PADA PERBANYAKAN BENI H PI SANG
(
Musa paradisiaca L.)
DARI BENI H ANAKAN DAN KULTUR JARI NGAN
Oleh
BURHANUDI N RABANI A24052715
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTI KULTURA
FAKULTAS PERTANI AN
BURHANUDIN RABANI.Aplikasi Teknik Toping pada Perbanyakan Benih Pisang (Musa paradisiaca L.) dari Benih Anakan dan Kultur Jaringan. (Dibimbing oleh M. RAHMAD SUHARTANTO dan ENDANG GUNAWAN).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan teknik toping terhadap produksi benih pisang (Musa paradisisca L.) yang berasal dari anakan dan kultur jaringan dan mempelajari konsentrasi zat pengatur tumbuh BA (6–benzil adenine) yang tepat digunakan dalam perbanyakan dengan teknik toping pada tanaman pisang. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Pasca Panen Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika dan di Kebun Pasir Kuda, Unit Kegiatan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika Bogor mulai Maret sampai Mei 2009.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pisang asal anakan (klon pisang tanduk dan pisang mas) dan benih pisang asal kultur jaringan (klon pisang ITC-1 dan ITC-2), serta larutan BA. Bahan lain yang digunakan adalah alkohol 70%, NaOH 0.1 N, aquades, arang sekam, dan pupuk kandang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, neraca analitik, pipet, gelas piala, pengaduk 100 ml, kertas saring, kamera digital, pisau cutter untuk, polibag ukuran 40 cm x 40 cm, polibag ukuran 20 cm x 20 cm, meteran/penggaris, sendok media tanam, batang besi, hand sprayer, dan paranet 75 % pada screen house.
ppm (P3), diulang sebanyak 3 kali.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa aplikasi teknik toping mampu menghasilkan tunas dan benih baru. Persentase jumlah tunas yang tumbuh menjadi benih pada pisang asal anakan klon pisang tanduk dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 50 %, 23.43 %, dan 50 %, pada pisang anakan klon pisang mas dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 76.66 %, 43.75 %, dan 60.71 %. Sedangkan pada pisang asal kultur jaringan klon pisang ITC-1 dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 100 %, 86.95 %, dan 100 %, pada pisang anakan klon pisang ITC-2 dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 89.13 %, 93.75 %, dan dan 97.14 %.
Dari percobaan disimpulkan bahwa teknik toping dapat digunakan untuk memproduksi benih pisang yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan.
Perlakuan pemberian BA pada taraf konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm tidak meningkatkan hasil perbanyakan benih pisang dengan teknik toping pada jenis klon pisang yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan.
PADA PERBANYAKAN BENIH PISANG
(
Musa paradisiaca
L.)
DARI BENIH ANAKAN DAN KULTUR JARINGAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
BURHANUDIN RABANI A24052715
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
Judul : APLIKASI TEKNIK TOPING PADA PERBANYAKAN BENIH PISANG (Musa paradisiaca L.) DARI BENIH ANAKAN DAN KULTUR JARINGAN
Nama : Burhanudin Rabani NRP : A24052715
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi Endang Gunawan, SP, MSi
NIP 19630923 198811 1 001 NIP 19770314 200810 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc NIP. 19611101 198703 1 003
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 09 Februari 1987. Penulis merupakan anak ke sebelas dari sebelas orang bersaudara dari pasangan H. Saiman dan Samiyah.
Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan studi di SDN Curug 02, kemudian melanjutkan studi di SLTP Islam Parung dan lulus pada tahun 2002. Selanjutnya penulis lulus SMAN 1 Parung pada tahun 2005.
Tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB. Pada tahun 2006 Penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
i Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepada penulis begitu
banyak nikmat. Atas nikmat yang telah Allah berikanlah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aplikasi Teknik Toping pada Perbanyakan Benih Pisang (Musa paradisiaca L.) dari Benih Anakan dan Kultur Jaringan” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi. dan Bapak Endang, SP, MSi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan masukan, dukungan, dan semangat, baik selama penelitian maupun dalam penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi dan Endang Gunawan, SP, MSi selaku dosen pembimbing yang telah membantu selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi selaku penguji dalam sidang skripsi. 3. Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi selaku pembimbing akademik, staf
pengajar, dan pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan ajaran dan bimbingan kepada penulis selama studi di IPB.
4. Ayahanda H. Saiman dan Ibunda Samiyah, dan kakak penulis Rodiah, Zaini, Endang, Amanah, Amzah, Ahmad, Nurhayati, Tabroni Alimudin, SPdi, Syahroni, SPd, dan Lina Bayinah, AMd serta seluruh keluarga tercinta yang senantiasa memotivasi dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan studi di IPB.
ii motivasinya kepada penulis.
7. Pak Baisuni dan istri serta mbak fifit atas batuannya dalam penelitian di lapangan dan di laboratorium.
Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat kepada civitas akademika, masyarakat, bangsa, dan agama.
iv
Nomor Halaman
1. Jumlah dan Persentase Keberhasilan Tunas Pisang yang Tumbuh Menjadi Benih Siap Panen pada 1-9 MST ... 17
2. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Teknik pada Benih
Anakan ... 19
3. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Teknik Toping pada Benih
Kultur Jaringan ... 27
4. Pengaruh Jenis Klon Terhadap Jumlah Benih yang Dipanen
pada Pisang Kultur Jaringan ... 30
5. Pengaruh Jenis Klon Terhadap Tinggi Benih yang Dipanen
v
Nomor Halaman
1. Struktur Bonggol Tanaman Pisang Menurut Simonds ... 5
2. Struktur Molekul 6–Benzyl Adenine (BA) ... 8
3. Benih Pisang Tanduk (a) dan Pisang Mas (b) dari Anakan ... 11
4. Benih Pisang ITC-1 (a) dan ITC-2 (b) dari Kultur Jaringan ... 12
5. Kondisi Benih Pisang Tanduk (a) dan Pisang Mas (b) dari Anakan Sebelum Toping ... 13
6. Kondisi Benih Pisang ITC-1 (a) dan Pisang ITC-2 (b) dari Kultur Jaringan Sebelum Toping ... 14
7. Pemangkasan pada Teknik Toping ... 15
8. Penggunaan Batang Besi untuk Mematikan Titik Tumbuh . ... 15
9. Kematian Tunas yang Terjadi pada Benih Pisang Asal Anakan Busuk Akar (a) dan Layu yang Berwarna Hitam (b) . ... 18
10. Pertumbuhan Tunas pada Benih Asal Anakan ... 19
11. Akumulasi Tunas Per Bonggol Klon Pisang Tanduk yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Benih Anakan ... 20
12. Akumulasi Tunas Per Bonggol Klon Pisang Mas yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Benih Anakan ... 21
13. Keragaman Tunas yang Terbentuk Melalui Teknik Toping pada Benih Pisang Asal Anakan Tidak Seragam (a) dan Seragam (b). ... 22
14. Jumlah Benih Per Bonggol Klon Pisang Tanduk yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Benih Anakan ... 23
15. Jumlah Benih Per Bonggol Klon Pisang Mas yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Benih Anakan ... 24
16. Keragaman Tinggi Benih Pisang Hasil Panen yang telah Dipindahkan ke Polibag pada Benih Pisang Asal Anakan ... 25
17. Tinggi Benih Klon Pisang Tanduk yang Dipanen pada Pisang Asal Anakan ... 26
18. Tinggi Benih Klon Pisang Mas yang Dipanen pada Pisang Asal Anakan ... 26
vi 20. Akumulasi Tunas Per Bonggol Pisang ITC-2 yang Dihasilkan Melalui
Teknik Toping pada Pisang Kultur Jaringan ... 28 21. Jumlah Benih Per Bonggol Klon Pisang ITC-1 yang Dihasilkan Melalui
Teknik Toping pada Benih Kultur Jaringan ... 30
22. Jumlah Benih Per Bonggol Klon Pisang ITC-2 yang Dihasilkan Melalui
Teknik Toping pada Benih Kultur Jaringan ... 31
23. Pemanenan Benih (a), Benih yang Telah Dipanen (b), dan Benih yang
Telah Dipindahkan Ke Polibag (c). ... 32 24. Tinggi Benih Klon Pisang ITC-1 yang Dipanen pada Pisang
Kultur Jaringan ... 33 25. Tinggi Benih Klon Pisang ITC-2 yang Dipanen pada Pisang
Kultur Jaringan ... 34 26. Benih Pisang Hasil Panen Setelah Dipindahkan ke Polibag pada
vii
Nomor Halaman
1. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah Tunas yang Muncul di Pembenihan dari Sumber
Benih Anakan ... 37 2. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Tinggi
Benih yang Dipanen pada 7 MST dari Sumber
Benih Anakan ... 37 3. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Tinggi
Benih yang Dipanen pada 8 MST dari Sumber
Benih Anakan ... 37 4. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah
Tunas yang Muncul di Pembenihan dari Sumber
Benih Anakan ... 37 5. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Tinggi
Benih yang Dipanen pada 7 MST dari Sumber
Benih Anakan ... 37 6. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Tinggi
Benih yang Dipanen pada 8 MST dari Sumber
Benih Anakan ... 37 7. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Persentase
Keberhasilan Pembentukan Anakan dari Sumber
Benih Anakan ... 38 8. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah
Benih yang dipanen di Pembenihan dari dari Sumber
Benih Anakan ... 38 9. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Laju
Pembentukan Benih yang dipanen di Pembenihan dari
Sumber Benih Anakan ... 38 10. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah
Tunas yang muncul di Pembenihan dari Sumber
Benih Kultur Jaringan ... 39 11. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah Benih
yang Dipanen dari Sumber Benih
Kultur Jaringan ... 39 12. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Tinggi Benih
yang Dipanen dari Sumber Benih Kultur
viii Tinggi Benih yang Dipanen dari Sumber Benih
Kultur Jaringan pada 7-8 MST ... 40 14. Tabel Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap
Tinggi Benih yang Dipanen dari Sumber Benih
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang merupakan tanaman yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Produksi komoditas pisang di Indonesia cukup tinggi. Pada tahun 2004
produksi pisang Indonesia sebesar 4 874 439 ton, tahun 2005 sebesar 5 177 608
ton, dan tahun 2006 sebesar 5 037 472 ton (Deptan, 2009), sedangkan menurut
Biro Pusat Statistik (2009) pada tahun 2008 produksi pisang Indonesia telah
mencapai 5 741 351 ton. Produksi pisang berada pada posisi tertinggi dari
sejumlah komoditas buah-buahan yang diproduksi di Indonesia.
Konsumsi pisang di Indonesia juga cukup tinggi, pada tahun 2005
konsumsi buah pisang perkapita sebanyak 8.89 kg per tahun. Konsumsi ini lebih
besar dibandingkan dengan konsumsi perkapita jeruk 6.24 kg per tahun dan
pepaya 3.28 kg per tahun (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Nilai ekspor pisang
Indonesia pada tahun 2006 adalah sebesar Rp.15 923 313 840,- (Deptan, 2009).
Nilai ini merupakan jumlah yang besar sebagai pendapatan negara dari komoditas
pisang sehingga pisang merupakan komoditas yang prospek pengembangannya
masih terbuka lebar.
Penelitian tentang komoditas pisang perlu dilakukan dalam upaya
pengembangan komoditas ini. Salah satu aspek yang perlu diteliti adalah aspek
budidaya. Dalam upaya pengembangan pisang perlu didukung oleh ketersediaan
benih yang cukup sehingga dalam hal ini aspek budidaya yang diteliti mengenai
perbanyakan tanaman pisang. Penelitian mengenai perbanyakan tanaman pisang
penting untuk dilakukan karena dalam kegiatan produksi pisang benih merupakan
bagian yang penting dalam menentukan hasil produksi. Menurut Sutopo (2002)
benih bermutu tinggi sangat diperlukan karena merupakan salah satu sarana untuk
menghasilkan tanaman yang berproduksi maksimal. Benih yang bermutu tinggi
memiliki kebenaran varietas, kemurnian benih, daya hidup yang tinggi, dan bebas
dari hama dan penyakit benih sehingga penggunaannya dapat meguntungkan
dibandingkan benih yang bermutu rendah. Dengan demikian ketersediaan benih
Ketersediaan benih pisang bermutu perlu dilakukan dengan teknik
perbanyakan yang tepat. Perbanyakan benih pisang yang dilakukan selama ini
adalah dengan cara perbanyakan vegetatif diantaranya kultur jaringan dan anakan.
Perbanyakan benih pisang dengan kultur jaringan dapat menghasilkan benih yang
banyak dalam waktu singkat. Namun, benih yang berasal dari kultur jaringan
ketika ditanam di lapangan lebih rentan terhadap serangan penyakit dibandingkan
benih yang berasal dari anakan sehingga dapat merugikan ketika terjadi serangan
penyakit.
Selama ini penanaman pisang yang dilakukan petani umumnya
menggunakan benih pisang yang berasal dari anakan. Jika pengembangan
mengandalkan benih yang berasal dari anakan tidak akan terpenuhi, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk memperoleh benih dalam jumlah yang
banyak. Di samping itu, cukup riskan untuk mengambil anakan dalam rumpun
pisang karena dapat mengganggu pertumbuhan tanaman utama, juga dapat
menimbulkan penyakit dari luka akibat pemotongan anakan (Sutanto et al., 2006).
Sebuah solusi dari permasalahan tersebut adalah merangsang jumlah
anakan dari benih yang telah tersedia sehingga dari satu benih mampu
menghasilkan benih yang lebih banyak. Metode yang digunakan adalah dengan
teknik toping. Penelitian ini menggunakan teknik toping yang dimodifikasi khusus
untuk perbanyakan benih pisang sehingga terdapat perbedaan dalam segi tujuan
maupun cara dari teknik toping sebelumnya yang digunakan untuk peremajaan
benih pisang. Teknik toping pada penelitian ini diharapkan mampu menjadi suatu
inovasi dalam perbanyakan benih tanaman pisang yang efisien. Teknik toping
pada penelitian ini adalah teknik perbanyakan benih dengan cara memangkas
benih pisang anakan dan kultur jaringan dan selanjutnya mematikan satu titik
tumbuh utamanya dengan menggunaan bonggol besi yang telah disterilisasi
dengan dicelupkan ke dalam alkohol 70%. Penggunaan metode ini dimaksudkan
agar diperoleh benih pisang yang berkualitas dalam waktu yang lebih cepat karena
tidak perlu menunggu benih ditanam di lapangan sampai tanaman dipanen dan
perbanyakan benih pisang dengan teknik toping menjadi menarik untuk
dilakukan.
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Mempelajari perbanyakan benih pisang yang berasal dari anakan dan kultur
jaringan dengan menggunakan teknik toping.
2. Mempelajari konsentrasi zat pengatur tumbuh BA (6–benzil adenine) yang
tepat digunakan dalam perbanyakan dengan teknik toping pada tanaman
pisang.
Hipotesis
1. Teknik toping dapat digunakan untuk memproduksi benih pisang yang berasal
dari anakan dan kultur jaringan.
2. Zat pengatur tumbuh BA (6–benzil adenine) dapat meningkatkan jumlah
benih yang dihasilkan pada perbanyakan tanaman pisang dengan teknik
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Pisang
Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara
(termasuk Indonesia). Tanaman buah ini kemudian tersebar luas di kawasan
Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Penyebaran
tanaman ini selanjutnya hampir merata di seluruh dunia, yaitu meliputi daerah
tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Teduh
sampai ke Hawai. Selain itu, tanaman pisang tersebar di barat melalui Samudra
Atlantik, Kepulauan Kanari, sampai Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi,
2008).
Berdasarkan taksonominya, tanaman pisang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca (L.)
Menurut Simonds (1970) tanaman pisang memiliki bonggol dengan
struktur seperti pada Gambar 1.
Keterangan :
Sh : Sheaths (pelepah)
S : Sucker (anakan)
Gp : Growing – point and cambium (titik tumbuh dan kambium)
C : Cortex (korteks)
Cc : Central cylinder (silinder pusat)
Ri : Group of four root initials (grup inisial akar)
Plt : Principal leaf trace (daun utama)
Cb : Central bundles (berkas pusat)
Gambar 1. Struktur Bonggol Tanaman Pisang (Simonds, 1970)
Stuktur bonggol tanaman pisang terdiri atas sheaths, sucker, titik tumbuh
dan kambium, korteks, silinder pusat, group of four root initials, group of four
emerged roots, daun utama, dan berkas pusat.
Menurut Anwar (2003) pisang mempunyai kandungan gizi sangat baik,
antara lain menyediakan energi cukup tinggi dibandingkan dengan buah-buahan
lain. Pisang kaya mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium.
Pisang juga mengandung vitamin, yaitu C, B kompleks, B6, dan serotonin yang
aktif sebagai neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak.
Keunggulan lain pisang adalah kandungan energinya merupakan energi
instan, yang mudah tersedia dalam waktu singkat, sehingga bermanfaat dalam
menyediakan kebutuhan kalori sesaat. Karbohidrat pisang merupakan karbohidrat
kompleks tingkat sedang dan tersedia secara bertahap sehingga dapat
menyediakan energi dalam waktu tidak terlalu cepat. Karbohidrat pisang
merupakan cadangan energi yang sangat baik digunakan dan dapat secara cepat
Perbanyakan Benih Pisang
Perbanyakan benih pisang dapat dilakukan dengan mengambil anakan dari
tanaman induk, menggunakan bonggol anakan, benih bit, dan kultur jaringan.
Cara perbanyakan tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Benih pisang dapat diperoleh dari rumpun tanaman pisang. Benih diambil
dengan cara memisahkan anakan dari tanaman induknya. Benih yang diperoleh
dengan cara ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanaman induk dalam
memproduksi anakan. Kelemahan dari cara ini adalah dibutuhkannya waktu lama
untuk menunggu keluarnya anakan dan pemisahan anakan dapat merusak tanaman
induk.
Perbanyakan benih pisang dapat juga dilakukan dengan anakan yang
diperbanyak menjadi benih. Produksi benih dari anakan ini bukan menanam
anakan langsung seperti yang umumnya dilakukan tetapi sumber benihnya berasal
dari anakan pisang dengan tinggi antara 15 cm sampai dengan 40 cm. Keuntungan
dari cara perbanyakan benih dari anakan adalah dari satu anakan pisang dengan
merubah fungsi anakan tersebut menjadi sumber benih baru maka akan dihasilkan
jumlah benih anakan yang jauh lebih banyak. Sedangkan ketertundaan waktu
panen karena beralih fungsinya benih dari anakan menjadi sumber benih, hanya 3
sampai dengan 5 bulan saja (Nasir et al., 2006).
Benih bit dapat juga digunakan dalam perbanyakan benih pisang. Bit
diperoleh dari tanaman dewasa dengan umur sekitar 7 bulan. Tanaman ditebang
kemudian diambil bonggolnya. Bonggol ini yang digunakan sebagai bit yang
dibelah-belah untuk menjadi benih kembali. Kelemahan dari perbanyakan dengan
bit adalah memerlukan bahan tanaman dewasa yang seharusnya akan
menghasilkan buah namun digunakan sebagai bahan perbanyakan.
Teknik yang digunakan dalam produksi benih pisang dalam jumlah
banyak adalah dengan kultur jaringan. Menurut Gunawan (1992) kultur jaringan
adalah suatu metode untuk mengisolasi bahan tanaman seperti sel, kelompok sel,
jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga
bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi
Tujuan dari teknik kultur jaringan adalah menciptakan tanaman baru bebas
penyakit, memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak secara seksual dan
memproduksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu singkat (Katuuk, 1989).
Robinson (1999) menyatakan bahwa perbanyakan pisang dengan kultur
jaringan mempunyai beberapa kelemahan, yaitu biaya yang tinggi, membutuhkan
perawatan ekstra ketika penanaman dan pertumbuhannya, terjadinya variasi
somaklonal, memungkinkan penyebaran virus, dan ketidakstabilan fisik di
lapangan. Selain itu, pada benih pisang kultur jaringan lebih rentan terhadap
serangan penyakit dibandingkan benih yang diperoleh dari anakan.
Teknik toping merupakan teknik yang digunakan untuk perbanyakan
pisang dengan menggunakan bahan perbanyakan berupa benih pisang yang sudah
berbonggol. Benih yang digunakan diharapakan dapat menghasilkan benih yang
berkualitas dalam jumlah yang banyak. Istilah teknik toping diambil dari
penelitian yang dilakukan oleh PKBT. Berdasarkan laporan PKBT (2007) teknik
toping adalah salah satu teknik yang diharapkan mampu menunda penuaan
tanaman melalui mekanisme stimulasi hormon pertumbuhan tunas apikal secara
fisik dengan memotong batang semu benih pisang pada saat umur tertentu pada
ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah dalam polibag. Hasil penelitian itu
menunjukan bahwa benih yang mengalami keterlambatan tanam di pembenihan
sampai dengan umur 8 bulan masih dapat ditanam untuk berproduksi normal
dengan teknik toping. Kemudian teknik toping yang dimaksud pada penelitian ini
adalah teknik perbanyakan benih dengan cara memangkas benih pisang anakan
dan kultur jaringan dan selanjutnya mematikan satu titik tumbuh utamanya untuk
memutuskan dominansi apikal dengan menggunaan bonggol besi yang telah
disterilisasi dengan dicelupkan ke dalam alkohol 70%.
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam jumlah kecil atau konsentasi rendah dapat menimbulkan tanggapan secara
biokimia, fisiologis, dan morfologis. Zat pengatur tumbuh berupa senyawa
Menurut Salisbury dan Ross (1992) sitokinin adalah suatu senyawa kimia
yang terbatas pada turunan 6–substitusi purine (adenin), yang mendorong
pembelahan sel pada sistem jaringan tanaman. Selanjutnya Salisbury dan Ross
(1995) menyatakan sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang fungsi
utamanya adalah memacu pertumbuhan tanaman.
Gunawan (1992) menyatakan sitokinin (kinin) merupakan salah satu
golongan sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah 6–benzyl
aminopurine/ 6–benzyl adenine (BAP/BA). Struktur molekul BA ditunjukkan
pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Molekul 6-Benzyl Adenine. (http://www.jmet.en.alibaba.com)
Peran utama fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel.
Aktivitas sitokinin yang mendorong pembelahan sel menjadi kriteria utama untuk
menggolongkan suatu zat sebagai sitokinin (Wattimena, 1988).
Menurut Palmer dan Smith dalam Avivi dan Parawita (2005), hormon
tumbuh merupakan faktor penting dalam pembentukan umbi. Sitokinin berperan
karena memacu pembelahan sel, menghambat pemanjangan sel, dan memacu
pembesaran sel.
Sitokinin pada umumnya ada secara alami sebagai konjugasi gula dan ion
posfat. Sitokinin alamiah di dalam tanaman adalah zeatin (Gardner, et al., 1985).
digunakan untuk memacu pembentukkan tunas dengan daya aktivitas yang kuat
mendorong proses pembelahan sel.
Ahmed dan Sagar dalam Avivi dan Parawita (2005) menyatakan bahwa
pemberian BA (sitokinin) dan NAA (auksin) melalui daun atau akar dapat menambah
bobot dan jumlah umbi walaupun pemberiannya dilakukan setelah saat inisiasi umbi.
Bhojwani dan Razdan dalam Avivi dan Parawita (2005) menyatakan bahwa
semakin tinggi konsentrasi sitokinin yang ditambahkan pada media kultur, maka
jumlah tunas yang terbentuk semakin bertambah, tetapi masing-masing
pertumbuhan tunasnya terhambat.
Dominansi Apikal
Sitokinin, auksin, dan faktor lainnya berinteraksi dalam mengontrol
dominasi apikal, yaitu suatu kemampuan dari tunas apikal untuk menekan
perkembangan tunas aksilar.
Auksin yang ditransportasikan ke bawah tajuk dari tunas terminal,
secara langsung menghambat pertumbuhan tunas aksilar. Hal ini menyebabkan
tajuk tersebut menjadi memanjang dengan mengorbankan percabangan lateral.
Sitokinin yang masuk dari akar ke dalam sistem tajuk tumbuhan, akan melawan
kerja auksin, dengan mengisyaratkan tunas aksilar untuk mulai tumbuh. Jadi
rasio auksin dan sitokinin merupakan faktor kritis dalam mengontrol
penghambatan tunas aksilar.
Sitokinin merangsang pembelahan sel dan pembentukan tunas adventif,
dan mematahkan dominansi apikal (Piriek, 1987). Menurut Hopkins (1995)
sitokinin cenderung bersifat melawan dominansi apikal dan merangsang
pemunculan mata tunas lateral yang biasanya dormansi akibat pengaruh mata
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2009 di
Kebun Pasir Kuda, Unit Kegiatan Pusat Kajian Buah – Buahan Tropika Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih tanaman pisang
tanduk dan mas dari anakan yang sudah memiliki bonggol dengan tinggi rata-rata
sekitar 25 cm dan umur sekitar 3 bulan (Gambar 3) yang digunakan pada
percobaan 1. Percobaan 2 menggunakan benih tanaman pisang ITC-1 dan ITC-2
hasil perbanyakan dengan kultur jaringan yang sudah berbonggol dengan tinggi
rata-rata sekitar 50 cm dan umur sekitar 2 tahun (Gambar 4). Media tanam yang
digunakan untuk pemindahan benih yang dipanen adalah arang sekam dan pupuk
kandang dengan perbandingan 2:1. Alkohol 70 % digunakan untuk sterilisasi
pisau dan batang besi. Zat pengatur tumbuh sitokinin 6–benzyl adenine (BA)
dalam bentuk serbuk digunakan sebagai bahan perlakuan yang dilarutkan dengan
NaOH 0,1 N dan aquades sehingga menjadi larutan BA yang siap diaplikasikan.
Alat yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu alat
yang digunakan untuk teknik toping yang terdiri dari pisau cutter untuk
memangkas benih pada perlakuan teknik toping, polibag ukuran 40 cm x 40 cm
untuk penyungkupan benih yang telah ditoping, polibag ukuran 20 cm x 20 cm
untuk tempat pemindahan benih hasil panen, meteran/penggaris untuk mengukur
tinggi benih, sendok media tanam untuk pengurangan media tanaman pada
polibag benih sebelum ditoping, batang besi untuk mematikan titik tumbuh benih
pada saat aplikasi teknik toping, paranet 75 % pada screen house. Sedangkan alat
yang digunakan untuk pembuatan larutan BA adalah gelas ukur untuk penentuan
volume larutan BA, neraca analitik untuk menimbang serbuk BA yang dibutuhan,
pipet untuk mengambil NaOH 1N, gelas piala dan pengaduk 100 ml untuk tempat
melarutkan BA, kertas saring untuk menjernihkan aquades, dan kamera digital
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu percobaan 1 dan 2.
Percobaan 1 menggunakan benih pisang dari anakan sedangkan percobaan 2
menggunakan benih pisang dari kultur jaringan.
Rancangan Percobaan 1
Percobaan disusun secara faktorial dengan menggunakan rancangan
kelompok lengkap teracak (RKLT) dua faktor, yaitu klon benih pisang anakan dan
konsentrasi BA. Klon benih pisang anakan terdiri dari dua jenis, yaitu klon pisang
tanduk (B1) dan klon pisang mas (B2). Perlakuan konsentrasi BA terdiri dari tiga
taraf, yaitu 0 ppm (P1), 25 ppm (P2), dan 50 ppm (P3), sehingga pada percobaan
1 terdapat 6 kombinasi perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3
kali. Dengan demikian terdapat 18 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan
terdiri dari 5 polibag benih pisang, sehingga benih pisang yang di-toping adalah
90 benih.
(a) (b)
Gambar 3. Benih Pisang Tanduk (a) dan Pisang Mas (b) dari Anakan
Persamaan umum statistik untuk rancangan ini adalah :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan taraf ke-i, perlakuan konsentrasi BA
µ = Nilai rata-rata umum
αi = Pengaruh klon sumber bonggol ke-i
ßj = Pengaruh konsentrasi BA ke-j
(αß)ij = Pengaruh interaksi klon sumber bonggol ke-i dan konsentrasi BA ke-j
εijk = Galat Percobaan
i = (1, 2)
j = (1, 2, 3)
k = (1, 2, 3)
Rancangan Percobaan 2
Percobaan disusun secara faktorial dengan menggunakan rancangan
kelompok lengkap teracak (RKLT) dua faktor, yaitu klon benih pisang kultur
jaringan dan konsentrasi BA. Klon sumber bonggol terdiri dari dua jenis pisang,
yaitu klon ITC-1 (A1) dan klon pisang ITC-2 (A2). Perlakuan konsentrasi BA
terdiri dari 3 jenis yaitu, 0 ppm (P1), 25 ppm (P2), dan 50 ppm (P3), sehingga
pada percobaan 1 terdapat 6 kombinasi perlakuan. Masing-masing perlakuan
diulang sebanyak 3 kali. Dengan demikian terdapat 18 satuan percobaan dan
setiap satuan percobaan terdiri dari 5 polibag benih pisang, sehingga benih pisang
yang di-toping adalah 90 benih.
(a) (b)
Gambar 4. Benih Pisang ITC-1 (a) dan Pisang ITC-2 (b) dari Kultur Jaringan
Persamaan umum statistik untuk rancangan ini adalah :
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan taraf ke-i, perlakuan konsentrasi BA
ke-j dan ulangan ke-k
µ = Nilai rata-rata umum
αi = Pengaruh klon benih pisang ke-i
ßj = Pengaruh konsentrasi BA ke-j
(αß)ij = Pengaruh interaksi klon benih pisang ke-i dan konsentrasi
BA ke-jεijk = Galat Percobaan
i = (1, 2)
j = (1, 2, 3)
k = (1, 2, 3)
Analisis ragam dilakukan dengan menggunakan uji F, yaitu untuk
mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan. Apabila menunjukkan perbedaan
nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range
Test (DMRT) pada taraf 5 %.
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Benih
(a) (b)
Gambar 5. Kondisi Benih Pisang Tanduk (a) dan Pisang Mas (b) dari Anakan Sebelum Toping.
Benih yang digunakan berasal dari benih pisang anakan (Gambar 5) dan
kultur jaringan (Gambar 6). Benih pisang diperoleh dari hasil perbanyakan yang
telah dilakukan sebelumnya di kebun PKBT Tajur. Benih yang berasal dari PKBT
(a) (b)
Gambar 6. Kondisi Benih Pisang ITC-1 (a) dan Pisang ITC-2 (b) dari Anakan Sebelum Perlakuan Toping
Pembuatan Larutan BA
Pembuatan Larutan BA dilakukan di laboratorium pasca panen PKBT
Bogor. Total kebutuhan BA yang diperlukan adalah sebanyak 360 mg. Total
larutan yang dibuat digunakan untuk 8 kali aplikasi.
Larutan BA yang dibuat terdiri dari 3 jenis konsentrasi, yaitu 0 ppm, 25
ppm, dan 50 ppm. Pembuatan larutan BA dengan konsentrasi 0 ppm dilakukan
tanpa penambahan serbuk BA. Sedangkan pembuatan larutan BA dengan
konsentrasi 25 ppm dan 50 ppm dilakukan dengan penambahan masing-masing
sebesar 30 mg dan 60 mg untuk pembuatan masing-masing sebanyak 1 200 ml.
Setelah larutan dibuat maka kemudian disimpan dalam botol pada lemari es dan
baru dibuka kembali ketika diaplikasikan pada bonggol benih.
Teknik Toping
Teknik toping adalah teknik perbanyakan benih dengan cara memangkas
benih pisang anakan dan kultur jaringan dan selanjutnya mematikan titik tumbuh.
Benih pisang dipangkas pada bagian antara batang semu dan bonggol dengan
menggunakan pisau cutter yang steril (Gambar 7). Titik tumbuh dimatikan dengan
cara ditusuk dengan batang besi yang telah disterilisasi dengan dicelupkan pada
alkohol 70 % sehingga tunas tidak tumbuh kembali pada bagian tersebut
(Gambar 8), sedangkan untuk menyediakan tempat pertumbuhan tunas baru
Pengurangan media tanam dilakukan pada media yang berada dekat
dengan bonggol sampai dengan jarak sekitar 10 cm dari bonggol. Media yang
berada pada dinding polibag dengan ketebalan sekitar 2 cm dibiarkan.
Pembuangan media dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak perakaran dan
bonggol. Media tanam yang tersisa dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan hara
dan air bagi bonggol dan pertumbuhan tunas baru.
(a) (b) (c)
Gambar 7. Pemangkasan pada Teknik Toping
Keterangan : Benih Pisang yang Akan Dipangkas (a), Pemangkasan Benih (b), dan Benih Pisang yang Telah Dipangkas (c).
(a) (b) (c)
Gambar 8. Penggunaan Batang Besi untuk Mematikan Titik Tumbuh
Penyungkupan Benih dengan Polibag
Penyungkupan dilakukan pada 1-5 MST. Benih yang telah ditoping dan
diberi perlakuan BA selanjutnya ditutup dengan polibag yang berukuran 40 cm x
40 cm. Penyungkupan dimaksudkan agar menyediakan kondisi pertumbuhan yang
sesuai bagi tunas dan akar baru.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap minggu selama penelitian, dimulai pada
1 MST dan berakhir pada 9 MST. Variabel pengamatan penelitian ini adalah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Penggunaan teknik toping telah memperlihatkan pertumbuhan pada satu
minggu setelah toping (MST), ditandai dengan munculnya tunas, terbentuknya
benih, dan bertambah tingginya ukuran benih sehingga dapat dilakukan panen
benih pada benih pisang anakan yaitu klon pisang tanduk dan klon pisang mas dan
pada benih kultur jaringan yaitu klon pisang ITC-1 dan ITC-2.
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Keberhasilan Tunas Pisang yang Hidup Menjadi Benih Siap Panen pada 1-9 MST.
Jenis Benih Konsentrasi BA (ppm)
Keberhasilan tunas pisang yang tumbuh menjadi benih siap panen
ditunjukkan pada Tabel 1. Persentase jumlah tunas yang tumbuh menjadi benih
pada pisang asal anakan klon pisang tanduk dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm,
dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 50 %, 23.43 %, dan 50 %, pada pisang
anakan klon pisang mas dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara
berturut-turut adalah 76.66 %, 43.75 %, dan 60.71 %. Sedangkan pada pisang
asal kultur jaringan klon pisang ITC-1 dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan
anakan klon pisang ITC-2 dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm
secara berturut-turut adalah 89.13 %, 93.75 %, dan dan 97.14 %.
Persentase kematian tunas yang terjadi pada periode 1-5 MST adalah
2.06 % pada percobaan 1 dan 3.50 % pada percobaan 2. Kematian pada tunas
tersebut diduga terjadi karena terlalu basahnya bonggol dan serangan penyakit
busuk akar. Tunas yang mati ditandai oleh warna hitam pada tunas dan layu serta
tunas yang basah dan membusuk (Gambar 9).
(a) (b)
Gambar 9. Kematian Tunas yang Terjadi pada Benih Pisang Asal Anakan Busuk Akar (a) dan Layu yang Berwarna Hitam (b).
Selain tunas yang mati juga terdapat tunas yang belum tumbuh menjadi
benih. Tunas yang belum tumbuh menjadi benih menyebabkan jumlah benih yang
dipanen lebih sedikit dibandingkan dengan tunas potensial yang muncul. Tunas
yang belum tumbuh menjadi benih diduga terjadi karena persaingan dengan tunas
lain dalam pertumbuhannya. Pertumbuhan tunas yang terbentuk lebih awal lebih
cepat dan mendominasi pertumbuhan sedangkan tunas yang baru lebih lambat
pertumbuhannya karena persaingan (Gambar 10).
Persaingan yang terjadi antar tunas yang tumbuh pada bonggol yang sama
mungkin bisa diatasi dengan pemberian nutrisi tambahan pada bonggol saat masa
pertumbuhan tunas. Perlakuan penambahan pupuk mungkin bisa dilakukan untuk
diteliti lebih lanjut. Selain itu, teknik panen yang baik juga perlu diteliti lebih
lanjut untuk mengatasi permasalahan ketika panen dilakukan. Teknik panen yang
mungkin bisa dilakukan adalah dengan pemisahan tunas-tunas yang bergerombol
pertumbuhan tunas menjadi benih siap panen. Media yang digunakan misalnya
campuran antara arang sekam dan pupuk kandang. Penggunaan teknik panen yang
tepat diharapakan dapat mengurangi permasalahan berkurangnya jumlah benih
yang dapat dipanen akibat rusaknya tunas ketika panen dilakukan.
Gambar 10. Pertumbuhan Tunas pada Benih Pisang Asal Anakan
Keterangan : Tunas yang Cepat Pertumbuhannya (a) dan Tunas yang Lambat Pertumbuhanya (b)
Teknik Toping Pada Benih Anakan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi jenis klon dan BA
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, jumlah benih, dan tinggi benih.
Klon tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, jumlah benih, dan tinggi
benih. Begitu juga BA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, jumlah
benih, dan tinggi benih (Tabel 2).
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Teknik Toping pada Benih Anakan.
Peubah MST Perlakuan
Jenis Klon Konsentrasi BA Jenis Klon * BA
Jumlah Tunas 1-5 tn tn tn
Jumlah Benih 1-9 tn tn tn
Tinggi Benih 7 tn tn tn
8 tn tn tn
Keterangan :
tn = tidak nyata MST = minggu setelah toping
Jumlah Tunas
Gambar 11 menunjukkan akumulasi tunas pisang tanduk selama periode
1-5 MST. Diketahui bahwa rata-rata pada 5 MST dari setiap benih klon pisang
tanduk dengan pemberian BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berurut-turut
terbentuk 2.73 tunas, 5.26 tunas, dan 2.06 tunas.
Akumulasi tunas klon pisang tanduk perpolibag yang terbentuk pada
perlakuan BA 0 ppm dan 25 ppm mencapai nilai tertinggi pada saat 4 MST yaitu
2.73 tunas dan 5.33 tunas. Sedangkan pada perlakuan BA 50 ppm nilai tertinggi
terjadi pada 5 MST yaitu 2.40 tunas.
Gambar 12 menunjukkan akumulasi tunas pisang mas selama periode
1-5 MST. Diketahui bahwa rata-rata pada 5 MST dari setiap benih klon pisang
mas dengan pemberian BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berurut-turut
terbentuk 2.73 tunas, 1.93 tunas, dan 1.60 tunas.
Akumulasi tunas potensial klon pisang mas perpolibag yang dihasilkan
oleh perlakuan BA 0 ppm mencapai nilai tertinggi pada saat 3 MST yaitu 2.26
tunas. Sedangkan pada perlakuan BA 25 ppm dan 50 ppm mencapai nilai tertinggi
pada saat 4 MST yaitu 2.00 tunas dan 1.73 tunas.
Gambar 12. Akumulasi Tunas Per Bonggol Klon Pisang Mas yang Terbentuk Melalui Teknik Toping pada Benih Pisang Asal Anakan.
Tunas yang muncul setelah aplikasi teknik toping merupakan tunas aksilar
yang tumbuh pada bonggol. Tunas aksilar muncul disebabkan oleh perlakuan
pematian titik tumbuh utama yang merupakan titik tumbuh tunas apikal. Pematian
titik tumbuh ini memutuskan dominansi apikal sehingga terjadi pertumbuhan
tunas lateral pada bonggol.
Sitokinin merangsang pembelahan sel dan pembentukan tunas adventif,
dan mematahkan dominansi apikal (Pierik, 1987). Menurut Hopkins (1995)
sitokinin cenderung bersifat melawan dominansi apikal dan merangsang
pemunculan mata tunas lateral yang biasanya dormansi akibat pengaruh mata
tunas apikal.
Tujuan dari pemberian sitokinin (BA) pada bonggol dimaksudkan untuk
meningkatkan jumlah tunas lateral yang muncul pada bonggol. Namun, pemberian
BA pada konsentrasi 0 ppm, 25 ppm dan 50 ppm yang diaplikasikan dengan
penyemprotan pada bonggol pisang tidak menunjukan pengaruh terhadap jumlah
tunas lateral yang muncul pada bonggol pisang asal anakan. Hal ini menunjukan
bahwa pemberian BA pada konsentrasi 0-50 ppm tidak berpengaruh terhadap
Selain itu, aplikasi BA dengan penyemprotan pada bonggol pisang diduga
juga menjadi penyebab kurangnya respon bonggol terhadap pemberian BA. BA
yang disemprotkan pada permukaan bonggol diduga tidak terserap baik oleh
bonggol untuk memutus dormansi tunas lateral. Akibat dari tidak optimalnya
penyerapan BA ini diduga menjadi penyebab beberapa tunas lateral yang masih
dorman. Dengan demikian perlu ditemukan suatu teknik aplikasi BA yang
memungkinkan penyerapan BA yang optimum oleh bonggol pisang.
Teknik toping pada beberapa bonggol pisang asal anakan menunjukan
jumlah tunas yang sangat banyak yaitu mencapai 17 tunas per bonggol.
Tunas-tunas lateral pada bonggol tersebut diduga muncul karena bonggol mampu
menyerap BA dengan optimum. Namun, ini terjadi hanya pada beberapa bonggol
pisang asal anakan saja dan sebagian besar bonggol pisang asal anakan tidak
menghasilkan tunas sebanyak ini.
Gambar 13 menunjukkan tunas yang mucul pada bonggol pisang. Tunas
yang muncul pada bonggol ada yang seragam dan ada juga yang tidak seragam.
Terdapat bonggol seperti Gambar 13a yang menghasilkan tunas potensial sangat
banyak mencapai 15 tunas yang sangat rapat. Tunas tersebut merupakan tunas
potensial untuk menjadi benih siap panen. Namun, pada penelitian ini belum
ditemukan metode panen untuk memanen tunas yang sangat banyak tersebut,
sehingga ketika dilakukan panen terhadap satu benih maka benih yang belum siap
panen terbawa ataupun rusak akibat luka pada saat pemanenan. Tunas yang sangat
banyak ini perlu penanganan panen dengan metode khusus.
(a) (b)
Sebagian tunas yang muncul sudah tumbuh menjadi benih yang siap
dipanen dan sebagian lagi belum siap panen dan ada juga yang mati. Perhitungan
jumlah benih yang dihasilkan dilakukan berdasarkan jumlah tunas yang mampu
tumbuh menjadi benih yang siap dipanen.
Jumlah Benih yang Dihasilkan
Panen benih klon pisang tanduk baru bisa dilakukan pada saat 7 MST.
Gambar 14 menunjukkan jumlah benih per bonggol dari klon pisang tanduk yang
dipanen. Akumulasi rata-rata dari setiap benih klon pisang tanduk yang dihasilkan
pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm pada 7-8 MST secara
berturut-turut adalah 1.39 benih, 0.99 benih, dan 1.06 benih. Benih yang dipanen selama
periode 0-8 MST pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara
berturut-turut adalah 21 benih, 15 benih, dan 16 benih.
Gambar 14. Jumlah Benih Per Bonggol Klon Pisang Tanduk yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Benih Pisang Asal Anakan.
Benih klon pisang mas dipanen setelah mencapai umur 7 MST. Gambar 15
menunjukkan jumlah benih per bonggol dari klon pisang mas yang dihasilkan.
Diketahui bahwa akumulasi rata-rata dari setiap benih klon pisang mas pada
perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm pada 7-8 MST secara berturut-turut
0-8 MST pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut
adalah 23 benih, 14 benih, dan 17 benih
Gambar 15. Jumlah Benih Per Bonggol Klon Pisang Mas yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Benih Pisang Asal Anakan
.
Tinggi Benih yang Dipanen
Gambar 16 menunjukkan benih yang telah dipanen. Benih yang siap
dipanen ditanam kembali dipolibag dengan media tanam arang sekam dan pupuk
kandang dengan perbandingan 2:1. Benih yang dipanen memiliki tinggi yang
tidak seragam. Ketidakseragaman tinggi benih diduga karena pertumbuhan benih
dipengaruhi oleh persaingan yang terjadi antar benih dalam bonggol yang sama.
Pengukuran tinggi benih pisang dilakukan pada saat pemanenan dilakukan
yang merupakan fase vegetatif. Menurut Haryadi (1996) terdapat tiga proses
penting pada fase ini yaitu pembelahan sel, perpanjangan sel, dan tahap awal dari
diferensiasi sel. Pada saat tahapan-tahapan ini berlangsung tanaman memerlukan
karbohidarat dalam jumlah besar untuk menunjangnya. Pada saat tanaman telah
mampu membentuk karbohidrat melalui fotosintesis dengan baik maka
pembelahan dan pemanjangan sel berjalan dengan cepat. Apabila laju pembelahan
dan pemanjangan sel berjalan dengan cepat maka pertumbuhan batang, daun dan
akar juga semakin cepat.
Gambar 16. Keragaman Tinggi Benih Pisang Hasil Panen yang telah Dipindahkan ke Polibag pada Benih Pisang Asal Anakan.
Tinggi benih diukur pada saat panen dilakukan dengan menggunakan
penggaris. Setelah diukur kemudian benih dipanen dengan pisau cutter yang steril
untuk menghindari organisme pengganggu tanaman yang mungkin masuk pada
saat panen dilakukan.
Gambar 17 menunjukkan tinggi benih pisang tanduk yang dipanen pada
periode 7 dan 8 MST. Diketahui bahwa tinggi benih rata-rata selama periode
7-8 MST pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut
adalah 6.66 cm, 5.56 cm, dan 5.16 cm.
Gambar 18 menunjukkan tinggi benih pisang mas yang dipanen pada
periode 7 dan 8 MST. Diketahui bahwa tinggi benih rata-rata selama periode
7-8 MST pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut
Gambar 17. Tinggi Benih Klon Pisang Tanduk yang Dipanen pada Benih Pisang Asal Anakan.
Gambar 18. Tinggi Benih Klon Pisang Mas yang Dipanen pada Benih Pisang Asal Anakan.
Teknik Toping Pada Benih Kultur Jaringan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh tunggal maupun
interaksi antara jenis klon dan BA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas
nyata terhadap terhadap tinggi benih yang dipanen 5-6 MST, dan jenis klon
berpengaruh nyata terhadap jumlah benih yang dipanen 1-9 MST, dan tinggi
benih yang dipanen 7-8 MST (Tabel 3).
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Teknik Toping pada Benih Pisang Asal Kultur Jaringan.
Peubah MST Perlakuan
Jenis klon Konsentrasi BA Klon * BA
MST = minggu setelah toping
Jumlah Tunas
Gambar 19 menunjukkan akumulasi tunas pisang ITC-1 selama periode
1-5 MST. Diketahui bahwa rata-rata pada 5 MST dari setiap benih dengan
pemberian BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berurut-turut terbentuk 2.26
tunas, 1.61 tunas, dan 1.86 tunas.
Akumulasi tunas klon pisang ITC-1 perpolibag yang dihasilkan oleh
perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm mencapai nilai tertinggi pada saat
3 MST, yaitu secara berturut-turut 2.26 tunas, 1.83 tunas, dan 1.86 tunas.
Akumulasi jumlah tunas mengalami penurunan pada pengamatan selanjutnya
karena adanya tunas yang mati.
Gambar 20 menunjukkan akumulasi tunas pisang ITC-2 selama periode
1-5 MST. Diketahui bahwa rata-rata pada 5 MST dari setiap benih dengan
pemberian BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berurut-turut terbentuk 3.06
Gambar 19. Akumulasi Tunas Per Bonggol Pisang ITC-1 yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Pisang Kultur Jaringan.
Akumulasi tunas klon pisang ITC-2 perpolibag yang dihasilkan oleh
perlakuan BA 0 ppm dan 25 ppm, dan 50 ppm mencapai nilai tertinggi pada saat
3 MST secara berturut-turut yaitu 3.13 tunas, 2.46 tunas, dan 2.33 tunas.
Akumulasi jumlah tunas mengalami penurunan pada pengamatan selanjutnya
karena adanya tunas yang mati.
Gambar 20. Akumulasi Tunas Per bonggol Pisang ITC-2 yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Pisang Kultur Jaringan.
1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
Menurut Salisbury dan Ross (1995) nisbah sitokinin : auksin berperan
penting dalam mengendalikan dominansi apikal ; nisbah yang tinggi mendorong
perkembangan tunas lateral dan nisbah yang rendah mendorong dominansi apikal.
Efek morfologi yang paling jelas akibat sitokinin yang tinggi adalah
berkembangnya sejumlah besar tunas lateral.
Tujuan dari pemberian sitokinin (BA) pada bonggol dimaksudkan untuk
meningkatkan jumlah tunas lateral yang muncul pada bonggol. Namun, pemberian
BA pada konsentrasi 0 ppm, 25 ppm dan 50 ppm yang diaplikasikan dengan
penyemprotan pada bonggol pisang asal kultur jaringan tidak menunjukan
pengaruh nyata terhadap jumlah tunas lateral yang muncul pada bonggol pisang
asal anakan. Hal ini menunjukan bahwa pemberian BA pada konsentrasi 0-50
ppm tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas lateral yang muncul pada
bonggol.
Selain itu, aplikasi BA dengan penyemprotan pada bonggol pisang diduga
juga menjadi penyebab kurangnya respon bonggol terhadap pemberian BA. BA
yang disemprotkan pada permukaan bonggol diduga tidak terserap baik oleh
bonggol untuk memutus dormansi tunas lateral. Akibat dari tidak optimalnya
penyerapan BA ini diduga menjadi penyebab beberapa tunas lateral yang masih
dorman. Dengan demikian perlu ditemukan suatu teknik aplikasi BA yang
memungkinkan penyerapan BA yang optimum oleh bonggol pisang.
Jumlah Benih yang Dihasilkan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis klon berpengaruh nyata
terhadap jumlah benih yang dipanen pada 5-9 MST (Tabel Lampiran 8). Uji lanjut
dengan DMRT menunjukkan bahwa klon pisang ITC-1 berbeda nyata dengan
klon pisang ITC-2. Klon pisang ITC-2 menghasilkan benih yang lebih banyak,
yaitu 2.33 benih, sedangkan Klon pisang ITC-1 hanya menghasilkan 1.75 benih
Tabel 4. Pengaruh Jenis Klon Terhadap Jumlah Benih yang Dipanen pada Pisang Kultur Jaringan.
Jenis Klon Jumlah Panen
ITC-1 (A1) 1.75 b
ITC-2 (A2) 2.33 a
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Panen benih klon pisang ITC-1 mulai dilakukan pada saat 5 MST.
Gambar 21 menunjukkan jumlah benih per bonggol dari klon pisang ITC-1 yang
dihasilkan. Diketahui bahwa akumulasi rata-rata dari setiap benih klon pisang
ITC-1 yang dihasilkan pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm pada
5-9 MST secara berturut-turut adalah 2.28 benih, 1.42 benih, dan 2.00 benih.
Benih yang dipanen selama periode 0-9 MST pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm,
dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 32 benih, 20 benih, dan 28 benih.
Gambar 21. Jumlah Benih Per Bonggol Klon Pisang ITC-1 yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Benih Kultur Jaringan.
Jumlah benih per bonggol yang dihasilkan dari klon pisang ITC-1 terlihat
pada Gambar 21. Diketahui bahwa akumulasi rata-rata dari setiap benih klon
6 MST
pisang ITC-1 yang dihasilkan pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm
pada 5-9 MST secara berturut-turut adalah 2.26 benih, 1.41 benih, dan 1.99 benih.
Total benih yang dihasilkan selama periode 0-9 MST dari semua taraf konsentrasi
BA dari 45 bonggol benih pisang ITC-1 adalah 80 benih.
Gambar 21 juga memperlihatkan pada 6 MST tidak ada benih yang dapat
dipanen karena sudah terlebih dahulu habis dipanen pada 5 MST. Pemanen benih
pisang ITC-1 dapat dilakukan pada 5 MST maupun 7 MST. Sedangkan pada
6 MST, 8 MST, dan 9 MST jumlah benih pisang yang dipanen sangat sedikit
sehingga kurang tepat untuk menjadi waktu panen benih pisang ITC-1.
Gambar 22. Jumlah Benih Per Bonggol Klon Pisang ITC-2 yang Dihasilkan Melalui Teknik Toping pada Benih Kultur Jaringan.
Jumlah benih per bonggol yang dihasilkan dari klon pisang ITC-2 terlihat
pada Gambar 22. Diketahui bahwa akumulasi rata-rata dari setiap benih klon
pisang ITC-2 yang dihasilkan pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm
pada 5-9 MST secara berturut-turut adalah 2.73 benih, 2.00 benih, dan 2.27 benih.
Total benih yang dihasilkan selama periode 0-9 MST dari semua taraf konsentrasi
BA dari 45 bonggol benih pisang ITC-1 adalah 105 benih.
(a) (b) (c)
Gambar 23. Pemanenan Benih (a), Benih yang Telah Dipanen (b), dan Benih yang Telah Dipindahkan Ke Polibag (c).
Gambar 23 memperlihatkan kegiatan panen dan hasil panen benih. Benih
yang sudah layak panen adalah yang telah memiliki akar dan daun minimal 2 buah
daun. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan pisau yang telah disterilisasi
dengan alkohol 70%, dan dengan menyertakan bagian bonggol. Kemudian setelah
dipanen maka benih dipindahkan ke polibag lain untuk pembenihan selanjutnya.
Tinggi Benih yang Dipanen
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis klon berpengaruh sangat
nyata terhadap tinggi benih yang dipanen 5-6 MST dan berpengaruh nyata
terhadap benih yang dipanen 7-8 MST. Uji lanjut dengan DMRT menunjukkan
bahwa klon pisang ITC-1 berbeda nyata dengan klon pisang ITC-2. Klon pisang
ITC-1 menghasilkan benih yang lebih tinggi pada 5-6 MST, yaitu 4.89 cm
perbenih. Sedangkan pada 7-8 MST klon pisang ITC-1 berbeda nyata dengan klon
pisang ITC-2. Klon pisang ITC-2 menghasilkan benih yang lebih tinggi yaitu
Tabel 5. Pengaruh Jenis Klon Terhadap Tinggi Benih yang Dipanen pada Pisang
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Data ditransformasi dengan
Gambar 24 menunjukkan tinggi benih pisang ITC-1 yang dipanen pada
periode 5-9 MST. Diketahui bahwa tinggi benih rata-rata selama periode 5-9 MST
pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah
10.93 cm, 10.07 cm, dan 10.38 cm.
Gambar 25 menunjukkan tinggi benih pisang klon ITC-2 yang dipanen
pada periode 5-9 MST. Diketahui bahwa tinggi benih rata-rata selama periode 5-9
MST pada perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah
9.40 cm, 10.60 cm, dan 11.28 cm.
Gambar 24. Tinggi Benih Klon Pisang ITC-1 yang Dipanen pada Pisang Kultur Jaringan.
Gambar 25. Tinggi Benih Klon Pisang ITC-2 yang Dipanen pada Pisang Kultur Jaringan.
Gambar 26 menunjukkan benih yang telah dipanen. Benih yang telah
dipanen ditanam kembali dipolibag dengan media tanam arang sekam dan pupuk
kandang dengan perbandingan 2:1. Benih yang dipanen memiliki tinggi yang
tidak seragam.
Gambar 26. Benih-Benih Pisang Hasil Produksi dengan Teknik Toping dari Bahan Benih Kultur Jaringan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Benih yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan dapat digunakan
pada teknik toping sampai menghasilkan benih baru. Dengan demikian teknik
toping dapat digunakan untuk memproduksi benih pisang yang berasal dari
anakan maupun kultur jaringan.
Perlakuan pemberian BA pada taraf konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm
tidak meningkatkan hasil perbanyakan benih pisang dengan teknik toping pada
jenis klon pisang yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan.
Rata-rata jumlah tunas potensial yang muncul adalah sebanyak 3.06 tunas
per bonggol pisang tanduk, 2 tunas per bonggol pisang mas, 1.84 tunas per
bonggol pisang ITC-1, dan 2.51 tunas per bonggol pisang ITC-2.
Sedangkan rata-rata jumlah benih pisang yang dihasilkan melalui teknik
toping adalah 1.15 benih per bonggol pisang tanduk, 1.2 benih per bonggol pisang
mas, 1.78 benih per bonggol pisang ITC-1, dan 2.23 benih per bonggol pisang
ITC-2.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut tentang teknik pemanenan benih yang tepat,
dan penelitian tentang pertumbuhan maupun perkembangan benih yang dihasilkan
DAFTAR PUSTAKA
Alibaba. 2009. 6–Benzyl Adenine. http://www.jmet.en.alibaba.com [14 September 2009].
Amalia, N. Nova K., Nursalam. 2004. Pengaruh BA (Benzyl Adenine), ABA (Absidic Acid), dan Manitol Terhadap Pertumbuhan dan Penyimpanan Tunas Sambang Colok (Aerva sanguinolenta) Secara In Vitro. Buletin Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 15(2) 50-59.
Anwar, Faisal. 2003. Tips : Pisang Membuat Otak Seagar. http//www.depkes.go.id. [28 September 2009]
Armini, N. M., G. A. Wattimena, dan L. W. Gunawan. 1991. Perbanyakan tanaman, hal. 17-149. Dalam G. A. Wattimena (Ed). Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Avivi, S., dan Parawita Dewanti. 2005. Teknologi Produksi Benih Melon (Cucumis melo L.) dengan Teknik In-Vitro. Jurnal Ilmu Dasar. 6(1) 33-40.
BPS. 2009. Produksi Buah di Indonesia. http//www.bps.go.id. [10 September 2009]
Deptan. 2009. Produksi Buah-Buahan Indonesia. http//www.deptan.go.id. [10 September 2009].
Gardner, F. F., Brent P., and Roger L. M. 1985. Physiology of Crop Plants. UI Press. Jakarta. 426 p.
Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 165 hal.
Harjadi, S. S. 1998. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 197 hal.
Hopkins, W. G. 1995. Introduction to Plant Physiology. John Wiley and Sons, Inc.
Katuuk, J. R. P. 1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta. 189 hal.
PKBT. 2007. Laporan Akhir Riset Unggulan Strategis Nasional : Pengembangan Buah-Buahan Unggulan Indonesia. Kerjasama Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika. Bogor : Lembaga Penelitian IPB, Bogor.
Nasir, N., Prisdiminggo, M. Nazam. 2006. Teknologi pengadaan benih pisang sehat secara cepat, sederhana dan bermikoriza untuk lahan marginal. http://www.ntb.litbang.deptan.go.id. [23 Januari 2008].
Nurchasanah. 2009. Mudah Lupa? Cukup Dua Pisang Sehari. http://www.depkes.go.id [28 September 2009].
Robinson, J. C. 1999. Crop Production Science in Horticulture : Bananas and Plantains. CABI Publishing. Cambrige.
Salisbury, F. B. dan Cleon W.Ross. 1992. Plant Physiology III. 4th edition. Wads Worth Pub.Inc. 343 p.
Salisbury, F. B. dan Cleon W.Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan (Jilid 3). ITB. Bandung. 343 hal.
Simonds, N. W. 1970. Bananas. Longman. London. 512 p.
Sutanto,A., Tri R. E., Awaludin H. 2006. Pengaruh media terhadap pertumbuhan benih pisang susu asal bonggol di Sambelia, Lombok Timur NTB. http://www.ntb.litbang.deptan.go.id. [23 Januari 2008].
Sutopo, Lita. 2002.Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 238 hal.
Suyanti dan A. Supriyadi. 2008. Pisang : Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta. 132 hal.
Tabel Lampiran 1. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah Tunas yang Muncul di Pembenihan dari Sumber Benih Anakan.
Tabel Lampiran 2. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Tinggi Benih yang Dipanen pada 7 MST dari Sumber Benih Anakan.
Keterangan : Tabel lampiran 2 merupakan hasil transformasi dengan
Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Tinggi Benih yang Dipanen pada 8 MST dari Sumber Benih Anakan.
Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Persentase Keberhasilan Pembentukan Anakan dari Sumber Benih Anakan.
Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah Benih yang dipanen di Pembenihan dari dari Sumber Benih Anakan.
2 0.0149 0.0074 0.03 0.9740 tn
Galat 10 2.8312 0.2831
Total 17 3.5610
KK = 21.38%
Keterangan : Tabel lampiran 5 merupakan hasil transformasi dengan
Tabel Lampiran 6. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Laju Pembentukan Benih yang dipanen di Pembenihan dari Sumber Benih Anakan.
Tabel Lampiran 7. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah Tunas yang muncul di Pembenihan dari Sumber Benih Kultur Jaringan.
Tabel Lampiran 8. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Jumlah Benih yang Dipanen dari Sumber Benih Kultur Jaringan.
Pengamatan Sumber db JK KT F-Hit Pr>F
Tabel Lampiran 10. Sidik Ragam Pengaruh Klon dan BA Terhadap Tinggi Benih yang Dipanen dari Sumber Benih Kultur Jaringan pada 7-8 MST.
Keterangan : Tabel lampiran 10 merupakan hasil transformasi dengan
PADA PERBANYAKAN BENI H PI SANG
(
Musa paradisiaca L.)
DARI BENI H ANAKAN DAN KULTUR JARI NGAN
Oleh
BURHANUDI N RABANI A24052715
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTI KULTURA
FAKULTAS PERTANI AN
BURHANUDIN RABANI.Aplikasi Teknik Toping pada Perbanyakan Benih Pisang (Musa paradisiaca L.) dari Benih Anakan dan Kultur Jaringan. (Dibimbing oleh M. RAHMAD SUHARTANTO dan ENDANG GUNAWAN).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan teknik toping terhadap produksi benih pisang (Musa paradisisca L.) yang berasal dari anakan dan kultur jaringan dan mempelajari konsentrasi zat pengatur tumbuh BA (6–benzil adenine) yang tepat digunakan dalam perbanyakan dengan teknik toping pada tanaman pisang. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Pasca Panen Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika dan di Kebun Pasir Kuda, Unit Kegiatan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika Bogor mulai Maret sampai Mei 2009.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pisang asal anakan (klon pisang tanduk dan pisang mas) dan benih pisang asal kultur jaringan (klon pisang ITC-1 dan ITC-2), serta larutan BA. Bahan lain yang digunakan adalah alkohol 70%, NaOH 0.1 N, aquades, arang sekam, dan pupuk kandang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, neraca analitik, pipet, gelas piala, pengaduk 100 ml, kertas saring, kamera digital, pisau cutter untuk, polibag ukuran 40 cm x 40 cm, polibag ukuran 20 cm x 20 cm, meteran/penggaris, sendok media tanam, batang besi, hand sprayer, dan paranet 75 % pada screen house.
ppm (P3), diulang sebanyak 3 kali.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa aplikasi teknik toping mampu menghasilkan tunas dan benih baru. Persentase jumlah tunas yang tumbuh menjadi benih pada pisang asal anakan klon pisang tanduk dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 50 %, 23.43 %, dan 50 %, pada pisang anakan klon pisang mas dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 76.66 %, 43.75 %, dan 60.71 %. Sedangkan pada pisang asal kultur jaringan klon pisang ITC-1 dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 100 %, 86.95 %, dan 100 %, pada pisang anakan klon pisang ITC-2 dengan perlakuan BA 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm secara berturut-turut adalah 89.13 %, 93.75 %, dan dan 97.14 %.
Dari percobaan disimpulkan bahwa teknik toping dapat digunakan untuk memproduksi benih pisang yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan.
Perlakuan pemberian BA pada taraf konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm tidak meningkatkan hasil perbanyakan benih pisang dengan teknik toping pada jenis klon pisang yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan.
PADA PERBANYAKAN BENIH PISANG
(
Musa paradisiaca
L.)
DARI BENIH ANAKAN DAN KULTUR JARINGAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
BURHANUDIN RABANI A24052715
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
Judul : APLIKASI TEKNIK TOPING PADA PERBANYAKAN BENIH PISANG (Musa paradisiaca L.) DARI BENIH ANAKAN DAN KULTUR JARINGAN
Nama : Burhanudin Rabani NRP : A24052715
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi Endang Gunawan, SP, MSi
NIP 19630923 198811 1 001 NIP 19770314 200810 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc NIP. 19611101 198703 1 003
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 09 Februari 1987. Penulis merupakan anak ke sebelas dari sebelas orang bersaudara dari pasangan H. Saiman dan Samiyah.
Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan studi di SDN Curug 02, kemudian melanjutkan studi di SLTP Islam Parung dan lulus pada tahun 2002. Selanjutnya penulis lulus SMAN 1 Parung pada tahun 2005.
Tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB. Pada tahun 2006 Penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
i Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepada penulis begitu
banyak nikmat. Atas nikmat yang telah Allah berikanlah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aplikasi Teknik Toping pada Perbanyakan Benih Pisang (Musa paradisiaca L.) dari Benih Anakan dan Kultur Jaringan” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi. dan Bapak Endang, SP, MSi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan masukan, dukungan, dan semangat, baik selama penelitian maupun dalam penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi dan Endang Gunawan, SP, MSi selaku dosen pembimbing yang telah membantu selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi selaku penguji dalam sidang skripsi. 3. Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi selaku pembimbing akademik, staf
pengajar, dan pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan ajaran dan bimbingan kepada penulis selama studi di IPB.
4. Ayahanda H. Saiman dan Ibunda Samiyah, dan kakak penulis Rodiah, Zaini, Endang, Amanah, Amzah, Ahmad, Nurhayati, Tabroni Alimudin, SPdi, Syahroni, SPd, dan Lina Bayinah, AMd serta seluruh keluarga tercinta yang senantiasa memotivasi dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan studi di IPB.
ii motivasinya kepada penulis.
7. Pak Baisuni dan istri serta mbak fifit atas batuannya dalam penelitian di lapangan dan di laboratorium.
Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat kepada civitas akademika, masyarakat, bangsa, dan agama.
iv
Nomor Halaman
1. Jumlah dan Persentase Keberhasilan Tunas Pisang yang Tumbuh Menjadi Benih Siap Panen pada 1-9 MST ... 17
2. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Teknik pada Benih
Anakan ... 19
3. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Teknik Toping pada Benih
Kultur Jaringan ... 27
4. Pengaruh Jenis Klon Terhadap Jumlah Benih yang Dipanen
pada Pisang Kultur Jaringan ... 30
5. Pengaruh Jenis Klon Terhadap Tinggi Benih yang Dipanen