• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis zona pesisir terdampak berdasarkan model dispersi thermal dari air buangan sistem air pendingin pt. Badak ngl di perairan bontang kalimantan timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis zona pesisir terdampak berdasarkan model dispersi thermal dari air buangan sistem air pendingin pt. Badak ngl di perairan bontang kalimantan timur"

Copied!
227
0
0

Teks penuh

(1)

KALIMANTAN TIMUR

K A S M A N

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Juli 2011

(3)

Simulasi buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk memprediksi pola sebaran suhu telah dilakukan dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3D dengan mengaplikasikan model POM (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu (∆t)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T0 = 28 oC dan S0 = 32 ‰. Verifikasi elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan nilai korelasi 0.97 untuk verifikasi elevasi, korelasi 0.90 untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama serta korelasi 0.87 saat bulan perbani. Hasil simulasi menunjukkan perbedaan pola sebaran suhu permukaan paling ekstrim ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum. Perbedaan terutama terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 oC saat surut maksimum dan 35 oC saat pasang maksimum (ΔT=6 oC). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun C yakni sekitar 2.54 oC

untuk skenario musim kemarau dan 2.32 oC untuk skenario musim hujan.

Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dan terumbu karang dipelajari dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, di mana waktu observasi lapangan untuk fitoplankton disesuaikan dengan waktu cuplik model. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan, jumlah spesies dan indeks keanekaragaman fitoplankton. Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 oC, di mana pada suhu ini jumlah spesies, kelimpahan dan indeks keanekaragaman fitoplankton sangat kecil dibandingkan dengan fitoplankton pada suhu alami. Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa

kenaikan suhu sampai 35.3 oC akibat buangan air pendingin menyebabkan

kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 oC di depan Pulau Sieca menyebabkan kerusakan sedang hingga kematian terhadap terumbu karang.

Kata Kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu,

(4)

predict the pattern of thermal dispersion by using hydrodynamic model and 3-D thermal transport by applying POM model (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Driving forces used in this model were tides, flows of cooling water discharge and rivers discharge. Choice of time step (∆t)=0.5 second, with 118 grids (west-east) and 187 grids (north-south), grid size Δx=Δy=30 m. Initial value : u=v=ζ=0, T0=28 oC and S0=32 ‰. Verification of elevation and temperature between results of models and direct measurement showed a good suitability with correlation value was 0.97 for elevation verification, correlation 0.90 and 0.87 for thermal verification during spring and neap tides, respectively. Results of simulation revealed the most extreme difference in pattern of surface thermal dispersion that found during spring tide for sampling condition of maximum tide and ebb. Distinct difference was especially found at station 8 (mixing point) i.e.

41 oC during maximum ebb and 35 oC during maximum high tide. Whereas,

significantly high thermal difference between upper layer and bottom layer was found at station C i.e. around 2.54 oC for dry season scenario and 2.32 oC for wet season scenario. Effects of elevated water temperature from a thermal discharge on phytoplankton and coral reef was studied by using simulation results, where field observation for phytoplankton was adjusted with the time of output model. The results showed the negative correlation between temperature with abundance, the number of species and diversity index of phytoplankton. Impact of increase in temperature on the phytoplankton is mainly found in the waters with temperature > 37.91 oC, where at this temperature the number of species, abundance and diversity index of phytoplankton is very small compared with phytoplankton at natural temperature. As for coral reefs results simulation sampled at a location where the coral reefs found. The results showed that the increase of temperature up to 35.3 oC due discharge of cooling water caused the death of the coral reefs. While the temperature rise up to 33.3 oC in front of the Sieca Island cause damage to death of coral reefs.

Keywords :POM model, cooling-water and rivers discharges, thermal dispersion,

(5)

Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh ISMUDI MUCHSIN, ZAINAL ARIFIN, ARIO DAMAR, and I WAYAN NURJAYA.

Peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan meningkatnya laju metabolisme organisme dan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut (Poornima et al. 2005) sehingga dapat mengakibatkan makhluk hidup dalam air mati karena kebutuhan O2 tinggi sedangkan yang tersedia sedikit (Effendi 2003). Model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi mampu mensimulasi keadaan stratifikasi perairan dan menjelaskan distribusi kenaikan suhu secara temporal dan spasial (Maderich et al. 2008) serta dapat memprediksi dampak kenaikan suhu berdasarkan berbagai skenario hipotetis kondisi alam (Wu et al. 2001, Hamrick dan Mills 2000). PT. Badak NGL membuang air pendingin ke perairan Bontang dengan debit buangan air pendingin cukup besar yakni train A-F sebesar 141 000 m3/jam, train G sekitar 34 359 m3/jam, train H sebesar 36 254 m3/jam (Pertamina 2003). Selain debit yang besar, suhu buangan air pendingin tersebut tercatat juga tinggi yang berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan suhu air di muara kanal pendingin train A-F sebesar 43.89 oC saat pasang dan 45.56 oC saat surut sedangkan di lokasi muara pendingin train G terukur 40 oC pada saat pasang dan 40.56 oC pada saat surut (Pertamina 2003). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran suhu dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi dan menggunakan hasil model tersebut untuk menganalisis dampak kenaikan suhu perairan terhadap fitoplankton dan terumbu karang yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL. Metode dalam penelitian meliputi : (i) survei lapangan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk penetapan untuk daerah model; (ii) identifikasi kondisi sebaran biota laut yang terdapat dalam daerah model; (iii) simulasi pola sebaran suhu

buangan air pendingin dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean

Model), dimana gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang

surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu (∆t)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T0 = 28 oC dan S0

Verifikasi elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan koefisien korelasi (r) 0.97, kesalahan relatif rata-rata (MRE) 1.32% untuk verifikasi elevasi, r 0.90, MRE 5.17 % untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama dan r 0.87, MRE 7.12% saat bulan perbani. Verifikasi suhu dalam arah vertikal juga menunjukkan kesesuaian yang baik yakni layer-1 r 0.83, MRE 1.56%; layer-2 r 0.79, MRE 2.08%; layer-3

(6)

maksimum, menuju surut dan surut maksimum) baik untuk skenario musim hujan maupun musim kemarau. Perbedaan suhu paling dinamis ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 oC saat surut maksimum dan 34.25 oC saat pasang maksimum (ΔT=6 oC). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun 8 yakni sekitar 2.54 oC untuk skenario musim kemarau dan 2.32 oC untuk skenario musim hujan. Perbedaan suhu antara outfall 1, kolam pendingin (700 m dari outfall 1), Muara Kanal Pendingin (zona terdampak) (2 100 m dari outfall 1) dan perairan depan Pulau Sieca (3 200 m dari outfall 1) bervariasi menurut kondisi cuplik, dengan kisaran suhu berturut-turut sebagai berikut : 43.54-44.00 oC, 41.5-43.2 oC, 34.25-41.02 oC dan 32.23-33.21 oC. Dengan demikian perbedaan suhu antara kolam pendingin dengan Muara Kanal Pendingin berkisar antara 0.48-8.95 oC, perbedaan tertinggi tercatat saat purnama untuk waktu cuplik surut maksimum dan terendah pada saat pasang maksimum. Sementara perbedaan suhu antara Muara Kanal Pendingin dengan Pulau Sieca berkisar antara 1.04-8.79 o

Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dianalisis dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, dimana waktu dan lokasi pengambilan sampel fitoplankton disesuaikan dengan waktu dan titik cuplik hasil model. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata untuk empat kondisi pengambilan sampel, yang berarti bahwa jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton tidak dipengaruhi oleh kondisi pasang surut dan musim. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton.

C, tertinggi pada saat purnama untuk waktu cuplik surut maksimum.

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah spesies Stasiun Kontrol dengan Stasiun A, B dan C. Demikian pula analisis kelimpahan fitoplankton menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan fitoplankton di Stasiun Kontrol dengan stasiun lainnya, kecuali pada Stasiun A, B dan C. Hal ini berarti jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton pada A, B dan C dipengaruhi oleh tingginya suhu di stasiun tersebut, dalam hal ini dampak kenaikan suhu terhadap jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 o

Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan suhu sampai 35.3

C.

o

C akibat buangan air pendingin menyebabkan

kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 o

Kata kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu, fitoplankton, terumbu karang

(7)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

K A S M A N

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc

(10)

Nama : Kasman

NRP : C261060071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin

Ketua Anggota

Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc

Dr. Ir. Ario Damar, MSi

Anggota Anggota

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, MSc

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.

Sejak awal penyusunan disertasi ini penulis telah diperhadapkan pada berbagai permasalahan baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Namun berkat usaha yang tidak pernah mati dan adanya berbagai dukungan dari pembimbing maka draft disertasi ini dapat dirampungkan.

Karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku pembimbing utama dalam penelitian ini yang secara bijaksana telah memberi pandangan yang luas dalam penulisan proposal ini. Demikian juga rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc, Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, MSc, selaku pembimbing anggota yang telah banyak memberi masukan dan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi dalam penulisan disertasi ini.

Rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Unggul Aktani, MSc

(almarhum) atas jasa-jasanya membimbing penulis selama ini baik yang bersifat

akademik maupun spirituil. Semoga amal baik beliau diterima di sisi Allah SWT, diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang mulia di sisi-Nya, amin.

Akhirnya penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga sangat diharapkan adanya kritik dan saran membangun dalam rangka perbaikan yang lebih komprehensif.

Bogor, Juli 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Sila-sila, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada tanggal 24 Maret 1974. Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan keluarga Bapak H. Muhammad Kasim (Alm) dan Ibu Hj. St. Fatimah.

Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Polewali Tahun 1992 penulis kemudian melanjutkan pendidikan strata-1 pada Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin. Pada Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM), Institut Teknologi Bandung, lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Trunaya Bontang sejak tahun 2002, dengan bidang keilmuan berkonsentrasi pada pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Selain sebagai tenaga pengajar, penulis juga aktif dalam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan dan pengelolaan wilayah pesisir.

(13)

Ambient level = suhu alami

BML = Baku Mutu Lingkungan

ANOVA = Analysis of Variance

CFL = Courant-Friedrichs-Levy

Cooling Water = air buangan dari proses pendingin

Grid = Teknik penyusunan cell dalam model

Intake = lokasi dimana air laut diambil sebagai air pendingin

Isotherm = garis yang menghubungkan nilai suhu yang sama

Kepmen LH = Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Layer = Lapisan berdasarkan kedalaman perairan

LNG = Liquefied Natural Gas

LPG = Liquefied Petroleum Gas

MRE = Mean Relative Error

Mixing point = Daerah dimana terjadi percampuran antara air buangan

dengan air laut

ORITIDE = Ocean Research Institute TIDE

Outfall = lokasi dimana buangan air pendingin dilepas ke perairan

Outlet = titik dimana buangan air pendingin keluar pertama kali

dari pipa sistem pendingin

Permen LH = Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup

POM = Princeton Ocean Model

SK Gubernur = Surat Keputusan Gubernur

Titik cuplik = titik dimana hasil model diprint hasilnya

Train = kilang dimana terjadi proses pencairan gas

TC = titik cuplik

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR LAMPIRAN ...

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang... 1.2 Perumusan Masalah... 1.3 Tujuan Penelitian... 1.4 Manfaat Penelitian... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian...

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Gambaran Umum Kota Bontang... 1.1.1 Kondisi Umum Meteorologi dan Oseanografi... 1.1.2 Kondisi Pasang Surut... 1.1.3 Kondisi Alami Suhu Perairan Bontang... 1.1.4 Kondisi abiotik Perairan Bontang………. 1.2 Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL... 1.3 Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya…………...

1.3.1 Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya… 1.3.2 Pengaruh Limbah Panas terhadap Biota Laut……...

1.3.2.1Terumbu Karang... 1.3.2.2Fitoplankton... 1.4 Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia……… 1.5 Model Dispersi Thermal... 1.5.1 Model Hidrodinamika 3-Dimensi... 1.5.1.1 Persamaan-persamaan Dasar... 1.5.1.2 Implementasi Teknik Mode Pemisah... 1.5.1.3 Penyusunan Grid... 1.5.1.4 Penentuan Langkah Waktu……….. 1.5.1.5 Syarat Batas (Boundary Condition)……….

METODOLOGI PENELITIAN

(15)

4

3.5.1 Desain Simulasi Model Hidrodinamika………... 3.5.2 Elevasi Pasang Surut di Batas Terbuka Model... 3.6 Verifikasi Hasil Model ……….. 3.7 Data Simulasi... 3.8 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton... 3.9 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Terumbu Karang... 3.10 Analisis Zona Pesisir Berdasarkan Kenaikan Suhu Perairan……..

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Oseanografi Wilayah Penelitian………. 4.1.1 Kondisi Pasang Surut……… 4.4 Kualitas Buangan Air Pendingin... 4.5 Kualitas Air Laut di sekitar PT. Badak NGL... 4.6 Struktur Vertikal Suhu dan Kondisi Fitoplankton di Stasiun

(16)

4.6.4.1 Musim Kemarau……….. 4.7 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton………… 4.7.1 Profil Suhu di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton

Depan Pulau Sieca……….. 4.8.2.2 Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca... 4.8.2.3 Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di

Sekambing Muara……….. 4.8.2.4 Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara… 4.9 Analisis Kondisi Perairan Berdasarkan Kriteria Suhu untuk

(17)

5

4.10.5 Regulasi Buangan Air Pendingin…..………. 4.11 Implikasi Buangan Air Pendingin terhadap Tata Ruang Kota Bontang………...

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan………..……. 5.2 Saran……… DAFTAR PUSTAKA……….. LAMPIRAN

158

162

165 165 167

(18)

xvii

Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang....

Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang………..

Variabel lingkungan (n=12) yang diukur setiap tiga bulan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan………..

Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap fitoplankton………..

Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004……….

Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu………

Karakter komponen harmonik pasut di Pelabuhan Sekangat, Bontang, 13 September 2008 – 11 Oktober 2008………...

Suhu dan debit rata-rata beberapa sungai yang bermuara ke lokasi penelitian pada musim hujan dan kemarau………..

Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret dan September 2009...

Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL, Maret 2009………..

Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL, Agustus 2009………..

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun A pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun A pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)……….

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)……….

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)……….

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

(19)

19

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)……….

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)……….

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)……….

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)……….

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)……….

Jumlah total dan jenis spesies yang ditemukan berdasarkan klasifikasi suhu perairan di beberapa stasiun………....

Kelimpahan fitoplankton berdasarkan klasifikasi suhu perairan pada beberapa stasiun………....

Kondisi suhu hasil simulasi di depan Pulau Sieca untuk musim kemarau dan musim hujan………....

Kondisi suhu hasil simulasi di Sekambing Muara untuk musim kemarau dan musim hujan………...

(20)

Halaman

Jumlah curah hujan bulanan di Kota Bontang, 2001-2007………….

Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Kota Bontang, 2001-2007..

Stasiun pengamatan beberapa parameter fisik dan kimia di Perairan Bontang...

Nilai suhu yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002……….

Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya………..

Sistem Koordinat Sigma-σ……….

Langkah waktu dari teknik mode-splitting...

Sistem Grid 3-Dimensi untuk mode eksternal dalam model POM…

Sistem Grid 2-Dimensi untuk mode internal dalam model POM…..

Peta administrasi wilayah Kota Bontang………

Daerah model lokasi penelitian………..

Diagram Kerangka Pemikiran Rencana Penelitian……….

Diagram Alir Program POM………..

Stasiun pengukuran suhu permukaan, suhu arah vertikal, elevasi muka laut dan debit sungai……….

Stasiun pengambilan sampel fitoplankton dan pengamatan terumbu karang………..

Data elevasi muka laut hasil pengukuran di Pelabuhan Baltim……..

Verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan………..

Verifikasi suhu permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi saat purnama pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 3 Oktober 2008………

Verifikasi suhu permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi saat perbani pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 10 Oktober 2008………..

Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan untuk lapisan permukaan, 5-7 Oktober 2008………..

Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan pada kedalaman 2 m, 5-7 Oktober 2008……….

Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan

(21)

23

pada kedalaman 4 m, 5-7 Oktober 2008……….

Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan pada kedalaman 6 m, 5-7 Oktober 2008……….

Verifikasi pola arus pada saat air surut antara : (a) hasil pengamatan dengan (b) hasil model………

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani……….

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang………...

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum………..

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut………...

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum……….

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama………

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang……….

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum………

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut……….

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum………...

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani………..

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang………...

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum………..

(22)

38

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut………...

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum……….

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama………

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang……….

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum………

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut……….

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum………...

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A pada musim kemarau (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani………...

Pola arus permukaan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani…..

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.

Pola arus permukaan pada musim hujan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani..

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun D (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani………...

(23)

54

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun D (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun E (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun E (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani………..

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani..

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun G (a) kondisi pasut purnama; (b) kondisi pasut perbani………...

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun G (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim purnama di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………....

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani

Profil suhu beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim..

Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim……….

Profil suhu dan jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel………..

Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim…..

Profil suhu dan kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel………..

Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah...

Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Melahing...

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2………..

(24)

72

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2………...

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2………

Histogram penutupan substrat dasar terumbu karang di depan Pulau Sieca...

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2……….

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2………...

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2………..

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2………...

Kondisi perairan pada saat air menuju pasang menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...……….

Kondisi perairan pada saat air pasang maksimum menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...……….

Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air menuju surut berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004……….

Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air surut maksimum berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...……….

Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat purnama dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38 oC (b) suhu 44 o

Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat perbani dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38

C……….

o

C (b) suhu 44 o

Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pendalaman kolam pendingin (a) setelah pendalaman menjadi 4 m (b) sebelum pendalaman…………

C………...

Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah perluasan kolam pendingin (a) setelah perluasan kolam pendingin (b) sebelum perluasan kolam pendingin……….

Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pelebaran kanal pendingin (a) setelah pelebaran kanal (b) sebelum pelebaran kanal ……...……….

(25)

xxv

Hasil Pengukuran Pasang Surut di Pelabuhan Tanjung Limau selama 29 hari (29 piantan)……….

Sebaran suhu permukaan hasil pengukuran saat purnama (3 Oktober 2008) dan saat perbani (10 Oktober 2008) di beberapa stasiun pengamatan……….

Hasil pengukuran suhu (o

Suhu permukaan hasil simulasi pada titik verifikasi……….. C) dalam arah vertikal di Stasiun 8

(Muara Kanal Pendingin)………

Suhu (o

Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret 2008 dan September 2008...

C) hasil simulasi per-layer pada titik verifikasi model……..

Hasil pengukuran kualitas air laut di sekitar PT Badak NGL (Maret 2008)………...

Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL (September 2008)………...

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan……….

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan……….

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun C untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………

Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun C untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan……….

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun D untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………

Jumlah Jenis dan Kelimpahan Plankton di Stasiun D saat air pasang dan air surut untuk kondisi purnama pada musim hujan………….

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun E untuk

(26)

18

kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………

Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun E untuk kondisi perbani pada musim hujan………..

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan……….

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan……….

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………

Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan……….

Tabel hasil uji ANOVA (jumlah spesies fitoplankton)………..

Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel……….

Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton)………...

Kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel………...

Foto kondisi terumbu karang pada beberapa lokasi survei…………

(27)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi tentang buangan air pendingin dari sistem air pendingin (cooling

water system) dengan menggunakan integrasi model hidrodinamika dan model

dispersi thermal 3-dimensi telah mampu mensimulasi keadaan stratifikasi perairan

dan menjelaskan distribusi kenaikan suhu secara temporal dan spasial (Shahidi et

al. 2010; Maderich et al. 2008), serta digunakan untuk menilai dampak ekonomi

yang ditimbulkan oleh meningkatnya suhu perairan akibat aktifitas industri (You

dan Li 2009; Abbaspour et al. 2005). Banyak kesulitan yang ditemukan dalam

observasi langsung terhadap karakteristik distribusi kenaikan suhu dapat dikurangi

dengan menggunakan model numerik. Model dapat menjelaskan proses dinamik

selama periode observasi lapangan dengan simulasi dan dapat memprediksi

dampak kenaikan suhu berdasarkan berbagai skenario hipotetis kondisi alam (Wu

et al. 2001, Hamrick dan Mills 2000).

Adanya kegiatan PT. Badak NGL di Pesisir Bontang yang membuang air

pendingin ke perairan memerlukan kajian terhadap pola sebaran suhu mengingat

debit buangan air pendingin beberapa train yang beroperasi di perusahaan tersebut

cukup besar yakni train A-F sebesar 141 000 m3/jam, train G sekitar 34 359

m3/jam, train H sebesar 36 254 m3/jam (Pertamina 2003). Selain debit yang besar,

suhu buangan air pendingin tersebut tercatat juga tinggi yang berdasarkan hasil

pengukuran menunjukkan suhu air di muara kanal pendingin train A-F sebesar

43.89oC saat pasang dan 45.56oC saat surut sedangkan di lokasi muara pendingin

train G terukur 40oC pada saat pasang dan 40.56o

Suhu merupakan salah satu variable lingkungan paling penting yang

mempengaruhi keberlangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi organisme

akuatik. Peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan meningkatnya laju

metabolisme organisme dan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut C pada saat surut (Pertamina

2003). Buangan limbah air pendingin di perairan tropis dengan kisaran suhu

tersebut berpotensi merusak kehidupan biota laut, karena biota tropis hidup pada

suhu yang dekat dengan batas atas toleransi suhu (Roessler dan Zieman 1969;

(28)

(Poornima et al. 2005). Apabila kadar O2 sedikit saat suhu air naik, maka hal

tersebut dapat mengakibatkan makhluk hidup dalam air mati karena kebutuhan O2

Sumberdaya pesisir yang kemungkinan terkena dampak akibat naiknya

suhu perairan yang disebabkan oleh buangan air pendingin dari PT. Badak NGL

di Perairan Bontang diantaranya adalah mangrove, terumbu karang, plankton,

bentos dan lain-lain. Biota laut ini secara langsung terpapar oleh buangan air

pendingin yang menyebabkan kerusakan dengan tingkat yang berbeda-beda

tergantung jarak mereka terhadap sumber buangan air pendingin (outfall) dan

kemampuan bertahan terhadap kenaikan suhu (Pertamina 2003). Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kenaikan suhu 2°C diatas suhu

maksimum tahunan dapat menyebabkan efek sublethal (hilangnya pigmen

zooxanthella) pada terumbu karang dan kenaikan 4-5°C menyebabkan kematian

pada sebagian besar jenis karang (Coles et al. 1976). Adapun untuk fitoplankton,

kenaikan suhu hingga 3.4-5.9

tinggi sedangkan yang tersedia sedikit (Effendi 2003).

o

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan simulasi

dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi untuk

melihat pola sebaran suhu dari buangan air pendingin ke badan air serta

melakukan identifikasi sumberdaya pesisir yang ada di sekitar PT. Badak NGL.

Selanjutnya pola sebaran suhu yang diperoleh dari hasil simulasi digunakan untuk

menganalisis dampak kenaikan suhu terhadap sumberdaya pesisir tersebut.

C menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah

klorofil-a sekitar 15-50% (Poernima et al. 2005).

1.2 Perumusan Masalah

Tingginya suhu buangan air pendingin (cooling water) PT. Badak NGL

yang dilepas ke Perairan Bontang dapat menyebabkan terganggunya berbagai

biota laut yang ada di sekitarnya. Di antara biota laut yang berpotensi terkena

dampak dari kenaikan suhu perairan tersebut adalah terumbu karang, lamun,

mangrove, bentos, berbagai jenis ikan, plankton dan lain-lain.

Untuk meminimalkan dampak kenaikan suhu terhadap biota laut yang ada

di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka perlu diketahui kondisi

suhu dimana biota laut tersebut ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, maka

(29)

1. Bagaimana pola sebaran suhu yang terjadi akibat adanya buangan air

pendingin yang dilepaskan ke Perairan Bontang oleh PT. Badak NGL.

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh buangan air pendingin dari proses

industri terhadap terumbu karang dan fitoplankton di sekitarnya.

3. Bagaimana kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL

menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang timbul pada wilayah penelitian, maka

penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis pola sebaran suhu dengan menggunakan model hidrodinamika

dan dispersi thermal 3-dimensi di sekitar buangan air pendingin PT. Badak

NGL.

2. Menganalisis dampak kenaikan suhu perairan terhadap fitoplankton dan

terumbu karang yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL

dengan menggunakan hasil model dispersi thermal 3-dimensi.

3. Menganalisis kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak

NGL berdasarkan hasil analisis kenaikan suhu dan dampaknya terhadap

fitoplankton dan terumbu karang serta menganalisis luasan perairan yang

terkena dampak menurut baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam hal :

1. Pengembangan ilmu khususnya bidang biofisik kelautan dalam pengelolaan

wilayah pesisir dan lautan.

2. Memberi kontribusi bagi pemerintah daerah dalam menyusun strategi

pembangunan di wilayah perairan sekitar kawasan air buangan PT. Badak

NGL secara optimal dan berkelanjutan.

3. Menjadi acuan bagi perusahaan yang menggunakan sistem air pendingin

misalnya PLTU dalam mengelola buangan air pendingin yang dihasilkan,

dengan kata lain memudahkan manajemen perusahaan dalam pengelolaan dan

pemantauan lingkungan perairan di sekitarnya.

4. Memberi kontribusi bagi pihak yang berkompeten merumuskan regulasi

(30)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Pola sebaran suhu dikaji dengan menggunakan model POM (Princeton

Ocean Model) yang dikembangkan oleh Mellor 2003. Model ini telah digunakan

secara luas dalam mempelajari daerah pesisir dan laut karena akurat dan efisien

(Aoki dan Isobe 2007). Dalam penelitian ini digunakan gaya pembangkit pasang

surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Tidak dimasukkanya angin

sebagai gaya pembangkit model mengingat daerah model merupakan perairan

semi tertutup (semi enclosed) sehingga stress permukaan yang ditimbulkan oleh

angin dapat diabaikan. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, diantaranya oleh Aoki dan Isobe 2007 di Teluk Fukuoka, Shahidi et

al. 2010 di Teluk Persia, Maderich et al. 2008 di Sungai Waal dan beberapa

penelitian lainnya.

Wilayah studi dibatasi dengan memperhatikan aspek keterwakilan wilayah

terkena dampak, potensial kena dampak, dan tidak terkena dampak di sekitar

wilayah pembuangan air pendingin proses industri PT. Badak NGL. Dalam

penelitian ini analisis dampak kenaikan suhu terhadap biota laut yang berada di

sekitar buangan air pendingin dibatasi pada terumbu karang dan fitoplankton. Hal

ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hasil model 3-dimensi yang digunakan

dapat menjelaskan kondisi suhu kedua biota laut tersebut, dimana sebaran suhu

arah horizontal hasil model dapat menjelaskan kondisi fitoplankton, sementara

arah vertikal dapat menjelaskan kondisi suhu di zona terumbu karang.

1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Penelitian ini melakukan sinkronisasi antara model fisis dengan analisis biota laut

untuk digunakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hal ini

merupakan sesuatu yang baru mengingat selama ini antara permodelan fisis

dengan analisis biota laut dilakukan secara parsial. Kebaruan ini semakin nyata

mengingat metode sinkronisasi tersebut diimplementasikan dalam paradigma ilmu

(31)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian yang berhubungan dengan kenaikan suhu di wilayah penelitian

telah banyak dilakukan baik oleh manajemen perusahaan PT. Badak NGL,

Pemerintah Kota Bontang, maupun oleh peneliti dari berbagai perguruan tinggi.

Walaupun demikian dari hasil penelusuran literatur, penulis belum menemukan

adanya penelitian tentang model dispersi thermal secara spesifik yang mengarah

pada dampak buangan air pendingin industri terhadap ekosistem di sekitarnya dan

bagaimana menggunakan hasil model dispersi thermal tersebut untuk

menganalisis dampak kenaikan suhu terhadap biota laut.

2.1 Gambaran Umum Kota Bontang

Kota Bontang merupakan sebuah kota kecil yang terletak di wilayah

Provinsi Kalimantan Timur. Luas wilayah Kota Bontang hanya ±49 757 Ha yang

terdiri dari daratan seluas ±14 780 Ha (29.70%) dan lautan seluas ±34 977 Ha

(70.30%) dengan panjang garis pantai 24.4 km.

Wilayah administrasi Kota Bontang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai

Timur, Kalimantan Timur

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar, Kalimantan Timur

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai

Kertanegara, Kalimantan Timur

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai

Timur, Kalimantan Timur

Luas daratan Kota Bontang 14 780 Ha, meliputi : Kawasan Hutan Lindung

seluas 5 950 Ha (11.96%), PT. Pupuk Kaltim 2 010 Ha (4.04%), PT. Badak NGL

1 572 Ha (3.15%) dan kawasan pemukiman penduduk seluas 5 248 Ha (10.56%).

Wilayah ini dilalui oleh garis khatulistiwa yang beriklim tropika basah, yakni

wilayah tropis yang beriklim panas tetapi memiliki curah hujan yang tinggi

dengan suhu udara bervariasi antara 24-33o

Hasil interpretasi peta rupa bumi menunjukkan bahwa Kota bontang

(32)

kemiringan lahan antara 0-8%. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa

penutupan vegetasi berupa kebun campuran, semak belukar, alang-alang dan

hutan sekunder dapat dijumpai di semua kecamatan, sedangkan hutan bakau

hanya dijumpai di Kecamantan Bontang Utara dan Kecamatan Bontang Selatan di

sekitar bibir pantai dan pulau-pulau kecil (Bappeda Kota Bontang 2005).

2.1.1 Kondisi Umum Meteorologi dan Oseanografi

Kota Bontang dipengaruhi oleh iklim muson tropis, dimana periode muson

barat daya terjadi sekitar bulan Desember-Februari dan muson tenggara dari

Juni-Agustus, periode waktu lainnya merupakan periode transisi. Pada periode

Maret-Mei angin bergerak dari arah baratdaya ke tenggara, dan pada periode

September-Nopember bergerak dari arah tenggara ke baratdaya. Muson baratdaya biasa

disebut dengan muson basah atau musim penghujan, dimana angin bertiup dari

arah baratdaya ke tenggara membawa hujan lebat. Sebaliknya, muson tenggara

dicirikan dengan kondisi yang kering, sehingga disebut muson kering atau musim

kemarau. Namun fenomena ini tampaknya tidak terjadi di daerah Bontang, hal ini

karena di daerah studi tidak ada perbedaan musim yang jelas antara musim

penghujan dan musim kemarau, yaitu dicirikan oleh terjadinya hujan hampir

sepanjang tahun (Gambar 1).

Gambar 1 Jumlah curah hujan bulanan di Kota Bontang, periode 2001-2007 (Sumber : Lab. PT. Badak NGL 2008).

Curah hujan bulanan tercatat berfluktuasi dari tahun ke tahun namun

secara rata-rata jumlah curah hujan agak rendah selama bulan Juli-September

(33)

berkaitan dengan aktifitas PT. Pupuk Kalimantan Timur yang memproduksi urea

dan amonia. Selama proses produksi kemungkinan ada komponen urea atau

amonia yang lolos ke udara sebagai debu dan merupakan partikel yang baik

sebagai inti kondensasi uap air. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya hujan di

wilayah Bontang karena presipitasi atau hujan sangat tergantung pada keberadaan

uap air, sedangkan inti kondensasi dalam hal ini debu-debu urea selalu siap.

Dengan demikian maka dapat dimaklumi bila jumlah curah hujan tidak menentu

setiap bulannya atau dengan kata lain berfluktuasi (Sasongko dan Rahmat 2004).

Gambar 2 Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Kota Bontang, periode 2001-2007 (Sumber : hasil olah data Lab. PT. Badak NGL 2008).

2.1.2 Kondisi Pasang Surut

Kondisi pasang surut di Perairan Bontang dijelaskan berdasarkan hasil

pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota

Bontang Tahun 2008 dan dari peramalan pasang surut global yang disebut

ORITIDE yang dikembangkan oleh Ocean Reserch Institut (ORI), University of

Tokyo, bekerjasama dengan National Astronomical Observatory (NAO), JAPAN

untuk tahun yang sama. Indeks Formzahl (F) dari hasil pengamatan dan

peramalan tersebut adalah sebesar 0.37. Nilai indeks demikian digolongkan

sebagai tipe pasang surut campuran dominasi ganda (mixed tide, predominantly

semi-diurnal) (Wyrtki 1961).

2.1.3 Kondisi Alami Suhu Perairan Bontang

Pengukuran suhu di Perairan Bontang menunjukkan sebaran yang

cenderung homogen atau tidak banyak berbeda yakni bervariasi antara 28.3-29oC

(34)

dari permukaan hingga kedalaman 41 m. Hasil pengukuran suhu secara vertikal

menunjukkan bahwa di perairan ini terdapat lapisan yang homogen sampai

kedalaman 10-15 meter dengan suhu sekitar 29o

2.1.4 Kondisi Abiotik Perairan Bontang

C (Pertamina 2003).

Hasil survei kondisi abiotik pada beberapa lokasi di Perairan Bontang

menunjukkan nilai yang relatif sama untuk beberapa parameter baik parameter

fisik maupun kimia. Parameter yang relatif berbeda secara ekstrim dari beberapa

lokasi pengamatan adalah parameter suhu di Stasiun a1 (Gambar 3), yakni

berbeda sekitar 8-11oC dibanding dengan suhu di stasiun lain. Stasiun a1

merupakan outlet buangan air pendingin PT. Badak NGL.

Keterangan :

Stasiun : a1=Outlet PT. Badak; b1=P. Beras Basah; c1=P. Tihik-tihik; d1=P. Segajah; e1=P. Gusung; f1=Pelabuhan PT. Indominco; g1=Muara Bontang Kuala;

h1=Tambak Bontang Kuala; i1=Sungai Api-api

Gambar 3 Stasiun pengamatan beberapa parameter fisik dan kimia di Perairan Bontang (sumber : DKP Kota Bontang 2005).

B o n t a n g

a1

b1 c1

d1 e1

f1 g1

h1 i1

(35)

Hasil survei beberapa parameter abiotik dibeberapa stasiun yang dianggap

dapat mewakili Perairan Bontang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang

(sumber : DKP Kota Bontang 2007)

2.2 Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL

Dari hasil pengukuran suhu saat survei tanggal 11 Juli 2002 di sekitar

LNG Badak, ditemukan bahwa suhu pada buangan (outfall) Train A/B (Stasiun 1),

Train C/D (Stasiun 2) dan Train E/F (Stasiun 3) bervariasi antara 45.1-45.3oC.

Suhu air pada outfall Train G/H (Stasiun 4) adalah 41.5oC baik saat air pasang

maupun saat air surut. Sebelum masuk ke kanal pendinginan, air pendingin dari

outfall Train A/B/C/D/E/F bergabung sepanjang sejauh lebih kurang 3 km melalui

Stasiun 5, 6 dan 7 lalu masuk ke kolam pendingin melalui Stasiun 8. Setelah

mengalir sekitar 1 km, suhu mulai turun menjadi 44oC di Stasiun 7 dan setelah

tiba di muara kanal Train A/B/C/D/E/F (Stasiun 8) suhu telah mengalami

penurunan sampai 43oC saat air pasang dan 42.5oC saat air surut. Adapun muara

kanal G/H (Stasiun 9) suhu telah mengalami penurunan dengan suhu rata-rata

38oCtahun 2000-2001 (Gambar 4).

Pada Stasiun 13 yang merupakan muara dimana buangan air pendingin

memasuki perairan Teluk Bontang, suhu air pada saat survei berkurang menjadi

30.5oC (saat air pasang) dan 32.3oC (saat air surut). Hasil pengukuran pada

Stasiun 13 yang dilakukan sejak 1997-2002 menunjukkan suhu yang konsisten

yakni berkisar antara 32.3-42oC, dengan suhu rata-rata tahun 2000-2001 sebesar

38.98oC saat air surut dan 35.15o No

C saat air pasang (Pertamina 2003).

Parameter Stasiun

a1 b1 c1 d1 e1 f1 g1 h1 i1

1 Suhu (o

38

C) 29 29 30 30 30 27 29 27

2 Salinitas (‰) 31 33 33 34 34 32 12 30 5

3 pH 7.7 7.9 7.8 7.8 7.8 7.7 7.6 7.7 7.4

4 DO (gr/l) 7.2 7.6 7.8 7.8 7.6 7.7 8.6 5.3 7.9

5 Arus (m/detik) 0.3 0.6 0.8 0.5 1.1 0.7 0.4 0 0

(36)

Keterangan :

1. Outfall Train A/B 2. Outfall Train C/D 3. Outfall Train E/F 4. Outfall Train G/H 5. Jembatan TOP 6. Jembatan TON

7. Sebelah barat Plant #34

8. Muara kanal Train A/B/C/D/E/F 9. Muara Air Pendingin Train G/H

10. Muara Sungai Sekambing 11. Pelabuhan Sekambing Baltim 12. Pertemuan Air Pendingin Train A-H 13. Muara Sungai Sekangat

14. Sebelah Selatan Loading Dock II 15. Basin Cooling Water Intake 16. Pantai Sebelah Barat Berbas 17. Perairan Sekitar Pulau Tihi-Tihi 18. Perairan Sekitar Pulau Selangan

Gambar 4 Nilai suhu (oC) yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002 (Sumber : Pertamina 2003).

L a u t L a u t

D a r a t

1 2 3

4 5

6

7

8 9

10

11

12

13 14 17 18

16

15

(37)

2.3 Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya

2.3.1 Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya

Sebaran buangan air pendingin yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya telah

disimulasikan dengan menggunakan model numerik. Sebaran peningkatan suhu di

Perairan PLTU/PLTGU Tambak Lorok dilakukan dengan skenario kondisi angin

calm, ∆T outlet sebesar 9oC dan debit outlet sebesar 26.49 m3/dt, dengan suhu

alami 29o

Hasil simulasi dicuplik untuk empat kondisi yakni saat air menuju pasang,

pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Hasil yang diperoleh

menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik

tersebut. Pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik dapat dilihat pada

Gambar 5 di bawah.

Gambar 5 Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya (Sumber : Mihardja 2006).

C.

2.3.2 Pengaruh Limbah Panas terhadap beberapa Biota Laut

2.3.2.1 Terumbu karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang hampir ditemukan di seluruh

perairan dunia, meskipun hanya di perairan tropis dapat berkembang dengan baik.

Distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa

KONDISI PASUT

PERBANI

KONDISI PASUT

PERBANI

KONDISI PASUT

PERBANI

KONDISI PASUT

(38)

parameter fisika, diantaranya adalah suhu. Pada umumnya terumbu karang

tumbuh secara optimal pada kisaran suhu antara 25-29o

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang rentan terhadap

kenaikan suhu perairan. Respon terumbu karang terhadap tekanan lingkungan

berupa kenaikan suhu dapat dikelompokkan menjadi : (1) respon fisiologis secara

langsung terhadap faktor tunggal, (2) respon interaktif terhadap beberapa faktor

lingkungan, (3) akibat tidak langsung yang terjadi pada interaksi komunitas

(Smith dan Buddemeier 1992).

C, namun suhu diluar

kisaran tersebut masih bias ditolerir oleh spesies tertentu dari terumbu karang

untuk dapat berkembang biak dengan baik (Dahuri et al. 2001).

Peningkatan suhu perairan diyakini menjadi pemicu terjadinya pemutihan

(bleaching) terumbu karang dan organisma lainnya yang bersimbiosis dengan

zooxanthella dan selanjutnya akan dapat menyebabkan kematian. Namun menurut

Smith dan Buddemeier (1992) kepekaan terumbu karang terhadap suhu sangat

adaptif, tergantung spesies dan tergantung pula pada sejarah panjang fluktuasi

suhu lingkungan sekitarnya. Faktor suhu yang dapat menyebabkan terjadinya

pemutihan apabila mengalami kenaikan 3-4°C di atas suhu maksimum alami

selama 2-3 hari pemaparan atau sekitar 1-2°C selama pemaparan beberapa

minggu. Selanjutnya dinyatakan bila suhu naik sampai lebih dari 4°C maka akan

menyebabkan kematian lebih dari 90% populasi terumbu hanya dalam beberapa

hari (Smith dan Buddemeier 1992).

Sub-lethal efek suhu pada terumbu karang dapat terjadi pada penurunan

respon makan, menurunkan laju reproduksi, menambah pengeluaran lendir,

mempercepat keluarnya simbion zooxanthelae dan menurunkan perbandingan

fotosintesis/respirasi (Grigg dan Dollar 1990).

Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan

pada suhu diatas 33.5oC. Akan tetapi pengaruh suhu terhadap binatang karang

yang harus dihindari adalah adanya perubahan suhu secara mendadak dari suhu

alami (ambient level), karena menurut Neudecker (1981) perubahan suhu secara

mendadak sekitar 4-6oC di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi

(39)

Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang. Pada umumnya

karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas

33.5oC dan dibawah 16.5oC. Walaupun terdapat beberapa karang yang dapat

bertahan hidup pada suhu yang tinggi, seperti jenis Acropora yang dapat hidup

pada perairan dengan kisaran suhu musiman 16-40oC.

Pada dasarnya pengaruh suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu

yang ekstrim, yaitu suhu minimum dan maksimum saja, namun lebih kepada

perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level). Menurut

Neudecker (1981) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6o

Meskipun beberapa karang dapat dijumpai di lautan subtropis tetapi

spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan

karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25m dan oleh

area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 C di bawah atau

di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat

mematikannya.

Salah satu akibat dari tekanan yang terjadi pada terumbu karang adalah

peristiwa pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan Karang (menjadi pudar

atau berwarna putih salju) terjadi akibat degenerasi atau hilangnya zooxanthellae

dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah

sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya

(Brown et al. 1999). Tekanan penyebab pemutihan karang antara lain tingginya

suhu air laut yang tidak normal, tingginya tingkat sinar ultraviolet, kurangnya

cahaya, tingginya tingkat kekeruhan, sedimentasi air, penyakit, kadar garam yang

tidak normal dan polusi.

Selain perubahan suhu, perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi

kelangsungan hidup terumbu karang. Brown et al. 1999 menjelaskan bahwa curah

hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland runoff)

dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya

penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient

overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan

pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.

o C.

(40)

dan suhu sekitar 25oC sampai 29o

Coles (1985) mempelajari dampak peningkatan suhu pada keberhasilan

“settlement” dari larva planula karang di sekitar pembangkit tenaga listrik di

Hawai. Berdasarkaan kepadatan settlement dari juvenile pada berbagai gradient

suhu Coles (1985) menyimpulkan suhu optimum jangka pendek 33°C sampai

34°C untuk planula (Poillopora damicornis) menetap di Hawai yang berkisar

antara 6-7°C lebih tinggi daripada suhu maksimum tahunan sebesar 27°C di

perairan lepas pantai Hawai. Kenaikan suhu 6-7°C bagi planula karang di wilayah

yang suhu ambien maksimumnya lebih tinggi dari Hawai untuk spesies karang

sejenis atau lainnya mungkin dapat dihipotesiskan bahwa respon dari planula

karang akan bergeser sesuai dengan kondisi suhu lingkungannya.

C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu

karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 1984).

Suhu ambien normal terumbu karang di ASEAN termasuk Indonesia

adalah 28-30°C. Karang dewasa lebih sensitif terhadap kenaikan suhu, dimana

kenaikan suhu sebesar 3-5°C diatas suhu ambien telah terbukti mempengaruhi

kehidupan karang dewasa di berbagai wilayah geografik (Coles 1975; Neudecker

1981). Neudecker (1981) mempelajari pertumbuhan dan kelulusan hidup berbagai

spesies karang batu yang dipapar pada limbah air pendingin pembangkit tenaga

listrik di Guam. Peningkatan suhu 4-6°C di atas suhu ambien mempengaruhi

pertumbuhan karang, dimana spesies karang yang tumbuhnya lambat lebih tahan

terhadap kenaikan suhu daripada spesies karang yang tumbuhnya cepat.

Coles (1975) melakukan studi dampak limbah bahang Electrical Company

Kobe Generating Station, Hawai selama 2 tahun terhadap terumbu karang,

hasilnya menunjukkan bahwa suhu absolut atas yang berkepanjangan jauh lebih

kritis sebagai faktor yang menyebabkan kerusakan dan kematian daripada

kenaikan suhu yang cepat di atas suhu lethal atas yakni 34ºC (4ºC diatas suhu

ambien)

Coles et al. (1976) mempelajari intensitas dan durasi kenaikan suhu alami

maksimum dari berbagai jenis karang tropis (Eniwetak, Atoll, Marshall Islands)

dan subtropis (Kaneohe Bay, Oahu, Hawai). Paparan dalam waktu lama pada suhu

di atas 32.7°C, menemukan bahwa suhu tersebut mendekati nilai kritis. Suhu

(41)

lebih tinggi daripada di Hawai. Kenaikan suhu 2°C di atas suhu maksimum

tahunan ternyata menyebabkan efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella),

sedangkan kenaikan 4-5°C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis

karang di kedua lokasi. Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang

pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang

Taxon/ Ekosistem Lokasi ΔT

(Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984)

2.3.2.2 Fitoplankton

2.3.2.2.1 Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton

Salah satu parameter perairan yang berperan penting dalam menentukan

keberadaan fitoplankton adalah suhu. Distribusi suhu di permukaan laut sangat

berpengaruh terhadap komposisi dan ukuran fitoplankton (Bouman et al. 2003).

Suhu berpengaruh langsung terhadap laju fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan,

sementara pada hewan berpengaruh terhadap proses fisiologi khususnya derajat

metabolisme dan siklus reproduksi. Selain itu suhu dapat berperan dalam

menentukan suksesi jenis fitoplankton pada suatu perairan.

Suhu berpengaruh tidak langsung terhadap kelarutan CO2 yang digunakan

untuk fotosintesis dan kelarutan O2 yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan

laut. Daya larut O2 akan berkurang dengan meningkatnya suhu perairan. Toleransi

(42)

terhadap perubahan suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu normalnya

(Poornima et al. 2005).

Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplanton terutama dapat ditemukan di

sekitar industri yang membuang air pendingin mereka ke perairan di sekitarnya.

Hasil penelitian yang dilakukan di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Atom

Madras di India menunjukkan bahwa fitoplankton dan klorofil-a mengalami

penurunan selama melewati sistem air pendingin (cooling water system) dari

tempat pengambilan air laut (intake) ke tempat pembuangan air pendingin

(outfall), sementara pada daerah percampuran (mixing point) jumlah klorofil-a

mengalami recovery secara signifikan. Suhu intake tercatat maksimum 29.6oC

pada bulan Maret dan minimum pada bulan Januari yakni 26.9oC. Adapun suhu di

outfall menunjukkan ∆T bervariasi antara 7.3-9.3oC dan pada daerah mixing point

∆T bervariasi antara 3.4-5.9o

Jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton di outfall berkurang antara

35-70% dibandingkan dengan di intake. Sementara pada daerah mixing point

klorofil-a dan jumlah fitoplankton hanya berkurang sekitar 15-50% dibandingkan

dengan di intake (Poernima et al. 2005).

C (Poernima et al. 2005)

Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton juga dilakukan dengan uji

laboratorium, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa fitoplankton yang

berada pada suhu 42oC dengan waktu kontak 15-30 menit tidak menyebabkan

perubahan signifikan dalam kandungan klorofil-a dibandingkan dengan suhu

kontrol (28o

Penelitian sejenis juga telah dilakukan di Pembangkit Listrik Tenaga

Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan. Perbedaan suhu antara daerah intake dan suhu

daerah outfall sepanjang musim dari Pembangkit Listrik ini adalah ±10

C). Percobaan laboratorium juga menunjukkan dalam waktu kontak

tersebut produktifitas primer fitoplankton mengalami pengurangan sebesar 19%

dibandingkan dengan suhu kontrol (Poernima et al. 2005).

o

C. Hasil

penelitian menunjukkan Klorofil-a fitoplankton di daerah intake secara signifikan

lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di daerah outfall. Perbedaan

antara daerah intake dan daerah outfall paling besar terjadi pada musim semi,

dimana nilai rata-rata klorofil-a fitoplankton di daerah intake sebesar 0.67 mg m-3

(43)

Hasil penelitian tentang dampak buangan air pendingin terhadap

fitoplankton menunjukkan bahwa buangan air pendingin tidak mempengaruhi

sebaran parameter lingkungan yang lain seperti salinitas, pH, DO dan nutrien

(nitrat, nitrit, amoniak, posfat dan silikat) di perairan pesisir (Poernima et al.

2005). Tidak ada perbedaan signifikan dalam monitoring faktor-faktor lingkungan

yang dideteksi antara daerah intake sampai outfall kecuali suhu air (Chuang et al.

2009). Variabel lingkungan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik

Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Variabel lingkungan (n=12) yang diukur setiap tiga bulan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan

Site

Intake Outlet

Winter Spring Summer Autumn Winter Spring Summer Autumn

Water temperature (oC)

Salinity (psu) DO (mgL-1)

pH

Linght extinction (m-1

18.7±0.5

Beberapa eksperimen dan studi lapangan pada beberapa lokasi yang telah

dilakukan untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu terhadap kehidupan

fitoplankton diberikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap fitoplankton

Taxon/ Ekosistem Lokasi ΔT

(Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984)

2.3.2.2.2 Faktor Lain yang dapat Mempengaruhi Fitoplankton

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan fitoplankton secara

Gambar

Gambar 4    Nilai suhu (oC) yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002 (Sumber : Pertamina 2003)
Gambar 6   Sistem Koordinat Sigma-σ  (Sumber : Mellor 1998).
Gambar 10 Peta administrasi wilayah Kota Bontang dan daerah model
Gambar 11   Daerah model dan kontur batimetri (dalam meter) lokasi penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam praktek pembelajarannya, pendengaran, penglihatan, dan fu’ad adalah potensi yang harus dikembangkan/dicerdaskan, sehingga produk akhir pembelajaran adalah

Cara kedua yaitu kandungan besi dan bekisting pada masing-masing elemen struktur yang terdapat dalam 1 m 3 beton dikalikan dengan harga satuan pekerjaan

Karakter agromorfologi kualitatif meliputi warna ungu pada batang semu, habitus rimpang, bentuk rimpang, panjang rimpang primer, jumlah rimpang induk, dan warna

Berdasarkan permintaan customer di tahun 2016 dengan model baru Line Yoke Tube IMV pun mengalami kenaikan kapasitas produksi yaitu mencapai 36367 unit, maka dari dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa polimer superabsorben dengan rasio berat inisiator terhadap berat asam akrilat dengan kemampuan

Materi rating dibagi menjadi 11 (sebelas) kategori dengan harapan dapat memberikan potret diri Kadin Provinsi secara menyeluruh baik dari sisi organisasi,

Puji syukur kepada Allah SWT berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul “KINERJA TURBIN ANGIN

Proses migrasi ini memang membutuhkan banyak proses, dari perancangan pembuatan sistem baru, sosialiasi tentang sistem baru, pelatihan terhadap user dan