kerja yakni tingkat output yang lebih tinggi dapat dicapai dengan kuantitas input modal atau tenaga kerja yang sama. Komputer, internet, alat tenun otomatis, mesin bor berkecepatan tinggi, traktor, dan mesin bajak dan banyak jenis mesin serta peralatan modern lainnya dapat diklasifikasikan sebagai produk dari kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja.

Kemajuan teknologi yang hemat modal adalah fenomena yang relatif langka. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua riset teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia dilakukan di negara maju. Akan tetapi di negara-negara berkembang di mana tenaga masih banyak yang menganggur, kemajuan teknologi yang menghemat modal adalah hal yang paling mereka butuhkan. Kemajuan seperti itu dihasilkan dari metode produksi padat karya yang lebih efisien (biaya yang lebih murah). Sebagai contoh, mesin pemotong rumput dan mesin pengayak yang digerakkan oleh tangan atau roda, pompa yang digerakkan oleh kaki, dan penyemprot mekanik yang dipanggul di punggung bagi pertanian berskala kecil.

(24)

kualitas atau keterampilan tenaga kerja ditingkatkan, misalnya dengan penggunaan kaset vidio, televisi, dan media komunikasi elektronik lainnya dalam pengajaran di kelas. Demikian juga, kemajuan teknologi yang meningkatkan modal dihasilkan dari penggunaan barang-barang modal yang ada secara lebih produktif, misalnya mengganti bajak dari kayu dengan bajak dari baja.

2.3Model Pertumbuhan Ekonomi

Seiring dengan perkembangan zaman, model tentang pertumbuhan ekonomi juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun pasca perang dunia kedua, model pertumbuhan ekonomi didominasi oleh empat aliran pemikiran yang terkadang bersaing satu sama lain. Keempat pendekatan itu adalah: (1) model pertumbuhan tahapan linear; (2) pola perubahan struktural; (3) revolusi ketergantungan internasional; dan (4) kontra revolusi pasar bebas neoklasik. Hal ini dikemukakan oleh Todaro dan Smith (2006).

Model pertumbuhan ekonomi yang akan dibahas menggunakan pendekatan pola perubahan struktural yang dirumuskan oleh W. Arthur Lewis yang dikenal dengan Teori Pembangunan Lewis. Teori perubahan struktural memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Model perubahan struktur tersebut dalam analisisnya menggunakan perangkat-perangkat neoklasik berupa teori harga dan alokasi sumber daya, serta metode-metode ekonometri modern untuk menjelaskan terjadinya proses transformasi. Lewis mengemukakan dua asumsi perihal sektor pertanian tradisional di Pedesaan. Yang pertama adalah adanya “surplus tenaga kerja”. Kedua, bahwasanya semua pekerjaan di daerah pedesaan menghasilkan output

(25)

tenaga kerja menghasilkan output pangan dalam jumlah yang persis sama, yakni sebanyak (ini sama dengan hasil hitungan / ). Dengan demikian asumsi surplus tenaga kerja berlaku pada seluruh pekerja yang melebihi . Tingkat

output dari barang-barang manufaktur yang ada di perkotaan, merupakan fungsi dari input variabel tenaga kerja . Pada sumbu horizontal, kuantitas tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan sejumlah output misalnya dengan stok modal dinyatakan dalam ribuan pekerja perkotaan . Dalam model Lewis, stok modal di Perkotaan dimungkinkan untuk bertambah dari menjadi , kemudian menjadi dan seterusnya, sebagai akibat dari adanya kegiatan reinvestasi keuntungan oleh para kapitalis industri. Hal tersebut akan menggeser kurva total produk ke atas, dari ke , dan akhirnya ke . Kurva produksi tenaga kerja marjinal dari sektor industri modern di perkotaan merupakan turunan dari kurva-kurva .

menunjukkan tingkat rata-rata pendapatan real dari sektor ekonomi tradisional di daerah-daerah pedesaan. Dengan demikian memperlihatkan tingkat upah real pada sektor kapitalis modern. Pada tingkat upah itu, penawaran tenaga kerja pedesaan diasumsikan “tidak terbatas” atau elastis sempurna. Dengan kata lain, Lewis mengasumsikan bahwa pada tingkat upah di perkotaan sebesar yang lebih tinggi dari pada tingkat pendapatan pedesaan , maka para penyedia lapangan kerja di sektor modern dapat merekrut tenaga kerja pedesaan sebanyak yang diperlukan tanpa harus merasa kuatir bahwa tingkat upah akan meningkat.

(26)

perekonomian pertanian tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang berorientasi pada pola kehidupan perkotaan.

2.4Perubahan Struktur Ekonomi

Proses perubahan struktur sering disebut dengan proses alokasi. Pada dasarnya proses alokasi ini adalah hasil interaksi antara proses akumulasi di satu pihak, dengan proses perubahan pola konsumsi masyarakat yang timbul secara bersamaan dengan meningkatnya pendapatan per kapita di pihak lain. Interaksi ini pada akhirnya akan memberikan dampak berupa perubahan pada komposisi barang dan jasa yang diproduksi dan diperdagangkan. Dengan demikian, secara ringkas dapat dibuat suatu alat ukur untuk menilai apakah perekonomian suatu wilayah mengalami perubahan struktur atau tidak, yaitu dengan melihat:

1. Struktur permintaan domestik

Dengan meningkatnya pendapatan per kapita, terjadi pula perubahan struktur permintaan domestik dalam bentuk menurunnya bagian pendapatan yang digunakan untuk mengkonsumsi bahan makanan. Penurunan konsumsi bahan makanan ini dikaitkan dengan hukum Engels yang menyatakan bahwa elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan untuk bahan makanan adalah lebih kecil dari 1 (in elastic), dengan demikian jika terjadi peningkatan pendapatan maka permintaan akan bahan makanan meningkat dengan persentase lebih rendah dari persentase peningkatan pendapatan per kapita.

2. Struktur produksi

Perubahan struktur produksi yang terjadi pada saat perekonomian tumbuh biasanya ditunjukkan dengan semakin rendahnya peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional, dan semakin tingginya peran sektor lain di luar sektor pertanian.

2.5Fungsi Produksi

(27)

Ini sering dinyatakan sebagai fungsi homogen secara linear. Penerapan fungsi homogen secara linear pada fungsi produksi, misalnya:

, (2.1)

Apakah diterapkan pada tingkat mikro atau pun makro, asumsi matematik homogenitas linear akan sama dengan asumsi ekonomi mengenai hasil yang konstan terhadap skala, karena homogenitas linear berarti bahwa kenaikan semua

input (variabel bebas) sebanyak kali lipat akan selalu menaikkan output (nilai fungsi) tepat sebesar kali lipat pula.

Sifat-sifat khas yang memberi ciri fungsi produksi homogen secara linear adalah:

Sifat 1:

Jika fungsi produksi homogen secara linear , , rata-rata produk buruh secara fisik , dan rata-rata produk modal secara fisik , maka dapat dinyatakan sebagai fungsi dari rasio modal – buruh, saja.

Untuk membuktikan ini kalikanlah setiap variabel bebas pada (2.1) dengan suatu faktor . Dengan pembuktian-pembuktian homogenitas linear, hal ini akan mengubah output dari menjadi . Ruas kanan dari (2.1) dengan sendirinya akan menjadi

, , ,

Karena variabel-variabel dan pada fungsi semula harus diganti secara berturut-turut dengan dan l sebagai akibatnya ruas kanan menjadi fungsi rasio modal buruh saja, katakan (k), yang merupakan fungsi dengan argumen tunggal , meskipun dua variabel bebas dan sebenarnya terlibat dalam argumen tersebut. Dengan menyamakan kedua ruas kita dapatkan

(2.2) Ekspresi untuk APPK akan diperoleh menjadi

(28)

Karena kedua rata-rata produk tergantung pada saja, homogenitas linear menerangkan bahwa selama rasio tetap konstan (apapun tingkat absolut dan ), rata-rata akan menjadi konstan juga. Oleh karena itu, sementara fungsi produksi homogen berderajat satu, dan adalah homogen derajat nol pada variabel-variabel dan . Karena perubahan proporsional yang sama dalam dan (dengan mempertahankan konstanta ) tidak akan mengubah besaran rata-rata produk.

Sifat 2:

Bila diberikan fungsi produksi homogen secara linear , , maka produk marjinal secara fisik dan dapat dinyatakan sebagai fungsi saja.

Untuk mendapatkan produk marjinal, mula-mula dituliskan produk total sebagai yang menurut persamaan (2.2) menjadi:

 (2.4)

dan kemudian didiferensiasikan terhadap dan . Untuk tujuan ini, kita akan memperoleh dua hasil sebagai berikut:

(2.5)

Hasil diferensiasinya adalah

(2.6)

(2.7)

(29)

Seperti produk rata-rata, produk marjinal akan tetap sama selama rasio modal buruh dipertahankan konstan, mereka adalah homogen berderajat nol pada variabel dan .

Sifat 3 (Dalil Euler)

Bila , homogen secara linear, maka

Bukti:

;

Hasil ini valid untuk setiap nilai dan . Itu sebabnya mengapa sifat ini dapat ditulis sebagai kesamaan identik. Apa yang dinyatakan oleh sifat ini adalah bahwa nilai sebuah fungsi yang homogen secara linear selalu dapat dinyatakan sebagai suatu penderivatif parsial orde pertama terhadap variabel itu, tanpa memperhatikan besarnya kedua input yang sungguh-sungguh digunakan. Tetapi hendaknya berhati-hati untuk membedakan antara identitas

(Dalil Euler yang hanya diterapkan pada hasil yang konstan terhadap kasus skala dari , dan persamaan (diferensial total , untuk setiap fungsi , ).

Secara ekonomi, sifat ini berarti bahwa pada kondisi hasil yang konstan terhadap skala, bila setiap faktor input dibayar sesuai dengan jumlah produk marjinalnya. Produk total akan sepenuhnya terbagi di antara semua faktor input

(30)

khusus yang sungguh-sungguh berlaku. Jadi tidaklah diharuskan untuk mempunyai fungsi produksi yang menjamin pemakaian produk untuk masing-masing keseluruhan pasangan , . Selanjutnya pada kondisi persaingan tidak sempurna dalam pasar faktor produksi, pemberian balas jasa kepada faktor produksi bisa tidak sama dengan produk marjinal, yang akibatnya dalil Euler menjadi tidak relevan untuk gambaran tentang distribusinya. Namun fungsi produksi yang homogen secara linear sering kali sesuai untuk digunakan karena didukung oleh adanya berbagai sifat matematikanya yang baik.

Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Salah satu bentuk khusus fungsi produksi yang dipakai secara luas dalam analisis ekonomi adalah fungsi produksi Cobb-Douglas:

(2.8)

di mana adalah konstanta positif dan  adalah pecahan positif. Apa yang mula-mula kita perhatikan di sini adalah sebuah versi umum fungsi tersebut yaitu:

(2.9)

di mana  adalah pecahan positif lainnya yang dapat sama dengan atau tidak sama dengan 1-. Beberapa ciri utama dari fungsi ini adalah: (1) homogen berderajat (+); (2) dalam kasus +=1, fungsi tersebut adalah fungsi homogen secara linear; (3) isokuannya mempunyai kemiringan yang negatif dan cembung sempurna untuk setiap nilai positif dari dan ; dan (4) kuasi cekung sempurna untuk nilai dan yang positif.

Homogenitasnya dapat dilihat dengan mudah dari kenyataan bahwa dengan mengubah dan menjadi dan , outputnya akan berubah menjadi

(31)

/ dan / atau tanda dari / dan / . Untuk setiap nilai output positif , persamaan (9) dapat dinyatakan sebagai

, , ,

Dengan mengambil logaritma asli dari kedua sisi persamaan tersebut dan mengubah urutannya, kita peroleh

yang secara implisit mendefinisikan sebagai fungsi . Oleh karenanya, dengan aturan fungsi implisit dan aturan log, kita peroleh hasil sebagai berikut:

/ /

/ /

Jika demikian halnya, maka

Tanda dari derivatif-derivatif ini menghasilkan isokuan (setiap isokuan) dengan kemiringan yang menurun dan cembung pada bidang untuk nilai-nilai dan yang positif. Hal ini tentu saja hanya dapat diperoleh dari fungsi yang kuasi mutlak untuk dan yang positif. Untuk fungsi dengan ciri kuasi kecekungan sempurna.

Sekarang kita periksa kasus +=1 (fungsi Cobb-Douglas yang sebenarnya), untuk membuktikan ketiga syarat dan homogenitas linear seperti yang disebutkan sebelumnya. Pertama, produk total dalam kasus khusus ini dapat dinyatakan sebagai

(2.10)

di mana ekspresi adalah suatu versi khusus dari ekspresi umum (k) yang digunakan sebelumnya. Oleh karena itu produk rata-ratanya adalah

(2.11)

(32)

Kedua, diferensiasi dari menghasilkan produk marjinal:

(2.12) dan fungsi-fungsi ini juga hanya merupakan fungsi dari saja.

Selanjutnya dapat dibuktikan dalil Euler dengan menggunakan (2.12) sebagai berikut:

Arti ekonomi yang menarik dapat diberikan pada pangkat  dan (1-) pada fungsi produksi Cobb-Douglas yang homogen secara linear. Jika setiap input dianggap senilai dengan produk marjinalnya, maka bagian relatif dari produk total terhadap modal akan menjadi

Dengan cara yang sama, bagian relatif tenaga kerja menjadi

Jadi pangkat setiap variabel input menunjukkan bagian relatif dari input

tersebut terhadap produk total. Di sisi lain, kita juga dapat mengartikan pangkat dari setiap variabel input sebagai elastisitas parsial output terhadap input tersebut. Hal ini adalah karena persamaan bagian modal tersebut di atas adalah sama dengan persamaan (Q/K)/(Q/K) ≡ QK dan dengan cara yang sama persamaan

bagian tenaga kerja di atas adalah sama dengan QL . Untuk nilai dan yang

tertentu, besaran konstanta akan mempengaruhi tingkat secara proporsional. Oleh karena itu dapat dianggap sebagai parameter efisiensi, yaitu sebagai indikator dari tingkat teknologi.

(33)

atau decreasing returns to scale. Kalau persamaan (2.9) dipakai untuk menjelaskan hal ini maka jumlah besaran elastisitas  dan  kemungkinannya ada tiga alternatif yaitu:

1. Decreasing return to scale, bila ( + ) < 1. Dalam keadaan demikian dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi. Misalnya, bila penggunaan produksi ditambah 25% , maka produksi akan bertambah sebesar 15%.

2. Contstant return to scale, bila ( + ) = 1. Dalam keadaan demikian dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan proporsional dengan proporsi penambahan produksi. Misalnya, bila penggunaan produksi ditambah 25% , maka produksi akan bertambah sebesar 25%.

3. Increasing return to scale, bila ( + ) > 1. Dalam keadaan demikian dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi kurang dari proporsi penambahan produksi. Misalnya, bila penggunaan produksi ditambah 10% , maka produksi akan bertambah sebesar 20%.

Dalam penelitian ini menggunakan Contstant return to scale yakni (+)=1. Dalam keadaan seperti ini, walaupun input ditambah pada tingkatan tertentu, maka tambahan produksi dapat dihitung dengan mudah. Misalnya, kalau faktor produksi ditambah dua kali, maka:

2

di mana dan +=1.

Dengan demikian, bila faktor produksi K dan L ditambah n kali, maka produksi juga akan bertambah n kali.

2.6Ekuilibrium

(34)

untuk berubah. Beberapa perkataan dalam definisi ini memerlukan perhatian khusus. Pertama, kata “terpilih” menekankan pada kenyataan bahwa ada variabel yang tidak dimasukkan dalam model oleh analis. Jadi ekuilibrium dalam pembahasan ini hanya relevan dengan himpunan variabel-variabel tertentu yang terpilih, dan bila modelnya diperluas untuk memasukkan variabel tambahan, maka ekuilibrium pada model semula tidak dapat digunakan lagi.

Kedua, perkataan saling berhubungan (interrelated) menyatakan bahwa, untuk dapat mencapai ekuilibrium, maka semua variabel dalam model harus secara bersamaan dalam keadaan tetap. Selain itu, keadaan tetap dari setiap variabel harus cocok dengan variabel lainnya. Jika tidak, maka beberapa variabel akan berubah sehingga akan mengakibatkan variabel lainnya juga berubah dalam reaksi yang berantai dan karenanya tidak terjadi ekuilibrium.

Ketiga, kata melekat (inherent) menyatakan bahwa dalam mendefinisikan ekuilibrium, keadaan tetap variabel dalam model hanya didasarkan pada penyeimbangan kekuatan internal dari model tersebut, sedangkan faktor-faktor eksternal dianggap tetap. Secara operasional ini berarti bahwa parameter dan variabel eksogen diperlukan konstan. Jika faktor eksternal ternyata berubah, maka terjadi ekuilibrium baru atas dasar nilai parameter baru, tetapi dalam mendefinisikan ekuilibrium baru, nilai parameter yang baru juga diasumsikan tetap tidak berubah.

Pada pokoknya ekuilibrium untuk model tertentu adalah suatu keadaan yang mempunyai ciri tidak adanya kecenderungan untuk berubah. Oleh karena itu analisis ekuilibrium secara khusus disebut statika (statics).

(35)

nasional. Interpretasi yang menjamin adanya ekuilibrium adalah suatu keadaan yang bila tercapai akan dapat mengabdikan dirinya sendiri, kecuali bila terjadi perubahan kekuatan dari faktor-faktor eksternal.

Berbagai ekuilibrium yang dikehendaki dinyatakan sebagai ekuilibrium tujuan sebagai masalah optimisasi. Sedangkan jenis ekuilibrium bukan tujuan, yang tidak dihasilkan dari tujuan objek tertentu tetapi dari proses pengaruh interaksi dan penyesuaian kekuatan ekonomi. Contoh mengenai hal ini adalah ekuilibrium yang dicapai oleh suatu pasar dengan kondisi permintaan dan penawaran tertentu dan ekuilibrium pendapatan nasional dengan kondisi pola konsumsi dan investasi tertentu.

2.7Fungsi Logistik

Menurut Tarumingkeng (1994) pertama kali persamaan logistik ditemukan oleh Verhulst pada tahun 1839 yang terkenal dengan nama kurva logistik yang berbentuk S atau sigmoida. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut:

(2.13)

dengan L merupakan banyaknya populasi, t adalah waktu, r melambangkan laju pertumbuhan intrinsik per individu, dan M merupakan daya dukung lingkungan sehingga jika L mencapai M, dL/dt = 0.

Dengan menggunakan integral persamaan (2.13) mempunyai solusi sebagai berikut:

(2.14)

(36)
(37)

BAB III

MODEL DINAMIKA PEDESAAN DAN PERKOTAAN

3.1 Perumusan Model

Misalkan sebuah sistem ekonomi terdiri atas dua daerah yaitu pedesaan dan perkotaan, memproduksi sejumlah barang yang berbeda. Barang tersebut diproduksi dengan menggunakan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja dan modal. Diasumsikan bahwa di pedesaan terjadi surplus tenaga kerja.

Untuk menggambarkan model tersebut, dinotasikan:

L(t) = banyaknya tenaga kerja keseluruhan pada waktu t;

Lj(t) = banyaknya tenaga kerja daerah j pada waktu t;

K(t) = cadangan modal keseluruhan pada waktu t;

Kj(t) = total cadangan modal daerah j pada waktu t;

E(t) = banyaknya tenaga kerja pedesaan yang digunakan oleh daerah perkotaan pada waktu t;

Fj(t) = banyaknya output daerah j pada waktu t;

r(t) = suku bunga pada waktu t;

wj(t) =tingkat upah untuk daerah j pada waktu t;

Yj (t) =pendapatan bersih daerah j pada waktu t;

Cj(t) = tingkat konsumsi daerah j pada waktu t;

Sj(t) = tingkat tabungan bersih daerah j pada waktu t.

j = indeks daerah; j=1 pedesaan; j=2 perkotaan

Fungsi produksi dari kedua daerah tersebut adalah: ,

) ( )

( 1 1

1

 

E L K t

F  

, ) (

)

( 2 2

2

 

E L K t

F     1, , 0 (3.1)

dengan ; ;

(38)

    j j K F

r (3.2)

dan

adalah laju depresiasi kapital, 0

1. Kemudian tingkat upah dari kedua daerah tersebut tidak sama yakni daerah perkotaan produktivitas tenaga kerja marjinalnya sebagai berikut:

E L F w   2 2 2

(3.3) (Bukti: lihat Lampiran 1).

Sedangkan semua pekerjaan di daerah pedesaan diasumsikan menghasilkan output yang sama sehingga tingkat upah riil di daerah pedesaan ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja rata-rata, bukan produktivitas tenaga kerja marjinal seperti pada daerah perkotaan.

E L F w   1 1

1 (3.4)

Pendapatan bersih daerah j, Yj merupakan penjumlahan dari faktor-faktor

produksi dalam perekonomian, yaitu tenaga kerja dan modal yang dinyatakan dengan E w E L w rK

Y1  1 1( 1 ) 2 2

2 2

2 rK w L

Y   (3.5)

Diasumsikan bahwa tingkat utilitas (utility level), Uj(t), pada daerah j

bergantung pada tingkat konsumsi Cj(t) dan tabungan bersih Sj(t). Fungsi utilitas (utility functions), Uj(t), diberikan oleh persamaan

j j

j j j t C S

U ( )   , j j 1 (3.6)

dengan j dan j berturut-turut adalah kecenderungan pada daerah j untuk mengonsumsi barang-barang dan untuk menabung.

Masing-masing daerah mempunyai dua variabel keputusan, Cj dan Sj. Kendala pembiayaan diberikan oleh:

j j j S T

C   j = 1, 2 (3.7) dengan

j j j

j Y K K

(39)

di mana Tj adalah pendapatan yang siap dibelanjakan oleh daerah j.

Keputusan optimal konsumen yang merupakan solusi dari optimasi fungsi utilitas dengan kendala (3.7) adalah tunggal, yaitu:

j j j T

C  , Sj jTj j = 1, 2 (3.9) (Bukti: lihat Lampiran 2).

Laju pertumbuhan modal daerah j diberikan oleh j Sj Kj dt

dK

 dengan

menggunakan persamaan (3.8) dan (3.9) ke dalam persamaan di atas, diperoleh:

j j j j j K Y dt dK   

 (3.10)

dengan j j j (Bukti: lihat Lampiran 3).

Sistem ini terdiri atas 16 variabel endogen, Kj,Fj, Cj, Sj, Yj, wj, Uj

(j=1,2),E, dan r. Untuk menentukan variabel-variabel endogen tersebut, langkah pertama adalah dengan menyubstitusikan persamaan (3.1) ke dalam persamaan berikut:

r =  

j j

K F

sehingga diperoleh E yang merupakan sebuah fungsi dari K1 dan K2 sebagai berikut: 2 1 1 2 2 1 ) ( K K K L K L t E  

 (3.11)

(Bukti: lihat Lampiran 4).

Dengan menyubstitusikan persamaan (3.4), (3.3), (3.2), (3.1), dan (3.11) ke dalam persamaan (3.5), maka akan diperoleh persamaan Yj, yaitu:

E L L K K K K K L L K Y                          2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 ( 1)

2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 L L L K K K K K L L K Y                       

 (3.12)

(40)

Dari persamaan (3.12) dan (3.10) dinamika kedua variabel K (t)j

ditentukan oleh sistem persamaan diferensial dua dimensi, yang merupakan persamaan dari model dinamika pertumbuhan ekonomi pedesaan dan perkotaan.

1 1 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 ) 1

( E K

L L K K K K K L L K dt

dK

                            2 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2

2 L K

L L K K K K K L L K dt dK

                            

 (3.13)

Nilai-nilai dari semua variabel-variabel endogen pada setiap titik waktu dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan secara numerik menggunakan alat bantu perangkat lunak Mathematica.

3.2 Ekuilibrium Sistem Dinamik

Selanjutnya akan ditentukan nilai-nilai dari semua variabel-variabel endogen pada saat ekuilibrium dari sistem dinamik, yaitu persamaan diferensial (3.13). Ekuilibrium terjadi pada saat 0

dt dKj

, sehingga dari persamaan (3.12), (3.13), maka diperoleh persamaan

E L L K K K K K L L K                         2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 ) 1 ( = 1 1 1   K 1 1 1   K 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 L L L K K K K K L L K                        = 2 2 2   K 2 2 2

K (3.14)

(Bukti: lihat Lampiran 6).

Dengan menyubstitusikan j j j j K Y  

 dari persamaan (3.14) dan

persamaan (3.8) ke persamaan (3.9) menghasilkan:

j j j j K C  

 , SjKj (3.15)

(Bukti: lihat Lampiran 7).

(41)

daerah j, dan tingkat tabungan bersih daerah j adalah sama dengan cadangan modal yang dimiliki oleh daerah j.

Dengan menyubstitusikan persamaan (3.15) ke dalam fungsi utilitas (3.6) diperoleh

 

j j

j j j j

j t K K

U              )

( . (3.16)

Untuk menentukan Kj pada saat ekuilibrium, dengan menggunakan

persamaan (3.13). Ekuilibrium terjadi pada saat 0

dt dKj sehingga diperoleh persamaan 1 1 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 ( 1)

0 E K

L L K K K K K L L

K

                               2 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2

0 L K

L L K K K K K L L

K

                            

 (3.17)

Nilai-nilai dari semua variabel-variabel endogen pada saat ekuilibrium dapat diselesaikan dengan menggunakan persamaan (3.14) sampai dengan (3.17) melalui pendekatan secara numerik menggunakan alat bantu perangkat lunak

(42)
(43)

BAB IV

SIMULASI MODEL

Pada Bab III telah diberikan cara untuk menentukan variabel-variabel endogen di setiap titik waktu dan di saat ekuilibrium. Sedangkan pada bab ini akan dibuat simulasi modelnya melalui pendekatan secara numerik menggunakan alat bantu perangkat lunak Mathematica dengan menggunakan buku panduan penggunaan Mathematica (Ardana 2004). Adapun tenaga kerja diasumsikan mengikuti fungsi logistik seperti pada persamaan (2.14) dengan banyaknya tenaga kerja awal daerah pedesaan l1=5, banyaknya tenaga kerja awal daerah perkotaan

2

l =1, daya dukung lingkungan daerah pedesaan M1=60, daya dukung lingkungan daerah perkotaan M2=9, laju pertumbuhan intrinsik daerah pedesaan r1=0,5, dan laju pertumbuhan intrinsik daerah perkotaan r2=0,45.

4.1Menentukan Variabel-variabel Endogen di Setiap Titik Waktu

Variabel-variabel endogen dipengaruhi oleh waktu, sehingga setiap saat mengalami perubahan. Sebelum membahas pada saat ekuilibrium, terlebih dahulu membahas perubahan variabel-variabel endogen setiap waktu. Selengkapnya akan dikaji satu per satu sebagai berikut:

4.1.1 Pertumbuhan Modal

Modal daerah pedesaan dan daerah perkotaan sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter. Parameter-parameter tersebut yang mempengaruhi sehingga perubahan struktural itu terjadi atau tidak. Ada tiga kondisi yang mungkin terjadi yakni: perubahan struktural belum terjadi, perubahan struktural hampir terjadi, dan perubahan struktural sudah terjadi.

Kasus 1: Kecenderungan menabung daerah pedesaan rendah

(44)

konsumsi tersebut dinaikkan, maka secara otomatis tingkat kecenderungan menabung j akan turun dan sebaliknya. Menyimulasikan modal masing-masing daerah digunakan persamaan (3.13). Besaran parameter model disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Besaran parameter modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung daerah pedesaan rendah

Parameter-parameter pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa daerah pedesaan dan daerah perkotaan memiliki kesamaan dalam hal elastisitas tenaga kerja dan elastisitas modal terhadap output produksi, serta kesamaan dalam depresiasi modal. Namun dalam hal kecenderungan menabung dan konsumsi tidak sama yakni daerah pedesaan memiliki kecenderungan konsumsi sebesar 70 % dan kecenderungan menabungnya hanya sebesar 30 % sehingga kecenderungan konsumsi lebih besar dari pada menabungnya. Hal ini bisa terjadi karena penghasilan setiap individu dari mereka relatif kecil sehingga lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan di daerah perkotaan yang penghasilannya relatif lebih besar bila dibandingkan dengan daerah pedesaan memiliki kecenderungan konsumsi 30 % dan kecenderungan menabung 70 %.

j

 jjkj

1 2

0.75 0.75

0.25 0.25

0.7 0.3

0.3

0.7

0.01 0.01

(45)

[image:45.612.151.484.83.306.2]

Gambar 4.1 Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan rendah.

Dari Gambar 4.1 nampak bahwa laju perubahan modal daerah pedesaan sangat lambat bahkan cenderung stagnan. Sedangkan laju perubahan modal daerah perkotaan mengalami kenaikan yang signifikan. Kejadian seperti ini dapat dikatakan bahwa perubahan struktural belum terjadi.

Kasus 2: Kecenderungan menabung daerah pedesaan sedang

Jika parameter-parameter yang ada pada Tabel 4.1 hanya diubah tingkat kecenderungan konsumsi di daerah pedesaannya, yakni diturunkan menjadi 52% dengan kata lain menaikkan kecenderungan untuk menabung menjadi 48% maka grafik laju perubahan modal juga mengalami perubahan seperti pada gambar berikut:

Ket:

K1

K2

10 20 30 40 50 60 t

100 200 300 400 500

(46)

[image:46.612.150.485.83.308.2]

Gambar 4.2 Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan sedang.

Dari Gambar 4.2 nampak bahwa laju perubahan modal kedua daerah mengalami kenaikan yang cukup berarti. Laju perubahan modal daerah pedesaan pada waktu tertentu menyamai laju perubahan modal daerah perkotaan, namun dalam waktu yang panjang kembali berada pada posisi di bawahnya. Kejadian seperti ini dapat dikatakan bahwa perubahan struktural hampir terjadi.

Kasus 3: Kecenderungan menabung daerah pedesaan tinggi

Jika parameter-parameter yang ada pada Tabel 1 hanya diubah lagi tingkat kecenderungan konsumsi di daerah pedesaannya, yakni diturunkan menjadi 32% dengan kata lain menaikkan kecenderungan untuk menabung menjadi 68% maka grafik laju perubahan modal juga mengalami perubahan lagi seperti pada gambar berikut:

Ket:

K1

K2

10 20 30 40 50 60 t

100 200 300

(47)

[image:47.612.152.485.83.307.2]

Gambar 4.3 Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan tinggi.

Dari Gambar 4.3 nampak bahwa laju perubahan modal daerah perkotaan sangat lambat bahkan cenderung stagnan. Sedangkan laju perubahan modal daerah pedesaan mengalami kenaikan yang signifikan. Kejadian seperti ini dapat dikatakan bahwa perubahan struktural sudah terjadi.

Dengan demikian dari ketiga kejadian di atas dapat disimpulkan bahwa jika kondisi parameter-parameter pada Tabel 4.1 hanya diubah tingkat kecenderungan konsumsinya sudah bisa mempengaruhi terjadinya perubahan struktural. Jika semakin rendah kecenderungan konsumsi pada daerah pedesaan dengan kata lain semakin tinggi kecenderungan untuk menabungnya, maka perubahan struktural semakin nyata terjadi dan begitu pula sebaliknya.

Modal total kedua daerah didapat dengan menjumlahkan 1 dan yakni dari persamaan (3.13). Hasil diberikan pada Gambar 4.4 berikut ini:

Ket:

K1

K2

10 20 30 40 50 60 t

2000 4000 6000 8000 10 000

(48)

[image:48.612.152.485.83.306.2]

Gambar 4.4 Modal total kedua daerah.

Dari Gambar 4.4 terlihat bahwa laju perubahan modal total sesudah terjadi perubahan struktural mengalami kenaikan yang signifikan. Sedangkan laju perubahan modal total sebelum terjadi perubahan struktural relatif sama dengan laju perubahan modal total saat perubahan struktural hampir terjadi. Keduanya mengalami kenaikan yang sangat lambat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa modal total pada saat perubahan struktural sudah terjadi akan lebih besar dari modal total saat perubahan struktural belum terjadi. Sehingga untuk mendapatkan modal total yang lebih besar sebaiknya dengan mendorong terjadinya perubahan struktural.

4.1.2 Perpindahan Tenaga Kerja

Perpindahan tenaga kerja dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter. Parameter-parameter tersebut yang mempengaruhi sehingga sejumlah tenaga kerja harus berpindah. Ada empat parameter yang mempengaruhi perpindahan tenaga kerja yaitu banyaknya tenaga kerja di daerah pedesaan L1, banyaknya tenaga kerja di daerah perkotaan L2, modal di daerah pedesaan K1, dan modal di daerah perkotaan K2. Untuk

Ket:

Kasus 3 Kasus 2 Kasus 1

10 20 30 40 50 60 t

2000 4000 6000 8000 10 000

(49)

menentukan seberapa banyak tenaga kerja yang pindah, dengan menggunakan persamaan (3.11). Hasil diberikan pada Gambar 4.5 berikut ini:

[image:49.612.151.486.120.345.2]

Gambar 4.5 Perpindahan tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan.

Dari Gambar 4.5 terlihat bahwa perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota sesudah terjadi perubahan struktural mengalami kenaikan untuk t < 5,31908 akan tetapi untuk t > 5,31908 justru mengalami penurunan dan saat t = 8 tidak terjadi perpindahan tenaga kerja. Bahkan untuk t > 8 perpindahan mengalami negatif yang artinya terjadi perpindahan arus balik dari kota ke desa. Sedangkan perpindahan tenaga kerja sebelum terjadi perubahan struktural mengalami kenaikan dari waktu ke waktu dalam jumlah yang sangat banyak. Begitu pula untuk kondisi saat perubahan struktural hampir terjadi, juga mengalami kenaikan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota. Keduanya mengalami kenaikan yang sangat cepat di awal waktu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perpindahan tenaga kerja pada saat perubahan struktural sudah terjadi akan lebih kecil dari perpindahan tenaga kerja saat perubahan struktural belum terjadi. Sehingga untuk mengurangi jumlah perpindahan tenaga kerja atau bahkan menghilangkannya, sebaiknya dengan membuat perubahan struktural terlebih dahulu.

Ket:

Kasus 3 Kasus 2 Kasus 1

10 20 30 40 50 60 t

10 20 30 40 50

(50)

4.1.3 Pendapatan Bersih

Kasus 1: Kecenderungan menabung daerah pedesaan rendah

Parameter-parameter untuk menentukan pendapatan bersih masih menggunakan Tabel 4.1. Dalam kasus ini bahwa kecenderungan menabung daerah pedesaan rendah sehingga pendapatan bersih dari masing-masing daerah dapat dilihat pada gambar di bawah ini yang dihasilkan dari persamaan (3.5).

Gambar 4.6 Pendapatan bersih masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan rendah.

Dari Gambar 4.6 nampak bahwa laju pendapatan bersih daerah pedesaan mengalami penurunan di awal waktu, kemudian mengalami kenaikan. Sedangkan laju pendapatan bersih daerah perkotaan mengalami kenaikan yang signifikan. Meskipun keduanya mengalami kenaikan akan tetapi kenaikan yang tertinggi untuk pendapatan bersih dari daerah perkotaan.

Kasus 2: Kecenderungan menabung daerah pedesaan sedang

Jika parameter-parameter yang ada pada Tabel 4.1 hanya diubah tingkat kecenderungan konsumsi di daerah pedesaannya, yakni diturunkan menjadi 52% dengan kata lain menaikkan kecenderungan untuk menabung menjadi 48% maka grafik laju pendapatan bersih juga mengalami perubahan seperti pada gambar berikut:

Ket:

Y1

Y2

10 20 30 40 50 60 t

50 100 150 200 250

(51)

Gambar 4.7 Pendapatan bersih masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan sedang.

Dari Gambar 4.7 nampak bahwa laju pendapatan bersih daerah pedesaan mengalami kenaikan yang sangat tajam bila dibandingkan dengan laju pendapatan bersih daerah perkotaan. Meskipun keduanya mengalami kenaikan akan tetapi kenaikan yang tertinggi untuk pendapatan bersih dari daerah pedesaan.

Kasus 3: Kecenderungan menabung daerah pedesaan tinggi

Jika parameter-parameter yang ada pada Tabel 4.1 hanya diubah lagi tingkat kecenderungan konsumsi di daerah pedesaannya, yakni diturunkan menjadi 32% dengan kata lain menaikkan kecenderungan untuk menabung menjadi 68% maka grafik laju pendapatan bersih juga mengalami perubahan lagi seperti pada gambar berikut:

Ket:

Y1

Y2

10 20 30 40 50 60 t

50 100 150 200 250 300 350

(52)

Gambar 4.8 Pendapatan bersih masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan tinggi.

Dari Gambar 4.8 nampak bahwa laju pendapatan bersih daerah perkotaan sangat lambat bahkan cenderung stagnan. Sedangkan laju pendapatan bersih daerah pedesaan mengalami kenaikan yang signifikan.

Dengan demikian dari ketiga kejadian di atas dapat disimpulkan bahwa jika kondisi parameter-parameter pada Tabel 4.1 hanya diubah tingkat kecenderungan konsumsinya sudah bisa mempengaruhi pendapatan bersih masing-masing daerah. Jika semakin rendah kecenderungan konsumsi pada daerah pedesaan dengan kata lain semakin tinggi kecenderungan untuk menabungnya, maka pendapatan bersih daerah tersebut semakin naik secara nyata begitu pula sebaliknya.

Pendapatan bersih total merupakan penjumlahan dari Y1 dan Y2. Untuk lebih lengkapnya perhatikan gambar di bawah ini yang dihasilkan dari persamaan (3.5).

Ket:

Y1

Y2

10 20 30 40 50 60 t

1000 2000 3000 4000

(53)

Gambar 4.9 Pendapatan bersih total dari daerah pedesaan dan daerah perkotaan dalam tiga kasus.

Berdasarkan Gambar 4.9 dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi apapun pendapatan bersih total selalu cenderung naik, akan tetapi kenaikan yang lebih tinggi diperlihatkan oleh grafik kasus 3 yakni kondisi pada saat perubahan struktural sudah terjadi. Sehingga untuk mendapatkan pendapatan bersih total yang lebih banyak, sebaiknya dengan cara mendorong terjadinya perubahan struktural.

4.1.4 Output Produksi

Grafik banyaknya output produksi dari masing-masing daerah yang dihasilkan dari persamaan (3.1) mempunyai pola yang mirip dengan grafik pertumbuhan modal. Besaran parameter yang digunakan masih sama seperti yang digunakan pada pertumbuhan modal. Hasil diberikan pada gambar berikut ini:

Ket:

Kasus 3 Kasus 2 Kasus 1

10 20 30 40 50 60 t

1000 2000 3000 4000 5000

(54)

Kasus 1: Kecenderungan menabung daerah pedesaan rendah

Gambar 4.10 Output produksi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan rendah.

Dari Gambar 4.10 nampak bahwa laju output produksi daerah pedesaan mengalami penurunan di awal waktu, kemudian mengalami kenaikan yang lambat bahkan cenderung stagnan. Sedangkan laju output produksi daerah perkotaan mengalami kenaikan yang signifikan. Meskipun keduanya mengalami kenaikan akan tetapi kenaikan yang tertinggi untuk output produksi dari daerah perkotaan.

Ket:

F1

F2

10 20 30 40 50 60 t

50 100 150 200 250 300

(55)

Kasus 2: Kecenderungan menabung daerah pedesaan sedang

Gambar 4.11 Output produksi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan sedang.

Dari Gambar 4.11 nampak bahwa laju output produksi daerah pedesaan mengalami kenaikan yang relatif sama dengan laju output produksi daerah perkotaan. Meskipun keduanya mengalami kenaikan akan tetapi kenaikan yang tertinggi untuk output produksi dari daerah perkotaan, hanya pada waktu tertentu yang relatif singkat output produksi mencapai titik yang sama.

Ket:

F1

F2

10 20 30 40 50 60 t

50 100 150 200

(56)

Kasus 3: Kecenderungan menabung daerah pedesaan tinggi

Gambar 4.12 Output produksi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan tinggi.

Dari Gambar 4.12 nampak bahwa laju output produksi daerah perkotaan sangat lambat bahkan cenderung stagnan. Sedangkan laju output produksi daerah pedesaan mengalami kenaikan yang signifikan.

Dengan demikian dari ketiga kejadian di atas dapat disimpulkan bahwa jika kondisi parameter-parameter pada Tabel 4.1 hanya diubah tingkat kecenderungan konsumsinya sudah bisa mempengaruhi pendapatan bersih masing-masing daerah. Jika semakin rendah kecenderungan konsumsi pada daerah pedesaan dengan kata lain semakin tinggi kecenderungan untuk menabungnya, maka pendapatan bersih daerah tersebut semakin naik secara nyata begitu pula sebaliknya.

Banyaknya output produksi total merupakan penjumlahan dari F1 dan F2. Untuk lebih lengkapnya perhatikan gambar di bawah ini yang dihasilkan dari persamaan (3.1).

Ket:

F1

F2

10 20 30 40 50 60 t

500 1000 1500 2000 2500

(57)

Gambar 4.13 Output produksi total dari daerah pedesaan dan daerah perkotaan dalam tiga kasus.

Berdasarkan Gambar 4.13 dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi apapun

output produksi total selalu cenderung naik, akan tetapi kenaikan yang lebih tinggi diperlihatkan oleh grafik kasus 3 yakni kondisi pada saat perubahan struktural sudah terjadi. Sehingga untuk mendapatkan output produksi total yang lebih banyak, sebaiknya dengan cara mendorong terjadinya perubahan struktural.

4.1.5 Besarnya Konsumsi dan Tabungan

Besarnya konsumsi masing-masing daerah proporsional dengan pendapatan yang siap dibelanjakan (T) oleh daerah tersebut. Grafik besarnya konsumsi dari masing-masing daerah yang dihasilkan dari persamaan (3.9) mempunyai pola yang mirip dengan grafik pendapatan bersih. Besaran parameter yang digunakan masih sama seperti yang digunakan pada pertumbuhan modal. Hasil diberikan pada gambar berikut ini:

Ket:

Kasus 3 Kasus 2 Kasus 1

10 20 30 40 50 60 t

500 1000 1500 2000 2500 3000

[image:57.612.156.486.75.319.2]
(58)

Kasus 1: Kecenderungan menabung daerah pedesaan rendah

Gambar 4.14 Besarnya konsumsi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan rendah.

Dari Gambar 4.14 nampak bahwa besarnya konsumsi daerah pedesaan mengalami penurunan di awal waktu, kemudian mengalami kenaikan. Sedangkan besarnya konsumsi daerah perkotaan mengalami kenaikan yang signifikan. Meskipun keduanya mengalami kenaikan akan tetapi kenaikan yang tertinggi untuk besarnya konsumsi dari daerah perkotaan.

Ket:

C1

C2

10 20 30 40 50 60 t

50 100 150 200 250

(59)

Kasus 2: Kecenderungan menabung daerah pedesaan sedang

Gambar 4.15 Besarnya konsumsi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan sedang.

Dari Gambar 4.15 nampak bahwa besarnya konsumsi daerah pedesaan mengalami kenaikan yang sangat tajam bila dibandingkan dengan besarnya konsumsi daerah perkotaan. Meskipun keduanya mengalami kenaikan akan tetapi kenaikan yang tertinggi untuk besarnya konsumsi dari daerah pedesaan.

Ket:

C1

C2

10 20 30 40 50 60 t

50 100 150 200 250 300 350

(60)

Kasus 3: Kecenderungan menabung daerah pedesaan tinggi

Gambar 4.16 Besarnya konsumsi masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan tinggi.

Dari Gambar 4.16 nampak bahwa besarnya konsumsi daerah perkotaan sangat lambat bahkan cenderung stagnan. Sedangkan besarnya konsumsi daerah pedesaan mengalami kenaikan yang signifikan.

Besarnya konsumsi total merupakan penjumlahan dari C1 dan C2. Untuk lebih lengkapnya perhatikan gambar di bawah ini yang dihasilkan dari persamaan (3.9).

Ket:

C1

C2

10 20 30 40 50 60 t

1000 2000 3000 4000

(61)

Gambar 4.17 Besarnya konsumsi total dari daerah pedesaan dan daerah perkotaan dalam tiga kasus.

Berdasarkan Gambar 4.17 dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi apapun besarnya konsumsi total selalu cenderung naik, akan tetapi kenaikan yang lebih tinggi diperlihatkan oleh grafik kasus 3 yakni kondisi pada saat perubahan struktural sudah terjadi. Sehingga untuk mendapatkan besarnya konsumsi total yang lebih banyak, sebaiknya dengan cara mendorong terjadinya perubahan struktural.

Kemudian besarnya tabungan masing-masing daerah juga proporsional dengan pendapatan yang siap dibelanjakan (T) oleh daerah tersebut. Grafik besarnya tabungan dari masing-masing daerah yang dihasilkan dari persamaan (3.9) mempunyai pola yang mirip dengan grafik pertumbuhan modal. Besaran parameter yang digunakan masih sama seperti yang digunakan pada pertumbuhan modal. Hasil diberikan pada gambar berikut ini:

Ket:

Kasus 3 Kasus 2 Kasus 1

10 20 30 40 50 60 t

1000 2000 3000 4000

(62)

Kasus 1: Kecenderungan menabung daerah pedesaan rendah

Gambar 4.18 Besarnya tabungan masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan rendah.

Dari Gambar 4.18 nampak bahwa besarnya tabungan daerah pedesaan mengalami penurunan di awal waktu, kemudian mengalami kenaikan yang lambat bahkan cenderung stagnan. Sedangkan besarnya tabungan daerah perkotaan mengalami kenaikan yang signifikan. Meskipun keduanya mengalami kenaikan akan tetapi kenaikan yang tertinggi untuk besarnya tabungan dari daerah perkotaan.

Ket:

S1

S2

10 20 30 40 50 60 t

100 200 300 400 500

(63)

Kasus 2: Kecenderungan menabung daerah pedesaan sedang

Gambar 4.19 Besarnya tabungan masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan sedang.

Dari Gambar 4.19 nampak bahwa besarnya tabungan daerah pedesaan mengalami kenaikan yang relatif sama dengan besarnya tabungan daerah perkotaan. Meskipun keduanya mengalami kenaikan akan tetapi kenaikan yang tertinggi untuk besarnya tabungan dari daerah perkotaan, hanya pada waktu tertentu yang relatif singkat besarnya tabungan mencapai titik yang sama.

Ket:

S1

S2

10 20 30 40 50 60 t

100 200 300

(64)

Kasus 3: Kecenderungan menabung daerah pedesaan tinggi

Gambar

Gambar

Gambar 4.1 Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan rendah.
Gambar 4.2 Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan sedang.
Gambar 4.3 Modal masing-masing daerah saat kecenderungan menabung pedesaan tinggi.
Gambar 4.4 Modal total kedua daerah.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bimbingan kelompokada empat tahapan yang harus dilalui yaitu tahap awal, peralihan, kerja dan pengakhiran (Glading, 1994). Dalam tahap awal hal-hal yang dilakukan

Serangga ini termasuk hewan polivoltin (memiliki lebih dari dua generasi per tahun) dan imagonya dapat dijumpai selama 12 bulan dalam setahun (Peigler, 1989).. menghasilkan

dengan responden dan lokasi yang berbeda sehingga dapat diketahui juga pengaruh pengetahuan, penyuluhan, ketersediaan obat, PMO, dan efek samping OAT terhadap ketaatan pasien

Berbagai jenis herbal dibudidayakan di wilayah tersebut, antara lain yang termasuk rimpang adalah temulawak, kunyit, bengle, dan jahe; yang berbentuk daun meliputi

Hasil praproses data yang menyatakan jumlah sequence di setiap tingkat takson dan setiap panjang fragmen untuk data latih dan data uji dapat dilihat pada Lampiran 4 dan

Berdasarkan latar belakang yang ada maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana membangun sebuah Sistem Informasi Inventaris Berbasis Web Mobile

[r]

headline atau topik terkini media lain, hal itu tidak menjadi masalah sepanjang topik yang diangkat memiliki news value yang tinggi.. Dalam hal ini, redaksi harus berani