1
STUDI RASIO KELESTARIAN HUTAN TANAMAN AKASIA
(
Acacia mangium
Willd.) PADA AREAL KERJA PT. MUSI HUTAN
PERSADA WILAYAH II BENAKAT
SILPRIANA
E14101053
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
RI N GK ASAN
SILPRIANA. Studi Rasio Kelestarian Hutan Tanaman Akasia (Acacia mangium Willd.) Pada Areal Kerja PT. Musi Hutan Persada Wilayah II Benakat. Di Bawah Bimbingan Ir. H. Ahmad Hadjib, MS.
Hutan tanaman adalah salah satu bentuk hutan yang gagasan pembangunannya muncul kurang lebih pada tahun 1980-an. Tujuan awal dari dibangunnya hutan tanaman ini adalah untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam, yang pada waktu itu telah cukup mengkhawatirkan keadaannya, serta untuk membangun suatu hutan yang mampu untuk berproduksi secara lebih optimal dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri perkayuan Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dalam perkembangannya, HTI mengalami berbagai pro dan kontra. Argumentasi yang dilontarkan oleh pihak yang menentang antara lain adalah bahwa pengusahaan HTI tersebut (terutama HTI-pulp) dianggap merusak fungsi hutan dan berkonotasi sebagai pengusahaan hutan yang tidak lestari (Tarumingkeng,2000). Adanya anggapan yang demikian, ditambah dengan adanya kenyataan bahwa HTI-pulp juga sering mengalami gangguan, mengindikasikan perlunya suatu pengkajian mengenai konsep rasio kelestarian hutan pada hutan yang bersangkutan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1). Menghitung persentase penurunan volume akibat adanya gangguan hutan; 2) Untuk menghitung rasio kelestarian hutan tanaman Acacia mangium; 3) Mengidentifikasi faktor-faktor gangguan hutan yang mempengaruhi rasio kelestarian hutan.
Bahan yang digunakan berupa data sekunder inventarisasi tegakan, data pengukuran Petak Ukur Permanen (PUP) PT. MHP Wilayah II Benakat selama 15 tahun, Tabel Volume Lokal, peta kerja PT. Musi Hutan Persada, data register petak/anak petak pengamatan, laporan gangguan keamanan hutan, buku RKL dan RKT PT. MHP. Alat yang digunakan adalah kamera serta komputer. Penelitian dilakukan di PT. Musi Hutan Persada Wilayah II Benakat pada Bulan April-Juni. Metode penelitian yang digunakan meliputi tahapan sebagai berikut: 1) Kegiatan pembagian areal hutan di Wilayah II Benakat ke dalam stratum aman, sedang dan rawan; 2) Perhitungan rata-rata pertumbuhan volume pohon di Wil.II pada setiap umur tanaman hingga mencapai umur daur; 3) Rekapitulasi dan perhitungan volume aktual tegakan dari petak-petak contoh yang terpilih serta 4) Pembandingan keadaan aktual dengan keadaan rata-rata tegakan sehingga dapat dihitung nilai persentase gangguan, persentase kenormalan dan nilai Rasio Kelestarian Hutan.
3
Acacia mangium, dengan asumsi bahwa suatu tanaman yang ditanam pada kondisi tempat tumbuh dan perlakuan yang relatif sama akan memberikan hasil pertumbuhan yang relatif sama pula.
Dari hasil perbandingan antara volume rata-rata dengan volume aktual tegakan, dapat dihitung persentase gangguan hutan, persentase kenormalan tegakan serta nilai RKH pada tiap umur tanaman di tiap stratum. Nilai persentase gangguan stratum sedang bervariasi antara 15,0-69,4% dengan nilai persentase kenormalan bervariasi antara 30,6-85%. Pada stratum rawan, nilai persentase gangguan bervariasi antara 0-94,3%, dengan nilai persentase kenormalan bervariasi antara 5,7-138,9%. Dalam hal ini, angka persentase gangguan sebesar 0% menunjukkan bahwa ada sebagian tegakan pada stratum rawan yang tidak mengalami gangguan sama sekali, sehingga menyebabkan terjadinya penambahan volume sebesar 38,9% dari volume normalnya (volume rata-ratanya). Untuk nilai RKH, diperoleh bahwa RKH untuk stratum sedang adalah 0,67; di stratum rawan adalah 0,62 dan untuk secara umum sebesar 0,64.
Gangguan hutan yang umum terjadi di Wil. II antara lain perambahan dan klaim lahan, penggembalaan hewan ternak serta hama penyakit. Di antara gangguan tersebut, perambahan dan klaim lahan dianggap sebagai ancaman terbesar perusahaan, dan untuk menaggulanginya telah dilakukan berbagai upaya baik secara preventif maupun represif.
STUDI RASIO KELESTARIAN HUTAN TANAMAN AKASIA
(
Acacia mangium
Willd.) PADA AREAL KERJA PT. MUSI HUTAN
PERSADA WILAYAH II BENAKAT
SILPRIANA
E14101053
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
5
Judul Penelitian : Studi Rasio Kelestarian Hutan Tanaman Akasia (Acacia mangium Willd.) Pada Areal Kerja PT. Musi Hutan Persada Wilayah II Benakat
Nama Mahasiswa : Silpriana
NIM : E14101053
Departemen : Manajemen Hutan
Program Studi : Manajemen Hutan
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
(Ir. H. Ahmad Hadjib,MS)
NIP : 130 516 500
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana,MS)
NIP : 131 430 799
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 April 1983, di Bogor Jawa Barat sebagai anak
terakhir dari tiga bersaudara pasangan Kusman Mangunsukarto (Alm) dan Sri Suharti.
Penulis memulai jenjang pendidikannya di Sekolah Dasar Budi Mulia Bogor pada
tahun 1989 dan menyelesaikannya pada tahun 1995. Setelah itu pada tahun yang sama
melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri I Bogor dan lulus pada tahun
1998, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri I Bogor. Setelah lulus
pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) memilih Fakultas
Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi
Nasional (UMPTN). Pada tahun 2004 penulis memilih Sub Program Studi Perencanaan
Hutan.
Selama kuliah, penulis mengikuti berbagai kegiatan, diantaranya kegiatan
organisasi kepencintaalaman RIMPALA serta organisasi kemahasiswaan AFSA sebagai
anggota pada tahun 2002-2004.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian di PT. Musi Hutan Persada
Wilayah II Benakat untuk menyusun skripsi yang berjudul Studi Rasio Kelestarian
Hutan Tanaman Akasia (Acacia mangium Willd.) Pada Areal Kerja PT. Musi
7
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah yang sebesar-besarnya penulis panjatkan ke hadirat Gusti
Allah SWT yang telah senantiasa melimpahkan rahmat, ridho dan kemudahan-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah teramat banyak mendapatkan bantuan
dan dukungan, baik berupa moril maupun materiil dari banyak pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan
yang setingi-tingginya kepada:
1. Allah SWT atas segala bimbingan, hidayah, kemurahan dan kemudahan yang tidak
terperi besarnya kepada penulis.
2. BapakIr. H. Ahmad Hadjib, MS yang telah memberikan bimbingan, saran, nasehat
dan semangat dengan penuh kesabaran dan kerendahan hati kepada penulis.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Iding M. Padlinurjaji, MS selaku dosen penguji dari
Departemen Hasil Hutan, serta atas perhatian yang telah diberikan terhadap
kelangsungan pendidikan penulis.
4. Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F. selaku dosen penguji dari Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan.
5. Bapak Dalyono,S.Hut selaku Manajer Perencanaan Wilayah II Benakat yang telah
memberikan ijin dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian, serta tak lupa
kepada para Kasie Community Development Unit 6-11 atas segala informasi yang
telah diberikan.
6. Team Inventory Hutan (Pak Ujang, Pak Agung, Pak Thomas, Pak Bobby, Pak
Misjak, Pak Putra, Kak Rizal, Kak Arman dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan
satu persatu) atas bantuan data-data dan kebersamaan saat di lapangan.
7. Bapak, Ibu, Mbak Yanti dan Mas Tri atas doa dan usahanya yang tak pernah henti,
walau sedetik pun.
8. Rekan-rekan PKL (Ani, Au, Muji, Dimas). Thanks for showing me what kind of human I am (ketauan semua kan jelek sama bagusnya diri kita?!)
10. Rekan seperjuangan, Isma CH dan Dikky AS atas kekompakan dan semangatnya
dalam penyelesaian penelitian.
11. Rekan-rekan MNH’38 atas kebersamaan dan persahabatan selama ini. (Hey! Its been a real good time to be with u guys, and just wanna say a HUGE thanks for all the laughter and tears we’ve shared together!!!!)
12. Rekan-rekan THH’38 dan KSH’38.
Atas segala kebaikan dan jasa yang diberikan hanya Allah SWT yang mampu
membalasnya. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi dapat bermanfat bagi pihak yang
memerlukannya, terlepas dari segala ketidaksempurnaan yang dimilikinya.
i
Volume Normal (Volume Rata-rata) ... 14
Rasio Kelestarian Hutan ... 15
Rasio Kelestarian Hutan ... 24
Pembahasan ... 28
Persentase Gangguan Pada Tiap Stratum ... 28
Persentase Kenormalan dan Luas Koreksi Tegakan ... 29
Rasio Kelestarian Hutan ... 30
Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Nilai Rasio Kelestarian Hutan .. 31
Faktor-faktor Eksternal yang Berpengaruh Terhadap Nilai Rasio Kelestarian Hutan ... 32
Akibat-akibat yang Ditimbulkan Oleh Gangguan Hutan (Faktor Eksternal) Pada Kondisi Tegakan Secara Umum ... 35
Pengaruh Gangguan Hutan Terhasap Persentase Kenormalan Tegakan 38
Upaya-upaya Penanggulangan ... 40
KESIMPULAN DAN SARAN ... 42
Kesimpulan ... 42
Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
iii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Tata Ruang Areal HPHTI PT. Musi Hutan Persada ... 18
2. Kondisi Vegetasi Penutupan Lahan di Areal HPHTI PT. MHP ... 21
3. Luas Wilayah, Jumlah serta Kepadatan Penduduk di Sekitar Areal
Pencadangan HPHTI PT. MHP ... 22
4. Persentase Gangguan dan Persentase Kenormalan Pada Stratum Sedang ... 24
5. Persentase Gangguan dan Persentase Kenormalan Pada Stratum Rawan ... 24
6. Rasio Kelestarian Hutan Pada Masing-masing Stratum dan Pada Kondisi
Umum Lokasi Pengambilan Data ... 25
7. Realisasi Kegiatan Penanaman dan Penebangan Pada Areal Verja PT. MHP
Sampai Bulan Oktober 2004 ... 26
8. Sebaran Kelas Umur Tegakan Acacia mangium Berdasarkan Luas di
Wilayah II Benakat dan Luas Aktual dari Hasil Perkalian Persentase
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Perbandingan Kehilangan Volume Untuk Tiap Kelas Umur Pada
Masing-masing Stratum ... 27
2. Persentase Gangguan Hutan Untuk Tiap Kelas Umur Pada Masing-masing
Stratum ... 27
3. Persentase Kenormalan Tegakan Untuk Tiap Kelas Umur Pada
v
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Skema Pengambilan Sampel ... 46
2. Rekapitulasi Nilai Kerugian Fisik yang Diderita Oleh PT. Musi Hutan Persada Wilayah II Benakat Akibat Kebakaran Lahan Dalam Tiga Tahun Terakhir (2002-2004) ... 47
3. Rekapitulasi Nilai Kerugian Finansial yang Diderita Oleh PT. Musi Hutan Persada Wilayah II Benakat Akibat Kebakaran Lahan Dan Konflik Sosial Dalam Tiga Tahun Terakhir (2002-2004) ... 49
4. Perhitungan Stratifikasi Tingkat Kerawanan Tegakan Berdasarkan Pada Kerugian Fisik yang Diderita ... 56
5. Perhitungan Stratifikasi Tingkat Kerawanan Tegakan Berdasarkan Pada Kerugian Finansial yang Diderita ... 58
6. Rekapitulasi Perhitungan Rerata Pertmbuhan Tegakan Pada Wilayah II Benakat Berdasarkan Hasil Pengukuran Petak Ukur Permanen ... 60
7. Rekapitulasi Perhitungan Volume Aktual Untuk Masing-masing Petak Contoh Pada Tiap Stratum ... 69
8. Gambaran Kondisi Perambahan Lahan yang Disertai Pembakaran Lahan ... 71
9. Lahan Bekas Kebakaran Hutan ... 71
10. Situasi Penggembalaan Sapi di Lahan Tegakan Berumur Muda ... 72
A. Latar Belakang
Hutan, menurut Pasal 1 (2) Undang-Undang No. 41/99 tentang Kehutanan
diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dua jenis hutan yang dikenal saat ini
adalah Hutan Alam (tegakan tidak seumur) dan Hutan Tanaman (tegakan seumur).
Gagasan untuk membangun hutan tanaman, atau yang lebih dikenal sebagai Hutan
Tanaman Industri (HTI) muncul pada tahun 1980-an, dengan tujuan awal adalah untuk
mengurangi tekanan terhadap hutan alam serta untuk membangun hutan yang mampu
berproduksi secara lebih optimal dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri
perkayuan Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya. Namun dalam
perkembangannya, HTI mengalami berbagai pro dan kontra. Argumentasi yang
dilontarkan oleh pihak yang menentang antara lain adalah bahwa pengusahaaan HTI
tersebut (terutama HTI-pulp) dianggap merusak fungsi hutan dan berkonotasi sebagai
pengusahaan hutan yang tidak lestari (Tarumingkeng, 2000). Hal ini, menurut
Tarumingkeng (2000), dikarenakan HTI-pulp pada umumnya menanam jenis-jenis yang
cepat tumbuh/berdaur pendek serta cenderung monokultur sehingga dikhawatirkan tidak
memiliki fungsi ekologis yang tinggi (kontribusi terhadap lingkungan rendah).
Adanya anggapan yang demikian, ditambah dengan adanya kenyataan bahwa
HTI-pulp seperti halnya hutan alam juga sering mengalami gangguan, mengindikasikan
perlunya suatu pengkajian mengenai konsep rasio kelestarian hutan pada hutan yang
bersangkutan. Dalam konsep rasio kelestarian hutan, suatu pengelolaan hutan dianggap
telah ideal apabila jumlah pohon yang ditanam sama dengan jumlah pohon yang ditebang
atau apabila luas hutan yang ditanam sama dengan luas hutan yang ditebang. Atau
dengan kata lain, rasio kelestarian hutan sama dengan 1. Namun, pada kenyataannya,
keadaan yang ideal ini sangat sulit untuk dicapai, bahkan pada HTI-pulp sekalipun yang
pada umumnya memiliki jangka daur yang pendek. Hal ini dikarenakan di lapangan akan
banyak sekali terjadi gangguan-gangguan seperti pencurian kayu, perladangan berpindah,
2
lain-lain yang tentu saja dapat menghambat tercapainya kelestarian hasil dalam
pengusahaan hutan. Dalam hal ini, apabila faktor-faktor yang menghambat tersebut
semakin besar, rasio kelestarian yang diperoleh akan semakin kecil.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menghitung persentase penurunan volume akibat adanya gangguan hutan.
2. Menghitung rasio kelestarian hutan tanaman Acacia mangium.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor gangguan hutan yang mempengaruhi rasio kelestarian
hutan.
C. Manfaat Penelitian
Sebagai masukan kepada pihak PT. Musi Hutan Persada tentang nilai rasio
kelestarian yang diperoleh untuk dasar evaluasi terhadap pengelolaan hutan tanaman
A. Acacia mangium Willd
Acacia mangium merupakan salah satu jenis legum yang pertumbuhannya sangat cepat/ merupakan fast growing species. Menurut National Academy of Sciences (NAS, 1983), jenis ini diperkenalkan ke Sabah, Malaysia dari habitat alaminya, yaitu hutan
hujan tropis di Quensland, Australia oleh seorang rimbawan Australia, D.I. Nicholson
pada tahun 1966. Jenis ini tersebar secara alami di daerah timur laut Australia, Papua
Nugini hingga ke daerah Indonesia Timur. Populasinya menyebar secara luas mulai dari
0° 50’ LS di Irian Jaya hingga ke 19° LS di daerah Quensland, Australia.
Acacia mangium termasuk ke dalam sub famili Mimosoideae, jenis ini dapat tumbuh dengan tinggi mencapai 30 m. Dengan batang yang lurus dan tinggi bebas cabang
yang dapat mencapai setengah tinggi totalnya, ditambah dengan persyaratan tempat
tumbuh yang rendah, mangium jelas menjanjikan untuk dijadikan sebagai jenis komersial. Secara umum, mangium merupakan jenis pionir yang mampu tumbuh pada tanah terbuka, bahkan jenis ini biasanya baru akan tumbuh ketika suatu daerah telah
mengalami gangguan. Selain itu, jenis ini juga menunjukkan kemampuannya untuk
tumbuh secara memuaskan pada daerah-daerah yang tanahnya telah mengalami erosi,
berbatu, memiliki kandungan mineral tanah yang sedikit, atau bahkan memiliki
kandungan toksisitas yang tinggi. Sebagai contoh, di daerah Sabah, Malaysia, jenis ini
mampu bertahan hidup di tanah entisol dan ultisol yang keduanya ber-pH sangat asam,
yaitu sekitar 4,5. (NAS, 1983)
Jenis ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah-daerah yang elevasinya rendah
(<100 m), namun pada daerah asalnya, Australia, jenis ini juga ditemukan mampu
tumbuh pada ketinggian 450-720 mdpl (NAS, 1983). Mangium pada umumnya tumbuh dengan baik pada daerah-daerah yang bertemperatur tinggi (sekitar 12-34° C), dan tidak
dapat bertahan pada daerah-daerah yang bersuhu sangat rendah. Namun demikian, pada
daerah-daerah yang hanya mengalami light frost, mangium masih mampu bertahan. Dari segi curah hujan, mangium merupakan jenis pohon untuk tempat-tempat yang beriklim basah dengan curah hujan bervariasi mulai dari 1.000-4.500 mm. Jika ditanam pada
4
terhambat pertumbuhannya (NAS, 1983). Jika jenis ini akan dibudidayakan, maka
sebaiknya diadakan di suatu daerah yang mendapatkan curah hujan sebanyak >2.000 mm
dalam setahun.
Menurut Suseno dan Prianto (2000), Acacia mangium Willd memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan untuk dipilih sebagai jenis tanaman dalam membangun HTI.
Keunggulan dari jenis ini untuk saat ini adalah benih unggul jenis inilah yang paling
mudah diperoleh dalam jumlah yang banyak setiap waktu, baik didapat dengan cara
membeli maupun dari hasil sumber benihnya sendiri. Dalam kegiatan penelitian, terutama
dalam kegiatan pemuliaan pohon hutan, pada mangium relatif lebih banyak daripada jenis-jenis yang lain, sehingga informasi provenans, riap, sumber benih, variasi genetik
dan lain-lain telah banyak tersedia. Selain itu, pada umur 2 tahun, pohon ini telah
berbunga. Sementara, kelemahan dari jenis ini adalah batang pokok seringkali lebih dari
satu (multistem), sehingga perlu dilakukan pemotongan sedemikian rupa sehingga hanya satu batang pokok saja yang tersisa (singling). Selain itu, kelemahan lain adalah akumulasi serasah daun phylodia yang sulit terdekomposisi dan pada musim kemarau
merupakan bahan yang mudah terbakar.
B. Konsep Kelestarian.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang
Kehutanan, dalam pasal 10 (1) dinyatakan bahwa pengurusan hutan bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk
kemakmuran rakyat. Sementara, dalam pasal 23, juga dinyatakan bahwa pemanfaatan
hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Adanya kedua
pasal ini menyiratkan bahwa hutan, khususnya hutan Indonesia adalah karunia yang tidak
ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha Esa, dan karenanya wajib untuk terus dijaga
kelestariannya.
Prinsip kelestarian hasil (Sustained Yield Principles) sesungguhnya telah sejak lama dianut dalam pengusahaan hutan produksi. Davis dan Johnson (1987) dalam Suhendang (1993) mengatakan bahwa prinsip ini mulai dianut dan diterapkan sejak
Kehutanan (1997), prinsip ini mulai dianut semenjak dikeluarkannya Ordonansi Hutan oleh Raja Louis XIV di Perancis pada tahun 1669. Pada awalnya, konsep kelestarian hasil
ini muncul dalam kegiatan pengusahaan hutan untuk keperluan produksi yaitu produksi
kayu pada khususnya. Namun dalam perkembangannya, konsep ini berkembang sejalan
dengan nilai manfaat hasil hutan bukan kayu, baik yang bersifat tangible maupun yang intangible.(Suhendang, 1993).
Lestari, secara sederhana, menurut Poerwadarminta (1976) dalam Winarno (1997) berarti tetap selama-lamanya sementara kelestarian berarti keadaan yang tetap
atau tidak berubah-ubah. Sementara, menurut Society of American Foresters (1958)
dalam Meyer et al (1961), kelestarian hasil didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengelolaan hutan untuk menghasilkan suatu produksi yang berkelanjutan, yang
dilakukan dengan tujuan agar suatu keseimbangan antara pertumbuhan dan pemanenan
dapat tercapai sesegera mungkin, dimana kelestarian hasil ini dapat diperoleh dalam unit
tahun maupun dalam unit periode waktu yang lebih lama. Agar kelestarian hasil ini dapat
tercapai, maka menurut Meyer et al (1961) hasil periodik ataupun hasil tahunan yang diekstrak haruslah ditentukan melalui suatu cara yang terbaik sehingga tidak
menyebabkan terjadinya suatu pengurangan /penipisan actual growing stock yang tersedia. Hal ini, dengan kata lain berarti bahwa growing stock yang tersedia harus selalu mendekati keadaan normal, sehingga berkemampuan untuk memproduksi hasil yang
diinginkan secara memadai. Meskipun demikian, yang patut diperhatikan adalah bahwa
yang disebut keadaan normal (volume normal) dari suatu tegakan akan bervariasi. Variasi
ini antara lain tergantung pada sistem silvikultur yang diterapkan serta pada besarnya
ukuran dan kualitas rata-rata dari kayu yang ingin dihasilkan (Meyer et al,1961).
Menurut Meyer et al (1961), suatu kelestarian hasil mensyaratkan adanya tiga hal berikut:
1. Fasilitas transportasi yang memadai, yang mampu membuat setiap bagian dari hutan
yang dikelola dapat diakses dengan baik, baik saat sekarang maupun selama periode
kerja yang dibutuhkan.
2. Adanya penerapan sistem silvikultur yang mampu memastikan bahwa produk yang
dihasilkan oleh hutan yang bersangkutan memadai dan dapat masuk ke pasar yang
6
3. Adanya pasar yang secara ekonomi memadai untuk dapat menjamin tertampungnya
hasil produksi tanpa disertai adanya fluktuasi yang tidak semestinya.
Dalam hal ini, syarat yang terakhir merupakan yang tersulit karena tidak ada seorangpun
yang dapat memprediksikan kenaikan dan penurunan harga pasar secara tepat.
Menurut Davis (1966), produktivitas hutan yang lestari dapat dilihat dari dua segi.
Yang pertama adalah sebagai kontinuitas pertumbuhan, dan yang kedua adalah sebagai
kontinuitas dari hasil atau kontinuitas pemanenan. Kedua pengertian ini seringkali
membingungkan karena keduanya tidak merujuk pada hal yang sama. Sebagai contoh,
jika kelestarian hutan diartikan sebagai kekontinuitasan pertumbuhan, maka suatu hutan
tanaman yang masih berumur muda dapat dianggap sebagai lestari, karena darinya dapat
diharapkan pertumbuhan yang terus dan berkualitas. Namun jika dilihat dari segi
kontinuitas hasil, hutan ini belum dapat dianggap memenuhi aspek kelestarian. Oleh
karena itu, pengertian kelestarian hasil/manfaat lebih sering dipakai untuk
menggambarkan konsep kelestarian. Hal ini dikarenakan pengekstrakan hasil yang lestari
tidak selalu membutuhkan adanya pertumbuhan yang baik (misal pengekstrakan hasil
pada hutan alam yang sangat luas), meskipun hal ini tetap merupakan keharusan dalam
jangka waktu pengusahaan yang lama.
Menurut Osmaston (1968) dalam Winarno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian hutan antara lain adalah:
1. Regenerasi (permudaan atau penanaman), yang di dalamnya termasuk usaha
pengendalian bibit serta pemeliharaan.
2. Stabilitas kemampuan atau kesuburan lahan
3. Usaha peningkatan atau perbaikan, yang di dalamnya termasuk pencegahan terhadap
hama penyakit, gulma, dan perlindungan..
Osmaston (1968) dalam Winarno (1997) juga menyatakan bahwa kelestarian hasil memiliki beberapa tipe, yaitu:
1. Hasil Integral (Integral Yield), yang berada pada tegakan yang seumur dan saat pemanenan dan penanaman dilakukan bersamaan.
2. Hasil yang terputus-putus (Intermitten Yield), yang berada pada tegakan yang terdiri dari beberapa kelas umur, dimana saat penanaman dan penebangan dilakukan pada
3. Hasil Tahunan (Annual Yield), yang merupakan sistem yang banyak digunakan dan pada sistem ini selalu ada bagian tegakan yang siap untuk ditebang setiap tahunnya.
Menurut Suhendang (1993), perlu dipahami bahwa konsep kelestarian hasil
tidaklah bersifat mutlak dan ada unsur kenisbian di dalamnya. Salah satu sumber
kenisbian ini antara lain adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah
berupa luas, ukuran volume kayu, nilai uang atau jumlah batang pohon serta juga metode
pengaturan hasil yang digunakan. Dalam hal ini, tidak ada jaminan bahwa pemakaian
salah satu ukuran hasil ataupun pemakaian salah satu metode pengaturan hasil akan
memberikan tingkat kelestarian yang sama bila diukur oleh ukuran atau metode yang
lainnya. Oleh karena itu, pemilihan ukuran dan metode pengaturan hasil yang akan
dipakai merupakan hal yang sangat mendasar dalam upaya pengusahaan hutan produksi
dengan prinsip kelestarian hasil agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
C. Pengaturan Hasil
Pengaturan hasil merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat
memperoleh kelestarian hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1997), perusahaan
hutan memiliki beberapa sifat khas yang membedakannya dengan jenis perusahaan
ataupun bentuk pemanfaatan lahan yang lainnya. Sifat tersebut yaitu bahwa perusahaan
hutan pada umumnya memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat
pemanenan, selain itu juga dalam pengelolaannya selalu didasarkan pada asas kelestarian
sumberdaya. Kedua sifat inilah yang mendorong perlunya dilakukan kegiatan pengaturan
hasil hutan, dimana kegiatan ini dilakukan dengan tujuan agar kegiatan pemungutan hasil
dapat dilakukan secara terus menerus tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber
daya hutan, bahkan bila mungkin meningkatkan kualitasnya.
Menurut Departemen Kehutanan (1997), metode pengaturan hasil yang ada pada
umumnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Metode pengaturan hasil berdasarkan volume
2. Metode pengaturan hasil berdasarkan luas.
8
1. Berdasarkan luas. Metode ini dapat dikendalikan melalui teknik silvikultur atau
pengaturan tebangan, daur dan sebaran kelas umur, serta kelas-kelas pengembangan
atau perlakuan.
2. Berdasarkan volume dan atau berdasarkan riap. Rumus pengaturan hasil yang dipakai
di sini antara lain rumus Austria, rumus Hundeshugen serta rumus Von Mantel.
3. Berdasarkan jumlah dan ukuran pohon. Rumus yang dipergunakan di sini adalah
rumus Brandis.
Dalam menentukan/mengatur seberapa banyak hasil hutan yang dapat diambil,
maka seorang manajer perlu mempertimbangkan beberapa prinsip berikut (Davis, 1966) :
1. Tujuan Manajemen. Termasuk di dalam prinsip ini antara lain tujuan dan kebijakan operasional yang dianut, jumlah income yang diharapkan, ketergantungan antar
tahapan pemrosesan tanaman sehingga menjadi bahan baku, serta batas kontinuitas
operasi/pengusahaan yang diharapkan.
2. Ketersediaan pasar bagi berbagai jenis kayu yang dihasilkan. Prinsip ini melibatkan baik kondisi pasar saat ini maupun kondisi pasar di masa depan dalam hubungannya
dengan ketersediaan kayu.
3. Kebutuhan dan urgensi sistem silvikultur yang diterapkan. Prinsip ini antara lain mencakup macam metode permudaan yang paling sesuai untuk diaplikasikan, kondisi
tegakan yang ada dilihat dari sisi umur, penyakit atau hama yang menyerang, serta
dari sisi persediaan/stock , serta keadaan urgensi hutan yang dikelola yang antara lain disebabkan oleh badai, kebakaran ataupun penyebaran penyakit yang meluas.
4. Masalah yang mungkin muncul dalam pemanenan.
5. Masalah tingkat kelestarian hutan yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa dalam menentukan jumlah hasil yang boleh diambil harus sesuai dengan kapasitas produksi
dari hutan yang bersangkutan. Bahkan jika memungkinkan, pengaturan ini harus
dapat meningkatkan kualitas tegakan.
D. Gangguan Hutan
Tercapainya kelestarian hutan dapat terhambat atau bahkan tidak tercapai sama
sekali karena munculnya berbagai macam gangguan pada hutan. Menurut Suratmo
kemudian dapat sembuh kembali (reversible) dan ada juga yang bersifat tetap dan tidak dapat sembuh kembali (irreversible). Gangguan yang sifatnya tetap inilah yang keberadaannya mengancam kelestarian hutan kita. Gangguan terhadap kawasan hutan
dan isinya ini antara lain dapat berupa perambahan kawasan, pencurian kayu, penebangan
liar, perladangan liar, serangan hama dan penyakit, kebakaran hutan serta bencana alam.
Menurut Mu’min dan Rahajaan (1993) dalam Rahman (1997) berbagai gangguan terhadap hutan tersebut dapat disebabkan baik oleh manusia maupun oleh alam. Macam
gangguan yang ditimbulkan oleh manusia antara lain berupa pencurian pohon hutan
untuk mendapatkan kayu pertukangan, kayu bakar dan atau hasil hutan lainnya;
pencurian hasil hutan yang dikumpulkan di TP, TPK, TPN dan tempat-tempat
penyimpanan lainnya; kebakaran/pembakaran hutan; penggembalaan hewan di hutan;
bibrikan lahan kawasan hutan serta pembabatan tanaman hutan. Sementara, gangguan
terhadap hutan yang disebabkan oleh alam antara lain berupa kebakaran hutan, hama
penyakit serta bencana alam. Berdasarkan data NFI Project (1999) dalam Handadhari (2001), illegal logging merupakan bentuk gangguan hutan yang ditunjuk sebagai penyebab utama laju deforestasi yang selama kurun waktu 1985-1997 telah mencapai
angka 21,65 juta ha dari hutan seluas 119,7 juta ha, atau sekitar 1,5% per tahunnya.
Gangguan-gangguan terhadap hutan yang disebabkan oleh ulah manusia tersebut,
pada umunya dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan yang umumnya memiliki taraf
hidup dan pendidikan yang masih rendah, sehingga belum menyadari akan bahaya yang
mungkin timbul karena efek dari kelakuannya. (Departemen Kehutanan, 1987 dalam Rahman, 1997). Hal ini lebih lanjut ditegaskan oleh Jauhari (2002), yang menyatakan
bahwa memang ada korelasi yang kuat antara kualitas hidup manusia dengan kualitas
lingkungan hidup. Hal ini berarti, tekanan masyarakat terhadap sumber daya alam yang
berakibat pada penurunan kualitas lingkungan hidup akan semakin meningkat seiring
dengan semakin tingginya jumlah penduduk yang masih memiliki kualitas hidup rendah,
atau dengan kata lain masih berada di bawah garis kemiskinan. Tekanan ini terutama
10
E. Rasio Kelestarian Hutan.
Rasio kelestarian merupakan suatu cara untuk menentukan luas areal penanaman
agar dapat diperoleh jumlah yang relatif sama dengan jumlah yang ditebang pada saat
panen (Rahman, 1997). Sedangkan menurut Winarno (1997), yang dimaksud Rasio
Kelestarian Hutan (RKH) adalah rasio perbandingan antara jumlah penebangan dengan
jumlah penanaman yang memungkinkan pengusahaan hutan dapat dikelola secara lestari
baik ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial. Di sini ditambahkan bahwa
kegunaan dari penghitungan Rasio Kelestarian Hutan adalah sebagai alat kontrol
manajemen, alat perencanaan luas penanaman, untuk mengetahui tingkat kerawanan atau
gangguan hutan serta untuk mengetahui performance struktur tegakan hutan.
Dasar pemikiran dari rasio kelestarian ini adalah bahwa pemanenan pada saat
masak tebang tidak selalu memberikan hasil tebangan yang sama dengan jumlah saat
ditanam. Hal ini dikarenakan jangka waktu antara penanaman dengan masak tebang
cukup lama, dan dalam proses tersebut kemungkinan untuk timbulnya berbagai gangguan
hutan yang dapat mengakibatkan kegagalan tanaman sangat besar, yang pada akhirnya
mengakibatkan target volume tebangan cenderung selalu menurun. Selanjutnya
disebutkan bahwa konsep dasar dari penentuan nilai rasio kelestarian adalah melebihkan
jumlah penanaman agar dapat diperoleh jumlah tebangan yang relatif mendekati tabel
normal, atau setidaknya sama dengan target/jumlah tebangan yang telah ditentukan pada
daur sebelumnya, bahkan bila memungkinkan dapat bertambah (Winarno,1997).
Kelebihan tanaman yang ada tersebut dimasukkan sebagai faktor penimbang /pengaman
dalam menghadapi berbagai gangguan yang mungkin terjadi. Bila ternyata gangguan
tidak terjadi, maka kelebihan tersebut dicadangkan untuk kepentingan masyarakat,
khususnya masyarakat sekitar hutan.
Penentuan Rasio Kelestarian Hutan dihitung dengan formula sebagai berikut:
Berdasarkan angka RKH yang diperoleh, dapat diketahui standar tingkat kerawanan yang
diperoleh berdasarkan penelitian Winarno (1997):
∑
∑
penebangan tahun tahun penanamanRKH Tingkat Kerawanan Keterangan
< 0,50 Rawan Persentase kenormalan <
50% dengan persentase
gangguan > 50 %
0,50 – 0,75 Sedang Persentase kenormalan
antara 50% - 75 %
dengan persentase
gangguan antara 25% -
50%
0,75 – 1,00 Aman Persentase kenormalan >
75% dengan persentase
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di areal kerja PT. Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan ,
Wilayah II Benakat selama dua bulan ( 13 April- 2 Juni 2005).
B. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang diperlukan antara lain data sekunder inventarisasi tegakan
(data hasil-hasil inventarisasi hutan), data pengukuran Petak Ukur Permanen (PUP) PT.
MHP Wilayah II Benakat selama 15 tahun, Tabel Volume Lokal, peta kerja PT. Musi
Hutan Persada, data register petak/anak petak pengamatan, laporan gangguan keamanan
hutan, buku Rencana Kerja Lima Tahunan (RKL) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT)
PT. MHP, kamera serta komputer.
C. Obyek Penelitian
Obyek dari penelitian ini adalah hutan tanaman Akasia yang terdapat di wilayah
kerja PT. Musi Hutan Persada, khususnya yang berada di Wilayah II Benakat, dengan
unit pengamatan yang digunakan berupa petak/anak petak terpilih dari setiap kelas umur
dan stratum. Dalam pengambilan petak/anak petak dari setiap wilayah yang memenuhi
persyaratan stratum dilakukan secara purpossive sampling. Dalam hal ini, teknik pengambilan contoh secara purpossive sampling dianggap telah mewakili populasi.
D. Jenis Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini seluruhnya berupa data sekunder,
yang terdiri dari:
1. Data laporan gangguan keamanan hutan dalam tiga tahun terakhir untuk menentukan
tingkat kerawanan hutan dan membaginya ke dalam stratum aman, sedang dan rawan.
2. Data pengukuran potensi tegakan (data hasil-hasil inventarisasi hutan).
3. Data pengukuran Petak Ukur Permanen tahun pengukuran 1991-2005 (Daur I sampai
dengan Daur II), untuk memperoleh volume rata-rata sebagai bahan pembanding dari
4. Data sekunder lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, seperti data
kondisi umum lokasi penelitian, Tabel Volume Lokal, data register petak/anak petak
pengamatan, dan lain-lain.
E. Pengambilan Data
1. Penentuan tingkat kerawanan hutan di areal kerja PT. Musi Hutan Persada
Wilayah II Benakat ke dalam stratifikasi aman, sedang dan rawan dengan
menggunakan hasil perhitungan standar deviasi yang berdasarkan pada tingkat
kerugian yang diderita akibat gangguan yang terjadi selama tiga tahun terakhir
(2002-2005), baik kerugian fisik maupun finansial.
2. Dari masing-masing stratum, diambil dua petak/anak petak secara purpossive dari setiap kelas umur yang ada. Pengambilan petak/anak petak dari setiap kelas umur
dengan menggunakan data sekunder hasil pengukuran seksi Inventarisasi Tegakan
Departemen Perencanaan PT. Musi Hutan Persada Wilayah II Benakat.
3. Dalam melakukan pengukuran tegakan, Seksi Inventarisasi Departemen
Perencanaan menggunakan ketentuan sebagai berikut:
a. Petak ukur ditentukan dengan menggunakan sistematik sampling dengan letak
petak ukur pertama dipilih secara acak (systematic sampling with random start). Hal ini agar persyaratan sebagai wakil dari populasi dapat dipenuhi. Dalam hal penentuan bentuk petak ukur yang digunakan, dipilih bentuk petak
ukur persegi dengan luasan tiap petak ukur sebesar 0.02 ha, dan dengan
intensitas sampling sebesar 1%. Hal ini berarti setiap petak ukur mewakili
lahan seluas 2 ha. Jarak antar PU adalah 100x200 m.
b. Pada tiap petak ukur yang dibuat, dilakukan pengukuran dan pengamatan
terhadap seluruh tegakan yang berada di dalamnya, dengan pengukuran yang
dilakukan meliputi pengukuran diameter serta tinggi pohon.
F. Pengolahan Data
14
1. Volume aktual (Va)
Untuk memperoleh volume aktual (Va), variabel keliling yang ada pada data
sekunder diubah terlebih dahulu ke dalam variabel diameter.Variabel dimeter ini
kemudian dimasukkan ke dalam persamaan yang ada dalam Tabel Volume Lokal.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada rumus berikut:
K = πd
2. Volume normal (Volume rata-rata)
Volume normal yang digunakan sebagai pembanding ditentukan dari rata-rata
pertumbuhan tegakan akasia yang ada di areal kerja PT. Musi Hutan Persada
selama 15 tahun. Rata-rata pertumbuhan tersebut diperoleh dari hasil pengukuran
Petak Ukur Permanen (PUP-PUP) yang menggambarkan potensi rata-rata yang
dapat diharapkan dari tegakan pada setiap kelas umur. Volume rata-rata ini
dipergunakan karena belum tersedianya Tabel Acacia mangium, juga karena didasarkan pada asumsi bahwa suatu jenis tanaman akan memberikan hasil
pertumbuhan yang relatif tidak jauh berbeda apabila ditanam pada suatu areal yang
3. Rasio Kelestarian (RK)
a. Rasio Kelestarian berdasarkan Volume
Keterangan:
α = Persentase kehilangan volume
β = Persentase kenormalan volume i = Umur 1-8 tahun
RKH Vol = Rasio Kelestarian Hutan berdasarkan volume
G. Analisis Data
Analisis data dilakukan baik secara kuantitatif maupun deskriptif terhadap
berbagai macam gangguan hutan yang terjadi, terutama yang berupa konflik lahan dan
kebakaran, serta mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang mungkin dilakukan.
H. Asumsi-asumsi
1. Sebagai pembanding dari keadaan aktual tegakan untuk mencari tingkat
kenormalan tegakan aktual digunakan volume rata-rata yang dianggap telah
mewakili keadaan rata-rata wilayah penelitian yang diharapkan.
2. Penentuan rasio kelestarian didasarkan pada perbandingan antara kondisi hutan
aktual dengan kondisi hutan rata-rata, yang memiliki nilai rasio sama dengan 1.
3. Semua pembahasan dan perhitungan dalam penelitian ini hanya berlaku di
Wilayah II Benakat PT. Musi Hutan Persada.
4. Nilai rasio kelestarian merupakan akumulasi pengaruh dari perjalanan berbagai
faktor yang mempengaruhi kondisi hutan tersebut, dengan tingkat intensitas
gangguan dan pemeliharaan dianggap tetap seperti pada saat penelitian
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Luas
Pencadangan areal HPHTI PT. Musi Hutan Persada berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 038/Kpts-II/1996 tanggal 29 Januari 1996
meliputi kawasan hutan seluas 296.400 ha. Areal seluas tersebut terbagi ke dalam 3(tiga)
Kelompok Hutan, yaitu:
1. Kelompok Hutan Subanjeriji (89.564 ha)
2. Kelompok Hutan Benakat (198.921 ha)
3. Kelompok Hutan Martapura (7.915 ha)
Ketiga Kelompok Hutan (KH) yang ada tersebut, oleh PT. Musi Hutan Persada
dibagi lagi ke dalam tiga Supporting Unit/Wilayah, yaitu Wilayah I Subanjeriji yang
meliputi Kelompok Hutan Subanjeriji dan Kelompok Hutan Martapura serta Wilayah II
Benakat dan Wilayah III Lematang yang berada pada areal Kelompok Hutan Benakat.
Berdasarkan administrasi pemerintahan, areal HPHTI PT. Musi Hutan Persada
termasuk ke dalam wilayah 5 kabupaten, dengan rincian sebagai berikut:
1. KH Subanjeriji termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Muara Enim
dan Ogan Komering Ulu.
2. KH Benakat termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Muara Enim,
Musi Rawas, Lahat dan Musi Banyuasin.
3. KH Martapura termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Ogan Komering
Ulu.
Sementara, menurut administrasi kehutanan, areal HPHTI PT. Musi Hutan
Persada termasuk ke dalam wilayah Dinas Kehutanan (DK) Muara Enim, DK Musi
Rawas, DK Ogan Komering Ulu, DK Musi Banyuasin serta DK Lahat. Secara geografis,
areal pencadangan HPHTI PT. MHP terletak pada :
1. Kelompok Hutan Subanjeriji terletak antara 103°50′-104°15′ Bujur Timur dan 3°30′
–4°00′ Lintang Selatan.
2. Kelompok Hutan Benakat terletak antara 103°10′-104° Bujur Timur dan 3° 00′-3°40′
3. Kelompok Hutan Martapura terletak antara 104°15′-104°30′ Bujur Timur dan 4°5′ –
4°20′ Lintang Selatan.
Berdasarkan pada surat keputusan Menteri Kehutanan No. 038/Kpts-II/96 tanggal
29 Januari 1996, PT. Musi Hutan Persada memperoleh pencadangan areal HPHTI seluas
296.400 ha dengan peruntukan lahan seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Tata Ruang Areal HPHTI PT. Musi Hutan Persada.
No. Peruntukan Lahan Jumlah
ha %
1. Luas Tanaman HTI* 193.500 63,50
2. Kawasan Lindung
a. Buffer Zone 6.076 2,10
b. Hutan Konservasi 80.734 27,10 3. Sarana dan Prasarana 9.150 3,10 4. Tanaman Kehidupan 4.300 1,40
5. Tanaman Unggulan Lokal 3.000 1,00
Jumlah 296.400 100,00
Sumber: RKT Hutan Tanaman Industri PT. MHP 2002
Keterangan: * Sebelumnya berupa: - Belukar (59.891 ha)
- Padang Alang-Alang (70.563 ha) - Lahan Tidak Produktif (63.046 ha)
Berdasarkan pada kelompok hutan yang ada, HPHTI PT. Musi Hutan Persada
membagi wilayah kerjanya sebagai berikut:
1. KH Subanjeriji terbagi ke dalam 4 Unit Pengelolaan, 16 Blok Pengelolaan serta 50
Sub Blok Pengelolaan.
2. KH Martapura terbagi ke dalam 1 Unit Pengelolaan, 2 Blok Pengelolaan serta 5 Sub
Blok Pengelolaan.
3. KH Benakat terbagi ke dalam 9 Unit Pengelolaan, 32 Blok Pengelolaan serta 150 Sub
Blok Pengelolaan.
Luas areal dari masing-masing Unit pengelolaan adalah sekitar 15.000-20.000 ha/Unit,
untuk Blok sekitar 5.000-7.500 ha/Blok serta untuk Sub Blok berkisar antara 2.000-2.500
18
B. Status Areal
Status areal HPHTI PT. Musi Hutan Persada sejak masa berdirinya sebenarnya
telah mengalami beberapa kali perubahan. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.
626/Kpts-II/92 tanggal 18 Juni 1990 areal HPHTI PT. MHP dicadangkan meliputi luas
300.000 ha, demikian juga berdasarkan rekomendasi Gubernur Popinsi Sumatra Selatan
No. 593.83/2798/I tanggal 17 Mei 1991, areal HPHTI PT. MHP dicadangkan seluas
300.000 ha. Namun demikian, berdasarkan hasil pengukuran planimetris, areal HPHTI
yang dicadangkan tersebut ternyata memiliki luas bruto 447.190 ha.
Kemudian, berdasarkan arahan Departemen Kehutanan pada tanggal 1 September
1994, lokasi HPHTI yang terletak di Kelompok Hutan Musi Banyuasin seluas 104.000 ha
dikeluarkan, sehingga lokasi HPHTI yang ada menjadi seluas 343.190 ha (bruto).
Selanjutnya, pada tahun 1995 PT. MHP mendapatkan tambahan pencadangan areal
HPHTI seluas 64.034 ha, sehingga luas areal total yang dicadangkan menjadi 407.224 ha.
Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari Kanwil Dephut Propinsi Sumatra Selatan No.
1668/KWI-6.1/7/94 tanggal 30 Juli 1994 serta rekomendasi dari Gubernur Sumatra
Selatan No. 552/00237/95 tanggal 16 Juni 1995. Pada akhirnya, ditetapkan bahwa luas
HPHTI PT. Musi Hutan Persada adalah seluas 296.400 ha, sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 038/Kpts-II/96 tanggal 29 Januari 1996.
C. Aksesibilitas
Secara keseluruhan, areal HPHTI PT. MHP memiliki aksesibilitas yang cukup
baik. Areal PT. MHP dapat dijangkau dari kota Palembang melalui jalan darat beraspal
yang sebagian besar merupakan jaringan jalan Trans Sumatra Lintas Barat dengan jarak
±140 km arah Barat Daya. Selain itu, areal PT. MHP juga dapat dicapai dengan
menggunakan speedboat dari Palembang melalui Sungai Musi. Keberadaan sungai ini,
yaitu tepatnya Sungai Lematang yang merupakan Sub-DAS Musi, sangat bermanfaat
karena dapat juga dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai alternatif angkutan kayu dari
D. Keadaan Fisik
Berdasarkan studi kelayakan yang telah direvisi pada tahun 1995, dari luas areal
PT. Musi Hutan Persada sebesar 296.400 ha, seluas 232.841 ha (78,55%) memiliki
topografi lahan landai, sementara sisanya seluas 53.264 ha (17,97%) memiliki topografi
lahan datar, dengan hanya sebagian kecil memiliki topografi lahan agak curam, yaitu
seluas 10.295 ha (3,84%). Rata-rata ketinggian areal ini adalah sebesar 10-400 mdpl.
Berdasarkan klasifikasi Koppen, iklim di areal HPHTI PT. MHP termasuk
kedalam Tipe Alfa, sedangkan berdasarkan klasifikasi Schmidth-Ferguson sebagian besar
areal yang ada termasuk kedalam Tipe A dengan nilai Q berkisar antara 0-14,3%. Curah
hujan rata-rata tahunan adalah sebesar 2.082 mm dan bulanan sebesar 173,5 mm, dengan
curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Desember-Maret dan terendah jatuh pada bulan
Juni. Hari hujan rata tahunan adalah 142 hari dan bulanan 11,8 hari. Suhu udara
rata-rata berkisar antara 23°C-32,4°C. Kelembaban nisbi udara selama 5 tahun terakhir
berkisar antara 29,73%-79,92%, dengan kecepatan angin rata-rata bulanan sebesar 30,2
km/jam. Areal HPHTI PT. MHP termasuk dalam DAS Musi Sub-DAS Kikim, Keruh,
Semangus, Lematang (untuk KH Benakat), Sub-DAS Lematang dan Ogan (untuk KH
Subanjeriji) serta Sub-DAS Ogan dan Komering (untuk KH Martapura).
Secara umum, penyebaran jenis tanah di wilayah kerja HPHTI PT. MHP meliputi
jenis tanah alluvial, latosol, podsolik, asosiasi latosol, dan lain-lain. Tekstur tanahnya
adalah liat, halus dengan tingkat kesuburan yang rendah dan permeabilitas kurang baik.
Lapisan atas (organik) sangat tipis, dengan kedalaman tanah efektif berkisar antara 60-90
cm.
E. Keadaan Hutan
Berdasarkan revisi studi kelayakan tahun 1995 dan SK Menteri Kehutanan No.
038/Kpts-II/96 vegetasi di areal HPHTI PT. MHP seluas 296.400 ha terdiri dari 193.500
ha (65%) hutan tanaman, 86.450 ha (29%) hutan alam serta 16.450 ha (6%) berupa
penutupan hutan lain-lain. Untuk lebih jelas tentang kondisi penutupan lahan di HPHTI
20
Tabel 2. Kondisi Vegetasi Penutupan Lahan di Areal HPHTI PT. MHP
No. Vegetasi Penutupan Lahan Luas (Ha) Keterangan
1. Hutan Tanaman 193.500
2. Hutan Alam 86.450
3. Lain-lain 16.450
TOTAL 296.400
Sumber: SK Menteri Kehutanan No. 038/Kpts-II/96
HPHTI PT. Musi Hutan Persada memulai kegiatannya sejak awal tahun
1990, dan pada periode 1998/1999 telah memulai kegiatan penanaman untuk daur kedua
sekaligus pemanenan untuk daur pertama. Potensi yang dimiliki oleh HPHTI PT. MHP
pada periode 1999-2003 adalah sebesar 218,40 m3/ha, dan diharapkan agar dapat
meningkat menjadi 352,80 m3/ha pada tahun 2004 keatas. Jenis yang ditanam pada
umumnya adalah jenis-jenis yang memiliki kualifikasi cepat tumbuh serta cocok
digunakan sebagai bahan baku kertas (pulp), seperti jenis Acacia mangium (95%), Eucalyptus urophylla, Pinus merkusii, Paraserianthes falcataria serta Gmelina arborea. Dalam hal ini, jenis Acacia mangium adalah tetap sebagai jenis utama yang ditanam/jenis inti dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman industri.
F. Kondisi Sosial Ekonomi
Secara umum, keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan di beberapa
kabupaten yang berada di sekitar areal pencadangan HPHTI PT. Musi Hutan Persada
adalah sebagai berikut:
1. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data Biro Statistik tahun terbaru, kepadatan penduduk pada lima
kabupaten di sekitar areal HPHTI yang meliputi Kabupaten Lahat, Muara Enim,
Ogan Komering Ulu, Muba serta Musi Rawas adalah seperti tertera pada Tabel 3.
Berdasarkan data, terlihat bahwa kabupaten yang memiliki kepadatan penduduk
tertinggi adalah Kabupatan Lahat, sementara yang terendah ditempati oleh Kabupaten
Tabel 3. Luas Wilayah, Jumlah serta Kepadatan Penduduk di Kabupaten di Sekitar
Areal Pencadangan HPHTI PT. MHP.
No. Kabupaten
Luas
Wilayah
(km2)
Jumlah
Penduduk (Jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(Jiwa/km2)
1. Lahat 7.251 678.700 94
2. Musi Rawas 21.523 643.600 30
3. Muara Enim 9.575 720.300 75
4. OKU 13.661 1.144.800 84
5. Muba 26.009 1.219.600 17
TOTAL 78.019 4.407.000 330
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berdasarkan pengamatan dan pengambilan contoh di lapangan, kemudian
dilakukan serangkaian pengolahan data sehingga diperoleh hasil yang disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik sebagai berikut.
A.1. Persentase Gangguan dan Persentase Kenormalan Masing-masing Kelas Umur
Pada Tiap Stratum.
Berdasarkan hasil rekapitulasi kerugian fisik maupun finansial yang diderita oleh
PT. MHP Wilayah II Benakat akibat dari berbagai gangguan hutan yang terjadi selama
tiga tahun terakhir, diperoleh bahwa tingkat gangguan pada wilayah ini dapat
dikategorikan menjadi dua stratum, yaitu stratum sedang dan rawan. Tidak adanya
stratum aman di areal MHP Wilayah II Benakat menunjukkan bahwa hampir seluruh
areal kerjanya mendapatkan gangguan hutan secara cukup merata, meskipun dengan
intensitas yang berlainan. Hasil rekapitulasi besarnya kerugian dan perhitungan
stratifikasi dapat dilihat pada Lampiran 2 hingga Lampiran 5.
Dari tiap stratum yang diperoleh, dilakukan pemilihan petak-petak contoh secara
acak dan purposive, dalam hal ini pengambilan data pengukuran menggunakan data sekunder, dengan variabel yang digunakan adalah variabel keliling. Hasil rekapitulasi
perhitungan volume normal (volume rata-rata/ha tiap kelas umur) dan volume aktual
disajikan pada Lampiran 6 dan 7.
Perhitungan rata-rata volume aktual, volume yang hilang, persentase besarnya
tingkat gangguan serta persentase tingkat kenormalan tegakan pada masing-masing kelas
Tabel 4. Persentase Gangguan dan Persentase Kenormalan Pada Stratum Sedang
Tabel 5. Persentase Gangguan dan Persentase Kenormalan Pada Stratum Rawan
UMUR
0% : berarti tidak ada gangguan yang terjadi sehingga menyebabkan terjadinya penambahan volume sebesar 38,9% dari volume rata-rata
A.2. Rasio Kelestarian Hutan
Dari hasil perhitungan persentase kenormalan masing-masing kelas umur pada
tiap stratum seperti yang tertera pada Tabel 4 dan 5, dapat diperoleh nilai Rasio
24
Tabel 6. Rasio Kelestarian Hutan Pada Masing-masing Stratum dan Pada Kondisi Umum
Lokasi Pengambilan Data
UMUR
(Tahun)
STRATUM Kondisi Umum
(Kondisi Rata-rata)
Untuk mengetahui perkiraan luas penebangan yang dilakukan oleh PT. MHP
setiap tahunnya (Target Produksi dalam luas), diperlukan data tentang realisasi
penanaman dan penebangan yang telah dilakukan selama ini. Realisasi kegiatan
penanaman dan pemanenan pada PT. MHP hingga Oktober 2004 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Realisasi Kegiatan Penanaman dan Penebangan Pada Areal Kerja PT. MHP
Sampai Bulan Oktober 2004.
No Kegiatan
c.Tanaman Kehidupan (MPTS) 4.300 4.300
2. Pemanenan Dimulai Pada tahun
1998/1999 a. Acacia mangium 60.626 60.626
b.Tanaman Unggulan - -
c.Tanaman Kehidupan (MPTS) - -
Dalam Volume (m3) 8.647.379 8.647.379 Sumber: Buku RKLUPHHK Pada Hutan Tanaman PT. Musi Hutan Persada
Tabel 8. Sebaran Kelas Umur Tegakan Acacia mangium Berdasarkan Luas di Wilayah II Benakat dan Luas Aktual dari Hasil Perkalian Persentase Kenormalan.
UMUR
Dari Tabel 7, dapat diperkirakan bahwa PT. MHP telah melaksanakan kegiatan
pemanenan sebesar 12.125,2 ha/tahun pada seluruh areal kerjanya. Jumlah ini lebih besar
dari perkiraan Iskandar (2004) yang menyatakan bahwa PT. MHP setidaknya akan
membalak seluas 10.750 ha/tahun untuk memenuhi target produksi periode awal
26
Stratum Sedang Stratum Raw an
Gambar 1. Perbandingan Kehilangan Volume Untuk Tiap Kelas Umur Pada
Masing-masing Stratum.
Dari perbandingan besarnya jumlah kehilangan volume pada tiap-tiap umur pada
masing-masing stratum, perbandingan besarnya persentase kehilangan/persentase
gangguan hutan pada masing-masing stratum tiap umur juga dapat diketahui. Hal ini
disajikan pada Gambar 2.
0
Stratum Sedang Stratum Raw an
Gambar 2. Persentase Gangguan Hutan Untuk Tiap Kelas Umur Pada Masing-masing
0
Stratum Sedang Stratum Raw an
Gambar 3. Persentase Kenormalan Tegakan Untuk Tiap Kelas Umur Pada
Masing-masing Stratum.
B. Pembahasan
B.1. Persentase Gangguan Pada Tiap Stratum
Dari hasil pengolahan data pada Tabel 4 dan 5, terlihat bahwa besarnya nilai
volume yang hilang berkorelasi kuat dengan besar nilai persentase gangguan yang terjadi,
dimana nilai ini menunjukkan besarnya gangguan yang terjadi pada tegakan.
Perbandingan besarnya volume hilang pada tiap umur tanaman tiap stratum disajikan
pada Gambar 1.
Nilai persentase gangguan pada stratum sedang bervariasi mulai dari 15,0-69,4%.
Sedangkan, untuk stratum rawan, besar nilai persentase gangguan bervariasi mulai dari
0-94,3%. Dari kedua stratum, terlihat bahwa gangguan terbesar terjadi pada saat tanaman
berumur 1 tahun atau kurang, dan gangguan terendah terjadi pada saat umur tanaman
berusia 5-6 tahun (2-3 tahun sebelum memasuki masa masak tebang). Gambaran besar
persentase gangguan yang dialami tegakan pada setiap umur dan stratum dapat dilihat
pada Gambar 2.
Dari hasil perhitungan persentase gangguan, terlihat bahwa setiap umur tegakan
pada tiap stratum mengalami gangguan yang besarnya bervariasi dan fluktuatif, atau
bahkan tidak mengalami sama sekali, sehingga justru memiliki volume aktual lebih besar
28
Suban Ulu). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya keberagaman jenis dan intensitas
gangguan hutan yang ada, terutama jenis dan intensitas yang disebabkan oleh faktor
manusia, yang biasanya berlangsung secara sporadis/tidak merata tergantung dari
beberapa faktor lain, seperti faktor tinggi rendahnya aksesibilitas lahan, faktor kedekatan
lahan dengan tempat tinggal penduduk, dan lain-lain. Untuk lebih jelas mengenai
faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap persentase gangguan, dan pada gilirannya nilai
rasio kelestarian hutan, akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab pembahasan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap nilai rasio kelestarian hutan.
B.2. Persentase Kenormalan dan Luas Koreksi Tegakan
Seperti halnya persentase gangguan yang dipengaruhi oleh besar volume yang
hilang, persentase kenormalan juga dipengaruhi oleh besar persentase gangguan hutan
yang terjadi. Dalam hal ini, dengan semakin besarnya persen gangguan yang terjadi, atau
dengan kata lain , dengan semakin rawannya tegakan yang bersangkutan terhadap
gangguan, maka akan semakin rendah tingkat kenormalan tegakan, dan sebaliknya.
Secara umum, nilai persentase kenormalan merupakan nilai yang menunjukkan seberapa
besar tingkat kenormalan tegakan tersebut jika dibandingkan dengan keadaan
normal/keadaan ideal tegakan. Nilai kenormalan yang ideal dari suatu tegakan adalah
100%, yang menandakan bahwa tegakan tersebut pertumbuhannya didukung oleh
berbagai faktor yang ada, baik internal maupun eksternal secara optimum.
Dari hasil perhitungan persentase kenormalan pada Tabel 4 dan 5, juga dari hasil
perbandingan pada Gambar 3, terlihat bahwa besarnya persentase kenormalan pada tiap
umur tegakan di tiap stratum nilainya bervariasi. Pada stratum sedang, nilai persentase
kenormalan bervariasi dari 30,6-85,0% sedangkan pada stratum rawan, nilainya
bervariasi antara 5,7-138,9%. Kondisi nilai persentase kenormalan yang bervariasi ini
diduga merupakan hasil dari adanya keragaman jenis dan intensitas faktor-faktor yang
mempengaruhinya, baik dari dalam maupun dari luar.
Salah satu kegunaan dari diketahuinya nilai persentase kenormalan adalah dapat
diketahuinya luas koreksi (luas aktual) sebagai hasil perkalian antara persentase
kenormalan dengan luas normal tiap umur tegakan. Dari hasil perhitungan pada Tabel 7
dan 8, diketahui bahwa luas aktual untuk tiap sebaran umur tanaman di Wilayah II
jauh di bawah perkiraan target produksi yang ada). Namun, yang perlu diingat adalah,
jumlah luasan sebesar 12.125,2 ha/tahun diambil dari keseluruhan areal kerja PT.MHP
yang meliputi Wilayah I, II dan III. Meskipun demikian, luasan aktual yang dimiliki oleh
Wilayah II Benakat sebagai wilayah yang memiliki luas tanaman 64.688,3 ha (33,4 %
dari luas areal efektif 193.500 ha) adalah tetap mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan
Wilayah II Benakat memiliki total luas aktual yang besarnya bervariasi pada setiap umur
tanaman (lihat Tabel 8),dan diperkirakan akan mulai mengalami kesulitan dalam
memenuhi target produksi ketika tanaman berumur 6 tahun mulai ditebang. Hal ini
tentunya perlu mendapatkan penanganan yang serius, baik secara preventif (pencegahan) maupun represif (penanggulangan), karena jika tidak, dikhawatirkan perusahaan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kontrak kerja dengan PT. TEL.
B.3. Rasio Kelestarian Hutan
Dari hasil perhitungan pada Tabel 6, diperoleh nilai-nilai rasio kelestarian hutan
untuk tiap stratum dan kondisi secara umum. Nilai ini diperoleh dengan membandingkan
antara jumlah persentase kenormalan tiap kelas umur tiap stratum aktual dengan jumlah
persentase kenormalan tiap kelas umur tiap stratum pada keadaan normal, yaitu 800%.
Nilai rasio kelestarian untuk stratum sedang adalah sebesar 0,67, untuk stratum
rawan sebesar 0,62 dan untuk kondisi umum/rata-rata sebesar 0,64. Hal ini berarti pada
areal kerja Wilayah II Benakat ada sebesar 0,36 bagian yang megalami gangguan. Untuk
itu, maka di wilayah ini perlu diadakan penanaman sebesar 1/0,64 = 1,6 kali luas
penebangan agar dapat diperoleh suatu kondisi hutan yang mendekati normal dan juga
agar 0,36 bagian yang hilang dapat digantikan.
Pelaksanaan hal ini tidak selalu berarti harus ada penambahan luas dari areal yang
telah tersedia, tapi juga dapat dilakukan dengan cara melakukan intensifikasi
pertumbuhan tanaman yang ada, sehingga diperoleh suatu pertumbuhan volume yang
lebih besar dan setara dengan luas yang dibutuhkan. Intensifikasi pertumbuhan tanaman
antara lain dapat dilakukan dengan cara menggunakan benih yang secara genetik terbukti
unggul, menggunakan jarak tanam yang terbukti paling optimal serta dengan pemupukan
yang intensif.
30
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, secara umum ada dua faktor yang
berpengaruh besar terhadap nilai rasio kelestarian hutan. Faktor yang pertama adalah
faktor yang berasal dari dalam tanaman itu sendiri (faktor internal), dan yang kedua
adalah faktor yang berasal dari luar (faktor eksternal). Di antara yang termasuk ke dalam
faktor internal pertumbuhan tegakan antara lain adalah faktor kesuburan lahan, faktor
umur serta faktor tingkat persaingan dalam memperoleh makanan dan cahaya.
Sedangkan, yang termasuk ke dalam faktor eksternal antara lain adalah besarnya tingkat
gangguan yang terjadi pada tegakan itu sendiri. Di antara kedua faktor ini, faktor
eksternal seringkali menjadi faktor yang menetukan tinggi rendahnya nilai rasio
kelestarian pada suatu areal hutan. Hal ini disebabkan karena dampak dari sesuatu yang
diakibatkan oleh faktor eksternal seringkali lebih sulit untuk dikendalikan/ditanggulangi
daripada dampak dari sesuatu yang diakibatkan oleh faktor internal. Sebagai contoh,
pengaruh kerusakan pada suatu tegakan Akasia yang diakibatkan oleh faktor eksternal
(perambahan lahan, pencurian, pembakaran lahan,angin kencang) akan lebih sulit untuk
ditangani secara tuntas, belum lagi akan adanya fakta bahwa besarnya gangguan
seringkali melewati ambang batas ketahanan tegakan itu sendiri terhadap gangguan.
Sementara pengaruh yang diberikan oleh faktor internal terhadap pertumbuhan tegakan,
misalnya pengaruh kesuburan lahan yang rendah terhadap volume, pada umumnya masih
dapat ditanggulangi dengan menggunakan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia, seperti
misalnya dengan cara melakukan pemuliaan pohon dan pemberian pupuk yang intensif.
Pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa faktor eksternal, terutama yang disebabkan
oleh manusia, adalah merupakan faktor utama yang harus disediakan solusi
pemecahannya secara baik dan komprehensif apabila memang diinginkan adanya suatu
areal hutan yang lestari dan berkelanjutan. Hal ini menjadi penting karena, betapapun
hebatnya ilmu yang kita gunakan untuk memperbaiki faktor internal, hal ini akan menjadi
sia-sia saja apabila tidak dibarengi dengan suatu solusi dan regulasi yang mampu
menghentikan pengrusakan hutan terus menerus. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk
memfokuskan pembahasan pada faktor-faktor eksternal yang menjadi ancaman bagi
B.4.1. Faktor-faktor Eksternal yang Berpengaruh Terhadap Nilai Rasio Kelestarian
Hutan
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan pada kondisi lapangan, ada
beberapa faktor eksternal (gangguan hutan) yang harus diwaspadai dengan baik, di
antaranya adalah:
a. Konflik Lahan.
Berdasarkan hasil rekapitulasi kerugian yang diderita perusahaan selama tiga
tahun terakhir (disajikan pada Lampiran 2 dan 3), terlihat bahwa masalah konflik
lahan, baik yang berupa perambahan lahan oleh masyarakat maupun klaim lahan
merupakan masalah utama yang harus dihadapi oleh perusahaan. Baik masalah
perambahan lahan maupun klaim lahan pada umumnya terjadi hampir secara merata
pada seluruh petak-petak tegakan yang ada, baik yang berusia muda maupun yang
telah berada pada usia masak tebang (tidak mengenal umur tegakan). Meskipun
demikian, khusus untuk masalah perambahan lahan, lebih sering terjadi pada
petak-petak tegakan berusia muda ataupun pada petak-petak-petak-petak bekas tebangan. Hal ini
disebabkan oleh karena masyarakat menggunakan lahan-lahan yang ada tersebut
untuk keperluan membuat ladang dan lahan pertanian, baik digunakan untuk
menanam tanaman semusim seperti padi, cabai, sayur-mayur ataupun untuk menanam
tanaman keras seperti karet.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, masalah konflik lahan dengan
masyarakat merupakan masalah terberat yang harus dihadapi oleh perusahaan. Hal ini
dikarenakan, dari kedua macam masalah ini dapat berujung pada munculnya masalah
lain yang juga tidak kalah merugikannya, yaitu masalah kebakaran lahan.
b. Kebakaran Lahan
Masalah kebakaran lahan yang terjadi pada areal kerja PT. MHP pada umumnya
berawal dari adanya kegiatan pembukaan ladang oleh masyarakat, baik yang
dilakukan pada lahan milik pribadi maupun yang dilakukan pada areal konsesi hutan
perusahaan (perambahan lahan untuk berladang). Kegiatan pembukaan ladang oleh
masyarakat ini paling marak terjadi pada bulan Juli-Oktober yang merupakan
bulan-bulan paling kering dalam setahun. Kurangnya biaya yang dimiliki untuk membuka
32
yang telah melekat sejak dahulu menjadi suatu kombinasi yang sangat merugikan
bagi perusahaan, terutama apabila pembakaran yang dilakukan menjadi tidak
terkendali dan menyebar ke lahan tegakan milik perusahaan.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, diperoleh informasi bahwa
umur tegakan Acacia mangium yang paling rentan terhadap bahaya kebakaran adalah umur tegakan 1-3 tahun. Pada umur sekian, tegakan yang ada sangat rentan untuk
terbakar habis tanpa sisa, sedangkan bila umur tegakan telah melewati tiga tahun
pertama, kerentanannya menjadi berkurang drastis, dan meskipun terbakar, masih
memiliki kemungkinan untuk ditebang dan dikirimkan ke PT.TEL, dengan catatan
tidak boleh ada arang kayu bekas terbakar pada kayu bulat yang dikirimkan. Dalam
hal ini, perusahaan masih merugi, meskipun tidak secara total. Meskipun demikian,
tingkat kerentanan ini juga masih bergantung pada intensitas kebakaran yang terjadi.
c. Penggembalaan.
Simon (2004) menyatakan bahwa suatu pengelolaan hutan pada awalnya
berangkat dari daerah yang berpenduduk jarang, bahkan sama sekali tidak
berpenghuni. Namun, seiring dengan adanya kegiatan pengelolaan dan penebangan
hutan, daerah tersebut pada akhirnya menjadi terbuka, dengan tingkat aksesibilitas
dan sarana komunikasi yang berkembang. Adanya hal ini menyebabkan semakin
banyaknya penduduk yang berpindah ke daerah tersebut, baik untuk mencari
pekerjaan pada kegiatan penebangan maupun untuk menyediakan berbagai macam
kebutuhan para pekerja tersebut.
Kegiatan penggembalaan (berternak) merupakan salah satu dari sekian banyak
usaha yang dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
semakin padatnya penduduk dan semakin sempitnya lahan yang tersedia untuk
kegiatan penggembalaan, masyarakat pemilik ternak seringkali tidak punya pilihan
lain selain menggembalakan ternak miliknya di lahan-lahan tegakan milik
perusahaan, tanpa menyadari kerusakan yang ditimbulkan.
Dalam hal gangguan hutan berupa penggembalaan, tegakan yang berumur kurang
dari satu tahun merupakan tegakan yang paling rentan terhadap jenis gangguan ini.
Ada beberapa jenis hama penyakit hutan yang ditengarai terjadi di MHP. Untuk
hama hutan, jenis-jenis hama yang pernah tercatat menyerang tegakan di MHP,
menurut Hardiyanto, 2004 antara lain adalah ulat grayak atau ulat tentara (Spodoptera litura) serta penggerek batang. Masih menurut yang bersangkutan, hama-hama yang ada ini tidak memberikan gangguan yang berarti pada HTI. Sedangkan untuk jenis
penyakit hutan, berbeda dari hama, dapat memberikan ancaman yang lebih besar,
baik pada luas serangan maupun pada potensi kerugian yang ditimbulkan. Jenis
penyakit yang tercatat menyerang HTI MHP antara lain adalah Jamur akar putih
(disebabkan oleh jamur Rigidoporus lignosus), Jamur upas (pink disease), Karat daun (disebabkan oleh jamur Atelocauda digitata), serta penyakit Busuk hati.
Berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, tampaknya ada jenis hama
baru yang menyerang HTI MHP akhir-akhir ini. Jenis hama yang baru ini diduga
berupa hewan monyet, dengan ciri serangan utama adalah terkelupasnya sebagian
atau seluruh kulit pohon yang disertai dengan bekas gigitan. Akibat adanya serangan
ini adalah dalam waktu singkat pohon-pohon yang terkena serangan meranggas dan
kemudian mati karena terhentinya pasokan makanan dari akar ke bagian batang dan
daun. Meskipun Hardiyanto, 2004 menyatakan bahwa serangan hama tidak
memberikan gangguan yang berarti, dari hasil pengamatan dan wawancara nampak
bahwa serangan hama baru ini dapat menjadi suatu ancaman yang serius pada masa
mendatang bila tidak ditangani dengan segera. Hal ini dikarenakan hama baru ini
dapat merusak areal tanaman di Blok Setuntung seluas 4.465,66 ha secara hampir
keseluruhan/secara merata dalam waktu yang relatif singkat.
B.4.2. Akibat-akibat yang Ditimbulkan Oleh Gangguan Hutan (Faktor Eksternal)
Pada Kondisi Tegakan Secara Umum
Dengan melihat kenyataan di atas bahwa penurunan kualitas tanaman Acacia mangium sangat dipengaruhi oleh berbagai gangguan yang ada, berikut penjelasan terperinci tentang akibat yang mungkin ditimbulkan terhadap berbagai kondisi tegakan
Acacia mangium.
a. Akibat Gangguan Konflik Lahan
Seperti yang telah dikemukakan pada sub-bab sebelumnya, gangguan hutan