• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir Melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi Kasus di Komunitas Nelayan Dan Petambak Kota Bengkulu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir Melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi Kasus di Komunitas Nelayan Dan Petambak Kota Bengkulu)"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

PEN GEN DALI AN DEGRADASI SU M BERDAY A

ALAM PESI SI R M ELALU I PEM BERDAY AAN

M ASY ARAK AT PESI SI R

(

St udi k a sus di k om unit a s ne la ya n da n pe t a m ba k K ot a Be ngk ulu)

H EN N Y APRI AN T Y

SEK OLAH PASCASARJ AN A

I N ST I T U T PERT AN I AN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul :

Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu)

adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2008

(3)

ABSTRACT

HENNY APRIANTY. Degradation Control of Coastal Resources through the Empowerment of the Coastal Community (A Case Study of Fishermen and pond owners in Bengkulu City). Under the guidance of HADI S. ALIKODRA, KOOSWARDHONO,M., ENDRIATMO SOETARTO and LALA M. KOLOPAKING.

There are two phenomena regarding the coastal areas of Bengkulu City. First, in general coastal resources have not been optimally managed. Second, partially the condition of the coastal areas in Bengkulu City has been marked by abrasion, destruction of mangrove trees, destruction of coral riffs, and high volume of sedimentation, unorganized and poor dwelling areas on the coast, not to mention the socio-economic condition of the people which is still below the poverty line.

This research was aimed at studying the condition of natural resources on the coastal area, community structure and institutional structure that marginalize fishing community with the destruction of coastal resources and formulating a strategy to control the degradation of coastal resources through the empowerment of coastal community.

The study used qualitative approach, quantitative approach and Multi-criteria Decision Analysis (MCDA) approach. Qualitative approach primarily used emik approach through a case study. Quantitative approach used a survey method and Multi-criteria Decision Analysis (MCDA) approach with A’WOT technique. The condition of coastal resources was analyzed by analytical method of production surplus for the potential fishery resources, ecological analysis, and correlation analysis of spatial data for the condition of mangrove resources. Community structure of fishermen used the framework of sustainable livelihood. Community institution of fishermen was analyzed with descriptive analysis. The strategy for community empowerment used the analysis of integrated concept, SWOT and AHP.

The research result showed that the condition of coastal resources in Bengkulu City, especially marine fishery resources to have been “over-fishing”, where the actual potential had exceeded conservation potential. It was caused by the increase in production input; at the same time, the catch effort was going down. The mangrove forest in the research area had been degradated while had decreased in size from 2002 until 2007 by 174.94 ha or on the average of 35 ha/year. The destruction of mangrove forest in Teluk Sepang village was due to the change of function from mangrove forest to palm oil plantation, holticulture plantation and the collection area of coal. In the meantime, in Sumberjaya village and Kandang village, the destruction was caused by the opening of coastal ponds and dwelling areas.

In the structure of fishing community, it was revealed that physical capital, human capital, financial capital, natural capital and social capital of the fishermen in Teluk Sepang, Kandang and Sumberjaya were considered low. Social structure was stratified based on the difference in economic condition and kinds of job

which places an employer (toke) on the highest social stratification. Employers

(4)

pond owners and cingkau. The lowest layer was occupied by pelacak fishermen and pond labourer. The domination of the upper layer on production asset and capital had brought about the dependence on them, creating a patron-client structure and influencing the production method of coastal community towards natural resources.

The institutional structure of work relationship, institution of result sharing, institution of marketing and capitalization in the research area showed different patterns. Fishermen in Teluk Sepang and Kandang with traditional catch patterns, patron-client structure in the work relationship did not exit. Meanwhile Sumberjaya fishermen with modern fishing patterns (having more variations in catching equipment and catching fleet), the institution of work relationship showed the existence of patron-client relationship. The institution of profit loss sharing among fishermen in Teluk Sepang consisted of divided-into-two and divided-into-three patterns, in Kandang consisted of divided-into-two and divided-into-six pattern, while Sumberjaya fishermen divided the result based on catching tools used. Long fishing net, floating net, fishing tool, and fish trap used divided-into-two pattern. Purse seine used divided-into-four pattern. The marketing system and capitalization of coastal community in the reseach area

were controlled by toke,juragan and fish seller (cingkau) as owner capital and

production asset. With this description, each structure was controlled by the power which owned the production asset and capital that made it asymmetrical between those who played a role and who didn’t in the production process, which finally created an income gap. The income gap between potential fishermen acted as a trigger for the destruction of coastal resources.

Controlling strategy of coastal resource degradation through the empowerment of coastal community in Bengkulu City is supporting program of the lowest layer coastal community with done communities intervention with step as (a) by creating of institution economic (a family cooperation) based on of relationship social; (b) by activity of conservation and rehabilitation of mangrove forest with developing partisipative community; (c) by the improvement in catching technology based on environmental-friendly principle through a profesion grouping and (d) by improvement silvofishery system in management of pond with developing butoum up.

Keywords: degradation of coastal resources, community structure, community institution, community empowerment.

(5)

RINGKASAN

HENNY APRIANTY. Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi kasus pada nelayan dan petambak Kota Bengkulu). Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, KOOSWARDHONO,M., ENDRIATMO SOETARTO dan LALA M. KOLOPAKING.

Ada dua fenomena yang tergambar di wilayah pesisir Kota Bengkulu, pertama pada umumnya pengelolaan sumberdaya pesisir belum dilakukan secara optimal, kedua secara parsial kondisi sebagian wilayah pesisir Kota Bengkulu mengalami kerusakan seperti abrasi pantai, rusaknya hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, serta tingginya sedimentasi, penataan pemukiman di pinggir pantai yang kurang rapi dan kumuh, sementara itu kondisi sosial ekonomi tetap berada dibawah garis kemiskinan, tingginya konflik di wilayah pesisir dan banyak pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan mengkaji kondisi sumberdaya alam wilayah pesisir, struktur masyarakat dan struktur kelembagaan yang memarginalkan masyarakat pesisir dengan tindakan kerusakan sumberdaya pesisir dan merumuskan strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir.

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif dan

pendekatan Multicriteria Decision Analysis (MCDA). Pendekatan kualitatif lebih

mengutamakan pendekatan emik dengan metode studi kasus. Pendekatan

kuantitatif dengan metode survei dan pendekatan multicriteria decision analysis

(MCDA) dengan teknik A’WOT. Kondisi sumberdaya alam wilayah pesisir dianalisis menggunakan analisis ekologis dan analisis korelasi data spatial.

Struktur masyarakat pesisir menggunakan kerangka sustainable livelihood.

Kelembagaan masyarakat pesisir dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Strategi pemberdayaan masyarakat menggunakan analisis konsep keterpaduan SWOT dan AHP.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya alam pesisir Kota Bengkulu diantaranya sumberdaya perikanan laut telah terjadi tangkap lebih

(overfishing) dikarenakan potensi aktual melebihi potensi lestari. Hal ini

dikarenakan adanya peningkatan input produksi, tetapi upaya tangkap mengalami penurunan. Hutan mangrove di daerah penelitian mengalami degradasi, dimana terjadi penurunan luas dari tahun 2002 sampai tahun 2007 sebesar 174,94 ha atau rata-rata 35 ha/tahun. Penyebab kerusakan hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang dikarenakan berubahnya fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, perkebunan hortikultura dan tempat penampungan batu bara. Di Kelurahan Kandang dikarenakan pembukaan tambak. Sedangkan di Kelurahan Sumberjaya, dikarenakan pembukaan tambak dan permukiman.

(6)

Dominasi lapisan atas terhadap aset produksi dan modal menimbulkan ketergantungan relatif tinggi sehingga menciptkan struktur patron klien yang

mempengaruhi cara produksi (made of production) masyarakat pesisir terhadap

sumberdaya alam.

Struktur kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan pemasaran dan permodalan di daerah penelitian menunjukkan pola yang berbeda. Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Kandang dengan pola nelayan tangkap tradisional, kelembagaan hubungan kerja tidak menunjukkan ada struktur patron klien. Sedangkan nelayan Sumberjaya dengan pola nelayan modern (lebih beragam alat tangkap dan armada penangkapan), kelembagaan hubungan kerja menunjukkan adanya hubungan patron klien. Kelembagaan bagi hasil nelayan Teluk Sepang dengan pola bagi dua dan bagi tiga. Pola bagi hasil Nelayan Kandang bagi dua dan bagi enam. Nelayan Sumberjaya, bagi hasilnya berdasarkan alat tangkap. Alat tangkap jaring payang (gillnet), jaring insang hanyut/udang, pancing, dan bagan perahu mempuyai pola bagi dua. Alat tangkap

jaring pukat cincin (purse seine) mempuyai pola bagi empat. Sistem pemasaran

dan permodalan nelayan Teluk Sepang di kendalikan oleh bagian pemasaran dari kelompok nelayan, sedangkan pemasaran hasil di Nelayan Kandang dikendalikan toke/juragan/keluarga. Sementara itu sistem pemasaran dan permodalan Nelayan Sumberjaya di kendalikan juragan/toke dan cingkau (pedagang ikan). Dengan gambaran tersebut ternyata masing-masing struktur digerakkan kekuatan yang memiliki asset produksi dan modal sehingga menimbulkan hubungan asimetris antara yang berperan dan yang tidak berperan dalam proses produksi, yang akhirnya menciptakan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan antar nelayan berpotensi sebagai pemicu kerusakan sumberdaya alam pesisir.

Hubungan kerja, bagi hasil dan pemasaran serta permodalan dalam komunitas petambak sebagian besar digerakkan oleh pemilik modal (juragan/toke/perusahaan ikan) sehingga terbentuk pola hubungan patron klien yang selain merupakan hubungan kerja secara ekonomi juga terjadi hubungan sosial. Semakin menguatnya sistem patron klien dikalangan petambak menciptakan ketidak merataan distribusi pendapatan sehingga menyebabkan kemiskinan yang berpotensi mendorong tindakan merusak sumberdaya alam pesisir.

Strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir adalah program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas dengan langkah-langkah pemberdayaan yang bertujuan (a) pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan, (b) kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan partisipatif; (c) pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan

melalui kelompok-kelompok profesi, dan (d) mengembangkan sistem silvofishery

dalam pengelolaan tambak dengan pendekatanm buttom up.

(7)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tampa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(8)

PEN GEN DALI AN DEGRADASI SU M BERDAY A ALAM PESI SI R M ELALU I PEM BERDAY AAN M ASY ARAK AT PESI SI R

(

St udi k a sus di k om unit a s ne la ya n da n pe t a m ba k K ot a Be ngk ulu

)

H EN N Y APRI AN T Y

Dise rt a si

Se ba ga i sa la h sa t u sya ra t unt uk m e m pe role h ge la r Dok t or pa da

Progra m St udi I lm u Pe nge lola a n Sum be rda ya Ala m da n Lingk unga n

SEK OLAH PASCASARJ AN A

I N ST I T U T PERT AN I AN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi pada :

Ujian Tertutup : DR. IR. Etty Riani, MS

Ujian Terbuka : 1. Prof. DR. IR. Cecep Kusmana, MS

(10)

Judul Disertasi : Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu)

Nama : Henny Aprianty NRP : 995233

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra,MS Prof. Dr. Ir. Kooswardhono M, M.Sc Ketua Anggota

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana,

Pengelolaan Sumberdaya Alam Dekan dan Lingkungan

Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahtjo,MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar N, MS

(11)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirrabil’aalamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke

hadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat yang telah dilimpahkan sehingga

penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi dengan judul:

Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir melalui Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota

Bengkulu). Pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir Kota Bengkulu

dalam bentuk kelembagaan partisipatif yang mengintegrasikan kepentingan

ekonomi dan kepentingan lingkungan yang berbasiskan kekerabatan.

Ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada Prof. DR.

Ir. Hadi S. Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing, Prof. DR. Ir.

Kooswardhono M, MSc, Prof. DR. Endriatmo Soetarto, MA dan DR. Ir. Lala M.

Kolopaking, MS selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, dorongan

semangat dan moril serta nasehat, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi

ini.

Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada :

1. Rektor Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu yang telah memberikan

izin tugas belajar di sekolah pascasarjana IPB.

2. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Sekolah Pascasarjana IPB yang telah mengarahkan dan memfasilitasi penulis

selama mengikuti pendidikan.

3. Penguji luar komisi pada ujian tertutup DR. IR. Etty Riany, MS. Prof. DR.

IR. Cecep Kusmana, MS (Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas

kehutanan IPB) dan Prof. DR. IR. Abdulllah Syarief.M, MS. (Peneliti Utama

Biologi Satwa Liar pada Puslitbang Hutan dan Konservasi, Departemen

Kehutanan) sebagai penguji luas komisi pada ujian terbuka serta seluruh

rekan-rekan yang secara langsung maupun tidak langsung telah memotivasi

dalam penyelesaian disertasi.

Do’a yang tulus dan ucapan terima kasih penulis sampaikan, khusus untuk

(12)

Muhammad Adha Ridwan, Ayahnda Drs. Nurdin Kulana, Ibunda Halimah

Djapiloes, Kakanda Win Heryati, adinda Nopetri Elmanto dan Ahmad Yani serta

keluarga besar yang senantiasa telah memberikan do’a, kesabaran, dorongan,

harapan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama menempuh pendidikan.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak terlepas dari kelemahan dan

kekurangan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Semoga disertasi ini

dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan

yang bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008

(13)

RIWAYAT HIDUP

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN vii

I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan Penelitian 3

1.3. Kerangka Pemikiran 3

1.4. Perumusan Masalah Penelitian 5

1.5. Novelty 6

II TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1. Kerusakan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir 7

2.2. Sumberdaya Perikanan Laut 7

2.3. Hutan Mangrove 8

2.4. Struktur Masyarakat Pesisir 16

2.41. Masyarakat nelayan 16

2.4.2. Petambak 19

2.5. Kelembagaan Masyarakat Pesisir 20

2.5.1. Konsep Kelembagaan 20

2.5.2. Sistem Kelembagaan Masyarakat Pesisir 21

2.4. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 27

III. METODE PENELITIAN 33

3.1. Pemilihan Wilayah Studi dan Waktu Penelitian 33

3.2. Metode Penelitian 34

3.2.1. Pendekatan Penelitian 34

3.2.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data 35

3.2.3. Unit Penelitian dan Jumlah Responden 37

3.2.4. Metode Analisis data 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 48

4.1. Eksploitasi Sumberdaya Alam Pesisir di Lokasi Penelitian 48

4.1.1. Usaha Perikanan Tangkap 48

4.1.2. Usaha Budidaya Tambak 54

4.2. Kondisi Sumberdaya Alam Pesisir Kota Bengkulu 58

4.2.1. Sumberdaya Perikanan Laut 58

4.2.2. Mangrove 62

(15)

4.3. Struktur Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu 74

4.3.1. Keragaan Modal Struktur Masyarakat Pesisir 77

4.3.2. Pelapisan Sosial 98

4.4. Kelembagaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu 103

4.4.1. Kelembagaan Perikanan Tangkap 103

4.4.2. Kelembagaan Budidaya Tambak 123

4.5. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 129

4.5.1. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu 129

4.5.2. Perencanaan Pengendalian Degradasi Sumberdaya 139

Alam Pesisir melalui Intervensi Komunitas Masyarakat Pesisir Lapisan Bawah V. KESIMPULAN DAN SARAN 144

5.1. Simpulan 144

5.2. Saran 145

DAFTAR PUSTAKA 146

LAMPIRAN 155

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakter sumberdaya yang dihadapi masyarakat nelayan- petani 17

2. Jumlah populasi responden di Kelurahan Sumberjaya 38

3. Daftar 15 informan yang diwawancarai 39

4. Indikator dan parameter kerangka Sustainable livelihood (SL) 42

5. Standar matriks kombinasi SWOT 46

6. Armada penangkapan nelayan di lokasi penelitian tahun 2006 48

7. Perkembangan armada penangkapan berdasarkan jenis mesin motor tahun 2004 dan tahun 2006 49

8. Pendapat responden tentang peningkatan usaha perikanan tangkap 51

9. Jumlah dan jenis produksi perikanan laut di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 51

10. Jenis alat tangkap nelayan di daerah penelitian 53

11. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2002 dan tahun 2006 55

12. Analisis kualitas air di Kelurahan Kandang 55

13. Pendapat responden tentang berkembangnya usaha budidaya tambak di daerah penelitian 56

14. Perkembangan luas dan produksi tambak di Kota Bengkulu tahun 2002-2006 57

15. Jenis alat tangkap nelayan Kota Bengkulu 58

16. Upaya tangkap dan produksi perikanan laut Kota Bengkulu 59

17. Lokasi mangrove di Propinsi Bengkulu tahun 2002 62

18. Lokasi mangrove di Kota Bengkulu tahun 2002 63

19. Penurunan luas hutan mangrove di daerah penelitian pada tahun 2002 dan tahun 2006 64

20. Luas penutupan lahan (Landcover) di daerah penelitian 73

21. Etnis masyarakat pesisir di daerah penelitian 76

22. Modal fisikal nelayan di daerah penelitian 77

23. Kelompok usia di Teluk Sepang berdasarkan tingkat pendidikan 81

24. Kelompok usia di Sumberjaya berdasarkan tingkat pendidikan 81

25. Kelompok usia di Kandang berdasarkan tingkat pendidikan 82

26. Masalah kesehatan yang dialami masyarakat pesisir di daerah penelitian 83

27. Pendapatan nelayan di daerah penelitian 85

28. Pendapatan petambak di daerah penelitian 86

29. Sumber modal usaha masyarakat pesisir di daerah penelitian 87

30. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Teluk Sepang 89

31. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Sumberjaya 89

(17)

32. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Kandang 89

33. Kondisi sanitasi lingkungan masyarakat pesisir di daerah penelitian 90

34. Dua pilihan masyarakat pesisir Teluk Sepang menghadapi musim paceklik 92

35. Dua pilihan masyarakat pesisir Sumberjaya menghadapi musim paceklik 93

36. Dua pilihan masyarakat pesisir Kandang menghadapi musim paceklik 93

37. Perbandingan tingkat kepercayaan dalam komunitas 94

38. Perbandingan tingkat kepercayaan dengan komunitas lain 94

39. Pendapat masyarakat pesisir berdasarkan prinsip kerjasama 96

40. Stratifikasi sosial masyarakat pesisir Kota Bengkulu dalam pandangan nelayan dan petambak 102

41. Pola hubungan kerja nelayan di daerah penelitian 104

42. Pola bagi hasil Nelayan Teluk Sepang 113

43. Pola bagi hasil Nelayan Kandang 114

44. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring pukat cincin 115

45. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring insang hanyut/udang 115

46. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring payang 116

47. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada bagan perahu 116

48. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada kapal pancing 116

49. Pola hubungan kerja petambak di daerah penelitian 124

50. Pola bagi hasil petambak di daerah penelitian 125

51. Tempat pemasaran hasil panen tambak di daerah penelitian 126

52. Sumber pinjaman modal bagi petambak di daerah penelitian 128

53. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen internal SWOT 130

54. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen eksternal SWOT 131

55. Matriks SWOT untuk penentuan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya Pesisir Kota Bengkulu 133

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota

Bengkulu melalui pemberdayaan masyarakat pesisir 5

2. Lokasi penelitian di Kota Bengkulu 33

3. Rangkaian kerja analisis SWOT 46

4. Proses hirarki penentuan prioritas strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir 47

5. Perkembangan armada penangkapan Nelayan Teluk Sepang menurut jenis mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2006 49

6. Perkembangan armada penangkapan Nelayan Sumberjaya menurut jenis mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2006 49

7. Perkembangan armada penangkapan nelayan Kandang menurut jenis mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2004 50

8. Perkembangan produksi perikanan Laut di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 51

9. Perkembangan jenis alat tangkap nelayan di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 53

10. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 55 11. Perkembangan luas dan produksi tambak di daerah penelitian 57

12. Produksi aktual, potensi lestari dan upaya tangkap sumberdaya perikanan laut Kota Bengkulu tahun 1990-2006 60

13. Perkembangan armada tangkap di Kota Bengkulu tahun 1990-2006 61

14. Penurunan luas mangrove di daerah penelitian 64

15. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2002 66

16. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2007 67

17. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2002 68

18. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2007 69

19. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2002 70

20. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2007 71

21. Pola I hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang 106

22. Pola II hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang 106

23. Pola I hubungan kerja nelayan sampan di Kandang 106

24. Pola II hubungan kerja Nelayan Kandang 107

25. Pola hubungan kerja tekong dan pelacak di Sumberjaya 108

26. Pola hubungan kerja juragan/toke dan nelayan di Sumberjaya 110

27. Distribusi pemasaran ikan pada komunitas Nelayan Teluk Sepang 117

(19)

28. Distribusi pemasaran udang pada komunitas Nelayan Teluk Sepang 118

29. Distribusi pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang 119

30. Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring payang/bagan perahu/pancing 120

31. Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring hanyut/udang 120

32. Distribusi pemasaran ikan nelayan pikat cincin 121

33. Pola hubungan kerja kegiatan pertambakan di daerah penelitian 124

34. Rantai perdagangan hasil panen tambak di daerah penelitian 127

35. Hasil analisis matrik SWOT dengan kombinasi faktor internal dan eksternal 132

36. Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dengan komponen prioritas SWOT 135

37. Prioritas komponen kekuatan (Strength) 135

38. Prioritas komponen kelemahan (Weaknesses) 136

39. Prioritas komponen peluang (Opportunity) 137

40. Prioritas komponen ancaman (Treaths) 138

41. Prioritas kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu 139

42. Prioritas strategi pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu 139

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran hal

1. Pedoman wawancara pokok penelitian struktur sosial 155

2. Kuesioner penentuan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir

alam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota Bengkulu 156

3. Tabel keragaan modal struktur masyarakat pesisir

di daerah penelitian 157

4. Gambaran umum daerah penelitian 158

(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi

perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak

dilakukan; bahkan menurut MacDonald (2005), sekitar 70% penduduk dunia

tinggal di wilayah pesisir, sehingga menjadikan kawasan ini terkonsentrasi

berbagai pusat kegiatan ekonomi seperti perikanan, pariwisata, perhubungan,

perindustrian, pemukiman, pertahanan dan keamanan (Clark, 1998; Supriharyono,

2000; MacDonald, 2005). Begitu beragamnya aktivitas di wilayah pesisir,

menjadikan wilayah pesisir sebagai sumber konflik dari berbagai kepentingan,

sehingga sangat rentan dari berbagai dampak kegiatan seperti pencemaran, pantai

yang terabrasi, banjir rob, kerusakan hutan mangrove, kerusakan padang lamun

dan kerusakan terumbu karang (Dahuri, 2001; Bengen, 2002). Di beberapa

wilayah pesisir Indonesia, seperti pesisir Pantai Utara Jawa, Teluk Jakarta, Selat

Malaka, Pesisir Kepulauan Riau, Pantai Utara Kalimantan Barat dan lain-lain,

telah mengalami eksploitasi berlebihan terhadap mangrove dan terumbu karang,

tangkap lebih (overfishing), abrasi pantai dan pencemaran (Cincin-Sain, 1998).

Bahkan Angka-angka kerusakan sumberdaya alam pesisir menunjukan tingkat

sangat mengkhawatirkan seperti 72% terumbu karang rusak (22% baik dan 6%

sangat baik) dan 40% hutan mangrove rusak (Alikodra, 2005).

Kota Bengkulu merupakan salah satu wilayah pesisir di Propinsi

Bengkulu yang terletak di kawasan Pantai Barat Sumatera, secara geografis, Kota

Bengkulu memiliki garis pantai ±60 km dengan 60% masyarakatnya

terkonsentrasi di wilayah pesisir dan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir

sebagai sumber mata pencaharian. Ada dua fenomena bertolak belakang yang

tergambar dari wilayah pesisir Kota Bengkulu, yaitu pertama, pada umumnya

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir belum dilakukan secara optimal, dan

kedua, secara parsial kondisi sebagian wilayah pesisir Kota Bengkulu mengalami

kerusakan seperti terjadinya abrasi pantai yang menyebabkan kemunduran garis

pantai 1-5 m/tahun. Selain itu juga telah terjadi pengikisan daerah pemukiman

(22)

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain

disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir laut.

Hal lain yang juga cukup mengkhawatirkan adalah terjadinya alih fungsi lahan di

wilayah pesisir Kota Bengkulu menjadi sawah, perkebunan rakyat dan

perkebunan besar sehingga terjadi penyusutan hutan mangrove di wilayah pesisir

(Laporan Fakultas Kehutanan IPB, 2000), serta tingginya sedimentasi sehingga

terjadi pendangkalan alur pelabuhan (Perum Pelindo II Pulau Baai, 1993).

Sementara itu, kondisi sosial ekonomi masyarakatnya tetap berada

dibawah garis kemiskinan, dari 162.960 jiwa penduduk di wilayah pesisir 70%

masih tergolong miskin (BPS Kota Bengkulu, 2003). Permasalahan kemiskinan

ini terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan masyarakat pesisir serta tingginya

konflik di wilayah pesisir, masih banyaknya pemakaian alat tangkap yang tidak

ramah lingkungan (trawl), penangkapan menggunakan bom serta pembangunan

fasilitas sumberdaya pesisir dan laut seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) banyak

tidak berfungsi (Dinas perikanan dan kelautan, 2000).

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi

di wilayah pesisir Kota Bengkulu tidak terlepas dari pemanfaatan wilayah pesisir

yang hanya berorientasi ekonomi dari pihak pemerintah daerah selaku

penanggung jawab kegiatan pembangunan dan penentu kebijakan serta

masyarakat pesisir yang memanfaatkan sumberdaya pesisir secara langsung.

Berbagai macam dampak negatif yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan

tersebut harus ditanggung oleh masyarakat pesisir. Dengan hilangnya mangrove,

masyarakat pesisirlah yang terutama harus merasakan intrusi air laut ke dalam

sumber-sumber air tawar, berkurangnya hasil tangkapan ikan dan udang, pengaruh

abrasi pantai, serta lingkungan pantai yang gersang. Kondisi ini memunculkan

ketidakberdayaan masyarakat pesisir mengatasi tekanan hidup yang semakin

tinggi, sehingga memaksa mereka mengeksploitasi sumberdaya perikanan laut

secara berlebihan sehingga terjadi kerusakan pada biota laut, terancamnya

pemukiman masyarakat pesisir, terancamnya mata pencaharian masyarakat

pesisir. Jika keadaan tersebut berlanjut, maka ekosistem wilayah pesisir akan

(23)

Dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, gagasan

tentang pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir yang masih tersisa perlu

terus dilakukan. Pengendalian wilayah pesisir memerlukan upaya yang efektif

dari masyarakat pesisir dalam mengatasi masalah lingkungan, menghasilkan

perubahan ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat. Selama ini strategi

pengendalian degradasi sumberdaya alam wilayah Kota Bengkulu belum secara

holistik dan menyeluruh dilakukan, terutama pada masyarakat pesisir sebagai

pelaku utama dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir. Untuk itu

diperlukan penelitian yang mengkaji sumberdaya alam pesisir dan karakteristik

masyarakat pesisir untuk menentukan strategi yang efektif dan sesuai bagi

pembangunan wilayah pesisir.

1.2. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji kondisi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove

di wilayah pesisir Kota Bengkulu

2. Mengkaji struktur masyarakat dan struktur kelembagaan yang

memarginalkan masyarakat pesisir dengan tindakan kerusakan

sumberdaya pesisir

3. Merumuskan strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir

melalui pemberdayaan masyarakat pesisir

1.3. Kerangka Pemikiran

Degradasi sumberdaya alam pesisir terjadi akibat adanya aktivitas manusia

dan pembangunan sektor perikanan, pertanian, perkebunan, perindustrian dan

permukiman. Semakin tinggi pertumbuhan dan pesatnya pembangunan di wilayah

pesisir maka tekanan ekologis terhadap sumberdaya pesisir semakin meningkat.

Meningkatnya tekanan ini tentu dapat mengancam keberadaan dan

keberlangsungan sumberdaya pesisir. Jika tekanan tersebut dibiarkan terus

menerus, maka hasilnya akan menyebabkan penyusutan dan habisnya sumberdaya

alam pesisir (Soemarwoto, 1997). Kerusakan sumberdaya pesisir tersebut

berdampak pada terancamnya mata pencaharian masyarakat pesisir sehingga

(24)

masyarakat pesisir berdampak pada keseimbangan antara sistem alam dan sistem

sosial di wilayah pesisir.

Keseimbangan secara sosial, ekonomi dan ekologi pada tingkat

sumberdaya alam dan lingkungan mampu menciptakan kelestarian sumberdaya

alam (Odum, 1971; FAO, 2004). Apabila terjadi sebaliknya, maka tingkat

degradasi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove akan semakin parah.

Di tingkat masyarakat nelayan, adanya keseimbangan tersebut diharapkan mampu

meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan hidup, kualitas pendidikan,

peningkatan akses terhadap sumberdaya, berkembangnya kapasitas dan

kelembagaan nelayan, dan jika sebaliknya akan menyebabkan kemiskinan itu

menjadi permanen.

Sebagai sebuah komunitas di wilayah pesisir, masyarakat pesisir

mempuyai struktur masyarakat dan struktur kelembagaan yang menggerakan

kehidupan mereka menghadapi sumberdaya pesisir. Struktur masyarakat pesisir

dikaji dari modal fisik, modal manusia, modal sosial, modal finansial, dan modal

alamiah. Struktur kelembagaan masyarakat pesisir dikaji dari struktur

kelembagaan kerja, kelembagaan bagi hasil dan kelembagaan pemasaran dan

permodalan. Diduga ada sistem dalam struktur masyarakat dan struktur

kelembagaan masyarakat pesisir yang menjadi faktor penyumbang terjadinya

tindakan kerusakan lingkungan.

Dalam rangka mencegah kerusakan sumberdaya tersebut, perlu

keterlibatan masyarakat pesisir yang melembaga, yang secara sadar dan

bertanggung jawab melibatkan diri dalam pelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan. Untuk itu perlu pemberdayaan masyarakat yang mampu

meningkatkan pendapatan dan status sosial ekonomi. Kerangka pemikiran dalam

penelitian pengendalian degradasi sumberdaya melalui pemberdayaan masyarakat

(25)

Gambar 1. Kerangka pikir pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota Bengkulu melalui pemberdayaan masyarakat pesisir (Sumber: dimodifikasi dari Masyhudzulhak, 2004 dan M. Karim, 2005)

1.4. Perumusan Masalah Penelitian

Masyarakat pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan

pembangunan di wilayah pesisir. Masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya

alam di wilayah pesisir sebagai sumber mata pencaharian. Pemanfaatan

sumberdaya alam di wilayah pesisir yang tidak terkendali dan tidak

memperhatikan aspek keberlanjutan dapat menyebabkan terjadinya abrasi pantai,

pencemaran pantai, overfishing, kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang

dan ekosistem laut lainnya.

Abrasi pantai terjadi disebabkan tidak optimalnya penahan gelombang dan

banyaknya aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti pengrusakan

karang pantai, penebangan bakau, penambangan pasir, serta bangunan yang

melewati garis pantai. Pencemaran pantai bersumber dari kegiatan industri

(pertambangan timah dan minyak, angkutan laut dan pariwisata bahari), kegiatan

rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Overfishing dipicu beberapa hal, seperti

Wilayah pesisir

Struktur masyarakat Struktur kelembagaan

Alternatif Strategi SWOT

Status sumberdaya Alam

Tindakan merusak

MAHP

(26)

banyaknya kegiatan penangkapan ikan yang berukuran belum layak tangkap serta

lajunya penangkapan yang melebihi nilai maximum sustainable yield (MSY).

Penangkapan ikan yang menggunakan cara-cara merusak seperti

penggunaan bom dan potassium, terutama di sekitar terumbu karang,

mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang untuk jangka panjang, tanpa

terkecuali ikan-ikan yang bukan merupakan tujuan penangkapan. Kerusakan

mangrove sebagian besar disebabkan konversi lahan, penebangan kayu dan

pencemaran oleh berbagai kegiatan pembangunan.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa

menurunnya sumberdaya alam di wilayah pesisir diakibatkan oleh aktivitas

manusia terutama masyarakat pesisir. Oleh sebab itu, pokok permasalahan dalam

penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove di

wilayah pesisir Kota Bengkulu ?

2. Bagaimana struktural masyarakat pesisir Kota Bengkulu ? Adakah

struktur kelembagaan masyarakat pesisir menjadi faktor penyumbang

terjadinya degradasi sumberdaya pesisir ?

3. Bagaimana strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui

pemberdayaan masyarakat pesisir yang efektif dalam meningkatkan

kesejahteraan dan lingkungan secara berkelanjutan?

1.5. Novelty

Penelitian-penelitian mengenai masyarakat pesisir di Propinsi Bengkulu

selama ini masih bersifat sporadik dan bersifat parsial, sedangkan dalam

penelitian ini sifat dasarnya adalah bersandarkan pada pendekatan secara holistik

dan mendalam dengan memfokuskan apa yang dimiliki oleh masyarakat pesisir.

Konsep ini digunakan sebagai tolak ukur dalam pemberdayaan masyarakat pesisir

yang karakteristiknya berbeda secara sosiologis dan ekologis karena

penyeragaman cara pemberdayaan akan menimbulkan kegagalan dalam

implementasi program, seperti yang sering terjadi sampai saat ini. Output dari

penelitian ini adalah pembentukan kelembagaan ekonomi partisipatif berbasiskan

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerusakan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir

Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan suatu himpunan integral

komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup

dan meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara

fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu

ekosistem (Odum, 1983). Ekosistem wilayah pesisir terdiri dari hutan mangrove,

terumbu karang, padang lamun, estuaria, ekosistem pantai dan ekosistem

pulau-pulau kecil (Dahuri et.al., 2001; Bengen, 2002). Dengan adanya tekanan

pertumbuhan penduduk dan banyaknya aktivitas pembangunan di pesisir untuk

berbagai kegiatan (permukiman, pertanian, industri, perkebunan), maka tekanan

ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir semakin meningkat pula

(Bengen, 2002).

Permasalahan penting di wilayah pesisir adalah kerusakan hutan

mangrove, kerusakan terumbu karang, pencemaran, akumulasi limbah dan abrasi

pantai. Menurut Budhisantoso (1998), permasalahan utama yang dihadapi dalam

pengembangan pengelolaan kawasan pesisir, adalah menyusutnya persediaan

sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan.

2.2. Sumberdaya Perikanan Laut

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh

sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh

potensi lautan maupun perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan

usaha perikanan (Setyohadi, 1997). Indonesia memiliki potensi sumberdaya

perikanan yang relatif besar, akan tetapi sumberdaya ini belum dimanfaatkan

secara optimal. Menurut Aziz et al. (1998), potensi lestari sumberdaya perikanan

laut Indonesia adalah sebesar 6,18 juta ton pertahun, yang terdiri dari potensi ikan

pelagis besar 975,05 ribu ton, ikan pelagis kecil 3,23 juta ton, ikan demersal 1,78

juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74,00 ribu ton, lobster

(28)

Meskipun secara keseluruhan pemanfaatan sumberdaya perikanan baru

mencapai 58%, namun beberapa jenis ikan telah mengalami gejala tangkap lebih

(over fishing) di beberapa perairan nusantara. Hal ini disebabkan adanya

ketimpangan struktur armada penangkapan yang didominasi oleh perahu kapal

tanpa motor. Dengan komposisi ini, maka kawasan perairan yang mengalami

tekanan eksploitasi yang besar adalah perairan pantai (Dahuri et. al, 2001).

Secara umum sumberdaya perikanan dapat dikelompokkan kedalam empat

kelompok yaitu sumberdaya ikan demersal, sumberdaya pelagis kecil,

sumberdaya pelagis besar dan sumberdaya biota laut (Naamin, 1987).

Sumberdaya ini apabila dalam eksploitasinya tidak mematuhi aturan atau

melampaui produksi tahunan bersih, maka kehancuran sumberdaya menjadi

tinggi. Hal ini berarti bahwa sumberdaya tersebut akan menipis atau terkuras

dengan berjalannya waktu (Baskoro et al., 2004).

2.3. Hutan Mangrove

Asal kata mangrove tidak diketahui pasti dan terdapat beberapa pendapat

mengenai hal tersebut. MacNae (1968) menyebutkan, kata mangrove merupakan

perpaduan antara Bahasa Portugis mangue dan Bahasa Inggris grove. Sementara

menurut Mastaller (1997), kata mangrove berasal dari Bahasa Melayu Kuno

mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan

digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Kata mangrove menurut

Odum (1983), berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu

tumbuhan.

Beberapa ahli mengemukakan defenisi hutan mangrove, seperti Steenis

(1978), yang dimaksud dengan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh

diantara garis pasang surut. Soerianegara dan Indrawan (1982), menyatakan

bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya

terdapat di daerah teluk dan dimuara sungai oleh : (1) tidak terpengaruh iklim; (2)

dipengaruhi pasang surut; (3) tanag tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5)

hutan tidak mempuyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas

api-api (Avicennia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang

(29)

et al. (1983) menyebutkan bahwa mangrove merupakan formasi tumbuhan daerah

litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis.

Pengertian hutan mangrove, menurut Alikodra (1998), adalah suatu

formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan keadaan tanah yang

anaerobik. Walaupun tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan

mangrove tumbuh dengan baik di daerah tropika pada daerah pesisir yang

terlindung, seperti delta dan estuaria. Menurut Bengen (2002), hutan mangrove

sendiri merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis yang terdiri

yang terdiri atas beberapa jenis spesies yang mampu tumbuh dan berkembang

pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Fungsi dan Manfaat Mangrove

Soewito (1984), Marsoedi (1997), Khazali (1999), Alikodra (2000) dan

Bengen (2002) menyatakan bahwa secara umum fungsi hutan mangrove, baik

bagi manusia, organisme lain dan lingkungan abiotik adalah :

1. Fungsi fisik, yaitu sebagai pencegahan terjadinya intrusi air laut, penahan

abrasi, penahan angina, pengendali banjir dan perendam pencemaran.

2. Fungsi biologis, yaitu sebagai sumber kesuburan perairan, tempat berkembang

biak, perlindungan dan asuhan biota laut, seperti ikan, udang, kerang dan

burung serta berbagai penghasil sumber makanan penting bagi kehidupan

sekitarnya.

3. Fungsi kimia, yaitu sebagai tempat terjadinya proses dekomposisi bahan

organik dan proses kimia lainnya yang berkaitan dengan tanah hutan

mangrove.

4. Fungsi ekonomi, yaitu sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, bahan baku

industri, lahan pertanian, tempat berburu, bahan dasar obat-obatan, bahan

penyamak dan tempat pariwisata. Fungsi ekonomi hutan mangrove juga

terkait dengan tingkat produksi perikanan Indonesia. Hal ini dilihat dari

daerah perikanan potensial seperti perairan sebelah timur Sumatera, pantai

(30)

5. Fungsi sosial, yaitu proses interaksi antara masyarakat sekitar dengan hutan

mangrove dimana masyarakat melakukan pemanfaatan secara

berkesinambungan terhadap hutan mangrove tersebut. Hal ini secara implisit

terkait dengan sistem hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.

Dari fungsi tersebut, ekosistem hutan mangrove melahirkan manfaat ganda

bagi manusia ditinjau dari dua segi, menurut Marsoedi (1997), Alikodra (1998),

Rewana etal. ( 2001) dan Dahuri (2004), yaitu :

1. Manfaat ekologi, yang lebih ditekankan pada kemampuannya dalam

mendukung lingkungan pantai, yaitu sebagai hutan di kawasan air payau,

penahan angin, penahan ombak, menyaring bahan-bahan pencemar, tempat

persembunyian ikan dan binatang perairan lainnya, seperti udang, ikan dan

kepiting. Kontribusi yang penting dari hutan mangrove dengan ekosistem

pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove mampu

menghasilkan bahan organisk dari serasah daun sebanyak 7-8

ton/hektar/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7%

dari dedaunan yang dihasilkan, dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya,

sedangkan sisanya oleh mikroorganisme (terutama kepiting) dan

mikroorganisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan

memasuki sistem energi.

2. Manfaat ekonomi, dimana hutan mangrove berkemampuan dalam penyediaan

produk yang dapat diukur dengan uang. Beberapa produk dari hutan

mangrove yang bernilai ekonomi adalah ikan dan kayu.

Jenis dan Penyebaran

Jenis utama mangrove yang umumnya dijumpai di Indonesia terdiri dari

delapan famili dan duabelas genus, menurut Rewana et al. (2001) di dominasi

oleh bakau (Rhizophora sp.), api-api ( Avicennia alba), tancang (Bruguiera sp.),

dan nipah (Nypah fructicans).

Hutan mangrove tersebar di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria,

delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2002). Berdasarkan jenis pohon

penyusun formasi hutan mangrove dari arah laut ke daratan, maka hutan

(31)

1. Zona Avicennia sp.

Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering

ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan

Sonneratia sp., yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan

organik.

2. Zona Rhizophora sp.

Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora

sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp.

3. Zona Bruguiera sp

Di dominasi oleh Bruguiera sp.

4. Zona Nypah sp.

Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah yang biasa

di tumbuhi oleh Nypah fructicans dan beberapa spesies palem lainnya.

Menurut Alikodra (1998), terdapat tiga faktor utama yang menentukan

tumbuh dan menyebarnya jenis-jenis mangrove tersebut, yaitu :

1. Kondisi dan tipe tanah, seperti keras atau lembek, berpasir atau berlumpur.

2. Salinitas, seperti variasi rata-rata harian maupun tahunan, frekuensi,

kedalaman dan lamanya penggenangan

3. Ketahan jenis-jenis mangrove terhadap arus ombak.

Ketergantungan terhadap jenis tanah, ditambahkan Alikodra (1998),

ditunjukkan oleh genus Rhizophora, di mana R. Mucronata merupakan ciri umum

untuk tanah yang berlumpur dalam, R. Apiculata untuk tanah berlumpur dangkal,

dan R. Stylosa yang erat hubungannya dengan pantai berpasir atau berkarang yang

sudah memiliki lapisan lumpur atau pasir. Ketergantungan ini terhadap kadar

garam ditunjukkan apabila hubungan antara muara sungai maupun danau dengan

laut bebas terpisah, sehingga salinitas menurun akibat kurangnya pengaruh pasang

surut, sehingga jenis yang dominan adalah Lumnitzera sp. dan Xylocarpus

granatum.

Penyebab Kerusakan Mangrove

Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove,

(32)

hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan; (2) Faktor alam,

seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab

yang relatif kecil (Tirtakusumah, 1994). Menurut Supriharyono (2000), kerusakan

hutan mangrove terutama di sebabkan banyaknya konversi hutan mangrove untuk

dijadikan tambak. Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk

memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga

berakibat rusaknya hutan (Perum Perhutani, 1994), antara lain :

a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka

dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan

murah.

b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga,

karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa di tebang.

c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan

mangrove.

d. Adanya kesenjangan sosial antara petambak tradisional dengan

pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang

sudah tidak rasional.

Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan

karena pertumbuhan penduduk dan yang diluar sistem karena reklamasi lahan dan

eksploitasi mangrove yang makin meningkat telah menyebabkan perusakan

menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Di

beberapa tempat ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi ekosistem

lain. Terdapat ancaman yang semakin besar terhadap daerah mangrove yang

belum diganggu dan terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah yang mengalami

tekanan baik oleh sebab alami maupun oleh perbuatan manusia

(UNDP/UNESCO, 1984).

Menurut Soesanto dan Sudomo (1994), kerusakan ekosistem mangrove

dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain : (1) Kurang dipahaminya

kegunaan ekosistem mangrove; (2) Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang

bertempat tinggal dekat atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove; (3) Karena

(33)

Menurut Sugandhy (1994), beberapa permasalahan yang terdapat di

kawasan hutan mangrove berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya adalah :

1. Pemanfaatan ganda yang tidak terkendali. Pemanfaatan ganda antar berbagai

sektor dan penggunaan sumberdaya yang berlebihan telah menyebabkan

terjadinya pengikisan pantai oleh air laut. Sesuai dengan fungsi hutan

mangrove sebagai penahan ombak. Di beberapa daerah, kawasan pantai hutan

mangrove sudah bnayak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh

ombak. Di wilayah Teluk Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling

berkompetisi, seperti perluasan areal pelabuhan, industri, transportasi laut,

permukiman dan kehutanan. Demikian juga di Bali, khususnya di kawasan

hutan mangrove Suwung, pembangunan landasan udara Ngurah Rai Bali

menyebabkan pantai Kuta terabrasi. Pemanfaatan demikian yang kurang

menguntungkan ditinjau dari aspek keseimbangan lingkungan wilayah pesisir.

Di samping itu, pengelolaan hutan mangrove belum berkembang, baik dalam

hal silvikultur, sumberdaya manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan

maupun pengawasannya. Akibatnya banyak yang terjadi perusakan hutan

mangrove seperti penebangan yang tidak terkendali, sehingga pemanfaatannya

melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk meregenerasi.

2. Permasalahan tanah timbul akibat sedimentasi yang berkelanjutan. Di daerah

muara sungai banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang

terus menerus terbawa dari daerah hulu sungai. Permasalahan utama yang

muncul adalah tentang status tanah timbul tersebut. Karena lokasinya

berdekatan dengan lahan kehutanan, maka sering terjadi status penguasaannya

langsung menjadi kawasan hutan, walaupun oleh masyarakat setempat

dimanfaatkan untuk kepentingan mereka, tanpa mengindahkan status

tanahnya. Hal ini sering menimbulkan konflik penguasaan. Contoh : kasus

kawasan di Segara Anakan, dan kawasan Pantura Jawa, kawasan Sulawesi

Selatan dan lain-lain.

3. Konversi hutan mangrove. Hampir semua bentuk pemanfaatan lahan di

wilayah pesisir berasal dari konversi hutan mangrove. Hutan mangrove

sepanjang pantai utara Jawa, Bali Selatan dan Sulawesi Selatan bagian barat

(34)

pelabuhan, ladang garam dan lain-lain. Kebanyakan konversi hutan mangrove

menjadi bentuk pemanfaatan lain belum banyak ditata berdasarkan

kemampuan dan peruntukkan pembangunan, sehingga menimbulkan kondisi

yang kurang menguntungkan dilihat dari manfaat regional dan nasional. Oleh

karena itu pemanfaatan hutan mangrove yang tersisa atau upaya

rehabilitasinya harus sesuai dengan potensi dan rencana pemanfaatan yang

lainnya dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomi

dan penguasaan teknologi.

4. Permasalahan sosial ekonomi. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan laju

pembangunan di wilayah pesisir, khususnya Jawa, Bali, Sulawesi dan

Lampung menyebabkan timbulnya ketidak seimbangan antara permintaan

kebutuhan hidup, kesempatan dengan persediaan sumberdaya alam pesisir

yang ada. Upaya pengembangan pertanian intensif (coastal agriculture), dan

kegiatan serta kesempatan yang berorientasi kelautan masih terbatas

dikembangkan. Di pantai utara Jawa, hampir semua hutan mangrove telah

habis dirombak menjadi kawasan permukiman, perhotelan, tambak dan sawah

yang berorientasi kepada ekosistem daratan. Pemanfaatan sumberdaya alam

wilayah pesisir mestinya tidak hanya terbatas pada hutan mangrove atau

tambak saja tapi juga eksploitasi terumbu karang yang telah melampaui batas,

sehingga sulit dapat dipulihkan kem bali. Hal ini terjadi di Bali Selatan,

pantai utara Jawa Tengah.

5. Permasalahan kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan

lautan. Sering terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidak jelasan kewenangan

antara instansi sektoral pusat dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang

siur tanggung jawab dan prosedur perizinan untuk kegiatan pembangunan

pesisir dan lautan. Contohnya seperti pembukaan lahan di kawasan pesisir,

usaha penggalian pasir, reklamasi, penangkapan ikan dan pengambilan

terumbu karang dan lain-lain. Akibat tersebut menyebabkan terus

meningkatnya perusakan ekosistem kawasan pesisir dan lautan khususnya

kawasan hutan mangrove.

6. Permasalahan informasi kawasan pesisir. Keberadaan data dan informasi

(35)

pesisir, keanekaragaman hayati, lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi

dan peran serta keluarga, sumberdaya hutan mangrove masih terbatas

sehingga belum dapat mendukung penataan ruang kawasan pesisir, pembinaan

dalam pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta rehabilitasi.

Menurut Alikodra (1998), beberapa masalah yang perlu segera diatasi agar

kerusakan hutan mangrove tidak berkelanjutan adalah :

1. Data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan

dengan sumberdaya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum

mendukung tata ruang, pembinaan, pemanfaatan yang lestari dan perlindungan

serta rehabilitasinya.

2. Belum berkembangnya pengelolaan hutan mangrove, baik dalam hal

silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan

maupun pengawasannya, hal ini mengakibatkan terjadinya degradasi hutan

mangrove yang tidak terkendali

3. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan mangrove

belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara lestari,

terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan, kesadaran, keterbatasan dan

kesempatan berusaha

4. Pengelolaan kawasan hutan mangrove merupakan tanggung jawab bersama

antara pemerintah dan masyarakat, namun keikutsertaan secara aktif dari

masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan

pemanfaatannya masih terbatas, sehingga persepsi dan keperdulian antara

pengelola dan pengguna hutan mangove berbeda-beda.

5. Mekanisme pendanaan yang belum memadai untuk program-program

pengelolaan hutan mangrove yang meliputi perlindungan, pelestarian,

penelitian dan pemanfaatan yang lestari dengan melibatkan berbagai unsur

(36)

2.4. Struktur Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah

pesisir dan sumber penghidupan ekonominya bergantung secara langsung pada

pemanfaatan sumberdaya pesisir (Nikijuluw, 2001). Dengan demikian, terdapat

masyarakat pesisir yang bergantung pada pemanfaatan sumberdaya perikanan dan

non perikanan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan antara lain terdiri dari

nelayan, pembudidaya ikan dan biota laut lainnya, pengolah dan pemasaran.

Pemanfaatan sumberdaya pesisir non perikanan diantaranya penyedia jasa

lingkungan, dan pemanfaat energi tremal dan bahan tambang. Departemen

Kelautan dan Perikanan (2002) menyebutkan masyarakat pesisir meliputi nelayan

yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan,

pembudidaya ikan di laut, petambak, wanita nelayan dan pengolah ikan, dan

lembaga pemasaran hasil perikanan. Penelitian ini difokuskan pada pemanfaat

sumberdaya pesisir yaitu masyarakat nelayan dan petambak.

2.4.1. Masyarakat Nelayan

Satria (2002) menyebutkan bahwa karakteristik masyarakat nelayan

berbeda dengan masyarakat petani. Masyarakat nelayan memiliki karakter yang

lebih keras, tegas dan terbuka, dikarenakan masyarakat pesisir menghadapi

sumberdaya yang bersifat open access. Sifat sumberdaya semacam ini

memungkinkan semua orang dapat mengeksploitasinya, sehingga beban resiko

yang harus ditanggung oleh nelayan menjadi sangat tinggi. Sebaliknya

masyarakat petani berhadapan dengan sumberdaya yang relatif terkontrol.

Menurut Bahri (1995), lingkungan fisik nelayan sifatnya sulit diramalkan serta

target operasi penangkapannya hidup dan liar. Hal ini membuat usaha perikanan

mempuyai resiko kerusakan dan kerugian yang tinggi serta pola pendapatan yang

(37)

Tabel 1. Karakter sumberdaya yang dihadapi masyarakat nelayan-petani

Sektor Nelayan Petani

Sumberdaya alam yang

dihadapi

• Ketergantungan pada

produktivas laut

• Sulit untuk diperkirakan

• Resiko tinggi

Common property

• Ketergantungan pada

lahan

• Dapat diperkirakan

• Resiko kecil

• Sifatnya permanen

Privat proverty

Mobilitas Tinggi karena mengarungi laut

dari satu daerah ke daerah lain

untuk mendapatkan hasil

tangkapan yang maksimal

Rendah karena sumberdaya

alam yang dihadapi permanen

Sumber : diadopsi dari Satria, 2002

Berkaitan dengan perbedaan karakteristik tersebut, kehidupan keluarga

nelayan menghadapi aktivitas ekonomi yang tidak pasti, dimana pendapatan yang

bersifat harian dan tidak bisa ditentukan jumlahnya. Selain itu pendapatan juga

sangat tergantung oleh musim maupun status nelayan itu sendiri (pemilik atau

anak buah kapal). Seafdec (1978) membuat pengelompokan aktivitas perikanan

untuk Indonesia berdasarkan perbedaan ukuran kapal dan perbedaan antara perahu

tanpa motor dengan kapal. Di Filipina nelayan yang menggunakan perahu untuk

menangkap ikan yang berukuran lebih dari tiga ton dikategorikan sebagai nelayan

komersil, sedangkan perahu yang berukuran kurang dari tiga ton atau tanpa

menggunakan perahu disebut nelayan desa. Sedangkan di Hongkong dan di

Singapura dibedakan antara usaha perikanan daerah pantai dan lepas pantai. Di

Thailand perbedaan itu atas dasar tipe peralatan penangkapan yang dipakai

(Smith, 1979). Di Malaysia klasifikasi nelayan ditentukan berdasarkan tingkat

pendapatan bulanan. Nelayan yang mempuyai penghasilan Rp. 744.000

dikategorikan sebagai nelayan susah atau miskin, sedangkan nelayan yang

mempuyai penghasilan antara Rp.1.800.000-3.600.000 sebulan dikategorikan

kedalam nelayan senang (Hasyim dan Wan, 1980).

Firth (1975) menggambarkan struktur masyarakat nelayan dengan

menghubungkan alat tangkap yang digunakan. Sedangkan Kusnadi (2002)

(38)

Pertama, dari segi penguasaan alat produksi, terbagi menjadi pemilik (yang

memiliki) dan buruh (yang tidak memiliki alat produksi dan memberikan

tenaganya untuk memperoleh imbalan dengan hak-hak yang terbatas). Kedua, dari

tingkat skala investasi modal usahanya, terbagi menjadi nelayan besar dan nelayan

kecil. Nelayan besar yang menanamkan modalnya dalam jumlah besar dan

sebaliknya untuk nelayan kecil. Ketiga, dari tingkat penggunaan teknologi

penangkapan yang digunakan, terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan

tradisional.

Kusnadi (2000) menyatakan bahwa nelayan tradisional disamakan dengan

nelayan subsistensi, pra industri, berskala kecil dan beroperasi di perairan pantai,

sedangkan nelayan modern diasosiasikan dengan ciri-ciri usaha yang bersifat

komersial, industri, berskala besar, dan beroperasi di daerah lepas pantai. UU No

9 tahun 1985 berdasarkan status pengusahaannya nelayan dibedakan antara

nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau

badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal atau perahu

yang digunakan dalam usaha penagkapan ikan. Sedangkan nelayan pekerja

adalah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tenaga kerjanya

turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut.

Manurung (1978) menyatakan bahwa atas dasar aspek ekonomi dan

tingkat inovasi nelayan yang saling berinteraksi, maka nelayan kecil mempuyai

kriteria sebagai berikut :

1. Pendapatan perkapita lebih rendah dari garis kemiskinan yakni tingkat

pendapatan dibawah 240 kg nilai tukar beras/orang/tahun seperti yang

dikemukakan dalam konsep Sayogjo;

2. Nelayan pemilik usaha kecil dengan anak buah perahu motor atau layar

sama atau lebih kecil tiga orang;

3. Nelayan yang tidak memiliki alat produksi seperti perahu dan alat

tangkap, nelayan ini bisa disebut nelayan buruh (pandega);

4. Nelayan kecil umumnya memiliki tenaga kerja keluarga yang

dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga;

5. Modal usaha yang relatif kecil, antara lain untuk satu unit alat tangkap

(39)

Rp. 150.000 dan kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah perahu tanpa

motor seharga kira-kira Rp. 150.000 sampai dengan Rp. 250.000

sehingga kemampuan mereka untuk melakukan usaha penangkapan

terbatas hanya di pesisir pantai dan di muara-muara sungai; dan

6. Tingkat pendidikan, keterampilan dan inovasi nelayan dan anggota

keluarga nelayan relatif rendah

2.4.2. Petambak

Petambak adalah masyarakat yang kegiatan utamanya membudidayakan

ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan

dangkal di wilayah pantai. Pollnac (1988) mengemukakan bahwa nelayan

membentuk masyarakatnya sendiri dengan karakter sosio-budaya yang khas,

sebagai hasil adaptasi mereka pada habitat pantai dan laut dimana pemenuhan

kebutuhan hidup diperoleh. Nelayan tergantung pada kemudahan bersama dan

memiliki hak yang sama terhadap sumberdaya dan hanya perlu menangkap apa

yang berkembang secara alamiah. Berbeda dengan petambak yang dalam pola

kerjanya lebih menyerupai pertanian atau peternakan.

Aksesibilitas petambak terhadap sumberdaya alam relatif lebih baik

dibanding nelayan penangkap ikan. Ketergantungan mereka tidak terbatas pada

sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada daratan. Kondisi ini selain

memberikan alternatif lebih banyak bagi pengembangan ekonomi masyarakat.

Petambak umumnya membudidayakan tambak, mengusahakan kerang-kerangan,

rumput laut, dan ikan di perairan dangkal. Selain itu, petambak juga mempuyai

akses terhadap lahan yang dapat mereka manfaatkan untuk sumber penghasilan

alternatif.

Petambak memiliki kegiatan produksi agak berbeda dengan nelayan

tangkap. Jika nelayan tangkap menggantungkan nasibnya sepenuhnya pada hasil

laut yang sifatnya open access (setiap individu/kelompok nelayan mempuyai hak

yang sama untuk memanfaatkan sumberdaya laut), maka petambak

menggantungkan usahanya dengan mengelola lahan tambak. Oleh karena itu

(40)

pemeliharaan yang spesifik (tradisional, semi intensif atau intensif) agar dapat

menghasilkan komoditi perikanan yang diharapkan.

Dalam struktur masyarakat petambak ditemui berbagai status, fungsi dan

peran dari individu-individu yang saling berinteraksi, membentuk suatu jaringan

sosial dalam melaksanakan kegiatan pertambakan. Kegiatan tersebut meliputi

hubungan kerja dan pemasaran hasil produksi. Status, fungsi dan peran dari

masing-masing individu menjadi dasar terbentuknya pelapisan sosial, yaitu

kelompok pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi

perikanan dan petambak yang melakukan usaha budidaya tambak terdiri dari

petambak pemilik, buruh tambak, para eksportir perusahaan perikanan dan

seterusnya (Purnamasari, 2002).

2.5. Kelembagaan Masyarakat Pesisir

2.5.1. Konsep Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu perangkat aturan-aturan yang dikukuhkan

dengan sanksi oleh anggota komunitas pendukung kelembagaan tersebut.

Aturan-aturan tersebut memudahkan koordinasi dan kerjasama diantara masyarakat

pemakai sumberdaya, yang membantu mereka membentuk harapan-harapan yang

sewajarnya dimiliki setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain (Hayami

dan Kikuchi, 1981). Sedangkan Koentjaraningrat (1985), menyatakan bahwa

kelembagaan adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat

kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam

kehidupan masyarakat.

Menurut Poloma (2000), yang dimaksud dengan kelembagaan adalah

organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun informal, yang mengatur

perilaku dan tindakan anggota masyaraklat tertentu, baik dalam kegiatan rutin

sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu.

Lembaga-lembaga dalam masyarakat ada yang bersifat asli berasal dari adat kebiasaan yang

turun temurun, tetapi ada pula yang baru diciptakan baik dari dalam maupun dari

luar masyarakat desa tersebut. Menurut Pakpahan (1991), kelembagaan dicirikan

(41)

benda materi atau non materi, batas yuridiksi, aturan representasi (rule of

representation).

Menurut Soedjatmoko (1980), suatu institusi atau lembaga adalah suatu

rangkaian hubungan antar manusia yang teratur dan yang disahkan secara sosial,

yang menentukan hak, kewajiban dan sifat hukum dengan orang lain.

Lembaga-lembaga ini terwujud di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat seperti kontrak

sewa atau kontrak kerja, pola bagi hasil di bidang pertanian atau bidang

perikanan, pola pewarisan tanah dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini penting

karena lembaga dapat menjamin kemantapan, kepastian dalam interaksi sosial dan

pada tata tertib masyarakat terjamin, tanpa ini hubungan sosial bisa menjadi

kacau. Pola hirarki dalam suatu masyarakat, pola diskriminasi, sifat dualistik

dalam suatu masyarakat, pola-pola asimetris, pola-pola ketergantungan yang

timpang dalam pembagian keuntungan dan yang bersifat eksploitatif juga

merupakan pola-pola struktural.

Davis dan Nort dalam Hayami dan Kikuchi (1981) mengklasifikasikan

kelembagaan dalam dua sub kategori, yaitu :

1. Lingkungkan pranata dasar (the basic institusional environment) yakni

seperangkat aturan-aturan keputusan dasar dan hak-hak pemilikan yang

dapat dispesifikasikan ke dalam hukum formal, atau prinsip-prinsip adat

kebiasaan yang dianggap suci oleh tradisi.

2. Susunan pranata sekunder (the secondary institusional arrangement), yakni

bentuk-bentuk persetujuan khusus yang mengatur cara-cara bagaimana

unit-unit ekonomi dapat berkompetisi atau bekerjasama dalam pemanfaatan

sumberdaya.

Di dalam masyarakat, lingkungan pranata dasar merupakan prinsip-prinsip

tradisional seperti tolong menolong dan pemerataan pendapatan diantara anggota

masyarakat. Adapun contoh susunan pranata sekunder antara lain adalah

bentuk-bentuk perjanjian khusus untuk memperkerjakan tenaga kerja.

2.5.2. Sistem Kelembagaan Masyarakat Pesisir

Menurut Anwar (2002), masyarakat pesisir yang bermukim di wilayah

Gambar

Tabel 1.  Karakter sumberdaya yang dihadapi masyarakat nelayan-petani
Gambar 2. Lokasi penelitian di Kota Bengkulu
Tabel 3.  Daftar informan yang diwawancarai
Tabel 4. Indikator dan Parameter Kerangka Sustainable Livelihood (SL)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guna pembuktian kualifikasi, diharapkan saudara membawa semua data dan informasi yang sah dan asli sesuai dengan Data Isian Kualifikasi yang saudara sampaikan serta Dokumen

[r]

Dari setiap nilai pada subindikator, didapatkan nilai keselamatan konstruksi pada pekerjaan pilar ditinjau terhadap dimensi keselarnatan publik adalah 49 %, nilai

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang akan dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,

Fisioterapis dapat membantu pasien stroke dalam rangka penyembuhan, seperti meningkatkan keseimbangan berjalan, mengurangi spasme (ketegangan) otot, mengurangi resiko

Efeknya adalah terjadi kepadatan penumpang di area check in yang menyebabkan sirkulasi di dalam bandara menjadi kacau.. Agar tidak terjadi hal yang sama, konsep aerotropolis

Majalah Al Falah adalah suatu media cetak yang ditujukan untuk para donatur dari Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF).. Para donatur YDSF dapat memperoleh

Dengan ini saya, Rica Ning Nurhasanah, menyatakan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir saya dengan judul “ Penentuan Market Sentiment Menggunakan Markov Regime Switching Model “