• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN

ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA

KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK

OLEH KATRIN NADA

H14050967

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

RINGKASAN

KATRIN NADA. Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk (dibimbing oleh

MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL).

Jawa Timur adalah kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia. Letaknya yang strategis yaitu antara pulau Bali dan Yogyakarta menjadi simpul penting yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah tengah dan timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah barat Indonesia (Pusdatin Pertanian, 2003). Pada saat krisis ekonomi melanda, kontribusi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) di Jawa Timur terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mengalami penurunan. Krisis ekonomi ini merupakan salah satu dampak negatif dari sistem pemerintahan yang sentralistik.

Melihat kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 22/1999 yang direvisi menjadi UU No. 32/2004 mengenai sistem pemerintahan desentralistik. Sistem yang desentralistik mengindikasikan bahwa daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja. Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Kondisi perekonomian pada suatu daerah erat kaitannya dengan arus migrasi karena pada hakekatnya migrasi merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan.

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat seberapa efektif pelaksanaan otonomi daerah terutama dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja dan mengurangi migrasi keluar. Untuk bisa melihat seberapa besar pertumbuhan kesempatan kerja, digunakan alat analisis Shift Share. Setelah mengetahui efektivitas pelaksanaan otonomi daerah, maka akan dapat dihasilkan suatu rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas tersebut.

(3)

Dampak dari penyalahgunaan wewenang ini tercermin dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerja secara keseluruhan mengalami penurunan. Kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerah terutama terhadap pertumbuhan sektor-sektor usaha menjadi salah satu faktor penyebab turunnya pertumbuhan kesempatan kerja. Beberapa peneliti dari LIPI menyatakan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah lebih berkonsentrasi terhadap pembangunan gedung-gedung dan fasilitas lainnya. Hal ini bisa dapat dilihat dari

meningkatnya pertumbuhan kesempatan kerja secara signifikan pada sektor bangunan.

Melihat hal yang demikian, pemerintah lebih meningkatkan lagi aturan-aturan pelaksanaan otonomi daerah. Ditengah pertumbuhan industri dan bisnis yang semakin pesat, pertumbuhan kesempatan kerja pun (2004-2007) secara agregat terlihat mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu besar. Namun, masih terdapat beberapa sektor yang mengalami penurunan pertumbuhan kesempatan kerja seperti sektor bangunan; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor pertambangan dan galian serta sektor listrik, gas, dan air bersih.

Seharusnya peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja dapat mengurangi migrasi keluar. Namun, jumlah migran keluar seumur hidup di Jawa timur (absolut dan relatif) pada era otonomi daerah ternyata lebih banyak jika dibandingkan pada saat belum diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini dikarenakan faktor penarik dari daerah tujuan lebih besar dibandingkan faktor pendorongnya.

Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Namun, kondisinya sudah mengalami excess supply di mana jumlahnya hampir mencapai tiga kali lipat sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Padahal sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor dengan jumlah tenaga kerja terbesar kedua di Jawa Timur. Adapun sektor-sektor yang selalu mempunyai kontribusi positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja adalah sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor yang kurang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan kesempatan kerja adalah sektor pertambangan dan galian, serta sektor listrik,gas dan air bersih.

(4)

PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN

ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA

KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK

Oleh KATRIN NADA

H14050967

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(5)

Judul Skripsi : PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN

ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA

KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK Nama : Katrin Nada

NIM : H14050967

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 19570904 198303 1 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1988 dari pasangan Saiful Bachri dan Sofiawati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Pancoran Jakarta pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 104 Jakarta pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 55 Jakarta pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima dan mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk”. Otonomi daerah merupakan topik yang masih ramai diperbincangkan, terutama mengenai efektifitas pelaksanaannya. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan topik tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada M. Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Alla Asmara, M.Si dan Syamsul H. Pasaribu, M.Si. selaku dosen penguji dan Komisi Pendidikan atas kritik dan sarannya yang sangat bermanfaat.

Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua (Saiful Bachri dan Sofiawati) dan sanak saudara yang telah mencurahkan kasih sayangnya selama ini dan selalu berdoa untuk penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak Badan Pusat Statistik yang membantu dalam perolehan data. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang nyata untuk berbagai pihak.

Bogor, Agustus 2009

(9)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Tinjauan Teori ... 9

2.1.1. Konsep Otonomi Daerah ... 9

2.1.2. Definisi Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, dan Pengangguran ... 12

2.1.3. Konsep Pasar Tenaga Kerja ... 13

2.1.4. Migrasi ... 17

2.1.5. Korelasi Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja ... 22

2.1.6. Korelasi Otonomi Daerah dan Migrasi Keluar (Urbanisasi) ... 24

2.1.7. Konsep Shift Share ... 26

2.2. Kerangka Pemikiran ... 30

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 33

3.2. Metode Analisis Data ... 33

3.2.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional ... 34

3.2.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Kesempatan Kerja Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) ... 36

(10)

3.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian ... 41

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR ... 44

4.1. Wilayah Kependudukan ... 44

4.2. Ketenagakerjaan ... 46

4.3. Kondisi Perekonomian Propini Jawa Timur ... 48

4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur ... 48

4.3.2. Pendapatan Regional Provinsi Jawa Timur ... 49

4.3.3. Kemiskinan ... 51

V. ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA ... 53

5.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996-2000, 2001-2003, 2004-2007) ... 53

5.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ... 62

5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ... 65

5.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja Jawa Timur padaPra dan Era Otonomi Daerah (I dan II) Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 71

5.5. Peran Pertumbuhan Kesempatan Kerja dalam Mengurangi Jumlah Migrasi Keluar ... 78

VI. PENUTUP ... 81

6.1. Kesimpulan ... 81

6.2. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(11)

PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN

ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA

KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK

OLEH KATRIN NADA

H14050967

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(12)

RINGKASAN

KATRIN NADA. Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk (dibimbing oleh

MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL).

Jawa Timur adalah kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia. Letaknya yang strategis yaitu antara pulau Bali dan Yogyakarta menjadi simpul penting yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah tengah dan timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah barat Indonesia (Pusdatin Pertanian, 2003). Pada saat krisis ekonomi melanda, kontribusi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) di Jawa Timur terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mengalami penurunan. Krisis ekonomi ini merupakan salah satu dampak negatif dari sistem pemerintahan yang sentralistik.

Melihat kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 22/1999 yang direvisi menjadi UU No. 32/2004 mengenai sistem pemerintahan desentralistik. Sistem yang desentralistik mengindikasikan bahwa daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja. Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Kondisi perekonomian pada suatu daerah erat kaitannya dengan arus migrasi karena pada hakekatnya migrasi merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan.

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat seberapa efektif pelaksanaan otonomi daerah terutama dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja dan mengurangi migrasi keluar. Untuk bisa melihat seberapa besar pertumbuhan kesempatan kerja, digunakan alat analisis Shift Share. Setelah mengetahui efektivitas pelaksanaan otonomi daerah, maka akan dapat dihasilkan suatu rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas tersebut.

(13)

Dampak dari penyalahgunaan wewenang ini tercermin dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerja secara keseluruhan mengalami penurunan. Kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerah terutama terhadap pertumbuhan sektor-sektor usaha menjadi salah satu faktor penyebab turunnya pertumbuhan kesempatan kerja. Beberapa peneliti dari LIPI menyatakan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah lebih berkonsentrasi terhadap pembangunan gedung-gedung dan fasilitas lainnya. Hal ini bisa dapat dilihat dari

meningkatnya pertumbuhan kesempatan kerja secara signifikan pada sektor bangunan.

Melihat hal yang demikian, pemerintah lebih meningkatkan lagi aturan-aturan pelaksanaan otonomi daerah. Ditengah pertumbuhan industri dan bisnis yang semakin pesat, pertumbuhan kesempatan kerja pun (2004-2007) secara agregat terlihat mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu besar. Namun, masih terdapat beberapa sektor yang mengalami penurunan pertumbuhan kesempatan kerja seperti sektor bangunan; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor pertambangan dan galian serta sektor listrik, gas, dan air bersih.

Seharusnya peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja dapat mengurangi migrasi keluar. Namun, jumlah migran keluar seumur hidup di Jawa timur (absolut dan relatif) pada era otonomi daerah ternyata lebih banyak jika dibandingkan pada saat belum diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini dikarenakan faktor penarik dari daerah tujuan lebih besar dibandingkan faktor pendorongnya.

Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Namun, kondisinya sudah mengalami excess supply di mana jumlahnya hampir mencapai tiga kali lipat sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Padahal sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor dengan jumlah tenaga kerja terbesar kedua di Jawa Timur. Adapun sektor-sektor yang selalu mempunyai kontribusi positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja adalah sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor yang kurang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan kesempatan kerja adalah sektor pertambangan dan galian, serta sektor listrik,gas dan air bersih.

(14)

PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN

ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA

KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK

Oleh KATRIN NADA

H14050967

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(15)

Judul Skripsi : PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN

ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA

KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK Nama : Katrin Nada

NIM : H14050967

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 19570904 198303 1 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002

(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1988 dari pasangan Saiful Bachri dan Sofiawati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Pancoran Jakarta pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 104 Jakarta pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 55 Jakarta pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima dan mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

(18)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk”. Otonomi daerah merupakan topik yang masih ramai diperbincangkan, terutama mengenai efektifitas pelaksanaannya. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan topik tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada M. Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Alla Asmara, M.Si dan Syamsul H. Pasaribu, M.Si. selaku dosen penguji dan Komisi Pendidikan atas kritik dan sarannya yang sangat bermanfaat.

Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua (Saiful Bachri dan Sofiawati) dan sanak saudara yang telah mencurahkan kasih sayangnya selama ini dan selalu berdoa untuk penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak Badan Pusat Statistik yang membantu dalam perolehan data. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang nyata untuk berbagai pihak.

Bogor, Agustus 2009

(19)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Tinjauan Teori ... 9

2.1.1. Konsep Otonomi Daerah ... 9

2.1.2. Definisi Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, dan Pengangguran ... 12

2.1.3. Konsep Pasar Tenaga Kerja ... 13

2.1.4. Migrasi ... 17

2.1.5. Korelasi Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja ... 22

2.1.6. Korelasi Otonomi Daerah dan Migrasi Keluar (Urbanisasi) ... 24

2.1.7. Konsep Shift Share ... 26

2.2. Kerangka Pemikiran ... 30

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 33

3.2. Metode Analisis Data ... 33

3.2.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional ... 34

3.2.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Kesempatan Kerja Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) ... 36

(20)

3.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian ... 41

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR ... 44

4.1. Wilayah Kependudukan ... 44

4.2. Ketenagakerjaan ... 46

4.3. Kondisi Perekonomian Propini Jawa Timur ... 48

4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur ... 48

4.3.2. Pendapatan Regional Provinsi Jawa Timur ... 49

4.3.3. Kemiskinan ... 51

V. ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA ... 53

5.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996-2000, 2001-2003, 2004-2007) ... 53

5.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ... 62

5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ... 65

5.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja Jawa Timur padaPra dan Era Otonomi Daerah (I dan II) Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 71

5.5. Peran Pertumbuhan Kesempatan Kerja dalam Mengurangi Jumlah Migrasi Keluar ... 78

VI. PENUTUP ... 81

6.1. Kesimpulan ... 81

6.2. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 4.1. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Termasuk Angkatan

Kerja di Provinsi Jawa Timur (2005-2007) ... 47 4.2. PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003-2007 ... 49 4.3. Rencana dan Realisasi Anggaran Pendapatan Menurut Jumlah

Penerimaan Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 ... 50 4.4. Rencana dan Realisasi Pendapatan Jawa Timur (2002-2006) ... 51 5.1. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang

Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Pra dan

Era Otonomi Daerah I Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003 ... 53 5.2 Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang

Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Pra dan Era Otonomi Daerah I Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003 ... 56 5.3. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu

yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah I dan II Tahun 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 58 5.4. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu

yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Era

Otonomi Daerah I dan II Tahun 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 60 5.5. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional

(Nilai Ra, Ri, dan ri) ... 62 5.6 Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa

Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Tahun

1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 66 5.7. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa

Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional

Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 68 5.8. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa

Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah

Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ... 70 5.9. Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Timur Tahun 1996 dan 2000,

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran, dan Pasar Tenaga Kerja ... 15 2.2. Dampak Pertumbuhan Populasi pada Tingkat Modal Per Pekerja ... 23 2.3. Model Analisis Shift Share ... 27 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian ... 29 2.5. Kerangka Pemikiran ... 32 4.1. Grafik Kepadatan Penduduk di Sejumlah Daerah di Jawa Timur

Tahun 2007 ... 45 4.2. Grafik Pertumbuhan Kepadatan Penduduk Jawa Timur (1996 - 2007) ... 46 4.3. Grafik Jumlah Angkatan Kerja Tiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur

(2005-2007) ... 46 4.4. Grafik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks

Keparahan Kemiskinan (P2) Jawa Timur Bulan Maret 2008 ... 52 5.1. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Pra Otonomi Daerah

(1996 dan 2000) ... 74 5.2. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi

Daerah I (2001 dan 2003) ... 75 5.3. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi

Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah ... 87 2. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama

Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi

Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah ... 87 3. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional

(Nilai Ra, Ri, ri) ... 88 4. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi

Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional pada

Pra dan Era Otonomi Daerah ... 88 5. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi

Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional pada Pra dan Era Otonomi Daerah ... 89 6. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi

Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa

Wilayah padaPra dan Era Otonomi Daerah ... 89 7. Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Timur Pra dan Era Otonomi Daerah ... 90

(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konsep otonomi menurut UU No. 5 tahun 1974 tentang otonomi

dipandang sebagai penyebab dari berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan

pemerintahan dua dekade terakhir. Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali

dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah pendekatan sentralistik merupakan

suatu konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Padahal, UUD 1945 sangat

menghargai hak-hak otonom dan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Selain

itu, kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi

geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan

daerah lainnya, akan sulit untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam

proses pemerintahan daerah. Penerapan pendekatan yang terpusat juga

menyebabkan semakin kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat.

Hal ini kemudian mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas pemeritah

dan masyarakat daerah.

Pendekatan sentralistik menambah beban pemerintah pusat dan menambah

masalah yang semakin kompleks sehingga pemerintah sulit membuat

kebijakan-kebijakan yang secara cepat merespon dinamika dan tantangan yang dihadapi.

Misalnya saja pada saat Thailand terkena serangan krisis moneter di bulan Juli

1997, pemerintah bersifat optimistik karena pemerintah merasa fundamental

ekonomi negara cukup kuat dan cadangan devisa masih mampu merespon

kebutuhan transaksi berjalan. Namun, ketika serangan itu datang pada bulan

(26)

Thailand. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merosot tajam dari 40 persen di

awal krisis ke 80 persen di bulan Mei 1998. Banyak perusahaan yang tutup dan

jumlah pengangguran meningkat. Pemerintah daerah juga sudah lama kehilangan

kreativitas sehingga mereka tidak bisa langsung tanggap untuk menangani krisis

moneter. Dari kejadian tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah gagal

memahami dan mengantisipasi gejala krisis ekonomi dan keuangan global. Hal ini

disebabkan, dalam waktu yang cukup lama pemerintah pusat telah menggunakan

terlalu banyak waktu untuk mengurus masalah-masalah domestik.

Jawa Timur adalah kawasan penting pertumbuhan industri dan

perdagangan (bisnis) di Indonesia. Letaknya yang strategis yaitu antara pulau Bali

dan Yogyakarta menjadi simpul penting yang menghubungkan kota-kota

pertumbuhan di wilayah tengah dan timur Indonesia, sekaligus jembatan

penghubung dengan wilayah barat Indonesia (Pusdatin Pertanian, 2003). Pada saat

krisis ekonomi melanda, kontribusi sektor sekunder (industri) di Jawa Timur

terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mengalami penurunan yaitu

sebesar 38,16 persen pada tahun 1997 menjadi 35,11 persen pada tahun 1998 dan

33,89 persen pada tahun 1999. Kontribusi sektor tersier terhadap PDRB juga

mengalami penurunan yaitu dari 43,5 persen pada tahun 1997 menjadi 42,72

persen pada tahun 1998 dan 42,64 persen pada tahun 1999. Adapun kontribusi

sektor primer terhadap PDRB justru mengalami peningkatan yaitu dari 18,24

persen pada tahun 1997 menjadi 22,1 persen pada tahun 1998 dan 27,43 persen

(27)

Terjadinya krisis ekonomi semakin menguatkan argumen bahwa sistem

sentralistik tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sistem yang sentralistik hanya

akan membuat pemerintah pusat kurang fokus mengurusi masalah perekonomian

nasional dan kurang memantau perekonomian dunia. Dengan demikian

pemerintah memberlakukan kebijakan desentralisasi melalui UU No. 22 tahun

1999. Namun, peraturan ini mengalami revisi yang tertera pada UU No. 32 tahun

2004. Hal ini dikarenakan banyak penyalagunaan wewenang dan penyalahartian

konsep yang tertera pada UU No. 22 tahun 1999 oleh pemerintah daerah. Oleh

karena itu, UU No. 32 tahun 2004 diberlakukan untuk lebih mengikatkan

penggunaan wewenang pemerintah daerah pada aturan undang-undang.

Hakekat mendasar dari diberlakukannya kebijakan desentralistik adalah

mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan

kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan

fungsi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) melalui prinsip demokrasi,

peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dengan potensi dan

keanekaragaman. Berkaitan dengan itu, daerah diberikan kewenangan yang lebih

besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber

daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah

otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial

dan kesempatan kerja (Dirjen PMD Depdagri dalam Widjaja, 2003)

Sebenarnya tujuan utama pemberlakuan kebijakan otonomi daerah ini

adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun tujuan lainnya dari

(28)

beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik sehingga

diharapkan dapat lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro

nasional yang bersifat strategis.di bidang ekonomi. Otonomi daerah akan

memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan

fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai

infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan

demikian, unit-unit lapangan usaha dapat ditingkatkan sehingga dapat mendorong

pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja.

Pertumbuhan kesempatan kerja yang berhasil ditingkatkan seharusnya

dapat mendorong masyarakat untuk tidak melakukan migrasi keluar. Hal ini

berkaitan dengan salah satu alasan terjadinya migrasi yaitu ingin mendapatkan

pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pada hakekatnya migrasi penduduk

merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan

fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pengurangan

migrasi keluar yang terjadi di Jawa Timur ini secara tidak langsung akan

menurunkan laju urbanisasi ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jika migrasi keluar

dapat dikurangi berarti selain peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja,

otonomi daerah juga berhasil mengurangi migrasi keluar.

1.2. Perumusan Masalah

Pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk mengubah kebijakan sentralisasi

(29)

32 tahun. Banyak sekali terjadi konflik kepentingan agar kondisinya tidak berubah

secara radikal (Mawardi, 2009)

Asas desentralisasi pada dasarnya adalah memberikan kesempatan dan

kekuasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pemerintah

daerah lebih mengetahui kondisi daerah dan masyarakatnya sehingga diharapkan

pembangunan daerah dapat berjalan lebih baik lagi. Namun, dalam pelaksanaan

otonomi daerah, dibutuhkan suatu tolok ukur keberhasilan. Salah satunya adalah

membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah otonomi

daerah. Adapun seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa peningkatan

kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan

pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan peningkatan pertumbuhan

kesempatan kerja. Kesejahteraan masyarakat di suatu daerah itulah yang menjadi

salah satu faktor penentu seseorang melakukan migrasi atau tidak. Untuk lebih

spesifiknya, poin-poin yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :

(1) Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di

berbagai pelosok daerah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diupayakan

melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Agar

pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan tujuan otonomi daerah, maka peningkatan pertumbuhan ekonomi

harus dapat meningkatkan kesempatan kerja di daerah tersebut. Sejauh mana

otonomi daerah berhasil meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Timur dalam

(30)

(2) Pertumbuhan yang diiringi peningkatan kesempatan kerja di Jawa Timur akan

memiliki daya tarik tersendiri bagi para penduduknya untuk tidak melakukan

migrasi keluar. Sampai sejauh mana hasil yang dicapai selama

penyelenggaraan otonomi daerah ini dapat mengurangi jumlah migrasi keluar?

(3) Kebijakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai

keberhasilan yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan otonomi daerah

terutama untuk mencapai pemerataan pembangunan Jawa Timur?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

(1) Menelaah pengaruh dilaksanakannya otonomi daerah terhadap laju

pertumbuhan kesempatan kerja, pertumbuhan lapangan usaha dan daya saing

lapangan usaha di Jawa Timur.

(2) Menelaah sejauh mana otonomi daerah dapat mengurangi jumlah migrasi di

Jawa Timur.

(3) Menelaah kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk

mencapai keberhasilan yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan otonomi

daerah terutama agar kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan

(31)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

(1) Menjadi sumber informasi dan sebagai bahan rujukan untuk memikirkan

strategi terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan daerah yang dapat

meningkatkan kesempatan kerja.

(2) Memecahkan masalah kesempatan kerja dimana masalah tersebut menjadi

salah satu prioritas dilakukannya otonomi daerah dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

(3) Bagi ekonom, penelitian ini dapat dijadikan rujukan analisis perekonomian

dan analisis strategi kebijakan dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan

kerja yang terbaik dan pada akhirnya mengurangi angka migrasi keluar di

Jawa Timur.

(4) Menjadi bahan referensi di kalangan akademisi untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini berkisar pada pertumbuhan kesempatan kerja

di Provinsi Jawa Timur sebelum dan setelah otonomi daerah. Besarnya

kesempatan kerja nantinya akan dihubungkan dengan jumlah migrasi keluar

(urbanisasi). Kedua kondisi tersebut yang akan menjadi tolok ukur keberhasilan

otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kurun waktu penelitian adalah 1996- 2007 yang dibagi menjadi tiga

periode. Periode pertama adalah tahun 1996-2000 (pra otonomi daerah), periode

kedua adalah tahun 2001-2003 (era otonomi daerah I), periode ketiga adalah tahun

(32)

ditujukan untuk menjaga kefektivitasan hasil analisis Shift Share. Selain itu adanya revisi undang-undang otonomi daerah juga menjadi alasan pembagian

periode tersebut. Pada periode era otonomi daerah I (2001-2003) berlandaskan

UU No.22/1999, sedangkan pada periode era otonomi daerah II (2004-2007)

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Konsep Otonomi Daerah

Peraturan tentang otonomi telah ada sejak zaman Orde Baru yang tertera

dalam UU No. 5 tahun 1974. Menurut undang-undang tersebut otonomi daerah

adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur serta mengurus

rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Namun, pelaksanaannya masih mengarah kepada sistem sentralistik.

Mengingat kemampuan pemerintah pusat mensubsidi daerah dan membiayai

proyek-proyek pemerintah di daerah semakin menurun maka pemerintah

memberlakukan suatu peraturan mengenai otonomi daerah yang mengarah kepada

sistem desentaralisasi. Peraturan mengenai otonomi daerah ini tertera pada

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.

Berdasarkan Undang-Undang No 22 tahun 1999, daerah otonom adalah

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas daerah tertentu yang

berwenang mengelola, mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sedangkan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat. Namun, ada perubahan terhadap UU No. 22/1999. Perubahan itu

tercermin pada UU No. 32 tahun 2004. Berdasarkan UU No. 32/2004 pasal 10

ayat 3 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan

(34)

aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut

undang-undang tersebut, otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu,

seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan

agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.

Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan,

pemerataan, dan keanekaragaman.

Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks nasional adalah

memelihara keutuhan negara dan bangsa, melembagakan proses seleksi

kepemimpinan nasional dan mempercepat pencapaian kemakmuran rakyat.

Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan demokrasi di

tingkat lokal, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan efisiensi

dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak

masyarakat lokal (LIPI, 2002).

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada tahap awal telah

menimbulkan masalah baru. Karena otonomi daerah dilandaskan atas nilai-nilai

kebebasan dimana kebebasan tersebut tidak mampu dikendalikan oleh pihak yang

menjalankan kebebasan itu sendiri dan lemahnya penegakan hukum banyak

mendatangkan dampak negatif. Polemik pun timbul di kalangan masyarakat.

Pemerintah beranggapan bahwa UU No. 22 tahun 1999 memberikan otonomi

daerah yang terlalu luas dan tidak jelas sehingga memberikan kesempatan bagi

daerah-daerah untuk mengambil langkah-langkah yang merugikan pelaksanaan

otonomi daerah. Menurut tinjauan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(35)

dengan mengadakan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Ketiga alasan

tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Kewenangan yang besar dari DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) sebagai

akibat berubahnya DPRD yang semula merupakan bagian dari pemerintah

daerah menjadi lembaga legislatif di daerah. Praktek money politics (tawar-menawar dalam memperoleh dana) di antara aparat pemerintahan pun mudah

terjadi.

(2) Kecenderungan banyak pemerintah kebupaten dan kota untuk meningkatkan

PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan sumber-sumber penghasil dana dengan

cara menaikkan retribusi dan pajak. Dalam jangka panjang, peningkatan

retribusi dan pajak justru akan merugikan daerah yang bersangkutan karena

menyulitkan para pedagang dan pengusaha serta menjauhkan para calon

investor. Di negara maju, menaikkan pajak adalah langkah terakhir yang

ditempuh pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara karena merugikan

rakyat banyak.

(3) Adanya masalah hierarki antara pemerintah daerah pada tingkat Provinsi dan

tingkat kabupaten/kota. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada

kabupaten/kota menimbulkan persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah

bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat

Provinsi. Padahal kenyataannya peran gubernur masih tetap penting dalam

mengkoordinir para bupati dan walikota agar tercipta kerjasama yang baik dan

(36)

Terkait dengan ketiga alasan tersebut pada akhirnya revisi terhadap

undang-undang otonomi daerah pun dilakukan. Dengan demikian keluarlah UU

No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU No. 22

tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU No. 25 tahun

1999.

2.1.2. Definisi Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, dan Pengangguran

Konsep yang berkaitan dengan tenaga kerja yang digunakan oleh Badan

Pusat Statistik sesuai dengan Konversi ILO (International Labor Organization) Nomor 138. Konsep tersebut membagi penduduk menjadi dua kelompok yaitu

penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Penduduk usia kerja adalah

penduduk berumur 15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja ini dibedakan

menjadi dua yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk yang

termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja atau punya

pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. Sedangkan

penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang

masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya.

Kesempatan kerja adalah lapangan pekerjaan yang dapat diisi oleh

penawaran tenaga kerja atau permintaan tenaga kerja yang tersedia. Kesempatan

kerja diproyeksikan melalui gambaran penduduk berusia 15 tahun ke atas yang

bekerja selama seminggu yang lalu menurut lapangan usaha yang tersedia.

Lapangan usaha yang terdapat Provinsi Jawa Timur terdiri dari sembilan sektor,

(37)

listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7)

transportasi dan komunikasi, (8) keuangan, perbankan dan jasa perusahaan, dan

(9) jasa-jasa. Kesempatan kerja juga menunjukkan persentase penduduk bekerja

terhadap angkatan kerja (Sakernas BPS, 2002).

Mengingat kesempatan kerja adalah proyeksi dari penduduk usia kerja

yang bekerja selama seminggu yang lalu sesuai dengan lapangan usaha yang

tersedia maka penduduk usia kerja yang sudah diterima namun selama seminggu

yang lalu belum mulai bekerja dikategorikan sebagai pengangguran.

Pengangguran erat kaitannya dengan kesempatan kerja dan jumlah lapangan kerja.

Pertumbuhan lapangan usaha yang tidak sebanding dengan pertumbuhan angkatan

kerja akan sulit mengurangi pengangguran. Pengangguran menggambarkan

adanya ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja.

2.1.3. Konsep Pasar Tenaga Kerja

Pasar tenaga kerja meliputi permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga

kerja (Bellante, 1990). Permintaan tenaga kerja menjelaskan berapa banyak

perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja dengan berbagai tingkat upah pada

periode tertentu. Permintaan tenaga kerja ini bertujuan untuk membantu proses

produksi. Jadi besarnya permintaan tenaga kerja tergantung dari output yang

dihasilkan. Permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (Simanjuntak,

1998). Pada teori neoklasik disebutkan bahwa asumsi seorang pengusaha dalam

(38)

Adapun fungsi permintaan tenaga kerja didasarkan pada :

(1) Tambahan hasil marjinal yaitu tambahan hasil yang diperoleh pengusaha

dengan penambahan seorang pekerja.

(2) Penerimaan marjinal yaitu jumlah uang yang akan diperoleh pengusaha

dengan tambahan hasil marjinal tersebut, dimana penerimaan marjinal

merupakan besarnya tambahan hasil marjinal dikalikan harga outputnya.

(3) Biaya marjinal yaitu biaya yang dikeluarkan pengusaha dengan

mempekerjakan tambahan seorang karyawan, biaya marjinal adalah upah itu

sendiri. Jika penerimaan marjinal lebih besar dibandingkan biaya marjinal

maka pengusaha akan terus meningkatkan jumlah karyawan selama

penerimaan marjinal lebih besar dari upah (Simanjuntak, 1998).

Penawaran tenaga kerja tergantung dari jumlah penduduk, persentase

jumlah penduduk yang memilih masuk angkatan kerja, jumlah jam kerja yang

ditawarkan oleh angkatan kerja dan upah pasar. Bagi pekerja upah adalah salah

satu alat untuk meningkatkan daya beli dan meningkatkan kesejahteraan. Namun,

bagi perusahaan upah mempengaruhi biaya produksi dan tingkat harga yang pada

akhirnya berakibat pada pertumbuhan produksi, perluasan pasar, dan kesempatan

(39)

Gambar 2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran, dan Pasar Tenaga Kerja

Berdasarkan Gambar 2.1. VMPPL (Value Marginal Physical Product of

Labour) yaitu besarnya nilai hasil marjinal tenaga kerja dan VMPPL sendiri sama dengan upah. MPPL (Marginal Physical Product of Labour) adalah tambahan hasil marjinal. Nilai dari MPPL adalah jumlah uang yang diperoleh pengusaha

dengan tambahan hasil marjinal tersebut atau disebut dengan penerimaan

marjinal. Jadi, jika dirumuskan secara matematis, maka akan diperoleh :

MR = VMPPL = MPPL x P

Titik E sebagai titik ekuilibrium dari fungsi permintaan dan penawaran

tenaga kerja menentukan besarnya penempatan atau jumlah orang yang bekerja

(40)

Masalah di dalam pasar tenaga kerja yang sampai ini belum pernah terselesaikan

adalah pengangguran. Pengangguran yang meningkat menunjukkan kesejahteraan

masyarakat pada umumnya menurun. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi

daerah yang bersifat desentralistik sesuai UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32

tahun 2004 sebagai revisi dari UU No. 22 tahun 1999 ditujukan untuk

meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Peningkatan

kesejahteraan tersebut dapat diupayakan dengan meningkatkan pertumbuhan yang

dapat meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran.

Berdasarkan penelitian Lestari (2006) dengan judul Analisis Pertumbuhan

Kesempatan Kerja Pra dan Pasca Otonomi Daerah di Provinsi DKI Jakarta

(1999-2004), kebijakan otonomi daerah di DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan

perekonomian nasional yang baru berjalan selama lima tahun belum dapat

menunjukkan pengaruh yang signifikan. Tetapi, karena terdapat peningkatan

pertumbuhan kesempatan kerja walaupun tidak terlalu besar, maka terdapat

optimisme bahwa kebijakan otonomi daerah tersebut akan membawa banyak

perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk dalam penciptaan kesempatan kerja

di masa yang akan datang. Jadi dalam penelitian tersebut, otonomi daerah di DKI

Jakarta dapat membawa keadaan ekonomi Jakarta ke arah yang lebih baik.

Berdasarkan penelitian Prihartini (2007) yang berjudul Analisis

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Kota

Bogor, variabel-variabel yang memberikan kontribusi positif terhadap penyerapan

tenaga kerja adalah PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan jumlah

(41)

penyerapan tenaga kerja. Menurut penelitian Rahman (2008) yang berjudul

Eksistensi Persistensi Pengangguran di Indonesia, persistensi pengangguran yang

terjadi di Indonesia bukan karena peningkatan keseimbangan atau karena pasar

tenaga kerja terlalu lamban untuk melakukan penyesuaian. Jadi, walaupun pada

tahun 2007 Indonesia pengangguran berkurang, tetapi hal tersebut masih sangat

rentan terhadap goncangan kondisi perekonomian. Hal ini terbukti setelah

terjadinya guncangan akibat krisis global baru-baru ini. Peningkatan

pengangguran di Indonesia sulit untuk dicegah.

Dari penelitian-penelitian di atas tentang masalah kesempatan kerja dan

pengangguran, maka hasil penelitian tersebut dapat menjadi rujukan untuk

penelitian ini dalam meneliti kondisi kesempatan kerja di Provinsi Jawa Timur

sebelum dan sesudah otonomi daerah. Kondisi kesempatan kerja ini akan

dihubungkan dengan jumlah migrasi keluar di Jawa Timur.

2.1.4. Migrasi

Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak spasial, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel, 1973 dalam

Emalisa, 2003). Ke dalamnya termasuk baik dimensi gerak penduduk permanen

maupun dimensi non-permanen. Definisi lain, migrasi adalah perpindahan

penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain

melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam

(42)

Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefinisikan dengan berbagai

cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali

sepanjang hidupnya. Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan

ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidaknya

dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu. (Young,

1984 dalam Emalisa, 2003).

Ada beberapa jenis migrasi, yaitu:

(1) Migrasi Masuk : masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan.

(2) Migrasi Keluar: perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah asal.

(3) Migrasi Neto : merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan migrasi

keluar. Apabila migrasi yang masuk lebih besar dari pada migrasi keluar maka

disebut migrasi neto positif sedangkan jika migrasi keluar lebih besar dari

pada migrasi masuk disebut migrasi neto negatif.

(4) Migrasi Semasa/Seumur Hidup : mereka yang pada waktu pencacahan sensus

bertempat tinggal di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya

tanpa melihat waktu pindahnya.

(5) Migrasi Risen : mereka yang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data

berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lima tahun sebelumnya.

(6) Urbanisasi : bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota

yang disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan/atau akibat

dari perluasan daerah kota dan pertumbuhan alami penduduk kota. Definisi

urban berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya tetapi biasanya

(43)

lain yang padat. Klasifikasi yang dipergunakan untuk menentukan daerah kota

biasanya dipengaruhi oleh indikator mengenai penduduk, indikator mengenai

kegiatan ekonomi, indikator jumlah fasilitas urban atau status administrasi

suatu pemusatan penduduk.

(7) Transmigrasi : salah satu bagian dari migrasi. Istilah ini memiliki arti yang

sama dengan 'resettlement' atau 'settlement'. Transmigrasi adalah pemindahan dan/kepindahan penduduk dari suatu daerah untuk menetap ke daerah lain

yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan

pembangunan negara atau karena alasan-alasan yang dipandang perlu oleh

pemerintah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

Transmigrasi ini diatur oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1972. Transmigrasi

yang diselenggarakan dan diatur pemerintah disebut transmigrasi umum,

sedangkan transmigrasi yang biaya perjalanannya dibiayai sendiri tetapi

ditampung dan diatur oleh pemerintah disebut transmigrasi spontan atau

transmigrasi swakarsa.

Penyebab migrasi dikategorikan sebagai faktor push dan pull. Push-pull theory (Ravenstein, 1987 dalam Erwidodo, 1992) menyatakan bahwa sebagian orang bermigrasi akibat tarikan oleh insentif yang tersedia di tempat tujuan dan

sebagian lain akibat dorongan kondisi sosial-ekonomi yang kurang

menguntungkan di desa atau daerah asal.

Menurut Bogue yang menjadi faktor penarik adalah :

(1) Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki

(44)

(2) Kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik,

(3) Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi,

(4) Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan,

(5) Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung,

(6) Adanya aktivitas di kota besar, tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai

daya tarik bagi orang-orang desa.

Adapun faktor pendorongnya adalah sebagai berikut:

(1) Berkurangnya sumber-sumber alam,

(2) Lapangan kerja yang sempit di daerah asal,

(3) Adanya tekanan atau diskriminasi,

(4) Tidak cocok dengan adat/budaya/kepercayaan,

(5) Alasan pekerjaan atau perkawinan,

(6) Bencana alam baik berupa banjir, kebakaran, gempa, penyakit.

Teori Lewis menyatakan bahwa perpindahan tenaga kerja dari sektor

pertanian ke sektor industri karena sektor industri membutuhkan tenaga kerja

dengan asumsi sektor pertanian mengalami surplus tenaga kerja. Produktivitas

tenaga kerja di sektor industri lebih tinggi dari pada sektor pertanian. Inilah yang

menjadi motivasi penduduk untuk melakukan migrasi. Teori tersebut dapat

diperjelas dengan Todaro Migration model. Model ini menjelaskan migrasi desa-kota sebagai proses ekonomi yang rasional, meskipun angka pengangguran di

kota-kota sudah sedemikian tinggi. Kebanyakan negara sedang berkembang

mengabaikan sektor pertanian untuk mendapatkan sumber daya dalam upaya

(45)

mengutamakan urban bias (kecenderungan mengutamakan kota) yang sudah mendarah daging dalam kehidupan ekonomi di banyak negara sedang

berkembang. Keadaan ini mendorong tetap berlangsungnya tingkat migrasi yang

tinggi meskipun pengangguran di kota meningkat terus.

Berdasarkan penelitian Desiar (2003) yang berjudul Dampak Migrasi

terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta, peluang migran

dalam memperoleh pekerjaan ternyata jauh lebih besar dari pada peluang

penduduk bukan migran (penduduk lokal). Tetapi, penduduk migran yang tingkat

pendidikan tertingginya adalah SLTP lebih banyak berusaha di sektor informal.

Adapun dampak dari migrasi yang masuk ke Jakarta adalah meningkatnya

pengangguran dan orang bergerak di sektor informal. Faktor dominan yang

mempengaruhi penduduk untuk bermigrasi adalah sulitnya mereka dalam

memperoleh pekerjaan di daerah asal. Selain itu tingkat PDRB (Produk Domestik

Regional Bruto) DKI Jakarta sebagai daerah tujuan migrasi merupakan faktor

penarik.

Berdasarkan penelitian Darmawan (2007) yang berjudul Pengaruh

Faktor-Faktor Ekonomi terhadap Pola Migrasi Antar Provinsi di Indonesia, ternyata

penduduk bermigrasi dari daerah yang memiliki Upah Minimum Regional (UMR)

tinggi ke daerah yang memiliki UMR rendah. Hal ini dikarenakan UMR tidak

sebanding dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) dan tidak semua migran

melakukan migrasi karena alasan pekerjaan, misalnya: alasan pernikahan,

pendidikan, keluarga. Berdasarkan penelitian tersebut faktor penarik penduduk

(46)

dibandingkan daerah asal. Penelitian tersebut tidak mengelompokkan migran

menurut kelompok umur.

2.1.5. Korelasi Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja

Kebijakan sentralisasi dirasa kurang cocok diterapkan di Indonesia.

Indonesia yang memiliki masyarakat dan kondisi alam yang berbeda-beda tiap

daerahnya, membutuhkan kebijakan yang berbeda pula untuk membangun

berbagai daerah di Indonesia. Kebijakan sentralisasi juga hanya akan membuat

pemerintah pusat lebih terfokus pada perekonomian domestik dan kurang fokus

terhadap perekonomian dunia.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dapat tersebar

merata sampai ke pelosok daerah, pemerintah memberlakukan kebijakan otonomi

daerah. Pengalihan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah ini

dikarenakan pemerintah daerah lebih mengenal kondisi wilayah dan

masyarakatnya masing-masing. Sistem yang desentralistik ini mengindikasikan

bahwa daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan

pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan

penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja.

Selain itu pula dengan adanya otonomi daerah dapat lahir berbagai prakarsa

pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses

perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang

(47)

Adapun alasan diprioritaskannya pertumbuhan kesempatan kerja pada

program otonomi daerah adalah agar pertumbuhan ekonomi daerah bisa

berkelanjutan. Hal ini dapat dijelaskan dengan model Solow di mana untuk dapat

menjelaskan pertumbuhan yang berkelanjutan perlu menganalisis pertumbuhan

populasi penduduk.

Peningkatan populasi penduduk menandakan angkatan kerja yang semakin

meningkat. Peningkatan angkatan kerja ini akan mengurangi persediaan tingkat

modal per pekerja. Gambar 2.2. menunjukkan bahwa kenaikan tingkat

pertumbuhan populasi dari n1 ke n2 mengurangi tingkat modal per pekerja pada kondisi mapan dari k1* ke k2*. Karena k* lebih rendah, dan karena y* = f(k*) maka tingkat output per pekerja y* juga lebih rendah. Jadi peningkatan pertumbuhan populasi akan menurunkan GDP per kapita dan memperlambat

pertumbuhan ekonomi.

Sumber : Mankiw, 2000

Gambar 2.2. Dampak Pertumbuhan Populasi pada Tingkat Modal Per Pekerja

(48)

Pertumbuhan populasi yang semakin meningkat menyebabkan modal per

pekerja dan output per pekerja turun. Namun, dengan teknologi yang semakin

maju, output per pekerja dapat ditingkatkan. Hal ini dikarenakan kemajuan

teknologi dapat meningkatkan efektivitas para pekerja. Walaupun demikian,

pertumbuhan populasi akan terus meningkat. Jika penambahan output hanya

dikarenakan kemajuan teknologi tanpa menyerap angkatan kerja yang terus

meningkat, maka pengangguran akan bertambah. Peningkatan pengangguran akan

mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. Permintaan domestik yang menurun

akan menurunkan pula total produksi. Penurunan output nasional akan

menurunkan GDP dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi pun melambat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa masalah pertumbuhan kesempatan kerja ini sangat

penting. Hal ini dikarenakan pertumbuhan kesempatan kerja inilah yang akan

membuat pertumbuhan ekonomi dapat terus tumbuh berkelanjutan. Dengan

demikian semakin jelas terlihat bahwa program otonomi daerah dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan meningkatkan

pertumbuhan kesempatan kerja.

2.1.6. Korelasi Otonomi Daerah dan Migrasi Keluar

Salah satu tujuan otonomi daerah adalah menciptakan efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak

masyarakat lokal. Dalam konteks ekonomi, otonomi daerah bertujuan

memeratakan pembangunan. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih

(49)

ekonomi akan lebih merata dirasakan seluruh lapisan masyarakat yang sesuai

dengan kebudayaan dan kondisi masyarakat daerah tersebut.

Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah besarnya tingkat

kesejahteraan masyarakat yang dapat dicapai. Hal ini dapat dilihat dari seberapa

besar pertumbuhan kesempatan kerja yang dapat ditingkatkan. Pertumbuhan

kesempatan kerja yang meningkat ini dapat menjadi faktor penarik untuk migran

masuk dan dapat mengurangi migran keluar. Oleh karena itu, secara teoritis

otonomi daerah yang berhasil meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja

seharusnya dapat mengurangi migrasi keluar.

Pertumbuhan kesempatan kerja yang meningkat bisa jadi tidak dapat

mengurangi arus migrasi keluar. Jika dilihat dari segi ekonomi, harapan

mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi menjadi faktor penarik seseorang

melakukan migrasi keluar. Sedangkan faktor pendorongnya adalah lapangan

pekerjaan yang sempit di daerah asal. Jika faktor penarik kekuatannya lebih besar

dibandingkan faktor pendorong, maka pertumbuhan kesempatan kerja yang terjadi

belum dapat mengurangi arus migrasi keluar.

Selain itu pula, peningkatan arus migrasi keluar ditengah peningkatan

pertumbuhan kesempatan kerja juga dapat diakibatkan oleh sektor pertanian yang

mengalami excess supply tenaga kerja. Kondisi excess supply akan mengurangi tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Keinginan untuk bermigrasi

keluar pun semakin tinggi walaupun di daerah tujuan migrasi memiliki angka

(50)

2.1.7. Konsep Shift Share

Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et all pada tahun 1960. Analisis Shift Share digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenaga kerja

pada suatu wilayah tertentu. Jadi, melalui analisis Shift Share dapat diketahui dampak kebijakan wilayah ketenagakerjaan dan dapat dianalisis besarnya

kontribusi pertumbuhan dari tenaga kerja dan pendapatan pada masing-masing

sektor di wilayah tertentu.

Adapun manfaat analisis Shift Share adalah untuk melihat :

(1) perkembangan sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap perkembangan

ekonomi wilayah yang lebih luas,

(2) perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif

dengan sektor-sektor lainnya,

(3) perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga

dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu

dan pertumbuhan antar wilayah,

(4) perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju

pertumbuhan nasional serta sektor-sektornya.

Secara umum ada tiga komponen utama dalam analisis Shift Share (Budiharsono, 2001) yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen

pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah

(PPW). Berdasarkan komponen ketiga wilayah tersebut dapat ditentukan dan

(51)

PP + PPW > maka disimpulkan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j

termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sedangkan jika PP + PPW < 0 maka pertumbuhan sektor i pada wilayah ke j dikategorikan pertumbuhan lambat.

Sumber : Budiharsono, 2001

Gambar 2.3. Model Analisis Shift Share

Menurut Soepono (1993), kelebihan analisis Shift Share antara lain:

(1) Analisis Shift Share dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya pada dua titik tertentu, yang mana satu titik

waktu dijadikan sebagai dasar analisis dan satu titik lainnya sebagai akhir

analisis.

(2) Perubahan indikator kegiatan ekonomi di suatu wilayah antara tahun dasar

analisis dengan tahun akhor analisis dapat dilihat melalui tiga komponen

pertumbuhan wilayah yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen

pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah

(PPW).

(3) Berdasarkan komponen PN, dapat diketahui laju pertumbuhan ekonomi suatu

(52)

(4) Komponen PP dapat digunakan utuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor

perekonomian di suatu wilayah.

(5) Komponen PPW dapat digunakan untuk melihat daya saing sektor-sektor

ekonomi dibandingkan dengn sektor ekonomi pada wilayah lainnya.

(6) Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan maka dapat ditujukkan adanya

pergeseran (shift) hasil pembangunan perekonomian daerah. Analisis Shift Share ini juga memiliki kelemahan yaitu :

(1) Persamaan Shift Share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keperilakuan. Metode Shift Share tidak untuk menjelaskan mengapa, misalnya pengaruh keunggulan positif di beberapa wilayah, tetapi

negatif di daerah-daerah lain. Metode Shift Share merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak

bersifat analitik.

(2) Komponen pertumbuhan nasional (PN) secara implisit mengemukakan bahwa

laju pertumbuhan suatu wilayah hanya disebabkan oleh kebijakan nasional

tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan yang bersumber dari

wilayah tersebut.

(3) Komponen PP dan PPW mengasumsikan bahwa perubahan penawaran dan

permintaan, teknologi dan lokasi diasumsikan tidak berpengaruh terhadap

pertumbuhan wilayah. Di samping itu, analisis Shift Share juga mengasumsikan bahwa semua barang dijual secara nasional padahal tidak

(53)

Rasio kesempatan kerja digunakan untuk engidentifikasi pertumbuhan

kesempatan kerja dalam negeri suatu wilayah. Rasio kesempatan kerja terbagi

menjadi tiga yaitu nilai ri, Ri, dan Ra. Nilai ri mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja di sektor tertentu pada wilayah tertentu. Nilai Ri mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja nasional pada sektor tertentu. Nilai

Ra mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja nasional.

Profil pertumbuhan digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan sektor

perekonomian di wilayah yang bersangkutan dengan cara mengekspresikan persen

perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PPij) dan pertumbuhan pangsa

wilayah (PPWij). Profil pertumbuhan digambarkan pada suatu sumbu koordinat,

dimana sumbu horizontal adalah PP sebagai absis dan sumbu vertikal adalah PPW

sebagai ordinat.

Sumber : Busiharsono, 2001

Gambar 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian

Keterangan :

(1) Kuadran I menunjukkan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan

memiliki pertumbuhan yang cepat (PP bernilai positif) dan daya saing yang

baik jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya (PPW bernilai

Kuadran IV Kuadran I

PP

Kuadran III Kuadran II

Gambar

Gambar 2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran, dan Pasar Tenaga Kerja
Gambar 2.2. Dampak Pertumbuhan Populasi pada Tingkat Modal Per Pekerja
Gambar 2.3. Model Analisis Shift Share
Gambar 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi pada rantai pasokan daging sapi di Kabupaten Jember; (2)

[r]

Oleh karena itu dalam rangka menyeleksi dari 3.750 koperasi wanita yang telah dibentuk pada tahun 2009 maka dibutuhkan penilaian kinerja koperasi wanita agar

Dengan adanya saling hubungan antara ketiga-tiga elemen iaitu sikap terhadap isu sosiosaintifik, nilai murni dan kemahiran berfikir kritis, diharapkan bahawa pembelajaran

Tata cara penulisan sumber referensi di dalam teks yaitu dengan menuliskan nama keluarga atau nama belakang dan tahun penerbitan artikel (lihat contoh). Tata cara

 Dengan diberikan teks percakapan yang berkaitan dengan hidup rukun yang mengandung kalimat ajakan, siswa dapat menyebutkan kalimat ajakan dengan bahasa yang santun.. 

Berdasarkan analisis uraian teori-teori yang dikemukakan di atas dapat disintesiskan bahwa pengelolaan kelas adalah serangkaian aktivitas dan kegiatan yang dilakukan