• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik Dengan Perilaku Petugas Kusta Dalam Penentuan Kecacatan Pada Penderita Kusta Di Puskesmas Se-Kabupaten Samosir Tahun 2007.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Karakteristik Dengan Perilaku Petugas Kusta Dalam Penentuan Kecacatan Pada Penderita Kusta Di Puskesmas Se-Kabupaten Samosir Tahun 2007."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS KUSTA DENGAN TINDAKAN PENENTUAN KECACATAN PENDERITA KUSTA PADA SEMUA

PUSKESMAS DI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2007

SKRIPSI

Oleh :

BERMAN SITUMORANG NIM.051000534

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PUSKESMAS DI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2007

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

BERMAN SITUMORANG NIM.051000534

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi Dengan Judul

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS KUSTA DENGAN TINDAKAN PENENTUAN KECACATAN PENDERITA KUSTA PADA SEMUA

PUSKESMAS DI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2007

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

BERMAN SITUMORANG NIM.051000534

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui untuk dipertahankan Dihadapan peserta sidang Bagian Epidemiologi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Dosen Pembimbing Skripsi:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

drh. Hiswani, M.Kes drh. Rasmaliah, M.Kes

(4)

Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae dan penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia dengan penyebarannya yang tidak merata. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir tahun 2007, jumlah penderita kusta sebanyak 23 orang dengan jumlah penderita kusta yang cacat (cacat tingkat 1 dan cacat tingkat 2) sebanyak 22 orang (95,65%).Dari hasil survey diatas dimana kita lihat bahwa tingginya kecacatan pada penderita kusta, maka, penulis mengambil suatu hipotesis bahwa ada hubungan prilaku petugas kusta dengan tingginya kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini dilakukan di seluruh puskesmas yang ada di Kabupaten Samosir

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan perilaku petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dan desain penelitian cross sectional yang dilanjutkan dengan analisa statistik dengan uji chi square. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara dengan populasinya adalah seluruh petugas kusta di 11 puskesmas yaitu sebanyak 33 orang (total sampling) dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian diperoleh sebanyak 15 responden (45,5%) memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang penyakit kusta dan tingkat kecacatan, 18 responden (54,5%) memiliki sikap yang baik tentang penyakit kusta dan tingkat kecacatan dan sebanyak 20 responden (60,6%) mempunyai perilaku penentuan yang kurang baik. Hasil penelitian ini juga diperoleh dari 10 orang responden yang sudah mengikuti pelatihan, 70% sudah melakukan perilaku penentuan kecacatan yang baik. Ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan perilaku penentuan kecacatan dengan (p=0,001)<(α=0,05) dan ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku penentuan kecacatan dengan (p=0,004)<(α=0,05).Untuk karakteristik umur, lama bekerja dan pelatihan juga mempunyai hubungan yang bermakna dalam perilaku penentuan kecacatan.

Berdasarkan hasil penelitian, untuk meningkatkan perilaku petugas kusta di Puskesmas Kabupaten Samosir diharapkan dapat dilakukan kegiatan berupa pelatihan - pelatihan atau pendidikan dalam upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku penentuan kecacatan petugas pada penderita kusta di wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir

Kata kunci : Perilaku petugas, kecacatan penderita kusta

(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : BERMAN SITUMORANG

Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe/13 Oktober 199 Agama : Kristen Protestan Status Perkawinan : Kawin

Jumlah Keluarga : 6 orang

Alamat Rumah : Jl. Pelabuhan Simanindo Kabupaten Samosir Alamat Kantor : Jl. Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan-Samosir

Riwayat Pendidikan :

(6)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan ijin dan rahmatnyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Hubungan Karakteristik Dengan Perilaku Petugas Kusta Dalam Penentuan Kecacatan Pada Penderita Kusta Di Puskesmas Se-Kabupaten Samosir Tahun 2007.“

Penulis juga mendapat banyak bantuan dan bimbingan dari ibu drh. Hiswani, MKes., selaku dosen pembimbing skripsi I dan ibu drh. Rasmaliah, MKes., selaku dosen pembimbing skripsi II. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas waktu yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan dan masukan serta motivasi kepada penulis sehungga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan

Selanjutnya penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu dr. Ria Masniari, MSi., selaku dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Tukiman, MKM., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

3. Bapak Prof.dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH., selaku Ketua Departemen Epidemiologi FKM-USU dan seluruh staf Peminatan Epidemiologi.

4. Bapak Dr. Achsan Harahap, MPH., selaku Dosen Penguji Skripsi II. 5. Bapak Drs.Dr. R. Kintoko Rochadi, MKM., selaku Penguji Skripsi III.

6. Bapak Manigor Simbolon, SKM., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir dan seluruh jajaran kesehatan di Kabupaten Samosir.

(7)

Secara khusus penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :

Isteriku tercinta Erita Purba, yang dengan penuh kasih sayang selalu

memberikan dukungan baik moril maupun materil yang tiada terhingga selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Putera-puteriku tersayang, Yodi Riski, Alifian, dan Jane, karena doa

dan pengharapannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.  Bapak, ibu dan kedua mertuaku, yang selalu membawa penulis

didalam doanya, agar penulis dapat segera menyelesaikan tulisan ini.  Rekan-rekan Angkatan 2005 FKM-USU (Bhakti, Siti, Marina,

Anita, Panitian, Dahlena, Namson) dan teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan penulis sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan rahmat dan perlindunganNya kepada kita semua dan penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

(8)

Halaman Persetujuan……… . i

Abstrak……… ii

Kata Pengantar………... iii

Daftar Isi……….. vi

Daftar Tabel………. viii

BAB 1 PENDAHULUAN………... 1

2.1.1 PengertianPenyakit Kusta... 8

2.1.2 Epidemiologi Penyakit Kusta... 8

2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta... 11

2.2.1.Hubungan Lymphocyte dengan Type Kusta... 12

2.3 Cara Penularan Penyakit Kusta... 13

2.4 Diagnosa Penyakit Kusta... 13

2.5 Pemeriksaan Penderita... 14

2.6 Pencegahan Penyakit Kusta... 19

2.7 Pencegahan Kecacatan Penderita Kusta... 21

2.8 Penemuan dan Pengobatan Penderita Kusta ... 23

3.2 Definisi Operasional Variabel... 31

3.3 Aspek Pengukuran... 33

3.4 Instrumen... 33

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN... 34

(9)

BAB 5 HASIL PENELITIAN... 36

5.1 Gambaran Umum Kabupaten Samosir... 36

5.2 Data Penderita Kusta... 37

5.3 Karakteristik Responden ... 38

5.4 Tindakan Penentuan Kecacatan ... 40

5.5. Analisa Statistik... 41

BAB 6 PEMBAHASAN... 46

6.1 Karakteristik Responden ... 46

6.2. Hubungan Karakteristik Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan... 48

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN... 55

7.1 Kesimpulan... 55

7.2 Saran... 56 DAFTAR PUSTAKA

(10)

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 33 Tabel 5.1 Distribusi proporsi penderita kusta berdasarkan tempat, klasifikasi

dan tingkat cacat di Kabupaten Samosir Tahun 2007 ... 37 Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan karakteristik di wilayah puskesmas

se Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 38 Tabel 5.3 Distribusi tindakan penentuan kecacatan pada semua puskesmas di

Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 40 Tabel 5.4 Hubungan umur dengan tindakan penentuan kecacatan penderita

kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 41 Tabel 5.5 Hubungan jenis kelamin dengan tindakan penentuan kecacatan

penderita kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun

2007 ... 41 Tabel 5.6 Hubungan pendidikan dengan tindakan penentuan kecacatan

penderita kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun

2007 ………... ... 42 Tabel 5.7 Hubungan lama bekerja dengan tindakan penentuan kecacatan

penderita kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 43 Tabel 5.8 Hubungan pelatihan dengan tindakan penentuan kecacatan penderita

kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 43 Tabel 5.9 Hubungan pengetahuan dengan tindakan penentuan kecacatan

penderita kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun

2007 ... 44 Tabel 5.10 Hubungan sikap dengan tindakan penentuan kecacatan penderita

(11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes R.I., 1999. Pembangunan Kesehatan, Visi Misi Indonesia Sehat 2010, Jakarta.

2. Depkes R.I., 2001. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Jakarta.

3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997. Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan, Jakarta.

4. Depkes R.I., 2005. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII, Jakarta.

5. Depkes R.I., 1996. Pedoman Eliminasi Kusta tahun 2002, Jakarta

6. Laporan Program Penanggulangan Penyakit Kusta Propinsi Sumatera Utara Tahun 2004-2006

7. Dharma, S., 2005. Manajemen Kinerja (Falsafah Teori dan Penerapannya). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

8. Fransesco, S., 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Erlangga University Press. Surabaya.

9. Amalia, K.,2005. Motivasi Sebagai Landasan Kompetensi Sumber Daya Manusia Menuju Kinerja Yang Lebih Baik, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan.

10. Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta

11. Sianturi, A.H.D., 1998. Gambaran Perilaku Kader Posyandu Dalam Kegiatan Gizi di Kecamatan Medan Area Kotamadya Medan Tahun 1998. Skripsi FKM-USU, Medan.

12. Felton Ross, Halim Paulus., 1989. Penyakit Kusta (Untuk Petugas Kesehatan), Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

(12)

15. Dirjen PPM dan PLP., 2000. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XIV, Jakarta.

16. Santoso.E.B., dkk., 1994. Penyakit Kusta Pada Anak-anak di RSUD Dr. Sutomo Surabaya Indonesia, FK UNAIR, Surabaya.

17. .Depkes R.I., 2001. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, Jakarta. 18. Dirjen PPM dan PLP., 2000. Buku Pedoman Eliminasi Kusta, Jakarta.

19. Budiarto E., Anggraeni Dewi., 2001. Pengantar Epidemiologi Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Bandung

(13)

ABSTRAK

Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae dan penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia dengan penyebarannya yang tidak merata. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir tahun 2007, jumlah penderita kusta sebanyak 23 orang dengan jumlah penderita kusta yang cacat (cacat tingkat 1 dan cacat tingkat 2) sebanyak 22 orang (95,65%).Dari hasil survey diatas dimana kita lihat bahwa tingginya kecacatan pada penderita kusta, maka, penulis mengambil suatu hipotesis bahwa ada hubungan prilaku petugas kusta dengan tingginya kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini dilakukan di seluruh puskesmas yang ada di Kabupaten Samosir

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan perilaku petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dan desain penelitian cross sectional yang dilanjutkan dengan analisa statistik dengan uji chi square. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara dengan populasinya adalah seluruh petugas kusta di 11 puskesmas yaitu sebanyak 33 orang (total sampling) dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian diperoleh sebanyak 15 responden (45,5%) memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang penyakit kusta dan tingkat kecacatan, 18 responden (54,5%) memiliki sikap yang baik tentang penyakit kusta dan tingkat kecacatan dan sebanyak 20 responden (60,6%) mempunyai perilaku penentuan yang kurang baik. Hasil penelitian ini juga diperoleh dari 10 orang responden yang sudah mengikuti pelatihan, 70% sudah melakukan perilaku penentuan kecacatan yang baik. Ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan perilaku penentuan kecacatan dengan (p=0,001)<(α=0,05) dan ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku penentuan kecacatan dengan (p=0,004)<(α=0,05).Untuk karakteristik umur, lama bekerja dan pelatihan juga mempunyai hubungan yang bermakna dalam perilaku penentuan kecacatan.

Berdasarkan hasil penelitian, untuk meningkatkan perilaku petugas kusta di Puskesmas Kabupaten Samosir diharapkan dapat dilakukan kegiatan berupa pelatihan - pelatihan atau pendidikan dalam upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku penentuan kecacatan petugas pada penderita kusta di wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir

Kata kunci : Perilaku petugas, kecacatan penderita kusta

(14)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan yang berkualitas merupakan bagian integral dari

pembangunan nasional, dimana masyarakat, bangsa dan negara dapat hidup dalam

lingkungan dan perilaku hidup yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau

pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya. Usaha peningkatan derajat kesehatan diupayakan

melalui upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

penyembuhan (kuratif), serta upaya-upaya pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

Usaha-usaha tersebut dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan

serta peningkatan sistem pengamatan penyakit, pengkajian, cara penanggulangan

secara terpadu dan penyelidikan terhadap penularan penyakit.1

Dalam mewujudkan pelaksanaan upaya-upaya di atas tentunya harus

didukung oleh sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang berkualitas yang

mampu memenuhi tuntutan dan kebutuhan pembangunan di bidang kesehatan, baik

masa kini maupun masa datang. Salah satu program yang telah ditetapkan untuk

mencapai tujuan dan sasaran pembangunan di bidang kesehatan adalah pencegahan

dan pemberantasan penyakit menular. Program tersebut dilaksanakan untuk

mencegah berjangkitnya penyakit atau mengurangi angka kematian dan kesakitan,

dan sedapat mungkin menghilangkan atau mengurangi akibat buruk dari penyakit

(15)

2

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya

dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo

endotelial, mata, otot, tulang, dan testis. Penyakit kusta dapat ditularkan secara

langsung oleh penderita kepada orang lain. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi

dapat asimtomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala-gejala dan

mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, sehingga akan menjadi halangan

bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan

sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan

negara.3

Di Indonesia pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas pada

tahun 1969 dan mulai menggunakan obat kombinasi Multi Drug Therapy (MDT)

sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) pada tahun 1982.4

Departemen Kesehatan Republik Indonesia bertekad untuk melakukan

pemberantasan secara intensif dengan angka prevalensi lebih kecil dari 1 per 10.000

penduduk pada tahun 2000, sesuai dengan target global dari WHO. Program ini

dikenal dengan program Eliminasi Kusta Tahun 2000 (EKT 2000) dengan strategi

dan langkah-langkah sebagai berikut : (1) Dukungan kebijaksanaan nasional,

(2) Intensifikasidan ekstensifikasiprogram MDT, (3) Meningkatkan sistem informasi

program Eliminasi Kusta Tahun 2000 (EKT 2000), (4) Meningkatkan kerjasama

dengan organisasi swasta, (5) Peningkatan kerjasama lintas sektoral dan peran serta

masyarakat, (6) Meningkatkan kinerja petugas, dan (7) Mengurangi sampai

(16)

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah dengan

penyebaran yang tidak merata. Penderita kusta terdaftar di Indonesia sampai tahun

2003 sebanyak 18.312 penderita. Penderita kusta 90 % tinggal di antara keluarga

mereka dan hanya beberapa penderita saja yang tinggal di Rumah Sakit kusta, koloni

penampungan atau perkampungan kusta.4

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, jumlah

penderita penyakit kusta yang terdaftar di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2006

adalah sebagai berikut : Jumlah kasus baru PB = 38, MB = 165 dengan cacat tingkat

0 untuk klasifikasi PB = 19, MB = 60, cacat tingkat 1 klasifikasi PB = 11, MB = 70,

sedangkan cacat tingkat 2 klasifikasi PB = 3, MB = 30

Jumlah penderita kusta yang terdapat di Kabupaten Samosir adalah sebanyak 23

orang, dimana penderita dengan klasifikasi MB ada sebanyak 21 orang, klasifikasi

PB 2 orang dan dari 23 orang penderita kusta yang sudah cacat (cacat tingkat 1 dan 2)

yaitu 22 orang (95,65%)6

Angka penemuan penderita kusta secara aktif masih relatif kecil .Pada tahun

2002 dari 18 penderita kusta yang ditemukan hanya 3 orang yang ditemukan secara

aktif (16%), tahun 2003, dari 39 penderita, ditemukan secara aktif 3 penderita (7,7%),

tahun 2004, dari 36 penderita, ditemukan secara aktif dari 2 penderita (5,5%), dan

tahun 2005, dari 58 penderita ditemukan, secara aktif dari 3 penderita (5,2%). Dari

angka penemuan kusta di atas, diketahui bahwa kinerja petugas masih rendah jika

dibandingkan dengan standart petugas puskesmas dalam menemukan penderita kusta

(17)

4

Menurut Depkes RI (2005), dalam program pemberantasan penyakit kusta

petugas puskesmas mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut : (1) penemuan

kasus (case finding), (2) menentukan diagnosis dan klasifikasi penderita, (3)

melaksanakan pengobatan, (4) pencegahan cacat, (5) penanganan penderita reaksi,

(6) penyuluhan tentang perawatan diri.4

Dalam upaya peningkatan kinerja yang baik pada suatu organisasi diperlukan

kompetensi yang tinggi yang harus dimiliki oleh setiap anggotanya. Kinerja adalah

hasil karya personal pada tingkat prestasi yang dicapai seseorang dalam

pekerjaannya.7

Suatu kompetensi terdiri atas pengetahuan, keterampilan namun dalam

penerapannya secara konsisten pengetahuan, keterampilan tersebut harus sesuai

dengan standar kinerja yang telah dipersyaratkan dalam pekerjaan. Manajemen

sumber daya manusia merupakan suatu sarana yang ampuh untuk meningkatkan

kompetensi petugas dan tentunya akan memperbaiki dan akan meningkatkan kinerja

(performance) dan daya hasil organisasi.8

Menurut Nugraheni yang dikutip oleh Amalia (2005), suatu kinerja dari

petugas yang baik merupakan suatu langkah untuk menuju tercapainya tujuan suatu

organisasi sehingga kinerja merupakan suatu penentu dalam mencapai tujuan

organisasi. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang dimiliki

oleh seseorang petugas kesehatan ditunjukkan dengan kesanggupan sesuai dengan

tingkat pengetahuan, keterampilan untuk mencapai hasil kerja yang maksimal.9

Dari hasil survai pendahuluan di Kabupaten Samosir pada bulan Desember

(18)

tidak mampu untuk menentukan diagnosa dan klasifikasi penderita kusta. Setiap ada

suspek penderita kusta yang membuat diagnosa dan klasifikasi penyakit adalah

petugas dari kabupaten. Kondisi tersebut diduga terkait dengan pengetahuan petugas

yang masih kurang tentang penyakit kusta, keterampilan petugas yang masih kurang

dalam menemukan penderita kusta dan petugas kurang mampu dalam menentukan

diagnosa penyakit kusta.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang hubungan

karakteristik petugas kusta dengan tindakan penentuan kecacatan penderita kusta di

pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007

1.2 Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini

adalah : Belum diketahui hubungan karakteristik dengan prilaku petugas kusta dalam

penentuan kecacatan pada penderita kusta di Kabupaten Samosir tahun 2007.

Bagaimana tindakan petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta

(19)

6

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan perilaku petugas kusta

dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta di wilayah puskesmas se-Kabupaten

Samosir tahun 2007

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik petugas kusta (umur, jenis kelamin,

pendidikan, lama bekerja, pelatihan) di wilayah puskesmas se-Kabupaten

Samosir tahun 2007

2. Untuk mengetahui pengetahuan petugas kusta se-Kabupaten Samosir tahun

2007

3. Untuk mengetahui sikap petugas kusta di wilayah puskesmas se-Kabupaten

Samosir tahun 2007

4. Untuk mengetahui hubungan karakteristik petugas kusta (umur, jenis kelamin,

pendidikan, lamanya bekerja dan pelatihan) dengan prilaku penentuan

kecacatan pada penderita kusta di wilayah puskesmas se-Kabupaten Samosir

tahun 2007

5. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan prilaku penentuan

kecacatan pada penderita kusta di wilayah puskesmas se-Kabupaten Samosir

tahun 2007.

6. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan perilaku penentuan kecacatan pada

(20)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran tentang hubungan karakteristik dengan perilaku

petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta di wilayah

Puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007

2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir dan

jajarannya dalam program pemberantasan penyakit kusta.

3. Sebagai bahan refrensibagi peneliti lain yang berhubungan dengan masalah

yang sama.

1.5. Hipotesa

Ada hubungan karakteristik dengan prilaku petugas kusta dalam penentuan

(21)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kusta

2.1.1 Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman golongan myco ini berbentuk batang yang

yang tahan terhadap asam terutama asam alkohol dan oleh sebab itu disebut juga

Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini bersifat kronis pada manusia, yang bisa

menyerang saraf-saraf dan kulit.. Bila dibiarkan begitu saja tanpa diobati, maka akan

menyebabkan cacat –cacat jasmani yang berat. Namun, penularan penyakit kusta ke

orang lain memerlukan waktu yang cukup lama tidak seperti penyakit menular

lainnya. Masa inkubasinya adalah 2-5 tahun. Penyakit ini sering menyebabkan

tekanan batin pada penderita dan keluarganya, bahkan sampai menggangu kehidupan

sosial mereka.10

2.1.2 Epidemiologi Penyakit Kusta a. Distribusi Menurut Orang

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat

karena faktor geografi. Namun, jika diamati dalam satu Negara atau wilayah yang

sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor

etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma

dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang

(22)

atau India. Demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih

banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu.11

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Insiden rate penyakit ini meningkat

sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun.

Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak antara umur 30-50

tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.

Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita kecuali di

Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti

pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat

meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.12

b. Distribusi Menurut Tempat dan Waktu

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda.

Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985 dengan prevalensi >1/10.000

penduduk, hanya tinggal 6 negara yang masih belum mencapai eliminasi di tahun

2005 yaitu : India, Brazil, Indonesia, Bangladesh, Congo, dan Nepal Antara tahun

1985 hingga 2005 lebih dari 15 juta penderita telah sembuh. Dan 222.367 kasus

masih dalam pengobatan pada awal tahun 2006.

Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia menempati

posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data kusta awal 2005 Indonesia

menempati posisi ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per 10.000 penduduk. Di

Indonesia, kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan prevalensi rate 1,76 per

10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah Bengkulu dengan prevalensi

(23)

10

prevalensinya adalah sebesar 0,23 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan kasus

baru selama bulan Januari-Desember 2005 paling banyak ditemukan di Jawa Timur.12

c. Determinan

Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di takuti.

Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh

host, agent, dan environment antara lain :

a. Faktor Daya Tahan Tubuh (host)

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak

menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal

ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.

b. Faktor Kuman (agent)

Kuman dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu

atau cuaca, dan hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat

menimbulkan penularan.

c. Faktor Sumber Penularan (environment)

Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB). Penderita MB

ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur. Penyakit ini dapat

(24)

2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta

Tujuan klasifikasi ini untuk menentukan regimen pengobatan dan perencanaan

operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT)

yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta

di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe seperti klasifikasi menurut WHO (1998)

yaitu:

a. Tipe PB (Pausibasiler)

Yang dimaksud dengan kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan

Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate) TT (Tuberculoid)

dan BT (Boderline Tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Joplin dan hanya

mempunyai jumlah lesi 1-5 pada kulit.

b. Tipe MB (Multi Basiler)

Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid Boderline), BL (Boderline

lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Joplin dengan

jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smer positif.

Menurut Madrid klasifikasi kusta dibagi menjadi 4 yaitu : indeterminate, tuberculoid,

(25)

12

2.2.1. Hubungan Lymphocyte dengan Type Kusta.(Ridley dan Joplin, 1996)

LL

3. Borderl i ne Tubercul oi d ( BT )

4. Borderl i ne Borderl i ne ( BB )

5. Borderl i ne Lepromatous ( BL )

6. Lepromatous ( LL )

Penentuan klasifikasi berdasarkan pemeriksaan laboratorium (Bacteriological

Index/BI).

Lapangan Pandang dengan pembesaran 100X

1+ 1 Bacil dalam 100 lapangan pandang

2+ 1 Bacil dalam 10 lapangan pandang

3+ 1 Bacil dalam tiap lapangan pandang

4+ 10 Bacil dalam tiap lapangan pandang

5+ 100 Bacil dlam tiap lapangan pandang

6+ 1000 Bacil dalam tiap lapangan pandang

Dari hasil pemeriksaan bakteri dengan mikroskop diatas maka kusta dapat di

klasifikasikan menjadi :

Tuberculoid Noneseen

Boderline Tuberculoid 0 – 3+

Boderline Boderline 3 – 5+

Boderline Lepromatosa 5 – 6+

(26)

2.3 Cara Penularan Penyakit Kusta

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang

lain secara langsung. Cara penularan penyakit ini masih belum diketahui secara pasti,

tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan

melalui saluran pernafasan dan kulit. Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun,

akan tetapi dapat juga berlangsung sampai bertahun-tahun.

Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui

secara pasti, namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling

sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan

pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila kontak dengan

penderita dalam waktu yang sangat lama.3,15

2.4 Diagnosa Penyakit Kusta

Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit

lain. Sebaliknya penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit

kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta

secara tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit lain agar tidak membuat

kesalahan yang merugikan penderita.

Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (gejala

(27)

14

a. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi

(plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa

sentuh, rasa suhu, dan rasa nyeri

b. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf

yang terkena, yaitu gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi

motoris (paresis atau paralysis), dan gangguan fungsi otonom (kulit kering, retak,

edema, pertumbuhan rambut yang terganggu).

c. Ditemukan basil tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian

yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf.

Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda

kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan

tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan

sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.16

2.5 Pemeriksaan Penderita 1. Anamnesis

a. Keluhan penderita

b. Riwayat kontak dengan penderita

(28)

2. Inspeksi

Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan

kulit.

3. Palpasi

a. Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus, khususnya paa tangan

dan kaki

b. Kelainana saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti :

N.aurikularis magnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas harus mencatat,

adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah si

penderita, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan

saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai

menyakiti atau penderita mendapat kesan kurang baik.

Cara pemeriksaan saraf :

3 Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan.

4 Membesar atau tidak

5 Bentuk bulat atau oval

6 Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps, kerots

7 Perabaan keras atau kenyal

8 Nyeri atau tidak

Untuk mendapat kesan saraf mana yang masih normal, diperlukan

pengalaman yang banyak.

Cara pemeriksaan saraf tepi :

(29)

16

Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf

yang terlihat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga sudah dapat

terlihat bila membesar. Dua jari pemeriksaan diletakkan di atas

persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot, perabaan secara

seksama akan menentukan jaringan seperti kabel atau kawat, bila ada

penebalan. Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan.

2. N. ulnaris :

Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya

diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain

meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan,

apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan

kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak.

3. N. peroneus lateralis :

Pasien disuruh duduk dengan kedua kaki menggantung kemudian diraba

di sebelah lateral dari capitulum fibulae biasanya sedikit ada ke posterior.

Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien

merasakan seperti terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf

tersebut. Pada keadaan neuritis akut, sedikit sentuhan sudah memberikan

rasa nyeri yang hebat.

4. Tes fungsi saraf

a. Tes sensoris

 Rasa raba : dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai

(30)

harus duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas

menerangkan bahwa bila mana merasa disinggung bagian tubuhnya

dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari

telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Tanda-tanda di kulit dan

bagian-bagian kulit lain yang dicurigai, diperiksa sensibilitasnya. Harus

diperiksa sensibilitas kulit yang tersangka diserang kusta. Bercak-bercak

di kulit harus diperiksa ditengahnya dan jangan dipinggirnya.

 Rasa nyeri : diperiksa degan memakai jarum. Petugas menusuk kulit

dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang

tumpul dan penderita harus mengatakan tusukan mana yang tumpul.

 Rasa suhu : dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu

berisi air panas(sebaiknya 40C) yang lainnya air dingin (sebaiknya

sekitar 20C). kenudian mata penderita ditutup atau menoleh ke tempat

lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit

yang dicurigai. Bila penderita salah menyebutkan rasa pada tabung yang

ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah

tersebut terganggu.

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada

penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan

test anhidrosis.

(31)

18

5. Komplikasi : dicari komplikasi

a. Pada mata, hidung, laring dan testis

b. Reaksi : nyeri saraf, eritema nodosum leprosum, iridosiklitis, tenosinovitis.

c. Kerusakan saraf sensoris

d. Kerusakan saraf motoris

e. Kerusakan saraf otonom

6. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) berguna untuk :

a. Membantu menentukan diagnosis penyakit

b. Membantu menentukan klasifikasi (tipe) penyakit kusta.

c. Membantu menilai hasil pengobatan.

Ketentuan untuk lokasi sediaan :

a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling akut.

b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak

ditemukan kelainan kulit di tempat lain.

c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan di tempat kelainan kulit yang sama dan

bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.

d. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan hapus dilakukan

oleh orang yang berlainan. Hal ini untuk menjaga pengaruh gambaran klinis

terhadap hasil pemeriksaan bakterioskopik.

e. Tempat yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi pemeriksaan

(32)

f. Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan

di tiga tempat, yaitu : cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, dan bercak

yang paling aktif.

g. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindarkan karena : tidak

menyenangkan bagi penderita, positif palsu karena mikrobakterium lain, tidak

pernah ditemukan M.leprae pada selaput lender hidung apabila sediaan hapus

kulit negatif, pada pengobatan pemeriksaan bakterioskopis selaput lender

hidung negatif lebih dahulu daripada di kulit.

h. Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapus kulit : semua orang

yang dicurigai menderita kusta, semua penderita baru yang didiagnosis secara

klinis sebagai penderita kusta, semua penderita kusta yang diduga kambuh

(relaps) atau karena tersangka kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan

semua penderita MB setahun sekali.3

2.6 Pencegahan Penyakit Kusta

Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang

penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program

pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat, maka

diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi, insidens dan

kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa

tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu : pencegahan primer, sekunder, dan

(33)

20

2.6.1 Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan

orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan

pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan

pada masyarakat umum, misalnya personal hygiene, pendidikan kesehatan

masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan. Pencegahan khusus

ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk terkena suatu penyakit,

misalnya pemberian immunisasi.11

2.6.2 Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah

orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan komplikasi

kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti

dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan

pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder adalah

untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau yang jelas

berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.

2.6.3 Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan

mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan

dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas

(34)

2.7. Pencegahan Kecacatan

M.leprae menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari

kerusakan urat saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik,

motorik, dan otonom.

Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah :

a) Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi yang bersifat

psikologik, fisiologik, atau anatomik.

b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment)

untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi

manusia.

c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment dan disability)

yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung

pada umur, seks, dan faktor sosial budaya.

Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :

a) Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.leprae.

yang termasuk cacat primer adalah cacat pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf

motorik, dan cacat pada fungsi otonom serta gangguan refleks vasodilatasi.

b) Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anastesi akan memudahkan terjadinya luka akibat

trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan

(35)

22

Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan,

yaitu :

a) Cacat pada tangan dan kaki :

Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis

Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis

Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis

b) Cacat pada mata :

Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)

Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang

Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu

Upaya pencegahan cacat terdiri atas :

a) Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :

- Pengobatan secara teratur dan adekuat

- Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis

- Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi

b) Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :

- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka

- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah

terjadinya kontraktur

- Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar

tidak mendapat tekanan yang berlebihan

(36)

Perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan

otot.3,17

2.8. Penemuan dan Pengobatan Penderita Kusta 2.8.1. Penemuan Penderita

Dalam program pemberantasan penyakit kusta, penemuan penderita secara

dini sangat penting untuk mencegah penularan dan timbulnya cacat pada penderita.

Cara penemuan penderita kusta ada 2 (dua) yaitu :

a. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)

Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang belum pernah

berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang lain ke sarana kesehatan. Hal

ini tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri untuk

mendapatkan pengobatan. Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat

datang berobat ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :

a) Tidak mengerti tanda dini kusta

b) Malu datang ke Puskesmas

c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas

d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.

b. Penemuan secara aktif

Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif adalah :

a) Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak)

Dengan melakukan pemeriksaan kepada semua anggota keluarga yang tinggal

serumah dengan penderita. Pemeriksaan dilakukan minimal 1 tahun sekali,

(37)

24

b) Pemeriksaan anak sekolah

Penderita pada usia dibawah 14 tahun atau anak Sekolah Dasar dan Taman

Kanak-kanak cukup banyak. Ini untuk mengantisipasi kemungkinan adanya

penderita kusta pada anak dan mencegah terjadinya penularan di lingkungan

sekolah.

c) Chase Survey

Mencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat untuk

mengetahui tanda-tanda kusta dini secara benar.

d) Survei Khusus

Survei ini dilakukan apabila suatu daerah dimana proporsi penderita MB minimal

60% dan dijumpai penderita pada usia muda cukup tinggi sesuai dengan perencanaan

dan petunjuk dari Depkes yang sudah diadakan “Set Up” secara statistik oleh ahli

statistik dari WHO.tahun 200013

2.8.2. Pengobatan Penyakit Kusta 2.8.2.1. Program MDT

Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok Studi

Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta

dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal dengan rejimen

MDT-WHO.(2001) Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifamfisin, dan

klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi adapson yang semakin meningkat,

penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita

(38)

monoterapi dapson. Di samping itu juga diharapkan juga dengan MDT dapat

mengeliminasi persistensi kuman dalam jaringan.3,17

2.8.2.2. Obat Kusta Baru

Dalam pelaksanaan program MDT-WHO (2001) ada beberapa masalah yang

timbul, yaitu : adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya pengobatan

terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen MDT-PB juga

masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain : masih menetapnya lesi kulit

setelah 6 bulan pengobatan. Jika seorang penderita mempunyai resistensi ganda

terhadap dapson dan rifampisin bersama-sama, tentunya hal ini akan

membahayakan.3

Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal

yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Idealnya,

obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain : bersifat bakterisidal kuat

terhadap M.leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan

akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral, dan sebaiknya diberikan

tidak lebih dari sekali sehari. Di antara yang sudah terbukti efektif adalah

ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.17

2.9. Program Pemberantasan Kusta

Untuk mencapai tujuan nasional eliminasi kusta pada tahun 2005, Pemerintah

Indonesia dalam melaksanakan program pemberantasan kusta adalah dengan

memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insidens penyakit, mengobati dan

(39)

26

2.9.1. Tujuan Program Jangka Panjang

a) Penemuan penderita sedini mungkin sehingga proporsi cacat tingkat 2 (dua) di

antara penderita baru dapat ditekan serendah mungkin.

b) Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar bagi penderita terdaftar

dan penderita baru.

c) Tercapainya 100% selesai pengobatan untuk PB dalam jangka waktu 9 bulan

dan untuk MB 18 bulan dengan melakukan case holding yang ketat dan

cermat.

d) Pembinaan pengobatan, agar penderita yang di MDT akan selesai

pengobatannya dalam batas waktu 9 bulan. Dan semua penderita MB yang di

MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 18 bulan sesuai Surat

Edaran Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular langsung Departemen

Kesehatan RI Nomor : KS.00.02.4.171

e) Mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftar sehingga tidak akan

terjadi cacat baru.

f) Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit kusta, agar

masyarakat memahami kusta yang sebenarnya dan mengurangi leprophobia.

g) Pengawasan sesudah RFT (Release From Treatment) dengan memberikan

motivasi kepada semua penderita agar datang memeriksakan dirinya setiap

tahun setelah selesai masa pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5

tahun untuk tipe MB.

h) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan ketentuan yang telah

(40)

2.9.2. Tujuan Program Jangka Pendek

Tujuan program kusta adalah menurunkan angka kesakitan penyakit

kusta menjadi kurang dari 1/10.000 penduduk secara nasional pada tahun

2005, sehingga tidak lagi jadi masalah kesehatan masyarakat.13

2.9.3. Kebijaksanaan

a) Pelaksanaan program kusta diintegrasikan dalam kegiatan puskesmas

b) Penderita kusta tidak boleh diisolasi

c) Pengobatan kusta dengan MDT sesuai dengan rekomendasi WHO diberikan

secara gratis.13

2.10. Konsep Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis

semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan

manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dan

yang dimaksud dengan perilaku pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari

manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain :

berbicara, berjalan, menangis, tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah

semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun

(41)

28

2.11.. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan 2.11.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan manusia banyak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari,

terutama pengetahuan umum yang sangat bermanfaat untuk keperluan manusia

sehari-hari. Setiap orang akan mempergunakan pengetahuan namun tidak tahu benar

akan seluk beluk pengetahuan itu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan seseorang.18

2.11.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan

bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan

terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi

adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan

sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belu

merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan

suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi

terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi

(42)

2.11.3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk

terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung

atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping

faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak-pihak lain.

Selanjutnya tingkat-tingkat tindakan secara teoritis adalah :

1. Persepsi (perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon terpimpin (guided respons), dalam melakukan sesuatu sesuai dengan

urutan yang benar, sesuai dengan contoh adalah merupakan praktik indikator

tingkat dua.

3. Mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu

dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka

ia sudah mencapai praktek tingkat ketiga.

4. Adaptasi (adaptation), merupakan suatu tindakan yang sudah berkembang baik,

artinya tindakan ini sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan

tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau

beberapa bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung

(43)

30

2.12. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme)

terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan

kesehatan, makanan serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif

(pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersifat aktif/tindakan yang nyata

(practice). Dengan demikian secara lebih terperinci perilaku kesehatan itu meliputi :

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia

merespon, baik secara pasif maupun aktif yang dilakukan sehubungan dengan

penyakit, dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit.

 Perilaku sehubungan de peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health

promotion behavior)

 Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)

 Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeling behavior)

 Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior)

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

3. Perilaku terhadap makanan

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior)

Seorang petugas kesehatan berperilaku tertentu dalam mewujudkan

keaktifannya disebabkan karena adanya dorongan yang menggerakkan hatinya agar

berbuat sesuatu. Dorongan tersebut juga sebagai motif. Pada setiap petugas kesehatan

motif dapat berbeda tergantung dengan latar belakang pendidikan, pengalaman,

(44)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 3.1 Model Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.2 Definisi Operasional Variabel

Sesuai kerangka penelitian maka definisi operasional dari variabel penelitian

adalah sebagai berikut :

3.2.1 Variabel Terikat

Tindakan penentuan kecacatan penderita kusta adalah bentuk nyata perlakuan petugas kesehatan dalam mencegah kecacatan pada penderita kusta

3.2.2 Variabel Bebas

Kecacatan adalah cacat yang dialami oleh penderita kusta baik cacat tingkat 0,

tingkat 1 dan tingkat 2.

Tindakan Penentuan Kecacatan pada

penderita kusta Karakteristik Petugas Kusta

- Umur

(45)

32

3.2.3 Jenis Kelamin adalah cirri khas tertentu yang dimiliki oleh petugas kusta yang dibedakan atas :

1. Laki-laki 2. Perempuan

3.2.4 Umur Petugas adalah usia petugas kusta yang dihitung sejak dilahirkan sampai pada saat penelitian, yang dikategorikan :

1. < 30 tahun 2. 30-40 tahun 3. > 40 tahun

3.2.5 Pendidikan adalah latar belakang pendidikan petugas kusta yang di kategorikan :

1. SLTP/Sederajat 2. SLTA/Sederajat 3. Akademi

3.2.6 Lama Bekerja adalah lamanya kerja seseorang dalam suatu jabatan atau tugas dengan kategori :

1.< 3 tahun 2.3-5 tahun 3.> 5 tahun

3.2.7 Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan terhadap suatu bidang tertentu dengan kategori :

1. Sudah Pernah Mengikuti Pelatihan 2. Belum Pernah Mengikuti Pelatihan

3.2.8 Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petugas kusta tentang pekerjaannya dalam menetapkan seseorang penderita kusta atau tidak

(46)

3.3 .Aspek Pengukuran

Pengukuran pengetahuan, sikap dan tindakan berdasarkan jawaban pertanyaan

yang diberikan pada responden, yang menggunakan skala interval 3 (tiga) tingkatan,

dengan nilai/skor mulai dari 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga). Total skor/nilai dari

masing-masing sub variabel dikelompokkan atas 3 (tiga) kategori yaitu: Baik, Kurang

baik, Tidak baik.

a. Kategori baik adalah apabila jawaban responden > 75%

b. Kategori kurang baik adalah apabila jawaban responden 40-75 %

c. Kategori tidak baik apabila jawaban responden <40%

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel

Variabel

pengukuran Skor nilai

Pengetahuan

(47)

34

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat analitik menggunakan desain

cross sectional.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di seluruh Puskesmas yang ada di Kabupaten

Samosir. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah karena masih banyaknya jumlah

penderita kusta yang cacat di Kabupaten Samosir.

4.2.2 Waktu Penelitia

Waktu penelitian dilaksanakan mulai Desember 2006- Maret 2008

4.3.Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kusta di 11 puskesmas yang

ada dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir yaitu sebanyak 33

orang yang bertugas melaksanakan program kusta.

4.3.2 Sampel

Sampel adalah seluruh petugas kusta (total populasi) yang ada di puskesmas

(48)

3.4 Teknik Pengumpulan Data.

Dalam teknik pengumpulan data, dilakukan dengan wawancara dengan

responden menggunakan kuesioner yang terstruktur untuk data primer, dan data

sekunder diperoleh dari profil Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir

4.5 Teknik Analisa Data

Teknik analisis yang digunakan untuk melakukan pengolahan data

menggunakan komputer dengan sistim SPSS (Statistical Package for Social Sciene)

(49)

36

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Samosir

Kabupaten Samosir adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari kabupaten

Toba Samosir sesuai UU RI No.36 tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003

tentang pembentukan kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Berdagai. Luas

wilayah Kabupaten Samosir secara keseluruhan mencapai 254.715 Ha, yang terdiri

dari daratan seluas 144.455 Ha dan perairan danau seluas 110.260 Ha.

Secara administratif wilayah Kabupaten Samosir berbatasan dengan :

1. Sebelah Utara Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun.

2. Sebelah Timur Kabupaten Toba Samosir.

3. Sebelah Selatan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbahas.

4. Sebelah Barat Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat

Kabupaten Samosir terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan, 117 desa/kelurahan,

(50)

5.2. Data Penderita Kusta.

Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Penderita Kusta Berdasarkan Tempat, Klasifikasi dan Tingkat Cacat Di Kabupaten Samosir Tahun 2007

No

Sumber : Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Samosir Bidang P2P-PL thn 2007

Dari tabel di atas dapat diketahui jumlah penderita kusta di kabupaten

Samosir adalah 23 orang, dengan klasifikasi terbanyak yaitu MB sebanyak 21 orang

(91,3%) dan paling sedikit yaitu PB 2 orang (8,7%). Jika dilihat menurut tingkat

cacatnya dapat diketahui bahwa jumlah terbanyak adalah pada cacat tingkat 2 yaitu

19 orang (82,6%), kemudian tingkat 1 yaitu 3 orang (13%) dan tingkat 0 yaitu 1

(51)

38

5.3. Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, karakteristik responden yang dinilai yaitu umur, jenis

kelamin, pendidikan, lama bekerja, pernah atau belum pernah mengikuti

pelatihan, pengetahuan dan sikap yang dapat dilihat dari tabel dibawah.

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan Karakteristik di Wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007

No Karakteristik f %

Kurang Baik 15 45.5

Tidak Baik 6 18.1

Jumlah 33 100

7 Sikap

Baik 18 54.5

Kurang Baik 13 39.4

Tidak Baik 2 6.1

Jumlah 33 100

Jika kita lihat tabel diatas dapat diketahui bahwa kelompok umur responden yang

terbanyak yaitu kelompok umur 30-40 tahun yaitu 12 orang (36,4%) dan paling

sedikit pada kelompok umur >30 tahun sebanyak 10 orang (30,3%). a <3 tahun

Responden laki-laki dan perempuan jumlahnya hampir sama dimana laki-laki

(52)

pendidikan responden yang paling banyak adalah SLTA sederajat sebanyak 18 orang

(54,5%), kemudian DIII sebanyak 10 orang (30,3%) dan SLTP sederajat sebanyak 5

orang (15,2%). Responden berdasarkan lama bekerja, yang paling banyak pada 3-5

tahun sebanyak 17 orang (51,5%), kemudian yang bekerja <3 tahun sebanyak 14

orang (42,4%) dan paling sedikit adalah > 5 tahun sebanyak 2 orang (6,1%).. Dan

responden yang sudah pernah mengikuti pelatihan sebanyak 10 orang (30,3%), yang

belum pernah sebanyak 23 orang (69,7%).

Untuk pengetahuan, responden yang berpengetahuan baik sebanyak 12 orang

(36,4%), kurang baik sebanyak 15 orang (45,5%) dan tidak baik sebanyak 6 orang

(18,1%). Responden yang bersikap baik sebanyak 18 orang (54,5%), kurang baik

sebanyak 13 orang (39,4%), tidak baik sebanyak 2 orang (6,1%).

Dari hasil wawancara yang dilakukan dapat diketahui bahwa latar belakang

pendidikan responden pendidikan responden secara umum tidak sesuai dengan

tugasnya sebagai pengelola program kusta di puskesmas, dimana responden dengan

tingkat pendidikan SLTP yaitu berasal dari LCPK 1 orang, SLTP 1 orang, Juru

Kesehatan 2 orang dan PKJK 1 orang, sedangkan dengan tingkat pendidikan SLTA

yaitu dari SPK 7 orang, PKC 7 orang, SLTA 1 orang dan Bidan 3 orang. Responden

tingkat pendidikan DIII yaitu dari Akademi Kesehatan Lingkungan ada 2 orang,

Akademi Perawat 3 orang, Akademi Analis 2 orang, Akademi Kebidanan 2 orang,

Akademi Gizi 1 orang. Responden yang sudah pernah mengikuti pelatihan

berdasarkan tingkat pendidikan, dari SLTP ada sebanyak 4 orang, SLTA ada

(53)

40

5.4. Tindakan Penentuan Kecacatan

Tabel 5.3 Distribusi Tindakan Penentuan Kecacatan pada semua Puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007

No Tindakan Penentuan Kecacatan f %

1 Baik 11 33.3

2 Kurang Baik 20 60.6

3 Tidak Baik 2 6.1

Jumlah 33 100

Dengan melihat tabel datas, dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai

tindakan penentuan kecacatan yang baik ada 11 orang (33,3%), kurang baik 20 orang

(60,6%), dan tidak baik 2 orang (6,1%).

5.5. Analisa Statistik

Dari data yang diperoleh, maka dilakukan suatu analisa, adapun data yang

dianalisa adalah sebagai berikut umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja,

pelatihan, pengetahuan dan sikap untuk dapat melihat hubungannya dengan

tindakan penentuan kecacatan.

5.5.1. Umur

Tabel 5.4. Hubungan Umur Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

Tindakan Penentuan Kecacatan

Jumlah Baik Kurang Baik Tidak Baik

x² = 12.256 df = 4 p = 0,016

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pada umur <30, tindakan penentuan

(54)

kecacatan baik sebanyak 5 orang(41,67%), tindakan penentuan kecacatan kurang

5 orang(41,67%), tindakan penentuan kecacatan tidak baik 2 orang(16,67%),

sedangkan pada umur >40, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 6

orang(54,55%), tindakan penentuan kecacatan kurang 5 orang(45,45%). Hasil uji

statistik menunjukkan (p < (0,05) ,Ho ditolak. Hal ini menunjukan bahwa umur

responden ada hubungan yang bermakna dengan tindakan penentuan kecacatan

pada penderita kusta.

5.5.2. Jenis Kelamin

Tabel 5.5. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

Jenis %

Kelamin f % f % f %

1 Laki‐laki 6 33.33 11 61.11 1 5.56 18 100.00

2 Perempuan 5 33.33 9 60.00 1 6.67 15 100.00

No

Tindakan Penentuan Kecacatan

Jumlah

Baik Kurang Baik Tidak Baik

x² = 0.018 df = 2 p = 0,991

Pada tabel 5.5. dapat dilihat bahwa pada laki-laki, tindakan penentuan kecacatan

baik sebanyak 6 orang(33,33%), tindakan penentuan kecacatan kurang 11

orang(61,11%), tindakan penentuan kecacatan tidak baik 1 orang(5,56%). Untuk

perempuan tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 5 orang(33,33%),

tindakan penentuan kecacatan kurang 4 orang(33,33%), tindakan penentuan

kecacatan tidak baik 1 orang(8,33%), Hasil uji statistik dengan (p>0,05) ,Ho

diterima. Hal ini menunjukan bahwa jenis kelamin responden tidak ada hubungan

(55)

42

5.5.3. Pendidikan

Tabel 5.6. Hubungan Pendidikan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

%

f % f % f %

1 SLTP 2 40.00 3 60.00 0 0.00 5 100.00 2 SLTA 8 44.44 9 50.00 1 5.56 18 100.00 3 D III 1 10.00 8 80.00 1 10.00 10 100.00 No Pendidikan Baik Kurang Baik Tidak Baik Jumlah

Tindakan Penentuan Kecacatan

x² = 3.888 df = 4 p = 0,421

Merujuk pada tabel 5.6. dapat dilihat bahwa responden dengan pendidikan SLTP,

tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 2 orang(40%), tindakan penentuan

kecacatan kurang 3 orang(60%). Untuk SLTA, tindakan penentuan kecacatan

baik sebanyak 8 orang(44,44%), tindakan penentuan kecacatan kurang 9

orang(50%), tindakan penentuan kecacatan tidak baik 1 orang(5,56%), sedangkan

DIII, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 1 orang(10%), tindakan

penentuan kecacatan kurang 8 orang(80%), tidak baik 1 orang(10%). Hasil uji

statistik menunjukkan (p>0,05), Ho diterima. Hal ini menunjukan bahwa

pendidikan responden tidak ada hubungan yang bermakna dengan tindakan

(56)

5.5.4. Lama Bekerja

Tabel 5.7. Hubungan Lama Bekerja Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

Lama No Baik Kurang Baik Tidak Baik Jumlah

Tindakan Penentuan Kecacatan

x² = 19.179 df = 10 p = 0,038

Sesuai dengan tabel 5.7. dapat dilihat bahwa responden yang bekerja <3 tahun,

penentuan kecacatan kurang 12 orang(85,71%), penentuan kecacatan tidak baik 2

orang(14,29%). Untuk 3-4 tahun, penentuan kecacatan baik sebanyak 9

orang(52,94%), penentuan kecacatan kurang 8 orang(47,06%). Hasil uji statistik

dengan (p<0,05). Ho diterima. Hal ini menunjukan bahwa lama bekerja

responden mempunyai hubungan dengan penentuan kecacatan.

5.5.5. Pelatihan

Tabel 5.8. Hubungan Pelatihan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

%

f % f % f %

1 Sudah 7 70.00 3 30.00 0 0.00 10 100.00

2 Belum 4 17.39 17 73.91 2 8.70 23 100.00

No Pelatihan Baik Kurang Baik Tidak Baik Jumlah

Tindakan Penentuan Kecacatan

x² = 8.874 df = 2 p = 0,012

Tabel 5.8. menunjukkan bahwa responden yang sudah pelatihan, tindakan

penentuan kecacatan baik sebanyak 7 orang(70%), tindakan penentuan kecacatan

kurang 3 orang(30%). Untuk yang belum, tindakan penentuan kecacatan baik

sebanyak 4 orang(17,39%), tindakan penentuan kecacatan kurang ada sebanyak

(57)

44

Hasil uji statistik dengan (p<0,05), Ho ditolak. Hal ini dapat dikatakan bahwa

pelatihan responden mempunyai hubungan dengan tindakan penentuan kecacatan.

5.5.6. Pengetahuan

Tabel 5.9. Hubungan Pengetahuan dan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

%

f % f % f %

1 Baik 9 64.29 3 21.43 2 14.29 14 100.00 2 Kurang Baik 2 10.53 13 68.42 4 21.05 19 100.00 No Pengetahuan

Tindakan Penentuan Kecacatan

Jumlah Baik Kurang Baik Tidak Baik

x² = 23,277 df = 4 p = 0,001

Pada tabel 5.9, dapat dilihat bahwa responden yang mempunyai pengetahuan baik

dan perilaku penentuan kecacatan baik sebanyak 9 orang (64,29%), penentuan

kecacatan penderita kurang baik sebanyak 3 orang (21,43%), perilaku penentuan

kecacatan tidak baik sebanyak 2 orang (14,29%). Sedangkan responden yang

berpengetahuan kurang baik yang perilaku penentuan kecacatan baik sebanyak 2

orang (10,53%), kurang baik sebanyak 13 orang (68,42%), tidak baik sebanyak 4

orang (21,05%). Dari hasil analisa statistik (p<0,05), yang berarti Ho ditolak. Hal

ini menunjukkan bahwa pengetahuan ada hubungan yang bermakna dengan

Gambar

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel
Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Penderita Kusta Berdasarkan Tempat, Klasifikasi dan Tingkat Cacat Di Kabupaten Samosir Tahun 2007
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan Karakteristik di Wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007
Tabel 5.4. Hubungan Umur Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain dari pada itu, tugas yang diberikan tidak perlu terlalu banyak karena.. dapat membuat Subyek menjadi jenuh dan terbebani, hal ini

ANALISIS HUKUM TERHADAP HAK MIRANDA BAGI TERSANGKA PEMBUNUHAN DITINJAU DARI UNDANGUNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian

atau lebih jenis alkil, maka nama-nama alkil disusun menurut abjad.. Jika ada lebih dari 1 ikatan rangkap, maka aturannya sama seperti pada cabang tetapi Jika ada lebih dari 1

Untuk itu, demi tercapainya tujuan, maka suatu hotel perlu melakukan suatu program untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan agar mampu bekerja dengan baik, dan

Untuk pengukuran gain maksimum antena wajanbolic ini dilakukan dengan cara membandingkan level sinyal maksimum yang diterima modem USB 3G dengan level sinyal maksimum yang

Menurut Arman Hakim Nasution (2008), peramalan adalah proses memperkirakan berapa kebutuhan di masa datang yang meliputi kebutuhan dalam urusan kuantitas,

Oozie clients, users, and other applications interact with the Oozie server using the oozie command-line tool, the Oozie Java client API, or the Oozie HTTP REST API.. The oozie

Dengan demikian, penelitian ini berfokus untuk menganalisis dampak yang terjadi pada pasar ekspor perikanan dengan komoditas udang dan ikan ke Eropa bila