• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Kondisi Sosial Ekonomi

B.5. Upaya-upaya Penanggulangan

Adanya berbagai macam gangguan hutan yang dapat mengancam kelestarian produksi dan kelestarian usaha telah sejak lama disadari oleh PT. MHP. Oleh karena itu, MHP telah dan akan terus melaksanakan berbagai langkah penanggulangan gangguan-gangguan hutan yang ada, baik yang bersifat preventif (mencegah) maupun yang bersifat represif (menanggulangi).

Untuk menghadapi masalah konflik lahan, yang diakui sebagai masalah terbesar yang harus dihadapi perusahaan, MHP mengembangkan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), yang dituangkan dalam berbagai program. Di antara program yang dirasa cukup berhasil dalam menangani kasus-kasus konflik lahan adalah MHBM (Mengelola Hutan Bersama Masyarakat) serta program MHR (Mengelola Hutan Rakyat). Keduanya memiliki cara-cara pelaksanaan yang berbeda, namun tetap memiliki esensi yang sama, yaitu berupaya untuk menjadikan masyarakat sekitar hutan, baik di dalam maupun di luar, sebagai mitra sejajar yang juga dapat merasakan susah dan senang secara bersama-sama dalam upaya membangun hutan tanaman yang berhasil. Menurut Iskandar (2004), posisi MHP dalam menyikapi konflik lahan yang terjadi adalah dengan berpedoman pada keempat hal berikut:

1. Proses konflik diselesaikan dengan negosiasi dan musyawarah, namun bila semua usaha telah buntu, konflik diselesaikan melalui jalur hukum.

2. Tidak ada ganti rugi pada para pihak penggugat.

3. Tidak ada penyerahan kembali lahan karena perusahaan diberi wewenang oleh Menteri Kehutanan.

4. Selalu mengajak masyarakat untuk bekerjasama membangun hutan dan membangun kesejahteran dan kemakmuran bersama.

Dalam upaya untuk mencegah berulangnya kasus kebakaran hutan, perusahaan telah menyiapkan berbagai langkah sebagai berikut (Hardiyanto,2004):

1. Pengembangan sistem pengendalian api, yang terdiri atas tiga unit kerja, yaitu unit pengamatan, unit pelaporan/informasi/instruksi serta unit pemadaman.

2. Mengembangkan satuan khusus pengendalian api di setiap unit kerja yang bertanggung jawab atas areal seluas 10.000-15.000 ha.

3. Melengkapi satuan yang ada dengan perangkat pengendalian api

4. Membangun menara api permanen setinggi 25 m sebanyak 41 buah di seluruh areal kerja, dengan luas peliputan sebesar 3.000-5.000 ha untuk tiap menara.

5. Membangun 172 dam dengan luas 40-50 m2/dam untuk mempermudah penyediaan air dalam pemadaman api.

6. Menggunakan program MHBM dan MHR sebagai bagian dari pendekatan kepada masyarakat untuk mengendalikan kebakaran (community-based approach to forest fire management). Dalam hal ini, masyarakat dibentuk untuk mengarah pada pola pikir untuk mau berpartisipasi secara aktif dalam menjaga tanaman yang ada di dekat lahan miliknya apabila ingin dapat menikmati hasil jerih payahnya.

7. Melakukan inventarisasi pada para pemilik ladang yang berada di dekat lahan MHP yang akan melakukan kegiatan persiapan lahan. Setelah diinventaris, masing-masing regu satuan khusus pengendali api akan terjun langsung ke lapangan untuk membantu dan mengarahkan masyarakat tentang cara pembuatan sekat bakar yang baik, serta juga untuk mengecek kesiapan mereka dalam melakukan persiapan lahan.

Sedangkan untuk mengatasi masalah penggembalaan, perusahaan antara lain menempuh cara pemberian penyuluhan dan pengarahan pada masyarakat untuk menggembalakan ternak miliknya di tegakan berumur tua serta juga dengan cara pemberian areal penggembalaan seluas ± 2 ha di dekat dusun/talang yang bersangkutan. Dalam mengatasi masalah hama dan penyakit, perusahaan melalui departemen

40 Research&Development masih terus mengembangkan penelitian untuk mengatasi kedua masalah ini secara komprehensif, antara lain dengan cara mencoba untuk menghadirkan musuh alami dari hama yang ada.

Dari kenyataan yang ada di lapangan, nampak dengan jelas bahwa upaya untuk mencapai kelestarian dalam pengusahaan hutan bukanlah suatu perkara yang mudah. Berbagai macam gangguan akan terus saja terjadi, meskipun berbagai macam upaya yang ada juga telah dilaksanakan. Untuk itu, kelestarian hutan atau bahkan kondisi yang mendekati nampaknya hanya akan tercapai apabila ada komitmen dan keseriusan dari segala pihak (stakeholders) yang bersangkutan.

A. Kesimpulan

1. Nilai rasio kelestarian hutan secara umum di Wilayah II Benakat adalah sama dengan 0,64. Hal ini berarti Wilayah II Benakat perlu mengadakan penanaman sebesar 1/0,64 atau sama dengan 1,6 kali luas penebangan agar dapat diperoleh suatu kondisi tanaman yang mendekati keadaan normal/ideal.

2. Nilai rasio kelestarian dipengaruhi oleh nilai persentase gangguan dan persentase kenormalan masing-masing umur tegakan pada tiap-tiap stratum. Nilai persentase gangguan menunjukkan besarnya akumulasi gangguan yang dialami masing-masing umur tegakan pada tiap stratum, sedangkan persentase kenormalan menunjukkan tingkat kenormalan suatu tegakan bila dibandingkan dengan keadaan rata-ratanya, serta juga menunjuk pada kondisi aktual tegakan yang ada saat ini.

3. Persentase penurunan volume atau jumlah kehilangan volume untuk masing-masing umur tegakan di tiap-tiap stratum besarannya bervariasi. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak samanya tingkat intensitas gangguan hutan yang diterima oleh tegakan pada tiap-tiap umur di tiap stratum.

4. Nilai persentase gangguan stratum sedang bervariasi antara 15,0-69,4% dengan nilai persentase kenormalan bervariasi antara 30,6-85%. Pada stratum rawan, nilai persentase gangguan yang terjadi pada setiap umur tegakan juga mengalami variasi, yaitu antara 0-94,3%, dengan nilai persentase kenormalan bervariasi antara 5,7-138,9%. Dalam hal ini, angka persentase gangguan sebesar 0% menunjukkan bahwa ada sebagian tegakan pada stratum rawan yang tidak mengalami gangguan sama sekali, sehingga menyebabkan terjadinya penambahan volume sebesar 38,9% dari volume normalnya (volume rata-ratanya).

5. Gangguan hutan yang terjadi di areal kerja Wilayah II Benakat pada umumnya terdiri dari konflik lahan, kebakaran lahan, penggembalaan hingga serangan hama penyakit. Dalam hal ini, konflik lahan dan kebakaran merupakan dua bentuk gangguan yang dianggap paling mengancam kelestarian produksi dan kelestarian perusahaan.

42 6. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi gangguan hutan meliputi

upaya preventif maupun represif, dengan peningkatan kerjasama antara perusahaan dengan masyarakat serta menjadikan masyarakat sekitar areal hutan sebagai mitra kerja yang sejajar sebagai esensi utama pendekatan penanggulangan gangguan hutan.

B. Saran

1. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut tentang nilai rasio kelestarian hutan yang meliputi seluruh areal kerja PT. Musi Hutan Persada (meliputi tiga wilayah kerja) agar dapat diperoleh nilai rasio kelestarian hutan bagi tiap wilayah yang ada. Hal ini agar dapat dikembangkan suatu manajemen lahan yang bersifat spesifik dan mampu mengakomodir secara spesifik gangguan-gangguan hutan yang terjadi di tiap wilayah.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mengarah pada penelaahan tingkah laku masyarakat sekitar hutan serta pandangan dan interaksinya dengan hutan. Dengan demikian diharapkan agar suatu bentuk pengertian dan kerjasama yang lebih baik dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak dapat terjadi.

Dokumen terkait