• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eliminasi Polutan dari Limbah Cair Laboratorium dengan Proses Koagulasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eliminasi Polutan dari Limbah Cair Laboratorium dengan Proses Koagulasi"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ERLY ANACE LOUISA MAMUSUNG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Eliminasi Polutan dari Limbah Cair Laboratorium dengan Proses Koagulasi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

(3)

ERLY ANACE LOUISA MAMUSUNG. Pollutants elimination from laboratory wastewater by coagulation process. Under the supervision of NASTITI SISWI INDRASTI and SUPRIHATIN.

(4)

RINGKASAN

ERLY ANACE LOUISA MAMUSUNG. Eliminasi Polutan dari Limbah Cair Laboratorium dengan Proses Koagulasi. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI dan SUPRIHATIN.

(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

ELIMINASI POLUTAN DARI LIMBAH CAIR

LABORATORIUM DENGAN PROSES KOAGULASI

ERLY ANACE LOUISA MAMUSUNG

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Eliminasi Polutan dari Limbah Cair Laboratorium dengan Proses Koagulasi

Nama : Erly Anace Louisa Mamusung

NIM : P052030401

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Eng. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat TUHAN YESUS KRISTUS, karena atas berkat, kasih karunia dan perkenan-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul Eliminasi Polutan dari Limbah Cair Laboratorium dengan Proses Koagulasi. Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan serta bimbingan kepada penulis, yaitu :

1. Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, selaku ketua komisi pembimbing. 2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Eng. selaku anggota komisi pembimbing.

3. Mama dan Papa, Mami, Om Ernest dan Tante Joice, adikku (Mariane), para sepupu tersayang (Pinx, Ann dan Ghe) yang selalu memberikan doa, dukungan, perhatian dan semangat.

4. Staf pegawai FATETA IPB Bapak Yogi, Edi, Sugi, Angga, Ibu Sri, Ega, Mbak Anis dan Vindi.

5. Teman-teman mahasiswa PSL 2004 khususnya bahkan seluruh teman-teman mahasiswa PSL yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang menjadi teman “seperjuangan” selama kuliah di PSL.

6. Teman-teman seperjuangan di kos Perwira 12, terutama Sherly dan Santi. We’re more than conqueror!

Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Bogor, Januari 2009

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 27 Oktober 1976 dari Ayah Gerrit A. Mamusung dan Ibu Juliana Runtukahu, SPd. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) 50 Paniki Bawah pada tahun 1988, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 10 Paniki Bawah pada tahun 1991 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Manado pada tahun 1994.

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1. Polutan ... 7

2.2. Karakteristik Fisik, Kimia dan Biologi Polutan... 7

2.2.1. Kekeruhan ... 10

2.2.2. Padatan Tersuspensi Total... 11

2.2.3. Warna ... 12

3.5. Perhitungan Efisiensi Eliminasi Polutan... 21

3.6. Analisis Data ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

4.1. Karakteristik Limbah Cair Laboratorium... 22

4.2. Perubahan Fisik Larutan selama Koagulasi ... 23

(12)

4.4. Efisiensi Eliminasi Polutan ... 28

4.4.1. Efisiensi Eliminasi Polutan Warna... 28

4.4.2. Efisiensi Eliminasi Polutan Perak (Ag)... 29

4.4.3. Efisiensi Eliminasi Polutan Merkuri (Hg)... 30

4.4.4. Efisiensi Eliminasi Polutan Krom (Cr) ... 31

4.5. Perubahan Konsentrasi Limbah Cair setelah Koagulasi ... 32

4.5.1. Kekeruhan... 32

4.5.2. Padatan Tersuspensi Total ... 33

4.5.3. Warna... 34

4.5.4. Perak (Ag)... 36

4.5.5. Merkuri (Hg)... 37

4.5.6. Krom (Cr) ... 39

4.6. Aspek Ekonomi... 41

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 42

5.1. Kesimpulan ... 42

5.2. Saran... 42

DAFTAR PUSTAKA... 43

(13)
(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 6

2. Mekanisme koagulasi ... 17

3. Jar test ... 19

4a. Larutan berwarna kuning dan endapan coklat yang terbentuk pada pH 6 ... 24

4b. Larutan berwarna coklat yang terbentuk pada pH 8, 10 dan 12 ... 24

4c. Endapan coklat yang terbentuk pada pH 8, 10 dan 12 ... 24

5. Efisiensi eliminasi polutan warna... 29

6. Efisiensi eliminasi polutan Ag... 30

7. Efisiensi eliminasi polutan Hg... 31

8. Efisiensi eliminasi polutan Cr... 32

9. Kekeruhan setelah koagulasi ... 33

10. Konsentrasi padatan tersuspensi total setelah koagulasi ... 34

11. Konsentrasi warna setelah koagulasi ... 35

12. Konsentrasi Ag setelah koagulasi... 36

13. Konsentrasi Hg setelah koagulasi... 38

(15)

Halaman 1. Hasil pengukuran kadar polutan dalam limbah cair laboratorium

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kegiatan industri dan berbagai aktivitas manusia dapat memicu terjadinya

pencemaran karena limbah yang dihasilkan tidak diolah dengan baik sebelum

dibuang ke lingkungan. Salah satu contoh aktivitas manusia yang dapat

menyebabkan pencemaran adalah kegiatan laboratorium di perguruan tinggi yang

merupakan sarana belajar mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan terhadap

mata kuliah yang dipelajari bahkan untuk melakukan penelitian.

Laboratorium yang berada di perguruan tinggi merupakan fasilitas

penunjang untuk mewujudkan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Di laboratorium para mahasiswa memperoleh pengalaman praktis guna

memahami teori-teori yang dipelajari di bangku kuliah melalui kegiatan

praktikum dan pembuatan tugas, sedangkan dosen memerlukan laboratorium

untuk memperoleh data ilmiah (Blaauw 1998, diacu dalam Tripuruswati &

Trihadiningrum 1999). Dalam kegiatan-kegiatan di laboratorium selalu

menghasilkan limbah yang berbentuk padat, cair dan gas. Dalam penelitian ini

jenis limbah yang diteliti dibatasi pada limbah cair.

Menurut Metcalf dan Eddy (2004), ada tiga bentuk limbah yaitu limbah cair,

limbah padat dan emisi udara. Limbah berbentuk cair atau yang sering disebut air

limbah atau limbah cair adalah hasil pemakaian cairan atau air dari suatu

komunitas dengan berbagai variasi pemakaiannya. Limbah cair ini berasal dari

perumahan, institusi, tempat-tempat komersil dan industri.

Limbah cair yang dihasilkan dari laboratorium yang menggunakan

bahan-bahan kimia berasal dari hasil atau sisa reaksi kimia dan air pencucian peralatan.

Limbah cair tersebut pada umumnya mempunyai kadar pencemar yang tinggi

karena adanya bahan kimia pekat sisa reaksi yang dibuang dalam saluran air

buangan. Laboratorium penanganan belum terlalu baik dalam menangani limbah

cair yang ada. Hal tersebut bila tidak ditangani dengan baik akan mencemari

lingkungan sekitarnya (Tripuruswati & Trihadiningrum 1999). Polutan atau bahan

pencemar mengandung gas, bahan-bahan terlarut, partikel bahkan bahan

(17)

biologis lingkungan bahkan berbahaya bagi kesehatan manusia (Djajadiningrat &

Amir 1991; KLH 2002; Effendi 2003 & Sawyer et al. 2003).

Limbah cair laboratorium yang diteliti pada penelitian ini adalah limbah cair

yang berasal dari hasil atau sisa analisis COD. Analisis COD menggunakan

berbagai bahan kimia seperti K2Cr2O7, Ag2SO4 dan HgSO4 yang berpotensi

mencemari lingkungan.

Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan limbah dengan proses koagulasi

untuk mengeliminasi konsentrasi polutan yang ada di dalam limbah cair

laboratorium yang diteliti. Proses koagulasi adalah proses pengolahan limbah

dengan penambahan koagulan ke dalam limbah. Koagulan yang biasa digunakan

adalah aluminum sulfat. Penambahan koagulan ini menetralkan muatan negatif

yang biasanya terkandung dalam polutan pada limbah cair sehingga terjadi

agregasi koloid dalam bentuk flok (Suriawiria 2005 dan Ebeling et al. 2006).

Proses koagulasi efektif digunakan pada limbah cair karena polutan yang ada di

dalam limbah tidak bisa diendapkan secara konvensional.

Penelitian mengenai eliminasi polutan pada limbah cair dengan proses

koagulasi khususnya yang mengandung berbagai jenis logam berat belum banyak

dilakukan. Polutan yang dieliminasi pada umumnya adalah polutan fisik dan

organik. Salah satu penelitian eliminasi polutan pada limbah cair yang

mengandung logam berat adalah penelitian yang dilakukan oleh Agustina et al.

(2001) untuk mengeliminasi Zn pada limbah cair industri sepatu. Pada penelitian

ini ditemukan eliminasi konsentrasi Zn sebesar 0,03 ppm pada pH 9 dan dosis

koagulan 5 ml.

Penelitian lainnya yang dapat menunjukkan eliminasi konsentrasi polutan

yang tinggi pada limbah cair dengan proses koagulasi yaitu Al-Mutairi et al.

(2004) yang melakukan penelitian pada instalasi limbah tempat pemotongan

hewan menemukan penurunan kekeruhan sebesar 76-93% dengan dosis alum

100-1000 mg/L dan pH 4-9. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ebeling et al.

(2006) pada limbah hasil pencucian saringan mikro (microscreen backwash

effluent) menemukan penyerapan padatan (solids) sebesar 82% dan fosfor reaktif

(18)

3

Penelitian lainnya yang dilakukan pada kolam budidaya untuk memperbaiki

kualitas air kolam budidaya (Ozbay 2005). Penelitian ini menggunakan alum yang

dicampur dengan kapur pertanian dengan pengamatan selama 24 jam. Hasil

reduksi konsentrasi polutan dalam limbah cair oleh alum dan kapur pertanian

dalam limbah cair sebesar 70% setelah 1 jam dan 80% setelah 24 jam dengan

parameter kualitas air seperti kekeruhan, padatan tersuspensi dan fosfor.

Pada umumnya penelitian-penelitian diatas dilakukan pada parameter fisik

dan bahan organik dengan efisiensi eliminasi polutan yang cukup tinggi.

Penelitian mengenai penurunan polutan khususnya yang mengandung

bermacam-macam logam berat dan parameter fisik lainnya dari limbah cair laboratorium

dengan proses koagulasi masih kurang dilakukan sehingga penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui kadar penurunan polutan dalam limbah cair

laboratorium seperti kekeruhan, padatan tersuspensi total, warna, Ag

(perak/silver), Hg (air raksa/merkuri) dan Cr (krom total).

1.2. Perumusan Masalah

Lingkungan yang merupakan habitat makhluk hidup perlu dipertahankan

dalam kondisi yang baik namun perkembangan hidup manusia untuk memenuhi

segala kebutuhan hidupnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan untuk

memulihkan lingkungan membutuhkan waktu yang lama dan biaya mahal.

Aktivitas manusia akibat perkembangan hidup tersebut dapat menyebabkan

terjadinya pencemaran lingkungan. Contohnya laboratorium penelitian yang dapat

menjadi sumber pencemar (polutan).

Untuk menangani polutan ini telah dilakukan berbagai teknik pengolahan

yang dianggap mampu menurunkan konsentrasi polutan di lingkungan. Salah satu

alternatif pengolahan tersebut adalah koagulasi menggunakan alum. Alum mudah

diperoleh dan mudah digunakan sehingga banyak dipakai di tempat pengolahan

limbah atau bahkan digunakan sendiri di rumah.

Penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan alum telah

memperlihatkan penurunan konsentrasi polutan yang signifikan dengan jenis

limbah yang berbeda-beda. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penurunan

(19)

Untuk mengetahui penurunan tersebut maka digunakan pH dan dosis alum

berbeda. Melalui variasi perlakuan ini dapat diketahui pH dan dosis terbaik untuk

menurunkan konsentrasi polutan limbah laboratorium yang diteliti.

1.3. Tujuan

1. Mengetahui efisiensi eliminasi polutan dengan proses koagulasi/flokulasi.

2. Mengetahui pengaruh nilai pH dan dosis alum pada efisiensi eliminasi dari

limbah cair laboratorium dalam proses koagulasi/flokulasi.

1.4. Hipotesis

1. Konsentrasi setiap polutan yang dieliminasi oleh koagulan alum dalam

proses koagulasi berbeda-beda.

2. Nilai pH dan dosis alum berpengaruh terhadap efisiensi eliminasi dari

limbah cair laboratorium dalam proses koagulasi/flokulasi.

1.5. Manfaat

1. Memperoleh informasi mengenai kemampuan koagulan alum dalam

proses koagulasi untuk mengeliminasi beberapa polutan dari limbah cair

laboratorium.

2. Memberikan masukan kepada pihak yang berkepentingan sebagai

rekomendasi dalam usaha pengolahan limbah cair laboratorium dengan

koagulasi khususnya untuk perancangan unit pengolahan limbah cair pada

laboratorium.

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian skala laboratorium menggunakan peralatan jar test bervolume 500

mL. Limbah cair yang digunakan adalah limbah cair laboratorium hasil

sampingan analisis COD. Tempat penelitian di Laboratorium Teknik dan

Manajemen Lingkungan (TML), Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN),

IPB. Koagulan yang digunakan adalah alum dan perubahan yang diamati adalah

perubahan konsentrasi polutan dalam limbah cair laboratorium setelah proses

(20)

5

1.7. Kerangka Pemikiran

Polutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Untuk mencegah

lingkungan tercemar maka polutan harus dikelola agar tidak menambah kerusakan

lingkungan. Saat ini telah diketahui berbagai metode pengolahan untuk

menurunkan kadar polutan di lingkungan. Metode koagulasi kimia menggunakan

alum merupakan salah satu alternatif pengolahan limbah cair selain metode fisik

dan biologi.

Alum dengan rumus kimia Al2(SO4)3 merupakan bahan kimia yang mudah

diperoleh dan umum digunakan untuk mengolah limbah industri. Alum mampu

mengikat substansi kimia yang berukuran mikro dan diendapkan menjadi flok.

Pembentukan flok ini menyebabkan limbah mudah diendapkan, sehingga dapat

direduksi dan kerusakan lingkungan akibat limbah cair laboratorium dapat

(21)

Polutan

Alternatif Penanganan Penurunan

Kualitas Lingkungan

Alum

Metode Fisik

ƒ Mudah diperoleh

ƒ Mudah digunakan

ƒ Kemampuan koagulasi-flokulasi substansi/bahan kimia dalam limbah

Metode Biologi Metode

Kimia

ƒ pH Koagulasi Optimum

ƒ Dosis Alum Optimum

Penurunan Konsentrasi Polutan Maksimum

Perbaikan Kualitas Lingkungan

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Polutan

Polutan adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang

berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga

mengganggu peruntukan ekosistem tersebut (Effendi 2003). Menurut Manahan

(2002) polutan adalah substansi yang melebihi konsentrasi alami sebagai akibat

dari aktivitas manusia yang memiliki pengaruh yang merugikan terhadap

lingkungannya atau suatu nilai di lingkungan. Polutan dikelompokkan menjadi

dua berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan yaitu polutan alami dan

antropogenik. Polutan alami adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan

secara alami misalnya akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir dan

fenomena alam lain (Notodarmojo 2005). Polutan antropogenik adalah polutan

yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia misalnya kegiatan domestik,

perkotaan dan kegiatan industri. Intensitas polutan antropogenik dapat

dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang disebabkan oleh polutan

tersebut.

2.2. Karakteristik Fisik, Kimia dan Biologi Polutan

Polutan yang berada di limbah cair harus diketahui karakteristiknya untuk

mempermudah penanganan atau pengolahannya sehingga harus dipahami dengan

baik asal limbah cair karena merupakan hal yang penting dalam desain dan

operasi dari fasilitas pengumpulan, pengolahan dan pembuangannya. Demikian

pula dalam teknik pengelolaan kualitas lingkungan. Perlu ditekankan bahwa pada

dasarnya parameter-parameter limbah cair ini saling berhubungan seperti

temperatur yang mempengaruhi aktivitas biologi dan jumlah gas terlarut dalam

limbah cair itu sendiri. Komposisi fisik, kimia dan biologi limbah cair dapat

(23)

Tabel 1. Karakteristik fisik, kimia, biologi dan sumber limbah cair

Hidrogen sulfida

Limbah domestik dan rumah tangga, penguraian alami bahan organik

Dekomposisi limbah cair, limbah industri Suplai air domestik, limbah industri dan domestik, erosi tanah, inflow/infiltrasi

Limbah industri dan domestik

Limbah industri, komersil dan domestik Limbah industri, komersil dan domestik

Limbah pertanian Limbah industri

Limbah industri, komersil dan domestik Limbah industri, komersil dan domestik Limbah industri, komersil dan domestik Limbah industri, komersil dan domestik

Penguraian alami bahan organik

Limbah domestik, suplai air domestik, infiltrasi air tanah

Limbah domestik, suplai air domestik, infiltrasi air tanah

Limbah industri

Limbah pertanian dan industri

Limbah industri, komersil dan domestik Limbah industri, komersil dan domestik, aliran air alami

Limbah industri, komersil dan domestik

Suplai air domestik, limbah industri, komersil dan domestik

Dekomposisi limbah domestik

Suplai air domestik, infiltrasi air permukaan

Perairan dan instalasi pengolahan limbah Perairan dan instalasi pengolahan limbah

Limbah domestik, infiltrasi air permukaan, instalasi pengolahan limbah

Limbah domestik, infiltrasi air permukaan, instalasi pengolahan limbah

(24)

9

Karakteristik biologi, terutama berguna untuk mendeteksi kandungan

mikroorganisme dalam air yaitu hewan bersel satu atau protista. Protista adalah

hewan yang mampu hidup sendiri dan membuat sel-sel baru untuk regenerasinya.

Hewan multiseluler tergolong dalam protista sebab ada satu sel yang bisa hidup

sendiri bila dipisahkan. Selain protista, makhluk hidup yang termasuk dalam

karakteristik biologi adalah virus, hewan dan tumbuhan (Sugiharto 2005).

Menurut Slamet (2006) protista memiliki efek yang merugikan terhadap

kesehatan manusia khususnya dan lingkungan pada umumnya karena berbagai

penyakit yang berbahaya dapat tersebar melalui air. Adanya penyebab penyakit di

dalam air, dapat menyebabkan efek langsung terhadap kesehatan. Penyebab

penyakit yang mungkin ada, dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian besar yaitu

penyebab hidup, yang menyebabkan penyakit menular dan penyebab tidak hidup

yang menyebabkan penyakit tidak menular. Peran air dalam terjadinya penyakit

menular dapat bermacam-macam sebagai berikut :

a. Air sebagai penyebar mikroba patogen

b. Air sebagai sarang insekta penyebar penyakit

c. Jumlah air bersih yang tersedia tidak mencukupi sehingga orang tidak dapat

membersihkan dirinya dengan baik

d. Air sebagai sarang hospes sementara penyakit.

Penyakit menular yang disebabkan air secara langsung dikenal sebagai

penyakit bawaan air atau waterborne-disease. Penyakit-penyakit ini hanya dapat

menyebar bila mikroba dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai

sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar melalui air seperti virus,

bakteri, protozoa dan metazoa.

Menurut Hilgenkamp (2006), ada 2 jenis epidemi yaitu epidemi umum dan

inang ke inang. Epidemi umum disebabkan oleh kontaminasi air dan makanan

dari pencernaan manusia. Bakteri, virus dan protozoa merupakan agen epidemi

umum seperti antraks, disentri, botulism, brucellosis, kolera, giardiasis, hepatitis

dan demam tifoid. Sedangkan epidemi inang ke inang berpindah dari satu inang

ke inang lainnya dan untuk menjadi epidemi maka mikroba harus berpindah ke

(25)

Mikroba seperti bakteri, virus atau parasit tetap ada di dalam air minum

meskipun air minum diperiksa secara teratur. Pada umumnya air minum

terkontaminasi bakteri coliform (E. coli) akibat kebocoran pipa setelah dilakukan

uji kandungan bakteri oleh instalasi pengolahan air. Bakteri tersebut berasal dari

pipa pembuangan yang dialirkan ke badan air dan air permukaan yang

terkontaminasi oleh semua materi yang memasuki air permukaan.

Cryptosporidium merupakan parasit lain yang terkandung pada air permukaan.

Parasit penyebab penyakit lainnya adalah Giardia lambia yang mengkontaminasi

kotoran hewan dan manusia yang menyebabkan sakit perut dan diare. Infeksi

bakteri terjadi sesaat setelah air diminum.

2.2.1. Kekeruhan

Istilah keruh diaplikasikan pada air yang mengandung materi tersuspensi

yang menghambat cahaya melewati air atau tingkat visual terbatas. Kekeruhan

dapat disebabkan oleh berbagai variasi materi tersuspensi yang bervariasi dalam

ukuran mulai dari koloid ke dispersi kasar tergantung pada tingkat turbulensinya.

Sungai yang mengalir sampai ke laut akan melewati daerah perkotaan sehingga

menambah kadar limbah cair industri dan domestik, baik yang sudah diolah atau

belum. Limbah industri tertentu dapat menambah jumlah substansi organik dan

substansi anorganik lainnya yang menyebabkan kekeruhan (Metcalf & Eddy

2004).

Air dengan tingkat kekeruhan tinggi sukar disaring sehingga menambah

biaya pengolahan. Kekeruhan air juga dapat menghambat proses desinfeksi

sehingga kekeruhan air harus dihilangkan dari air yang akan dipergunakan untuk

air minum. Berdasarkan sifat pengendapannya, bahan-bahan yang mengakibatkan

kekeruhan air yaitu bahan-bahan yang mudah diendapkan (settleable) dan bahan

yang sukar mengendap (koloid). Bahan jenis pertama dapat dihilangkan dengan

sedimentasi dan filtrasi dan yang kedua dapat dihilangkan dengan proses

koagulasi dan filtrasi diikuti proses sedimentasi dan filtrasi yang memerlukan

(26)

11

2.2.2. Padatan Tersuspensi Total

Sumber utama padatan tersuspensi adalah fasilitas yang membuang berbagai

macam padatan termasuk yang menghasilkan BOD. Kandungan padatan

tersuspensi di dalam air sangat tinggi. Tingginya kandungan padatan tersuspensi

tersebut dapat merusak kehidupan ekosistem di dalam air tersebut. Di dalam udara

juga padatan tersuspensi merupakan penyebab masalah kesehatan tertinggi. Hal

yang sama juga adalah padatan tersuspensi dalam aliran air tanah yang mengalir

ke dalam air yang juga dapat merusak kehidupan ekosistem di dalam air tersebut.

Peningkatan kandungan padatan tersuspensi membuat air makin keruh atau kabur

sehingga membatasi cahaya matahari mencapai tumbuhan air dan menghambat

pertumbuhannya.

Padatan tersuspensi, selain membahayakan respirasi hewan air pada

umumnya, juga dapat menyebabkan gangguan pada insang ikan karena insang

luka akibat bergesekan dengan padatan tersuspensi sehingga epitelium insang

menebal dan mengembang sebagai respons pertahanan hidup karena adanya

padatan tersuspensi yang masuk ke dalam insang tersebut (Slanina 1962, diacu

dalam Alabaster & Lloyd 1980). Insang yang bergesekan dengan padatan

tersuspensi dalam waktu yang singkat dapat membahayakan ikan meskipun tidak

memiliki efek letal (Herbert & Merkens 1961, diacu dalam Alabaster & Lloyd

1980). Padatan tersuspensi juga dapat bercampur dengan air yang didisinfeksi

sehingga melindungi mikroorganisme dari disinfektan. Mikroorganisme yang

bertahan hidup tersebut dapat mengkontaminasi air (Hill 2004).

Penentuan padatan tersuspensi penting dalam analisis polusi air. Parameter

ini merupakan salah satu parameter utama untuk mengevaluasi kandungan limbah

cair domestik dan menentukan efisiensi unit pengolahan limbah (Sawyer et al.

(27)

2.2.3. Warna

Warna alami air berada dalam bentuk partikel koloid bermuatan negatif

sehingga penyerapan warna dapat dengan mudah dilakukan melalui koagulasi

dengan penambahan garam yang mengandung ion logam trivalen seperti

aluminum. Air permukaan dapat terlihat sangat berwarna karena adanya materi

tersuspensi berwarna tetapi dalam kenyataannya tidak berwarna. Warna yang

disebabkan materi tersuspensi merupakan warna yang bukan sebenarnya

(apparent color) dan berbeda dari warna yang disebabkan oleh daun-daunan atau

bahan organik yang berbentuk koloid sehingga disebut warna yang sebenarnya

(true color). Pada analisis air penting untuk membedakan warna sebenarnya dan

bukan sebenarnya (Sawyer et al. 2003).

Dilihat dari segi estetika, konsumen pada umumnya tidak mau meminum air

yang berwarna. Warna yang berasal dari bahan-bahan buangan industri

kemungkinan dapat membahayakan kesehatan. Warna dalam air juga dapat

menunjukkan kemungkinan hadirnya senyawa-senyawa organik yang bila

dilakukan proses klorinasi terhadap air tersebut akan mengakibatkan terbentuknya

kloroform. Senyawa-senyawa organik tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan

mikroorganisme akuatik (Suriawiria 2008).

2.2.4. Perak (Ag)

Perak atau argentum (Ag) adalah logam berwarna putih. Perak ditemukan

pada industri alloy, keramik, gelas, fotografi, cermin dan cat rambut. Perak akan

menjadi sangat korosif bila terikat pada nitrat. Senyawa perak berbentuk debu

dapat menimbulkan iritasi kulit dan terakumulasi di dalam berbagai organ bila

masuk ke dalam tubuh sehingga menimbulkan pigmentasi kelabu atau

penghitaman kulit yang disebut argyria. Pigmentasi ini bersifat permanen karena

(28)

13

2.2.5. Merkuri (Hg)

Merkuri merupakan satu-satunya logam berbentuk cair pada suhu ruang.

Kadar merkuri di kulit bumi adalah 0,1 – 1 ppm. Merkuri mempunyai tiga valensi

yaitu valensi 0, I dan II. Merkuri memiliki beberapa bentuk tetapi bentuk

utamanya adalah HgS (cinnabar) yang stabil. Unsur merkuri dalam bentuk

cinnabar dapat mengalami oksidasi dan mengeluarkan uap merkuri. Merkuri

dalam bentuk senyawa organik dan anorganik bersifat sangat toksik (Landis & Yu

2004; Notodarmojo 2005; Eisler 2006). Hg anorganik dapat berubah menjadi

organik dan sebaliknya karena terjadi interaksi dengan mikroba. Genus

Pseudomonas dan Neurospora dapat mengubah Hg anorganik menjadi organik.

Staphylococcus aureus dapat mereduksi Hg2+ menjadi unsur Hg (Slamet 2006).

2.2.6. Krom (Cr)

Krom adalah logam kelabu yang keras, ditemukan pada industri gelas,

logam, fotografi dan pelapisan logam. Krom dalam bentuk unsur sebenarnya tidak

beracun tetapi bila berada dalam bentuk senyawa maka sangat iritan dan korosif

sehingga menimbulkan ulcus yang dalam pada kulit dan selaput lendir. Inhalasi

krom dapat menimbulkan kerusakan pada tulang hidung. Di dalam paru-paru,

krom dapat menimbulkan kanker (Slamet 2006).

Di dalam air, krom terlarut berada dalam bentuk kromat [Cr(VI)] dan dalam

bentuk trivalen [Cr(III)] terhidrolisis seluruhnya dalam air dan krom tersebut

mengendap sebagai hidroksida sehingga kandungan kromium dalam larutan hanya

tertinggal sedikit. Krom III tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Krom

digunakan secara ekstensif dalam industri untuk membuat campuran logam, kaca

pembesar, katalis, krom oksida dan garam kromat. Krom oksida digunakan untuk

memproduksi asam kromat dam industri pelapisan logam. Garam kromat

digunakan pada cat dan menghasilkan larutan pembersih di laboratorium.

Keracunan kromat dapat menyebabkan kelainan kulit dan kerusakan hati bahkan

(29)

2.3. Alum

Koagulan yang paling populer dalam aplikasi pengolahan limbah adalah

aluminum sulfat atau alum yang dapat diperoleh dalam bentuk cairan atau padat.

Alum adalah suatu garam yang bila dimasukkan ke dalam cairan akan

menghasilkan endapan aluminum hidroksida. Alum bersifat amfoter artinya dapat

larut dalam basa dan asam kuat (Eckenfelder 2000; Sawyer et al. 2003).

Menurut Eckenfelder (2002), reaksi yang terjadi ketika alum dimasukkan ke

dalam air adalah :

Al2(SO4)3 + 6H2O → 2Al(OH)3 + 3H2SO4

Menurut Chang (2002), Al(OH)3 bereaksi dengan asam dan basa dengan

reaksi sebagai berikut :

Al(OH)3(s) + 3H+(aq)→ Al3+(aq) + 3H2O(l)

Al(OH)3(s) + OH-(aq)↔ Al(OH)4-(aq)

Tingginya kelarutan Al(OH)3 dalam medium basa adalah hasil dari

pembentukan ion kompleks Al(OH)4- karena Al(OH)3 bertindak sebagai asam

Lewis dan OH- sebagai basa Lewis.

Menurut Sawyer et al. (2003) kemampuan alum untuk larut dalam basa dan

asam kuat merupakan hal yang penting dalam koagulasi karena ion pada alum,

basa dan asam kuat bereaksi membentuk kompleks ion yang bertambah atau

berkurang karena penambahan basa dan asam kuat sampai reaksi menjadi netral

dan terbentuk endapan. Reaksi yang terjadi pada ion Al3+ dan OH- adalah :

Al3+ + OH-↔ Al(OH)2+

Al(OH)2+ + OH-↔ Al(OH)2+

Al(OH)2+ + OH-↔ Al(OH)3(aq)

Al(OH)3 + OH-↔ Al(OH)4

-Konsentrasi OH- rendah ketika dalam kondisi asam dan ion yang berada

dalam larutan adalah ion positif yaitu Al3+ dan Al(OH)4+ dan jika dalam kondisi

basa maka konsentrasi OH- akan bertambah sehingga ion ini akan menambah

jumlah ion kompleks alum sampai muatan ion menjadi netral dan terbentuk ion

Al(OH)3 yang kemudian mengendap dalam larutan. Basa yang terus menerus

ditambahkan akan meningkatkan konsentrasi OH- dalam larutan sehingga

(30)

15

2.4. Koagulasi

Pada umumnya pengendapan gravitasi digunakan untuk mengendapkan

partikel yang besar sehingga terpisah dari limbah cair. Limbah cair mengandung

partikel besar dan kecil yang berasal dari batuan, tanah dan dekomposisi hewan

dan tanaman air. Partikel kecil melayang di dalam air dalam bentuk koloid

sehingga tidak bisa diendapkan secara konvensional. Koloid ini berukuran 0,001 –

1 µm yang terdiri dari kelompok molekul atau ion yang memiliki ikatan lemah.

Kelompok ini tidak berada dalam bentuk ion atau molekul tunggal tetapi dalam

sebuah unit. Ion atau molekul tunggal tersebut dalam partikel koloid terorganisir

secara spasial sehingga permukaan partikel berisi kelompok ion. Muatan ion pada

permukaan salah satu partikel menolak muatan-muatan ion pada partikel yang

berdekatan sehingga mencegah agregasi dan pembentukan endapan (Baird &

Cann 2005).

Koloid harus dihilangkan dari limbah cair karena alasan estetika dan

kesehatan. Koloid dapat dihilangkan dari limbah cair melalui proses koagulasi

yaitu dengan penambahan koagulan seperti alum. Pada pH netral atau basa (≥7)

ion-ion Al3+ yang dihasilkan dari garam-garam koagulan tersebut membentuk

hidroksida gelatin yang secara fisik menggabungkan partikel dan membentuk

endapan yang terpisah dengan cairan sehingga mudah diangkat dari cairan.

Menurut Sawyer et al. (2003), dalam koagulasi, koloid didestabilisasi sehingga

mereka berkumpul atau berkoagulasi menjadi partikel yang lebih besar sehingga

koloid tersebut dapat dengan mudah diendapkan.

Menurut Eckenfelder (2000), koagulasi terdiri dari 2 mekanisme dasar :

1. Perikinetik atau elektrokinetik adalah reduksi potensial zeta oleh ion dan

koloid dengan muatan berlawanan yang terjadi karena adanya gaya tarik van

der Waals.

2. Ortokinetik adalah agregasi misel sehingga membentuk gumpalan yang

menggaglomerasi partikel koloid.

Penambahan kation valensi tinggi menekan muatan partikel dan lapisan

ganda sehingga menurunkan nilai potensial zeta dan jika koagulan terlarut, kation

bertindak menetralisir muatan negatif koloid. Hal ini terjadi sebelum

(31)

proses koagulasi dengan pelindung yang masih efektif dalam fase ini. Flok mikro

kemudian terbentuk yang menahan muatan positif dalam kondisi asam karena

adsorpsi ion H+. Flok mikro ini juga bertindak menetralkan dan melindungi

partikel koloid. Flokulasi mengagglomerasi koloid dengan flok hidroksida. Dalam

fase ini adsorpsi permukaan juga aktif. Koloid yang pada awalnya tidak

diadsorpsi, hilang karena terperangkap dalam flok (Eckenfelder 2000).

(32)

17

Sedimentasi

Gambar 2. Mekanisme koagulasi (Eckenfelder 2000)

(33)

-3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan

(TML), Departemen Teknologi Industri (TIN), IPB pada bulan Juni-Juli 2008.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu limbah cair

laboratorium dari sisa (residu) analisis COD, alum p.a. (pro analysi), NaOH dan

H2SO4 untuk menaikkan dan menurunkan pH. Bahan-bahan kimia lain untuk

analisis kekeruhan, warna, padatan tersuspensi total dan analisis logam.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu VELP scientifica test di

cessione C6F jar test apparatus (peralatan jar test), pompa peristaltik, gelas piala

dan alat-alat gelas lainnya, buret, pH meter, botol plastik untuk wadah sampel,

spektrofotometer direct reading (DR) 2000 dan atomic absorption

spectrophotometry (AAS).

3.3. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

(RAL) faktorial 2 faktor. Faktor 1: pH koagulasi yang terdiri dari 4 taraf yaitu 6,

8, 10 dan 12. Faktor 2: dosis alum yang terdiri dari 3 taraf yaitu kontrol (tanpa

penambahan alum), 20 mg/L dan 30 mg/L. Percobaan diulang sebanyak 2 kali

(34)

19

Gambar 3. Jar test

Model matematik (Hines & Montgomery 1990; Srivastava 2002) untuk

percobaan ini adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εij

Yijk = Nilai respon pada pH koagulasi ke-i, dosis alum ke-j dan ulangan

ke-k

µ = Pengaruh rata-rata

Ai = Pengaruh faktor pH koagulasi ke-i (i = 6, 8, 10, 12)

BBj = Pengaruh faktor dosis alum ke-j (j = kontrol, 20 mg/L, 30 mg/L)

(35)

3.4. Tahap Pelaksanaan

1) Karakterisasi Limbah Cair Laboratorium Hasil Analisis COD

Karakterisasi limbah cair ini dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan.

Parameter-parameter yang dianalisis yaitu kekeruhan (NTU), padatan tersuspensi

total (mg/L), warna (PtCo), Ag (mg/L), Hg (mg/L) dan Cr (mg/L). Karakterisasi

limbah cair ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi setiap polutan dalam

limbah cair. Analisis parameter dilakukan sesuai dengan Standard Methods

(APHA 1998).

2) Jar Test

Pertama-tama limbah cair laboratorium diencerkan sampai 6 kali. Kemudian

diambil sebanyak 3000 mL. Setelah itu diatur pH sesuai dengan pH yang diteliti

menggunakan pH meter. Kemudian limbah 3000 mL tersebut yang sudah diatur

pH-nya dituangkan ke dalam 6 gelas piala masing-masing sebanyak 500 mL. Ke-6

gelas piala tersebut masing-masing diberi dosis 0 mg/L (tanpa penambahan alum)

kode gelas 0; 15 mg/L kode gelas 1; 20 mg/L kode gelas 2; 25 mg/L kode gelas 3;

30 mg/L kode gelas 4 dan 35 mg/L kode gelas 5. Setelah itu ke-6 gelas piala

tersebut diletakkan dalam peralatan jar test.

Jar test dilakukan dengan pengadukan lambat dan cepat untuk mempercepat

percampuran limbah dengan alum untuk memaksimalkan efektivitas destabilisasi

koloid dan inisiasi koagulasi (Ebeling et al. 2006). Setelah 5 menit kemudian

maka terbentuk flok. Setelah itu limbah dibiarkan selama 30 menit - 1 jam sampai

flok yang terbentuk mengendap dengan baik. Supernatan yaitu cairan limbah yang

telah diberi perlakuan koagulasi kemudian dianalisis menggunakan

spektrofotometer DR 2000 untuk mengetahui konsentrasi kekeruhan, warna dan

padatan tersuspensi total serta AAS untuk mengetahui perubahan konsentrasi

(36)

21

3.5. Perhitungan Efisiensi Eliminasi Polutan (Rehm dan Reed 1986) Efisiensi eliminasi polutan dihitung dengan persamaan :

Efisiensi (%) = C0 – Ce x 100%

Ce

dengan :

C0 = konsentrasi influen

Ce = konsentrasi efluen

3.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam untuk mengetahui ada

tidaknya pengaruh faktor-faktor perlakuan tunggal dan interaksinya. Perlakuan

yang memiliki pengaruh nyata, dilakukan uji lanjut untuk nilai rataan

masing-masing taraf perlakuan. Uji nilai rataan dilakukan dengan Uji jarak berganda

Duncan (duncan multiple range test-DMRT) untuk mengetahui perlakuan tunggal

atau interaksi yang berpengaruh nyata (Steel & Torrie 1960; Mattjik &

(37)

4.1. Karakteristik Limbah Cair Laboratorium

Karakteristik limbah cair laboratorium ini adalah jenis atau ciri limbah cair

laboratorium yang diteliti. Berdasarkan kandungan polutan yang ada di dalam

limbah cair ini maka limbah ini tergolong limbah asam karena analisis COD yang

dilakukan menggunakan bahan-bahan kimia yang mengandung asam yaitu asam

sulfat dan ion sulfat selain itu dapat digolongkan beracun karena mengandung

logam berat krom, merkuri dan perak pada senyawa yang digunakan pada analisis

COD.

Limbah cair ini berwarna bening kebiruan dengan pH 2. Bahan-bahan kimia

yang terkandung di dalam limbah cair ini dapat digolongkan sebagai limbah

berbahaya dan beracun jika tidak diolah sebelum dibuang ke lingkungan. Analisis

COD menggunakan bahan-bahan kimia seperti kalium permanganat (K2Cr2O7),

perak sulfat (Ag2SO4.H2SO4), ferro amonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O], asam

sulfat pekat (H2SO4), kristal merkuri sulfat (HgSO4) dan indikator ferroin (APHA

1998).

Tabel 2. Karakteristik limbah cair laboratorium

Parameter Satuan Metode Analisis Konsentrasi

(38)

23

Berdasarkan kandungan polutan yang dijelaskan maka untuk mengetahui

jumlah konsentrasi polutan yang ada di dalam limbah cair ini maka dilakukan

pengukuran awal terhadap kekeruhan, padatan tersuspensi total, warna, Ag, Hg

dan Cr. Setelah itu hasil pengukuran awal dibandingkan dengan hasil pengukuran

sesudah koagulasi untuk mengetahui kecenderungan penurunan atau kenaikan

konsentrasi setiap parameter. Karakteristik limbah cair laboratorium ini dapat

dilihat pada Tabel 2.

4.2. Perubahan Fisik Larutan selama Koagulasi

Pada pH 6 dengan dosis 0 mg/L terbentuk endapan berwarna coklat

[Al(OH)3] dan larutan berwarna kuning (CrO42-) demikian pula pada dosis 20

mg/L dan 30 mg/L (Gambar 4a). Hal ini juga terjadi pada pH 8, pH 10 dan pH 12

dengan dosis yang sama tetapi endapan [Al(OH)3] dan larutannya berwarna coklat

(Al3+) (Gambar 4b dan 4c). Perubahan warna yang terjadi selama proses koagulasi

dapat disebabkan oleh penambahan bahan-bahan kimia dalam larutan namun

setelah diendapkan selama 30 menit sampai 1 jam warna larutan menjadi bening

dengan sedikit flok dan flok yang mengendap semuanya berwarna coklat pada

(39)

Gambar 4a. Larutan berwarna kuning dan endapan coklat yang terbentuk pada pH 6

Gambar 4b. Larutan berwarna coklat yang terbentuk pada pH 8, 10 dan 12

(40)

25

4.3. Pengaruh pH dan Dosis Koagulan Alum dalam Koagulasi

pH merupakan karakteristik yang sangat penting yang mempengaruhi

keefektivan koagulasi karena pengaturan pH menentukan tingkat eliminasi

polutan dari limbah cair. Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan basa

kuat (NaOH) dan asam kuat (H2SO4). Basa kuat dan asam kuat digunakan dalam

koagulasi karena keduanya terionisasi sempurna dalam cairan. Menurut teori

ionisasi Arrhenius, basa kuat dan asam kuat dalam suatu senyawa akan terurai

menjadi ion apabila berada dalam cairan. Ion-ion dari basa kuat dan asam kuat

dapat berinteraksi dengan berbagai zat kimia yang berada dalam cairan. Interaksi

ini terjadi agar reaksi berbagai zat kimia dalam cairan tersebut mencapai

kesetimbangan (Sawyer et al. 2003).

Pada kondisi asam, konsentrasi OH- dalam larutan sedikit dan ion-ion yang

berada dalam larutan adalah ion-ion positif seperti Al3+ dan pada kondisi basa,

konsentrasi OH- akan meningkat dan ion-ion ini akan semakin menambah

kompleksitas aluminum sehingga larutan menjadi netral sampai terbentuk

Al(OH)3 padat yang mengendap dalam larutan. Basa kuat yang terus menerus

ditambahkan akan semakin meningkatkan konsentrasi OH- sehingga terbentuk ion

Al(OH)4- yang terlarut dalam larutan.

Hidroksida alum dapat larut dalam asam dan basa sehingga disebut

hidroksida amfoter. Hidroksida amfoter bereaksi dengan hidroksida dari basa kuat

juga asam kuat membentuk suatu kumpulan ion kompleks. Kompleks yang

terbentuk pada kondisi asam atau basa adalah ion-ion bermuatan yang mudah larut

dalam cairan. Ion-ion yang terbentuk pada kondisi ini adalah ion-ion netral dan

larut dalam cairan.

Dosis alum juga mempengaruhi koagulasi. Dosis yang terlalu tinggi

menyebabkan alum tidak hanya menetralkan muatan negatif pada partikel tetapi

menambah jumlah muatan positif yang memiliki kecenderungan gaya tarik yang

sama antar partikel seperti pada kondisi awal limbah (Ebeling et al. 2006).

Endapan hidroksida dengan cepat terbentuk bila dosis alum sangat tinggi.

Mekanisme eliminasi yang terjadi disebut tumbukan partikel (sweep floc) karena

partikel koloid terperangkap dalam presipitat logam sehingga hilang dari larutan.

(41)

banyaknya kompleks hidroksida yang dapat terbentuk ketika alum ditambahkan

pada larutan. Kompleks hidroksida berinti banyak tersebut mempengaruhi

kelarutan alum dalam larutan. Koagulasi biasanya baik dilakukan pada pH dengan

kelarutan terendah (Sawyer et al. 2003).

Al(III) dalam kuantitas yang tepat bila ditambahkan pada larutan akan

membentuk presipitat hidroksida [Al(OH)3]. Partikel koloid dapat menyediakan

tempat kondensasi sehingga presipitat dapat terbentuk dan oleh karena itu koloid

terperangkap dalam presipitat dan berada dalam presipitat tersebut. Presipitat juga

dapat menangkap koloid yang melewatinya, mengumpulkannya dan

menghilangkannya dari air.

Al(III) yang digunakan dalam koagulasi limbah cair untuk menghilangkan

warna dan kekeruhan dapat berfungsi sebagai koagulan melalui beberapa

mekanisme. Ketika Al(III) ditambahkan ke dalam limbah cair, Al(III) terionisasi

menjadi trivalen, ion logam bebas (Al3+), jumlah dan keberadaan yang merupakan

fungsi karakteristik air yaitu pH dan alkalinitas. Beberapa ion logam tidak

diragukan mencapai target dan menetralkan muatan partikel koloid. Mayoritas ion

logam trivalen bergabung dengan ion hidroksida membentuk berbagai hidroksida

kompleks seperti kompleks inti banyak [Al13(OH)345+] yang sebagian besar

membawa muatan positif dan dapat terjerap ke dalam koloid yang menyebabkan

netralisasi dan tekanan lapisan ganda. Koloid yang didestabilisasi ini berkumpul

membentuk partikel yang makin besar yang langsung mengendap. Jika jumlah

kompleks hidroksida bermuatan positif lebih dari yang dibutuhkan untuk bereaksi

dengan partikel warna atau kekeruhan yang negatif, pembalikan muatan dapat

terjadi karena muatan yang berlawanan dari koloid dan kompleks hidroksida

saling membatalkan sehingga terjadi koagulasi. Ion positif yang berlebihan ini

menyebabkan pembalikan muatan dan akhirnya terbentuk partikel bermuatan

positif yang stabil.

Koloid hidrofobik biasanya langsung mengalami koagulasi dengan

penambahan kuantitas garam yang mengkontribusi ion pada larutan. Koloid

tersebut distabilkan oleh tekanan elektrostatik. Oleh karena itu penjelasan

sederhana mengenai koagulasi oleh ion dalam larutan adalah bahwa ion

(42)

27

mengalami agregasi karena muatan listrik lapisan ganda dikelilingi oleh partikel

bermuatan maka mekanisme agregasi ini disebut tekanan lapisan ganda. Ion

positif yang terikat pada permukaan negatif koloid dapat menyebabkan presipitasi

yang diikuti oleh restabilisasi koloid. Netralisasi awal muatan permukaan negatif

pada partikel melalui serapan ion positif menyebabkan terjadinya koagulasi dan

jika sumber ion positif semakin banyak ditambahkan, serapannya menyebabkan

pembentukan partikel koloid positif (Manahan 2000).

Flok alum kurang larut pada pH 7. Muatan flok positif di bawah pH 7,6 dan

negatif di atas pH 8,2. Diantara dua batas pH ini muatan flok tercampur. Dosis

alum yang tingi dapat menyebabkan tambahan presipitasi dari flok alum

tergantung pada pH flokulasi (Eckenfelder 2000).

Endapan yang dihilangkan dalam limbah cair biasanya menggunakan teknik

pemisahan fisik seperti sedimentasi atau filtrasi. Koagulan atau flokulan dapat

ditambahkan pada campuran untuk mempercepat pemisahan presipitat dari fase

larutan. Contoh koagulan anorganik yang biasa digunakan adalah aluminum sulfat

(alum). Proses presipitasi biasanya dilakukan untuk menghilangkan ion anorganik

terlarut terutama logam. Sejumlah anion cocok untuk direaksikan dengan logam.

Anion ini bervariasi sesuai dengan kecepatan reaksi, toksisitas dan biayanya. Hal

utama dalam pengendapan ion logam terlarut adalah melalui pembentukan

hidroksida. Sumber ion hidroksida dapat berasal dari NaOH, Na2CO3 atau

Ca(OH)2. Jika logam terlarut bereaksi dengan senyawa alkali maka sebagian besar

(43)

4.4. Efisiensi Eliminasi Polutan

Kemampuan koagulan alum dalam eliminasi polutan dari limbah cair

dengan proses koagulasi dapat diketahui pada efisiensi eliminasi limbah cair

melalui persentase perubahan atau penurunan konsentrasinya. Perhitungan

efisiensi ini dapat menjadi ukuran atau pertimbangan pemakaian dosis alum pada

limbah cair yang diteliti jika digunakan dalam skala besar (Satterfield 2005).

Polutan yang dibahas dalam efisiensi eliminasi polutan ini adalah polutan yang

memiliki eliminasi konsentrasi yang signifikan yaitu konsentrasi polutan yang

mengalami penurunan dari konsentrasi polutan awal.

4.4.1. Efisiensi Eliminasi Polutan Warna

Efisiensi eliminasi polutan warna adalah efisiensi perubahan konsentrasi

polutan warna pada pengukuran awal setelah mengalami proses koagulasi.

Gambar 5 menunjukkan bahwa koagulan alum kurang efisien dalam menurunkan

konsentrasi polutan warna. Pada dosis 0 mg/L efisiensi eliminasi polutan

meningkat tajam dengan pencapaian tertinggi pada pH 8 (40%). Efisiensi ini juga

menurun dengan tajam sejalan dengan makin meningkatnya pH (basa). Hal ini

berbeda dengan dosis 30 mg/L yang memiliki efisiensi eliminasi polutan yang

agak stabil karena efisiensinya pada pH 12 hanya -5% jika dibandingkan dengan

efisiensi pada dosis 0 mg/L dengan peningkatan sampai -25%.

Grafik memperlihatkan bahwa dosis alum yang ditambahkan dapat

meningkatkan efisiensi eliminasi polutan meskipun tidak signifikan artinya ada

peningkatan efisiensi eliminasi polutan meskipun berada di daerah negatif pada

grafik. Dosis alum 0 mg/L jika dibandingkan dengan dosis 20 mg/L dan 30 mg/L

berada paling bawah di daerah grafik diikuti dengan dosis 20 mg/L kemudian

dosis 30 mg/L dengan efisiensi tertinggi.

Menurut Sawyer et al. (2003) intensitas warna meningkat sejalan dengan

kenaikan pH. Hal ini memang dapat dilihat pada grafik tetapi itu berarti polutan

warna tidak mengalami penurunan. Air berwarna alami adalah air yang berwarna

kuning kecoklatan. Limbah cair yang masih baru biasanya berwarna coklat kelabu

terang tetapi warna limbah bisa berubah menjadi lebih gelap jika berada dalam

(44)

29

kandungan sulfida logam yang terbentuk saat sulfida bereaksi dengan logam

dalam limbah (Metcalf & Eddy 2004).

-50

Gambar 5. Efisiensi eliminasi polutan warna

Limbah cair yang diteliti berwarna bening kebiruan dengan pH yang sangat

asam tetapi setelah pH dinaikkan maka warna limbah cair menjadi coklat. Warna

bening atau jernih suatu limbah cair atau air tidak menjamin bahwa limbah cair

atau air itu tidak mengandung polutan berbahaya dan beracun (Suriawiria 2008).

Warna coklat pada larutan diduga disebabkan oleh penambahan NaOH dan ion

Al3+ yang berada dalam larutan. Al3+ adalah ion bebas yang mempengaruhi

agregasi koloid yaitu produk hidrolisisnya (Stumm & Morgan 1962; Stumm &

O’Melia 1968, diacu dalam Metcalf & Eddy 2004).

4.4.2. Efisiensi Eliminasi Polutan Perak (Ag)

Efisiensi eliminasi polutan argentum adalah efisiensi perubahan konsentrasi

polutan argentum pada pengukuran awal setelah mengalami proses koagulasi.

Gambar 6 menunjukkan efisiensi eliminasi Ag semakin tinggi sejalan dengan

naiknya pH kecuali pada dosis 20 mg/L yang turun cukup drastis pada pH 12

(60,14%). Secara umum dapat dilihat pada grafik bahwa koagulan alum cukup

efisien dalam menurunkan konsentrasi Ag pada limbah cair yang diteliti meskipun

dosis 0 mg/L merupakan dosis terbaik dalam menurunkan konsentrasi Ag

(45)

limbah cair dapat mengalami penurunan konsentrasi hingga tingkat yang cukup

rendah. Dosis alum 30 mg/L juga cukup efisien dalam menurunkan konsentrasi

polutan meskipun tidak sebaik dosis 0 mg/L karena dapat mencapai efisiensi

eliminasi 69,58% pada pH 12. Pada pH 12 penurunan konsentrasi polutan Ag

sangat efisien dilakukan.

0

Gambar 6. Efisiensi eliminasi polutan Ag

4.4.3. Efisiensi Eliminasi Polutan Merkuri (Hg)

Efisiensi eliminasi polutan merkuri adalah efisiensi perubahan konsentrasi

polutan merkuri pada pengukuran awal setelah mengalami proses koagulasi.

Gambar 7 menunjukkan efisiensi eliminasi Hg yang semakin tinggi sejalan

dengan naiknya pH tetapi pada pH 12 efisiensi eliminasi mengalami penurunan.

Secara umum dapat dilihat pada grafik bahwa koagulan alum efisien dalam

menurunkan konsentrasi Hg dalam limbah cair. Dosis yang semakin besar

semakin besar pula efisiensi eliminasi polutannya. Efisiensi eliminasi tertinggi

sebesar 92,06% diperoleh pada pH 10 dengan dosis 30 mg/L. Hal ini berarti

penurunan konsentrasi polutan Hg sangat efisien dilakukan pada pH basa dengan

dosis alum yang tinggi karena semakin tinggi pH maka semakin rendah

(46)

31

Gambar 7. Efisiensi eliminasi polutan Hg

4.4.4. Efisiensi Eliminasi Polutan Krom (Cr)

Efisiensi eliminasi polutan krom adalah efisiensi perubahan konsentrasi

polutan krom pada pengukuran awal setelah mengalami proses koagulasi. Gambar

8 menunjukkan bahwa koagulan alum sangat efisien dalam menurunkan

konsentrasi polutan Cr pada limbah cair yang diteliti. Efisiensi eliminasi polutan

Cr ini merupakan eliminasi tertinggi dari semua polutan yang diteliti. Efisiensi

eliminasi polutan Cr dapat mencapai 93,58% pada pH 12 dengan dosis 20 mg/L.

Efisiensi eliminasi Cr ini semakin tinggi sejalan dengan naiknya pH. Sama halnya

dengan kedua polutan logam berat diatas maka penurunan konsentrasi polutan Cr

ini sangat efisien dilakukan pada pH yang sangat basa.

Sebagian besar logam berat dapat dieliminasi dari limbah cair hanya dengan

menaikkan pH karena pada dasarnya hidroksida logamnya mudah larut. Hal ini

dapat dilakukan juga pada polutan Cr dengan mereduksi Cr(VI) menjadi Cr(III).

Cr(VI) yang berada dalam ion kromat (CrO42-) bersifat toksik dan karsinogen. Ion

ini mudah masuk ke dalam sel karena struktur molekulnya yang mirip dengan ion

sulfat (SO42-). Cr(III) kurang toksik bila dibandingkan dengan Cr(VI) bahkan

(47)

0

Gambar 8. Efisiensi eliminasi polutan Cr

4.5. Perubahan Konsentrasi Polutan dalam Limbah Cair setelah Koagulasi Perubahan konsentrasi polutan dalam limbah cair yang diteliti adalah

perubahan konsentrasi polutan dalam limbah cair sesudah diberi perlakuan pH dan

dosis alum berbeda. Polutan yang dibahas pada topik ini adalah semua polutan

pada pengukuran awal untuk mengetahui semua perubahan yang terjadi pada

semua polutan tersebut setelah dilakukan proses koagulasi. Hasil pengukuran

kadar polutan setelah koagulasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.5.1. Kekeruhan

Kekeruhan yang diukur pada penelitian ini adalah kekeruhan yang

disebabkan oleh koloid yang ada pada limbah cair laboratorium sehingga harus

dihilangkan dengan proses koagulasi karena koloid tersebut tidak dapat

dihilangkan dari cairan dengan pengendapan konvensional.

Berdasarkan hasil sidik ragam diperoleh bahwa pH dan dosis tidak

berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi kekeruhan. Gambar 9 menunjukkan

perubahan kekeruhan setelah diberi perlakuan pH dan dosis alum berbeda.

Kekeruhan awal yang diukur sebelum perlakuan adalah 2 NTU. Kekeruhan sama

sekali tidak mengalami penurunan, kecuali pada pH 6. Dengan dosis 30 mg/L

(48)

33

dosis 30 mg/L konsentrasinya tetap atau sama dengan konsentrasi awal yaitu 2

NTU.

Gambar 9. Kekeruhan setelah koagulasi

Kekeruhan yang tinggi yang berbeda dengan konsentrasi awal dapat

disebabkan oleh kandungan bahan-bahan kimia yang terlarut dalam larutan

sehingga koagulan tidak dapat menurunkan konsentrasi awal sebesar 2 NTU. Pada

pH 12 yang sangat basa yang berarti alkalinitas tinggi karena penambahan NaOH

terjadi penetralan muatan sehingga larutan menjadi keruh. Asam dan basa kuat

yang dicampurkan dalam larutan menyebabkan terjadinya penetralan muatan

tersebut. Harga pH tergantung pada konsentrasi asam atau basa yang ditambahkan

pada larutan artinya jika larutan dalam keadaan asam maka pH menjadi rendah,

sedangkan jika dalam keadaan basa maka pH larutan menjadi tinggi (Rivai 1995).

4.5.2. Padatan Tersuspensi Total

Padatan tersuspensi yang diukur dalam penelitian ini adalah padatan

tersuspensi yang disebabkan oleh kandungan berbagai bahan kimia yang ada pada

limbah cair laboratorium yang berasal dari reagen atau zat kimia yang digunakan

pada analisis COD.

Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa faktor pH yang berpengaruh

dalam koagulasi dan setelah dilanjutkan dengan uji Duncan diperoleh bahwa pH

12 berbeda nyata dengan pH 6 dan pH 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa

konsentrasi awal padatan tersuspensi total 3 mg/L tidak mengalami penurunan

(49)

konsentrasi padatan tersuspensi total tertinggi berada pada pH 12 sedangkan pada

pH 6 dan pH 10 konsentrasi padatan tersuspensi total hampir sama.

Kecenderungan ini dapat dilihat pada pH 12 dan dosis 30 mg/L dengan

konsentrasi padatan tersuspensi total sebesar 37 mg/L. Keadaan ini berbeda

dengan yang diharapkan yaitu bahwa dengan koagulasi, konsentrasi padatan

tersuspensi total awal dapat mengalami penurunan. Hal ini dapat disebabkan

karena adanya penambahan berbagai bahan kimia selama koagulasi yang

menambah jumlah padatan tersuspensi dalam larutan yang tidak menurunkan

konsentrasi padatan tersuspensi tetapi makin menambah konsentrasinya dan selain

itu pada pH 12 diduga terjadi penetralan muatan karena reaksi berbagai bahan

kimia pada pH yang sangat basa sehingga bahan-bahan kimia yang ada dalam

larutan tidak mengendap tetapi larut kembali (Sawyer et al. 2003).

Gambar 10. Konsentrasi padatan tersuspensi total setelah koagulasi

4.5.3. Warna

Warna limbah cair pada penelitian ini adalah warna yang disebabkan oleh

koloid negatif karena kandungan berbagai bahan kimia yang ada pada limbah cair

laboratorium. Warna bening kebiruan limbah cair ini dapat menjadi indikasi

bahwa limbah ini tergolong limbah dengan pH yang sangat asam.

Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa faktor pH yang paling

berpengaruh dalam koagulasi dan setelah dilanjutkan dengan uji Duncan diperoleh

(50)

35

pH 6, pH 8 dan pH 10 dan jika dibandingkan dengan konsentrasi awal sebesar 10

PtCo maka pada pH 12, konsentrasi warna tersebut tidak mengalami penurunan.

Gambar 11 menunjukkan konsentrasi warna yang diukur sesudah diberi

perlakuan pH dan dosis alum berbeda. Konsentrasi awal warna ini adalah 10

PtCo. Penurunan konsentrasi warna setelah perlakuan terjadi pada semua variasi

pH dan dosis alum yang berbeda kecuali pada pH 12 dengan perubahan

konsentrasi yang tidak sama dengan variasi pH dan dosis lainnya.

Penurunan konsentrasi warna ini terjadi pada pH 6, pH 8 dan pH 10 dengan

konsentrasi yang hampir sama besarnya. Penurunan tertinggi terjadi pada pH 8

dengan dosis 0 mg/L dengan konsentrasi warna sebesar 6 PtCo.

0

Gambar 11. Konsentrasi warna setelah koagulasi

Kenaikan konsentrasi warna dari konsentrasi awal 10 PtCo pada pH 12

dapat disebabkan oleh kandungan bahan-bahan kimia dalam larutan dan juga pH

ini sangat alkali karena sudah di atas 7. Warna dalam larutan dapat disebabkan

oleh bahan-bahan tersuspensi yang terkandung dalam larutan tersebut. Larutan

hasil analisis COD ini pada awalnya berwarna bening kebiruan dan setelah

dilakukan jar test warna larutan menjadi sangat bening. Analisis COD yang

menggunakan bermacam-macam bahan kimia dan reaksinya pada pH 12 diduga

(51)

4.5.4. Perak (Ag)

Perak yang diteliti dalam penelitian ini adalah perubahan konsentrasi ion

Ag+ yang ada dalam limbah cair setelah melewati proses koagulasi. Gambar 12

menunjukkan penurunan konsentrasi Ag yang cukup konsisten berdasarkan

kenaikan pH meskipun penurunan konsentrasi berdasarkan dosis tidak konsisten.

Konsentrasi awal sebesar 4,34 mg/L dapat turun menjadi 0,62 mg/L pada pH 12

dan dosis 0 mg/L.

Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa faktor pH yang paling

berpengaruh dalam koagulasi dan setelah dilanjutkan dengan uji Duncan diperoleh

bahwa penurunan konsentrasi signifikan pada semua pH. Hal ini menunjukkan

bahwa penurunan konsentrasi Ag ini tergantung pada pH. pH yang semakin tinggi

sejalan dengan penurunan konsentrasi Ag yang semakin tinggi pula.

0

Gambar 12. Konsentrasi Ag setelah koagulasi

Menurut Chang (2002) Ag+ tergolong logam transisi yang memiliki

kecenderungan membentuk ion kompleks karena memiliki beberapa bilangan

oksidasi. Sifat ini menyebabkan Ag secara efektif bertindak sebagai asam Lewis

dalam reaksi dengan berbagai molekul dan ion yang bertindak sebagai donor

elektron atau sebagai basa Lewis. Ion Ag+ akan membentuk ion kompleks Ag2SO4

ketika dalam larutan ditambahkan H2SO4 dan bila ditambahkan NaOH maka akan

terbentuk ion kompleks AgOH yang akan semakin meningkat kelarutannya bila

(52)

37

2Ag+ + H2SO4 → Ag2SO4 + 2H+

Ag+ + NaOH ↔ AgOH + Na-

Penurunan konsentrasi yang tidak sesuai dengan penambahan jumlah dosis

alum diduga disebabkan oleh kombinasi pH yang semakin tinggi (basa) dan dosis

alum yang semakin tinggi. pH basa menyebabkan ion Ag+ makin bertambah

dalam larutan, dengan kata lain kelarutan ion Ag+ besar. Dosis yang semakin

tinggi menyebabkan terjadinya netralisasi dalam larutan sehingga Ag+ tidak

mengendap tetapi larut kembali dalam larutan. Ion Na- juga menyebabkan larutan

menjadi netral.

4.5.5. Merkuri (Hg)

Merkuri yang diteliti pada penelitian ini adalah perubahan konsentrasi ion

Hg setelah melewati proses koagulasi. Gambar 13 menunjukkan konsentrasi Hg

mengalami penurunan konsentrasi yang sangat drastis setelah diberi perlakuan pH

dan dosis berbeda. Konsentrasi awal Hg yang diukur adalah 138,5 mg/L.

Penurunan konsentrasi Hg ini sangat konsisten berdasarkan pH dan dosis alum

berbeda yang diberikan saat percobaan. Penurunan konsentrasi tertinggi sebesar

11 mg/L dapat dilihat pada pH 10 dengan dosis alum 30 mg/L.

Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa faktor pH yang paling

berpengaruh dan setelah dilanjutkan dengan uji Duncan diperoleh bahwa pH 6

berbeda nyata dengan pH 8, pH 10 dan pH 12. Hal ini menunjukkan bahwa

tingkat penurunan konsentrasi Hg pada pH 6 sangat rendah bila dibandingkan

(53)

0

Gambar 13. Konsentrasi Hg setelah koagulasi

Senyawa merkuri dalam larutan sangat kompleks karena keberadaan

senyawa merkuri ini tergantung pada pH, alkalinitas, redoks, variabel lainnya dan

berbagai bahan kimia yang bisa terbentuk yang memiliki kelarutan dan muatan

listrik yang berbeda (Boudou & Jernelov 1983, diacu dalam Eisler 2006). Ketiga

bentuk merkuri yaitu Hg0 (elemental), Hg22+ (ion merkuro) dan Hg2+ (ion

merkuri) sangat reaktif dan mudah bereaksi dengan berbagai bahan kimia di

lingkungan bahkan di dalam tubuh manusia. Ion merkuri merupakan ion yang

paling beracun diantara ketiga bentuk merkuri tersebut.

Pada penelitian ini konsentrasi merkuri dapat turun cukup tinggi pada semua

pH perlakuan tetapi penurunan konsentrasi yang paling tinggi diperoleh pada pH

basa (pH 8, 10 dan 12) meskipun pada pH sedang (pH 6) juga terjadi penurunan

konsentrasi yang tidak sebesar ketiga pH basa.

Penelitian mengenai hubungan pH air dan konsentrasi merkuri dalam ikan

di danau menunjukkan bahwa konsentrasi merkuri sangat besar pada pH asam dan

semakin menurun konsentrasinya bila pH semakin basa. pH yang diteliti mulai

dari pH 4 – 10 (Lean 2003, diacu dalam Baird & Cann 2005). Penurunan

konsentrasi merkuri semakin besar mulai dari pH 7 – 10 dan bila dibandingkan

dengan penelitian yang dilakukan maka pH maksimum yang diperoleh (pH 8 -12)

maka merupakan kisaran pH dengan penurunan konsentrasi merkuri terbesar.

Hg2+ tergolong asam lunak karena elektronnya mudah mengalami polarisasi

(54)

39

transisi seperti Ag yang mudah bereaksi dengan berbagai molekul dan ion dalam

larutan. Dalam penelitian ini Hg bereaksi dengan asam dan basa kuat yang

terionisasi sempurna dalam cairan sehingga ion Hg2+ akan membentuk ion

kompleks HgSO4 yang tidak larut bila berada dalam kondisi asam dan HgOH

dalam kondisi basa dan akan semakin meningkat kelarutannya jika terus menerus

ditambahkan basa. Reaksi yang diduga terjadi adalah :

Hg2+ + 2H2SO4 → 2HgSO4 + 4H+

Hg2+ + 2NaOH ↔ 2HgOH + 2Na

-4.5.6. Krom (Cr)

Krom yang diteliti pada penelitian ini adalah perubahan konsentrasi ion Cr

setelah melewati proses koagulasi. Gambar 14 menunjukkan penurunan

konsentrasi Cr setelah diberi perlakuan pH dan dosis alum berbeda. Konsentrasi

awal Cr adalah 17,60 mg/L. Penurunan tertinggi sebesar 1,13 mg/L terjadi pada

pH 12 dengan dosis 20 mg/L. Penurunan ini juga sangat konsisten seperti pada

parameter Hg.

Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa faktor pH yang paling

berpengaruh dan setelah dilanjutkan dengan uji Duncan diperoleh bahwa

penurunan konsentrasi signifikan pada semua pH. Hal ini menunjukkan bahwa

(55)

0

Gambar 14. Konsentrasi Cr setelah koagulasi

pH 12 yang merupakan pH koagulasi maksimum yang ditemukan dalam

penelitian ini merupakan pH yang sangat basa. Pada pH 6 larutan berwarna

kuning cerah merupakan indikasi adanya Cr(VI) dalam bentuk CrO42- tetapi pada

pH 8 -12 larutan berwarna coklat merupakan indikasi terbentuknya Cr(OH)3.

Menurut Baird dan Cann (2005), pada kondisi oksidasi krom berada dalam

bentuk Cr(VI) yaitu ion kromat (CrO42-) yang bereaksi dengan asam membentuk

HCrO4- (1). Oksianion Cr(VI) sangat mudah larut dalam air. CrO42- dan HCrO4

-berwarna kuning bahkan pada konsentrasi Cr yang paling rendah (1 ppm) dan

pada kondisi reduksi Cr berbentuk Cr3+ (2). Ion ini tidak mudah larut dalam air

dan biasanya mengendap menjadi ion hidroksida bila berada dalam kondisi basa,

netral bahkan asam. Dalam penelitian ini digunakan koagulan alum untuk

mereduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) sehingga koloid yang berada dalam limbah cair

mengendap dan dengan demikian konsentrasi Cr dalam limbah cair berkurang (3).

H+ + CrO42-↔ HCrO4-………... (1)

Cr3+ + OH- ↔ Cr(OH)3(s)…………...(2)

(56)

41

4.6. Aspek Ekonomi

Jumlah limbah cair laboratorium umumnya kecil, dan terdiri atas berbagai

macam bahan anorganik oleh karena itu metode pengolahan secara kimia

merupakan alternatif yang terbaik, ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis.

Sebagai ilustrasi, untuk pengolahan limbah cair laboratorium sebanyak 1000 liter

(1 m3) diperlukan alum sekitar 20 gram dari botol ukuran 500 g dengan harga Rp.

320.000. Selain itu digunakan juga bahan-bahan kimia lain untuk analisis

parameter fisik dan kimia misalnya untuk analisis logam Hg digunakan bahan

kimia cair dalam botol ukuran 500 g dengan harga sekitar Rp. 500.000 – 800.000.

Selain bahan kimia, biaya analisis laboratorium seluruh parameter fisik dan kimia

mencapai Rp. 3,6 juta. Biaya-biaya lain yaitu untuk botol sampel dan lain-lain

sekitar Rp. 500.000. Secara keseluruhan biaya analisis ini masih terjangkau dan

dapat dijadikan perbandingan bila akan dilakukan pengolahan limbah cair

laboratorium dalam skala besar. Untuk analisis biaya (cost analysis) atau analisis

ekonomi (economic analysis) pengolahan limbah cair laboratorium yang lebih

baik perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga dapat diketahui total biaya

(57)

5.1. Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi eliminasi logam berat (Ag,

Cr, Hg) sangat dipengaruhi oleh nilai pH, dan hanya sedikit dipengaruhi

oleh dosis alum. Nilai pH optimum untuk eliminasi masing-masing logam

dalam limbah cair laboratorium berbeda.

2. Nilai eliminasi 93,58% Cr, 92,06% Hg dan 85,71% Ag dapat dicapai pada

perlakuan pH 12 dan dosis alum 20 mg/L. Konsentrasi Cr turun dari 17,60

mg/L menjadi 1,13 mg/L. Konsentrasi Hg turun dari 138,5 mg/L menjadi

11 mg/L dan konsentrasi Ag turun dari 4,34 mg/L menjadi 0,62 mg/L.

Hasil pengolahan ini masih relatif tinggi dan memerlukan pengolahan

lebih lanjut, misalnya dengan fitoremediasi.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada skala yang lebih besar

khususnya untuk pengolahan limbah cair laboratorium.

2. Perlu dilakukan penelitian lainnya dengan jenis atau karakteristik limbah

yang berbeda dengan proses presipitasi (pengaturan pH).

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran
Tabel 1. Karakteristik fisik, kimia, biologi dan sumber limbah cair
Gambar 2. Mekanisme koagulasi (Eckenfelder 2000)
Gambar 3. Jar test
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui; kemampuan koagulan biji kelor dalam menurunkan turbiditas limbah cair industri pencucian jeans pada proses koagulasi/flokulasi,

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai pH, COD, kekeruhan, kadar TSS, Cr total dan Pb total pada limbah cair sasirangan setelah diolah secara

Limbah cair industri karet hasil koagulasi-flokulasi dengan konsentrasi koagulan PAC 100 mg/l limbah cair dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 5 menit untuk

Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya menggunakan metode koagulasi flokulasi (waktu detensi 3 dan 6 jam) dengan koagulan PAC yang ditambahkan pada limbah cair

Laporan Akhir dengan judul ” Proses Adsorbsi Limbah Cair Laboratorium Dengan Menggunakan Karbon Aktif Berbahan Limbah Tongkol Jagung ” merupakan.. salah satu persyaratan

Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh dosis koagulan pada proses pengolahan limbah cair pabrik kecap secara koagulasi dan flokulasi untuk dapat memenuhi kadar limbah

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Infektifitas Fage Litik dari Limbah Cair Rumah Tangga terhadap Enteropathogenic Escherichia coli Resisten Antibiotik adalah karya saya

Keywords: Waste Electrocoagulation Coagulation Turbidity Voltage PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TEMPE SECARA BERTAHAP MENGGUNAKAN KOMBINASI METODE KOAGULASI DAN ELEKTROKOAGULASI