PANDANGAN IBNU KHALDUN
TENTANG PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN DI MASA MUAWIYAH
Disusun oleh:
Achmarul Hadi NIM: 103033227806
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PANDANGAN IBNU KHALDUN
TENTANG PERGANTIAN KEKHILAFAHAN
MENJADI KERAJAAN DI MASA MUAWIYAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Achmarul Hadi
NIM: 103033227806
Di Bawah Bimbingan
Dr. Sirajuddin Aly, M.A.
NIP. 150 318 684
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata- 1 di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Demikian Lembar Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
penuh tanggung jawab.
Jakarta, 27 April 2009
KATA PENGANTAR
Tidak ada yang paling mulia yang harus didahulukan kecuali ucapan
syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang mengatur seluruh makhluk-Nya.
Berkat kekuatan dari-Nya, akhirnya penulis dapat merampungkan skripsi ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah saw,
keluarga, sahabat serta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi
persyaratan untuk mencapai gelar sarjana strata satu (S1) pada Jurusan Pemukiran
Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari sempurna,
karena berbagai keterbatasan yang ada. Akan Tetapi, dengan adanya arahan,
bantuan, bimbingan dan dukungan, baik moril maupun materil dari berbagai
pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. H. M. Amin Nurdin, M.A., selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat serta segaenap dosen yang telah membimbing penulis selama
menempuh pendidikan.
2. Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan Pemikiran Politik
Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku sekretaris Jurusan,
yang tanpa lelah mendedikasikan diri demi eksisnya Jurusan ini.
3. Dr. Sirojudin Aly, M.A., selaku pembimbing penulis , yang dengan
penuh kesabaran menbimbing penulis, mengarahkan, memberikan
masukan, hingga selesainya skripsi ini.
4. Kepala dan seluruh staf Perpustakan Utama dan Perpustakaan
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan
Imam Jama' Lebak Bulus yang telah memberikan pelayanan dan
5. Umak dan Ba yang senantiasa sabar membimbing dan mendoakan
penulis, begitu juga Kak Zul, Kak Fran, Hendri dan Sukma yang
selalu memberikan dukungan.
6. Istriku tercinta Nur Jannah yang senantiasa memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan tugas akhir ini, serta tidak lupa putriku tercinta
Kaysa Qathrunnada yang memacu semangat Abi untuk bisa segera
menyelesaikan kuliah.
7. Ustadz Abdul Aziz Abdur Rouf, Lc., serta seluruh rekan-rekan di
Markaz Al Qur'an
8. Ustadz Awwaludin Al Hafizh, serta rekan-rekan di Ma'had Utsman
bin Affan.
9. Seluruh rekan-rekan di KOMDAK Ushuluddin yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, Jazakumullah Khairul Jazaa…..
Jakarta, 27 April 2009
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN………. i
KATA PENGANTAR………... ii
DAFTAR ISI……….iv
TRANSLITERASI ARAB-LATIN……….vi
BAB I. PENDAHULUAN………1
A. Latar Belakang……….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 4
C. Tujuan Penelitian………... 5
D. Metode Penelitian………. 5
E. Sistematika Penulisan……… 6
BAB II. RIWAYAT HIDUP IBNU KHALDUN……….. 8
A. Masa Kelahiran, Perkembangan, dan Studi………...8
B. Masa Bertugas di Pemerintahan dan Terjun ke Dunia Politik di Maghribi dan Andalusia………10
C. Masa Penulisan Karya Ilmiah………17
D. Jasa-Jasa dan Kebesaran Ibnu Khaldun……… 19
E. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun……… 21
BAB III. PANDANGAN IBNU KHALDUN TENTANG BENTUK PEMERINTAHAN KHILAFAH... 23
A. Arti Khilafah………..23
C. Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Khilafah…………..32
D. Gelar Am r al-Mu’min n Sebagai Ciri Khilafah... 36
BAB IV. PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN.... 41
A. Latar Belakang Perubahan Sistem Pemerintahan Dari Khilafah ke Kerajaan...41
B. Pola Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Kerajaan... 56
C. Faktor Pengangkatan Yazid Sebagai Putera Mahkota setelah Muawiyah... 58
D. Substansi Kekhalifahan Era Muawiyah... 60
BAB V. PENUTUP...69
A. Kesimpulan... .69
B. Saran...71
Tranliterasi Arab-Latin
a dz zh n
b r ' h
t z gh w
ts s f '
j sy q
h sh k
kh dh l
d th m
a panjang = â
i panjang = î
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani pada tahun 1922 dan digantikan
dengan Republik Turki setidaknya menyisakan sejarah panjang perjuangan
masyarakat muslim dalam menggapai kedaulatan negara mereka masing-masing.
Di antara perjuangan itu ada yang mencetuskan ide kembali kepada kedaulatan
Islam yang absolut yakni kembali kepada sistem Khilafah. Hal ini dianggap
penting karena dengan berdirinya Khilafah, maka penerapan hukum-hukum Islam
bisa dianggap lebih efektif dan mudah diaplikasikan secara menyeluruh.
Beberapa gerakan yang muncul untuk mendukung gagasan tersebut di atas
dapat ditemukan hingga dewasa ini. Sebagai contoh gerakan Hizb Al-Tahrir yang
didirikan oleh Taqiyuddin Nabhani pada tahun 1952 lebih memfokuskan
da'wahnya kepada keharusan mengembalikan Khilafah Islamiyah. Begitu juga
dengan tokoh Abu al-A'la al-Maududi yang mendirikan Jama'at Islami di Anak
Benua India-Pakistan pada tahun 1941. beliau benar-benar memfokuskan
aktifitasnya untuk menegakkan syari'at Islam dan menerapkannya dalam
kehidupan nyata.
Terlepas permasalahan di atas, penulis berpikir bagaimanakah kedudukan
kekuasaan-kekuasaan Muslim pasca Khulafâ al-Rasyidûn seperti Dinasti
Umayyah, Abbasiyah, dan seterusnya. Apakah kekuasaan mereka dapat
dimasukkan dalam kategori pemerintahan khilafah?. Apakah kekuasaan setelah itu
Bani Umayyah yang merupakan pelopor pertama terjadinya pergeseran sistem
kekhilafahan menjadi kerajaan?. Dalam hal ini penulis sendiri memahami adanya
pergeseran sistem kekhilafahan menjadi kerajaan yang telah dimulai sejak awal
pemerintahan Dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Muawiyah. Oleh karena
itu pembahasan mengenai pergantian kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa
Muawiyah tersebut akan menjadi telaah khusus dalam penulisan skripsi ini.
Meskipun kajian ini merupakan Kajian ulang (literatur review) dari
berbagai kajian ilmiah yang seringkali diulas baik oleh pengamat terdahulu
maupun yang kontemporer. Di antara tulisan tersebut adalah sebagai berikut, Al-
Mawardi mengulasnya dalam karyanya Al-Ahkam Al-Sulthâniyah. Al-Mawdudi
tampil dengan karyanya Al-Khilafah wa Al-Mulk, Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris mengulasnya dalam al-Nizham al-Siyasi f al- Islâm, dan telah
diterjemahkan dengan judul Sistem Politik Islam, secara khusus ia pun
menjelaskan permasalahan tentang kedudukan putera mahkota (wilayatu
al-ahhdi), dalam tulisannya tersebut beliau mengkritik pandangan Abu Ya’la
al-Farra dan Ibnu Khaldun yang lebih lunak dalam memandang kebolehan putera
mahkota untuk memegang kedaulatan khilafah. Dan terakhir tampil penulis
kontemporer yakni Yusuf al-Qardhawi yang mengkritik tentang beragam distorsi
penulisan sejarah Islam. pandangan tersebut beliau rangkai dalam tulisannya yang
berjudul Tarikhuna al-muftara ‘Alaih dan telah diterjemahkan dengan judul
Meluruskan Sejarah Islam, Akan tetapi dalam tulisan ini penulis memilih untuk
mengetahui pembahasan tersebut dari sudut pandang seorang tokoh muslim
khususnya dalam kajian sosial politik yang terdokumentasikan dalam magnum
opusnya yakni Muqaddimah.
Tidaklah berlebihan ketika menyebut Ibnu Khaldun sebagai bapak peletak
dasar ilmu sosial politik dan filsafat. ia memetakan masyarakat dengan interaksi
sosial, politik, dan geografi yang melingkupinya. Pendekatan ini dianggap
menjadi terobosan yang sangat signifikan.1
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pandangan-pandangan Ibnu
Khaldun mengenai bentuk pemerintahan Khilafah. Secara luas beliau pun
mendefinisikan akan arti khilafah, syarat-syarat khilafah, fungsi jabatan
keagamaan khilafah, dan gelar Am r al-Mu'Min n sebagai ciri khilafah.
Ibnu Khaldun menelaah tentang pergantian khilafah menjadi monarki pada
masa Muawiyah tentunya dengan pandangan ilmiah. Di antara pandangannya
yang akan penulis analisa adalah, pertama, pandangannya mengenai sebab-sebab
perselisihan Ali dan Muawiyah yang menjadi titik tolak pertama terjadinya
perubahan sistem khilafah. Kedua, prinsip al-Ashabiyah dalam pemerintahan
Muawiyah yang menjadi pendorong utama lahirnya sistem monarki. Ketiga,
substansi kekhalifahan pada masa Muawiyah dan para pengganti-penggantinya.
Dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya pergantian kekhilafahan
menjadi kerajaan sejak zaman Muawiyah, penulis berharap bisa menilai secara
proporsional dan tidak berusaha mendiskreditkan salah satu pihak. Sebagaimana
telah diketahui bahwa Muawiyah termasuk salah satu sahabat Nabi Muhammad,
1
di samping juga kapasitasnya sebagai salah seorang pejuang dalam penaklukan
Negeri Syam.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Ibnu Khaldun terkenal lebih moderat dalam menyikapi perselisihan antara
Muawiayah dan Ali, namun ia tetap berupaya mengkritisi berbagai permasalahn
yang timbul pada saat keduanya berseteru dalam mempermasalahkan siapa yang
berhak dalam memegang jabatan khilafah. Dengan tidak mengahakimi salah satu
di antara keduanya, pandangan Ibnu Khaldun menjadi daya tarik penulis untuk
mengungkap lebih jauh dasar-dasar perpecahan yang timbul pada masa peralihan
kekuasan dari khalifah Ali ke tangan Muawiyah.
Untuk mengetahui permasalahan di atas penulis berupaya merumuskan
berbagai batasan masalah yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Di sini
penulis membatasi permasalahan kepada inti pandangan Ibnu Khaldun mengenai
pergantian bentuk kekhilafahan dari masa Khulafâ al-Rasyidûn menjadi kerajaan
pada masa pemerintahan Muawiyah.
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
tersebut sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian
kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah?
b. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, Apakah sebenatrnya landasan utama
yang menyebabkan bergesernya kekhilafahan menjadi kerajaan pada
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penulisan tugas akhir ini dibuat untuk mengetahui pandangan Ibnu
Khaldun mengenai pemerintahan khilafah pasca Nabi Muhammad, dan
sebab-sebab terjadinya pergeseran bentuk kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa
Muawiyah.
Tujuan Khusus
Penulisan tugas akhir (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi persyaratan
dalam upaya memperoleh gelar akademis setingkat strata satu (S 1) untuk jurusan
Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini sepenuhnya dikumpulkan melalui riset kepustakaan
(library research). Adapun sumber primernya yakni buku Muqaddimah karya
Ibnu Khaldun, sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku yang bisa
melengkapi pembahasan di atas.
Mengenai metode penulisan yang digunakan adalah metode deskripsi
analisa yaitu dengan cara mendeskripsikan berbagai pandangan Ibnu Khaldun
selanjutnya penulis akan menganalisa pandangan-pandangan tersebut dengan
kritis dan obyektif.
Dari sisi teknis penulisan, skripsi ini mengikuti aturan yang diatur dalam
buku Pedoman Penulisan karya ilmiah Skripsi, Tesis, Disertasi, Ceqda
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2003-2004.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab yang pada garis besarnya
dijelaskan sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan yang di dalamnya akan dibahas tentang latar
belakang, perumusan, pembatasan masalah, maksud dan tujuan, metode
pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
BAB II. Riwayat Ibnu Khaldun. Pada bab ini akan dijelaskan sejarah
kelahiran Ibnu Khaldun, aktifitas politiknya, masa penulisannya, serta jasa-jasa
besarnya terhadap ilmu pengetahuan.
BAB III. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai bentuk pemerintahan
khilafah. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai arti khilafah, syarat-syarat
khilafah, fungsi jabatan khilafah, dan gelar Am r al- Mu'min n sebagai ciri
khilafah.
BAB IV. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian kekhalifahan
menjadi kerajaan pada masa Muawiyah. Fokus kajian dalam bab ini adalah
Muawiyah yang menjadi latar belakang terciptanya perubahan sistem
pemerintahan, begitu juga mengenai pola pengangkatan kepala negara yang
mengedepankan prinsip al-Ashabiyah dalam pemerintahan Muawiyah, faktor
pengangkatan Yazid menjadi putera mahkota, dan terakhir yakni pembahasan
tentang substansi kekhalifahan era Muawiyah
BAB V. Pada bab akhir ini, penulis akan menyimpulkan beberapa
BAB II
RIWAYAT HIDUP IBNU KHALDUN
A. Masa Kelahiran, Perkembangan, dan Pendidikan
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Hasan ibn Jabir Ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abd al-Rahman
ibn Khaldun, lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada tahun 732 H atau 1332 M. Asal
keluarga Ibnu Khaldun yang sesungguhnya dari Hadramaut, Yaman Selatan.
Adapun nama Ibnu Khaldun diambil dari nama kakeknya yang kesembilan,
Khalid ibn Utsman. Khalid terkenal dengan panggilan Khaldun disebabkan
kebiasaan yang berlaku bagi penduduk Andalusia dan Afrika Barat Laut waktu
itu, yakni penambahan pada akhir nama dengan “un” sebagai pernyataan
penghargaan kepada keluarga penyandangnya. Dengan demikian Khalid menjadi
Khaldun.2
Afrika Utara, tanah kelahiran Ibnu Khaldun, pada abad ke-14 ditandai oleh
kemandegan pemikiran, kemudian kekacauan politik. Kekuasaaan Muslim Arab
telah jatuh sehingga banyak negara bagian melepaskan diri dari pemerintahan
pusat. saat itu pertentangan, intrik, perpecahan, dan kericuhan meluas dalam
kehidupan politik, dan setiap orang berusaha meraih kekuasaan.3
Meskipun dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan kekacauan
politik, namun Ibnu Khaldun tetap leluasa memperoleh ilmu pengetahuan, hal itu
disebabkan Tunisia menjadi pusat hijrah ulama Andalusia yang mengalami
kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Kehadiran mereka bersamaan dengan
2
Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, ( Jakarta: Universitas Indonesia, 1990 ) h. 90.
3
naiknya Abu al-Hasan, pemimpin Bani Marin (1347). Dengan demikian Ibnu
Khaldun mendapat kesempatan belajar dari para ulama tersebut.4 Hal ini dapat
dilihat dari kecerdasannya dalam menguasai beberapa disiplin ilmu baik
pendidikan agama, bahasa, puisi, logika, dan filsafat. Menurut Munawir Sjadzali,
guru pertama yang mengajarkan Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Dia belajar
membaca dan menghafal al- Qurân serta fasih dalam qiraah sab’ah. Perhatiannya
seimbang dan merata dalam mata pelajaran Tafsir, Hadits, Fiqh, dan Gramatika
bahasa Arab yang dipelajarinya dari guru yang terkenal di Tunisia.5
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penyerangan dan pendudukan Banu
Marin terhadap Tunisia tahun 1347 telah mengakibatkan berpindahnya sejumlah
besar ulama-ulama terkenal ke sana sebagai pengikut-pengikut raja Abu al-Hasan.
Ibnu Khaldun waktu itu sudah meningkat dewasa, dan dari para ulama-ulama
tersebutlah Ibnu Khaldun mengalami pertumbuhan intellegensia yang sangat
pesat. Akan tetapi, studinya tiba-tiba berhenti akibat berjangkitnya wabah
penyakit yang berkecamuk di Tunis pada 749 H/1348 M. Ada yang menyebutnya
penyakit Pes atau Kolera, dan penyakit inilah yang banyak merenggut ribuan
nyawa termasuk para guru besarnya Ibnu Khaldun dan kedua orangtuanya.
Akibatnya lebih jauh, penguasa bersama ulama hijrah ke Maghribi Jauh (Maroko)
pada 750 H/1349 M. Maka tinggalah ia dewasa itu di bawah pimpinan abangnya
yang bernama Muhaammad yang kini bertindak sebagai kepala keluarga Ibnu
Khaldun.6
4
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005) Jilid 3, h. 81
5
Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 90
6
Akibat seringnya terjadi pertukaran-pertukaran kekuasaan di Afrika Utara
serta menurunnya kehidupan intelektualisme, maka pada tahun 1354 M Ibnu
Khaldun memutuskan untuk meninggalkan Tunisia dan pergi ke Fez. Dan di
Fezlah Ibnu Khaldun menyelesaikan pendidikan tingginya melalui para ulama
yang dewasa itu berada di sana, yaitu:
1. Syekh Muhammad ibn Al-Shaffar
2. Syekh Muhammad ibn Muhammad al Maqqari
3. Syekh Muhammad ibn Ahmad al ‘Alwi
4. Syekh Muhammad ibn Abd al Salam
5. Syekh Muhammad ibn Abd al Razaq
6. Syekh Muhammad ibn al Khaththib
7. Syekh Ibrahim ibn Zarrar, dan
8. Syekh Abu al Barakat Muhammad al Ballafiqi7
B. Masa Bertugas di Pemerintahan dan Terjun ke Dunia Politik di Maghribi dan
Andalusia
Dua peristiwa penting yang mengantarkan Ibnu Khaldun berhenti
menuntut ilmu. Pertama, berkecamuknya wabah kolera di banyak bagian dunia
tahun 749 H, yang telah banyak merenggut jiwa, di antaranya ayah dan ibu Ibnu
Khaldun dan sebagian besar guru-gurunya. Kedua, akibat dari musibah tersebut,
banyak ilmuwan dan budayawan yang selamat dari wabah itu pada tahun 750 H
berbondong-bondong meninggalkan Tunisia pindah ke Afrika Barat Laut. Dengan
7
terjadinya dua peristiwa tersebut akhirnya Ibnu Khaldun terpaksa berhenti belajar
dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam
pemerintahan dan peran dalam percaturan politik.8
Dalam suasana penuh pertikaian dan perseteruan antara Imperium Arab
dewasa itu, Ibnu Khadun telah banyak menyaksikan peristiwa-peristiwa besar
tentang sejarah kemunduran imperium muslim. Politik yang disaksikannya adalah
politik adu kekuatan, dan tidak memperdulikan bingkai moral yang terus
diinjak-injak. dinasti-dinasti kecil bersaing satu sama lain sebagai pertanda membusuknya
Imperium Arab Muslim di Afrika Utara. Pengalaman terusirnya umat Islam dari
Spanyol yang sebelumnya mereka kuasai selama tujuh abad sudah tidak lagi dapat
mengajar mereka untuk berhenti berkelahi.9 Waktu itu Afrika Utara dan Andalusia
memang banyak diguncang peperangan. Dinasti al-Muwahhidun sejak permulaan
abad ke-5 H telah mendekati kehancurannya. Dari dinasti besar ini muncul banyak
dinasti dengan negara dan wilayah kekuasaan kecil. Dinasti yang terkenal di
antaranya adalah Dinasti Hafs di Maghribi Dekat (Tunisia). Dan dalam usia 21
tahun bertepatan tahun 751 H/1350 M, Ibnu Khaldun diangkat sebagai sekretaris
sultan Dinasti Hafs, al Fadl . tetapi ia berhenti dari jabatannya karena penguasa
yang didukungnya kalah dalam suatu pertempuran pada tahun 753 H/1352 M.10
Ibnu Khaldun melarikan diri, dan bertemu dengan Sultan Abu Inan di Tilmizan
berasal dari keturunan Bani Marin. Jabatan pemerintahan pertama yang cukup
berarti baginya adalah keanggotaannya dalam majelis ilmu pengetahuan Sultan
8
Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 91
9
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h.13.
10
Abu Inan di ibu kota negara itu, Fez. Kemudian ia diangkat sebagai salah satu
sekretaris Sultan dengan tugas mencatat semua keputusan Sultan terkait dengan
permohonan-permohonan rakyat, dan dokumen-dokumen penting lainnya. Ibnu
Khaldun mengaku menerima jabatan tersebut dengan setengah hati sebab dia
menganggap sebagai kerja rendahan, dan tidak seorang pun leluhurnya yang
melakukan pekerjaan serendah itu.11
Dengan dorongan untuk menjadi orang besar dan disegani, Ibnu Khaldun
diketahui pernah melakukan kerja sama serta membantu Amir Abu Abdullah
Muhammad untuk menggulingkan Sultan Abu Inan, dengan syarat kalau usaha itu
berhasil dia diangkat sebagai perdana menteri. Usaha tersebut ternyata diketahui
oleh sultan, maka Ibnu Khaldun akhirnya terpaksa mendekam di penjara selama
21 bulan, dan baru dibebaskan setelah sultan wafat dan kekuasaan negara
dipegang Perdana Menteri Hasan bin Umar, dan ia dikembalikan kepada
jabatannya yang lama. Ibnu Khaldun mengabdikan dirinya kepada pemerintahan
Bani Marin di Fez selama delapan tahun, melayani tiga sultan dan dua perdana
menteri, yakni Sultan Abu Inan, Perdana Menteri Hasan bin Umar, Sultan Mansur
bin Sulaiman, Sultan Abu Salim dan Perdana Menteri Umar bin Abdullah. Pada
masa Abu Salim kedudukan Ibnu Khaldun direhabilitasi pada berbagai posisi
penting kerajaan. Semula dia diangkat sebagai sekretaris negara, kemudian
sebagai peradilan mazhalim, yang khusus menangani pengaduan terhadap negara
atau pejabat negara dan tindak pidana yang tidak tercakup dalam hukum
11
Islam.12Namun keadaan seperti itu tidak bertahan lama. Iklim politik yang penuh
intrik telah menyebabkan terbunuhnya Sultan Abu Salim pada 1361 M dalam
suatu pemberontakan sipil dan militer. Dalam suasana politik yang tidak menentu
itulah akhirnya Ibnu Khaldun berangkat ke Spanyol (Andalusia) dan sampai di
Granada pada 26 desember 1362 M.13
Granada adalah satu-satunya negara muslim yang pada waktu itu masih
tersisa di semenanjung Iberia di bawah pemerintahan Sultan Muhammad V
dibantu oleh perdana menterinya, Ibnu khatib. sementara yang lain sudah jatuh ke
tangan penguasa Kristen. Ibnu Khaldun telah menjalin persahabatan yang cukup
lama dengan penguasa Granada. Mengingat betapa besar bantuan Ibnu Khaldun
kepada Sultan Muhammad dan perdana menterinya ketika mereka berada di Fez
sebagai buronan. Sultan Muhammad V memberikan pelayanan sangat baik kepada
Ibnu Khaldun.14 Demikian tingginya penghargaan raja kepada Ibnu Khaldun
dibuktikan dengan pengutusannya pada tahun 1364 sebagai duta ke istana Raja
Pedro El Cruel, raja Kristen Castilla di Seville. Tujuan dari pengutusan tersebut
adalah untuk mengadakan perjanjian damai antara Granada dengan Seville.
Adapun Raja Pedro El Cruel merasa terkesan dengan kinerja diplomatik Ibnu
Khaldun hingga ia pun dibujuk untuk berpihak kepadanya dengan janji akan
menyerahkan kembali kepadanya harta nenek moyangnya yang ada di Seville.
Adapun Seville mempunyai makna tersendiri bagi Ibnu Khaldun, sebab di kota
inilah nenek moyangnya tinggal selama berabad-abad. Namun Ibnu Khaldun
12
Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 92
13
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat h.14
13
Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 80
14
menolak bujukan itu, sekalipun ia sempat menyaksikan monumen-monumen
kebesaran peninggalan nenek moyangnya.15
Meskipun di Andalusia Ibnu Khaldun pernah mendapat kepercayaan
khusus dari Sultan Muhammad. Namun hal itu tidak berlangsung lama disebabkan
timbulnya ketegangan antara dia dan Ibnu Khatib yang merasa khawatir atas
kedekatan Ibnu Khaldun dengan sang penguasa. Belum cukup dua setengah tahun
berada di Granada, Ibnu Khaldun menerima undangan dari Pangeran Abu
Abdillah Muhammad penguasa Bani Hafs, yang dahulu pernah dipenjarakan
bersama di Fez. Kemudian ia menjadikannya sebagai perdana menteri dan pada
waktu yang sama juga sebagai khatîb dan guru. namun, setahun kemudian Sultan
Abu Abbas Ahmad, saudara sepupu atau anak paman Pangeran Abu Abdillah,
penguasa di Konstantin berambisi untuk menaklukkan dan menguasai seluruh
Tunisia, termasuk keamiran Abu Abdillah. Pangeran Abu Abdillah pun akhirnya
terbunuh ketika pasukan Abu Abbas menyerbu ke Buqi, dan keamiran itu jatuh ke
tangan Abu Abbas. Untuk beberapa lama, Ibnu Khaldun menduduki jabatan yang
sama pada masa kekuasan Abu Abbas yaitu sebagai perdana menteri. Tetapi
kemudian Abu Abbas menyangsikan loyalitas Ibnu Khaldun. Sadar akan situasi
yang kurang menyenangkan dia mohon izin untuk pindah ke luar Buqi, tetapi Abu
Abbas bahkan memerintahkan untuk menangkap Ibnu Khaldun. Dia beruntung
berhasil melarikan diri ke keamiran Baskarah (Biskra), dan Abu Abbas hanya
15
berhasil menangkap adiknya Yahya, dan membuangnya ke pengasingan di salah
satu kota pantai di Aljazair.16
Dari Baskarah Ibnu Khaldun berkirim surat kepada Abu Hammu, Sultan
Tilmisan (Tlemcen) dari Bani Abdil Wad. Dia adalah menantu Pangeran Abu
Abdillah dari Buqi yang terbunuh.untuk sekian kalinya Ibnu Khaldun ditawari
kedudukan sebagai perdana menteri. Namun, tawaran tersebut ditolaknya dengan
alasan bahwa ia ingin melanjutkan studinya secara autodidak, tetapi ia bersedia
memberikan dukungan terhadap sultan dengan mengajak suku-suku di wilayah itu
untuk mendukung rencanya merebut Buqi. Ia juga berusaha membentuk
persekutuan antara Abu Hammu dan Pangeran Ishak, saudara Abu Abbas yang
sangat jelek hubungannya dengan dia. Tetapi serangan tentara Abu Hammu dapat
dipatahkan. Sementara itu Sultan Abdul Aziz dari dinasti Bani Marin, yang
berpusat di Fez, berambisi merebut wilayah Bani Abdul wad. Akhirnya Abu
Hammu melarikan diri.17 Tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz, Ibnu
Khaldun beralih berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Namun
dalam waktu singkat, Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Maka Ibnu Khaldun
menyelamatkan diri ke Fez pada 774 H/1372 M.18
Setelah sampai di Fez, ternyata suasana di kota itu tidak sebagaimana yang
diharapkannya. Situasi politik sangat tidak menentu, dan para penguasa
tampaknya telah kehilangan kepercayaan kepada Ibnu Khaldun. Sadar bahwa ia
kurang disukai, maka ia pun akhirnya keluar dari Fez dan menetap di Granada,
16
Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 94
17 Ibid. 18
Andalusia. Tetapi Sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun Untuk
meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke wilayah Afrika Barat Laut.
Setelah meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika, akhirnya ia
“terdampar” di pelabuhan Hanin. Adiknya Yahya yang pernah diasingkan pada
masa Abu Abbas, telah kembali mengabdi kepada Abu Hammu. Meskipun
awalnya Abu Hammu belum bisa menerima kedatangan Ibnu Khaldun, namun
berkat bantuan dan jaminan seorang sahabat lama, muhammad bin Arif, tokoh
dari Bani Arif, akhirnya Ibnu Khaldun mendapat pengampunan dari Abu Hammu
dan diizinkan datang ke Tilmisan. Atas permintaan pemuka-pemuka Bani arif
terhadap Abu Hammu agar memperkenankan Ibnu Khaldun menetap bersama
mereka, maka Ibnu Khaldun telah meninggalkan keramaian dan petualangan
politik hampir empat tahun lamanya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak
terjun lagi dalam dunia politik. Akhirnya ia menyepi di Qal’at Ibnu Salamah dan
menetap sampai 780 H/1378 M, dan disanalah untuk pertama kalinya ia
melakukan penelitian dan kajian ilmiah serta berhasil menulis karya
monumentalnya Muqoddimah, yang merupakan jilid pertama dari buku al-‘Ibar
wa Diwan Mubtada’ wa Khabar fi Ayyam ‘Arab wa ‘Ajam wa
al-Barbar. Terbitan Cairo 1284 H.19
Disebabkan kurangnya rujukan yang tersedia di tempat pengasingannya,
maka Ibnu Khaldun terpaksa kemabali ke Tunisia yang memiliki perpustakaan
lengkap. Pada saat itu Tunisia masih di bawah pemerintahan Abu Abbas. Untuk
meluluhkan hati Abu Abbas ia pun menulis surat yang cukup mengharukan. Ibnu
19
Khaldun menjelaskan alasan-alasannya mendukung pihak oposan terhadap
pemerintahannya dan memohon maaf serta meminta izin agar dapat kembali ke
Tunisia untuk mengadakan beberapa penelitian. Sultan mengizinkannya. Di
samping itu, sultan pernah menyuruhnya untuk menyertainya dalam suatu
ekspedisi militer dalam rangka menumpas beberapa pemberontakan. Ibnu
Khaldun tidak menyukai tugas yang berbahaya ini, dan memutuskan untuk pergi
menunaikan ibadah haji.20 Setelah berangkatnya Ibnu Khaldun meninggalkan
Tunisia dan berlayar menuju Alexandria, Mesir, pada tahun 784 H/ 1382 M ,
maka berakhir pulalah karier politiknya di Afrika Barat Laut yang penuh
petualangan dan tantangan. Sejak itu ia tidak pernah kembali lagi ke kawasan
tersebut.
C. Masa Penulisan Karya Ilmiah
Sebagai dijelaskan sebelumnya bahwa ketika Fez jatuh ke tangan Sultan
Abu Abbas Ahmad (776 H / 1374 M), Ibnu Khaldun pergi ke Granada untuk
kedua kalinya. Tetapi Sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun
untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara.
Sesampainya di Tilmisan, Ibnu Khaldun tetap diterima Abu Hammu,
meskipun ia pernah mengkhianatinya setelah beralih dukungan kepada Sultan
Abdul Aziz dari Bani Marin. Ibnu Khaldun akhirnya benar-benar meninggalkan
panggung politik. Atas dukungan Banu Arif yang memberikan perlindungan
terhadapnya ia pun menetap di istana Qal’at Ibnu Salamah selama empat tahun
20
dan menghasilkan karya monumental Muqoddimah. Akan tetapi karena kurangnya
bahan rujukan untuk menyelesaikan penelitian tersebut, dia terpaksa kembali ke
Tunisia yang memiliki perpustakaan yang lengkap. Naskah bersih Muqoddimah
ditulis untuk pertama kalinya di Tunisia, dan satu di antara naskah tersebut,
bersama dengan jilid-jilid lain dari Al-Ibar dipersembahkan kepada Sultan
Tunisia, Abu Abbas. Setelah berada di Kairo buku itu ditambah dan
disempurnakan. Kemudian disiapkan dua naskah, satu dipersembahkan kepada
Sultan Mesir, Dzahir Barquq, dan satu lagi kepada Sultan Abdul Aziz di Fez.
Karya tulisnya yang lain adalah Al-Ta’rif yang semula merupakan lampiran dari
Al-Ibar .21 pada tahun 784 H/1382 M ia berangkat ke Iskandariyah (Mesir) dengan
maksud menghindari kekacauan dunia politik di Maghribi. Setelah sebulan di
Iskandariyah, ia pergi ke Kairo.
Tidak berapa lama di Kairo, dengan kecerdasan yang ia miliki, maka tidak
heran kemudian masyarakat Mesir menerimanya dengan suka cita. Pada tahun 784
H / 1384 M raja menunjuknya menjadi dosen dalam ilmu Fiqih Mazhab Maliki di
Madrasah Qamhiyah. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai ketua pengadilan
kerajaan. Tetapi setahun kemudian, keluarganya mendapat musibah. Kapal yang
membawa istri, anak-anak, dan harta bendanya tenggelam tatkala merapat ke
Iskandariyah. Ia mengundurkan diri, namun raja kemudian kembali
mengangkatnya sebagai dosen di beberapa madrasah. Pada tahun 749 H/1387 M
ia pergi menunaikan haji. Pada 801H/1399 M ia kembali diangkat sebagai ketua
pengadilan dan pergi ke Baitulmaqdia (Yerusalem). Tiga bulan setelah itu
21
ia,mengundurkan diri.dan pada 803 H/1401 M ia ikut menemani sultan ke
Damascus dalam satu pasukan untuk menahan serangan Timur Lenk, penguasa
Mughal.setelah kembali ke kairo, ia kembali ditunjuk menduduki jabatan ketua
pengadilan kerajaan, dan tetap dalam jabatan itu hingga akhir hayatnya. 22
Ibnu Khaldun dianggap sebagai penganut teori siklus sejarah disebabkan
pandangannya bahwa masyarakat lahir, tumbuh, berkembang, lalu mati untuk
diganti dengan yang lain. Adapun formasi masyarakat yang dia maksud
salahsatunya adalah adanya hasrat manusia untuk berkumpul, bersaing, lalu
memperebutkan kepemimpinan. Mereka diikat dengan solidaritas ashabiyah yang
diarahkan oleh para pemimpinnya.23
D. Jasa-Jasa dan Kebesaran Ibnu Khaldun
Dalam sejarah Islam, Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu
sosial dan politik Islam. Bahkan lebih dari itu beliau juga dikenal sebagai
sejarahwan, sastrawan, ahli hukum, dan ahli filsafat. Adapun kedudukannya
sebagai filsuf dalam arti profesional hampir hilang disebabkan kemasyhurannya
sebagai seorang sosiolog dan teoritikus sejarah. Kendati demikian, Ibnu Khaldun
adalah seorang pemikir yang teguh beriman kepada ajaran Islam. Hal ini dapat
dilihat dalam berbagai karyanya seperti buku Muqaddimah, dapat ditemukan
bahwa pada setiap pasal ia senantiasa memuji Allah serta menukilkan beberapa
ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan pokok pembahasan, dan pada setiap penutup
pasal selalu disudahi dengan do'a atau ayat-ayat Al-Qur'an, kadang pendek dan
22
Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 82
23
adakalnya panjang. Begitupun ia senantiasa mengulas beberapa hadits Nabi
Muhammad, hal ini tentunya menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun memiliki
pemahaman agama yang mendalam.
Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar dan
ilmuwan yang kritis dan obyektif, rasional, tetapi juga agamawan yang taat,
dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran, bahkan Ali Audah
menyebutnya sebagai seorang filsuf sosiologi dan sejarah, Dia seorang intelek,
pemikir dan ulama yang telah memberikan saham besar dalam sejarah
intelektualism dan kemanusiaan.24
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa antara politik dan kebudayaan tidak
dapat dipisahkan, dan masyarakat dibedakan antara masyarakat desa (badawah)
dan kota (hadarah). Studi Islam menurutnya, terdiri dari ul m tabi’iyyah dan
ul m naqliyyah. Ul m tabi’iyyah meliputi ilmu filsafat, aritmatika, dan hisab,
handasah (geometri), alhaia (astronomi), tib (kedokteran) dan al-fal hah
(pertanian); sedangkan ‘ul m naqliyyah meliputi agama/wahyu dan syariat,
Al-Qur’an, fiqih, kalam (teologi), dan tasawuf.25
Dalam memahami sejarah, Ibnu Khaldun setidaknya memberikan
beberapa syarat untuk diperhatikan. Pertama, peristiwa-peristiwa sejarah itu harus
rasional, tidak dicampur dengan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti halnya
campur tangan dari yang ghaib; Kedua, analisis peristiwa sejarah dengan
menghubungkannya dengan sebab akibat. Dengan persyaratan di atas berarti Ibnu
Khaldun telah merintis sebuah pemikiran sejarah yang kritis. Sebelum Ibnu
24
Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) h.87
25
Khaldun penulisan sejarah umumnya hanya merupakan penyalinan saja dari yang
sudah ada dan tidak mengenal analisa. Bahkan isi sejarah dicampur dengan
kecenderungan pribadi dan emosinya, dengan cerita-cerita takhayul yang sudah
berjalan sejak Herodotus, sampai pada mereka yang datang sebelum Ibnu
Khaldun, di Barat ataupun di timur. 26
E. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Menarik untuk dicermati mengenai corak pemikiran Ibnu Khaldun terlebih
mengenai permasalahan pandangannya antara agama dan filsafat. Meskipun
dikenal dengan seorang ilmuwan yang senantiasa berpikir rasional dan banyak
berpegang teguh pada logika, namun Ibnu Khaldun tetaplah seorang agamawan
yang berpegang teguh dalam menjaga nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya.
Dalam mengemukakan pendapat, Ibnu Khaldun senantiasa berpijak pada
alasan-alasan yang obyektif dan deskriptif. Ia mencari bukan untuk memuji atau
mencela, tetapi untuk mengetahui dan memahami inti masalah yang menyangkut
perkembangan sesuatu lembaga dan tingkah laku manusia. Dan dengan cara
demikianlah ia berkasil mengemukan teorinya tentang filsafat sejarah dan
sosiologi.27
Lebih lanjut Ali Audah menjelaskan, bahwa Ibnu Khaldun tidak dapat
melepaskan peristiwa-peristiwa sejarah itu dengan perkembangan manusia
sebagai unsur pertama, baik pribadi maupun masyarakat dan pada gilirannya
masyarakat pun tak dapat dilepaskan pula dari lingkungannya: tanahnya, hasil
bumi, iklim, udara, geografi, luas daerah pertanian, jumlah penduduk, ras,
26
Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, h.93
27
pertukangan atau industri, perekonomian dan sifat pemerintahan yang menjadi
obyek penulisan sejarah itu. Pada gilirannya pula hal di atas akan menentukan
bentuk-bentuk kesenian, kepercayaan, adat istiadat, serta cara berpikir masyarakat
itu, bahkan bentuk tubuh, tingkah laku, kemampuan otak serta warna kulit. Dari
sini lahir golongan yang kemudian diperkuat oleh unsur asabiyah, yang sangat
dipengaruhi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada watak masyarakat, baik karena pengaruh ekonomi, politik, kekuasaan
dan sebagainya akan membawa akibat berubahnya segenap struktur kekuasaan,
dan ini dapat melahirkan asabiyah tingkat makro dalam masyarakat, yang akan
membawa akibat berubahnya bentuk-bentuk kekuasaan dalam masyarakat serta
lahirnya negara-negara baru dalam sejarah, melalui revolusi.28
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang
pemikir dan ilmuwan yang kritis dan obyektif, rasional, tetapi juga agamawan
yang taat, dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran. Suatu
kehidupan yang berimbang dalam dirinya dalam menghayati agama dan ilmu. Dia
seorang fisuf sosiologi dan sejarah, dia seorang intelek, pemikir yang berdisiplin,
dan ulama yang taat, dan telah memberikan saham yang besar dalam sejarah
intelektualisme dan kemanusiaan.
28
BAB III
PANDANGAN IBNU KHALDUN
TENTANG BENTUK PEMERINTAHAN KHILAFAH
A. Arti Khilafah
Di dalam nash-nash Islam diawali dari hadits-hadits nabi, lafazh “imam”
digunakan untuk menjuluki kepala negara. Gelar al-Imam atau al-Aimmah
umumnya diartikan sebagai orang yang mengurusi negara.29 Kemudian muncullah
lafazh khilafah yang merupakan pengganti Nabi Muhammad setelah wafatnya
beliau.
Menurut Ibnu Khaldun letak perbedaan dari jenis-jenis pemerintahan yang
satu dan yang lainnya adalah perbedaan undang-undang. Jenis undang-undang
akan menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan. Undang-undang adalah ruh
bagi setiap sistem atau tatanan sosial dan menjadi dasar eksistensinya.30 Sebagai
contoh suatu pemerintahan yang menganut sistem kerajaan umumnya memiliki
tabiat natural yakni insting, atau kecenderungan dan keinginan insting yang
tersusun dalam satu individu: seperti egoisme dan keinginan untuk menjadi
arogan dan despotis. Dan semua itu menurut Ibnu Khaldun, haruslah dibenci.
Jenis pemerintahan yang demikian itu dapat menjadi sebuah pemerintahan yang
otoriter, individualis, otokrasi, dan dikhawatirkan lagi pemerintahan itu dapat
menghasilkan suatu kondisi chaos, perpecahan, instabilitas dan kehancuran
negara.
29
Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, (Solo: Pustaka Mantiq, 1995) h. 68
30
Menurut Ibnu Khaldun, "jika aturan perundang-undangan diputuskan oleh
para intelektual dan pembesar negara, kebijakan politiknya disebut rasional; dan
jika aturan-aturan itu berasal dari Allah yang memutuskan dan mensyariatkannya,
maka orientasi politiknya adalah religius, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan
dan keakhiratan. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan kekerasan,
penindasan, dan mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan
menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model seperti tidaklah terpuji."31
Mengenai keimamahan atau kekhilafahan maka pemerintahan yang
demikian itu merupakan pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai
undang-undang, yaitu prinsip-prinsipnya bersumber dari Al-Qur'an, al-Sunnah.
Selain itu, hukum-hukumnya dapat berpegang dan bercabang dengan berpegang
kepada empat sumber hukum: Al-Qur'an, Al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Dengan
demikian, menurut Dhiauddin Ra'is, di dalam undang-undang Islam tersebut,
terhimpun hikmah logika individu dan kolektif, bimbingan Nabawi, serta tujuan
Ilahi.32
Ibnu Khaldun membedakan antara kedudukan raja dan Khalifah.
Kedudukan raja timbul dari keharusan hidup bergaul manusia, dan didasarkan
kepada penaklukan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan
sifat-sifat kebinatangan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengkritik tentang asal
kedaulatan sebuah kerajaan yang cenderung bersifat memaksa dan
mengedepankan sifat-sifat kebinatangan serta menyampingkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat. Sebagian besar para raja menerapkan peraturan tidak
31
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.88
32
berpihak kepada kepentingan rakyat bahkan seringkali membebani mereka dengan
bermacam-macam kewajiban yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka demi
tercapainya keinginan-keinginan dan tujuan sang raja. Bermacam-macam
peraturan bisa saja diciptakan oleh raja. Namun, pergantian raja bisa
mempengaruhi perubahan kebijakan sehingga beragam peraturan pun akan dibuat
silih berganti sesuai dengan tujuan raja yang berganti pula. Dalam hal ini sukarlah
bagi rakyat untuk mematuhi suatu perintah dan lebih jauh akan menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan sehingga akan membawa kekacauan dan
hilangnya nyawa.
Untuk menciptakan suatu negara yang bisa tegak dan kuat, maka
dibutuhkan suatu ketetapan hukum politik yang bisa diterima dan diikuti rakyat.
Namun, hukum tersebut tidak semata didasarkan kepada akal, sebagaimana
hukum itu dibuat oleh para terkemuka, bijaksana dan cerdik pandai melainkan
ditentukan oleh Allah dengan perantaraan Rasul, maka pemerintahan yang
demikian disebut berdasarkan agama. Dan pemerintahan agama yang demikian itu
berguna sekali, baik untuk hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Dalam hal ini
Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan yang religius memandang pentingnya sebuah
pemerintahan yang mengedepankan orientasi dunia dan akhirat. Menurutnya
manusia tidak diciptakan hanya untuk di dunia ini saja yang penuh dengan
kehampaan dan kejahatan dan yang akhirnya hanyalah mati dan kesirnaan belaka.
Dan Allah berfirman; “Apakah kamu mengira bahwa kami menjadikan kamu
dengan sia-sia.”33
33
Dalam pandangan Ibnu Khaldun suatu hukum politik dibuat hanya untuk
mengatur manusia tentang barang-barang lahir, kepentingan duniawi. Sedangkan
hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia dalam segala hal,
ibadah mereka, tata cara hidup mereka, juga yang berhubungan dengan negara.
Oleh karena itu sudah seharusnya negara berdasarkan agama supaya segala
sesuatu yang berhubungan dengan negara itu berada di bawah naungan
pengawasan Tuhan pemberi hukum itu..
Maka tidaklah dibenarkan suatu negara yang didasarkan kepada
penaklukan dan paksaan serta pemuasan dorongan kemarahan karena hal tersebut
dianggap sebagai sebuah penindasan dan penyerangan, dan merupakan perbuatan
tercela, baik di sisi Allah, pemberi hukum, maupun dalam pandangan
kebijaksanaan politik.34
Dengan sederhana Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa suatu negara yang
ditetapkan atas hukum-hukum Allah sangat berguna sekali dibandingkan dengan
suatu negara yang berdasarkan akal semata. Hal ini disebabkan, Tuhan lebih
mengetahui kepentingan manusia dalam soal yang berhubungan dengan hidup
akhirat, yang ada di luar pengetahuan mereka. Dengan demikian tujuan Tuhan
membuat undang-undang adalah demi keselamatan manusia dalam hidup di
akhirat kelak. Oleh karena itu, adalah menjadi keharusan supaya manusia
menyesuaikan diri dengan hukum-hukum agama dalam segala hal. Dan kekuasaan
34
ini adalah kepunyaan Pembuat Undang-undang, ialah para Nabi dan orang-orang
yang menggantikan mereka, yaitu khalifah-khalifah, dan inilah arti khilafah.35
B. Fungsi Khalifah
Mengenai fungsi Khalifah tampaknya pendapat Ibnu Khaldun tidak
berbeda jauh dengan Al-Mawardi yakni jabatan ini merupakan pengganti Nabi
Muhammad, dengan tugas yang sama yakni mempertahankan agama dan
menjalankan kepemimpinan di dunia. 36 Khalifah dianggap sebagai penegak
agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama. Tugas
agama yang dimaksud adalah kemampuan seorang khalifah untuk menyampaikan
kewajiban syar’iyyah kepada manusia, serta memobilisasi mereka supaya
melakukannya. Dan tujuan pemimpin duniawi yakni dengan kemampuannya
sebagai seorang yang berusaha mengurusi kepentingan umum peradaban umat
manusia.
Kepemimpinan raja, menurut Ibnu Khaldun, “apabila bersifat islami,
termasuk ke dalam barisan khilafah dan menjadi salah satu ikutannya. Kedaulatan
negara non-muslim tegak sendiri’. Dalam hal ini berarti Ibnu Khaldun tidak
mengkritik sistem kerajaan yang tetap menjalankan syari'at Islam. Akan tetapi
menurut penulis pandangan demikian tentunya bertentangan dengan pendapat
Ibnu Khaldun sendiri yang mengkritisi bahwa sistem kerajaan umumnya bersifat
despotis, invidualis, serta lebih cenderung otoriter. Hal ini cukup beralasan karena
biar bagaimanapun pemerintahan raja terkadang tidak sepenuhnya didukung oleh
35
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Mesir: Mustofa Muhammad) h. 190-191
36
sebagian masyarakat, terlebih sistem warisan kekuasaan yang turun temurun
dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat yang merasa tidak
puas dengan pemerintah, dan akhirnya dapat menciptakan instabilitas negara.
Perlu diketahui bahwa fungsi religius syari’at agama, menurut Ibnu
Khaldun, seperti shalat, jabatan mufti, jabatan hakim, jihad, dan pengawasan
pasar, termasuk ke dalam imamah besar yaitu khilafah. Khilafah itu seakan-akan
pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi mencabanginya dan
membawahinya, baik agamawi maupun duniawi. Kekuatannya menyeluruh dalam
melaksanakan hukum agama maupun dunia.37 Berikut akan dijelaskan beberapa
fumgsi religius yang khusus untuk khilafah, dan fungsi pemerintahan raja:
a) Imamah Shalat. Telah diketahui bahwa pada masa khalifah-khalifah
yang pertama, mereka tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat
kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena imamah shalat adalah
yang paling tinggi di antara fungsi jabatan khilafah. Hal ini dibuktikan
ketika para sahabat menarik kesimpulan dari fakta bahwa Abu Bakar
telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad menjadi imam shalat, satu fakta
bahwa dia juga ditunjuk sebagai penggantinya dalam mengurusi
masalah-masalah duniawi.
b) Jabatan Mufti. Dalam hal ini, tugas khalifah adalah menguji para
ulama dan guru, dan hanya mempercayakannya kepada orang-orang
yang teruji untuk jabatan itu. Jabatan mufti merupakan salah satu
37
kepentingan keagamaan kaum muslimin. Khalifah harus
memperhatikannya .
c) Jabatan Hakim. Di masa permulaan Islam, para khalifah melaksanakan
sendiri jabatan hakim. Khalifah pertama yang menyuruh seseorang
untuk menjalankan fungsi ini adalah Umar. Beliau menunjuk Abu
Darda' untuk menjadi hakim di Madinah, memilih Syuraih untuk tugas
hakim di Bashrah dan Abu Musa al-Asy'ari di Kufah.
d) Polisi. Pengawasan terhadap tindakan kriminal serta penentuan
hukumman-hukuman yang ditetapkan oleh syari'at agama merupakan
tugas khusus, dan diserahkan kepada kepala polisi. Lapangannya
sedikit lebih luas dibanding jabatan hakim. Ia memutuskan hukuman
pencegahan sebelum tindak kriminal dilakukan. Ia melaksanakan
hadd-hadd yang telah ditetapkan oleh syari'at agama dengan
semestinya, serta menetapkan kemungkinan pembanding jika seorang
merasa dirugikan oleh orang lain sesuai dengan hukum yang berlaku.
e) Keadilan atau kedudukan saksi resmi. Prasyarat tugas ini ialah, bahwa
orang yang melaksanakannya harus bersifat adil, sesuai dengan
ketentuan agama, dan bebas dari cacat. Dia harus memiliki
pengetahuan tentang jurisprudensi sesuai dengan kebutuhan jabatan
itu. Hal ini disebabkan ia harus dapat mengisi catatan-catatan di dalam
pengadilan, mengerti perjanjian dalam bentuknya yang benar,
dan syarat yang melingkunginya berdasar titik penglihatan hukum
agama.
f) Pengawasan Pasar. Jabatan ini adalah termasuk bagian dari kewajiban
amar ma'ruf nahi munkar. Akan tetapi dia tidak punya kekuasan untuk
mengurusi klaim hukum secara mutlak, kecuali terhadap segala sesuatu
yang berhubungan dengan penipuan dan perlakuan curang dalam
masalah timbang-menimbang ukur-mengukur. Ia juga berusaha
membuat orang menunda hutang supaya membayarkan dengan apa
yang dimilikinya. Konsekuensi dari jabatan ini ialah ia berada di
bawah jabatan hakim.
g) Pencetakan Uang Logam. Pengawasan terhadap pencetakan uang
merupakan tugas yang bersifat religius, dan berada di bawah khilafah.
Ia dijadikan sebagai bawahan dari juridiksi hakim.38
Demikian akhir pembicaraan mengenai kedudukan kekhilafahan. Secara
menyeluruh dapat disimpulkan bahwa fungsi kedudukan khalifah tidak hanya
mengurusi masalah agama saja, akan tetapi persoalan duniawi pun tidak
ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Khilafah itu
seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi
mencabanginya dan membawahinya, baik agamawi maupun duniawi.
Selain panggilan Khalifah terkadang jabatan tersebut disebut “imamah
kubro” selanjutnya, jabatan ini dianggap suatu kewajiban menurut hukum syari’at
agama disebabkan ijma para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in. Hal ini
38
dibuktikan setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat membai’at Abu Bakar dan
mempercayakan pengawasan persoalan dan urusan mereka kepadanya. Demikian
pula di masa-masa berikutnya. Dalam zaman manapun rakyat tidak pernah
diserahkan kepada anarki.
Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa kewajiban imamah ditentukan
akal, dan bahwa ijma yang kebetulan itu hanya menguatkan ketetapan akal saja.
Mereka berpendapat: bahwa yang membuat jabatan imam itu wajib menurut akal
ialah perlunya manusia pada suatu organisasi kemasyarakatan dan
ketidakmungkinan mereka hidup sendiri-sendiri.
Sebagian kelompok tetap kokoh mengatakan bahwa jabatan imam sama
sekali tidak penting, baik berdasarkan akal maupun syari’at. Pandangan ini
diwakili oleh golongan Mu’tazilah salah satunya al-Ashamm. Ada juga dari
golongan khawarij. Menurut mereka yang penting hanyalah menjalankan syari’at.
Mereka berpendapat demikian karena berusaha melepaskan diri dari kedaulatan
(mulk) dan wataknya yang suka menguasai, senantiasa mendominasi, dan bersifat
duniawi.
Menurut Ibnu Khaldun keharusan imamah haruslah diindikasikan oleh
syari’at, yaitu dengan konsensus (ijma). Adapun mereka yang menolak imamah
dengan alasan bahwa syari’at sangat mengecam dan menyalahkan adanya suatu
kedaulatan yang mana kedaulatan itu sendiri memiliki watak suka menguasai dan
mendominasi, maka Ibnu Khaldun menegaskan bahwa syari’at agama tidak
mengecam kedaulatan dan tidak pula melarang pelaksanaannya. Akan tetapi
kezaliman, dan enak-enakan. Sebaliknya syari’at agama memuji keadilan,
kejujuran, melaksanakan tugas-tugas agama, dan membelanya. Syari’at juga
mencela nafsu syahwat, dan marah pada orang-orang mukallaf, sebab
eksistensinya masih dirasa perlu. Tapi yang dimaksud ialah bagaimana
mempergunakannya dengan sebenar-benarnya.
Selanjutnya, mereka yang berusaha lari kedaulatan imamah dengan
berasumsi bahwa lembaga tersebut tidak penting sama sekali tidak dapat
membantu, sebab mereka menyetujui diharuskannya pelaksanaan syari’at, dan hal
itu tidak akan diperoleh kecuali melalui asabiyah dan kekuasaan, sedangkan
asabiyah sesuai wataknya memerlukan kedaulatan.39
Mengenai kehendak Allah akan terwujudnya khilafah, Ibnu Khaldun
menjelaskan bahwa hal tersebut tidak banyak yang bisa kita ketahui. Namun, yang
jelas bahwa Allah telah menjadikan khalifah-Nya sebagai wakil-Nya di dalam
mengurusi persoalan-persoalan hidup hamba-Nya dengan tujuan dapat memenuhi
kepentingan dan melepaskan kesukaran yang mereka miliki.
C. Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Khilafah
Setelah menjelaskan bahwa lembaga imamah wajib menurut ijma, maka
keperluan untuk diadakannya lembaga tersebut merupakan fardl al-kifayah, dan
mengenai mekanisme pengangkatannya diserahkan kepada pemuka-pemuka
muslim yang terbentuk dalam suatu wadah yakni ahl al-aqd wa al-hilli.
Kewajiban mereka adalah berusaha agar imamah berdiri, dan setiap orang wajib
39
taat sesuai dengan firman Allah: “Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul,
dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu.40
Tidak diperbolehkan menunjuk dua orang untuk menduduki imam pada
waktu yang sama. Adapun mengenai prasyarat untuk mendirikan lembaga
imamah itu, Ibnu Khaldun menyimpulkan setidaknya ada empat yaitu: al-‘ilmu,
al- ‘adalah, al-kifayah, salamatu al-hawas wa al-a’dô, adapun syarat yang kelima
ada banyak perbedaan pendapat yakni al-nasb al-Quraisy.41
1) Syarat pertama al-‘ilmu, kiranya sangat jelas bahwa seorang imam
harus menguasai hukum-hukum syari’at agar dapat melaksanakan hukum-hukum
Allah secara benar, dan terhindar dari sifat taqlid buta yang merupakan
kekurangan seorang imam. Di lain sisi dengan pengetahuannya tersebut ia dapat
memberikan keputusan yang memuaskan masyarakat, negara, dan agama.
2) Keadilan (al- ‘adalah) dianggap perlu disebabkan imamah
merupakan lembaga keagamaan yang mengawasi lembaga lain. Tempat keadilan
juga menjadi prasyarat. Tak ada perbedaan mengenai kenyataan bahwa keadilan
akan lenyap oleh sikap yang membiarkan berlakunya Akan tetapi ada perbedaan
pendapat mengenai apakah keadilan itu akan lenyap oleh sikap imam yang
memasukkan inovasi-inovasi baru ke dalam i’tiqad umat.
3) Kesanggupan (al-kifayah) berarti, bahwa seorang imam bersedia
melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi
berperang. Dia harus mengerti cara berperang, dan sanggup bertanggungjawab
untuk mengerahkan umat menuju peperangan. dia juga harus tahu tentang
40
Al-Qur’an al-karim, surat 4 ayat 59
41
ashabiyah dan diplomasi. Dia harus kuat melaksanakan tugas politik. Semua hal
tersebut harus dia miliki supaya mampu melakukan fungsinya melindungi agama,
berjihad melawan musuh, menegakkan hukum, dan mengatur kepentingan umum.
4) Bebasnya pancaindera dan anggota badan dari cacat atau
kelemahan seperti gila, buta, bisu, atau tuli, dan kehilangan anggota badan, kaki
atau testikel, semua itu dijadikan prasyarat karena kekurangan demikian
berpengaruh pada kemampuan bertindak. Kekurangan tersebut dapat dibagi dua.
Satu diantaranya disebabkan keadaan terpaksa, misalnya tidak mampu bertindak
karena dipenjara. Kemerdekaan bertindak adalah salah satu syarat yang sama
pentingnya sebagaimana syarat bebas dari cacat badan.
Mengenai syarat yang kelima ada perbedaan pendapat, yaitu keturunan
Quraisy. Prasyarat ini dianggap penting karena didasarkan pada fakta sejarah
mengenai ijma para sahabat pada hari saqifah. Pada hari itu kaum anshar
bermaksud membai’at Sa’ad ibn Ubadah, namun ditolak oleh pihak Quraisy yang
menjelaskan beberapa dalil dari Nabi Muhammad tentang imamah harus dijaga
oleh kaum Quraisy. Hasilnya argumentasi tersebut diterima kaum anshar. Namun,
lambat laun kekuasaan kaum Quraisy melemah, solidaritas mereka lenyap sebagai
akibat hidup mewah dan berlebih. Bangsa-bangsa non-Arab pun menaklukan
mereka, dan merebut kekuasaan eksekutif.
Seperti al-Mawardi, sepertinya Ibnu Khaldun tidak berbeda pendapat
mengenai pentingnya syarat keturunan Quraisy. Akan tetapi a memberikan alasan
yang bisa dianggap lebih logis. Mengenai hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan;
dan hikmah tertentu. ...namun, apabila persoalan itu kita teliti dan analisa, kita
akan mendapatkan bahwa maslahah umum yang dimaksud tidak lain diungkapkan
dalam solidaritas sosial (ashabiyah) yang dimiliki para imam keturunan arab.
Solidaritas itu memberikan perlindungan dan tuntutan, serta dapat melepaskan
imam dari oposisi dan perpecahan. Agama dan pemeluknya tentu akan dapat
menerima dia beserta keluarganya, dan ia pun dapat mengadakan hubungan yang
akrab dengan mereka.
Kaum Quraisy termasuk golongan suku Mudhar, cikal bakal dan paling
perkasa dibanding suku-suku Mudhar lainnya. Jumlah mereka banyak, solidaritas
serta kebangsawanan mereka berwibawa di kalangan suku Mudhar lainnya.
Suku-suku arab yang lain sama mengakui kenyataan itu, dan tunduk patuh pada
kekuatan kaum Quraisy. Sekiranya pemerintahan diserahkan kepada pihak lain di
luar mereka, pastilah pertentangan dan ketidaktaatan akan merusak segalanya.
Apabila orang-orang Quraisy yang berkuasa, maka dengan kekuatan yang
ada, mereka sanggup menyuruh manusia melakukan apa saja sekehendak mereka.
Dengan kekuasaan yang ada, mereka sanggup melenyapkan perpecahan
menyisihkan siapa saja yang menentang mereka.
Dengan demikian sangat jelas bahwa salah satu syarat dijadikannya
imamah dari keturunan Quraisy dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan
dengan bantuan ashabiyah dan superioritas. Oleh karena itu syarat keturunan
Quraisy dimasukkan ke dalam kategori prasyarat kesanggupan, dan apabila
solidaritas sosial bagi seorang khalifah. Tak seorangpun dapat memerintah suatu
bangsa atau generasi, kecuali orang yang dapat menguasai mereka
.
D. Gelar Am r al-Mu’min n Sebagai Ciri Khilafah
Gelar itu merupakan kreasi periode para khalifah al-rasyidûn, ketika Abu
Bakar dibai’at, para sahabat dan seluruh kaum muslimin menyebutnya khalifah
Rasulillah, lalu bai’at diberikan kepada Umar atas pilihan Abu Bakar, dan mereka
pun memanggilnya khalifah khalifati Rasulillah. Namun, akhirnya mereka
menganggap bahwa gelar tersebut tidak praktis karena panjangnya. Demikian pula
gelar tersebut akan semakin panjang sesuai dengan bertambahnya pergantian
khalifah.
Awalnya para pemimpin militer muslim dipanggil dengan gelar “am r.”
Pada masa jahiliyyah, orang-orang memanggil Nabi Muhammad “am r Mekah”
dan “am r Hijaz.”ketika memimpin pasukan muslim dalam perang Qadisiyah
Sa’ad ibn Abi Waqqas pun di panggil dengan gelar “am r al-mu’min n.”
Pada masa pemerintahan Umar sebagian sahabat menyebutnya sebagai
“am r al-mu’min n.” Orang-orang pun menyenangi dan menyetujui gelar tersebut.
Orang yang pertama kali memanggil dengan gelar demikian adalah Abdullah ibn
Jahsy, atau Umar ibn al-‘Ash, atau Mughirah ibn Syu’bah. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa pada waktu pembebasan kota mekah, seorang utusan datang ke
Madinah dan menanyakan Umar: “dimanakah Am r al-Mu’min n? Para sahabat
mendengar dan menyetujuinya. “anda benar, demi Allah dia benar-benar Am r
sebagai suatu ciri, yang mana tak seorang pun dari seluruh daulah Bani Umayah
menggunakannya.
Pergeseran nama atau gelar khalifah terjadi ketika golongan Syi’ah
membuat nama khusus untuk Ali ibn Abi Thalib, yaitu Imam. Kata Imamah juga
berarti Khilafah. Hal ini mereka lakukan sebagai propaganda mazhabnya yang
mengatakan bahwa Ali lebih berhak menduduki imamah shalat daripada Abu
Bakar. Gelar tersebut mereka gunakan khusus hanya untuk Ali, dan untuk
orang-orang yang menduduki khilafah sesudahnya.42
Akan tetapi gelar am r al-mu’min n tetap dipertahankan para
pemimpin-pemimpin dinasti muslim sesudahnya. Sebagaimana ia menjadi ciri raja Hijaz,
Syiria, dan Iraq. Pada masa puncak kekuasaan Bani Abbas gelar demikian
ditambah sesuai dengan nama-nama keluarga seperti Saffah, Mansur,
al-Mahdi, al-Hadi, al-Rasyid, dan seterusnya. Penambahan gelar tersebut
dimaksudkan untuk berhati-hati terhadap nama diri mereka, menghindarkannya
dari kesalahan pengucapan oleh orang-orang awam, dan untuk menjaganya
supaya tidak tercemar.
Berbeda dengan Bani Abbasiyah, Bani Umayyah tidak pernah
menggunakan gelar demikian, bahkan terkesan menjauhinya. Terlebih ketika Bani
Abbasiyyah telah mengambil kontrol kekuasaan dengan cara mengadakan
pemecatan, penggantian, bahkan pembunuhan terhadap sebagian besar pemimpin
Bani Umayyah. Kecuali pada masa khalifah terakhir Abdurrahman – yaitu
al-Nashir ibn Amir Abdillah Muhammad ibn Abdurrahman. Ia menyebut dirinya
42
am r al-mu’min n, dan memberi gelar dirinya dengan al-Nashir li d n Allah. Hal
ini ia lakukan, meskipun nenek moyangnya terdahulu tidak pernah
mempraktekkannya.
Ketika lembaga khilafah mulai melemah, dan ashabiyah bangsa Arab telah
hancur, maka khilafah telah hilang identitasnya. Terlebih ketika
pemimpin-pemimpin non-Arab berhasil mengambil alih kekuasaan Bani Abbas, para
pengikut mereka sendiri berkuasa atas Bani Ubaid di kairo, Shinhajah mengusai
kerajaan Ifriqiyah, Zanatah berkuasa atas Maghribi, dan reyes de taifas (raja-raja
kecil) di Andalusia berkuasa atas Bani Umayyah. Masing-masing golongan ini
berkuasa atas bagian dari khilafah. Kekaisaran muslim terpecah-pecah. Raja-raja
di Timur dan di Barat telah mengambil berbagai gelar, setelah tadinya mereka
disebut dengan nama “sulthân.”
Sebagai sikap tunduk terhadap raja-raja non-Arab di Timur, para
pemimpin Arab sebelumnya menyebut mereka dengan nama-nama misalnya
Syafar daulah, Adlad daulah, Rukn daulah, Muiz daulah, nashir
al-daulah, Nizham al-mulk, baha al-al-daulah, dakhir al-al-daulah, dan lain sebagainya.43
Setelah bangsa non-Arab di Timur berhasil memperkokoh kekuasaan dan
kedaulatannya serta berhasil memperbesar peranannya di dalam negara dan
kesultanan, mereka menambahkan gelar pada nama mereka sebelumnya dengan
tambahan kata “din” saja. Sehingga mereka dikatakan dengan nama Shalauddin,
Asaduddin, Nuruddin, dan sebagainya.
43