PENINGKATAN KEAWETAN KAYU
Gmelina arborea
Roxb.
DARI SERANGAN JAMUR PELAPUK DENGAN BAHAN
PENGAWET ALAMI
JENY RAMADHANI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
JENY RAMADHANI. Peningkatan Keawetan Kayu Gmelina arbore Roxb. dari Serangan Jamur Pelapuk dengan Bahan Pengawet Alami. Dibimbing oleh TRISNA PRIADI dan ELIS NINA HERLIYANA.
Sebagian besar kayu di Indonesia mempunyai keawetan alami yang rendah (+ 80%), sehingga mudah rusak, keropos atau lapuk akibat serangan organisme perusak kayu. Dalam mengatasi hal tersebut perlu dikembangkan upaya untuk meningkatkan keawetan pada jenis kayu yang kurang awet. Pengawetan kayu memerlukan adanya bahan pengawet yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu serta alat-alat yang mendukung dalam proses pengawetan tersebut. Bahan pengawet yang biasa digunakan saat ini adalah bahan pengawet kimia yang tidak hanya membahayakan bagi organisme perusak kayu tapi juga dikhawatirkan berbahaya bagi organisme lain bahkan manusia. Untuk itu diperlukan adanya alternatif bahan pengawet yang lebih aman bagi manusia serta lingkungan dengan biaya relatif rendah dan dapat memberikan perlindungan yang efektif terhadap kayu dari serangan organisme perusak kayu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak akar tuba, belerang dan kapur sebagai bahan pengawet alami alternatif untuk melindungi kayu Gmelina arborea Roxb. dari serangan jamur pelapuk (Daldinia concentrica
dan Schizophyllum commune).
Penelitian ini menggunakan kayu G. arborea dengan ukuran 2,5x2x0,5cm3. Contoh uji tersebut direndam dalam pengawet belerang, kapur, dan akar tuba dengan lama waktu rendaman 2 hari, 8 hari, dan 14 hari. Contoh uji yang telah diawetkan dimasukkan ke dalam botol pengumpanan yang telah berisi biakan murni dari jamur pelapuk D. concentrica dan S. commune. Pengumpanan dilakukan selama 8 minggu. Selanjutnya contoh uji ditimbang untuk mengetahui persentase penurunan bobot kering setelah diumpankan pada jamur.
Hasil penelitan menunjukkan nilai rata-rata retensi pengawet kapur berbeda nyata dengan belerang dan ekstrak tuba, sedangkan nilai rata-rata retensi belerang dengan ekstrak tuba tidak berbeda nyata. Nilai retensi tertinggi dimiliki oleh kapur dengan rendaman selama 8 hari yaitu 582,6 Kg/m3, dan terendah oleh belerang dengan rendaman selama 2 hari yaitu 0,114 Kg/m3. Perbedaan waktu rendaman berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata retensi dari ketiga pengawet tersebut. Semakin lama waktu perendaman, semakin tinggi retensi bahan pengawet dalam kayu.
Dengan pengumpanan selama 8 minggu pada D. concentrica, nilai rata-rata persentase penurunan bobot contoh uji terendah adalah yang diberi bahan pengawet belerang (1,60%), dan yang tertinggi adalah yang diberi bahan pengawet tuba (5,31%). Pada S. commune, nilai rata-rata persentase penurunan bobot contoh uji terendah adalah yang diberi bahan pengawet belerang (1,24%), dan yang tertinggi adalah yang diberi bahan pengawet kapur (2,43%). Penurunan bobot pada D. concentrica dua kali lebih besar dibanding pada S. commune. Nilai penurunan bobot contoh uji ketiga bahan pengawet berbeda nyata pada serangan
Waktu rendaman yang terbaik dari setiap pengawet untuk mencegah serangan D. concentrica yaitu, selama 14 hari untuk tuba, selama 2 hari untuk belerang, dan selama 8 hari untuk kapur. Pada serangan S. commune, waktu rendaman terbaik dari setiap pengawet adalah selama 2 hari untuk tuba dan belerang, serta selama 14 hari untuk kapur. Jadi, waktu rendaman yang terbaik untuk mencegah serangan kedua jenis jamur tersebut adalah selama 2 hari untuk belerang, selama 14 hari untuk tuba dan kapur.
Bahan pengawet yang paling efektif untuk mencegah serangan D. concentrica dan S. commune adalah belerang, kemudian diikuti oleh kapur dan ekstrak tuba. Pada serangan D. concentrica, bahan pengawet belerang dapat meningkatkan keawetan kayu gmelina sebesar 62,79% terhadap kontrolnya. Pengaruh perendaman ketiga bahan pengawet tersebut nyata pada pencegahan serangan D. concentrica dibandingkan dengan S. commune.
Setelah diumpankan pada kedua jenis jamur, contoh uji mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap disertai dengan titik-titik cokelat kehitaman. Contoh uji dengan pengawet belerang tidak memperlihatkan perubahan yang besar pada warna kayu. Perubahan warna yang terlihat cukup jelas yaitu pada contoh uji dengan pengawet kapur dan contoh uji kontrol. Sedangkan untuk contoh uji dengan pengawet tuba, perubahannya tidak terlalu terlihat karena tersamar oleh warna pengawet yang melekat pada contoh uji tersebut, kecuali pada contoh uji tuba dengan perendaman selama 2 hari yang mengalami kerusakan cukup berat.
Rata-rata keseluruhan kadar air contoh uji sebelum diumpankan pada jamur adalah 16,47%, sedangkan pada contoh uji yang telah mengalami pengumpanan kadar air rata-ratanya menjadi 63,16%. Nilai kadar air contoh uji tersebut mengalami peningkatan hampir empat kali lebih besar dibanding nilai kadar air sebelumnya.
Dari hasil tersebut, perlu adanya penelitian lanjutan mengenai pengaruh tuba, belerang dan kapur sebagai pencegah serangan jamur pelapuk kayu dengan melihat pengaruhnya terhadap kekuatan fisis dan mekanis kayu yang diserangnya serta ketahanan bahan pengawet tersebut terhadap pencucian.
PENINGKATAN KEAWETAN KAYU
Gmelina arborea
Roxb.
DARI SERANGAN JAMUR PELAPUK DENGAN BAHAN
PENGAWET ALAMI
JENY RAMADHANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Peningkatan Keawetan Kayu Gmelina arborea Roxb. dari Serangan Jamur Pelapuk dengan Bahan Pengawet Alami
Nama : Jeny Ramadhani
NIM : E24101070
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc Ir. Elis Nina Herliyana, Msi NIP. 132 045 535 NIP. 131 955 530
Mengetahui
Dekan Fakultas Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Cecep kusmana, MS NIP. 131 430 799
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2005 ini ialah
pengawetan kayu, dengan judul Peningkatan Keawetan Kayu Gmelina arborea
Roxb. dari Serangan Jamur Pelapuk dengan Bahan Pengawet Alami.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc dan Ir.
Elis Nina Herliyana, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian karya ilmiah ini, serta kepada Dr. Ir. Heri Purnomo,
M.comp. dan Dr. Ir. Agus Hikmat, MS selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga dan
rekan-rekan penulis atas do’a, kasih sayang, bantuan serta motivasi yang
senantiasa diberikan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
seluruh staff Laboratorium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan,
Laboratorium Kayu Solid Departemen Hasil Hutan dan Laboratorium Penyakit
Hutan Departemen Silvikultur serta berbagai pihak yang telah membantu
penyelesaian karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Namun, penulis berharap karya ilmiah ini tetap mampu memberi manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan.
Bogor, Agustus 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1983 dari ayah Darwis
Thaib, BSc (Alm.) dan ibu Nurhaimis. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga
bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Depkes
dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Teknologi
Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.
Kegiatan praktek lapang yang pernah diikuti oleh penulis yaitu Praktek
Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Barat dan KPH
Banyumas Timur, serta Kuliah Kerja Profesi (KKP) di CV. Sylva Kriya
Gemilang, Semarang.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah
Ilmu Ukur Hutan pada tahun ajaran 2003/2004, serta mata kuliah Pendidikan
Agama Islam pada tahun ajaran 2004/2005. Penulis juga aktif sebagai staff DKM
‘Ibaadurrahman pada tahun 2002-2005, dan sebagai anggota UKM FORCES, IPB
DAFTAR ISI
3. Pengaruh Serangan Jamur terhadap Sifat-Sifat Kayu ... 5
4. Tindakan Pengendalian Jamur Pelapuk ... 6
B. Daldinia concentrica ... 8
5. Perhitungan Kadar Air dan Penurunan Bobot ... 19
6. Pengumpulan Data ... 20
7. Pengolahan Data... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Retensi Contoh Uji ... 22
B. Pengaruh Serangan Jamur Terhadap Sifat-Sifat Kayu ... 24
1. Penurunan Bobot Akibat serangan Jamur Pelapuk Kayu ... 25
2. Perubahan Warna dan Bau pada Contoh Uji... 29
3. Kadar Air Contoh Uji ... 31
C. Penggunaan Tuba, Belerang, dan Kapur sebagai Pengawet Kayu... 34
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Rata-rata penurunan bobot (%) pada tiga jenis pengawet dengan
berbagai tingkat waktu rendaman ... 25
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 D. concentrica yang menyerang kayu, biakan murni dan struktur
mikroskopiknya ... 16
2 S. commune yang menyerang kayu, biakan murni dan struktur
mikroskopiknya ... 16
3 Tumbuhan D. elliptica Benth. ... 17 4 Bahan pengawet yang siap digunakan ... 18
5 Retensi ketiga jenis bahan pengawet pada berbagai tingkat waktu
rendaman ... 22
6 Persentase penurunan bobot contoh uji dari ketiga jenis pengawet dengan berbagai tingkat waktu rendaman akibat serangan
D. concentrica ... 26 7 Persentase penurunan bobot contoh uji dari ketiga jenis pengawet
dengan berbagai tingkat waktu rendaman akibat serangan
S. commune ... 28 8 Contoh uji setelah diumpankan pada kedua jamur pelapuk ... 30
9 Kadar air contoh uji sebelum dan setelah diumpankan pada
D. concentrica ... 32 10 Kadar air contoh uji sebelum dan setelah diumpankan pada
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Retensi contoh uji dari tiga jenis pengawet dengan berbagai waktu
rendaman ... 40
2 Hasil analisis sidik ragam retensi bahan pengawet dengan berbagai waktu rendaman ... 41
3 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis pengawet dan waktu rendaman terhadap nilai retensi contoh uji ... 42
4 Penurunan bobot contoh uji dari tiga jenis pengawet dengan berbagai tingkat waktu rendaman ... 43
5 Hasil analisis sidik ragam persentase penurunan bobot ketiga jenis pengawet dengan berbagai tingkat waktu rendaman ... 46
6 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis pengawet dan waktu rendaman terhadap persentase penurunan bobot ... 4
7 Hasil T-test penurunan bobot akibat serangan D. concentrica ... 48
8 Hasil T-test penurunan bobot akibat serangan S. commune ... 51
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kayu adalah bahan alami yang berasal dari pohon. Pohon-pohon itu
sendiri tumbuh di hutan, di taman, di ladang, di kebun bahkan di halaman rumah
kita. Oleh karena itu, dalam bentuknya yang asli, kayu merupakan bagian penting
dari alam hayati dan tentu saja merupakan bagian dari lingkungan hidup kita
(Nandika et al. 1996). Sebagai bahan alami, diperlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan kayu dari sebuah pohon. Manusia sangat membutuhkan kayu
dalam kehidupannya, terutama untuk pembangunan perumahan.
Salah satu komponen kimia yang terdapat di dalam kayu adalah zat
ekstraktif. Zat ekstraktif bukan merupakan penyusun utama dinding sel.
Sebagian zat ekstraktif berada di dalam rongga sel, dan sebagian lainnya berada di
dalam dinding sel. Keberadaannya dalam dinding sel bukan merupakan ikatan
kimia dengan komponen-komponen utama penyusun dinding sel (Syafii 1996).
Kandungan ekstraktif di dalam kayu memang sangat kecil dibandingkan
dengan kandungan selulosa, hemiselulosa maupun lignin, akan tetapi pengaruhnya
cukup besar terhadap sifat kayu dan sifat pengolahannya, antara lain yang sangat
penting adalah pengaruhnya terhadap sifat keawetan alami kayu.
Sebagian besar kayu di Indonesia mempunyai keawetan alami yang rendah
(+ 80%), sehingga mudah rusak, keropos atau lapuk akibat serangan organisme
perusak kayu. Disamping itu, ketergantungan kepada jenis-jenis kayu awet
menyebabkan penggunaan kayu kurang optimal. Untuk mengatasi hal tersebut
perlu dikembangkan upaya untuk meningkatkan keawetan pada jenis kayu yang
kurang awet.
Beberapa cara mengawetkan kayu seperti pelaburan, pencelupan,
perendaman (rendaman dingin dan rendaman panas-dingin) sudah dikenal di
Indonesia sejak tahun 1950-an. Metode-metode tersebut dikenal sebagai metode
sederhana. Metode yang lebih modern diantaranya adalah vakum tekan serta
injeksi.
Dalam mengawetkan kayu diperlukan adanya bahan pengawet yang
proses pengawetan tersebut. Bahan pengawet yang biasa digunakan saat ini, pada
umumnya adalah bahan pengawet kimia yang tidak hanya membahayakan bagi
organisme sasaran tapi juga dikhawatirkan dapat membahayakan organisme lain
bahkan pada manusia. Untuk itu diperlukan adanya alternatif bahan pengawet
yang lebih aman bagi manusia serta lingkungan dengan biaya relatif rendah dan
dapat memberikan perlindungan yang efektif terhadap kayu dari serangan
organisme perusak kayu.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak akar tuba,
belerang dan kapur sebagai bahan pengawet alami alternatif untuk melindungi
kayu Gmelina arborea Roxb. dari serangan jamur pelapuk kayu (Daldinia concentrica dan Schizophyllum commune).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jamur Pelapuk
Kayu biasa diserang oleh tumbuhan tingkat rendah, yang secara umum
disebut cendawan perusak kayu dan bakteri. Berlainan dengan tumbuhan hijau,
mikroorganisme ini tidak dapat menghasilkan makanannya sendiri, melainkan
harus memperoleh makanannya dari bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh
organisme hidup lainnya. Cendawan perusak kayu memanfaatkan zat-zat yang
tersimpan dalam rongga sel kayu atau dinding sel kayu sebagai makanannya
(Hunt & Garrat 1986).
Salah satu faktor biologis perusak kayu adalah jamur. Menurut
Alexopoulos et.al. (1996), jamur melangsungkan hidupnya tanpa klorofil. Pada dasarnya ia mirip dengan tumbuhan hijau, memiliki dinding sel, memiliki sel
reproduksi namun biasanya berkembang biak secara aseksual, dan memperbanyak
dirinya dengan spora. Jamur tidak memiliki batang, akar ataupun daun, tetapi ia
mempunyai sistem pengangkutan tersendiri yang berbeda dengan tumbuhan hijau
lainnya.
1. Klasifikasi Jamur Pelapuk
Berdasarkan tempat tumbuhnya, jamur pelapuk dapat dibedakan menjadi
jamur pelapuk yang tumbuh pada pohon yang masih hidup atau jamur pelapuk
yang yang hidup pada pohon yang telah mati dan pada produk olahan kayu.
Jamur pelapuk pada pohon yang masih hidup disebut heart rot. Jamur pelapuk pada pohon yang telah mati dan produk olahan kayu disebut sap rot. Dan berdasarkan bagian pohon dimana jamur pelapuk tumbuh, heart rot dibedakan menjadi top rot dan root atau butt rot. Top rot adalah jamur pelapuk yang tumbuh pada bagian atas dari suatu tegakan. Root atau butt rot berkoloni pada bagian bawah batang dan akar dari tegakan (Manion 1981).
Selain klasifikasi di atas, Manion (1981) membagi jamur pelapuk
berdasarkan aktivitas enzimatik yang terjadi dalam proses dekomposisi kayu.
Semua jenis jamur pelapuk memproduksi enzim selulase yang berfungsi
menguraikan selulosa yang merupakan komponen struktural utama pada kayu.
menguraikan lignin dan selulosa. Selanjutnya, jamur pelapuk kayu yang secara
enzimatik hanya menguraikan selulosa disebut brown rot. Brown rot
menghasilkan sisa pelapukan berupa kayu yang kecoklatan, sedangkan white rot
menghasilkan kayu berwarna putih atau pucat akibat dari pelapukannya.
2. Mekanisme Kerusakan Kayu oleh Jamur
Menurut Nandika et. al. (1996), kerusakan kayu oleh jamur dapat terjadi sewaktu kayu masih di hutan, dalam pengangkutan, di tempat penimbunan atau
pada masa penggunaan. Tingkat serangan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan dimana penyerangan berlangsung. Kayu-kayu yang dipasang
langsung berhubungan dengan tanah seperti bantalan kereta api, tiang listrik,
konstruksi rumah, penggunaan di dapur atau di kamar mandi dan yang lainnya
lebih peka terhadap serangan jamur. Sebaliknya kayu yang kering akan lebih
kecil kemungkinannya untuk terserang jamur karena untuk hidupnya memerlukan
air (kelembaban). Begitu juga dengan kayu yang sangat basah akan sukar
terserang jamur karena di dalam kayu tersebut tidak cukup tersedia oksigen untuk
pertumbuhan jamur. Dengan perkataan lain, keseimbangan antara air dan oksigen
sangat diperlukan untuk pertumbuhan jamur.
Kerusakan kayu yang disebabkan oleh jamur pelapuk terjadi bila bahan
tersebut tidak dikeringkan sebelum digunakan atau telah dikeringkan tetapi
kemudian terkena hujan. Gelagar-gelagar, tonggak-tonggak, balok-balok
penopang, dan lain-lain yang dipasang dalam suatu kondisi yang relatif basah dan
tertutup oleh logam, semen, dan penutup lain yang mencegah keringnya kayu itu,
akan menghasilkan kondisi yang ideal bagi perkembangan jamur. Dalam hal
demikian biasanya pelapukan berkembang tanpa diketahui, dan kerusakan berat
yang tidak diharapkan dapat terjadi (Tambunan & Nandika 1989).
Pelapukan kayu oleh jamur dapat dibagi ke dalam dua tahap yaitu tahap
awal dan tahap lanjut. Pada pelapukan tahap awal, benang-benang hifa akan
menyebar ke segala arah terutama ke arah longitudinal. Hifa dapat juga
berkembang pada permukaan kayu atau pada bagian-bagian kayu yang retak.
Miselium bekerja seperti akar tanaman, yaitu mengisap makanan. Kadang-kadang perubahan warna kayu tidak mudah dilihat. Disamping itu perbedaan warna
pelapukan jamur. Pelapukan tingkat awal oleh brown-rot menyebabkan kekuatan kayu menurun secara serius.
Tahap pelapukan selanjutnya, kayu nampak semakin berubah baik warna
maupun sifat-sifat fisiknya, bahkan akhirnya struktur dan penampilan kayu
berubah secara total. Tahap ini disebut sebagai pelapukan tingkat lanjut
(advanced decay) dimana kekuatan kayu berkurang sedemikian rupa sehingga mudah sekali dihancurkan dengan jari-jari tangan. Kerusakan bahkan dapat terus
berlanjut sehingga kayu teras rusak berat (Boyce 1961, diacu dalam Tambunan &
Nandika 1989).
3. Pengaruh Serangan Jamur terhadap Sifat-Sifat Kayu
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), jika jamur perusak berkembang,
akan terjadi perubahan sifat-sifat fisik dan kimia kayu yang terserang. Intensitas
perubahan tersebut terutama bergantung pada luasnya pelapukan dan pengaruh
khas dari organisme yang menghasilkannya. Warna normal kayu dimodifikasi
secara nyata, disamping itu sering timbul bau yang menusuk hidung. Kekuatan
dan kerapatan kayu dapat menurun secara drastis, kerawanannya dari cacat
pengeringan bertambah. Sifat-sifat lainnya, seperti daya hantar panas dan listrik,
dapat juga terpengaruh oleh pelapukan kayu. Dekomposisi zat kayu dapat juga
mempunyai pengaruh nyata pada rendemen pengolahan kayu tersebut, terutama
jika dipakai proses pengolahan kimiawi.
Pada umumnya pengaruh serangan jamur terhadap sifat-sifat kayu dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Pengaruh bobot
Penurunan bobot kayu yang mengalami pelapukan terutama disebabkan
hilangnya sebagian selulosa dan lignin karena dirombak oleh jamur. Bila
persentase penyerangan jamur ini tinggi, maka kayu menjadi semakin ringan.
b. Pengaruh kekuatan
Kayu yang diserang jamur akan mengalami penurunan keteguhan pukul,
keteguhan lengkung, keteguhan tekan, serta elastisitasnya. Hal tersebut
c. Peningkatan kadar air
Kayu yang lapuk akan menyerap air lebih banyak daripada kayu yang segar
sehat. Hal ini disebabkan oleh lubang –lubang yang ada pada dinding sel hasil
dari serangan hifa ke dalam kayu, yang mengakibatkan air lebih mudah dan
lebih cepat masuk ke dalam kayu.
d. Perubahan warna
Penyerangan jamur dapat merubah warna alami dari kayu. White-rot menimbulkan warna putih, brown-rot menimbulkan warna coklat, sedangkan
blue-stain menimbulkan warna hitam kebiru-biruan. e. Perubahan bau
Umumnya kayu yang lapuk baunya berbeda dengan kayu yang sehat. Kayu
lapuk memiliki bau yang tidak sedap bila dibandingkan dengan kayu yang
sehat.
f. Perubahan struktur mikroskopis
White-rot menyebabkan dinding sel kayu makin lama makin tipis dan akhirnya habis. Brown-rot menyerang selulosa kayu sedangkan dinding sel kelihatannya masih utuh. Soft-rot hanya menyerang dinding sekunder dan bila dilihat dengan mikroskop polarisasi maka terlihat lubang-lubang spiral yang
memanjang. Di pihak lain blue-stain menyerang melalui noktah karena tidak bisa merusak dinding sel, dan hanya hidup dari zat pengisi (protoplasma)
sehingga sifat mekanik kayu tidak berubah.
4. Tindakan Pengendalian Jamur Pelapuk
Kondisi yang diperlukan untuk perkembangan jamur pelapuk kayu ada
empat, yaitu sumber-sumber energi dan bahan makanan yang cocok, kadar air
kayu di atas titik jenuh serat kayu, persediaan oksigen cukup, dan suhu yang
cocok. Kekurangan dalam salah satu persyaratan ini, akan menghalangi
pertumbuhan suatu jamur, meskipun jamur tersebut telah berada di dalam kayu
(Tambunan & Nandika 1989).
Pada umumnya, bahaya pelapukan sangat kecil apabila kayu berada di
bawah titik jenuh serat. Sejumlah kecil jamur mampu tumbuh secara lambat pada
kandungan air sedikit di bawah ini. Sejumlah standar industri, seperti
diperlakukan dengan bahan pengawet apabila kayu akan digunakan pada kondisi
kadar air di atas 20% secara terus-menerus. Dengan berbagai cara,
bangunan-bangunan dapat dirancang untuk menghindari kondisi kayu diatas kandungan air
ini. Hal ini dimungkinkan dengan penggunaan ventilasi yang tepat, penghalang
uap, penyumbatan, dan pendempulan (Haygreen & Bowyer 1989).
Pendekatan umum untuk mencegah atau mengurangi kelapukan kayu
menurut Haygreen dan Bowyer (1989), pertama yaitu menjaga produk kayu tetap
kering. Ini adalah benar-benar pendekatan yang terbaik dan termurah apabila
memungkinkan. Apabila bangunan kayu di iklim sedang di dunia dirancang
benar-benar untuk menghindari masalah-masalah pengembunan dan kebocoran,
kayu akan berumur tak terbatas. Di dalam bangunan kayu, kandungan air
seimbang (KAS) tidak diperkenankan lebih dari 20%, kecuali jika terjadi
pengembunan atau kebocoran air. Pencegahan deteriorasi kayu dengan
mempertahankan kandungan air yang rendah jelas tidak cocok untuk kayu yang
berhubungan langsung dengan hujan, tanah, atau bahan-bahan lembab yang lain
seperti beton atau batu.
Kedua, gunakanlah kayu yang diperlakukan dengan bahan-bahan kimia
yang beracun terhadap jamur, yaitu kayu yang diawetkan. Apabila tidak mungkin
untuk menjamin produk kayu tetap di bawah KA 20%, pemecahan yang paling
praktis adalah menggunakan bahan yang diawetkan. Berbagai perlakuan kimia
tersedia. Tingkat perlakuan dapat disesuaikan dengan penggunaan kayu dan
ancaman pelapukannya.
Ketiga, gunakanlah jenis kayu yang secara alami tahan pelapukan.
Kadang-kadang dimungkinkan untuk menggunakan spesies-spesies ini daripada
kayu yang diawetkan pada situasi-situasi terdapatnya bahaya pelapukan. Tingkat
ketahanan alami terhadap pelapukan yang ditunjukkan oleh kayu teras bergantung
pada jenis dan banyaknya ekstraktif yang beracun terhadap jamur yang ada dalam
jenis kayu tersebut. Kandungan ekstraktif sangat bervariasi dalam suatu spesies,
lokasi di dalam pohon, umur, dan laju pertumbuhan. Kayu yang cepat tumbuh
sering memiliki kandungan ekstraktif yang lebih rendah dan karenanya
ketahanannya dari pelapukan lebih rendah dibanding kayu tua dengan
B. Daldinia concentrica
Menurut Bougher dan Syme (1998), D. concentrica termasuk dalam kelas
Ascomycetes dengan famili Xylariaceae. Jamur ini memiliki tekstur seperti kayu dan warna seperti arang, dapat tumbuh dengan baik pada kayu, terutama kayu
yang telah terbakar. Tubuh buah akan lebih cepat tumbuh jika ada stimulan
berupa api, dan ia dapat dijumpai pada sepanjang tahun. Jika tubuh buah dibelah
pada bagian tengah, akan memperlihatkan garis-garis dengan pola konsentrik. D. concentrica biasa disebut cramp balls, carbon balls atau King Alfred’s cake.
Cramp balls berasal dari keyakinan masyarakat setempat bahwa dengan membawa jamur ini maka akan meredakan penyakit kejang yang dirasakannya.
Karakteristik tubuh buah dari D. concentrica yaitu, tidak memiliki tangkai, permukaannya kering, keras, berwarna ungu kecoklatan pada waktu muda atau
pada kondisi tertentu dan setelah tua menjadi hitam. Bau tidak terlalu kuat, tidak
ada rasa, dan spora berwarna hitam (Bougher & Syme 1998).
C. Schizophyllum commune
Jamur pelapuk S. commune termasuk dalam kelas Basidiomycetes, dengan nama famili Schizophyllaceae dan tersebar luas di dunia. Oleh karena itu jenis jamur ini dianggap kosmopolit (Kuo 2006).
S. commune dikenal dengan tanda tubuh buah tidak bertangkai, bagian bawah menyempit hingga berbentuk kipas, bagian atas berwarna putih
keabu-abuan pada waktu muda dan setelah tua berwarna abu-abu, tersusun radial, ujung
pecah ini melengkung, pada waktu segar S. commune liat dan kenyal, dan setelah kering menjadi kaku (Martawijaya 1965, diacu dalam Eksanto 1996).
Pengujian yang telah dilakukan pada 25 jenis kayu yang berasal dari
kompleks Gunung Bunder dengan menggunakan Kolle flask, memberikan kesimpulan bahwa S. commune merupakan jenis jamur pelapuk yang ganas (Martawijaya 1965, diacu dalam Eksanto 1996).
Sumarni et. al. (1989) yang diacu dalam Eksanto (1996), melakukan penelitian mengenai resistensi kayu plastik terhadap tiga jenis jamur pelapuk kayu
penyerangan kayu dibandingkan dengan dua jenis jamur lainnya. Rata-rata
persentase penurunan bobot kayu yang disebabkan oleh ketiga jenis jamur
tersebut masing-masing yaitu, S. commune 19,19%, P. sanquineus 14,04%, dan D. spatularia sebesar 13,86%.
D. Pengawetan Kayu
Pengawetan kayu adalah perlakuan kimia dan/atau perlakuan fisik
terhadap kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Dalam kenyataan
sehari-hari, yang dimaksud dengan pengawetan adalah proses pemasukan bahan kimia ke
dalam kayu untuk meningkatkan keawetannya. Bahan kimia yang digunakan
dalam perlakuan tersebut dinamakan bahan pengawet kayu (Nandika et al. 1996). Hunt dan Garrat (1986) mengemukakan bahwa suatu bahan pengawet
kayu yang baik untuk penggunaan komersial umumnya harus beracun terhadap
perusak-perusak kayu, permanen, mudah meresap, aman untuk digunakan, tidak
merusak kayu dan logam, banyak tersedia dan murah. Untuk mengawetkan
kayu-kayu bangunan atau barang-barang kerajinan, atau untuk tujuan-tujuan khusus
lainnya diperlukan juga bersih, tidak berwarna, tidak berbau, dapat dicat, tidak
mengembangkan kayu, tahan api, tahan lembab, atau mempunyai
kombinasi-kombinasi tertentu dari sifat-sifat ini.
Keefektifan suatu bahan pengawet bergantung pada daya racunnya atau
kemampuan menjadikan kayu itu beracun terhadap organisme-organisme yang
makan kayu atau masuk ke dalamnya untuk memperoleh perlindungan. Beberapa
bahan nampaknya dapat menahan serangan serangga tanpa bersifat racun, tetapi
untuk perlindungan terhadap cendawan dan cacing kapal sifat beracun ini adalah
sangat penting (Hunt & Garrat 1986).
Cara-cara mengawetkan kayu yang digunakan saat ini dapat digolongkan
sebagai proses-proses tanpa tekanan, yang dilakukan tanpa pemakaian tekanan
buatan, dan proses-proses bertekanan, dimana kayu dimasukkan dalam silinder
pengawet lalu diimpregnasi dengan bahan pengawet dibawah tekanan tinggi.
Proses-proses pengawetan tanpa tekanan dapat berupa pelaburan, penyemprotan,
pencelupan, perendaman dingin dan perendaman panas-dingin (Hunt & Garrat
Menurut Nandika et al. (1996), proses perendaman dingin dapat dilakukan dalam suhu kamar selama beberapa hari atau beberapa minggu. Lebih dari
separuh absorbsi terjadi pada hari pertama (24 jam pertama). Penetrasi bahan
pengawet pada kayu yang tidak mengalami pengeringan lebih dulu biasanya
relatif kecil.
Kayu yang sudah diawetkan memiliki keuntungan dan manfaat antara lain
nilai guna jenis-jenis kayu kurang awet dapat meningkat secara nyata sejalan
dengan peningkatan umur pakainya; biaya untuk perbaikan dan penggantian kayu
dalam suatu penggunaan akan berkurang dan dalam jangka panjang kelestarian
hutan lebih terjamin karena konsumsi kayu per satuan waktu lebih rendah
(Nandika et al. 1996).
E. Bahan Pengawet
1. Ekstrak Akar Tuba
Tumbuh-tumbuhan dalam kehidupan manusia bukan saja sebagai sumber
makanan pokok tetapi juga untuk kegunaan lain. Beberapa kegunaan lain dari
tumbuh-tumbuhan yaitu sebagai bahan pembuat pakaian dan tempat tinggal.
Tumbuhan yang beracun bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan obat-obatan.
Salah satu jenis tumbuhan yang dikenal beracun adalah tuba (Lajis & Jaafar
1999).
Nama latin dari tuba adalah Derris elliptica Benth., yang berasal dari famili Leguminosae dengan sub famili Faboideae. Setiap tangkai tumbuhan ini
biasanya mempunyai 4-6 pasang helaian daun, panjang antara 7,5-13 cm dan
lebarnya 6 cm. Daun berbentuk besar di bagian tengah, ujung daun sedikit tajam
atau bulat dan bagian bawah daun berbulu lembut. Bunga pada tumbuhan ini
berwarna merah muda dengan sedikit berbulu (Lajis & Jaafar 1999).
Akar tuba maupun campuran yang mengandung akar tuba merupakan
racun yang sangat baik untuk membunuh serangga. Bahkan ia lebih beracun
daripada pyrethrin, yaitu racun serangga yang juga berasal dari tumbuh-tumbuhan. Akar tuba sering digunakan untuk menangkap ikan dan karena itu
dikenal juga sebagai racun ikan. Tumbuhan ini mudah didapatkan pada kawasan
derrin atau derris. Akar tumbuhan ini mengandung lebih dari 3% rotenone. Zat inilah yang memiliki sifat racun sehingga mampu membunuh serangga dan larva
(Lajis & Jaafar 1999).
Berdasarkan hasil penelitian Subowo dan Kasim (1992) yang diacu dalam
Edi (1996), penggunaan D. heterophylla (Miq). Valeton (kerabat dekat D. elliptica Benth.) dengan konsentrasi 10% (g/v) dapat memperkecil penyusutan bobot (weight loss) kayu atau menaikkan ketahanan kayu Pinus merkusii
sebanyak 16,27%, Maesopsis eminii sebanyak 26,28%, dan Albizia falcataria
sebanyak 19,77% yang disebabkan oleh serangan jamur Coriolus versicolor dan sekitar 8,01% pada kayu A. falcataria oleh serangan jamur S. commune.
2. Belerang
Belerang dihasilkan oleh proses vulkanisme. Kristal belerang ada yang
berwarna kuning, kuning kegelapan, dan kehitaman-hitaman, karena pengaruh
unsur pengotornya. Belerang bersifat getas atau mudah hancur (brittle), penghantar panas dan listrik yang buruk. Apabila dibakar apinya berwarna biru
dan menghasilkan gas-gas SO2 yang berbau busuk. Belerang banyak digunakan
di industri pupuk, kertas, cat, plastik, bahan sintetis, pengolahan minyak bumi,
industri karet dan ban, industri gula pasir, accu, industri kimia, bahan peledak,
pertenunan, film dan fotografi, industri logam dan besi baja. Potensi dan
penyebaran endapan belerang Indonesia saat ini baru diketahui di enam propinsi,
dengan total cadangan sekitar 5,4 juta. Untuk tipe sublimasi, karena proses
terjadinya didasarkan kepada aktivitas gunung berapi, maka selama gunung berapi
aktif, belerang tipe ini dapat diproduksi. Dengan demikian sumber daya belerang
sublimasi dapat dianggap tidak terbatas (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral dan Batubara 2005).
Belerang (S) adalah salah satu material dasar yang penting dalam proses
kimia, dan banyak dipakai untuk bermacam-macam bahan kimia pokok maupun
sebagai bahan pembantu. Hasil olahannya banyak dipergunakan oleh pabrik Ban
dan Karet sebagai bahan baku, dipergunakan sebagai pupuk dan fungisida di
perkebunan, sebagai bahan untuk obat-obatan, kosmetik, dan sebagai pemurni nira
3. Kapur
Batu kapur (CaCO3) dalam bahasa inggris disebut limestone, adalah
sebuah batuan sedimen yang terdiri dari mineral calcite (kalsium karbonat). Sumber utama dari calcite ini adalah organisme laut. Organisme ini mengeluarkan shell yang keluar ke air dan terdeposit di lantai samudera sebagai
pelagic ooze. Batu kapur membentuk 10% dari seluruh volume batuan sedimen (Wikipedia 2001).
Batu kapur (gamping) dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara
organik , mekanik, atau kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam
terjadi secara organik, jenis ini berasal dari pengendapan cangkang/rumah kerang
dan siput, foraminifera atau ganggang, atau berasal dari kerangka binatang koral/kerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua,
coklat bahkan hitam, bergantung keberadaan mineral pengotornya. Mineral
karbohidrat yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur adalah aragonit,
yang merupakan mineral metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit. Mineral lainnya yang umum ditemukan berasosiasi
dengan batu kapur atau dolomit, tetapi dalam jumlah kecil adalah siderit (FeCO3),
ankarerit (Ca2MgFe (CO3)4), dan magnesit (MgCO3). Penggunaan batu kapur
sudah beragam diantaranya untuk bahan campuran bangunan, industri karet dan
ban, kertas, dan lain-lain. Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan
tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia. Sebagian besar cadangan
batu kapur Indonesia terdapat di Sumatera Barat (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral dan batubara 2005).
Penggunaan lain dari kapur yaitu sebagai bahan pengawet, terutama pada
pengawetan bambu secara tradisional. Pengawetan tersebut dilakukan dengan
melaburkan kapur dan kotoran sapi pada gedek dan bilik bambu. Pengawetan bambu mempunyai tujuan untuk mencegah serangan jamur (pewarna dan pelapuk)
maupun serangga (bubuk kering, rayap kayu kering, dan rayap tanah). Beberapa
pengrajin mebel bambu telah melaksanakan pengawetan dengan menggunakan
boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah, atau pengasapan dengan
belerang. Namun sejauh ini belum diketahui efektifitas bahan-bahan kimia yang
F. Gmelina arborea Roxb.
Tumbuhan yang termasuk famili Verbenaceae ini disebut juga gmelina,
yemane, gamari, gumhar, dan jati putih. Gmelina merupakan tumbuhan asli India,
penyebarannya meliputi negara Pakistan, Kamboja, Thailand, Srilangka, dan Cina
bagian Selatan. Pohon gmelina dapat tumbuh baik pada ketinggian 90-900 mdpl.
Dalam keadaan khusus seperti di daerah lembah Srilangka, dapat tumbuh pada
ketinggian 1500 mdpl. Curah hujan tahunan yang dikehendaki berkisar antara
760-4500 mm. Bentuk pohon gmelina bulat, lurus, dan tidak berbanir.
Ketinggian pohon dapat mencapai 30 m dengan diameter sampai 100 cm dan
berbatang bebas cabang 15 m. Tajuk menyerupai kerucut atau tidak teratur
dengan percabangan banyak. Daur tanaman untuk bahan baku pulp 8 tahun dan
non-pulp 15 tahun. Gmelina dapat berbuah setelah berumur 4 tahun, yaitu
setahun sekali antara bulan April-Juli. Untuk pembuatan benih sebaiknya dipetik
dari induk yang sehat dan telah berumur 7 tahun atau lebih (Khaerudin 1999).
Ciri-ciri makroskopik kayu gmelina antara lain, warna teras berwarna
putih atau putih kekuning-kuningan, gubal putih, kadang-kadang kehijauan, tidak
tegas batas teras dan gubalnya. Corak permukaan polos dengan tekstur agak kasar
sampai kasar sedangkan arah seratnya lurus sampai berpadu. Permukaannya
sedikit mengkilap, kesan rabanya licin dan kayu agak lunak. Gmelina memiliki
ciri-ciri mikroskopik diantaranya, sel pembuluh/pori bertata baur, sebagian besar
berganda radial yang terdiri atas 2-4 pori, kadang-kadang sampai 5, diameter
porinya agak kecil sampai agak besar, frekuensinya jarang sampai agak jarang,
tilosis banyak dijumpai, bidang perforasi sederhana. Parenkima biasanya bertipe
paratrakeal bentuk selubung, sebagian cenderung bentuk sayap, jarang-jarang
yang konfluen. Jari-jari sempit sampai agak lebar, letaknya jarang, ukurannya agak pendek (Mandang & Pandit 1997).
Bobot jenis rata-rata terendah gmelina adalah 0,42 dan tertinggi 0,61.
Kayu gmelina termasuk dalam kelas kuat III (II-IV) dan kelas awetnya IV-V.
Menurut SNI 03-5010.1-1999, kelas awet kayu adalah tingkatan keawetan alami
dari kayu teras, yang terbagi menjadi kelas awet I (sangat awet), kelas awet II
(awet), kelas awet III (kurang awet), kelas awet IV (tidak awet), dan kelas awet V
ringan, kayu pertukangan, pembungkus, barang kerajinan, perabot rumah tangan,
vinir hias; juga digunakan untuk lantai, alat musik, korek api, badan kereta dan
kapal/perahu; jenis kayu ini cocok juga untuk dibuat pulp (Mandang & Pandit
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 hingga Maret 2006 di
Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan dan Laboratorium
Penyakit Hutan, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.
B. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan adalah potongan kayu dari jenis pohon
gmelina, sebagai contoh uji. Bahan pengawet yang dipakai berupa air belerang,
kapur, dan ekstrak akar tuba. Biakan murni jamur dari jenis D. concentrica dan S.
commune. Selain itu diperlukan juga bahan untuk menumbuhkan biakan murni jamur yaitu, PDA (Potatoes Dextrose Agar), alkohol 70%, kapas, tissue, alumunium foil.
Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi, (a) peralatan
untuk pembuatan contoh uji yaitu gergaji, kaliper, (b) peralatan pengawetan kayu
yaitu evaporator, bak rendam, gelas piala, gelas ukur, (c) peralatan untuk
pembiakan jamur yaitu laminar airflow, autoklaf, oven, timbangan, lampu bunsen, erlenmeyer, cawan Petri, jarum inokulasi, botol kaca, pinset, penyaring.
C. Metode
1. Penyiapan Biakan Murni Jamur
Pembiakan jamur dilakukan dengan menggunakan media PDA.
Komposisi bahan untuk menghasilkan 1000 ml PDA yaitu terdiri dari 200 gram
kentang, 20 gram gula pasir, dan 17 gram agar-agar bubuk. Proses pembuatan
media PDA, pertama merebus potongan-potongan kentang dalam 500 ml air
hingga kentang lunak dan didapat ekstrak kentang. Agar dan gula pasir dilarutkan
ke dalam ekstrak kentang, lalu ditambahkan air hingga 1000 ml. Kemudian
campuran tersebut dipanaskan kembali hingga mendidih. Media yang telah jadi
dimasukkan ke dalam erlenmeyer atau botol kaca lalu ditutup rapat dengan kapas
dan alumunium foil agar udara tidak masuk. Selanjutnya media disterilkan
Perbanyakan jamur dilakukan pada cawan Petri yang telah diisi dengan
media. Alat-alat yang digunakan dalam isolasi terlebih dahulu disterilkan dengan
menggunakan oven pada suhu 170oC selama 1 jam. Proses isolasi dilakukan
dalam laminar airflow.
Inkubasi dilakukan dalam kondisi yang sesuai dengan suhu ruangan.
Selama waktu inkubasi, pertumbuhan jamur dalam media diamati setiap saat
untuk mengetahui apakah terjadi kontaminasi atau tidak. Bila terlihat ada
kontaminasi, maka harus dilakukan isolasi ulang dengan media baru yang steril.
Perlakuan ini terus dilakukan sampai didapatkan biakan murni jamur yang
benar-benar steril. Kemudian biakan murni tersebut dipindahkan ke dalam botol kaca
sebagai tempat pengumpanan kayu.
Gambar 1. D. concentrica yang menyerang kayu, biakan murni dan struktur mikroskopiknya
Gambar 2. S. commune yang menyerang kayu, biakan murni dan struktur mikroskopiknya
2. Pembuatan Contoh Uji
Contoh uji yang digunakan adalah bagian gubal dari kayu gmelina yang
bebas cacat dan serangan jamur. Kayu tersebut dipotong dengan ukuran
2,5x2x0,5 cm3. Selanjutnya, dilakukan pengukuran kadar air (KA) dari contoh uji
tersebut.
3. Pengawetan Contoh Uji
Bahan untuk mengawetkan contoh uji terdiri atas ekstrak akar tuba, air
belerang, dan kapur. Kadar ekstrak akar tuba yang digunakan adalah 4%. Hasil
penelitian oleh Edi (1996), penggunaan ekstrak akar tuba 4% mampu
meningkatkan mortalitas rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) hingga 93,6%.
Gambar 3. Tumbuhan D. elliptica Benth.
Ekstrak akar tuba diperoleh dengan cara merendam 1500 gram serbuk
akar tuba (kadar air kering udara) dalam pelarut etanol 96 %, dengan
perbandingan volume 1:4. Campuran ini diaduk sesering mungkin menggunakan
pengaduk dan setelah 3 hari larutan ekstraksi disaring dengan kertas saring, hasil
saringan tersebut dimasukkan ke dalam botol. Selanjutnya larutan ekstrak
disimpan di dalam wadah yang tertutup rapat.
Ekstrak etanol yang diperoleh, selanjutnya dipekatkan menggunakan
“rotary vaccum evaporator” hingga diperoleh larutan ekstrak sebanyak 1000 ml. Dari jumlah tersebut diambil ±5 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang
kering dan telah diketahui bobotnya. Kemudian dilakukan pengeringan dengan
sehingga diketahui konsentrasi awal dari ekstrak etanol yang diperoleh. Setelah
itu dilakukan pengenceran ekstrak untuk mencapai kadar ekstrak sebesar 4%.
Pengawet belerang yang digunakan berasal dari sumber air belerang alami
di daerah Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis pada
Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Balai Besar Industri Agro, air belerang
tersebut memiliki kandungan H2S sebesar16,9 ppm.
Bahan pengawet kapur yang digunakan berasal dari serbuk kapur yang
biasa dipakai sebagai bahan bangunan. Serbuk tersebut dilarutkan dalam air
hingga terbentuk larutan jenuh.
(A) (B) (C)
Gambar 4. Bahan pengawet yang siap digunakan; (A) tuba, (B) belerang, dan (C) kapur
Metode pengawetan yang digunakan adalah metode perendaman dingin
(suhu kamar). Contoh uji yang telah siap diawetkan dimasukkan dalam gelas
piala, lalu bahan pengawet dimasukkan ke dalamnya hingga contoh uji terendam
sempurna. Pengawetan dengan kapur menggunakan bak rendaman. Lamanya
waktu perendaman untuk setiap bahan pengawet adalah 2 hari, 8 hari, dan 14 hari.
Setelah pengawetan selesai, contoh uji dikering udarakan hingga tidak ada
pengawet yang menetes kembali. Kemudian ditimbang dan dikering tanurkan
dalam oven suhu 103±2oC selama 24 jam untuk mencari retensi bahan
pengawetnya.
Retensi = (Bat – Bbt) x C V
Dimana : Bat = bobot kayu setelah diawetkan (kg)
Bbt = bobot kayu sebelum diawetkan (kg)
V = volume kayu (m3)
4. Pengumpanan Contoh Uji
Pengumpanan dilakukan dalam botol uji yang telah ditumbuhi oleh jamur.
Botol uji yang telah berisi PDA dengan tebal 1-2 cm, disterilkan dengan autoklaf
pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 15 psi. Selanjutnya botol
tersebut dikeluarkan dari autoklaf dan didiamkan sampai media di dalam botol
padat. Kemudian isolat dari biakan murni jamur dimasukkan ke dalam botol,
proses ini dilakukan di dalam laminar air flow.
Contoh uji dapat dimasukkan ke dalam botol setelah seluruh permukaan
media ditumbuhi oleh jamur. Setiap botol diisi dengan tujuh buah contoh uji
sesuai dengan jumlah ulangannya. Sebelum diumpankan contoh uji tersebut
disterilkan terlebih dahulu dengan oven. Pengumpanan dilakukan selama 8
pekan.
5. Perhitungan Kadar Air dan Penurunan Bobot
Kadar air dihitung pada saat contoh uji belum diawetkan dan setelah
proses pengumpanan. Perhitungan kadar air tersebut dilakukan dengan cara
gravimetri, yaitu:
KA = (BKU – BKT) x 100%
BKT
Dimana: KA = kadar air (%)
BKU = bobot kering udara (gram)
BKT = bobot kering tanur (gram)
Setelah pengumpanan selesai, contoh uji dikeluarkan dari botol kaca dan
dibersihkan dari jamur-jamur yang menempel disekelilingnya, kemudian
ditimbang bobot basahnya serta dikeringkan dengan oven untuk mengetahui bobot
kering tanurnya.
Besarnya serangan jamur dapat dihitung dengan persentase penurunan
bobot, yaitu:
PB = (W1 – W2) x 100%
W1
Dimana: PB = persentase penurunan bobot (%)
W1 = bobot kering sebelum diumpankan (gram)
6. Pengumpulan Data
Data yang harus dikumpulkan dalam penelitian ini adalah bobot basah dan
kering tanur awal contoh uji, bobot basah dan kering tanur contoh uji setelah
diawetkan, bobot basah dan kering tanur contoh uji setelah diumpankan pada
jamur, yang berguna untuk mengetahui retensi bahan pengawet, persentase
penurunan bobot, serta peningkatan kadar air pada contoh uji.
7. Pengolahan Data
Rancangan percobaan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Faktorial. Faktor yang diujikan terdiri dari jenis jamur, bahan pengawet, dan
waktu rendaman pada proses pengawetan. Jenis jamur terdiri dari dua taraf yaitu,
D. concentrica dan S. commune. Faktor pengawet terdiri atas tiga taraf yaitu, ekstrak tuba, belerang, dan kapur. Waktu rendaman terdiri atas empat taraf yaitu,
selama 0 hari (kontrol), 2 hari, 8 hari, dan 4 hari. Analisis ragam dilakukan untuk
mengetahui pengaruh dari setiap faktor yang diujikan, sedangkan beda nilai
tengah antar perlakuan dapat diketahui dengan uji Duncan. Pengolahan data
dibantu dengan menggunakan software SPSS 11.0.
Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Yijk = μ + αi + βj + γk + (αβ)ij + (βγ)jk + (αβγ)ijk + εijk
Dimana,
Yijk : nilai pengamatan pada taraf ke-i faktor A (jenis jamur), taraf ke-j faktor
B (jenis pengawet), dan taraf ke-k faktor C (waktu rendaman).
μ : rata-rata umum
αi : penyimpangan hasil dari nilai μ yang disebabkan oleh pengaruh
perlakuan faktor A taraf ke-i.
βj : penyimpangan hasil dari nilai μ yang disebabkan oleh pengaruh
perlakuan faktor B taraf ke-j.
γk : penyimpangan hasil dari nilai μ yang disebabkan oleh pengaruh
perlakuan faktor C taraf ke-k.
(αβ)ij : penyimpangan hasil dari nilai μ yang disebabkan oleh pengaruh
(βγ)jk : penyimpangan hasil dari nilai μ yang disebabkan oleh pengaruh
interaksi faktor B taraf ke-jdan faktor C taraf ke-k.
(αβγ)ijk : penyimpangan hasil dari nilai μ yang disebabkan oleh pengaruh
interaksi faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan faktor C taraf ke-k
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Retensi Contoh Uji
Pengukuran retensi dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu (contoh uji). Data retensi
ketiga bahan pengawet pada berbagai tingkat waktu rendaman dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Gambar 5. Retensi ketiga jenis bahan pengawet pada berbagai tingkat waktu rendaman
Berdasarkan histogram pada Gambar 5, secara keseluruhan, nilai rata-rata
retensi tertinggi dihasilkan oleh pengawet kapur dengan rendaman selama 8 hari
(582,6 Kg/m3). Dan rata-rata retensi yang terendah adalah pengawet belerang
dengan lama rendaman selama 2 hari (0,114 Kg/m3). Nilai retensi contoh uji
cenderung meningkat seiring dengan peningkatan waktu rendaman. Namun, pada
pengawet belerang dan kapur, perendaman selama 14 hari menghasilkan nilai
retensi yang lebih rendah dari pada perendaman selama 8 hari.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor jenis pengawet,
tingkat waktu rendaman, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata
terhadap nilai retensi contoh uji pada α=0,05 (Lampiran 2). Artinya, perbedaan
pada jenis pengawet dan tingkat waktu rendaman akan mempengaruhi besarnya
Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 3) diketahui bahwa pada
α=0,05, nilai retensi belerang dan ekstrak tuba tidak berbeda nyata, tetapi nilai
retensi kapur berbeda nyata terhadap belerang dan ekstrak tuba. Sedangkan setiap
lama waktu rendaman memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Secara
keseluruhan, waktu rendaman 8 hari menghasilkan nilai rata-rata retensi yang
terbaik.
Impregnasi kayu dengan bahan pengawet dipengaruhi oleh banyak sekali
faktor, yang secara mudah dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu,
anatomi kayu, persiapan kayu, dan prosedur pengawetan. Beberapa dari
faktor-faktor ini, terutama yang berhubungan dengan prosedur pengawetan, dapat
dikendalikan dan dapat divariasi menurut kebutuhan untuk mendapatkan
hasil-hasil yang diinginkan. Lain-lainnya, dan terutama yang berhubungan dengan
anatomi kayu, adalah tidak fleksibel dan jelas dapat mempersulit dalam
mendapatkan pengawetan yang cukup dan seragam (Hunt & Garrat 1986).
Secara garis besar metode pengawetan kayu dikelompokkan menjadi dua
yaitu pengawetan kayu tanpa tekanan (non pressure process) dan pengawetan kayu dengan tekanan (pressure process). Pada umumnya, peresapan bahan pengawet pada non pressure process kurang maksimal sehingga nilai retensinya cenderung rendah. Meskipun nilai retensi yang dihasilkan lebih kecil,
pengawetan kayu tanpa tekanan sangat sesuai untuk kebutuhan rumah tangga
karena cara ini relatif murah dan mudah dilakukan.
Faktor lain yang mempengaruhi masuknya bahan pengawet ke dalam kayu
adalah sifat atau karakteristik dari kayu tersebut. Gmelina memiliki bobot jenis
yang sedang (0,42-0,61), dan mengandung banyak tilosis (Mandang dan Pandit,
1997). Bobot jenis yang sedang tersebut memudahkan masuknya bahan pengawet
dalam proses pengawetannya. Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), semakin
tinggi bobot jenis suatu kayu maka rongga kayu lebih sedikit untuk pergerakan
air. Namun, banyaknya tilosis pada kayu gmelina bisa menjadi penghambat
masuknya bahan pengawet ke dalam kayu yang mengakibatkan nilai retensi tidak
terlalu tinggi.
Tilosis merupakan pertumbuhan yang lebih dari suatu sel parenkima,
biasanya tampak sebagai gelembung mengkilap yang menghambat pembuluh
(Mandang & Pandit 1997).
Menurut Haygreen dan Bowyer (1986), tilosis dapat menyumbat sel
pembuluh kayu. Penyumbatan ini bisa menguntungkan ataupun merugikan,
sesuai dengan penggunan kayu tersebut. Kerugian yang ditimbulkan dengan
adanya tilosis yaitu kayu sukar untuk dikeringkan atau diisi dengan bahan kimia
pencegah cendawan atau bahan kimia stabilisasi.
Pertumbuhan tilosis merupakan proses fisiologi alami yang bersamaan
dengan pembentukan kayu teras atau dengan kematian kayu gubal (misal setelah
ditebang). Ia dapat juga dimulai oleh kerusakan mekanis atau jamur dan infeksi
virus (Koran, Cote 1965 diacu dalam Fengel & Wegener 1995).
Perbedaan nilai rata-rata retensi dalam percobaan ini pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor jenis bahan pengawet yang digunakan. Pengawet ekstrak
tuba memiliki retensi yang lebih besar dibanding pengawet belerang. Hal ini bisa
disebabkan karena kadar ekstrak tuba yang jauh lebih tinggi yaitu sebesar
4%(b/v), dibanding belerang yang hanya 16,9 ppm (0,0169%(b/v)). Walaupun
pelarut air pada belerang bisa menembus kayu dengan baik, tetapi karena
konsentrasi H2S pada air belerang sangat kecil maka nilai retensi yang
dihasilkannya jauh lebih kecil dibanding ekstrak tuba maupun kapur.
Bahan pengawet kapur memiliki nilai rata-rata retensi yang paling tinggi
dibandingkan air belerang maupun ekstrak tuba. Penyebabnya adalah serbuk
kapur yang melekat pada permukaan contoh uji dan sulit dibersihkan, setelah
contoh uji diawetkan. Dengan demikian, pertambahan bobot setelah diawetkan
bukan saja berasal dari kapur yang masuk ke dalam kayu tetapi juga disebabkan
karena ada kapur yang melekat pada permukaan contoh uji tersebut. Hal ini
menyebabkan nilai retensi kapur lebih besar dibanding belerang maupun ekstrak
tuba.
B. Pengaruh Serangan Jamur terhadap Sifat-Sifat Kayu
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), jika jamur perusak berkembang,
akan terjadi perubahan sifat-sifat fisik dan kimia kayu yang terserang. Intensitas
perubahan tersebut terutama tergantung pada luasnya pelapukan dan pengaruh
perubahan secara nyata, dan disamping itu sering timbul bau yang menusuk
hidung. Kekuatan dan kerapatan kayu dapat menurun secara drastis dan
kepekaannya terhadap cacat pengeringan bertambah. Sifat-sifat tertentu lainnya,
seperti daya hantar panas dan listrik, dapat juga terpengaruh. Dekomposisi zat
kayu dapat juga mempunyai pengaruh nyata pada rendemen pengolahan kayu
tersebut, terutama jika dipakai proses pengolahan kimiawi.
Beberapa pengaruh serangan jamur pelapuk yang diamati dalam penelitian
ini adalah penurunan bobot, perubahan warna dan bau, serta kadar air.
1. Penurunan Bobot Akibat Serangan Jamur Pelapuk Kayu
Jamur pelapuk mampu merusak selulosa dan lignin yang menyusun kayu.
Hal ini menyebabkan bobot kayu menurun dari bobot awalnya. Besarnya nilai
penurunan bobot akibat serangan jamur dalam waktu tertentu dapat menunjukkan
tingkat penyerangan jamur terhadap kayu tersebut.
Rusaknya komponen-komponen penyusun kayu akan mempengaruhi
kekuatan kayu tersebut, terutama pada sifat keteguhan pukul, keteguhan lengkung,
keteguhan tekan, kekerasan serta elastisitasnya. Kerusakan tersebut menyebabkan
kekuatan kayu berkurang (Tambunan & Nandika 1989).
Data penurunan bobot contoh uji dari tiga jenis pengawet dengan berbagai
tingkat waktu rendaman akibat serangan jamur pelapuk kayu, dapat dilihat pada
Lampiran 4. Nilai rata-rata persentase penurunan bobot contoh uji disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata penurunan bobot (%) pada tiga jenis pengawet dengan berbagai tingkat waktu rendaman
Jamur Pengawet Penurunan Bobot (%) Rataan
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa penurunan bobot contoh uji
dari ketiga jenis pengawet semakin berkurang seiring dengan lamanya waktu
perendaman contoh uji dalam pengawet tersebut, baik pada D. concentrica
maupun S. commune. Nilai rata-rata penurunan bobot keseluruhan berdasarkan lamanya waktu rendaman menunjukkan bahwa rendaman 14 hari menghasilkan
penurunan bobot yang paling rendah, diikuti oleh rendaman 8 hari, dan rendaman
2 hari. Sedangkan berdasarkan jenis pengawet yang digunakan, penurunan bobot
terendah dihasilkan oleh pengawet belerang, diikuti oleh pengawet kapur, dan
tuba.
Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa jenis jamur, jenis pengawet,
lama waktu rendaman, serta interaksi antara ketiga faktor tersebut memberikan
pengaruh yang nyata terhadap persentase penurunan bobot contoh uji pada α=0,05
(Lampiran 5). Artinya, kedua jenis jamur memiliki tingkat serangan yang berbeda
pada kayu gmelina, baik yang tidak diawetkan maupun yang telah diawetkan.
Selain itu, jenis bahan pengawet dan lama waktu perendaman juga memberikan
pengaruh pada ketahanan kayu terhadap serangan jamur pelapuk tersebut.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pada α=0,05,
ketiga jenis pengawet yaitu belerang, kapur, dan tuba memberikan pengaruh yang
nyata terhadap persentase penurunan bobot contoh uji. Jenis pengawet dengan
rata-rata penurunan bobot contoh uji terendah adalah belerang, diikuti oleh kapur
dan ekstrak tuba. Lama waktu rendaman 2 hari berbeda nyata terhadap lama
rendaman 8 hari dan 14 hari. Sedangkan lama waktu rendaman 8 hari tidak
berpengaruh nyata terhadap lama rendaman 14 hari.
Histogram persentase penurunan bobot contoh uji terhadap serangan D. concentrica memperlihatkan bahwa persentase penurunan bobot contoh uji terendah dihasilkan oleh contoh uji yang diberi bahan pengawet belerang (1,60%),
selanjutnya kapur (3,65%), dan yang terakhir adalah ekstrak tuba (5,31%)
(Gambar 6). Pada serangan D. concentrica, bahan pengawet belerang dapat meningkatkan keawetan kayu gmelina sebesar 62,79% terhadap kontrolnya.
Pengaruh lama waktu pengawetan dari setiap jenis bahan pengawet
terhadap penurunan bobot contoh uji pada serangan D. concentrica, dapat diketahui dengan menggunakan T-test (Lampiran 7). Hasil dari pengujian ini memperlihatkan bahwa penurunan bobot contoh uji yang diberi pengawet tuba
pada rendaman 2 dan 14 hari berbeda nyata dengan contoh uji kontrol, sedangkan
rendaman 8 hari tidak berbeda nyata terhadap kontrol. Meskipun rendaman 2 hari
hasilnya berbeda nyata dengan kontrol, tetapi penurunan bobot contoh ujinya
tidak lebih rendah dibanding kontrol. Dengan rendaman 8 hari, nilai penurunan
bobot contoh uji sudah dibawah kontrol, tetapi tidak terlalu nyata perbedaannya.
Hasil yang terbaik dari pengawet tuba yaitu pada rendaman selama 14 hari,
dengan penurunan bobot contoh uji yang cukup jauh di bawah kontrol serta
memiliki perbedaan nilai yang nyata terhadap rendaman selama 2 hari dan 8 hari.
Pada pengawet belerang, hasil T-test menunjukkan bahwa rendaman selama 2, 8, dan 14 hari memberikan perbedaan yang nyata pada contoh uji
kontrol. Sedangkan antara waktu rendaman selama 2, 8, dan 14 hari sendiri tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Dengan demikian, contoh uji yang diberi
pengawet belerang dengan lama rendaman 2 hari sudah cukup efektif untuk
mengurangi serangan D. concentrica pada kayu gmelina.
Dari hasil T-test pada pengawet kapur diketahui bahwa rendaman 8 dan 14 hari memberikan nilai penurunan bobot contoh uji yang berbeda nyata. Dan
penurunan bobot contoh uji pada rendaman 8 hari tidak berbeda nyata dengan
rendaman 14 hari. Dengan demikian, bahan pengawet kapur akan memberikan
hasil terbaik pada waktu rendaman selama 8 hari.
terakhir adalah contoh uji yang diberi pengawet kapur (2,43%) (Gambar 7).
Secara keseluruhan, tingkat serangan S. commune lebih rendah dibanding D. concentrica.
Gambar 7. Persentase penurunan bobot contoh uji dari ketiga jenis pengawetdengan berbagai tingkat waktu rendaman terhadap serangan S. commune
Pada dasarnya peningkatan waktu rendaman dari 2 hari hingga 14 hari
pada serangan S. commune memperlihatkan nilai penurunan bobot contoh uji yang semakin rendah. Tetapi tidak demikian dengan penurunan bobot pada contoh uji
kontrolnya. Tingginya penurunan bobot kayu gmelina yang diawetkan dibanding
yang tidak diawetkan pada serangan S. commune, diduga karena adanya hifa jamur yang masuk ke dalam kayu. Tidak adanya bahan pengawet pada contoh uji
akan membuat jamur lebih mudah untuk merusak contoh uji dan masuk ke dalam
contoh uji tersebut. Hifa jamur yang masih tertinggal di dalam contoh uji akan
mempengaruhi bobot akhir contoh uji setelah diumpankan.
Perbedaan penurunan bobot contoh uji pada taraf waktu pengawetan dari
ekstrak tuba dan belerang dengan T-test, memperlihatkan bahwa nilai penurunan bobot contoh uji dengan perendaman selama 2, 8, dan 14 hari pada pengawet tuba
dan belerang tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Oleh sebab itu, untuk
mendapatkan hasil yang baik, perendaman dengan ekstrak tuba maupun belerang
cukup dilakukan selama 2 hari.
Hasil T-test dari pengawet kapur menunjukkan bahwa nilai penurunan bobot contoh uji pada rendaman 2 hari tidak berbeda nyata dengan rendaman 14
hari, begitu juga antara rendaman 8 hari dengan 14 hari. Nilai penurunan bobot
rendaman yang terbaik untuk pengawet kapur pada serangan S. commune adalah selama 14 hari.
Berdasarkan hasil uji di atas, dapat diketahui bahwa lama perendaman
yang terbaik dari ketiga jenis pengawet untuk mencegah serangan D. concentrica
dan S. commune adalah selama 2 hari untuk pengawet belerang, selama 14 hari untuk pengawet tuba dan kapur.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan yang sama
memberikan hasil yang berbeda terhadap tingkat serangan D. concentrica dan S. commune. Serangan D. concentrica menghasilkan penurunan bobot yang cukup signifikan antara contoh uji yang diberikan bahan pengawet dengan contoh uji
tanpa bahan pengawet, jika dibandingkan dengan serangan S. commune. Selain itu, nilai rata-rata penurunan bobot D. concentrica dua kali lebih besar dibanding
S. commune.
Cartwright dan Findlay (1958) menyatakan bahwa setiap jenis jamur
pelapuk kayu memiliki karakteristik yang berbeda terhadap suatu jenis bahan
makanan atau media yang ditempati. Media yang baik untuk pertumbuhan suatu
jenis jamur pelapuk belum tentu baik untuk jenis jamur pelapuk lainnya. Karena,
bisa jadi suatu jenis jamur mampu mentolerir zat-zat beracun yang ada pada
tempat tumbuhnya sehingga ia dapat hidup dengan baik. Namun, bisa saja zat
beracun tersebut akan berakibat fatal pada jenis jamur lain sehingga ia tidak
mampu untuk tumbuh dan berkembang di tempat tersebut. Dan jamur pelapuk
kayu dapat tumbuh dengan baik jika ia mendapatkan kondisi yang sesuai sehingga
mendukung bagi perkembangannya.
2. Perubahan Warna dan Bau pada Contoh Uji
Kayu yang diserang oleh jamur menimbulkan warna yang berbeda dengan
kayu yang sehat. Perubahan warna kayu ini dipengaruhi oleh jenis jamur yang
menyerangnya. Serangan white-rot menimbulkan warna putih atau pucat pada kayu, sedangkan serangan brown-rot meninggalkan warna kecoklatan.
Perubahan yang mudah diamati pada tahap awal pelapukan kayu adalah
perubahan pada warna alami kayu. Hal ini mudah diamati terutama pada kayu
kayu juga menghasilkan perubahan bau pada kayu yang diserangnya (Cartwright
& Findlay 1958). Perubahan bentuk fisik pada contoh uji yang diserang oleh D. concentrica dan S. commune dapat dilihat pada Gambar 8.
1
2
3
kontrol tuba belerang kapur kontrol tuba belerang kapur kontrol tuba belerang kapur (I) (II) (III)
Gambar 8. Contoh uji dengan perendaman 2 hari (I), 8 hari (II), dan 14 hari (III) (1 : sebelum diumpankan, 2 : setelah diumpankan pada D. concentrica, 3 : setelah diumpankan pada S. commune).
Menurut Volk (2004), D. concentrica adalah salah satu jenis jamur soft rot. Serangan soft rot menyebabkan kekuatan kayu menjadi berkurang, kayu menjadi lunak dan berwarna kotor pada permukaannya.
S. commune termasuk pada jenis pelapuk putih (white-rot) (Volk 2000).
White rot akan menguraikan lignin dan sebagian selulosa, pada umumnya serangan white rot menyebabkan kayu menjadi berwarna putih, kuning atau coklat terang.
Setelah diumpankan pada kedua jenis jamur tersebut, contoh uji
mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap disertai dengan titik-titik coklat
kehitaman. Contoh uji dengan pengawet belerang tidak memperlihatkan
perubahan yang besar pada warna kayu, hal ini sebanding dengan tingkat serangan
jamur pada pengawet tersebut. Perubahan warna yang terlihat cukup jelas yaitu
pada contoh uji dengan pengawet kapur dan contoh uji kontrol. Sedangkan untuk
contoh uji dengan pengawet tuba, perubahannya tidak terlalu terlihat karena
tersamar oleh warna pengawet yang melekat pada contoh uji tersebut, kecuali
Contoh uji yang diserang oleh kedua jenis jamur tersebut menghasilkan
bau yang tidak sedap dan cukup menyengat dibandingkan dengan contoh uji yang
tidak terserang jamur. Bau tersebut diduga berasal dari reaksi enzimatik yang
terjadi pada saat jamur merusak contoh uji.
3. Kadar Air Contoh Uji
Data hasil pengukuran kadar air contoh uji sebelum dan setelah
pengumpanan dapat dilihat pada Lampiran 9, sedangkan nilai rata-ratanya
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kadar air contoh uji sebelum dan setelah pengumpanan
Jamur Pengawet Waktu KA (%)
Berdasarkan Tabel 2 terlihat rata-rata kadar air contoh uji sebelum
diumpankan pada D. concentrica adalah 16,55%, sedangkan untuk contoh uji yang telah mengalami pengumpanan kadar air rata-ratanya menjadi 66,03%. Nilai
dibanding nilai kadar air sebelumnya. Tingginya kadar air pada botol uji yang
berasal dari hasil samping proses respirasi jamur, menyebabkan air masuk pada
contoh uji sehingga kadar air contoh uji meningkat dari sebelumnya.
Hal yang sama juga dialami oleh contoh uji yang diumpankan pada S. commune. Rata-rata kadar air sebelum diumpankan adalah 16,50% dan setelah diumpankan menjadi 56,87%. Meski demikian, rata-rata peningkatan kadar air
pada serangan S. commune sedikit lebih rendah dibanding D. concentrica.
0
Setelah pengumpanan selama 8 minggu pada D. concentrica, kadar air contoh uji kontrol meningkat menjadi 67,30%. Peningkatan kadar air tertinggi
dialami oleh contoh uji yang diberi bahan pengawet belerang, diikuti oleh kapur,
dan tuba. Perbedaan waktu rendaman tidak terlalu berpengaruh pada peningkatan
Pada pengumpanan dengan S. commune, peningkatan kadar air tertinggi dialami oleh contoh uji yang diberi bahan pengawet kapur, diikuti oleh belerang
dan tuba. Lamanya rendaman tidak menghasilkan perbedaan yang nyata dalam
peningkatan kadar air. Kadar air yang dihasilkan oleh contoh uji setelah diserang
S. commune nilainya lebih rendah dibanding D. concentrica, terutama pada contoh uji kontrolnya. Besarnya peningkatan kadar air dari contoh uji yang diserang S. commune dapat dilihat pada Gambar 10.
Kayu bersifat adsorptif dan mempunyai kemampuan untuk menyerap air
dari lingkungan sekitar. Berdasarkan kemampuan kayu tersebut maka kadar air
kayu akan menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar yang disebut kadar air
kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan kayu berada dibawah titik jenuh serat
(TJS) dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dimana kayu akan digunakan
(Haygreen & Bowyer 1989).
Uap air yang ada di dalam botol uji lebih tinggi dari pada contoh uji.
Karena, menurut Tambunan dan Nandika (1989) dalam kehidupannya, jamur
sangat membutuhkan oksigen untuk melakukan respirasi. Hasil dari proses
respirasi adalah karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Air yang dihasilkan
tersebut akan menyebabkan kadar air dan kelembaban udara dalam botol uji
meningkat. Dengan demikian, contoh uji akan menyerap uap air dari udara
sekitarnya sehingga kandungan air di dalam contoh uji juga meningkat. Dan hal
ini sangat mendukung pertumbuhan jamur serta memudahkan jamur untuk
menyerang contoh uji.
Menurut Buro (1954) diacu dalam Cartwright dan Findlay (1958), pada
kelembaban relatif yang tinggi, kayu dengan kelapukan besar akan menyerap
cairan lebih banyak dari pada kayu sehat. Tetapi, pada lingkungan dengan
kelembaban relatif yang rendah, kandungan airnya akan lebih sedikit dibanding
kayu sehat.
Pada umumnya, contoh uji dengan pengawet tuba memiliki penurunan
bobot yang lebih tinggi dibanding contoh uji dengan pengawet belerang. Jika
peningkatan kadar air sebanding dengan kerusakan yang dialami kayu, maka
seharusnya kadar air akhir dari contoh uji dengan pengawet tuba lebih besar