PENGARUH PENGETAHUAN DAN PELATIHAN KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA BUMI TERHADAP KESIAPSIAGAAN TENAGA KESEHATAN DI RSU BUNDA THAMRIN
KOTA MEDAN TAHUN 2013
TESIS
Oleh HELY 077035004/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PENGETAHUAN DAN PELATIHAN KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA BUMI TERHADAP KESIAPSIAGAAN TENAGA KESEHATAN DI RSU BUNDA THAMRIN
KOTA MEDAN TAHUN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HELY 077035004/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Telah diuji
Pada Tanggal : 8 Pebruari 2013
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Dr. Drs. Muslich Lutfi, M.B.A, I.D.S Anggota : 1. Suherman, S.K.M, M.Si
PERNYATAAN
PENGARUH PENGETAHUAN DAN PELATIHAN KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA BUMI TERHADAP
TENAGA KESEHATAN DI RSU BUNDA THAMRIN KOTA MEDAN TAHUN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, April 2014
Hely
ABSTRAK
Ancaman gempa bumi mendapat perhatian yang luas, karena sifatnya mendadak, dapat diprediksi, namun sulit ditentukan waktu terjadinya. Pelayanan kesehatan pada saat bencana merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit. Kesiapsiagaan sumber daya manusia kesehatan adalah merupakan bentuk produktivitas sumber daya manusia kesehatan, sikap mental sumber daya manusia kesehatan dalam mengantisipasi kejadian bencana. Mitigasi struktural di rumah sakit direncanakan untuk meningkatkan kesinambungan struktur yang ada.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis sumber daya manusia kesehatan (pengetahuan dan pelatihan) terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana gempa di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Kota Medan tahun 2013. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan yang ada di RSU Bunda Thamrin Medan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 81 orang. Analisis data dilakukan dengan uji statistik logistic regression.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pengetahuan dan pelatihan memiliki hubungan dan pengaruh terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana gempa di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin, dengan pelatihan sebagai variabel dominannya.
Diperlukan peningkatan pengetahuan pengetahuan petugas kesehatan terkait kesiapsiagaan mereka menghadapi bencana gempa dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelatihan bencana gempa, yaitu dengan pelatihan yang menggunakan media yang menarik, pemateri yang berwawasan dan meningkatkan frekuensi pelatihan secara berkala, minimal setahun sekali. Pentingnya peningkatan kualitas dengan memanfaatkan media poster, booklet atau banner dan kuantitas dengan meningkatkan frekuensi penyebaran informasi-informasi kedaruratan bencana gempa. Pihak RSU Bunda Thamrin bekerja sama dengan lembaga bencana untuk memberikan informasi dan pelatihan secara berkala.
ABSTRACT
Earthquake threat received extensive attention, because it is sudden, unpredictable, and difficult to determine the time of occurrence. Health services in times of disaster is one very important factor to prevent death, disability and disease incidence. Preparedness of health human resources is a form of health human resources productivity, the mental attitude of health human resources in anticipation of disaster. Structural mitigation in hospitals planned to improve the sustainability of the existing structure.
The purpose of this study was to analyze the health human resources (knowledge and training) to the earthquake disaster preparedness in Bunda Thamrin General Hospital Medan in 2013. This study was an analytical cross-sectional study. The population of this study are all health workers in the Bunda Thamrin Hospital. The sample in this study amounted to 81 people. Data analysis was performed with logistic regression statistical tests.
Multivariate analysis showed that the knowledge and training have a relationship and influence on earthquake disaster preparedness in the Bunda Thamrin General Hospital, with training as a dominant variable.
Required increase in knowledge related to health workers knowledge of their preparedness to face earthquake with improving the quality and quantity of training earthquake. The importance of improving the quality and quantity of information dissemination especially earthquake disaster emergency in Bunda Thamrin Hospital to improve the knowledge and preparedness of health workers in the face of disaster emergency. Bunda Thamrin Hospitals parties to cooperate with disaster agencies are there to provide information and training on a regular basis so that the preparedness of health workers at the hospital created the fullest .
Required increase in knowledge related to health workers knowledge of their preparedness to face earthquake with improving the quality and quantity of training earthquake, by using interested media training, insightful speakers and increase the frequency of periodic training, at least once a year. The importance of quality improvement by utilizing media posters, banners and booklets or quantity by increasing the frequency of information dissemination emergency earthquake. Bunda Thamrin General Hospitals parties to cooperate with disaster agencies to provide information and training on a regular basis.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah YME, karena atas segala
karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul ” Pengaruh Pengetahuan dan Pelatihan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Gempa Bumi Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan terhadap di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Kota Medan Tahun 2013”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen
Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik
tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu. DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.
5. Dr. Drs. Muslich Lutfi, M.B.A, I.D.S selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
penuh perhatian, kesabaran, ketelitian dalam memberikan bimbingan dan arahan
serta meluangkan waktu sejak penyusunan proposal hingga selesai tesis ini.
6. Suherman, S.K.M, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang penuh
perhatian, kesabaran, ketelitian dalam memberikan bimbingan dan arahan serta
meluangkan waktu sejak penyusunan proposal hingga selesai tesis ini.
7. Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, S.E., M.Si selaku Ketua Komisi Penguji yang telah
memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
8. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku Anggota Komisi Penguji yang telah
memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
9. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas / Epidemiologi,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.
10. Kepala Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan yang telah memberikan izin
untuk melakukan penelitian dan seluruh staf rumah sakit yang telah membantu
saya dalam melakukan penelitian ini.
11. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman Minat Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang selama ini selalu saling
memberi semangat, menjaga keharmonisan, kekompakan demi kelancaran
perkuliahan sampai tugas akhir selesai dan memberi dukungan kepada penulis
agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.
Hanya Tuhan YME yang senantiasa dapat memberikan balasan atas kebaikan
yang telah diperbuat. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.
Medan, April 2014 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Hely, lahir di Medan pada tanggal 29 desember 1969, anak
ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Widjaja dan Ibunda Wartini.
Pendidikan formal penulis dimulai dari Sekolah Dasar di SD Swasta
Methodist pada tahun 1979-1982, Sekolah lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Swasta
Methodist pada tahun 1982-1985, Sekolah lanjutan Tingkat Atas di SLTA Swasta
Methodist pada tahun 1985-1988. Dan Fakultas Kedokteran Methodist pada tahun
1988-1994
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGENTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 ... Latar Belakang ... 1
1.2 ... Permasalahan ... 9
1.3 ... Tujuan Penelitian ... ` 9
1.4 ... Hipot esis ... 9
1.5 ... Manf aat Penelitian ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Pengertian Bencana ... 11
2.2 Pengertian Gempa ... 13
2.2.1 Penyebab terjadinya Gempa Bumi ... 14
2.2.2 Gambaran Bencana Gempa di Indonesia ... 15
2.3 Sumber Daya Manusia Kesehatan ... 15
2.3.1 Pengetahuan ... 18
2.3.2 Pelatihan ... 20
2.4 Kesiapsiagaan dalam Penanggulangan Bencana Gempa ... 23
2.5 Rumah Sakit ... 26
2.6 Landasan Teori ... 31
2.7 Kerangka Konsep ... 33
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 35
3.1 Jenis Penelitian ... 35
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
3.3 Populasi dan Sampel ... 35
3.5 Variabel dan Defenisi Operasional ... 36
3.6 Aspek Pengukuran ... 38
3.7 Metode Analisis Data ... 38
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 41
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
4.1.1 Visi, Misi dan Tujuan ... 41
4.1.2 Fasilitas dan Pelayanan ... 42
4.2 Analisis Univariat ... 43
4.3 Analisis Bivariat ... 51
4.4 Analisis Multivariat ... 52
BAB 5. PEMBAHASAN ... 55
5.1 Hubungan Pengetahuan dan Pelatihan dengan Kesiapsiagaan ... 55
5.1.1 Hubungan Pengetahuan dengan Kesiapsiagaan ... 55
5.1.2 Hubungan Pelatihan dengan Kesiapsiagaan ... 56
5.2 Pengaruh Pengetahuan dan Pelatihan terhadap Kesiapsiagaan ... 58
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 61
6.1 Kesimpulan ... 61
6.2 Saran ... 61
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman 3.1 Nama Variabel, Cara dan Alat Ukur, Kriteria Penilaian
Indikator dan Kategori Variabel ... 37
4.1 Karakteristik Responden Petugas Kesehatan di Rumah Sakit
Umum Bunda Thamrin Medan ... 43
4.2 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan Mengenai Pengetahuan Responden tentang Kesiapsiagaan Bencana Gempa pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit
Umum Bunda Thamrin Medan ... 44
4.3 Distribusi Pengetahuan Responden tentang Kesiapsiagaan Bencana Gempa pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit
Umum Bunda Thamrin Medan ... 46
4.4 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan Mengenai Pelatihan tentang Kesiapsiagaan Bencana Gempa pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Umum Bunda
Thamrin Medan ... 46
4.5 Distribusi Pelatihan tentang Kesiapsiagaan Bencana Gempa pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Umum Bunda
Thamrin Medan ... 47
4.6 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan Mengenai Kesiapsiagaan Bencana Gempa pada Petugas
Kesehatan di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 48
4.7 Distribusi Kesiapsiagaan Bencana Gempa pada Petugas
Kesehatan di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 49
4.8 Tabulasi Silang Pengetahuan dan Pelatihan terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Gempa di RSU
Bunda Thamrin ... 50
4.9 Identifikasi Variabel Dominan Pengetahuan dan Pelatihan terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Gempa di
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
Ancaman gempa bumi mendapat perhatian yang luas, karena sifatnya mendadak, dapat diprediksi, namun sulit ditentukan waktu terjadinya. Pelayanan kesehatan pada saat bencana merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit. Kesiapsiagaan sumber daya manusia kesehatan adalah merupakan bentuk produktivitas sumber daya manusia kesehatan, sikap mental sumber daya manusia kesehatan dalam mengantisipasi kejadian bencana. Mitigasi struktural di rumah sakit direncanakan untuk meningkatkan kesinambungan struktur yang ada.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis sumber daya manusia kesehatan (pengetahuan dan pelatihan) terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana gempa di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Kota Medan tahun 2013. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan yang ada di RSU Bunda Thamrin Medan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 81 orang. Analisis data dilakukan dengan uji statistik logistic regression.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pengetahuan dan pelatihan memiliki hubungan dan pengaruh terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana gempa di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin, dengan pelatihan sebagai variabel dominannya.
Diperlukan peningkatan pengetahuan pengetahuan petugas kesehatan terkait kesiapsiagaan mereka menghadapi bencana gempa dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelatihan bencana gempa, yaitu dengan pelatihan yang menggunakan media yang menarik, pemateri yang berwawasan dan meningkatkan frekuensi pelatihan secara berkala, minimal setahun sekali. Pentingnya peningkatan kualitas dengan memanfaatkan media poster, booklet atau banner dan kuantitas dengan meningkatkan frekuensi penyebaran informasi-informasi kedaruratan bencana gempa. Pihak RSU Bunda Thamrin bekerja sama dengan lembaga bencana untuk memberikan informasi dan pelatihan secara berkala.
ABSTRACT
Earthquake threat received extensive attention, because it is sudden, unpredictable, and difficult to determine the time of occurrence. Health services in times of disaster is one very important factor to prevent death, disability and disease incidence. Preparedness of health human resources is a form of health human resources productivity, the mental attitude of health human resources in anticipation of disaster. Structural mitigation in hospitals planned to improve the sustainability of the existing structure.
The purpose of this study was to analyze the health human resources (knowledge and training) to the earthquake disaster preparedness in Bunda Thamrin General Hospital Medan in 2013. This study was an analytical cross-sectional study. The population of this study are all health workers in the Bunda Thamrin Hospital. The sample in this study amounted to 81 people. Data analysis was performed with logistic regression statistical tests.
Multivariate analysis showed that the knowledge and training have a relationship and influence on earthquake disaster preparedness in the Bunda Thamrin General Hospital, with training as a dominant variable.
Required increase in knowledge related to health workers knowledge of their preparedness to face earthquake with improving the quality and quantity of training earthquake. The importance of improving the quality and quantity of information dissemination especially earthquake disaster emergency in Bunda Thamrin Hospital to improve the knowledge and preparedness of health workers in the face of disaster emergency. Bunda Thamrin Hospitals parties to cooperate with disaster agencies are there to provide information and training on a regular basis so that the preparedness of health workers at the hospital created the fullest .
Required increase in knowledge related to health workers knowledge of their preparedness to face earthquake with improving the quality and quantity of training earthquake, by using interested media training, insightful speakers and increase the frequency of periodic training, at least once a year. The importance of quality improvement by utilizing media posters, banners and booklets or quantity by increasing the frequency of information dissemination emergency earthquake. Bunda Thamrin General Hospitals parties to cooperate with disaster agencies to provide information and training on a regular basis.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak pada wilayah
yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor, gempa bumi,
letusan gunung api, tsunami, gempa, dan lain-lain. Selain bencana alam tersebut,
akibat dari hasil pembangunan dan adanya sosiokultural yang multi dimensi,
Indonesia juga rawan terhadap bencana non alam maupun sosial seperti
kerusuhan sosial maupun politik, kecelakaan transportasi, kecelakaan industri
dan kejadian luar biasa akibat wabah penyakit menular (Depkes, 2007).
Ancaman gempa bumi mendapat perhatian yang luas, karena sifatnya
mendadak, dapat diprediksi, namun sulit ditentukan waktu terjadinya. Prediksi
didasarkan atas pantauan aktivitas seismik, catatan sejarah dan pengamatan. Data
pada kejadian gempabumi Aceh-Sumatera Utara menunjukkan, (1) penanganan krisis
kesehatan terhadap korban 120.000 orang meninggal, 93.088 orang hilang, 4.632
orang luka-luka; (2) pengerahan dan penggunaan tenaga militer asing sejumlah 5.600
orang, TNI 6.200 orang, 195 LSM internasional, dan 38 LSM nasional, 15 LSM PBB
(Depkes, 2007 dan Djalal, 2008).
Provinsi Sumatera Utara, merupakan wilayah yang berpotensi bencana gempa
bumi yang dapat menimbulkan krisis kesehatan, terutama pada kota-kota yang
Gunung Sitoli, dll pemukiman penduduk di lereng bukit, di pantai barat dan di
sebelah barat pegunungan Bukit Barisan. Hal ini jika diperhatikan menurut beberapa
ahli (Mulyadi, dkk, 2006; Tarigan, 2006; Menneg Ristek, 2007; Susanto, 2006 dan
Tarigan, 2006) dari (1) kejadian di Provinsi Sumatera Utara, yang tercatat sejak tahun
1843 hingga tahun 2005 ada 15 kali kejadian besar; (2) terletak pada jalur patahan
atau Sesar Besar Sumatera atau Sesar Semangko yang aktif, merupakan sesar geser
jenis dekstral, berasosiasi dengan zona tumbukan di sebelah barat Pulau Sumatera,
memanjang mulai dari Aceh melalui Tarutung, sebelah barat Danau Toba, Padang,
wilayah sekitar Kerinci, Bengkulu sampai Lampung dan berasosiasi dengan
munculnya pegunungan Bukit Barisan.
Kejadian bencana selalu mempunyai dampak yang merugikan, seperti
rusaknya sarana dan prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran,
sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain-lain). Sering pula kejadian
bencana dapat menimbulkan masalah kesehatan dengan jatuhnya korban jiwa seperti
meninggal, luka-luka, meningkatnya kasus penyakit menular, menurunnya status gizi
masyarakat dan tidak jarang menimbulkan trauma kejiwaan bagi penduduk
yang mengalaminya. Selain itu dampak kejadian bencana dapat pula
mengakibatkan terjadinya arus pengungsian penduduk ke lokasi-lokasi yang dianggap
aman. Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah kesehatan baru bagi wilayah
yang menjadi tempat penampungan pengungsi, mulai dari munculnya kasus
penyakit menular, masalah gizi, masalah penyediaan fasilitas pelayanan
Penanggulangan bencana terdapat tiga tahap penanggulangan bencana yaitu
pada pra bencana (sebelum bencana), saat bencana, dan pasca bencana (setelah
bencana). Di setiap tahap diperlukan sumber daya yang memadai dan dapat
difungsikan khususnya pada saat bencana terjadi, Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana gempa tentunya, sumber
daya manusia menjadi hal yang sangat penting yang merupakan pelaksana teknis
atau pelaksana kegiatan operasional saat terjadi bencana maupun pasca bencana.
Pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana telah dijelaskan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam
situasi terdapat potensi terjadi bencana adalah mencakup kesiapsiagaan,
peringatan dini dan mitigasi bencana (BNPB, 2007). Kesiapsiagaan merupakan
bahagian kegiatan pada tahap pra bencana yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana yang akan terjadi. Kesiapsiagaan dimaksud adalah kesiapsiagaan
sumber daya manusia. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan bahwa sumber
daya manusia akan selalu mempunyai kemampuan dalam melakukan upaya
penanggulangan bencana secara cepat dan tepat.
Pelayanan kesehatan pada saat bencana merupakan salah satu faktor
yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan
kejadian penyakit. Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam upaya
penanggulangan masalah kesehatan di daerah bencana termasuk di rumah sakit
penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana. Masih ada kesan di
masyarakat tentang keterlambatan petugas dalam merespon setiap kejadian bencana.
Kesiapsiagaan sumber daya manusia kesehatan adalah merupakan bentuk
produktivitas sumber daya manusia kesehatan, sikap mental sumber daya manusia
kesehatan dalam mengantisipasi kejadian bencana (tahap pra bencana). Individu yang
produktif, Gilmore dan Erich Froom dalam Sedarmayanti (2009), yang menyatakan
produktivitas sumber daya manusia kesehatan yang mempunyai tindakan
konstruktif, percaya pada diri sendiri, bertanggung jawab, memiliki rasa cinta
terhadap pekerjaan, mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang berubah-ubah, mempunyai kontribusi positif terhadap
lingkungannya (kreatif, inovatif), memiliki kekuatan untuk mewujudkan
potensinya.
Timpe dalam Sedarmayanti (2009), mengungkapkan tentang ciri umum
tenaga kerja yang produktif adalah cerdas, belajar cepat, kompeten secara
profesional/teknis, kreatif dan inovatif, memahami pekerjaan, menggunakan logika,
bekerja efisien, selalu mencari perbaikan, dianggap bernilai oleh pengawasnya,
selalu meningkatkan diri.
Mekanisme penanggulangan bencana pada kesiapsiagaan sumber daya
manusia kesehatan merupakan salah satu upaya peningkatan produktivitas
sumber daya manusia kesehatan yang dilakukan sebelum kejadian bencana. Oleh
kesehatan. Untuk meningkatkan kualitas non fisik seseorang diperlukan upaya
pendidikan dan pelatihan (Sedarmayanti, 2009).
Keterampilan adalah kemampuan dan penguasaan teknis operasional
mengenai bidang tertentu, yang diperoleh melalui proses belajar dan berlatih.
Pelatihan yang terkait dengan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana
ada yang bersifat manajemen dan ada yang bersifat teknis termasuk pula simulasi
atau gladi. Dengan keterampilan yang dimiliki seorang pegawai diharapkan mampu
menyelesaikan pekerjaan secara produktif (Sulistyani, 2003). Perbaikan dan
peningkatan perilaku kerja melalui pelatihan bagi sumber daya manusia kesehatan
sangat diperlukan agar lebih mampu melaksanakan tugas-tugasnya dan diharapkan
lebih berhasil dalam upaya pelaksanaan program kerja di unit kerjanya.
Sumber daya manusia kesehatan adalah seseorang yang bekerja secara aktif di
bidang kesehatan baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak,
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya
kesehatan (Depkes, 2006). Sumber daya manusia kesehatan adalah tenaga kesehatan
profesi termasuk tenaga kesehatan strategis dan tenaga kesehatan non profesi serta
tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan
dirinya seperti dalam upaya dan manajemen kesehatan (Depkes, 2009).
Rumah sakit memiliki fungsi kritis dalam manajemen bencana, demikian yang
dikatakan Robert Powers (Pinkowski, 2008). Konferensi PBB tentang Pengurangan
Bencana menegaskan bahwa rumah sakit wajib mengoperasikan beberapa fasilitas
Mereka memiliki fungsi kritis yang tidak dimiliki bisnis lain. Artinya, jika mereka
gagal untuk berfungsi selama bencana, mereka akan memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap dampak bencana di masyarakat.
Rumah sakit dalam kondisi normal saat ini sudah terkendala dengan
kurangnya fasilitas dan sarana-prasarana. Oleh karena itu untuk dapat beroperasi
secara baik pada saat bencana, pertama-tama yang harus dilakukan adalah
memberikan mitigasi, perencanaan dan kesiapan prioritas yang mereka butuhkan,
baik menyangkut peralatan, keahlian staf pelaksana, dana untuk mengimbangi biaya
selama penanganan bencana serta kewenangan yang diberikan kepada rumah sakit
untuk melaksanakan implementasi program penanggulangan bencana. Perencanaan
untuk lonjakan kapasitas juga penting dalam rangka mengantisipasi masuknya pasien
ke rumah sakit baik segera setelah bencana atau dalam kasus bencana biologis, ketika
mulai terjadi gejala pada korban.
Dalam konteks perencanaan penanganan bencana oleh rumah sakit, Robert
Powers menekankan perlunya fokus terhadap beberapa item untuk memastikan
bahwa rumah sakit benar siap dalam kegiatan-kegiatan mitigasi seperti perlunya
keberlanjutan rumah sakit tanpa bantuan dari luar selama 72 jam pasca-bencana;
waktu standar yang diperkirakan untuk memperoleh bantuan dari luar. Upaya mitigasi
Rumah Sakit dimulai dengan penilaian kerentanan bahaya. Hal ini memungkinkan
rumah sakit untuk mendapatkan kesiapan dengan biaya yang rendah. Rumah sakit
tidak perlu memiliki rencana yang berbeda untuk setiap jenis bencana, hanya perlu
juga untuk menyederhanakan respon dimana setiap staf diajarkan hanya salah satu
cara untuk tampil saat bencana dan tidak memiliki waktu untuk berhenti dan
membuat penentuan mana cara untuk merespon. Dengan demikian, kebingungan
berkurang dan ada penurunan risiko staf melakukan prosedur yang salah pada kondisi
bencana tersebut.
Rumah sakit memiliki dua cara dalam merespon bencana, yaitu secara
struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural di rumah sakit direncanakan
untuk meningkatkan kesinambungan struktur yang ada melalui langkah-langkah
seperti perencanaan bangunan rumah sakit tahan gempa untuk membatasi kerusakan
pada fasilitas saat gempa bumi atau merancang sebuah pintu masuk gawat darurat
yang memiliki kemampuan untuk dengan mudah diperluas dan menangani masuknya
sebagian besar pasien yang tiba dengan kendaraan pribadi saat bencana. Sementara
itu mitigasi non struktural oleh rumah sakit dapat dilakukan dengan
pengaturan-pengaturan peran setiap orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan saat bencana.
Menurut studi yang pernah dilakukan oleh perawat kesehatan di Department of Health kota New York tahun 2002 yang mengungkapkan bahwa 90% perawat- perawat. Pada saat kejadian bencana, banyak petugas kesehatan yang tidak
bersedia datang kerja. Mereka khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya. Di
Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan pada saat terjadi gempa di Kepulauan
Sabang pada tahun 2012 yang terjadi hampir semua perawat berhamburan keluar
Hal ini menunjukkan kurangnya pengertian betapa pentingnya peranan tenaga
kesehatan pada masa bencana. Oleh sebab itu, program pelatihan kesiapsiagaan
kesehatan harus lebih efektif dan harus diarahkan untuk menghilangkan
hambatan-hambatan tersebut diatas. Pelatihan ini bekerjasama dalam ruang lingkup pendidikan
yang akan menghasilkan praktek pembelajaran yang baik untuk orang dewasa
(Parker et al., 2005).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, kesiapsiagaan
merupakan bentuk operasional penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
situasi terdapat potensi bencana dengan salah satu bentuk kegiatannya yang terkait
dengan sumber daya manusia adalah pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan
gladi tentang mekanisme tanggap darurat. Dalam hal ini, kesiapsiagaan dimaksud
adalah termasuk kesiapsiagaan sumber daya manusia yang harus dipastikan
mempunyai kemampuan dalam melakukan upaya penanggulangan bencana secara
cepat dan tepat karena merupakan pelaksana teknik atau pelaksana kegiatan
operasional saat terjadi bencana maupun pasca bencana.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk mempelajari gambaran
kesiapsiagaan sumber daya manusia kesehatan di unit kerja terkait penanggulangan
masalah kesehatan akibat bencana di lingkungan RSU Bunda Thamrin Medan dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapsiagaan sumber daya manusia
kesehatannya. Namun, mengingat adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki
manusia kesehatan dalam penanggulangan bencana gempa bumi di RSU Bunda
Thamrin Kota Medan Tahun 2013.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pengetahuan dan pelatihan kesiapsiagaan
penanggulangan bencana gempa terhadap kesiapsiagaan tenaga kesehatan di Rumah
Sakit Umum Bunda Thamrin Kota Medan tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui dan menganalisis pengaruh pengetahuan dan pelatihan
kesiapsiagaan penanggulangan bencana gempa terhadap kesiapsiagaan tenaga
kesehatan di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Kota Medan tahun 2013
1.4 Hipotesis
Ada pengaruh pengetahuan dan pelatihan kesiapsiagaan penanggulangan
bencana gempa terhadap kesiapsiagaan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum
Bunda Thamrin Kota Medan tahun 2013
1.5. Manfaat Penelitian
1. Untuk menyelesaikan studi di program pasca sarjana Fakultas Kesehatan
2. Sebagai bahan masukan atau informasi bagi pengelola program terkait
penanggulangan bencana gempa di lingkungan RSU Bunda Thamrin Medan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Bencana
Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 pasal 1
Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis (BNPB, 2007).
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi
dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror
(BNPB, 2007).
Bila dilihat dari faktor geografis, geologis, hidrologis dan demografis,
Indonesia merupakan negara yang wilayahnya rawan terhadap bencana, baik bencana
bencana gempa bumi maupun tsunami karena wilayahnya terletak pada pertemuan
empat lempeng tektonik di dunia, yaitu lempeng benua Asia dan benua Australia,
serta lempeng samudera Hindia dan samudera Pasifik. Indonesia juga rawan terhadap
bencana letusan gunung api, mengingat Indonesia memiliki 129 gunung berapi aktif
yang dapat meletus kapan saja. Curah hujan yang ekstrem, perbukitan dengan lereng
sedang hingga terjal, dengan jenis tanah lolos air tinggi dan kurangnya
vegetasi berakar kuat dan dalam juga merupakan faktor-faktor kerentanan lainnya
terhadap bencana gempa maupun gerakan/tanah longsor. Selain itu, dari aspek
demografis, keanekaragaman ras, budaya dan agama sering jadi pemicu konflik sosial
yang terjadi di Indonesia (Depkes, 2009).
Secara geografis Indonesia merupakan kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,
lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur
Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara-Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik
tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut
sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa
bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan salah satu Negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia,
lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).
Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat
sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering
mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan
oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah relatif aktif
lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600-2000 terdapat 105 kejadian
tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, sembilan
persen oleh letusan gunung berapi dan satu persen oleh tanah longsor (Latief dkk.,
2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana
tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan
selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian]aya
dan 28elati seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah yang paling
rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun 1600-2000, di daerah ini telah teIjadi 32
tsunami yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya
gunung berapi di bawah laut.
2.2 Pengertian Gempa
Gempa bumi adalah getaran yang terjadi permukaan bumi. Gempa bumi biasa
disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Kata gempa bumi juga
digunakan untuk menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut.
Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan
yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. Gempa
kerusakan apa-apa. Gempa bumi kecil juga dapat mengiringi gempa bumi besar, dan
dapat terjadi sesudah, sebelum, atau selepas gempa bumi besar tersebut.
Gempa bumi diukur dengan menggunakan alat yang dinamakan Pengukur
Richter. Gempa bumi dibagi ke dalam skala dari satu hingga sembilan berdasarkan
ukurannya (skala Richter). Gempa bumi juga dapat diukur dengan menggunakan
ukuran Skala Mercalli.
2.2.1 Penyebab terjadinya Gempa Bumi
Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan
oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan
itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut
tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itu lah gempa bumi
akan terjadi. Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan lempengan
tersebut. Gempa bumi yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan
kompresional dan translasional. Gempa bumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi
karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi fase pada
kedalaman lebih dari 600 km. Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena
pergerakan magma di dalam gunung berapi. Gempa bumi seperti itu dapat menjadi
gejala akan terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa gempa bumi (jarang namun)
juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam, seperti
Dam Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) juga dapat terjadi karena
injeksi atau ekstraksi cairan dari/ke dalam bumi (contoh. pada beberapa pembangkit
dapat terjadi dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan
memonitor tes rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang
disebabkan oleh manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi.
2.2.2 Gambaran Bencana Gempa di Indonesia
BAKORNAS PB telah mengumpulkan dan mempublikasikan data bencana
domestik baik bencana alam maupun bukan alam. Berdasarkan publikasi pertama
dengan judul "Data Bencana Indonesia Tahun 2002-2005 (Data Bencana Indonesia,
tahun 2002-2005)", terdapat lebih dari 2.000 bencana di Indonesia pada tahun antara
tahun 2002 dan 2005, dengan 743 banjir (35% dari jumlah total), 615 kekeringan
(28% dari jumlah total), 222 longsor (l0% dari jumlah total), dan 217 kebakaran
(9,9% dari jumlah total). Jumlah korban yang sangat besar dalam tahun-tahun
tersebut yakni sejumlah 165,.945 korban jiwa (97 % dari jumlah total) dari gempa
bumi dan tsunami, diikuti jumlah 2.223 (29 % dari jumlah total) disebabkan konflik
sosial. Di sisi lain, bencana membuat sebagian orang kehilangan rumah mereka, yang
menyebabkan jumlah korban yang mengungsi sebanyak 2.665.697 jiwa (65% dari
jumlah total). Buku ini menghitung kejadian sebagai bencana ketika berdampak pada
kematian dan kerugian material.
2.3 Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sumber daya manusia merupakan satu-satunya sumber daya yang memiliki
akal perasaan, keinginan, keterampilan, pengetahuan, dorongan, daya dan karya.
dalam mencapai tujuan. Werther dan Davis, dalam kutipan Sutrisno, 2009, sumber
daya manusia adalah pegawai yang siap, mampu, dan siaga dalam mencapai tujuan-
tujuan organisasi. Bagi organisasi, ada tiga sumber daya strategis yang mutlak harus
dimiliki untuk dapat menjadi sebuah organisasi yang unggul yaitu financial resources
(dana/modal), human resources (modal insani), informational resources (informasi-
informasi untuk membuat keputusan strategis ataupun taktis). Sumber daya
manusia/modal insani yang mempunyai kualitas yang sesuai dengan organisasi
merupakan sumber daya yang paling sulit dikelola dan diperoleh (Sutrisno, 2009).
Sumber daya manusia kesehatan adalah seseorang yang bekerja secara aktif
di bidang kesehatan baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak,
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya
kesehatan (Depkes, 2006). Sumber daya manusia kesehatan adalah tenaga kesehatan
profesi termasuk tenaga kesehatan strategis dan tenaga kesehatan non profesi serta
tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan
dirinya seperti dalam upaya dan manajemen kesehatan (Depkes, 2009).
Sumber daya manusia adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun
bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk
kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh
manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan
institusi/organisasi (Yuniarsih, 2008). Sumber daya manusia merupakan daya (tenaga
manusia atau man power disingkat SDM merupakan kemampuan yang dimiliki setiap
manusia. Sumber daya manusia terdiri dari daya pikir dan daya fisik setiap manusia.
Tegasnya kemampuan setiap manusia ditentukan oleh daya pikir dan daya
fisiknya (Hasibuan, 2008). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan penanggulangan
masalah kesehatan akibat bencana gempa tentunya, sumber daya manusia kesehatan
menjadi hal yang sangat penting yang merupakan pelaksana teknik atau pelaksana
kegiatan operasional saat terjadi bencana maupun pasca bencana.
Dalam Kepmenkes RI Nomor 876/Menkes/SK/XI/2006 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Penanganan Krisis dan Masalah Kesehatan Lain, disebutkan
bahwa penanganan krisis dan masalah kesehatan lain lebih menitikberatkan kepada
upaya sebelum terjadinya bencana yaitu upaya pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan yang dimaksudkan adalah kesiapsiagaan sumber daya
sebelum menghadapi masalah kesehatan yang timbul akibat terjadinya bencana,
termasuk bencana gempa. Jadi kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan pada
tahap pra bencana yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana yang akan terjadi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, kesiapsiagaan
merupakan bentuk operasional penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
situasi terdapat potensi bencana dengan salah satu bentuk kegiatannya yang terkait
dengan sumber daya manusia adalah :
1. Pengorganisasian,
3. Pelatihan dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat.
2.3.1 Pengetahuan
A. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2007).
Proses yang didasari oleh pengetahuan kesadaran dan sikap yang positif,
maka perilaku tersebut akan bersikap langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tersebut
tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama
(Notoatmodjo, 2003).
B. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima.
Oleh sebab itu tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain:
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan benar tentang objek
yang diketahui, dan dapatmenginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan
menyebutkan cotoh menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajari, misalnya dapat menjelaskan mengapa harus datang ke Posyandu
(Notoatmodjo, 2003).
3) Analisis (analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih
ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan (Notoatmodjo, 2003).
4) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan
aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip
(Notoatmodjo, 2003).
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis menunujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian di
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat
menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada (Notoatmodjo,
2003).
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian ini berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada
(Notoatmodjo, 2003).
2.3.2 Pelatihan
Menurut Mathis (2002), Pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang
mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh
karena itu, proses ini terikat dengan berbagai tujuan organisasi, pelatihan dapat
dipandang secara sempit maupun luas. Secara terbatas, pelatihan menyediakan para
pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan
yang digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Terkadang ada batasan yang ditarik
antara pelatihan dengan pengembangan, dengan pengembangan yang bersifat lebih
luas dalam cakupan serta memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan
baru yang berguna baik bagi pekerjaannya saat ini maupun di masa mendatang.
Menurut Payaman (2005) mendefinisikan pelatihan merupakan bagian dari
biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan jabatan,
diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan
keterampilan kerja.
Pelatihan didefinisikan oleh Ivancevich sebagai “usaha untuk meningkatkan
kinerja pegawai dalam pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan
dijabatnya segera”. Selanjutnya, sehubungan dengan definisinya tersebut, Ivancevich
(2008) mengemukakan sejumlah butir penting yang diuraikan di bawah ini: Pelatihan
(training
Pelatihan menurut Gary Dessler (2009) adalah Proses mengajarkan karyawan
baru atau yang ada sekarang, ketrampilan dasar yang mereka butuhkan untuk
menjalankan pekerjaan mereka”. Pelatihan merupakan salah satu usaha dalam
meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam dunia kerja. Karyawan, baik yang
baru ataupun yang sudah bekerja perlu mengikuti pelatihan karena adanya tuntutan
pekerjaan yang dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja, strategi, dan lain
sebagainya.
) adalah “sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja
seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi”.
Pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk
pekerjaan yang sekarang dilakukan. Pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan
membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi)
Tujuan umum pelatihan sebagai berikut :
a. Untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
dengan lebih cepat dan lebih efektif,
b. Untuk mengembangkan pengetahuan,
c. Untuk
sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
secara rasional, dan
mengembangkan sikap,
Sedangkan komponen-komponen pelatihan sebagaimana dijelaskan oleh
Mangkunegara (2005) terdiri dari :
sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).
a. Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat di ukur
b. Para pelatih (trainer) harus ahlinya yang berkualitas memadai (profesional)
c. Materi pelatihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tujuan yang
hendak di capai
d. Peserta pelatihan dan pengembangan (trainers) harus memenuhi persyaratan
yang ditentukan.
Dalam pengembangan program pelatihan, agar pelatihan dapat bermanfaat
dan mendatangkan keuntungan diperlukan tahapan atau langkah-langkah yang
sistematik. Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian
kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Atau dengan istilah lain
ada fase perencanaan pelatihan, fase pelaksanaan pelatihan dan fase pasca pelatihan.
Mangkunegara (2005) menjelaskan bahwa tahapan-tahapan dalam pelatihan
assesment; (2) menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan; (3) menetapkan kriteria
keberhasilan dengan alat ukurnya; (4) menetapkan metode pelatihan; (5)
mengadakan percobaan (try out) dan revisi; dan (6) mengimplementasikan dan mengevaluasi.
2.4 Kesiapsiagaan dalam Penanggulangan Bencana Gempa
Upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana merupakan
serangkaian kegiatan kesehatan yang mencakup kegiatan pada masa pra
bencana meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, pada masa bencana meliputi
tanggap darurat, dan pada masa pasca bencana meliputi pemulihan/rehabilitasi dan
rekonstruksi.
Mekanisme upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana,
meliputi kegiatan:
a). Pra Bencana (Pencegahan, Mitigasi dan Kesiapsiagaan)
Pencegahan bencana adalah tindakan-tindakan untuk menghambat ancaman /
bahaya yang menyebabkan terjadiny bencana. Kegiatannya meliputi
menyusun prosedur tetap/ pedoman, melakukan analisis resiko,
penyebarluasan informasi (Depkes, 2006). Selain itu, pencegahan bencana
dapat pula diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko bencana baik melalui pengurangan
ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana
Mitigasi adalah kegiatan-kegiatan yang lebih menitikberatkan pada
upayauntuk mengurangi dampak yang ditimbulkan bencana. Kegiatannya
meliputi struktural (pembangunan dan pengadaan fisik) dan non struktural
(menyusun standar pelayanan, menyusun perencanaan, menyusun peraturan
relokasi, jalur evakuasi, retro fitting) (Depkes, 2006). Mitigasi juga
dapat diartikan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana (BNPB, 2007).
Kesiapsiagaan adalah kegiatan-kegiatan yang difokuskan pada pengembangan
rencana-rencana untuk menanggapi bencana secara cepat dan efektif dengan
menyiapnyiagakan sumber daya, pendidikan dan pelatihan bagi petugas,
menyusun pedoman/prosedur tetap, menyusun dan mengembangkan sistem
informasi dan sistem manajemen, menyusun rencana kontinjensi
(Depkes,2006). Kesiapsiagaan dapat diartikan pula serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta
melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (BNPB, 2007).
b). Saat Bencana (Tanggap Darurat)
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
c). Pasca Bencana (Rehabilitasi dan Rekonstruksi)
Rehabilitasi adalah kegiatan untuk memulihkan dan memfungsikan kembali
sumberdaya kesehatan guna mengurangi penderitaan korban (Depkes, 2006).
Rehabilitasi juga diartikan sebagai upaya perbaikan dan pemulihan pada
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana (BNPB, 2007).
Rekonstruksi adalah kegiatan untuk membangun kembali berbagai kerusakan
akibat bencana secara lebih baik dari keadaan sebelumnya dengan telah
mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana di masa yang akan datang
(Depkes,2006). Rekonstruksi juga dapat diartikan sebagai upaya pembangunan
kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan pereknomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana
(BNPB, 2007).
Dalam hal ini, kesiapsiagaan dimaksud adalah termasuk kesiapsiagaan sumber
daya manusia yang harus dipastikan mempunyai kemampuan dalam melakukan
pelaksana teknik atau pelaksana kegiatan operasional saat terjadi bencana maupun
pasca bencana.
Dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kualitas tenaga kerja diperlukan
peningkatan kesadaran produktivitas, efektivitas, efisiensi dan kewiraswastaan etos
kerja yang produktif yang dilaksanakan melalui berbagai kegiatan motivasi,
penyuluhan, pendidikan dan pelatihan (Hamalik, 2007).
Kesiapsiagaan sumber daya manusia kesehatan merupakan produktivitas
sumber daya manusia dalam rangka upaya penanggulangan masalah kesehatan yang
dilakukan sebelum terjadinya bencana. Menurut formulasi National Productivity
Board Singapore, produktivitas adalah sikap mental yang mempunyai semangat
untuk melakukan perbaikan. Perwujudan sikap mental dituangkan dalam
berbagai kegiatan antara lain kegiatan yang berkaitan dengan diri sendiri dilakukan
melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, disiplin, upaya pribadi, kerukukan
kerja, dan kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan melalui perbaikan manajemen,
prosedur kerja, ketepatan waktu, penghematan biaya, sistem dan teknologi yang lebih
baik.
2.5 Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 159b/Men Kes/Per/II/1988
tentang rumah sakit, rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk
melaksanakan pelayanan kesehatan dengan mengutamakan kegiatan penyembuhan
penderita dan pemulihan keadaan cacat badan dan jiwa yang dilaksanakan secara
terpadu dengan upaya peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) serta
melaksanakan upaya rujukan.
Rumah sakit merupakan salah satu lembaga publik yang terlibat langsung
dalam merespon suatu bencana yang terjadi dalam wilayah kerjanya. Hal inilah yang
sering dilihat sebab perannya sering baru tampak oleh masyarakat ketika bencana itu
terjadi. Padahal, baik atau buruknya respon rumah sakit terhadap bencana sangat
tergantung dari serangkaian aktifitas yang sudah dilakukan jauh sebelumnya.
Aktifitas-aktifitas persiapan bencana inilah yang sering kali menjadi persoalan di
Indonesia karena sering kali tidak dilakukan karena berbagai alasan.
Rumah sakit memiliki fungsi kritis dalam manajemen bencana, demikian yang
dikatakan Robert Powers (Pinkowski, 2008). Konferensi PBB tentang Pengurangan
Bencana menegaskan bahwa rumah sakit wajib mengoperasikan beberapa fasilitas
segera setelah bencana untuk membatasi dampak dari bencana hilangnya nyawa.
Mereka memiliki fungsi kritis yang tidak dimiliki bisnis lain. Artinya, jika mereka
gagal untuk berfungsi selama bencana, mereka akan memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap dampak bencana di masyarakat.
Rumah sakit dalam kondisi normal saat ini sudah terkendala dengan
kurangnya fasilitas dan sarana-prasarana. Oleh karena itu untuk dapat beroperasi
secara baik pada saat bencana, pertama-tama yang harus dilakukan adalah
baik menyangkut peralatan, keahlian staf pelaksana, dana untuk mengimbangi biaya
selama penanganan bencana serta kewenangan yang diberikan kepada rumah sakit
untuk melaksanakan implementasi program penanggulangan bencana. Perencanaan
untuk lonjakan kapasitas juga penting dalam rangka mengantisipasi masuknya pasien
ke rumah sakit baik segera setelah bencana atau dalam kasus bencana biologis, ketika
mulai terjadi gejala pada korban.
Perencanaan penanganan bencana oleh rumah sakit, Robert Powers
menekankan perlunya fokus terhadap beberapa item untuk memastikan bahwa
mereka benar siap dalam kegiatan-kegiatan mitigasi seperti perlunya keberlanjutan
rumah sakit tanpa bantuan dari luar selama 72 jam pasca-bencana; waktu standar
yang diperkirakan untuk memperoleh bantuan dari luar. Upaya mitigasi Rumah Sakit
dimulai dengan penilaian kerentanan bahaya. Hal ini memungkinkan rumah sakit
untuk mendapatkan kesiapan dengan biaya yang rendah. Rumah sakit tidak perlu
memiliki rencana yang berbeda untuk setiap jenis bencana, hanya perlu satu rencana
yang diperlukan untuk prosedur penanganan semua jenis bahaya. Hal ini juga untuk
menyederhanakan respon dimana setiap staf diajarkan hanya salah satu cara untuk
tampil saat bencana dan tidak memiliki waktu untuk berhenti dan membuat penentuan
mana cara untuk merespon. Dengan demikian, kebingungan berkurang dan ada
penurunan risiko staf melakukan prosedur yang salah pada kondisi bencana tersebut.
Rumah sakit memiliki dua cara dalam merespon bencana, yaitu secara
struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural di rumah sakit direncanakan
seperti perencanaan bangunan rumah sakit tahan gempa untuk membatasi kerusakan
pada fasilitas saat gempa bumi atau merancang sebuah pintu masuk gawat darurat
yang memiliki kemampuan untuk dengan mudah diperluas dan menangani masuknya
sebagian besar pasien yang tiba dengan kendaraan pribadi saat bencana. Sementara
itu mitigasi non struktural oleh rumah sakit dapat dilakukan dengan
pengaturan-pengaturan peran setiap orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan saat bencana.
Mitigasi non struktural juga dapat berupa apa yang disebut jalur hidup. Sistem yang
disebut sebagai jalur hidup ini penting dalam menjaga keberlanjutan fasilitas.
Lifelines menjaga hubungan yang diperlukan dari rumah sakit ke luar berbagai entitas
atau pemasok bahan. Ini termasuk komunikasi, utilitas, dan transportasi. Komunikasi
bisa datang dari management darurat lokal, pelayanan medis darurat, atau departemen
kesehatan dan diperlukan untuk menjaga agar para pejabat rumah sakit tahu tentang
situasi saat ini. Komunikasi juga diperlukan untuk mengisi sumber daya yang minim
dan mendiskusikan pilihan regional dengan rumah sakit lainnya. Utilitas, seperti
listrik dan air, harus direncanakan dan dikelola dengan baik.
Latihan sendiri bagi rumah sakit merupakan strategi lain kesiapan bencana
yang penting. Perencanaan untuk latihan sering tidak dilakukan sebab staf apatis
berpartisipasi. Latihan juga sering gagal mensimulasikan kondisi nyata. Latihan
yang dijalankan dengan benar, adalah strategi penting untuk pengukuran dan
meningkatkan kesiapan rumah sakit. Evaluator harus berasal dari instansi luar,
sehingga ada kebebasan untuk proses dan prosedur kritik. Evaluasi harus memberikan
terjadi pada kesiapsiagaan dan respon untuk benar-benar efisien dalam kondisi yang
nyata.
Koordinator utama bencana juga harus bekerja untuk mendaftar dan mendidik
pelaku kunci dari seluruh rumah sakit. Para pelaku kunci adalah pemimpin
administrasi seperti bagian gawat darurat, radiologi, pengendalian infeksi,
laboratorium dan teknik untuk memperoleh kesiapan seluruh rumah sakit. Komite
keamanan rumah sakit atau manajemen komite khusus darurat adalah wadah untuk
membawa semua pelaku bersama-sama dan memastikan bahwa mereka berbagi visi
bersama untuk benar-benar siap menanggapi peristiwa bencana.
Rumah sakit tidak akan berfungsi sendirian pada saat bencana sehingga
administrator rumah sakit juga harus melihat melampaui rumah sakit. Interaksi antar
komunitas adalah penting karena rumah sakit harus tahu dan membantu
membimbing masyarakat untuk memberikan respon terhadap bencana sehingga
operasi rumah sakit berjalan sesuai dengan rencana sebab untuk respon optimal dan
keberlanjutan rumah sakit selama bencana secara langsung tergantung pada sumber
daya dan dukungan yang diterimanya dari lembaga masyarakat lainnya. Sebuah
komponen kunci dari interaksi masyarakat adalah respon regional. Rumah Sakit
menggunakan rencana saling membantu dan respon regional berencana untuk saling
mendukung. Rumah sakit di luar daerah dampak bencana berpotensi bisa mengirim
2.6 Landasan Teori
Menurut LIPI–UNESCO/ISDR (2006), kesiapsiagaan merupakan salah satu
bagian dari proses manajemen bencana dan di dalam konsep pengelolaan bencana
yang berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen
penting dari kegiatan pengurangan resiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum
terjadi bencana.
Menurut LIPI–UNESCO/ISDR (2006), tentang kajian kesiapsiagaan dalam
mengantisipasi bencana menyebutkan kesiapsiagaan menggunakan parameter:
1. Pengetahuan merupakan pengetahuan dasar petugas mengenai bencana gempa
bumi, seperti kejadian alam, bencana gempa bumi, dan kerentanan fisik.
2. Kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dalam
mengantisipasi bencana gempa seperti tersedianya draf, renstra, protap, tempat
evakuasi, panduan pemenuhan kebutuhan dasar.
3. Rencana tanggap darurat merupakan tindakan yang telah dipersiapkan petugas
menghadapi bencana gempa, seperti pembuatan peta, penampungan sementara,
nomor hotline informasi, posko, gladi pelatihan/simulasi, analisis resiko, perencanaan kontinjensi.
4. Sistem peringatan bencana gempa merupakan usaha petugas dalam mencegah
terjadinya bencana gempa bumi, seperti sistem informasi, sistem peringatan dini,
penyampaian informasi, pengembangan sistem peringatan dini, pelatihan dan
Menurut LIPI–UNESCO/ISDR (2006), sumber daya manusia pendukung
kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana dalam menghadapi bencana gempa
bumi sebagai berikut:
1. Personil (sumber daya manusia)
a. Kelompok tenaga ahli
Tenaga ahli yang diperlukan adalah tenaga ahli yang memenuhi kualifikasi di
bidang sumberdaya gempa antara lain bidang geologi tenaga kesehatan dalam
menangani masalah kesehatan yang terjadi akibat gempa (luka-luka, pingsan,
trauma, dll).
b. Kelompok tenaga lapangan
Dalam pelaksanaan pengendalian gempa dibutuhkan petugas lapangan dalam
jumlah cukup utamanya untuk kegiatan pemantauan dan tindakan di
lapangan.
2. Sarana atau Peralatan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sarana adalah segala sesuatu
yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan. Sarana
lebih ditujukan untuk benda-benda yang bergerak seperti komputer dan
mesin-mesin.
Sarana/peralatan yang digunakan petugas dalam upaya penanggulangan bencana
gempa terdiri dari:
a. Peralatan Siapkan tas ransel khusus kondisi darurat, isinya : lampu senter, air
secukupnya, lilin, korek api, buku tabungan, helm, tas darurat letakkan di
tempat yang strategis.
b. Peralatan komunikasi (radio komunikasi, telepon, faksimili)
c. Alat-alat berat dan transportasi (bull dozer, excavator, truk)
d. Perlengkapan kerja penunjang (sekop, gergaji, cangkul, pompa air)
e. Perlengkapan untuk evakuasi (tenda darurat, dan obat obatan)
f. Bahan gempa (karung plastik, bronjong kawat, bambu, dolken kayu)
3. Dana
Dalam pengendalian gempa bumi diperlukan alokasi dana yang diupayakan
selalu tersedia. Dana yang diperlukan tersebut harus dialokasikan sebagai dana
cadangan yang bersumber dari APBN, APBD atau sumber dana lainnya. Dana
cadangan disediakan sesuai ketentuan yang berlaku.
Salah satu organisasi pemerintahan yang melibatkan keseluruhan komponen
sumber daya organisasi dalam penanggulangan bencana adalah Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), di mana komponen-komponen sumber
daya manusia kesehatan adalah pengetahuan dan pelatihan mempengaruhi
kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana dalam menghadapi gempa di RSU
Bunda Thamrin Medan Tahun 2013.
2.6 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori yang telah peneliti jelaskan, maka yang menjadi
Variabel Independen : Variabel Dependen :
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa variabel independen (bebas)
dalam penelitian ini adalah sumber daya manusia, yaitu pengetahuan dan pelatihan,
sedangkan variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah kesiapsiagaan
tenaga kesehatan dalam penanggulangan bencana gempa di Rumah Sakit Umum
Bunda Thamrin Kota Medan tahun 2013. a. Pengetahuan
b. Pelatihan
Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana
orang BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan metode survei dan
pendekatan cross sectional yaitu seluruh variabel yang diamati diukur pada waktu yang bersamaan pada saat penelitian berlangsung. Penelitian ini merupakan
analisis data primer hasil wawancara dengan pengisian kuesioner oleh sumber daya
manusia petugas kesehatan di lingkungan RSU Bunda Thamrin Medan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSU Bunda Thamrin Medan di Kota Medan.
Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2013 sampai Februari 2014.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah sumber daya manusia (tenaga)
kesehatan yang di RSU Bunda Thamrin Medan, yaitu 413 tenaga kesehatan. Sampel
dengan menggunakan rumus Slovin, pengambilan sampel minimal yaitu :
Jadi sampel dalam penelitian ini adalah 81 orang tenaga kesehatan di RSU
3.4 Metode Pengumpulan Data
Sumber data, instrumen dan cara pengumpulan data dalam penelitian ini
sebagai berikut :
a) Data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan langsung dari
sumber daya manusia kesehatan di lingkungan RSU Bunda Thamrin Medan.
b) Instrumen pengumpulan data penelitian ini di desain dalam bentuk
kuesioner yang dilakukan sepenuhnya oleh peneliti. Uji coba instrumen
dilakukan sebelum pengumpulan data (turun lapangan), yang dilakukan pada
sumber daya manusia kesehatan tapi bukan sampel pada lokasi penelitian. Uji
coba ini bertujuan untuk memperbaiki kalimat pertanyaan yang kurang
dimengerti.
c) Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan pada pegawai sebagai sumber daya
manusia kesehatan di RSU Bunda Thamrin Medan.
3.5 Variabel dan Definisi Operasional
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang atau
objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lainnya dalam kelompok itu.
Menurut Sugiyono (2006), variabel bebas atau independen merupakan variabel yang
mempengaruhi atau menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen
(variabel terikat). Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang
Dalam penelitian ini yang merupakan variabel bebasnya adalah sumber daya
manusia kesehatan ya