• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammadiyah Vis A Vis Globalisasi Neoliberal (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Muhammadiyah Vis A Vis Globalisasi Neoliberal (1)"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

52 7 - 21 SYAWAL 1431 H

WAWASAN MUHAMMADIYAH

M

uhammadiyah sudah sejak satu abad yang silam berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibingkai dengan pendekatan gerakan sosial keagamaan. Perjalanan panjang Muhammadiyah sejak didirikan oleh KH Ahmad Dahlan telah menorehkan berbagai sepak terjang dalam menjawab tantangan perubahan sosial yang terjadi, baik dalam bingkai ke-Indonesia-an maupun pada lingkup global.

Sedari awal konsentrasi gerakan Muhammadiyah dialamat-kan ke model geradialamat-kan dengan mengusung tema perlindungan dan penyelamatan bagi kaum marjinal (musthad’afin). Dengan pendekatan teologis yang cukup kuat, terutama pada penafsiran terhadap teks surat Al-Maa’uun, KH Ahmad Dahlan meletakkan argumentasi gerakannya yaitu bagaimana membangun keber-pihakan kepada kaum miskin dan terpinggirkan, yang kemudian tercermin pada salah satu amal usaha kesehatan bernama

Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Sejarah awal gerakan Muhammadiyah tidak lepas dari ranah pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial, ketika PKO didirikan secara serentak diiringi dengan pembentukan sekolah modern dan pendirian rumah singgah atau panti asuhan bagi kaum miskin.

Negara dan Civil Society

Apa yang menjadi design awal gerakan Muhammadiyah apabila dikontekstualisasikan pada kehidupan kontemporer tidak lain adalah penerjemahan makna di balik teks-teks Al-Qur’an menjadi praksis sosial yang melawan kemiskinan, ketertindasan, lemahnya akses terhadap kesehatan dan rendahnya pendidikan. Model advokasi kebijakan negara selalu dijalankan Muhammadi-yah sebagai praksis gerakan dalam memperjuangkan peme-nuhan hak-hak dasar warga negara, khususnya pada tiga sektor kehidupan di atas yang terbukti sampai saat ini masih menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup masyarakat secara umum dan khususnya kelas tertindas.

Dalam perspektif Immanuel Wallerstein, globalisasi dilihat de-ngan kacamata ilmu sosial Marxian. Argumen kunci dari perspektif Wallerstein tentang globalisasi adalah apa yang disebut dengan dunia inti/pusat, semi pinggiran dan pinggiran secara ekonomi dan politik. Tetapi, apa yang hendak dikatakan Wallerstein se-sungguhnya adalah globalisasi dunia yang tengah terjadi di bidang ekonomi dan politik sejatinya dikuasai oleh negara-negara kapitalis dan didukung oleh sistem ekonomi kapitalis yang berada pada

arus utama (negara-negara industri maju).

Dalam diskursus globalisasi, negara berada pada posisi formal birokratis yang memungkinkan bagi masuknya perusahaan-pe-rusahaan multinasional. Sedangkan, selaku agen penghubung terhadap kebijakan dalam negeri dan penataan sistem ekonomi diserahkan kepada agen-agen kapitalisme global seperti Bank Dunia, Lembaga Keuangan Internasional dan Organisasi Perdagangan Dunia.

Sementara itu, lapisan civil society yang diharapkan sebagai lapisan kritis dari masyarakat dalam konstelasi ruang publik, justru menuai kritik. Mansour Fakih misalnya, melihat civil society seba-gai kepanjangan tangan rezim globalisasi dengan neoliberalisme sebagai ideologi geraknya. Menurut Fakih (2003), proses globali-sasi neoliberal dan rezim pasar bebas telah mengambil dan

meng-Muhammadiyah

Vis A Vis

Globalisasi Neoliberal (1)

HAMZAH FANSURI

De

m

o (Vi

si

t ht

tp:

//www.pdfspl

itm

erge

r.c

om

(2)

53 SUARA MUHAMMADIYAH 18 / 95 | 16 - 30 SEPTEMBER 2010

WAWASAN MUHAMMADIYAH

gunakan gagasan civil society dengan tujuan menjinakkan gerak-an resistensi rakyat dgerak-an gerakgerak-an orggerak-anisasi non-pemerintah untuk menerima global governance, yakni relasi negara, rezim pasar, dan rakyat model neoliberal. Padahal konsepsi civil society, me-nurut Gramsci, sejatinya dipakai sebagai weapon of the weak, sebagai kendaraan kaum marjinal dan tertindas untuk memper-tahankan hak-hak asasi mereka, bukan malah menjadi penyangga argumentasi kalangan neoliberal.

Sebagai jawaban dari kebuntuan gerakan civil society dalam konteks menjalankan fungsi check and balances dan kontrol terha-dap negara, maka wacana mengenai gerakan sosial (social

Lembaga ini hadir sebagai embrio gerakan kemasyarakatan dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai lembaga kemasyarakatan, Muhammadiyah mempunyai keunggulan komparatif daripada biro-krasi pemerintahan karena sifatnya yang berakar pada masya-rakat dan mempunyai keunggulan apabila dibandingkan dengan LSM yang ada karena sifat organisasinya yang vertikal dan hori-zontal. Di samping itu optimisme yang muncul juga ditopang dengan kemampuan finansial karena memiliki sumber daya sendiri (amal usaha) sehingga tidak perlu bergantung pada pendanaan dari luar (Kuntowijoyo et.al, 1990).

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45, lahirlah Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) yang diharapkan berperan di garda depan perjuangan gerakan Muhammadiyah yang ber-hubungan langsung dengan masyarakat (gerakan horizontal). Ter-cetusnya komitmen pemberdayaan sosial dan segenap potensi masyarakat ini tidak lepas dari tuntutan zaman yang dihadapi oleh Muhammadiyah untuk dapat berpihak dan membela problem-problem masyarakat di akar rumput dan komunitas musthad’afin

(marjinal) dalam berbagai ruang lingkup dan variasinya. Fakta bahwa hingga sekarang sudah ratusan lembaga sosial (dalam berbagai skala dari lokal sampai internasional) yang mela-kukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan berbagai va-riasi dan konsentrasi kegiatan. Vava-riasi dan konsentrasi pember-dayaan yang paling umum adalah penguatan ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesadaran hak-hak berpolitik, termasuk isu gender

dan lingkungan. Sedangkan konsentrasi isu gerakan yang masih sedikit dilakukan antara lain, pengembangan crisis center untuk bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan. Pola pember-dayaan yang selama ini berkembang antara lain pendampingan (komunitas binaan), pengguliran dana dan advokasi kebijakan.

Menyadari modal sosial yang dimiliki Muhammadiyah meli-puti jaringan organisasi dari tingkat pusat hingga ke kelurahan da-pat menjadi prakondisi bagi implementasi program pemberdayaan masyarakat secara nyata. Di samping itu, Muhammadiyah me-miliki modal historis yang panjang terkait dengan pemberdayaan kaum marjinal (oppresses community).

Pola dan lahan garapan dari MPM tentunya merujuk pada pemaknaan tentang pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang lazim digunakan oleh kalangan civil society. Tema pember-dayaan pada dasarnya merupakan sebuah gerakan perlawanan pembangunan alternatif terhadap hegemoni developmentalisme

(teori modernisasi). Sebagai bentuk gerakan perlawanan Muham-madiyah menyadari bahwa pembangunanisme yang bekerja di balik rezim globalisasi neoliberal justru berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakat, terlebih masyarakat negara berkem-bang. Dalam konteks ini MPM membuka ruang geraknya pada sektor-sektor strategis yang langsung bersinggungan dengan ma-syarakat luas seperti pertanian, pemberdayaan pada mama-syarakat pesisir pantai (nelayan), pemberdayaan pada kaum miskin kota serta isu-isu perempuan dan lingkungan.lBersambung

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM, pernah menjadi Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PDM Kota Bengkulu.

movement)hadir sebagai antitesis gerakan. Dalam konteks ini, Muhammadiyah dengan majelis-majelis yang saling bersinergi dapat didorong kepada pola gerakan sosial yang langsung ber-singgungan dengan lapisan masyarakat bawah.

Pemberdayaan Masyarakat

Dalam realitas sosial, ekonomi dan politik seperti yang disebut di atas Muhammadiyah dituntut untuk mampu menjawab tantangan akan ketidakadilan tersebut sebagai salah satu elemen bangsa yang diharapkan memainkan fungsi sebagai civil society sekaligus gerakan sosial secara maksimal. Pada tahun ’90-an Muham-madiyah telah memiliki struktur kelembagaan yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat yang dikenal dengan nama Majelis Pengembangan Masyarakat.

Foto: DIDIK SUJARWO

De

m

o (Vi

si

t ht

tp:

//www.pdfspl

itm

erge

r.c

om

Referensi

Dokumen terkait