• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Pergantian Kekhilafahan Menjadi Kerajaan Di Masa Muawiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Pergantian Kekhilafahan Menjadi Kerajaan Di Masa Muawiyah"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN IBNU KHALDUN

TENTANG PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN DI MASA MUAWIYAH

Disusun oleh:

Achmarul Hadi NIM: 103033227806

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PANDANGAN IBNU KHALDUN

TENTANG PERGANTIAN KEKHILAFAHAN

MENJADI KERAJAAN DI MASA MUAWIYAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Achmarul Hadi

NIM: 103033227806

Di Bawah Bimbingan

Dr. Sirajuddin Aly, M.A.

NIP. 150 318 684

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata- 1 di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Demikian Lembar Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan

penuh tanggung jawab.

Jakarta, 27 April 2009

(4)

KATA PENGANTAR

Tidak ada yang paling mulia yang harus didahulukan kecuali ucapan

syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang mengatur seluruh makhluk-Nya.

Berkat kekuatan dari-Nya, akhirnya penulis dapat merampungkan skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah saw,

keluarga, sahabat serta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi

persyaratan untuk mencapai gelar sarjana strata satu (S1) pada Jurusan Pemukiran

Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari sempurna,

karena berbagai keterbatasan yang ada. Akan Tetapi, dengan adanya arahan,

bantuan, bimbingan dan dukungan, baik moril maupun materil dari berbagai

pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan

ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. H. M. Amin Nurdin, M.A., selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat serta segaenap dosen yang telah membimbing penulis selama

menempuh pendidikan.

2. Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan Pemikiran Politik

Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku sekretaris Jurusan,

yang tanpa lelah mendedikasikan diri demi eksisnya Jurusan ini.

3. Dr. Sirojudin Aly, M.A., selaku pembimbing penulis , yang dengan

penuh kesabaran menbimbing penulis, mengarahkan, memberikan

masukan, hingga selesainya skripsi ini.

4. Kepala dan seluruh staf Perpustakan Utama dan Perpustakaan

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan

Imam Jama' Lebak Bulus yang telah memberikan pelayanan dan

(5)

5. Umak dan Ba yang senantiasa sabar membimbing dan mendoakan

penulis, begitu juga Kak Zul, Kak Fran, Hendri dan Sukma yang

selalu memberikan dukungan.

6. Istriku tercinta Nur Jannah yang senantiasa memotivasi penulis untuk

segera menyelesaikan tugas akhir ini, serta tidak lupa putriku tercinta

Kaysa Qathrunnada yang memacu semangat Abi untuk bisa segera

menyelesaikan kuliah.

7. Ustadz Abdul Aziz Abdur Rouf, Lc., serta seluruh rekan-rekan di

Markaz Al Qur'an

8. Ustadz Awwaludin Al Hafizh, serta rekan-rekan di Ma'had Utsman

bin Affan.

9. Seluruh rekan-rekan di KOMDAK Ushuluddin yang tidak dapat

disebutkan satu persatu, Jazakumullah Khairul Jazaa…..

Jakarta, 27 April 2009

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN………. i

KATA PENGANTAR………... ii

DAFTAR ISI……….iv

TRANSLITERASI ARAB-LATIN……….vi

BAB I. PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang……….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 4

C. Tujuan Penelitian………... 5

D. Metode Penelitian………. 5

E. Sistematika Penulisan……… 6

BAB II. RIWAYAT HIDUP IBNU KHALDUN……….. 8

A. Masa Kelahiran, Perkembangan, dan Studi………...8

B. Masa Bertugas di Pemerintahan dan Terjun ke Dunia Politik di Maghribi dan Andalusia………10

C. Masa Penulisan Karya Ilmiah………17

D. Jasa-Jasa dan Kebesaran Ibnu Khaldun……… 19

E. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun……… 21

BAB III. PANDANGAN IBNU KHALDUN TENTANG BENTUK PEMERINTAHAN KHILAFAH... 23

A. Arti Khilafah………..23

(7)

C. Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Khilafah…………..32

D. Gelar Am r al-Mu’min n Sebagai Ciri Khilafah... 36

BAB IV. PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN.... 41

A. Latar Belakang Perubahan Sistem Pemerintahan Dari Khilafah ke Kerajaan...41

B. Pola Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Kerajaan... 56

C. Faktor Pengangkatan Yazid Sebagai Putera Mahkota setelah Muawiyah... 58

D. Substansi Kekhalifahan Era Muawiyah... 60

BAB V. PENUTUP...69

A. Kesimpulan... .69

B. Saran...71

(8)

Tranliterasi Arab-Latin

a dz zh n

b r ' h

t z gh w

ts s f '

j sy q

h sh k

kh dh l

d th m

a panjang = â

i panjang = î

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani pada tahun 1922 dan digantikan

dengan Republik Turki setidaknya menyisakan sejarah panjang perjuangan

masyarakat muslim dalam menggapai kedaulatan negara mereka masing-masing.

Di antara perjuangan itu ada yang mencetuskan ide kembali kepada kedaulatan

Islam yang absolut yakni kembali kepada sistem Khilafah. Hal ini dianggap

penting karena dengan berdirinya Khilafah, maka penerapan hukum-hukum Islam

bisa dianggap lebih efektif dan mudah diaplikasikan secara menyeluruh.

Beberapa gerakan yang muncul untuk mendukung gagasan tersebut di atas

dapat ditemukan hingga dewasa ini. Sebagai contoh gerakan Hizb Al-Tahrir yang

didirikan oleh Taqiyuddin Nabhani pada tahun 1952 lebih memfokuskan

da'wahnya kepada keharusan mengembalikan Khilafah Islamiyah. Begitu juga

dengan tokoh Abu al-A'la al-Maududi yang mendirikan Jama'at Islami di Anak

Benua India-Pakistan pada tahun 1941. beliau benar-benar memfokuskan

aktifitasnya untuk menegakkan syari'at Islam dan menerapkannya dalam

kehidupan nyata.

Terlepas permasalahan di atas, penulis berpikir bagaimanakah kedudukan

kekuasaan-kekuasaan Muslim pasca Khulafâ al-Rasyidûn seperti Dinasti

Umayyah, Abbasiyah, dan seterusnya. Apakah kekuasaan mereka dapat

dimasukkan dalam kategori pemerintahan khilafah?. Apakah kekuasaan setelah itu

(10)

Bani Umayyah yang merupakan pelopor pertama terjadinya pergeseran sistem

kekhilafahan menjadi kerajaan?. Dalam hal ini penulis sendiri memahami adanya

pergeseran sistem kekhilafahan menjadi kerajaan yang telah dimulai sejak awal

pemerintahan Dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Muawiyah. Oleh karena

itu pembahasan mengenai pergantian kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa

Muawiyah tersebut akan menjadi telaah khusus dalam penulisan skripsi ini.

Meskipun kajian ini merupakan Kajian ulang (literatur review) dari

berbagai kajian ilmiah yang seringkali diulas baik oleh pengamat terdahulu

maupun yang kontemporer. Di antara tulisan tersebut adalah sebagai berikut, Al-

Mawardi mengulasnya dalam karyanya Al-Ahkam Al-Sulthâniyah. Al-Mawdudi

tampil dengan karyanya Al-Khilafah wa Al-Mulk, Muhammad Abdul Qadir Abu

Faris mengulasnya dalam al-Nizham al-Siyasi f al- Islâm, dan telah

diterjemahkan dengan judul Sistem Politik Islam, secara khusus ia pun

menjelaskan permasalahan tentang kedudukan putera mahkota (wilayatu

al-ahhdi), dalam tulisannya tersebut beliau mengkritik pandangan Abu Ya’la

al-Farra dan Ibnu Khaldun yang lebih lunak dalam memandang kebolehan putera

mahkota untuk memegang kedaulatan khilafah. Dan terakhir tampil penulis

kontemporer yakni Yusuf al-Qardhawi yang mengkritik tentang beragam distorsi

penulisan sejarah Islam. pandangan tersebut beliau rangkai dalam tulisannya yang

berjudul Tarikhuna al-muftara ‘Alaih dan telah diterjemahkan dengan judul

Meluruskan Sejarah Islam, Akan tetapi dalam tulisan ini penulis memilih untuk

mengetahui pembahasan tersebut dari sudut pandang seorang tokoh muslim

(11)

khususnya dalam kajian sosial politik yang terdokumentasikan dalam magnum

opusnya yakni Muqaddimah.

Tidaklah berlebihan ketika menyebut Ibnu Khaldun sebagai bapak peletak

dasar ilmu sosial politik dan filsafat. ia memetakan masyarakat dengan interaksi

sosial, politik, dan geografi yang melingkupinya. Pendekatan ini dianggap

menjadi terobosan yang sangat signifikan.1

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pandangan-pandangan Ibnu

Khaldun mengenai bentuk pemerintahan Khilafah. Secara luas beliau pun

mendefinisikan akan arti khilafah, syarat-syarat khilafah, fungsi jabatan

keagamaan khilafah, dan gelar Am r al-Mu'Min n sebagai ciri khilafah.

Ibnu Khaldun menelaah tentang pergantian khilafah menjadi monarki pada

masa Muawiyah tentunya dengan pandangan ilmiah. Di antara pandangannya

yang akan penulis analisa adalah, pertama, pandangannya mengenai sebab-sebab

perselisihan Ali dan Muawiyah yang menjadi titik tolak pertama terjadinya

perubahan sistem khilafah. Kedua, prinsip al-Ashabiyah dalam pemerintahan

Muawiyah yang menjadi pendorong utama lahirnya sistem monarki. Ketiga,

substansi kekhalifahan pada masa Muawiyah dan para pengganti-penggantinya.

Dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya pergantian kekhilafahan

menjadi kerajaan sejak zaman Muawiyah, penulis berharap bisa menilai secara

proporsional dan tidak berusaha mendiskreditkan salah satu pihak. Sebagaimana

telah diketahui bahwa Muawiyah termasuk salah satu sahabat Nabi Muhammad,

1

(12)

di samping juga kapasitasnya sebagai salah seorang pejuang dalam penaklukan

Negeri Syam.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Ibnu Khaldun terkenal lebih moderat dalam menyikapi perselisihan antara

Muawiayah dan Ali, namun ia tetap berupaya mengkritisi berbagai permasalahn

yang timbul pada saat keduanya berseteru dalam mempermasalahkan siapa yang

berhak dalam memegang jabatan khilafah. Dengan tidak mengahakimi salah satu

di antara keduanya, pandangan Ibnu Khaldun menjadi daya tarik penulis untuk

mengungkap lebih jauh dasar-dasar perpecahan yang timbul pada masa peralihan

kekuasan dari khalifah Ali ke tangan Muawiyah.

Untuk mengetahui permasalahan di atas penulis berupaya merumuskan

berbagai batasan masalah yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Di sini

penulis membatasi permasalahan kepada inti pandangan Ibnu Khaldun mengenai

pergantian bentuk kekhilafahan dari masa Khulafâ al-Rasyidûn menjadi kerajaan

pada masa pemerintahan Muawiyah.

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah

tersebut sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian

kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah?

b. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, Apakah sebenatrnya landasan utama

yang menyebabkan bergesernya kekhilafahan menjadi kerajaan pada

(13)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penulisan tugas akhir ini dibuat untuk mengetahui pandangan Ibnu

Khaldun mengenai pemerintahan khilafah pasca Nabi Muhammad, dan

sebab-sebab terjadinya pergeseran bentuk kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa

Muawiyah.

Tujuan Khusus

Penulisan tugas akhir (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi persyaratan

dalam upaya memperoleh gelar akademis setingkat strata satu (S 1) untuk jurusan

Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini sepenuhnya dikumpulkan melalui riset kepustakaan

(library research). Adapun sumber primernya yakni buku Muqaddimah karya

Ibnu Khaldun, sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku yang bisa

melengkapi pembahasan di atas.

Mengenai metode penulisan yang digunakan adalah metode deskripsi

analisa yaitu dengan cara mendeskripsikan berbagai pandangan Ibnu Khaldun

(14)

selanjutnya penulis akan menganalisa pandangan-pandangan tersebut dengan

kritis dan obyektif.

Dari sisi teknis penulisan, skripsi ini mengikuti aturan yang diatur dalam

buku Pedoman Penulisan karya ilmiah Skripsi, Tesis, Disertasi, Ceqda

Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2003-2004.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab yang pada garis besarnya

dijelaskan sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan yang di dalamnya akan dibahas tentang latar

belakang, perumusan, pembatasan masalah, maksud dan tujuan, metode

pengumpulan data, dan sistematika penulisan.

BAB II. Riwayat Ibnu Khaldun. Pada bab ini akan dijelaskan sejarah

kelahiran Ibnu Khaldun, aktifitas politiknya, masa penulisannya, serta jasa-jasa

besarnya terhadap ilmu pengetahuan.

BAB III. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai bentuk pemerintahan

khilafah. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai arti khilafah, syarat-syarat

khilafah, fungsi jabatan khilafah, dan gelar Am r al- Mu'min n sebagai ciri

khilafah.

BAB IV. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian kekhalifahan

menjadi kerajaan pada masa Muawiyah. Fokus kajian dalam bab ini adalah

(15)

Muawiyah yang menjadi latar belakang terciptanya perubahan sistem

pemerintahan, begitu juga mengenai pola pengangkatan kepala negara yang

mengedepankan prinsip al-Ashabiyah dalam pemerintahan Muawiyah, faktor

pengangkatan Yazid menjadi putera mahkota, dan terakhir yakni pembahasan

tentang substansi kekhalifahan era Muawiyah

BAB V. Pada bab akhir ini, penulis akan menyimpulkan beberapa

(16)

BAB II

RIWAYAT HIDUP IBNU KHALDUN

A. Masa Kelahiran, Perkembangan, dan Pendidikan

Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn

Muhammad ibn Hasan ibn Jabir Ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abd al-Rahman

ibn Khaldun, lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada tahun 732 H atau 1332 M. Asal

keluarga Ibnu Khaldun yang sesungguhnya dari Hadramaut, Yaman Selatan.

Adapun nama Ibnu Khaldun diambil dari nama kakeknya yang kesembilan,

Khalid ibn Utsman. Khalid terkenal dengan panggilan Khaldun disebabkan

kebiasaan yang berlaku bagi penduduk Andalusia dan Afrika Barat Laut waktu

itu, yakni penambahan pada akhir nama dengan “un” sebagai pernyataan

penghargaan kepada keluarga penyandangnya. Dengan demikian Khalid menjadi

Khaldun.2

Afrika Utara, tanah kelahiran Ibnu Khaldun, pada abad ke-14 ditandai oleh

kemandegan pemikiran, kemudian kekacauan politik. Kekuasaaan Muslim Arab

telah jatuh sehingga banyak negara bagian melepaskan diri dari pemerintahan

pusat. saat itu pertentangan, intrik, perpecahan, dan kericuhan meluas dalam

kehidupan politik, dan setiap orang berusaha meraih kekuasaan.3

Meskipun dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan kekacauan

politik, namun Ibnu Khaldun tetap leluasa memperoleh ilmu pengetahuan, hal itu

disebabkan Tunisia menjadi pusat hijrah ulama Andalusia yang mengalami

kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Kehadiran mereka bersamaan dengan

2

Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, ( Jakarta: Universitas Indonesia, 1990 ) h. 90.

3

(17)

naiknya Abu al-Hasan, pemimpin Bani Marin (1347). Dengan demikian Ibnu

Khaldun mendapat kesempatan belajar dari para ulama tersebut.4 Hal ini dapat

dilihat dari kecerdasannya dalam menguasai beberapa disiplin ilmu baik

pendidikan agama, bahasa, puisi, logika, dan filsafat. Menurut Munawir Sjadzali,

guru pertama yang mengajarkan Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Dia belajar

membaca dan menghafal al- Qurân serta fasih dalam qiraah sab’ah. Perhatiannya

seimbang dan merata dalam mata pelajaran Tafsir, Hadits, Fiqh, dan Gramatika

bahasa Arab yang dipelajarinya dari guru yang terkenal di Tunisia.5

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penyerangan dan pendudukan Banu

Marin terhadap Tunisia tahun 1347 telah mengakibatkan berpindahnya sejumlah

besar ulama-ulama terkenal ke sana sebagai pengikut-pengikut raja Abu al-Hasan.

Ibnu Khaldun waktu itu sudah meningkat dewasa, dan dari para ulama-ulama

tersebutlah Ibnu Khaldun mengalami pertumbuhan intellegensia yang sangat

pesat. Akan tetapi, studinya tiba-tiba berhenti akibat berjangkitnya wabah

penyakit yang berkecamuk di Tunis pada 749 H/1348 M. Ada yang menyebutnya

penyakit Pes atau Kolera, dan penyakit inilah yang banyak merenggut ribuan

nyawa termasuk para guru besarnya Ibnu Khaldun dan kedua orangtuanya.

Akibatnya lebih jauh, penguasa bersama ulama hijrah ke Maghribi Jauh (Maroko)

pada 750 H/1349 M. Maka tinggalah ia dewasa itu di bawah pimpinan abangnya

yang bernama Muhaammad yang kini bertindak sebagai kepala keluarga Ibnu

Khaldun.6

4

Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005) Jilid 3, h. 81

5

Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 90

6

(18)

Akibat seringnya terjadi pertukaran-pertukaran kekuasaan di Afrika Utara

serta menurunnya kehidupan intelektualisme, maka pada tahun 1354 M Ibnu

Khaldun memutuskan untuk meninggalkan Tunisia dan pergi ke Fez. Dan di

Fezlah Ibnu Khaldun menyelesaikan pendidikan tingginya melalui para ulama

yang dewasa itu berada di sana, yaitu:

1. Syekh Muhammad ibn Al-Shaffar

2. Syekh Muhammad ibn Muhammad al Maqqari

3. Syekh Muhammad ibn Ahmad al ‘Alwi

4. Syekh Muhammad ibn Abd al Salam

5. Syekh Muhammad ibn Abd al Razaq

6. Syekh Muhammad ibn al Khaththib

7. Syekh Ibrahim ibn Zarrar, dan

8. Syekh Abu al Barakat Muhammad al Ballafiqi7

B. Masa Bertugas di Pemerintahan dan Terjun ke Dunia Politik di Maghribi dan

Andalusia

Dua peristiwa penting yang mengantarkan Ibnu Khaldun berhenti

menuntut ilmu. Pertama, berkecamuknya wabah kolera di banyak bagian dunia

tahun 749 H, yang telah banyak merenggut jiwa, di antaranya ayah dan ibu Ibnu

Khaldun dan sebagian besar guru-gurunya. Kedua, akibat dari musibah tersebut,

banyak ilmuwan dan budayawan yang selamat dari wabah itu pada tahun 750 H

berbondong-bondong meninggalkan Tunisia pindah ke Afrika Barat Laut. Dengan

7

(19)

terjadinya dua peristiwa tersebut akhirnya Ibnu Khaldun terpaksa berhenti belajar

dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam

pemerintahan dan peran dalam percaturan politik.8

Dalam suasana penuh pertikaian dan perseteruan antara Imperium Arab

dewasa itu, Ibnu Khadun telah banyak menyaksikan peristiwa-peristiwa besar

tentang sejarah kemunduran imperium muslim. Politik yang disaksikannya adalah

politik adu kekuatan, dan tidak memperdulikan bingkai moral yang terus

diinjak-injak. dinasti-dinasti kecil bersaing satu sama lain sebagai pertanda membusuknya

Imperium Arab Muslim di Afrika Utara. Pengalaman terusirnya umat Islam dari

Spanyol yang sebelumnya mereka kuasai selama tujuh abad sudah tidak lagi dapat

mengajar mereka untuk berhenti berkelahi.9 Waktu itu Afrika Utara dan Andalusia

memang banyak diguncang peperangan. Dinasti al-Muwahhidun sejak permulaan

abad ke-5 H telah mendekati kehancurannya. Dari dinasti besar ini muncul banyak

dinasti dengan negara dan wilayah kekuasaan kecil. Dinasti yang terkenal di

antaranya adalah Dinasti Hafs di Maghribi Dekat (Tunisia). Dan dalam usia 21

tahun bertepatan tahun 751 H/1350 M, Ibnu Khaldun diangkat sebagai sekretaris

sultan Dinasti Hafs, al Fadl . tetapi ia berhenti dari jabatannya karena penguasa

yang didukungnya kalah dalam suatu pertempuran pada tahun 753 H/1352 M.10

Ibnu Khaldun melarikan diri, dan bertemu dengan Sultan Abu Inan di Tilmizan

berasal dari keturunan Bani Marin. Jabatan pemerintahan pertama yang cukup

berarti baginya adalah keanggotaannya dalam majelis ilmu pengetahuan Sultan

8

Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 91

9

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h.13.

10

(20)

Abu Inan di ibu kota negara itu, Fez. Kemudian ia diangkat sebagai salah satu

sekretaris Sultan dengan tugas mencatat semua keputusan Sultan terkait dengan

permohonan-permohonan rakyat, dan dokumen-dokumen penting lainnya. Ibnu

Khaldun mengaku menerima jabatan tersebut dengan setengah hati sebab dia

menganggap sebagai kerja rendahan, dan tidak seorang pun leluhurnya yang

melakukan pekerjaan serendah itu.11

Dengan dorongan untuk menjadi orang besar dan disegani, Ibnu Khaldun

diketahui pernah melakukan kerja sama serta membantu Amir Abu Abdullah

Muhammad untuk menggulingkan Sultan Abu Inan, dengan syarat kalau usaha itu

berhasil dia diangkat sebagai perdana menteri. Usaha tersebut ternyata diketahui

oleh sultan, maka Ibnu Khaldun akhirnya terpaksa mendekam di penjara selama

21 bulan, dan baru dibebaskan setelah sultan wafat dan kekuasaan negara

dipegang Perdana Menteri Hasan bin Umar, dan ia dikembalikan kepada

jabatannya yang lama. Ibnu Khaldun mengabdikan dirinya kepada pemerintahan

Bani Marin di Fez selama delapan tahun, melayani tiga sultan dan dua perdana

menteri, yakni Sultan Abu Inan, Perdana Menteri Hasan bin Umar, Sultan Mansur

bin Sulaiman, Sultan Abu Salim dan Perdana Menteri Umar bin Abdullah. Pada

masa Abu Salim kedudukan Ibnu Khaldun direhabilitasi pada berbagai posisi

penting kerajaan. Semula dia diangkat sebagai sekretaris negara, kemudian

sebagai peradilan mazhalim, yang khusus menangani pengaduan terhadap negara

atau pejabat negara dan tindak pidana yang tidak tercakup dalam hukum

11

(21)

Islam.12Namun keadaan seperti itu tidak bertahan lama. Iklim politik yang penuh

intrik telah menyebabkan terbunuhnya Sultan Abu Salim pada 1361 M dalam

suatu pemberontakan sipil dan militer. Dalam suasana politik yang tidak menentu

itulah akhirnya Ibnu Khaldun berangkat ke Spanyol (Andalusia) dan sampai di

Granada pada 26 desember 1362 M.13

Granada adalah satu-satunya negara muslim yang pada waktu itu masih

tersisa di semenanjung Iberia di bawah pemerintahan Sultan Muhammad V

dibantu oleh perdana menterinya, Ibnu khatib. sementara yang lain sudah jatuh ke

tangan penguasa Kristen. Ibnu Khaldun telah menjalin persahabatan yang cukup

lama dengan penguasa Granada. Mengingat betapa besar bantuan Ibnu Khaldun

kepada Sultan Muhammad dan perdana menterinya ketika mereka berada di Fez

sebagai buronan. Sultan Muhammad V memberikan pelayanan sangat baik kepada

Ibnu Khaldun.14 Demikian tingginya penghargaan raja kepada Ibnu Khaldun

dibuktikan dengan pengutusannya pada tahun 1364 sebagai duta ke istana Raja

Pedro El Cruel, raja Kristen Castilla di Seville. Tujuan dari pengutusan tersebut

adalah untuk mengadakan perjanjian damai antara Granada dengan Seville.

Adapun Raja Pedro El Cruel merasa terkesan dengan kinerja diplomatik Ibnu

Khaldun hingga ia pun dibujuk untuk berpihak kepadanya dengan janji akan

menyerahkan kembali kepadanya harta nenek moyangnya yang ada di Seville.

Adapun Seville mempunyai makna tersendiri bagi Ibnu Khaldun, sebab di kota

inilah nenek moyangnya tinggal selama berabad-abad. Namun Ibnu Khaldun

12

Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 92

13

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat h.14

13

Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 80

14

(22)

menolak bujukan itu, sekalipun ia sempat menyaksikan monumen-monumen

kebesaran peninggalan nenek moyangnya.15

Meskipun di Andalusia Ibnu Khaldun pernah mendapat kepercayaan

khusus dari Sultan Muhammad. Namun hal itu tidak berlangsung lama disebabkan

timbulnya ketegangan antara dia dan Ibnu Khatib yang merasa khawatir atas

kedekatan Ibnu Khaldun dengan sang penguasa. Belum cukup dua setengah tahun

berada di Granada, Ibnu Khaldun menerima undangan dari Pangeran Abu

Abdillah Muhammad penguasa Bani Hafs, yang dahulu pernah dipenjarakan

bersama di Fez. Kemudian ia menjadikannya sebagai perdana menteri dan pada

waktu yang sama juga sebagai khatîb dan guru. namun, setahun kemudian Sultan

Abu Abbas Ahmad, saudara sepupu atau anak paman Pangeran Abu Abdillah,

penguasa di Konstantin berambisi untuk menaklukkan dan menguasai seluruh

Tunisia, termasuk keamiran Abu Abdillah. Pangeran Abu Abdillah pun akhirnya

terbunuh ketika pasukan Abu Abbas menyerbu ke Buqi, dan keamiran itu jatuh ke

tangan Abu Abbas. Untuk beberapa lama, Ibnu Khaldun menduduki jabatan yang

sama pada masa kekuasan Abu Abbas yaitu sebagai perdana menteri. Tetapi

kemudian Abu Abbas menyangsikan loyalitas Ibnu Khaldun. Sadar akan situasi

yang kurang menyenangkan dia mohon izin untuk pindah ke luar Buqi, tetapi Abu

Abbas bahkan memerintahkan untuk menangkap Ibnu Khaldun. Dia beruntung

berhasil melarikan diri ke keamiran Baskarah (Biskra), dan Abu Abbas hanya

15

(23)

berhasil menangkap adiknya Yahya, dan membuangnya ke pengasingan di salah

satu kota pantai di Aljazair.16

Dari Baskarah Ibnu Khaldun berkirim surat kepada Abu Hammu, Sultan

Tilmisan (Tlemcen) dari Bani Abdil Wad. Dia adalah menantu Pangeran Abu

Abdillah dari Buqi yang terbunuh.untuk sekian kalinya Ibnu Khaldun ditawari

kedudukan sebagai perdana menteri. Namun, tawaran tersebut ditolaknya dengan

alasan bahwa ia ingin melanjutkan studinya secara autodidak, tetapi ia bersedia

memberikan dukungan terhadap sultan dengan mengajak suku-suku di wilayah itu

untuk mendukung rencanya merebut Buqi. Ia juga berusaha membentuk

persekutuan antara Abu Hammu dan Pangeran Ishak, saudara Abu Abbas yang

sangat jelek hubungannya dengan dia. Tetapi serangan tentara Abu Hammu dapat

dipatahkan. Sementara itu Sultan Abdul Aziz dari dinasti Bani Marin, yang

berpusat di Fez, berambisi merebut wilayah Bani Abdul wad. Akhirnya Abu

Hammu melarikan diri.17 Tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz, Ibnu

Khaldun beralih berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Namun

dalam waktu singkat, Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Maka Ibnu Khaldun

menyelamatkan diri ke Fez pada 774 H/1372 M.18

Setelah sampai di Fez, ternyata suasana di kota itu tidak sebagaimana yang

diharapkannya. Situasi politik sangat tidak menentu, dan para penguasa

tampaknya telah kehilangan kepercayaan kepada Ibnu Khaldun. Sadar bahwa ia

kurang disukai, maka ia pun akhirnya keluar dari Fez dan menetap di Granada,

16

Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 94

17 Ibid. 18

(24)

Andalusia. Tetapi Sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun Untuk

meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke wilayah Afrika Barat Laut.

Setelah meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika, akhirnya ia

“terdampar” di pelabuhan Hanin. Adiknya Yahya yang pernah diasingkan pada

masa Abu Abbas, telah kembali mengabdi kepada Abu Hammu. Meskipun

awalnya Abu Hammu belum bisa menerima kedatangan Ibnu Khaldun, namun

berkat bantuan dan jaminan seorang sahabat lama, muhammad bin Arif, tokoh

dari Bani Arif, akhirnya Ibnu Khaldun mendapat pengampunan dari Abu Hammu

dan diizinkan datang ke Tilmisan. Atas permintaan pemuka-pemuka Bani arif

terhadap Abu Hammu agar memperkenankan Ibnu Khaldun menetap bersama

mereka, maka Ibnu Khaldun telah meninggalkan keramaian dan petualangan

politik hampir empat tahun lamanya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak

terjun lagi dalam dunia politik. Akhirnya ia menyepi di Qal’at Ibnu Salamah dan

menetap sampai 780 H/1378 M, dan disanalah untuk pertama kalinya ia

melakukan penelitian dan kajian ilmiah serta berhasil menulis karya

monumentalnya Muqoddimah, yang merupakan jilid pertama dari buku al-‘Ibar

wa Diwan Mubtada’ wa Khabar fi Ayyam ‘Arab wa ‘Ajam wa

al-Barbar. Terbitan Cairo 1284 H.19

Disebabkan kurangnya rujukan yang tersedia di tempat pengasingannya,

maka Ibnu Khaldun terpaksa kemabali ke Tunisia yang memiliki perpustakaan

lengkap. Pada saat itu Tunisia masih di bawah pemerintahan Abu Abbas. Untuk

meluluhkan hati Abu Abbas ia pun menulis surat yang cukup mengharukan. Ibnu

19

(25)

Khaldun menjelaskan alasan-alasannya mendukung pihak oposan terhadap

pemerintahannya dan memohon maaf serta meminta izin agar dapat kembali ke

Tunisia untuk mengadakan beberapa penelitian. Sultan mengizinkannya. Di

samping itu, sultan pernah menyuruhnya untuk menyertainya dalam suatu

ekspedisi militer dalam rangka menumpas beberapa pemberontakan. Ibnu

Khaldun tidak menyukai tugas yang berbahaya ini, dan memutuskan untuk pergi

menunaikan ibadah haji.20 Setelah berangkatnya Ibnu Khaldun meninggalkan

Tunisia dan berlayar menuju Alexandria, Mesir, pada tahun 784 H/ 1382 M ,

maka berakhir pulalah karier politiknya di Afrika Barat Laut yang penuh

petualangan dan tantangan. Sejak itu ia tidak pernah kembali lagi ke kawasan

tersebut.

C. Masa Penulisan Karya Ilmiah

Sebagai dijelaskan sebelumnya bahwa ketika Fez jatuh ke tangan Sultan

Abu Abbas Ahmad (776 H / 1374 M), Ibnu Khaldun pergi ke Granada untuk

kedua kalinya. Tetapi Sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun

untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara.

Sesampainya di Tilmisan, Ibnu Khaldun tetap diterima Abu Hammu,

meskipun ia pernah mengkhianatinya setelah beralih dukungan kepada Sultan

Abdul Aziz dari Bani Marin. Ibnu Khaldun akhirnya benar-benar meninggalkan

panggung politik. Atas dukungan Banu Arif yang memberikan perlindungan

terhadapnya ia pun menetap di istana Qal’at Ibnu Salamah selama empat tahun

20

(26)

dan menghasilkan karya monumental Muqoddimah. Akan tetapi karena kurangnya

bahan rujukan untuk menyelesaikan penelitian tersebut, dia terpaksa kembali ke

Tunisia yang memiliki perpustakaan yang lengkap. Naskah bersih Muqoddimah

ditulis untuk pertama kalinya di Tunisia, dan satu di antara naskah tersebut,

bersama dengan jilid-jilid lain dari Al-Ibar dipersembahkan kepada Sultan

Tunisia, Abu Abbas. Setelah berada di Kairo buku itu ditambah dan

disempurnakan. Kemudian disiapkan dua naskah, satu dipersembahkan kepada

Sultan Mesir, Dzahir Barquq, dan satu lagi kepada Sultan Abdul Aziz di Fez.

Karya tulisnya yang lain adalah Al-Ta’rif yang semula merupakan lampiran dari

Al-Ibar .21 pada tahun 784 H/1382 M ia berangkat ke Iskandariyah (Mesir) dengan

maksud menghindari kekacauan dunia politik di Maghribi. Setelah sebulan di

Iskandariyah, ia pergi ke Kairo.

Tidak berapa lama di Kairo, dengan kecerdasan yang ia miliki, maka tidak

heran kemudian masyarakat Mesir menerimanya dengan suka cita. Pada tahun 784

H / 1384 M raja menunjuknya menjadi dosen dalam ilmu Fiqih Mazhab Maliki di

Madrasah Qamhiyah. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai ketua pengadilan

kerajaan. Tetapi setahun kemudian, keluarganya mendapat musibah. Kapal yang

membawa istri, anak-anak, dan harta bendanya tenggelam tatkala merapat ke

Iskandariyah. Ia mengundurkan diri, namun raja kemudian kembali

mengangkatnya sebagai dosen di beberapa madrasah. Pada tahun 749 H/1387 M

ia pergi menunaikan haji. Pada 801H/1399 M ia kembali diangkat sebagai ketua

pengadilan dan pergi ke Baitulmaqdia (Yerusalem). Tiga bulan setelah itu

21

(27)

ia,mengundurkan diri.dan pada 803 H/1401 M ia ikut menemani sultan ke

Damascus dalam satu pasukan untuk menahan serangan Timur Lenk, penguasa

Mughal.setelah kembali ke kairo, ia kembali ditunjuk menduduki jabatan ketua

pengadilan kerajaan, dan tetap dalam jabatan itu hingga akhir hayatnya. 22

Ibnu Khaldun dianggap sebagai penganut teori siklus sejarah disebabkan

pandangannya bahwa masyarakat lahir, tumbuh, berkembang, lalu mati untuk

diganti dengan yang lain. Adapun formasi masyarakat yang dia maksud

salahsatunya adalah adanya hasrat manusia untuk berkumpul, bersaing, lalu

memperebutkan kepemimpinan. Mereka diikat dengan solidaritas ashabiyah yang

diarahkan oleh para pemimpinnya.23

D. Jasa-Jasa dan Kebesaran Ibnu Khaldun

Dalam sejarah Islam, Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu

sosial dan politik Islam. Bahkan lebih dari itu beliau juga dikenal sebagai

sejarahwan, sastrawan, ahli hukum, dan ahli filsafat. Adapun kedudukannya

sebagai filsuf dalam arti profesional hampir hilang disebabkan kemasyhurannya

sebagai seorang sosiolog dan teoritikus sejarah. Kendati demikian, Ibnu Khaldun

adalah seorang pemikir yang teguh beriman kepada ajaran Islam. Hal ini dapat

dilihat dalam berbagai karyanya seperti buku Muqaddimah, dapat ditemukan

bahwa pada setiap pasal ia senantiasa memuji Allah serta menukilkan beberapa

ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan pokok pembahasan, dan pada setiap penutup

pasal selalu disudahi dengan do'a atau ayat-ayat Al-Qur'an, kadang pendek dan

22

Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 82

23

(28)

adakalnya panjang. Begitupun ia senantiasa mengulas beberapa hadits Nabi

Muhammad, hal ini tentunya menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun memiliki

pemahaman agama yang mendalam.

Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar dan

ilmuwan yang kritis dan obyektif, rasional, tetapi juga agamawan yang taat,

dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran, bahkan Ali Audah

menyebutnya sebagai seorang filsuf sosiologi dan sejarah, Dia seorang intelek,

pemikir dan ulama yang telah memberikan saham besar dalam sejarah

intelektualism dan kemanusiaan.24

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa antara politik dan kebudayaan tidak

dapat dipisahkan, dan masyarakat dibedakan antara masyarakat desa (badawah)

dan kota (hadarah). Studi Islam menurutnya, terdiri dari ul m tabi’iyyah dan

ul m naqliyyah. Ul m tabi’iyyah meliputi ilmu filsafat, aritmatika, dan hisab,

handasah (geometri), alhaia (astronomi), tib (kedokteran) dan al-fal hah

(pertanian); sedangkan ‘ul m naqliyyah meliputi agama/wahyu dan syariat,

Al-Qur’an, fiqih, kalam (teologi), dan tasawuf.25

Dalam memahami sejarah, Ibnu Khaldun setidaknya memberikan

beberapa syarat untuk diperhatikan. Pertama, peristiwa-peristiwa sejarah itu harus

rasional, tidak dicampur dengan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti halnya

campur tangan dari yang ghaib; Kedua, analisis peristiwa sejarah dengan

menghubungkannya dengan sebab akibat. Dengan persyaratan di atas berarti Ibnu

Khaldun telah merintis sebuah pemikiran sejarah yang kritis. Sebelum Ibnu

24

Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) h.87

25

(29)

Khaldun penulisan sejarah umumnya hanya merupakan penyalinan saja dari yang

sudah ada dan tidak mengenal analisa. Bahkan isi sejarah dicampur dengan

kecenderungan pribadi dan emosinya, dengan cerita-cerita takhayul yang sudah

berjalan sejak Herodotus, sampai pada mereka yang datang sebelum Ibnu

Khaldun, di Barat ataupun di timur. 26

E. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun

Menarik untuk dicermati mengenai corak pemikiran Ibnu Khaldun terlebih

mengenai permasalahan pandangannya antara agama dan filsafat. Meskipun

dikenal dengan seorang ilmuwan yang senantiasa berpikir rasional dan banyak

berpegang teguh pada logika, namun Ibnu Khaldun tetaplah seorang agamawan

yang berpegang teguh dalam menjaga nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya.

Dalam mengemukakan pendapat, Ibnu Khaldun senantiasa berpijak pada

alasan-alasan yang obyektif dan deskriptif. Ia mencari bukan untuk memuji atau

mencela, tetapi untuk mengetahui dan memahami inti masalah yang menyangkut

perkembangan sesuatu lembaga dan tingkah laku manusia. Dan dengan cara

demikianlah ia berkasil mengemukan teorinya tentang filsafat sejarah dan

sosiologi.27

Lebih lanjut Ali Audah menjelaskan, bahwa Ibnu Khaldun tidak dapat

melepaskan peristiwa-peristiwa sejarah itu dengan perkembangan manusia

sebagai unsur pertama, baik pribadi maupun masyarakat dan pada gilirannya

masyarakat pun tak dapat dilepaskan pula dari lingkungannya: tanahnya, hasil

bumi, iklim, udara, geografi, luas daerah pertanian, jumlah penduduk, ras,

26

Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, h.93

27

(30)

pertukangan atau industri, perekonomian dan sifat pemerintahan yang menjadi

obyek penulisan sejarah itu. Pada gilirannya pula hal di atas akan menentukan

bentuk-bentuk kesenian, kepercayaan, adat istiadat, serta cara berpikir masyarakat

itu, bahkan bentuk tubuh, tingkah laku, kemampuan otak serta warna kulit. Dari

sini lahir golongan yang kemudian diperkuat oleh unsur asabiyah, yang sangat

dipengaruhi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat. Perubahan-perubahan yang

terjadi pada watak masyarakat, baik karena pengaruh ekonomi, politik, kekuasaan

dan sebagainya akan membawa akibat berubahnya segenap struktur kekuasaan,

dan ini dapat melahirkan asabiyah tingkat makro dalam masyarakat, yang akan

membawa akibat berubahnya bentuk-bentuk kekuasaan dalam masyarakat serta

lahirnya negara-negara baru dalam sejarah, melalui revolusi.28

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang

pemikir dan ilmuwan yang kritis dan obyektif, rasional, tetapi juga agamawan

yang taat, dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran. Suatu

kehidupan yang berimbang dalam dirinya dalam menghayati agama dan ilmu. Dia

seorang fisuf sosiologi dan sejarah, dia seorang intelek, pemikir yang berdisiplin,

dan ulama yang taat, dan telah memberikan saham yang besar dalam sejarah

intelektualisme dan kemanusiaan.

28

(31)

BAB III

PANDANGAN IBNU KHALDUN

TENTANG BENTUK PEMERINTAHAN KHILAFAH

A. Arti Khilafah

Di dalam nash-nash Islam diawali dari hadits-hadits nabi, lafazh “imam”

digunakan untuk menjuluki kepala negara. Gelar al-Imam atau al-Aimmah

umumnya diartikan sebagai orang yang mengurusi negara.29 Kemudian muncullah

lafazh khilafah yang merupakan pengganti Nabi Muhammad setelah wafatnya

beliau.

Menurut Ibnu Khaldun letak perbedaan dari jenis-jenis pemerintahan yang

satu dan yang lainnya adalah perbedaan undang-undang. Jenis undang-undang

akan menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan. Undang-undang adalah ruh

bagi setiap sistem atau tatanan sosial dan menjadi dasar eksistensinya.30 Sebagai

contoh suatu pemerintahan yang menganut sistem kerajaan umumnya memiliki

tabiat natural yakni insting, atau kecenderungan dan keinginan insting yang

tersusun dalam satu individu: seperti egoisme dan keinginan untuk menjadi

arogan dan despotis. Dan semua itu menurut Ibnu Khaldun, haruslah dibenci.

Jenis pemerintahan yang demikian itu dapat menjadi sebuah pemerintahan yang

otoriter, individualis, otokrasi, dan dikhawatirkan lagi pemerintahan itu dapat

menghasilkan suatu kondisi chaos, perpecahan, instabilitas dan kehancuran

negara.

29

Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, (Solo: Pustaka Mantiq, 1995) h. 68

30

(32)

Menurut Ibnu Khaldun, "jika aturan perundang-undangan diputuskan oleh

para intelektual dan pembesar negara, kebijakan politiknya disebut rasional; dan

jika aturan-aturan itu berasal dari Allah yang memutuskan dan mensyariatkannya,

maka orientasi politiknya adalah religius, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan

dan keakhiratan. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan kekerasan,

penindasan, dan mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan

menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model seperti tidaklah terpuji."31

Mengenai keimamahan atau kekhilafahan maka pemerintahan yang

demikian itu merupakan pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai

undang-undang, yaitu prinsip-prinsipnya bersumber dari Al-Qur'an, al-Sunnah.

Selain itu, hukum-hukumnya dapat berpegang dan bercabang dengan berpegang

kepada empat sumber hukum: Al-Qur'an, Al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Dengan

demikian, menurut Dhiauddin Ra'is, di dalam undang-undang Islam tersebut,

terhimpun hikmah logika individu dan kolektif, bimbingan Nabawi, serta tujuan

Ilahi.32

Ibnu Khaldun membedakan antara kedudukan raja dan Khalifah.

Kedudukan raja timbul dari keharusan hidup bergaul manusia, dan didasarkan

kepada penaklukan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan

sifat-sifat kebinatangan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengkritik tentang asal

kedaulatan sebuah kerajaan yang cenderung bersifat memaksa dan

mengedepankan sifat-sifat kebinatangan serta menyampingkan keadilan dan

kesejahteraan rakyat. Sebagian besar para raja menerapkan peraturan tidak

31

M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.88

32

(33)

berpihak kepada kepentingan rakyat bahkan seringkali membebani mereka dengan

bermacam-macam kewajiban yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka demi

tercapainya keinginan-keinginan dan tujuan sang raja. Bermacam-macam

peraturan bisa saja diciptakan oleh raja. Namun, pergantian raja bisa

mempengaruhi perubahan kebijakan sehingga beragam peraturan pun akan dibuat

silih berganti sesuai dengan tujuan raja yang berganti pula. Dalam hal ini sukarlah

bagi rakyat untuk mematuhi suatu perintah dan lebih jauh akan menimbulkan

pemberontakan-pemberontakan sehingga akan membawa kekacauan dan

hilangnya nyawa.

Untuk menciptakan suatu negara yang bisa tegak dan kuat, maka

dibutuhkan suatu ketetapan hukum politik yang bisa diterima dan diikuti rakyat.

Namun, hukum tersebut tidak semata didasarkan kepada akal, sebagaimana

hukum itu dibuat oleh para terkemuka, bijaksana dan cerdik pandai melainkan

ditentukan oleh Allah dengan perantaraan Rasul, maka pemerintahan yang

demikian disebut berdasarkan agama. Dan pemerintahan agama yang demikian itu

berguna sekali, baik untuk hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Dalam hal ini

Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan yang religius memandang pentingnya sebuah

pemerintahan yang mengedepankan orientasi dunia dan akhirat. Menurutnya

manusia tidak diciptakan hanya untuk di dunia ini saja yang penuh dengan

kehampaan dan kejahatan dan yang akhirnya hanyalah mati dan kesirnaan belaka.

Dan Allah berfirman; “Apakah kamu mengira bahwa kami menjadikan kamu

dengan sia-sia.”33

33

(34)

Dalam pandangan Ibnu Khaldun suatu hukum politik dibuat hanya untuk

mengatur manusia tentang barang-barang lahir, kepentingan duniawi. Sedangkan

hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia dalam segala hal,

ibadah mereka, tata cara hidup mereka, juga yang berhubungan dengan negara.

Oleh karena itu sudah seharusnya negara berdasarkan agama supaya segala

sesuatu yang berhubungan dengan negara itu berada di bawah naungan

pengawasan Tuhan pemberi hukum itu..

Maka tidaklah dibenarkan suatu negara yang didasarkan kepada

penaklukan dan paksaan serta pemuasan dorongan kemarahan karena hal tersebut

dianggap sebagai sebuah penindasan dan penyerangan, dan merupakan perbuatan

tercela, baik di sisi Allah, pemberi hukum, maupun dalam pandangan

kebijaksanaan politik.34

Dengan sederhana Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa suatu negara yang

ditetapkan atas hukum-hukum Allah sangat berguna sekali dibandingkan dengan

suatu negara yang berdasarkan akal semata. Hal ini disebabkan, Tuhan lebih

mengetahui kepentingan manusia dalam soal yang berhubungan dengan hidup

akhirat, yang ada di luar pengetahuan mereka. Dengan demikian tujuan Tuhan

membuat undang-undang adalah demi keselamatan manusia dalam hidup di

akhirat kelak. Oleh karena itu, adalah menjadi keharusan supaya manusia

menyesuaikan diri dengan hukum-hukum agama dalam segala hal. Dan kekuasaan

34

(35)

ini adalah kepunyaan Pembuat Undang-undang, ialah para Nabi dan orang-orang

yang menggantikan mereka, yaitu khalifah-khalifah, dan inilah arti khilafah.35

B. Fungsi Khalifah

Mengenai fungsi Khalifah tampaknya pendapat Ibnu Khaldun tidak

berbeda jauh dengan Al-Mawardi yakni jabatan ini merupakan pengganti Nabi

Muhammad, dengan tugas yang sama yakni mempertahankan agama dan

menjalankan kepemimpinan di dunia. 36 Khalifah dianggap sebagai penegak

agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama. Tugas

agama yang dimaksud adalah kemampuan seorang khalifah untuk menyampaikan

kewajiban syar’iyyah kepada manusia, serta memobilisasi mereka supaya

melakukannya. Dan tujuan pemimpin duniawi yakni dengan kemampuannya

sebagai seorang yang berusaha mengurusi kepentingan umum peradaban umat

manusia.

Kepemimpinan raja, menurut Ibnu Khaldun, “apabila bersifat islami,

termasuk ke dalam barisan khilafah dan menjadi salah satu ikutannya. Kedaulatan

negara non-muslim tegak sendiri’. Dalam hal ini berarti Ibnu Khaldun tidak

mengkritik sistem kerajaan yang tetap menjalankan syari'at Islam. Akan tetapi

menurut penulis pandangan demikian tentunya bertentangan dengan pendapat

Ibnu Khaldun sendiri yang mengkritisi bahwa sistem kerajaan umumnya bersifat

despotis, invidualis, serta lebih cenderung otoriter. Hal ini cukup beralasan karena

biar bagaimanapun pemerintahan raja terkadang tidak sepenuhnya didukung oleh

35

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Mesir: Mustofa Muhammad) h. 190-191

36

(36)

sebagian masyarakat, terlebih sistem warisan kekuasaan yang turun temurun

dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat yang merasa tidak

puas dengan pemerintah, dan akhirnya dapat menciptakan instabilitas negara.

Perlu diketahui bahwa fungsi religius syari’at agama, menurut Ibnu

Khaldun, seperti shalat, jabatan mufti, jabatan hakim, jihad, dan pengawasan

pasar, termasuk ke dalam imamah besar yaitu khilafah. Khilafah itu seakan-akan

pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi mencabanginya dan

membawahinya, baik agamawi maupun duniawi. Kekuatannya menyeluruh dalam

melaksanakan hukum agama maupun dunia.37 Berikut akan dijelaskan beberapa

fumgsi religius yang khusus untuk khilafah, dan fungsi pemerintahan raja:

a) Imamah Shalat. Telah diketahui bahwa pada masa khalifah-khalifah

yang pertama, mereka tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat

kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena imamah shalat adalah

yang paling tinggi di antara fungsi jabatan khilafah. Hal ini dibuktikan

ketika para sahabat menarik kesimpulan dari fakta bahwa Abu Bakar

telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad menjadi imam shalat, satu fakta

bahwa dia juga ditunjuk sebagai penggantinya dalam mengurusi

masalah-masalah duniawi.

b) Jabatan Mufti. Dalam hal ini, tugas khalifah adalah menguji para

ulama dan guru, dan hanya mempercayakannya kepada orang-orang

yang teruji untuk jabatan itu. Jabatan mufti merupakan salah satu

37

(37)

kepentingan keagamaan kaum muslimin. Khalifah harus

memperhatikannya .

c) Jabatan Hakim. Di masa permulaan Islam, para khalifah melaksanakan

sendiri jabatan hakim. Khalifah pertama yang menyuruh seseorang

untuk menjalankan fungsi ini adalah Umar. Beliau menunjuk Abu

Darda' untuk menjadi hakim di Madinah, memilih Syuraih untuk tugas

hakim di Bashrah dan Abu Musa al-Asy'ari di Kufah.

d) Polisi. Pengawasan terhadap tindakan kriminal serta penentuan

hukumman-hukuman yang ditetapkan oleh syari'at agama merupakan

tugas khusus, dan diserahkan kepada kepala polisi. Lapangannya

sedikit lebih luas dibanding jabatan hakim. Ia memutuskan hukuman

pencegahan sebelum tindak kriminal dilakukan. Ia melaksanakan

hadd-hadd yang telah ditetapkan oleh syari'at agama dengan

semestinya, serta menetapkan kemungkinan pembanding jika seorang

merasa dirugikan oleh orang lain sesuai dengan hukum yang berlaku.

e) Keadilan atau kedudukan saksi resmi. Prasyarat tugas ini ialah, bahwa

orang yang melaksanakannya harus bersifat adil, sesuai dengan

ketentuan agama, dan bebas dari cacat. Dia harus memiliki

pengetahuan tentang jurisprudensi sesuai dengan kebutuhan jabatan

itu. Hal ini disebabkan ia harus dapat mengisi catatan-catatan di dalam

pengadilan, mengerti perjanjian dalam bentuknya yang benar,

(38)

dan syarat yang melingkunginya berdasar titik penglihatan hukum

agama.

f) Pengawasan Pasar. Jabatan ini adalah termasuk bagian dari kewajiban

amar ma'ruf nahi munkar. Akan tetapi dia tidak punya kekuasan untuk

mengurusi klaim hukum secara mutlak, kecuali terhadap segala sesuatu

yang berhubungan dengan penipuan dan perlakuan curang dalam

masalah timbang-menimbang ukur-mengukur. Ia juga berusaha

membuat orang menunda hutang supaya membayarkan dengan apa

yang dimilikinya. Konsekuensi dari jabatan ini ialah ia berada di

bawah jabatan hakim.

g) Pencetakan Uang Logam. Pengawasan terhadap pencetakan uang

merupakan tugas yang bersifat religius, dan berada di bawah khilafah.

Ia dijadikan sebagai bawahan dari juridiksi hakim.38

Demikian akhir pembicaraan mengenai kedudukan kekhilafahan. Secara

menyeluruh dapat disimpulkan bahwa fungsi kedudukan khalifah tidak hanya

mengurusi masalah agama saja, akan tetapi persoalan duniawi pun tidak

ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Khilafah itu

seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi

mencabanginya dan membawahinya, baik agamawi maupun duniawi.

Selain panggilan Khalifah terkadang jabatan tersebut disebut “imamah

kubro” selanjutnya, jabatan ini dianggap suatu kewajiban menurut hukum syari’at

agama disebabkan ijma para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in. Hal ini

38

(39)

dibuktikan setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat membai’at Abu Bakar dan

mempercayakan pengawasan persoalan dan urusan mereka kepadanya. Demikian

pula di masa-masa berikutnya. Dalam zaman manapun rakyat tidak pernah

diserahkan kepada anarki.

Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa kewajiban imamah ditentukan

akal, dan bahwa ijma yang kebetulan itu hanya menguatkan ketetapan akal saja.

Mereka berpendapat: bahwa yang membuat jabatan imam itu wajib menurut akal

ialah perlunya manusia pada suatu organisasi kemasyarakatan dan

ketidakmungkinan mereka hidup sendiri-sendiri.

Sebagian kelompok tetap kokoh mengatakan bahwa jabatan imam sama

sekali tidak penting, baik berdasarkan akal maupun syari’at. Pandangan ini

diwakili oleh golongan Mu’tazilah salah satunya al-Ashamm. Ada juga dari

golongan khawarij. Menurut mereka yang penting hanyalah menjalankan syari’at.

Mereka berpendapat demikian karena berusaha melepaskan diri dari kedaulatan

(mulk) dan wataknya yang suka menguasai, senantiasa mendominasi, dan bersifat

duniawi.

Menurut Ibnu Khaldun keharusan imamah haruslah diindikasikan oleh

syari’at, yaitu dengan konsensus (ijma). Adapun mereka yang menolak imamah

dengan alasan bahwa syari’at sangat mengecam dan menyalahkan adanya suatu

kedaulatan yang mana kedaulatan itu sendiri memiliki watak suka menguasai dan

mendominasi, maka Ibnu Khaldun menegaskan bahwa syari’at agama tidak

mengecam kedaulatan dan tidak pula melarang pelaksanaannya. Akan tetapi

(40)

kezaliman, dan enak-enakan. Sebaliknya syari’at agama memuji keadilan,

kejujuran, melaksanakan tugas-tugas agama, dan membelanya. Syari’at juga

mencela nafsu syahwat, dan marah pada orang-orang mukallaf, sebab

eksistensinya masih dirasa perlu. Tapi yang dimaksud ialah bagaimana

mempergunakannya dengan sebenar-benarnya.

Selanjutnya, mereka yang berusaha lari kedaulatan imamah dengan

berasumsi bahwa lembaga tersebut tidak penting sama sekali tidak dapat

membantu, sebab mereka menyetujui diharuskannya pelaksanaan syari’at, dan hal

itu tidak akan diperoleh kecuali melalui asabiyah dan kekuasaan, sedangkan

asabiyah sesuai wataknya memerlukan kedaulatan.39

Mengenai kehendak Allah akan terwujudnya khilafah, Ibnu Khaldun

menjelaskan bahwa hal tersebut tidak banyak yang bisa kita ketahui. Namun, yang

jelas bahwa Allah telah menjadikan khalifah-Nya sebagai wakil-Nya di dalam

mengurusi persoalan-persoalan hidup hamba-Nya dengan tujuan dapat memenuhi

kepentingan dan melepaskan kesukaran yang mereka miliki.

C. Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Khilafah

Setelah menjelaskan bahwa lembaga imamah wajib menurut ijma, maka

keperluan untuk diadakannya lembaga tersebut merupakan fardl al-kifayah, dan

mengenai mekanisme pengangkatannya diserahkan kepada pemuka-pemuka

muslim yang terbentuk dalam suatu wadah yakni ahl al-aqd wa al-hilli.

Kewajiban mereka adalah berusaha agar imamah berdiri, dan setiap orang wajib

39

(41)

taat sesuai dengan firman Allah: “Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul,

dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu.40

Tidak diperbolehkan menunjuk dua orang untuk menduduki imam pada

waktu yang sama. Adapun mengenai prasyarat untuk mendirikan lembaga

imamah itu, Ibnu Khaldun menyimpulkan setidaknya ada empat yaitu: al-‘ilmu,

al- ‘adalah, al-kifayah, salamatu al-hawas wa al-a’dô, adapun syarat yang kelima

ada banyak perbedaan pendapat yakni al-nasb al-Quraisy.41

1) Syarat pertama al-‘ilmu, kiranya sangat jelas bahwa seorang imam

harus menguasai hukum-hukum syari’at agar dapat melaksanakan hukum-hukum

Allah secara benar, dan terhindar dari sifat taqlid buta yang merupakan

kekurangan seorang imam. Di lain sisi dengan pengetahuannya tersebut ia dapat

memberikan keputusan yang memuaskan masyarakat, negara, dan agama.

2) Keadilan (al- ‘adalah) dianggap perlu disebabkan imamah

merupakan lembaga keagamaan yang mengawasi lembaga lain. Tempat keadilan

juga menjadi prasyarat. Tak ada perbedaan mengenai kenyataan bahwa keadilan

akan lenyap oleh sikap yang membiarkan berlakunya Akan tetapi ada perbedaan

pendapat mengenai apakah keadilan itu akan lenyap oleh sikap imam yang

memasukkan inovasi-inovasi baru ke dalam i’tiqad umat.

3) Kesanggupan (al-kifayah) berarti, bahwa seorang imam bersedia

melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi

berperang. Dia harus mengerti cara berperang, dan sanggup bertanggungjawab

untuk mengerahkan umat menuju peperangan. dia juga harus tahu tentang

40

Al-Qur’an al-karim, surat 4 ayat 59

41

(42)

ashabiyah dan diplomasi. Dia harus kuat melaksanakan tugas politik. Semua hal

tersebut harus dia miliki supaya mampu melakukan fungsinya melindungi agama,

berjihad melawan musuh, menegakkan hukum, dan mengatur kepentingan umum.

4) Bebasnya pancaindera dan anggota badan dari cacat atau

kelemahan seperti gila, buta, bisu, atau tuli, dan kehilangan anggota badan, kaki

atau testikel, semua itu dijadikan prasyarat karena kekurangan demikian

berpengaruh pada kemampuan bertindak. Kekurangan tersebut dapat dibagi dua.

Satu diantaranya disebabkan keadaan terpaksa, misalnya tidak mampu bertindak

karena dipenjara. Kemerdekaan bertindak adalah salah satu syarat yang sama

pentingnya sebagaimana syarat bebas dari cacat badan.

Mengenai syarat yang kelima ada perbedaan pendapat, yaitu keturunan

Quraisy. Prasyarat ini dianggap penting karena didasarkan pada fakta sejarah

mengenai ijma para sahabat pada hari saqifah. Pada hari itu kaum anshar

bermaksud membai’at Sa’ad ibn Ubadah, namun ditolak oleh pihak Quraisy yang

menjelaskan beberapa dalil dari Nabi Muhammad tentang imamah harus dijaga

oleh kaum Quraisy. Hasilnya argumentasi tersebut diterima kaum anshar. Namun,

lambat laun kekuasaan kaum Quraisy melemah, solidaritas mereka lenyap sebagai

akibat hidup mewah dan berlebih. Bangsa-bangsa non-Arab pun menaklukan

mereka, dan merebut kekuasaan eksekutif.

Seperti al-Mawardi, sepertinya Ibnu Khaldun tidak berbeda pendapat

mengenai pentingnya syarat keturunan Quraisy. Akan tetapi a memberikan alasan

yang bisa dianggap lebih logis. Mengenai hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan;

(43)

dan hikmah tertentu. ...namun, apabila persoalan itu kita teliti dan analisa, kita

akan mendapatkan bahwa maslahah umum yang dimaksud tidak lain diungkapkan

dalam solidaritas sosial (ashabiyah) yang dimiliki para imam keturunan arab.

Solidaritas itu memberikan perlindungan dan tuntutan, serta dapat melepaskan

imam dari oposisi dan perpecahan. Agama dan pemeluknya tentu akan dapat

menerima dia beserta keluarganya, dan ia pun dapat mengadakan hubungan yang

akrab dengan mereka.

Kaum Quraisy termasuk golongan suku Mudhar, cikal bakal dan paling

perkasa dibanding suku-suku Mudhar lainnya. Jumlah mereka banyak, solidaritas

serta kebangsawanan mereka berwibawa di kalangan suku Mudhar lainnya.

Suku-suku arab yang lain sama mengakui kenyataan itu, dan tunduk patuh pada

kekuatan kaum Quraisy. Sekiranya pemerintahan diserahkan kepada pihak lain di

luar mereka, pastilah pertentangan dan ketidaktaatan akan merusak segalanya.

Apabila orang-orang Quraisy yang berkuasa, maka dengan kekuatan yang

ada, mereka sanggup menyuruh manusia melakukan apa saja sekehendak mereka.

Dengan kekuasaan yang ada, mereka sanggup melenyapkan perpecahan

menyisihkan siapa saja yang menentang mereka.

Dengan demikian sangat jelas bahwa salah satu syarat dijadikannya

imamah dari keturunan Quraisy dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan

dengan bantuan ashabiyah dan superioritas. Oleh karena itu syarat keturunan

Quraisy dimasukkan ke dalam kategori prasyarat kesanggupan, dan apabila

(44)

solidaritas sosial bagi seorang khalifah. Tak seorangpun dapat memerintah suatu

bangsa atau generasi, kecuali orang yang dapat menguasai mereka

.

D. Gelar Am r al-Mu’min n Sebagai Ciri Khilafah

Gelar itu merupakan kreasi periode para khalifah al-rasyidûn, ketika Abu

Bakar dibai’at, para sahabat dan seluruh kaum muslimin menyebutnya khalifah

Rasulillah, lalu bai’at diberikan kepada Umar atas pilihan Abu Bakar, dan mereka

pun memanggilnya khalifah khalifati Rasulillah. Namun, akhirnya mereka

menganggap bahwa gelar tersebut tidak praktis karena panjangnya. Demikian pula

gelar tersebut akan semakin panjang sesuai dengan bertambahnya pergantian

khalifah.

Awalnya para pemimpin militer muslim dipanggil dengan gelar “am r.

Pada masa jahiliyyah, orang-orang memanggil Nabi Muhammad “am r Mekah”

dan “am r Hijaz.”ketika memimpin pasukan muslim dalam perang Qadisiyah

Sa’ad ibn Abi Waqqas pun di panggil dengan gelar “am r al-mu’min n.

Pada masa pemerintahan Umar sebagian sahabat menyebutnya sebagai

am r al-mu’min n.” Orang-orang pun menyenangi dan menyetujui gelar tersebut.

Orang yang pertama kali memanggil dengan gelar demikian adalah Abdullah ibn

Jahsy, atau Umar ibn al-‘Ash, atau Mughirah ibn Syu’bah. Dalam sebuah riwayat

disebutkan bahwa pada waktu pembebasan kota mekah, seorang utusan datang ke

Madinah dan menanyakan Umar: “dimanakah Am r al-Mu’min n? Para sahabat

mendengar dan menyetujuinya. “anda benar, demi Allah dia benar-benar Am r

(45)

sebagai suatu ciri, yang mana tak seorang pun dari seluruh daulah Bani Umayah

menggunakannya.

Pergeseran nama atau gelar khalifah terjadi ketika golongan Syi’ah

membuat nama khusus untuk Ali ibn Abi Thalib, yaitu Imam. Kata Imamah juga

berarti Khilafah. Hal ini mereka lakukan sebagai propaganda mazhabnya yang

mengatakan bahwa Ali lebih berhak menduduki imamah shalat daripada Abu

Bakar. Gelar tersebut mereka gunakan khusus hanya untuk Ali, dan untuk

orang-orang yang menduduki khilafah sesudahnya.42

Akan tetapi gelar am r al-mu’min n tetap dipertahankan para

pemimpin-pemimpin dinasti muslim sesudahnya. Sebagaimana ia menjadi ciri raja Hijaz,

Syiria, dan Iraq. Pada masa puncak kekuasaan Bani Abbas gelar demikian

ditambah sesuai dengan nama-nama keluarga seperti Saffah, Mansur,

al-Mahdi, al-Hadi, al-Rasyid, dan seterusnya. Penambahan gelar tersebut

dimaksudkan untuk berhati-hati terhadap nama diri mereka, menghindarkannya

dari kesalahan pengucapan oleh orang-orang awam, dan untuk menjaganya

supaya tidak tercemar.

Berbeda dengan Bani Abbasiyah, Bani Umayyah tidak pernah

menggunakan gelar demikian, bahkan terkesan menjauhinya. Terlebih ketika Bani

Abbasiyyah telah mengambil kontrol kekuasaan dengan cara mengadakan

pemecatan, penggantian, bahkan pembunuhan terhadap sebagian besar pemimpin

Bani Umayyah. Kecuali pada masa khalifah terakhir Abdurrahman – yaitu

al-Nashir ibn Amir Abdillah Muhammad ibn Abdurrahman. Ia menyebut dirinya

42

(46)

am r al-mu’min n, dan memberi gelar dirinya dengan al-Nashir li d n Allah. Hal

ini ia lakukan, meskipun nenek moyangnya terdahulu tidak pernah

mempraktekkannya.

Ketika lembaga khilafah mulai melemah, dan ashabiyah bangsa Arab telah

hancur, maka khilafah telah hilang identitasnya. Terlebih ketika

pemimpin-pemimpin non-Arab berhasil mengambil alih kekuasaan Bani Abbas, para

pengikut mereka sendiri berkuasa atas Bani Ubaid di kairo, Shinhajah mengusai

kerajaan Ifriqiyah, Zanatah berkuasa atas Maghribi, dan reyes de taifas (raja-raja

kecil) di Andalusia berkuasa atas Bani Umayyah. Masing-masing golongan ini

berkuasa atas bagian dari khilafah. Kekaisaran muslim terpecah-pecah. Raja-raja

di Timur dan di Barat telah mengambil berbagai gelar, setelah tadinya mereka

disebut dengan nama “sulthân.”

Sebagai sikap tunduk terhadap raja-raja non-Arab di Timur, para

pemimpin Arab sebelumnya menyebut mereka dengan nama-nama misalnya

Syafar daulah, Adlad daulah, Rukn daulah, Muiz daulah, nashir

al-daulah, Nizham al-mulk, baha al-al-daulah, dakhir al-al-daulah, dan lain sebagainya.43

Setelah bangsa non-Arab di Timur berhasil memperkokoh kekuasaan dan

kedaulatannya serta berhasil memperbesar peranannya di dalam negara dan

kesultanan, mereka menambahkan gelar pada nama mereka sebelumnya dengan

tambahan kata “din” saja. Sehingga mereka dikatakan dengan nama Shalauddin,

Asaduddin, Nuruddin, dan sebagainya.

43

Referensi

Dokumen terkait

 Pengembangan Aplikasi harus sesuai Best Practice sehingga produk yang dihasilkan memiliki qualitas yang baik.  Dalam Pengembangan Aplikasi dibutuhkan assessment

Berdasarkan hasil pengunian deskriptif data menunjukkan bahwa untuk variabel Return on asset memiliki nilai minimum sebesar 1,57 dan nilai maximum sebesar 16,46

7 Adapun data primer disini diperoleh adalah dampak psikologis bagi narapidana wanita yang melakukan tindak pidana pembunuhan dan upaya penanggulangan yang dilakukan oleh

Terkait dengan paparan data mengenai perencanaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di SMA Negeri 4 Seluma dapat disampaikan beberapa temuan sebagai berikut : 1)

Proses pembentukan citra dimulai dari penerimaan secara fisik (panca indra) masuk ke saringan perhatian (attention filter) dan dari situ meng- hasilkan pesan yang dapat

Bojonegoro, analisis Hukum Islam terhadap praktik akad sewa menyewa sawah sistem tahunan di Desa Kolong Kecamatan Ngasem kabupaten

matriks QSPM, Hasil analisis ini menunjukkan bahwa prioritas strategi yang ingin dijalankan oleh Pia Apple Pie adalah: (a) mempertahankan manajemen sumber daya pada

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah