• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi Xantorizol dari Temulawak Terpilih Berdasarkan Nomor Harapan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isolasi Xantorizol dari Temulawak Terpilih Berdasarkan Nomor Harapan"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

DIAN ASRIANI

S

SE

EK

KO

OL

LA

AH

H

P

PA

AS

SC

CA

AS

SA

AR

RJ

JA

AN

NA

A

I

IN

NS

ST

T

IT

I

TU

UT

T

P

PE

ER

RT

TA

AN

NI

IA

AN

N

B

BO

O

GO

G

OR

R

B

BO

OG

GO

O

R

R

2

(2)

  Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Issoollaassii XXaannttoorriizzooll ddaarrii T

Teemmuullaawwaakk TTeerrppiilliihh BBeerrddaassaarrkkaann NNoommoorr HHaarraappaann adalah karya saya dengan a

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhit tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Dian Asriani

(3)

DIAN ASRIANI. Isolation of Xanthorrhizol from the Selected Temulawak Based on Promising Line. Under direction of SUMINAR SETIATI ACHMADI, LATIFAH KOSIM DARUSMAN, and MAHARANI HASANAH.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza), belongs to Zingiberaceae, empirically used as herbal medicines. One of its bioactive compounds is xanthorrhizol which is a volatile oil. The research was aimed to determine promising line A or F of temulawak from Balittro based on the highest xanthorrhizol content, to establish agrobiophysic environmental condition, and to get a new separation method (solvent extraction using ethanol 96%, acetylation of crude extract, separation with preparative thin layer chromatography/TLC, and deacetylation) which can isolate xanthorrhizol with higher yield than the existing method (solvent extraction using methanol 75%, separation with coloumn chromatography step 1, acetylation, separation with column chromatography step 2, and deacetylation). The result showed that the promising line A produced the highest xanthorrhizol content (0,0382%). According to agrobiophysic parameter of Cileungsi, temulawak was suitable in environment which has temperature of 28-34 ºC, rainfall about 224 mm annual precipitation, and sandy clay soil. Verification of previous method succesfully isolated xanthorrhizol with 0.064% (b/b) yield. Modification method which conducted with preparative TLC still resulted two spots, the first spot was identified as xanthorrhizol with 0.14% (b/b) yield, while the second was unidentified, supposed to be more polar than xantorizol. Additional step with the second preparative TLC is still needed to obtain pure xanthorrhizol.

(4)

DIAN ASRIANI. IIssoollaassiiXXaannttoorriizzoollddaarriiTTeemmuullaawwaakkTTeerrppiilliihhBBeerrddaassaarrkkaannNNoommoorr H

Haarraappaan. Dibimbing oleh SUMINAR SETIATI ACHMADI, LATIFAH KOSIM n

DARUSMAN, dan MAHARANI HASANAH.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) termasuk ke dalam famili Zingiberaceae, yang secara empiris banyak digunakan sebagai obat untuk mengatasi batu empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi, nyeri haid, nyeri sendi, pelancar ASI, sembelit, dan eksim. Banyaknya ragam manfaat temulawak baik untuk obat tradisional maupun fitofarmaka adalah karena rimpangnya mengandung komponen aktif utama yang berkhasiat, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komponen aktif utama dalam minyak atsiri temulawak yang juga merupakan senyawa khas dari rimpang temulawak adalah xantorizol. Kandungan dan komposisi senyawa aktif, termasuk xantorizol, pada temulawak yang merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman sangat bergantung pada interaksi antara sifat genetik tanaman dan kondisi agrobiofisik tanaman yang meliputi iklim, media tanam (jenis tanah), dan ketinggian. Penelitian ini bertujuan menentukan nomor harapan temulawak A atau F koleksi Balittro yang terbaik berdasarkan kandungan xantorizol yang tinggi, menentukan kondisi lingkungan agrobiofisik yang menghasilkan tingkat bahan aktif tinggi, dan memperoleh metode pemisahan baru yang dapat mengisolasi xantorizol dengan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode terdahulu (metode Hwang) yang berhasil mengisolasi xantorizol dari fraksi etil asetat ekstrak metanol sebanyak 0.2% (b/b) dari rimpang temulawak kering.

Secara garis besar penelitian dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu (1) pemilihan sampel temulawak dari 2 nomor harapan dan 2 lokasi tanam yang menghasilkan kadar bioaktif tinggi (xantorizol), dan (2) isolasi xantorizol dari sampel temulawak terpilih. Pada bagian pertama, dilakukan pemilihan sampel temulawak yang terdiri atas dua nomor harapan temulawak koleksi Balittro (A dan F), yang berasal dari dua daerah, yaitu Cileungsi dan Boyolali. Sampel yang memiliki kadar xantorizol tertinggi merupakan sampel terpilih yang digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya. Kadar xantorizol diukur dengan menggunakan HPLC. Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan isolasi xantorizol dari temulawak terpilih menggunakan metode ekstraksi dengan pelarut etanol 96%, asetilasi ekstrak kasar, dan separasi dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif, serta dilakukan pula isolasi menggunakan metode Hwang (2000) sebagai metode pembanding untuk memperoleh informasi mengenai ciri xantorizol. Hwang menggunakan metode ekstraksi dengan pelarut metanol 75%, separasi kromatografi kolom dua tahap, dan asetilasi fraksi hasil kolom.

(5)

Berdasarkan parameter agrobiofisik di lokasi tanam Cileungsi, temulawak cocok tumbuh di lingkungan dengan suhu 28-34 ºC, curah hujan 224 mm/tahun dan tanah liat berpasir.

Berdasarkan hasil isolasi xantorizol menggunakan metode Hwang, diperoleh informasi ciri senyawa xantorizol yaitu KLT, spektrum FTIR, kromatogram HPLC, dan LC-MS. Ekstrak kasar metanol diperoleh sebanyak 14.6244 g dari sampel awal 250 g (5.8%). Fraksinasi lanjut dengan etil asetat menghasilkan ekstrak etil asetat sebanyak 5.7127 g (39.06%). Fraksinasi kolom kromatografi I menghasilkan 20 fraksi. Berdasarkan hasil KLT, ditentukan fraksi yang mengandung xantorizol adalah fraksi nomor 4 sampai fraksi nomor 10. Dari hasil asetilasi diperoleh dua fase, yaitu fase pertama (fase atas) merupakan fase yang tidak larut air yang mengandung xantorizol terasetilasi, sedangkan fase bawah merupakan fase yang larut air sehingga diduga tidak terdapat xantorizol. Dari hasil KLT fase atas, terdeteksi di bawah sinar lampu UV pada λ = 254 nm adanya dua spot. Spot pertama dengan nilai Rf = 0.86 dapat diidentifikasi sebagai xantorizol terasetilasi, sedangkan spot kedua dengan nilai Rf = 0.56 diidentifikasi sebagai xantorizol tak terasetilasi karena hampir sama dengan nilai Rf standar = 0.54. Fraksinasi lanjut xantorizol terasetilasi dengan kolom kromatografi II, menghasilkan fraksi 1 dan fraksi 2 yang diduga merupakan fraksi xantorizol terasetilasi tunggal. Deasetilasi terhadap fraksi tersebut menghasilkan fraksi dugaan xantorizol dengan rendemen sebesar 0.1608 g (0.064%). Pencirian dilakukan dengan FTIR, HPLC, dan LC-MS. Berdasarkan spektrum FTIR, terlihat kembali serapan dengan intensitas yang cukup besar pada bilangan gelombang 3430.88 cm-1 yang menunjukkan terbentuknya kembali gugus –OH dari xantorizol, dan hilangnya serapan gugus asetil pada daerah serapan sekitar 1700 cm-1. Dari kromatogram HPLC, muncul satu puncak pada waktu retensi 14.820 menit dengan luas area yang cukup besar. Jika dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol yang menunjukkan puncak xantorizol pada waktu retensi 14.817 menit. Dapat dikatakan bahwa isolasi dengan melakukan verifikasi metode Hwang berhasil memperoleh senyawa xantorizol. Hal ini juga diperkuat dengan spektrum hasil LC-MS yang juga menunjukkan adanya satu puncak pada waktu retensi 2.848 menit dengan bobot molekul 218.03 yang merupakan bobot molekul xantorizol.

(6)

muncul di bawah sinar lampu UV pada λ = 254 nm; spot pertama teridentifikasi sebagai xantorizol dan spot kedua belum dapat teridentifikasi. Pencirian lain yang dilakukan adalah dengan FTIR, HPLC, dan LC-MS. Berdasarkan spektrum FTIR yang diperoleh, terlihat kembali serapan dengan intensitas yang cukup besar pada bilangan gelombang 3445 cm-1 yang menunjukkanterbentuknya kembali gugus – OH dari xantorizol dengan intensitas yang lebih besar, namun pada daerah serapan sekitar 1700 cm-1 masih terdapat serapan dengan intensitas rendah. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua gugus asetil terdeasetilasi kembali menjadi gugus -OH. Berdasarkan kromatogram HPLC yang diperoleh, terlihat bahwa muncul dua puncak pada waktu retensi 6.103 menit dan 14.813 menit. Jika dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol yang menunjukkan puncak xantorizol pada waktu retensi 14.817 menit, maka dapat diduga bahwa hasil isolasi dengan modifikasi metode ini berhasil memperoleh senyawa xantorizol (puncak kedua) namun belum murni atau masih terdapat campuran dengan satu senyawa lain (puncak pertama). Hal ini juga diperkuat dengan data hasil LC-MS yang juga menunjukkan adanya dua puncak yang terdeteksi pada tabel waktu retensi, yaitu terdapat puncak yang muncul pada waktu retensi 2.9 menit dan puncak kedua yang muncul pada waktu retensi 16.800 menit. Dapat dipastikan bahwa puncak pertama adalah xantorizol dengan BM 218.03. Puncak kedua pada waktu retensi 16.8 menit tidak terdeteksi bobot molekulnya, sehingga tidak dapat diduga secara pasti jenis dan struktur senyawanya. Namun, berdasarkan waktu retensi yang lebih besar dibanding waktu retensi xantorizol, dapat diduga bahwa senyawa tersebut bersifat lebih polar dibandingkan xantorizol.

Rendemen yang dihasilkan dari metode modifikasi adalah 0.140% (b/b). Jika dibandingkan dengan rendemen verifikasi metode Hwang (2000) yang dilakukan sebagai metode pembanding pada penelitian ini (0.064%), rendemen yang diperoleh dari modifikasi metode ini dua kali lebih besar. Namun, dari segi kemurnian hasil masih kurang, karena masih terdapat dua puncakyang terdeteksi dari hasil KLT, kromatogram HPLC dan LC-MS, dan puncak kedua belum dapat teridentifikasi jenis dan strukturnya karena masih memerlukan pemurnian lebih lanjut, misalnya dengan KLT preparatif tahap II. Berdasarkan hasil KLT, jarak antara spot 1 (Rf = 0.52) yang diduga merupakan senyawa xantorizol dengan spot 2 (Rf = 0.39) cukup jauh, sehingga masih dimungkinkan untuk dapat dipisahkan kembali dengan cara KLT preparatif. Kemurnian senyawa xantorizol yang diperoleh dari metode modifikasi adalah 99.5%, sedangkan Hwang (2000) berhasil mengisolasi xantorizol dengan kemurnian 99.9%.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

 

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

DIAN ASRIANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

NIM : G451060061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Suminar S. Achmadi Ketua

Prof. Dr. Latifah K. Darusman Prof (r). Dr. Maharani Hasanah Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kimia a.n. Dekan Sekolah Pascasarjana

Sekretaris Program Magister

Prof. Dr. Ir. Latifah. K. Darusman Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S

(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan kemudahan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaian studi pada program Magister Sains Institut Pertanian Bogor, dengan menghasilkan karya ilmiah berupa tesis dengan judul IIssoollaassii XXaannttoorriizzooll ddaarrii TTeemmuullaawwaakk TTeerrppiilliihh

B

Beerrddaassaarrkkaann NNoommoorr HHaarraappaan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Uji n

Biofarmaka Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM IPB, Laboratorium Kimia Organik dan Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB mulai bulan Mei 2008 sampai bulan Februari 2009. Penelitian ini merupakan bagian dari Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Tahun 2007 dan kerja sama antara Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor dengan judul “Potensi Temulawak Terstandar Untuk Menanggunalangi Flu Burung“.

Selama menempuh studi program magister sains, penulis banyak mendapatkan bantuan moril dan material dari berbagai pihak. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Suminar S. Achmadi sebagai pembimbing utama, Prof. Dr. Latifah K. Darusman dan Prof (r). Dr. Maharani Hasanah sebagai pembimbing anggota, Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita sebagai penguji, ketua dan staf pengajar Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana IPB atas semua ilmu, bimbingan, dan saran yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan studi. Terima kasih kepada PSB atas dilibatkannya penulis menjadi bagian dalam penelitian KKP3T dan kepada para staf PSB yang telah banyak memberi semangat dan bantuan dalam penelitian ini.

Terima kasih tak terhingga khusus kepada kedua orangtuaku yang telah memberikan dorongan, doa dan pengertian selama penulis menempuh studi. Tak lupa kepada Wahyu Diana, terima kasih atas doa dan dukungannya. Kepada teman-temanku di Program Studi Kimia, penulis ucapkan terima kasih karena telah menjadi teman dan sahabat, semoga pertemanan dan persahabatan yang tulus tetap terjalin selamanya.

Akhirnya seraya berserah diri ke hadirat Allah SWT, penulis mempersembahkan karya ini dengan harapan semoga bermanfaat.

Bogor, Januari 2010

(12)

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 21 Februari 1985 dari Ayah Irpan Ganda Putra, S.H., M.H. dan Ibu Muasriyah, B.Sc. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Semarang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB di Jurusan Kimia FPMIPA hingga berhasil menyelesaikan studi pada bulan Juli 2006. Kemudian pada September 2006 penulis melanjutkan studi ke Program Magister Kimia Sekolah Pascasarjana IPB.

(13)

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Temulawak ... 4

Komposisi Kimia Temulawak ... 6

Xantorizol ... 8

Aktivitas Biologis Xantorizol ... 8

Isolasi Xantorizol (Hwang 2000) ... 9

METODE PENELITIAN ... 10

Alat dan Bahan ... 10

Prosedur Penelitian ... 10

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Sampel Temulawak Terpilih ... 13

Isolasi Xantorizol Metode Hwang ... 15

Isolasi Xantorizol Metode Modifikasi ... 20

SIMPULAN DAN SARAN ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25

(14)

1 Komposisi rimpang temulawak ... 6

2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak ... 7

3 Komponen minyak temulawak ………. 7

4 Kandungan xantorizol keempat jenis sampel temulawak ... 13

5 Ciri agrobiofisik lokasi penanaman temulawak ………... 15

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Tanaman temulawak dan irisan rimpangnya …... 6

2 Struktur kimia xantorizol ... 8

3 KLT fraksi hasil separasi kolom metode Hwang ……… 16

4 Skema reaksi asetilasi xantorizol ……… 16

5 Hasil reaksi asetilasi ……… 17

6 KLT standar xantorizol dan fraksi xantorizol terasetilasi ……… 17

7 8 9 10 11 12 13 14

Perbandingan spektrum FTIR sebelum dan setelah asetilasi

(metode Hwang) ………..………

KLT fraksi xantorizol terasetilasi hasil separasi kolom metode Hwang …..

KLT fraksi dugaan xantorizol metode Hwang ...

KLT fraksi xantorizol hasil asetilasi ...

Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol sebelum dan setelah asetilasi (metode modifikasi) ………

KLT preparatif fraksi xantorizol hasil asetilasi metode modifikasi ...

KLT fraksi xantorizol 1 dan 2 hasil asetilasi metode modifikasi …………

(15)

1 Diagram alir isolasi xantorizol ... 32

2 Analisis statistika pengaruh lokasi tanam dan nomor harapan terhadap

kandungan xantorizol ……… 33

3

4

Contoh kromatogram HPLC pemilihan sampel berdasarkan kadar xantorizol tertinggi dan contoh perhitungannya ………

a. Spektrum FTIR fraksi aktif xantorizol hasil kolom sebelum asetilasi (metode Hwang) ...

34

36

b. Spektrum FTIR fraksi aktif xantorizol hasil kolom setelah asetilasi

(metode Hwang) ……… 37

c. Spektrum FTIR fraksi dugaan xantorizol (metode Hwang) ... 38

5 Kromatogram HPLC fraksi dugaan xantorizol (metode Hwang) …….… 39

6 7 8 9 10 11

Kromatogram HPLC standar xantorizol ...

Kromatogram LC-MS fraksi dugaan xantorizol (metode Hwang) ……...

a. Spektrum FTIR sampel ekstrak etanol temulawak sebelum asetilasi (metode modifikasi) ... b. Spektrum FTIR sampel ekstrak etanol temulawak setelah asetilasi (metode modifikasi) ... c. Spektrum FTIR fraksi dugaan xantorizol (metode modifikasi) ...

Beberapa rumus struktur komponen yang mungkin terdapat dalam temulawak ………

Kromatogram HPLC fraksi dugaan xantorizol (metode modifikasi) ……

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu jenis tumbuhan

dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan sebagai obat,

baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Secara tradisional temulawak telah

banyak digunakan masyarakat antara lain sebagai obat untuk mengatasi batu

empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi, nyeri haid, nyeri sendi, pelancar

ASI, sembelit, dan eksim. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

banyaknya penelitian ilmiah, temulawak diketahui pula memiliki khasiat sebagai

antioksidan (Masuda et al. 1992), antilipidemia (Yasni et al. 1994), antibakteri

(Hwang et al. 2000, Darusman et al. 2006), dan antijamur (Rukayadi & Hwang

2007). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) juga termasuk sebagai salah satu

tanaman obat unggulan Departemen Pertanian (Deptan) dan Badan Pengawas

Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2004 (Deptan 2004).

Temulawak sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi berbagai

produk obat bahan alam seperti minuman kesehatan, pangan fungsional

(nutraseutikal), kosmeseutikal (kometik dan produk kesehatan pribadi), jamu,

herbal terstandar dan fitofarmaka. Kebutuhan industri terhadap temulawak, yaitu

sekitar 3,140 ton/tahun berat segar untuk temulawak yang menempati urutan

pertama terbesar dibandingkan dengan bahan baku obat lainnya untuk keperluan

Industri Obat Tradisional di Jawa Tengah dan sekitar 70% jamu yang beredar di

pasaran mengandung temulawak (Kemala et al. 2003).

Bagian dari tanaman temulawak yang dimanfaatkan adalah rimpangnya.

Banyaknya ragam manfaat temulawak baik untuk obat tradisional maupun

fitofarmaka adalah karena rimpangnya mengandung komponen aktif utama yang

berkhasiat, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid memberikan warna

kuning pada rimpang temulawak, yang terdiri atas kurkumin dan

desmetoksikurkumin. Kandungan kimia minyak atsirinya antara lain feladren,

kamfer, turmerol, tolilmetilkarbinol, ar-kurkumen, zingiberen, kuzerenon,

germakron, β-tumeron, dan xantorizol (Rahardjo & Rostiana 2005). Beberapa

(17)

temulawak yang juga merupakan senyawa khas dari rimpang temulawak adalah

xantorizol.

Kandungan dan komposisi senyawa aktif pada temulawak yang merupakan

hasil metabolisme sekunder dari tanaman sangat bergantung pada interaksi antara

sifat genetik yang ada pada tanaman dan kondisi agrobiofisik yang menjadi

lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh. Menurut Sidik et al. (1995),

produktivitas dan mutu rimpang temulawak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

tempat tumbuh yang meliputi iklim, media tanam (jenis tanah), dan ketinggian. Oleh

karena itu perlu diketahui nomor harapan tanaman temulawak yang unggul dan

lingkungan tumbuh yang sesuai, sehingga diperoleh produksi dan mutu rimpang

yang tinggi.

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) memiliki 22 nomor

aksesi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan hasil

karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah telah diperoleh enam nomor harapan

temulawak hasil seleksi dari dua puluh nomor aksesi plasma nutfah temulawak

dengan perbedaan produksi rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat lebih

tinggi. Produksi rimpang keenam aksesi tersebut lebih tinggi (2,39–3,37 kg/m2)

dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional (1,07 kg/m2) (Direktorat Aneka

Tanaman 2000). Kandungan minyak atsiri enam nomor harapan tersebut juga

lebih tinggi (6,2–9,8%) dibandingkan dengan persyaratan yang telah ditentukan

oleh Materia Medika Indonesia (5,0%). Kadar kurkuminnya berkisar 1,2–3,6%

dan rata-rata yang terdapat di pasaran adalah lebih kurang 1,93% (Setiyono &

Ajijah 2002).

Pada bagian pertama penelitian ini dilakukan pemilihan sampel dari dua

nomor harapan (A dan F) dan dua lokasi tanam (Cileungsi dan Boyolali) yang

sesuai untuk budidaya temulawak yang memiliki kandungan bioaktif tinggi

(xantorizol). Nomor harapan A dan F dipilih berdasarkan keunggulan produksi

rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat terhadap enam nomor harapan

temulawak yang telah dilakukan pada uji multilokasi oleh tim peneliti Balittro

(Setiono et al. 2006). Selanjutnya temulawak terpilih yang mengandung xantorizol

tertinggi digunakan lebih lanjut untuk keperluan penelitian bagian kedua, yaitu

(18)

Xantorizol merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas

terhadap aktivitas antibakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap kulit

manusia. Xantorizol dapat menghambat berbagai macam bakteri, misalnya

Streptococcus mutans, Bifidobacterium bifidum, Penicilium chrysogenum, dan

beberapa bakteri lainnya (Hwang 2004). Oleh karena itu xantorizol dapat

dimanfaatkan pada berbagai produk, misalnya pada pasta gigi, sabun, pembersih

mulut, permen karet, kosmetik, dan industri farmasi. Hwang et al. (2000) telah

berhasil mengisolasi xantorizol dari fraksi etil asetat ekstrak metanol temulawak

sebanyak 0.2 g dari 100 g rimpang temulawak kering (rendemen 0.2%). Aguilar et

al. (1993) juga telah mengisolasi xantorizol dari ekstrak kloroform akar tanaman

Iostephane heterophylla (asal Meksiko) sebanyak 12.02 g dari 2.8 kg sampel yang

digunakan (rendemen 0.42%). Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan isolasi

xantorizol dari temulawak terpilih menggunakan metode separasi dengan teknik

kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif dan asetilasi ekstrak kasar. Asetilasi ekstrak

kasar sebelum pemurnian dengan KLT preparatif diharapkan dapat menghasilkan

rendemen lebih tinggi. Selain itu dilakukan pula isolasi xantorizol menggunakan

metode Hwang et al. (2000) sebagai metode pembanding untuk memperoleh

informasi mengenai karakteristik xantorizol.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah (a) memilih nomor harapan temulawak A atau F

dari Balittro yang terbaik berdasarkan kandungan xantorizol yang tinggi, (b)

menentukan kondisi lingkungan agrobiofisik yang menghasilkan tingkat bahan aktif

tinggi, dan (c) mendapatkan metode separasi (ekstraksi – asetilasi – separasi dengan

KLT preparatif – deasetilasi) yang dapat memisahkan xantorizol dengan kadar lebih

tinggi daripada metode yang sudah ada (metode Hwang 2000: ekstraksi – separasi

kolom kromatografi tahap 1 – asetilasi – separasi kolom kromatografi tahap 2 -

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

Curcuma berasal dari bahasa Yunani, xanthos yang berarti kuning dan

rhizaa yang berarti umbi akar. Jadi Curcuma xanthorrhiza berarti akar kuning.

Temulawak atau koneng gede (Sunda), temo labak (Madura), temulawas

(Malaysia) merupakan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak

terdapat di Ambon, Bali, dan Jawa (Sutarno & Atmawidjojo 2001). Saat ini

tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indocina,

Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa

(Anonim 2005). Dari segi taksonomi, temulawak masuk dalam dunia plantae,

divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, keluarga

Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza.

Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian 5-1800 meter di atas permukaan

laut (m dpl) dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 m dpl.

Pembudidayaan di dataran rendah pada ketinggian 240 m dpl menghasilkan

rimpang yang kandungan patinya lebih tinggi, sebaliknya di dataran tinggi

menghasilkan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding dataran rendah

(Direktorat Aneka Tanaman 2000).

Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan

terlindung dari sinar matahari. Di habitat alamiya, rumpun tanaman ini tumbuh

subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian, temulawak

juga dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini

memiliki daya adaptasi yang tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim tropis

(Afifah & Lentera 2003). Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan

1500-4000 mm/tahun atau daerah bertipe iklim A, B, dan C menurut Schimdt-Ferguson.

Pada daerah iklim C tanaman cepat mengalami fase pertumbuhan mengering pada

bagian daun dan batang semu karena musim hujan yang relatif lebih pendek

dibandingkan daerah dengan tipe iklim A dan B, sedangkan toleransi suhu untuk

pertumbuhan adalah antara 19-35oC (Soediarto 1985).

Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis

(20)

berliat. Produksi rimpang yang optimum memerlukan tanah yang subur, gembur,

dan berdrainase baik. Pemupukan anorganik dan organik diperlukan juga untuk

memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur.

Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah

tidak mudah tergenang air (Rahardjo & Rostiana 2005).

Temulawak (Gambar 1a) merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak

dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau

cokelat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat,

berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai 2–9 helai daun dengan bentuk

bundar memanjang sampai lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang

sampai gelap, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–18 cm, panjang tangkai daun

termasuk helaian 43–80 cm. Daun termasuk tipe daun sempurna, artinya tersusun

dari pelepah daun, tangkai daun, dan helai daun (Sidik et al. 1995). Kelopak

bunga berwarna putih berbulu, panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk

tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar

memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah,

panjang 1,25–2 cm dan lebar 1 cm (Anonim 2005).

Sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar tunggang. Akar

yang dipunyai adalah rimpang. Rimpang adalah bagian batang di bawah tanah.

Rimpang disebut juga umbi akar, umbi batang atau umbi tinggal. Rimpang

temulawak berukuran paling besar di antara semua rimpang genus Curcuma

dengan diameter sampai 6 cm. Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk

(empu) dan rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti

telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan. Bagian dalamnya

berwarna jingga kecokelatan. Rimpang kedua yang lebih kecil keluar dari rimpang

induk. Arah pertumbuhannya ke samping, berwarna lebih muda dengan bentuk

yang bermacam-macam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih

dari satu tahun, akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam

dan rasanya pahit agak pedas. Produk yang diambil dari tanaman tersebut adalah

rimpang induk yang tumbuh dekat permukaan tanah dengan kedalaman 5–8 cm

(21)

dan kering. Panen yang terbaik adalah ketika tanaman berumur 11-12 bulan

(Darwis et al. 1991). Irisan rimpang temulawak ditunjukkan pada Gambar 1b.

( a) (b)

Gambar 1 (a) Tanaman temulawak dan (b) irisan rimpang temulawak

Komposisi Kimia Temulawak

Rimpang temulawak mengandung zat warna kuning kurkumin, minyak

atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1988). Kadar dari setiap

komponen tersebut bergantung pada umur panen. Rimpang kering temulawak

mengandung 29–34% karbohidrat, dan 6–10% minyak atsiri, sedangkan rimpang

segar mengandung air 70–80% (Herman 1985). Suwiah (1991) menguraikan

komposisi rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% yang ditunjukkan

pada Tabel 1. Menurut Sinambela (1985), komponen utama rimpang temulawak

adalah fraksi zat warna kurkuminoid dan minyak atsiri. Kadar minyak atsiri

rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka ditunjukkan pada Tabel 2.

Komponen minyak temulawak menurut Liang et al. (1985), Anang 1992, serta

Dickes dan Nicholas (1976) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak

Komponen Persentase (%)

Pati 27.62

Lemak (fixed oil) 5.38

Kurkumin 1.93

Serat kasar 6.89

Abu 3.96 Protein 6.44

Minyak atsiri 10.96

(22)

Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak

Sumber Kadar minyak atsiri (%)

Balai Penelitian dan Pengembangan

Industri Ujung Pandang (1980 dalam Herman 1985)

6-10

Meijer dan Kollhaas (1939 dalam Nurdjanah et al. 1994) 7,3-9,5

Lucker et al. (1976 dalam Liang et al. 1985) 7-11

Sirait et al. (1985)

Rimpang temulawak berumur:

8 bulan 4,6

10 bulan 5,2

12 bulan 5,3

15 bulan 5,1

Tabel 3 Komponen minyak temulawak

I II III

1. trisiklin 2.α-pinena 3. kamfena 4.β-pinena 5. sabrinena 6. mirsena 7. felandrena 8. limonena 9. 1,8-sineol 10. δ-terpinena 11. β- simen 12. terpionlen

13. δ-elemena

14. kamfor 15. α-bergamolena 16. β-elemena 17. kariofilena 18. allo-aromadendren 19. trans-β-farnesena 20. berneol

21. gerwakrena D 22. zingiberena 23. β-bisabolen 24. β-kurkumena 25. β-kadinena 26. β-seskuifelandrena 27. ar-kurkumen 28. isofuranogermasen 29. turmeron 30. turmerol 31. ar-turmeron 32. xantorizol *seskuiterpen - β-kurkumena -α-kurkumena -1-sikloisoprenmirsean -zingiberena -xantorizol -turunan bisabolen -epolisid-bisakuron -bisakuron A -bisakuron B -bisakuron C *ketonseskuiterpena -turmeron

-α-turmeron -α-atlanton (0,3%) -germakron *monoterpena -sineol -d-borneol -d-α-feladrena -d-kamfan -α-lumulena (25,2%) -kamfan (21,9%) -zerumbon (21,2%) -α-kurkumen (0,8%) -lumulen epolesi (4,6%)

-kamfor (4,2%) -α-pinena (3,4%) -borneol dan α-terpineol (0,6%) -eukaliptol (1,8%) -β-kariofilena (1,6%) -limonena (1,5%) -linaloal (0,9%) -3-karena (0,3%) -lumulena dioksida -β-pinena (0,6%) Sumber:

I = Liang et al. (1985)

(23)

Xantorizol

Xantorizol merupakan komponen minyak atsiri rimpang temulawak yang

termasuk ke dalam kelompok terpena teroksigenasi. Xantorizol merupakan

komponen yang khas dari minyak temulawak yang membedakannya dengan minyak

jenis curcuma yang lain (Setijadi 1985, Sirait et al. 1985).

Ciri xantorizol menurut Hwang (2000) adalah sebagai berikut: golongan

seskuiterpena, BM 218 g/mol, tidak berwarna, tak-asiri, stabil terhadap suhu dan

panas, sangat pahit, dan rumus molekulnya ialah C15H22O. Xantorizol larut dalam

DMSO dan etanol 96%. Nama IUPAC (International Union of Pure and Applied

Chemistry) xantorizol adalah 5-(1,5-dimetil-heks-4-enil)-2-metil-fenol. Rumus

strukturnya ditunjukkan pada Gambar 2.

HO

H

3

C

Gambar 2 Struktur xantorizol (Hwang 2000)

Aktivitas Hayati Xantorizol

Xantorizol mempunyai daya hambat yang tinggi terhadap bakteri spesies

Streptococus penyebab karies pada gigi. Berdasarkan hal tersebut maka xantorizol

dapat digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi untuk mencegah penyakit

pada gigi (Hwang 2000). Xantorizol juga dapat digunakan sebagai agen potensial

pembentukan biofilm oleh Streptococcus mutans (Rukayadi & Hwang 2007).

Penelitian lain menunjukkan bahwa xantorizol memiliki aktivitas sebagai anti-fungi

pada spesies candida, sehingga dimungkinkan dapat digunakan untuk pengobatan

candidiasis (Rukayadi 2006).

Xantorizol juga memiliki aktivitas hayati sebagai antikanker dan antiinflamasi.

Penelitian Lee et al. (2002) memperlihatkan bahwa xantorizol dapat digunakan

sebagai kandidat inhibitor COX-2 dan iNOS bagi penderita kanker kemopreventif

(24)

Liem et al. (2005) melaporkan bahwa xantorizol merupakan kandidat efektif untuk

pengobatan penyakit alzheimer dan penyakit saraf lain yang terkait dengan Reactive

Oxygen Species (ROS) dan inflamasi. Yamazaki et al. (1987 dalam Sidik 1995) juga

menyatakan xantorizol mempunyai efek memperpanjang masa tidur yang

diakibatkan oleh pentobarbital dengan cara menghambat aktivitas sitokrom P450,

atau dengan kata lain xantorizol dapat digunakan sebagai antidepresan.

Penelitian lain yang dilakukan Chilwan et al. (1993) yang meneliti efek

insektisida empat jenis rimpang spesies Zingiberaceae, yaitu Curcuma xanthorriza,

C. Zeodoaria, Kaempferia galanga, dan K. pandurata. 17 komponen terbesar

termasuk flavonoid, seskuiterpenoid, dan derivat asam sinamat berhasil diisolasi dan

diidentifikasi menggunakan nuclear magnetic resonance (NMR) dan spektrum

massa. Semua komponen ini diuji toksisitasnya terhadap larva Spodoptera littoralis.

Hasil uji biologis nya menunjukkan bahwa xantorizol dan furanodienon merupakan

senyawa yang paling aktif menunjukkan toksisitas melawan larva yang baru lahir.

Isolasi Xantorizol (Hwang 2000)

Hwang telah berhasil mengisolasi xantorizol dari rimpang tanaman

temulawak menggunakan metode ekstraksi pelarut, kolom kromatografi, dan

reaksi asetilasi dan deasetilasi. Sistem ekstraksi yang dilakukan adalah ekstraksi

bertahap menggunakan pelarut metanol dan etil asetat. Ekstrak kasar yang

diperoleh kemudian diaplikasikan dalam kromatografi kolom menggunakan fase

diam silika gel dan eluen campuran heksana dan etil asetat untuk memperoleh

fraksi aktif yang mengandung xantorizol. Tahap selanjutnya yang dilakukan

Hwang (2000) adalah melakukan asetilasi terhadap fraksi aktif hasil kolom, dan

dilanjutkan dengan mengaplikasikan kembali fraksi aktif terasetilasi tersebut ke

dalam kolom kromatografi untuk memperoleh senyawa tunggal terasetilasi. Tahap

terakhir adalah deasetilasi terhadap fraksi aktif terasetilasi tunggal untuk

memperoleh senyawa xantorizol murni. Identifikasi yang dilakukan adalah dengan

spektroskopi inframerah dan NMR. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hwang

berhasil memperoleh senyawa xantorizol sebanyak 0.2 g dari 100 g sampel

temulawak kering yang digunakan, atau dengan kata lain rendemen yang

(25)

METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah evaporator, pelat KLT

silika gel GF254, kolom kromatografi silika gel (Merck; 70-230 mesh; 1×25 cm),

spektrofotometer FTIR merek Shimadzu, HPLC merek Shimadzu, dan LC-MS

merek Shimadzu.

Bahan-bahan yang digunakan adalah temulawak yang berasal dari

Kabupaten Boyolali dan Cileungsi yang masing-masing terdiri atas dua nomor

harapan, yaitu A dan F (Balittro), yang dipanen pada umur 9 bulan setelah tanam,

resin penukar kation jenis Dowex C-211, dan standar xantorizol (diperoleh dari

Prof. Hwang JK, Universitas Yonsei, Korea Selatan).

Prosedur

Secara garis besar penelitian dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu (1)

pemilihan sampel temulawak dari 2 nomor harapan dan 2 lokasi tanam yang

menghasilkan kadar bioaktif tinggi (xantorizol), dan (2) isolasi xantorizol dari

sampel temulawak terpilih.

Pemilihan Sampel Temulawak

Pada bagian pertama, dilakukan pemilihan sampel temulawak yang terdiri

atas dua nomor harapan temulawak yang dimiliki Balittro (A dan F), yang berasal

dari dua daerah, yaitu Cileungsi dan Boyolali. Dengan demikian pada percobaan ini

diamati sebanyak empat sampel, masing-masing sampel terdiri atas tiga ulangan.

Sampel diekstraksi menggunakan etanol 96%, selama enam jam sambil sekali-kali

diaduk, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan, dan proses

diulang dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat

dikumpulkan kemudian disaring dengan kertas saring Whatman lalu diuapkan

dengan penguap vakum. Ekstrak kental diukur kadar xantorizolnya dengan

menggunakan HPLC. Sistem HPLC yang digunakan ialah kolom C18, detektor

UV-Vis, volume injeksi 10 µL, elusi gradien (eluen H3PO4 dan metanol), dan

(26)

tertinggi merupakan sampel terpilih yang digunakan untuk tahap penelitian

selanjutnya.

Isolasi Xantorizol

Pada bagian kedua, dilakukan isolasi xantorizol menggunakan metode

modifikasi ekstraksi pelarut, asetilasi ekstrak kasar, dan kromatografi lapis tipis

preparatif, serta dilakukan pula isolasi menggunakan metode Hwang (2000) sebagai

metode pembanding. Bagan alir isolasi xantorizol ditunjukkan pada Lampiran 1.

Metode Hwang (2000)

Isolasi Ekstrak Kasar

Isolasi ekstrak kasar dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut. Sampel

temulawak terpilih (dari bagian 1) diekstraksi dengan cara maserasi dengan

pelarut metanol 75% (v/v) selama 6 jam sambil sekali-kali diaduk, kemudian

didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan, dan proses diulang 2 kali dengan

jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan kemudian

disaring dengan kertas saring Whatman lalu diuapkan dengan penguap vakum.

Ekstrak kental yang dihasilkan difraksinasi lebih lanjut dengan pelarut etil asetat

kemudian diuapkan lagi sehingga diperoleh fraksi etil asetat dan metanol. Kedua

fraksi tersebut lalu dianalisis dengan KLT menggunakan pelarut heksana:etil

asetat (10:1, v/v). Fraksi yang mengandung senyawa xantorizol (Rf-nya sama

dengan Rf standar) digunakan untuk isolasi lebih lanjut dengan kromatografi

kolom.

Kromatografi Kolom

Ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya difraksinasi menggunakan

kromatografi kolom. Kromatografi kolom dilakukan dengan menggunakan fase

diam berupa silika gel Merck dengan ukuran 70-230 mesh, dimensi 1×25 cm, dan

fase gerak berupa heksana:etil asetat (10:1, v/v). Fraksi-fraksi ditampung setiap 5

ml. Selanjutnya fraksi yang diperoleh dianalisis dengan KLT dan Rf dari fraksi

dibandingkan dengan standar xantorizol. Fraksi yang mempunyai Rf dan jumlah

spot yang sama digabung, kemudian diuapkan sehingga diperoleh fraksi

(27)

Asetilasi dan Deasetilasi

Asetilasi dilakukan terhadap fraksi xantorizol hasil kromatografi kolom

dengan cara melarutkannya ke dalam piridin:asetat anhidrat (1:1, v/v) dan

direaksikan selama 24 jam pada suhu kamar. Kemudian senyawa terasetilasi yang

diperoleh dimasukkan ke dalam kolom kromatografi lagi menggunakan eluen

heksana:etil asetat (10:1, v/v) sehingga diperoleh fraksi xantorizol terasetilasi.

Fraksi ini kemudian dicirikan dengan KLT dan FTIR.

Deasetilasi dilakukan terhadap fraksi xantorizol terasetilasi dengan cara

melarutkannya ke dalam metanol, lalu ditambahkan KOH dengan konsentrasi

3-7%, kemudian dimasukkan ke dalam resin penukar kation selama 3 jam sehingga

diperoleh senyawa xantorizol. Pencirian dilakukan menggunakan KLT,

spektrofotometer FTIR, HPLC, dan LC-MS.

Metode Modifikasi

Isolasi ekstrak kasar dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut. Sampel

temulawak sebanyak 250 g diekstraksi dengan cara maserasi dengan pelarut

etanol 96% (v/v) selama enam jam sambil sekali-kali diaduk, kemudian

didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan, dan proses diulang dua kali

dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan

kemudian disaring dengan kertas saring Whatman lalu diuapkan dengan penguap

vakum. Ekstrak kental yang dihasilkan kemudian dihilangkan kandungan airnya

menggunakan natrium sulfat anhidrat, kemudian diasetilasi menggunakan

prosedur yang sama dengan prosedur asetilasi metode Hwang (2000). Produk

asetilasi kemudian dicirikan (KLT dan FTIR), hasilnya dibandingkan dengan hasil

asetilasi metode Hwang. Selanjutnya senyawa hasil asetilasi tersebut difraksinasi

lanjut dengan KLT preparatif menggunakan eluen yang sama dengan eluen kolom

kromatografi metode Hwang, lalu dideasetilasi. Hasil deasetilasi dicirikan dengan

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel Temulawak Terpilih

Pada penelitian ini sampel yang digunakan terdiri atas empat jenis sampel,

yang dibedakan berdasarkan lokasi tanam dan nomor harapan. Lokasi tanam terdiri

atas daerah Cileungsi (Jawa Barat) dan Boyolali (Jawa Tengah). Pemilihan kedua

lokasi tanam tersebut dimaksudkan untuk mewakili kondisi agrobiofisik yang

berbeda sehingga dapat menunjukkan lokasi yang paling sesuai untuk

membudidayakan tanaman temulawak yang memiliki kandungan bioaktif tertinggi

(dalam hal ini xantorizol). Cileungsi mewakili sentra pengembangan budidaya

temulawak di Jawa Barat sedangkan Kragilan (Boyolali) yang mewakili sentra

pengembangan budi daya temulawak di Jawa Tengah. Nomor harapan yang

digunakan sebagai sampel adalah nomor harapan A dan F, yang keduanya

merupakan nomor harapan temulawak yang digunakan oleh Balai Penelitian

Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) untuk uji multilokasi. Nomor harapan A dan

F dipilih berdasarkan keunggulan produksi rimpang dan mutu kandungan zat

berkhasiat dibandingkan enam nomor harapan temulawak lainnya yang telah

dilakukan tim peneliti Balittro (Setiono et al. 2006).

Berdasarkan uji xantorizol, kedua nomor harapan temulawak memiliki

kecenderungan yang berbeda dalam menghasilkan bioaktif. Analisis statistika

pengaruh lokasi tanam dan nomor harapan pada kandungan xantorizol ditunjukkan

pada Lampiran 2. Hasilnya menunjukkan bahwa lokasi penanaman dan nomor

harapan mempunyai pengaruh yang berbeda nyata pada kandungan xantorizol

temulawak. Kandungan xantorizol tertinggi dihasilkan oleh nomor harapan

temulawak A di lokasi Cileungsi, yaitu 0,0382%. Contoh kromatogram HPLC dan

cara perhitungan kadar xantorizol ditunjukkan pada Lampiran 3 dan rekapitulasi

hasil pengukuran kandungan xantorizol dalam keempat jenis sampel ditunjukkan

pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan xantorizol keempat jenis sampel temulawak

Sampel Kadar xantorizol (%)

(29)

Produksi metabolit sekunder pada suatu tanaman dipengaruhi oleh banyak

faktor, di antaranya genetik, nutrisi, enzim, umur tanaman, dan interaksi antara

lingkungan biotik dan abiotik. Setiap faktor memiliki mekanisme biokimiawi

kompleks tertentu yang menyebabkan kedua nomor harapan temulawak

memproduksi bioaktif xantorizol berbeda baik yang ditanam di Cileungsi maupun di

Boyolali.

Kondisi curah hujan di lokasi penelitian menurut Setiyono et al. (2006) adalah

5500-6500 mm/tahun untuk Boyolali dan 223,97 mm/tahun untuk Cileungsi.

Waterman dan Mole (1989; dalam Seigler 1998) menyatakan bahwa kuantitatif dan

kualitatif yang beragam dari metabolit sekunder pada tanaman dapat terjadi sebagai

respons dari cekaman yang ditimbulkan oleh lingkungannya. Curah hujan di

Cileungsi lebih rendah dan kondisi tanah lebih liat dibandingkan Boyolali. Hal ini

diduga merupakan salah satu kondisi cekaman yang memungkinkan terjadinya

induksi dalam produksi xantorizol yang tinggi di lokasi Cileungsi. Meskipun

induksi xantorizol dipengaruhi juga oleh faktor genetik kedua nomor harapan

temulawak tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Khaerana (2007) yang menunjukkan bahwa cekaman kekeringan menyebabkan

meningkatnya kandungan metabolit jenis asiri dalam temulawak. Kondisi

agrobiofisik lokasi penanaman temulawak pada penelitian ini ditunjukkan pada

Tabel 5.

Berdasarkan hasil penelitian, sampel yang menunjukkan kandungan

xantorizol tertinggi dimiliki oleh sampel yang ditanam di Cileungsi dengan nomor

harapan A, maka sampel tersebutlah yang dipilih sebagai sampel untuk keperluan

(30)
[image:30.612.133.509.93.426.2]

Tabel 5 Ciri agrobiofisik lokasi penanaman temulawak

Kondisi agrobiofisik Lokasi penanaman temulawak

Cileungsi Boyolali Kondisi iklim:

Suhu (ºC) 28-34 18-35

Ketinggian (m dpl) 200 450

Curah hujan ( mm/tahun) 223.97 5500-6500

Sifat fisik tanah:

Kandungan komponen (%)

Pasir 35.87 41.49 Debu 24.23 37.98 Liat 39.90 20.53

Sifat kimia tanah:

pH:

H2O 4.65 5.10

C Organik (%) 0.95 0.51

N total (%) 0.13 0.09

C/N rasio 7.31 5.67

P tersedia (ppm) 1.06 23.51

Basa yang dapat dipertukarkan (me/100 ):

Ca 5.39 2.31

Mg 1.29 0.33

K 0.17 0.11

Na 0.25 0.18

Total 7.10 2.93

Al dd (me/100 g) 2.13 0.41

KTK (me/ 100 g) 15.87 7.27

Kejenuhan basa (%) 44.74 40.30

Sumber: Setiono et al. (2006)

Isolasi Xantorizol

Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan dua jenis metode isolasi

xantorizol. Metode pertama menggunakan metode Hwang (2000) sebagai metode

pembanding, dan metode kedua menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif

yang digabung dengan modifikasi dari metode Hwang.

Metode Hwang (2000)

Ekstraksi menghasilkan ekstrak kasar metanol sebanyak 14.6244 g dari

sampel awal 250 g (5.8%). Fraksinasi lanjut dengan etil asetat menghasilkan

ekstrak etil asetat sebanyak 5.7127 g (39.06%). Dari hasil fraksinasi kolom

ekstrak etil asetat diperoleh 20 fraksi. Masing-masing fraksi yang diperoleh

tersebut dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dan dibandingkan

(31)

xantorizol ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil KLT tersebut,

ditentukan fraksi yang mengandung xantorizol adalah fraksi nomor 4 sampai

fraksi nomor 10. Fraksi tersebut (2.5083 g) kemudian diasetilasi untuk

menghasilkan fraksi xantorizol terasetilasi yang diharapkan dapat memisahkan

fraksi yang mengandung xantorizol dengan yang tidak. Skema reaksi yang terjadi

[image:31.612.201.441.213.402.2]

saat proses asetilasi ditunjukkan pada Gambar 4. 

Gambar 3 KLT fraksi hasil separasi kolom metode Hwang (pelarut heksana:etil asetat = 10:1)

 +  OH

CH3

O

O O

Gambar 4 Skema reaksi asetilasi xantorizol Sampel Stdr 3 5 7 9 11 13 15 17 19

O

CH3 C O

CH3 -O CH3

O

piridin

xantorizol

Anhidrida asetat

[image:31.612.192.470.455.661.2]
(32)

Berdasarkan hasil reaksi asetilasi, diperoleh dua fase seperti yang ditunjukkan

pada Gambar 5. Fase pertama (fase atas) merupakan fase yang tidak larut air

sehingga diduga merupakan fase tempat terdapatnya xantorizol, sedangkan fase

kedua (fase bawah) merupakan fase yang larut dalam air sehingga diduga tidak

[image:32.612.235.516.181.342.2]

terdapat xantorizol.

Gambar 5 Hasil reaksi asetilasi

Lapisan atas yang diduga mengandung xantorizol terasetilasi dipisahkan dari

lapisan bawah dengan menggunakan corong pisah, lalu dianalisis menggunakan

KLT. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 6.

a. standar xantorizol b. hasil asetilasi

Gambar 6 KLT standar xantorizol dan fraksi xantorizol terasetilasi (pelarut heksana:etil asetat = 10:1)

Fraksi xantorizol sebelum dan sesudah asetilasi juga dianalisis dengan FTIR

untuk membuktikan berlangsungnya reaksi asetilasi. Hasil analisis menggunakan

Lapisan atas:

xantorizol terasetilasi (tak larut air)

Lapisan bawah: fraksi larut air

xantorizol terasetilasi (Rf = 0.86)

[image:32.612.197.515.446.648.2]
(33)

FTIR untuk fraksi xantorizol sebelum diasetilasi ditunjukkan pada Lampiran 4a,

sedangkan untuk fraksi xantorizol setelah diasetilasi ditunjukkan pada Lampiran 4b.

Perbandingan spektrum FTIR sebelum dan setelah asetilasi ditunjukkan pada

Gambar 7. Dari spektrum yang diperoleh, pada spektrum hasil asetilasi (warna

merah) menunjukkan adanya serapan yang muncul pada bilangan gelombang 1767

cm-1 yang merepresentasikan adanya gugus asetil (Sudjadi 1983), sedangkan pada

spektrum sebelum asetilasi (warna biru) tidak ditemukan adanya serapan tersebut.

Selain itu, jika dilihat dari keberadaan gugus –OH, pada spektrum sebelum asetilasi

terdapat serapan dengan intensitas yang sangat besar pada bilangan gelombang

sekitar 3500 cm-1, sedangkan pada spektrum setelah asetilasi juga ditemukan serapan

tersebut namun dengan intensitas yang jauh lebih kecil. Hal tersebut menunjukkan

bahwa reaksi asetilasi berlangsung dengan baik.

Secara teoretis, reaksi asetilasi xantorizol juga dapat diduga berdasarkan efek

konjugasi dan induksi dari gugus-gugus fungsi yang terlibat. Gugus asetil dari

anhidrida asetat akan cenderung memilih terikat pada gugus fenol dibandingkan

terikat pada cincin benzena dari struktur xantorizol. Hal ini dikarenakan efek induksi

dari atom oksigen (O) yang lebih dominan dibandingkan efek konjugasi. Akibatnya

energi yang dihasilkan lebih tinggi dan bilangan gelombang ikatan C=O juga

bergeser ke bilangan gelombang yang lebih tinggi. Ikatan C=O pada ester normalnya

memiliki bilangan gelombang sekitar 1730 cm-1, sedangkan pada spektrum FTIR

setelah asetilasi yang diperoleh muncul serapan pada bilangan gelombang 1767 cm-1.

Sebaliknya, kemungkinan gugus asetil terikat pada cincin benzena dapat dieliminasi,

karena secara teori jika hal tersebut terjadi, maka efek konjugasi atau delokalisasi

elektron π antara ikatan C=O dengan cincin bezena akan lebih dominan, sehingga

menaikkan karakter ikatan rangkap dari ikatan yang menghubungkan C=O dengan

cincin, dan akan menurunkan bilangan gelombang sebesar 20-30 cm-1 (Sudjadi

1983). Artinya jika hal ini terjadi, seharusnya akan muncul serapan pada bilangan

(34)

gugus ‐OH

gugus asetil (COCH3)

sebelumasetilasi

setelah asetilasi

Gambar 7 Perbandingan spektrum FTIR sebelum dan setelah asetilasi (metode Hwang)

Lapisan atas (xantorizol terasetilasi sebanyak 1.0951 g) difraksinasi lebih

lanjut dengan kolom kromatografi. Kondisi operasi kolom sama seperti kolom

pertama, lalu hasilnya dikembangkan lagi dengan KLT (Gambar 8) untuk

memperoleh fraksi tunggal xantorizol terasetilasi. Berdasarkan hasil KLT, diduga

fraksi yang mengandung xantorizol terasetilasi adalah fraksi 1 dan fraksi 2.

        

Gambar 8 KLT fraksi xantorizol terasetilasi hasil separasi kolom metode Hwang (pelarut heksana:etil asetat = 10:1)

(35)

Fraksi xantorizol terasetilasi tersebut (0.6175 g) (selanjutnya dilarutkan

dalam metanol, lalu dideasetilasi dengan cara ditambahkan KOH 5%, kemudian di

masukkan ke dalam resin penukar kation (Dowex C-211). Fungsinya adalah untuk

memperoleh kembali xantorizol murni dengan prinsip menukarkan kembali ion

asetil yang diperoleh dari hasil asetilasi dengan ion H+ yang berasal dari resin.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kembali fraksi yang diduga xantorizol

sebanyak 0.1608 g (0.064%). KLT fraksi dugaan xantorizol ditunjukkan pada

Gambar 9. Pencirian lain yang dilakukan adalah dengan FTIR, HPLC dan

LC-MS, yang masing-masing hasilnya ditunjukkan berturut-turut pada Lampiran 4c,

Lampiran 5, dan Lampiran 7.

[image:35.612.303.407.271.430.2]

 

Gambar 9 KLT fraksi dugaan xantorizol metode Hwang (pelarut heksana:etil asetat = 10:1)

Berdasarkan spektrum FTIR yang diperoleh, terlihat kembali serapan

dengan intensitas yang cukup besar pada bilangan gelombang 3430.88 cm-1 yang

menunjukkan terbentuknya kembali gugus –OH dari xantorizol, dan hilangnya

serapan gugus asetil pada daerah serapan sekitar 1700 cm-1. Berdasarkan

kromatogram HPLC yang diperoleh, terlihat bahwa muncul satu puncak pada

waktu retensi 14.817 menit dengan luas area yang cukup besar. Jika dibandingkan

dengan kromatogram standar xantorizol (Lampiran 6) yang menunjukkan puncak

xantorizol pada waktu retensi 14.820 menit, maka dapat diduga bahwa hasil

isolasi dengan metode Hwang berhasil memperoleh senyawa xantorizol. Hal ini

juga diperkuat dengan data hasil LC-MS yang juga menunjukkan adanya satu

puncak dengan bobot molekul 218.03 yang merupakan bobot molekul dari

xantorizol.

(36)

Metode Modifikasi

Metode modifikasi dilakukan dengan ekstraksi pelarut, reaksi asetilasi dan

KLT preparatif. Pelarut yang digunakan adalah etanol 96%. Ekstrak kasar etanol

yang diperoleh dari 250 g sampel awal adalah sebanyak 18.0454 g (7.2%).

Ekstrak etanol ini lebih besar daripada ekstrak kasar metanol yang diperoleh pada

metode Hwang (5.8%). Hal ini karena polaritas etanol yang lebih rendah

dibandingkan metanol, sehingga komponen-kompenen yang bersifat semi-polar

juga ikut terekstrak. Reaksi asetilasi terhadap ekstrak etanol tersebut

menghasilkan dua lapisan, sama seperti hasil asetilasi pada metode Hwang

(Gambar 6). Lapisan atas yang diduga mengandung xantorizol terasetilasi

dipisahkan dari lapisan bawah dengan menggunakan corong pisah, lalu dianalisis

menggunakan KLT. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 10.

Hasil asetilasi dan ekstrak etanol sebelum asetilasi juga dianalisis dengan

FTIR untuk membuktikan berlangsungnya reaksi asetilasi. Hasil analisis

menggunakan FTIR untuk ekstrak etanol sebelum diasetilasi ditunjukkan pada

Lampiran 8a, sedangkan untuk fraksi setelah diasetilasi ditunjukkan pada Lampiran

8b. Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol sebelum dan setelah asetilasi

ditunjukkan pada Gambar 11. Spektrum hasil asetilasi menunjukkan serapan yang

muncul pada bilangan gelombang 1768 cm-1 yang merepresentasikan adanya gugus

asetil (Sudjadi 1983), sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi tidak ditemukan

adanya serapan tersebut. Namun pada spektrum sebelum asetilasi terdapat serapan

pada bilangan gelombang 1748 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus karbonil. Hal

ini diduga karena sebelum asetilasi, masih banyak senyawa kandungan temulawak

lain yang ikut terekstraksi ke dalam etanol 96% yang digunakan sebagai pelarut,

terutama senyawa-senyawa yang bersifat semipolar, seperti α-turmeron, β-turmeron,

atau ar-turmeron. Rumus struktur beberapa senyawa yang mungkin terdapat dalam

temulawak ditunjukkan pada Lampiran 9. Selain itu, jika dilihat dari keberadaan

gugus –OH, pada spektrum sebelum asetilasi terdapat serapan dengan intensitas

yang sangat besar pada bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1, sedangkan pada

spektrum setelah asetilasi juga ditemukan serapan tersebut namun dengan intensitas

yang jauh lebih kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa reaksi asetilasi telah

(37)

         

Gambar 10 KLT fraksi xantorizol hasil asetilasi (pelarut heksana:etil asetat=10:1)

gugus asetil  (COCH3)

gugus ‐OH

sebelum asetilasi

setelah asetilasi

Gambar 11 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol sebelum dan setelah asetilasi (metode modifikasi)

Sebanyak 8.1152 g fraksi xantorizol hasil asetilasi difraksinasi lebih lanjut

dengan KLT preparatif menggunakan eluen yang sama (heksana:etil asetat).

Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 12. Terlihat bahwa pemisahan berlangsung

baik, dengan hasil spot dugaan xantorizol terasetilasi (fraksi 1) dan xantorizol tak

terasetilasi (fraksi 2). Setiaplariktersebut dikerok, lalu dilarutkan kembali dengan

xantorizol terasetilasi (Rf= 0.87)

(38)
[image:38.612.235.489.143.297.2]

heksana, kemudian diuji lagi dengan KLT analitik. Hasilnya ditunjukkan pada

Gambar 13.

[image:38.612.301.416.361.543.2]

        

Gambar 12 KLT preparatif fraksi xantorizol hasil asetilasi metode modifikasi (pelarut heksana:etil asetat = 10:1)

 

Gambar 13 KLT fraksi xantorizol 1 dan 2 hasil asetilasi metode modifikasi (pelarut heksana:etil asetat = 10:1)

Fraksi 1 (xantorizol terasetilasi sebanyak 0.7456 gram) lalu dideasetilasi,

(dengan cara yang sama dengan metode Hwang), sehingga menghasilkan fraksi

dugaan xantorizol sebanyak 0.1155 g (0.140%). Hasil KLT-nya ditunjukkan pada

Gambar 14.

 1 

 2 

1 (Rf= 0.88)

2 (Rf= 0.47) 

xantorizol terasetilasi (Rf= 0.88)

(39)
[image:39.612.300.444.74.241.2]

Gambar 14 KLT fraksi dugaan xantorizol metode modifikasi (pelarut heksana:etil asetat = 10:1)

Berdasarkan hasil KLT tersebut, dapat dideteksi dua spot yang muncul

dibawah sinar lampu UV pada λ = 254 nm, spot pertama (Rf = 0.52)

teridentifikasi sebagai xantorizol dan spot kedua (Rf = 0.39) belum dapat

teridentifikasi. Pencirian lain yang dilakukan adalah dengan FTIR, HPLC, dan

LC-MS, yang hasilnya ditunjukkan berturut-turut pada Lampiran 8c, Lampiran 10

dan Lampiran 11. Berdasarkan spektrum FTIR yang diperoleh, terlihat kembali

serapan dengan intensitas yang cukup besar pada bilangan gelombang 3445 cm-1

yang menunjukkan terbentuknya kembali gugus –OH dari xantorizol dengan

intensitas yang lebih besar, namun pada daerah serapan sekitar 1700 cm-1 masih

terdapat serapan dengan intensitas rendah. Hal ini menunjukkan bahwa belum

semua gugus asetil terdeasetilasi kembali menjadi gugus -OH. Berdasarkan

kromatogram HPLC yang diperoleh, terlihat bahwa muncul dua puncak pada

waktu retensi berturut-turut 6.103 menit dan 14.817 menit. Jika dibandingkan

dengan kromatogram standar xantorizol (Lampiran 5) yang menunjukkan puncak

xantorizol pada waktu retensi 14.820 menit, maka dapat diduga bahwa hasil

isolasi dengan modifikasi metode ini berhasil memperoleh senyawa xantorizol

(puncak kedua). Hal ini juga diperkuat dengan data pada tabel hasil LC-MS

(Lampiran 9) yang juga menunjukkan adanya dua puncak yang muncul, yaitu

puncak pertama pada waktu retensi 2.9 menit dan puncak kedua pada waktu

retensi 16.8 menit. Dapat dipastikan bahwa puncak pertama adalah xantorizol

dengan BM 218.03. Puncak kedua pada waktu retensi 16.8 menit tidak terdeteksi

(40)

bobot molekulnya, sehingga tidak dapat diduga secara pasti jenis dan struktur

senyawanya. Namun berdasarkan waktu retensi yang lebih besar dibanding waktu

retensi xantorizol, dapat diduga bahwa senyawa tersebut bersifat lebih polar

dibandingkan xantorizol.

Rendemen yang dihasilkan dari metode modifikasi ini adalah 0.140% (b/b).

Jika dibandingkan dengan rendemen verifikasi metode Hwang (2000) yang

dilakukan sebagai metode pembanding pada penelitian ini (0.064%), rendemen

yang diperoleh dari modifikasi metode ini dua kali lebih besar. Hal ini mungkin

disebabkan oleh tahapan dalam metode ini lebih sederhana, tanpa melalui tahap

kolom kromatografi yang memungkinkan kehilangan sampel cukup besar, serta

asetilasi yang dilakukan terhadap ekstrak kasar sebelum pemurnian

memungkinkan jumlah xantorizol yang terisolasi lebih besar. Namun dari segi

kemurnian hasil masih kurang, karena masih terdapat dua puncak yang terdeteksi

dari hasil KLT, kromatogram HPLC dan LC-MS, dan puncak kedua belum dapat

teridentifikasi jenis dan strukturnya karena masih memerlukan pemurnian lebih

lanjut, misalnya dengan KLT preparatif tahap II. Berdasarkan hasil KLT (Gambar

12), jarak antara spot 1 (Rf = 0.52) yang diduga merupakan senyawa xantorizol

dengan spot 2 (Rf = 0.39) cukup jauh, sehingga masih dimungkinkan untuk dapat

dipisahkan kembali dengan cara KLT preparatif. Kemurnian senyawa xantorizol

yang diperoleh dari metode modifikasi adalah 99.5%, sedangkan Hwang (2000)

(41)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan kandungan xantorizol, nomor harapan temulawak terbaik adalah

nomor harapan temulawak A. Lokasi Cileungsi dengan kondisi suhu 28-34 ºC, curah

hujan 223,97 mm/tahun, dan tanah liat berpasir merupakan lokasi yang paling sesuai

untuk budidaya temulawak dibandingkan Boyolali. Modifikasi metode ekstraksi

pelarut, asetilasi-deasetilasi yang dilanjutkan dengan KLT preparatif belum berhasil

memisahkan xantorizol dengan baik, karena masih diperoleh campuran dengan

senyawa lain yang tidak diketahui identitasnya. Rendemen yang diperoleh dari

metode modifikasi sebesar 0.140% (b/b) dengan kemurnian sebesar 99.5%.

Saran

Perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor lingkungan yang

mempengaruhi mekanisme biokimiawi pada temulawak untuk meningkatkan

produksi bioaktif xantorizol. Penelitian lanjutan untuk memurnikan fraksi hasil

metode modifikasi, misalnya dengan KLT preparatif tahap 2, sehingga diperoleh

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Aguilar MI, Delgado G, Byes R, Linaress E. 1993. Bisabolenes polycyclic diterpenoids and other constituents from the roots of Iostephane heterophylla. Phytochemistry 33:1161-1163.

Afifah E, Lentera T. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak: Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Anang SFR. 1992. Pengaruh curcuma komplek plus terhadap kerusakan hati mencit yang diinduksi dengan karbon tetraklorida [skripsi]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadaran.

Anonim. 2005. Temulawak. http://www.IPTEKnet.id/ [20 Jan 2008].

Chilwan P, Claudia G, Victor W, Ludger W, Peter P. 1993. Insecticidal constituents from four species of the zingiberaceae. Phytochemistry 34:415-419.

Darusman LK, Djauhari E, Nurcholis W. 2006. Kandungan Xanthorrhizol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Berbagai Cara Budidaya dan Masa Tanam. Di dalam: Prosiding Seminar Tumbuhan Obat Indonesia XXIX; Surakarta, 24-25 Mar 2006. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. hlm 567-580.

Darusman LK, Priosoeryanto BP, Hasanah M, Rahardjo M, Djauhari E. 2007. Potensi temulawak terstandar untuk menanggunalangi flu burung [laporan hasil penelitian]. Bogor: Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Darwis SN, Hiyah S, Madjo-Indo ABD. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingeberaceae. Bogor: Pusat Pengembangan Tanaman Industri.

[Deptan] Departemen Pertanian, Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2004. Informasi Pengembangan Agribisnis Tanaman Biofarmaka. Jakarta: Deptan.

Dickes GJ, Nicholas PV. 1976. Gas Chromathography in Food Analysis. London: Butterworths.

Direktorat Aneka Tanaman. 2000. Budidaya Tanaman Temulawak. Jakarta: Direktorat Jendral Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman.

(43)

Temulawak; Bandung, 17-18 Sep 1985. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran. hlm 186-194.

Hwang JK. 2000. Xanthorrizol: A New Bioactive Natural Compound. Seoul: Department of Biotechnology, Yonsei University.

Hwang JK. 2004. Xanthorrizol: a potential antibacterial agent from Curcuma xanthorriza against Steptococcus mutans. Planta Medica 66:196-197.

Kemala S, Susiarto, Pribadi ER, Yuhono JT, Yusron M, Mauludi L, Rahardjo M, Ferry Y, Waskito B, Nurhayati H. 2003. Studi serapan pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia [laporan teknis penelitian bagian proyek penelitian tanaman rempah dan obat APBN tahun 2003]. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Ketaren S. 1988. Penentuan komponen utama minyak atsiri temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) [tesis]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung.

Khaerana. 2007. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen yang berbeda terhadap kandungan xanthorrhizol tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lee SK et al. 2002. Suppressive effect of natural sesquiterpenoids on inducible cyclooxygenase (COX-2) and nitric oxide synthase (iNOS) activity in mouse macrophage cells. Environmental Pathology, Toxicology and Oncology 21(2): 141-148.

Lim CS et al. 2005. Antioxidant and anti-inflammatory activities of xanthorrizol in hippocampal neurons and primary cultured Microglia. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/queryfegi?cmd=Retrieve&db=pubme d&dopt=Abstract&list_uids=16273545&query_hl=l&itool=pubmed_docs um. [27 Jan 2008].

Liang OB, Widjaja Y, Asparton Y, Puspa S. 1985. Beberapa aspek isolasi, identifikasi, dan penggunaan komponen-komponen Curcuma Xanthorriza Roxb dan Curcuma domestica Val. Di dalam: Prosiding Simposium Nasional Temulawak; Bandung, 17-18 Sep 1985. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran.

Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Nakatawa N. 1992. Antioxidative Curcuminoids

From Rhizomes Of Curcuma xanthorrhiza. Phytochemistry

31:3645-3647.

(44)

Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In vitro anticandidal activity of xanthorrizol isolated from Curcuma xanthorriza Roxb. Antimicrobial Chemotheraphy; doi:10.1093/jac/dk1132.

.

Rukayadi Y, Hwang JK. 2007. In vitro antimycotic activity of xanthorrizol isolated from Curcuma xanthorriza Roxb. against opportunistic filamentous fungi. Phytotherapy Research. http://www.interscience.wiley. com/ [20 Jan 2008].

Seigler DS. 1998. Plant Secondary Metabolism. Boston: Kluwer Academic Publishers.

Setijadi T. 1985. The Identification of the Active Ingredients of Curcuma xanthorriza and Curcuma longa after extraction with supercritical carbondioxide. Bogor: PT Daya Varia Laboratoria.

Setiyono RT, Ajijah N. 2002. Evaluasi beberapa sifat agronomi plasma nutfah temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 13:7 – 12.

Setiyono RT et al. 2006. Uji multilokasi nomor-nomor harapan temulawak pada berbagai kondisi agroekologi [laporan akhir penelitian]. Bogor: Balittro.

Soediarto, Wahid, Pasril. 1985. Pembudidayaan tanaman temulawak. Di dalam: Prosiding Simposium Nasional Temulawak; Bandung, 17-18 Sep 1985. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. hlm 5-18.

Sidik, Mulyono MW, Mutadi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Jakarta: Phyto Medika.

Sinambela JM. 1985. Fitoterapia, fitostandar, dan temulawak. Di dalam: Prosiding Symposium Nasional Temulawak; Bandung, 17-18 Sep 1985. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. hlm 150-155.

Sirait M et al. (1985). Pemeriksaan kadar xanthorrhizol dalam Curcuma xanthorrhiza Roxb. Di dalam: Prosiding Simposium Nasional Temulawak; Bandung, 17-18 Sep 1985. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.

Sudjadi. 1983. Penentuan struktur senyawa organik. Bandung: Ghalia Indonesia.

Sutarno H, Atmowidjojo S, editor. 2001. Tantangan Pengembangan dan Fakta Jenis Tanaman Rempah. Bogor: Prosea Foundation.

(45)

Wahid P, Sudiarto. 1985. Pembudidayaan tanaman temulawak. Di dalam: Prosiding Symposium Nasional Temulawak; tanggal 17-18 September 1985; Bandung. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. hlm 5-18.

(46)
(47)

Lampiran 1 Diagram Alir Isolasi Xantorizol

Maserasi MeOH (75%, v/v)

Ekstrak cair

+ Na2SO4anhidrat ;disaring dengan Whatman

evaporasi, 60oC

Ekstrak kasar

Fraksinasi dengan EtOAc

Fraksi etil asetat

sampel temulawak terpilih

diaduk 6 jam; didiamkan 24 jam;

Maserasi EtOH (96%, v/v)

Kromatografi kolom I

Fraksi xantorizol (Rf=standar)

asetilasi

asetilasi

KLT Preparatif

Fraksi xantorizol terasetilasi

deasetilasi

Kromatografi kolom II

xantorizol

a. Hwang (2000)

b. Metode modifikasi

Keterangan:

Tulisan warna biru : metode Hwang (2000) Tulisan warna merah : metode modifikasi

(48)

Lampiran 2 Analisis statistika pengaruh lokasi tanam dan nomor harapan pada kandungan xantorizol

N

Lokasi B 6

C 6

Nomor Harapan A 6

F 6

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel

Model .000(a) 3 8.23E-005 8.570 .007

Intersep .011 1 .011 1191.295 .000

Lokasi_tanam .000 1 .000 15.301 .004

Nomor_harapan 8.32E-005 1 8.32E-005 8.661 .019

Lokasi_tanam *

Nomor_harapan 1.68E-005 1 1.68E-005 1.749 .223

Galat 7.69E-005 8 9.61E-006

Total .012 12

Signifikan karena lebih kecil dari 0.05, jadi lokasi tanam dan nomor harapan berpengaruh pada kandungan xantorizol

Tidak signifikan karena lebih

(49)

Lampiran 3 Contoh kromatogram HPLC pemilihan sampel berdasarkan kadar xantorizol tertinggi dan contoh perhitungannya

Contoh sampel temulawak Cileungsi nomor harapan F ulangan 1:

Cara perhitungan:

konsentrasi sampel = xkonsentrasistdr

stdr area

sampel area

kadar xantorizol =

sampel bobot

fp x sampel volume

x sampel i

konsentras

Krmatogram HPLC sampel:

(50)

Lanjutan lampiran 3

Kromatogram standar :

konsentrasi sampel = x200 ppm

19792738 7180918

= 72.56 ppm

kadar xantorizol =

g mg x g ml L x x ml x ppm / 1000 0865 .

Gambar

Gambar 1  (a) Tanaman temulawak dan (b) irisan rimpang temulawak
Tabel 2  Kadar minyak atsiri rimpang temulawak
Gambar 2  Struktur xantorizol (Hwang 2000)
Tabel 4  Kandungan xantorizol keempat jenis sampel temulawak
+7

Referensi

Dokumen terkait

hasil belajar kemudian dipraktekkan. Dengan berdasarkan pada pengertian keterampilan di atas. maka yang dimaksud dengan keterampi1an siswa dalam melakukan. praktikum

Melalui kegiatan ini, diharapkan masyarakat Kelurahan Kalisegoro Kecamatan Gunungpati Kota Semarang, khususnya ibu rumah tangganya dapat meningkatkan kepedulian dalam

Dari tujuan penelitian yaitu : untuk mengidentifikasi karakteristik konsumen jamu Dayang Sumbi yang meliputi aspek : sakit yang diderita, jenis kelamin, daerah asal,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui senyawa aktif hasil eksplorasi ekstrak daun Putri malu ( Mimosa pudica Linn.) yang dapat mempengaruhi aktivitas protease

Menegakkan diagnosis infeksi BV harus ada tiga dari empat kriteria sebagai berikut, yaitu : (1) adanya clue cells pada pemeriksaan mikroskopik sediaan basah, (2) adanya bau amis

Alasan pengambilan faktor-faktor tersebut dalam penelitian ini adalah bahwa tingkat pertumbuhan penjualan berpengaruh terhadap struktur keuangan karena semakin tinggi

kebutuhan lahan maka dapat diketahui status daya dukung lahan suatu wilayah.. apakah surplus atau

Hasil dari penelitian ini didapat (1) Semakin kecil level keabuan yang ditetapkan pada kerapatan histogram akan memperngaruhi hasil segmentasi dengan berkurangnya noise yang