• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara Dalam Penerbangan Domestik (Studi Pada Pt. Garuda Indonesia Airlines Tbk)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara Dalam Penerbangan Domestik (Studi Pada Pt. Garuda Indonesia Airlines Tbk)"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG

ANGKUTAN UDARA DALAM PENERBANGAN DOMESTIK

(Studi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines Tbk)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

ALWIN HAKIM LUBIS NIM: 090200469

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG

ANGKUTAN UDARA DALAM PENERBANGAN DOMESTIK

(Studi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines Tbk)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

ALWIN HAKIM LUBIS NIM: 090200469

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DG

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Sinta Uli, SH, M.Hum Aflah, SH, M.Hum Nip. 195506261986012001 Nip. 19700519200212002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK Alwin Hakim Lubis*

Sinta Uli** Aflah***

UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan telah mengatur prinsip-prinsip perlindungan terhadap penumpang angkutan udara, mengatur persyaratan kelayakan pesawat angkutan udara yang sifatnya wajib dilakukan untuk mengutamakan keselamatan bagi para penumpang angkutan udara. Judul skripsi ini adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara Dalam Penerbangan Domestik (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines Tbk)”.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana prinsip-prinsip angkutan udara dan perlindungan hukum terhadap penumpang, bagaimana persyaratan pesawat angkutan udara sebagai bentuk perlindungan terhadap penumpang dan bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang PT. Garuda Indonesia Airlines dalam penerbangan domestik. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dan juga menggunakan pedoman wawancara.

Hasil penelitian ini adalah prinsip-prinsip angkutan udara antara lain prinsip manfaat, prinsip usaha bersama dan kekeluargaan; prinsip adil dan merata; prinsip keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; prinsip kepentingan umum; prinsip keterpaduan; prinsip tegaknya hukum; prinsip kemandirian; prinsip keterbukaan dan anti monopoli; prinsip berwawasan lingkungan hidup; prinsip kedaulatan negara; prinsip kebangsaan; prinsip kenusantaraan, dan lain-lain. Persyaratan kelayakan sarana dan prasarana bandar udara diwajibkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan di dalam regulasi penerbangan. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang angkutan udara dalam penerbangan domestik PT. GIA menyangkut perawatan dan perbaikan mesin pesawat dan elemen-elemen lainnya, aspek pelayanan perusahaan maskapai, penentuan tarif atau ongkos pesawat sesuai standar, aspek keamanan dan kenyamanan selama penerbangan, perjanjian tiket pesawat tidak mengandung klausula eksonerasi, penumpang diberikan hak untuk pengajuan klaim, dan perlindungan hukum melalui asuransi. Agar prinsip perawatan pesawat angkutan udara lebih diutamakan daripada prinsip-prinsip lainnya, sehingga dapat meminimalisir angka kecelakaan pesawat terbang. Agar setiap rencana pembangunan bandar udara harus memperhatikan persyaratan kelayakan pokok sebagai prioritas utama. Agar dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang angkutan udara dalam penerbangan domestik PT. GIA lebih memperhatikan pada aspek perawatan dan perbaikan mesin pesawat dan elemen-elemen lainnya, aspek pelayanan, penentuan tarif atau ongkos harus sesuai dengan

full service, aspek keamanan dan kenyamanan, klausula dalam tiket, pengajuan klaim, dan tuntutan ganti kerugian.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Penumpang, dan Angkutan Udara.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara Dalam Penerbangan Domestik (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines Tbk.). Skripsi ini menjelaskan tentang perapan perlindungan hukum terhadap para penumpang Pesawat Angkutan Udara khususnya perlindungan hukum yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia Airlines kepada para penumpangnya.

Penulis Menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

(5)

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syarifuddin Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Bapak Dr. O.K Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syariah, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Sinta Uli, SH.M.Hum selaku Ketua Program Kekhususan Hukum DG sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

5. Ibu Aflah, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, terima kasih atas semua bantuan serta perhatian dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.

6. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Hukum yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala ilmu dan bimbingan yang telah diberikan kepada Penulis sejak memulai perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini selesai.

(6)

8. Kakak tersayang Penulis, Dian Afriani Lubis, yang telah mendukung dan memberi dorongan moril dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

9. Untuk Saudara Penulis yang tercinta, Alvin, Ari, Amir, Ali, Barran, Bajora, Dewi, Shabrina, Ijal, terima kasih atas dukungan dan perhatiannya selama ini, yang tidak bosan-bosannya menemani Penulis dalam menyelesaikan skripsinya.

10.Sahabat-sahabat terbaik Penulis, Agung, Roby, Revan, Akbar, Iwang, Putra, Ika,yang telah memberikan solusi dan dukungan kepada Penulis. Terima kasih atas waktunya yang selama ini menghibur disaat Penulis menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman stambuk 2009 lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas waktu dan bantuannya kepada Penulis selama ini.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2013

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

F. Metode Penelitian ... 12

G. Keaslian Penulisan ... 14

BAB II : PRINSIP-PRINSIP ANGKUTAN UDARA DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG ... 16

A. Perjanjian Pengangkutan Udara dan Penumpang Menurut Hukum ... 16

B. Hak-Hak dan Kewajiban Penumpang Angkutan Udara serta Hak dan Kewajiban Perusahaan Pesawat Angkutan Udara ... 25

C. Prinsip-Prinsip Perlindungan Terhadap Penumpang Angkutan Udara ... 36

BAB III : PERSYARATAN PESAWAT ANGKUTAN UDARA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP PENUMPANG ... 51

(8)

B. Kelaikudaraan Pesawat Angkutan Udara Sebagai Bentuk

Perlindungan Terhadap Penumpang ... 59

C. Persyaratan Kelayakan Sarana dan Prasarana Bandar Udara ... 66

BAB IV : PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG PT. GARUDA INDONESIA AIRLINES DALAM PENERBANGAN DOMESTIK ... 78

A. Perusahaan PT. Garuda Indonesia Airlines Dalam Operasional Penerbangan Domestik ... 78

B. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Dalam Penerbangan Domestik ... 85

C. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang PT. Garuda Indonesia Dalam Penerbangan Domestik ... 95

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

(9)

ABSTRAK Alwin Hakim Lubis*

Sinta Uli** Aflah***

UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan telah mengatur prinsip-prinsip perlindungan terhadap penumpang angkutan udara, mengatur persyaratan kelayakan pesawat angkutan udara yang sifatnya wajib dilakukan untuk mengutamakan keselamatan bagi para penumpang angkutan udara. Judul skripsi ini adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara Dalam Penerbangan Domestik (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines Tbk)”.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana prinsip-prinsip angkutan udara dan perlindungan hukum terhadap penumpang, bagaimana persyaratan pesawat angkutan udara sebagai bentuk perlindungan terhadap penumpang dan bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang PT. Garuda Indonesia Airlines dalam penerbangan domestik. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dan juga menggunakan pedoman wawancara.

Hasil penelitian ini adalah prinsip-prinsip angkutan udara antara lain prinsip manfaat, prinsip usaha bersama dan kekeluargaan; prinsip adil dan merata; prinsip keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; prinsip kepentingan umum; prinsip keterpaduan; prinsip tegaknya hukum; prinsip kemandirian; prinsip keterbukaan dan anti monopoli; prinsip berwawasan lingkungan hidup; prinsip kedaulatan negara; prinsip kebangsaan; prinsip kenusantaraan, dan lain-lain. Persyaratan kelayakan sarana dan prasarana bandar udara diwajibkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan di dalam regulasi penerbangan. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang angkutan udara dalam penerbangan domestik PT. GIA menyangkut perawatan dan perbaikan mesin pesawat dan elemen-elemen lainnya, aspek pelayanan perusahaan maskapai, penentuan tarif atau ongkos pesawat sesuai standar, aspek keamanan dan kenyamanan selama penerbangan, perjanjian tiket pesawat tidak mengandung klausula eksonerasi, penumpang diberikan hak untuk pengajuan klaim, dan perlindungan hukum melalui asuransi. Agar prinsip perawatan pesawat angkutan udara lebih diutamakan daripada prinsip-prinsip lainnya, sehingga dapat meminimalisir angka kecelakaan pesawat terbang. Agar setiap rencana pembangunan bandar udara harus memperhatikan persyaratan kelayakan pokok sebagai prioritas utama. Agar dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang angkutan udara dalam penerbangan domestik PT. GIA lebih memperhatikan pada aspek perawatan dan perbaikan mesin pesawat dan elemen-elemen lainnya, aspek pelayanan, penentuan tarif atau ongkos harus sesuai dengan

full service, aspek keamanan dan kenyamanan, klausula dalam tiket, pengajuan klaim, dan tuntutan ganti kerugian.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Penumpang, dan Angkutan Udara.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum perlindungan mengatur tentang pemberian perlindungan kepada masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen dalam penggunaan barang dan atau jasa.1 Hukum perlindungan konsumen mencakup keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dalam hubungannya dengan penggunaan barang dan atau jasa termasuk pula melindungi kepentingan para pelaku usaha.2

Salah satu aspek hukum sebagai lex specialis dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan), sehingga konsumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para penumpang angkutan udara yang menggunakan jasa angkutan melalui transportasi udara yang diselenggarakan oleh PT. Garuda Indonesia Airlines (PT. GIA). Prinsip-prinsip perlindungan hukum di dalam UUPK juga

Perlindungan konsumen dapat berupa antara lain memperoleh informasi, memilih menggunakan atau tidak menggunakan barang dan atau jasa-jasa, dan lain-lain hingga sampai pada akibat yang ditimbulkan karena penggunaan barang dan atau jasa, sedangkan perlindungan hukum bagi pelaku usaha berkaitan dengan eksistensi industri usahanya, produksinya, penyimpanan, peredaran, penggunaan produk, perdagangan produk serta akibat dari penggunaan produk itu.

1

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2006), hal. 45.

2

(11)

berlaku dalam UU Penerbangan dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap para penumpang angkutan udara.

Kegiatan pengangkutan apapun jenisnya, khususnya di bidang transportasi udara selain berpedoman pada UU Penerbangan juga berpedoman pada UUPK dalam memberikan pelayanan kepada para penumpang angkutan udara. Hak-hak para penumpang angkutan udara sebagai pihak yang memerlukan jasa angkutan transportasi udara wajib dilindungi oleh hukum, guna kelangsungan dan eksistensi usaha di bidang penerbangan.3

Kajian ini membahas masalah penerapan perlindungan hukum terhadap para penumpang pesawat angkutan udara khususnya perlindungan hukum yang diberikan oleh PT. GIA kepada para penumpangnya. Implementasi hukum perlindungan di PT. GIA terhadap para penumpang menjadi alternatif menarik dalam kajian ini, sebab PT. GIA sebagai pelaku usaha, juga merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia yang tentunya harus menunjukkan contoh yang baik

Bagaimana hak-hak para penumpang angkutan udara diakui dan diatur serta dilindungi oleh hukum sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan) seperti misalnya mempersyaratkan kelayakan pesawat udara yang akan digunakan oleh maskapi penerbangan. Sekedar aturan hukum tentang perlindungan hak-hak penumpang angkutan udara di dalam UUP, tidak lah cukup hanya sebagai law in the books, hukum perlindungan akan menjadi norma yang mati bila tidak dilaksanakan untuk melindungi kepentingan penumpang angkutan udara, oleh sebab itu UUPK harus dilaksanakan (law in actions) dalam praktik di lapangan.

3

(12)

bagi para pelaku usaha angkutan udara lainnya dalam hal menerapkan hukum perlindungan terhadap para penumpang.

Pelaksanaan hukum perlindungan konsumen terhadap para penumpang pesawat angkutan udara di dalam praktik, hingga kini masih belum bisa diperoleh dan dirasakan sepenuhnya oleh para penumpang, persoalan perlindungan hukum bagi para penumpang masih terus menjadi persoalan, bilamana para penumpang masih memenuhi keluhan-keluhan dan kecenderungan mengajukan klaim atas pelayanan buruk yang diberikan oleh pihak maskapai, hingga menempuh jalur hukum litigasi, mengajukan gugatan ganti rugi di pengadilan.

Hukum perlindungan konsumen khususnya UUP pada prinsipnya diadakan sebagai peraturan khusus yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para penumpang angkutan udara dan pelaku usaha (perusahaan maskapai penerbangan) dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masing-masing subjek hukum.4

Prinsip-prinsip perlindungan sesungguhnya menjadi prioritas penting dan wajib dilaksanakan oleh perusahaan maskapai penerbangan dalam rangka menjaga dan meningkatkan eksistensinya dalam pandangan masyarakat. Prinsip-prinsip itu antara lain prinsip transparansi, prinsip manfaat, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan, prinsip keamanan dan keselamatan konsumen, serta prinsip kepastian hukum.

Namun di sisi lain, budaya hukum dan struktur hukum masih belum sesuai harapan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap para penumpang angkutan udara.

5

4

Janus Sidabalok, Op. cit., hal. 46.

5

Pasal 2 UUPK.

(13)

Kadang-kadang yang terjadi dalam praktik adalah pengabaian terhadap prinsip-prinsip perlindungan. Seperti contoh bila suatu waktu jadwal keberangkatan penumpang batal berangkat, maka pihak maskapi penerbangan harus transparan atas pembayaran airport tax6 kepada para penumpang yaitu mengembalikan kutipan

airport tax tersebut secara cash kepada penumpang yang batal berangkat. Dalam pembayaran airport tax, ada hak-hak penumpang yang harus diutamakan, bagaimana kutipan airport tax yang dimasukkan ke dalam tiket pesawat udara itu dilaksanakan secara fair bagi penumpang dan menjelaskan mekanisme penyetoran kutipan airport tax dari maskapai kepada pengelola bandara.7

Pelaksanaannya airport tax di Indonesia kesannya tidak fair, karena pada umumnya penerimaan kutipan airport tax (pajak bandara) pada setiap perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia sudah dibayar sebelum keberangkatan, berbeda dengan di Malaysia dan Singapura baru menerima kutipan airport tax setelah penumpang berangkat, akibatnya bila jadwal keberangkatan batal berangkat, airport tax pun tidak dikembalikan.8

Masalah lain yang terjadi dalam penggunaan jasa angkutan udara terutama untuk pesawat pengangkut penumpang adalah terkait masalah keterlambatan (delayed) keberangkatan maskapi penerbangan yang dapat berdampak pada terganggunya jadwal kegiatan para penumpang angkutan udara. Belum lagi persoalan pelayanan jasa lain yang dialami oleh para penumpang angkutan udara antara lain kelayakan pelayanan dari maskapi penerbangan terhadap para penumpang

6

Airport tax adalah Pembayaran Tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U).

7

http://sinarharapan.co/news/read/141015032/hak-penumpang-harus-diutamakan, diakses tanggal 30 Desember 2014, artikel yang berjudul “Hak Penumpang Harus Diutamakan”, dipublikasikan di website Sinarharapan.co, tanggal 15 Oktober 2014.

8

(14)

yang kadang-kadang menimbulkan kekesalan dan kemarahan bagi para penumpang angkutan udara terhadap pihak manajemen.

Contoh harga tiket kadang-kadang dijual oleh para calo dengan harga yang terlalu tinggi, tetapi pelayanan maskapi yang diberikan kepada para penumpangnya tidak sesuai dengan prinsip kelayakan dan keramah-tamahan, pelayanan yang diberikan sama saja antara membeli tiket melalui agen resmi ataupun calo. Kekesalan-kekesalan dan keluhan-keluhan para penumpang angkutan udara sudah menjadi fenomena menarik perhatian sejumlah masyarakat pengguna jasa transportasi udara. Masalahnya adalah apakah kondisi pelayanan yang digambarkan seperti di atas dapat dibenarkan atau tidak dalam pelayanan yang diberikan oleh PT. GIA kepada para penumpangnya, menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.

Hal yang menjadi alasan kajian ini karena pada satu sisi masih ada pihak maupun penumpang yang memandang pelayanan PT. GIA masih menimbulkan persoalan tersendiri. Contoh yang pernah disesalkan oleh seorang musisi Indonesia Ahmad Dhani ketika tiket milik PT. GIA yang dipesannya saat di dalam pesawat garuda jenis ATR 72-600 ternyata tidak tersedia dua tempat duduk dua orang kru Ahmad Dhani sehingga membuatnya marah-marah terhadap manajemen PT. GIA. Ahmad Dhani terkejut karena dua krunya tidak dapat tempat duduk.9

Setelah diprotes akhirnya diketahui ada empat penumpang “gelap” tanpa tiket masuk ke dalam pesawat. Alasan ini sungguh sangat aneh tetapi nyata, dan tidak bisa diterima akal sehat, mengapa penumpang “gelap” itu bisa lolos. Ahmad Dhani

9

(15)

melontarkan kekesalannya kepada manajemen PT. GIA terutama ditujukannya kepada pilot PT. GIA.10

Penumpang juga mempertanyakan kualitas layanan maskapai PT. GIA yang tidak memberikan kenyamanan dalam layanan. Pesawat dengan nomor penerbangan GA 648 yang seharusnya berangkat dari Jakarta menuju Ternate justru berbelok ke Bandara Sepinggan-Balikpapan karena alasan ada kerusakan, gangguan listrik. Sudah kondisi delay yang dialami para penumpang, ditambah lagi tidak ada komunikasi petugas terhadap para penumpang, dan layanan kompensasi tidak diberikan cepat.

11

Penumpang mempertanyakan layanan maskapai PT. GIA yang lambat memberikan informasi soal kepastian pelayanan. Para penumpang menyatakan rasa kekesalannya karena buruknya layanan PT. GIA telantarkan penumpang yang menunggu di hotel tanpa kepastian terbang setelah berjam-jam terlantar di ruang tunggu Bandara Sepinggan, tanpa kompensasi makan pagi, siang dan malam. Kabar terakhir, para penumpang akan diterbangkan besok paginya, itupun jika ada pesawat baru atau perbaikan selesai.

12

Kemudian kasus kehilangan koper milik Kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi (Dishubkominfo) hilang di maskapai penerbangan milik PT. GIA. Setelah kopernya hilang pada penerbangan tanggal 13 Agustus 2014 dan hampir satu bulan menanti tidak ada tanggapan, hingga kini keberadaan koper tersebut tidak

10

Ibid.

11

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/09/penumpang-komplain-pelayanan-garuda, diakses tanggal 31 Desember 2014, berita yang ditulis oleh Rachmat Hidayat, berjudul “Penumpang Komplain Pelayanan Garuda”, dipublikasikan di website tribunnews.com, pada tanggal 9 September 2014.

12

(16)

ditemukan. Sebagai seorang penumpang pemilik koper yang hilang sangat kecewa dengan pelayanan PT. GIA yang dikatakannya tidak profesional.13

Masalah kepastian jam keberangkatan juga menjadi persoalan pelayanan PT. GIA yang dalam hal ini untuk keberangkatan pada tanggal 16 November 2013, seorang penumpang sudah tiba di Bandara Kualanamu-Medan pada pukul 13.45 WIB. Ketika penumpang mau masuk dan sudah duluan dilakukan chek-in, petugas Garuda mengatakan sudah tidak bisa lagi berangkat karena pintu pesawat sudah ditutup. Sementara pada tiket Garuda yang dibelinya tertulis jam keberangkatan pada pukul 14.20 WIB.14

Penumpang mengajukan komplain dan dijawab oleh petugas Garuda “sudah terlambat dan sudah ditutup pintu pesawat” sehingga penumpang tidak bisa ikut penerbangan itu, dan disarankan untuk ikut pesawat berikutnya dengan penambahan biaya Rp.600.000,- per orang. Dalam kejadian ini penumpang menyesalkan ketidakcocokan antara jam keberangkatan yang tertulis pada tiket pesawat Garuda yang dibeli dengan fakta jam keberangkatan.

15

Masih banyak lagi fakta yang mencontohkan kondisi pelayanan maskapi penerbangan yang tidak sesuai dengan UU Penerbangan. Contoh-contoh tersebut baru sekian dari banyak contoh yang terjadi. Namun dalam kondisi demikian yang perlu dipertanyakan adalah masalah perlindungan hukum terhadap penumpang angkutan udara apakah kondisi demikian dapat memberikan perlidnungan dari rasa

13

http://posmetropadang.com/index.php?option=com_content&task=view&id=10130&Itemid =34, diakses tanggal 31 Desember 2014, berita yang ditulis oleh redaksi, berjudul “Koper Kadishub Hilang di Garuda Satu Bulan, Klaim Tidak Ditanggapi”, dipublikasikan tanggal 17 September 2014.

14

http://rumahpengaduan.com/2013/11/16/kecewa-dengan-pesawat-garuda-indonesia/, diakses tanggal 31 Desember 2014, berita tentang keluhan penumpang yang ditulis oleh Widodo Untung, dipublikasikan di website rumahpengaduan.com, berjudul, “Kecewa Dengan Pesawat Garuda”, tanggal 19 November 2013.

15

(17)

aman, nyaman dan dan lain-lain terhadap para penumpang pada PT. GIA menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini, sehingga dipilih “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara Dalam Penerbangan Domestik (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines Tbk)”, sebagai judul dalam skripsi ini.

Alasan harus memilih perusahaan ini karena PT. GIA adalah sebagai BUMN menjadi perhatian khusus bagi para penumpang bahwa sebuah perusahaan milik negara “plat merah” tetapi justru masih menimbulkan persoalan pelayanan kepada para penumpangnya, apalagi harga tiket yang ditawarkan oleh maskapi ini tergolong mahal bila dibandingkan dengan maskapi swasta lainnya hingga mencapai 3 (tiga) juta rupiah.

Seharusnya para penumpang angkutan udara sebagai konsumen pengguna jasa transportasi udara berhak secara hukum memperoleh perlindungan hukum dari para pelaku usaha atas pelayanan jasa transportasi udara yang diberikan. Misalnya bila diterapkan prinsip transparansi di PT. GIA sesungguhnya dapat memberikan pelayanan rasa nyaman bagi para penumpang dalam melindungi hak-haknya, namun kadang-kadang prinsip ini dan prinsip-prinsip perlindungan konsumen lainnya sering diabaikan.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prinsip-prinsip angkutan udara dan perlindungan hukum terhadap penumpang?

(18)

3. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang PT. Garuda Indonesia Airlines dalam penerbangan domestik?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami prinsip-prinsip angkutan udara dan perlindungan hukum terhadap penumpang.

2. Untuk mengetahui dan memahami persyaratan pesawat angkutan udara untuk memberi perlindungan terhadap penumpang.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang PT. Garuda Indonesia Airlines dalam penerbangan domestik.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini dapat dibedakan berupa manfaat secara teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi akademisi sebagai referensi, bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat umum.

(19)

E. Sistematika Penulisan

Sehubungan dalam penelitian ini ada tiga permasalahan yang akan diteliti, maka sistematika penulisan dibagi dalam 5 (lima) bab yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN.

Hal-hal yang dimuat di dalam bab pendahuluan ini adalah latar belakang yang menjadi alasan-alasan melakukan penelitian terhadap perlindungan hukum para penumpang PT. GIA dalam penerbangan domestik, sehingga dengan alasan-alasan tersebut mengantarkan judul penelitian ini pada tiga perumusan masalah, dalam bab ini juga dimuat tujuan penulisan, manfaat penulisan baik manfaatnya secara teoritis maupun manfaatnya secara praktis, kemudian tentang metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : PRINSIP-PRINSIP ANGKUTAN UDARA DAN PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP PENUMPANG.

Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana sebenarnya prinsip-prinsip angkutan udara dan perlindungan hukum terhadap penumpang. Prinsip-prinsip angkutan udara dan Prinsip-prinsip-Prinsip-prinsip perlindungan hukum yang dibahas di dalam bab ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan angkutan udara terhadap para penumpang angkutan udara. Tidak terkecuali juga dibahas tentang perjanjian pengangkutan udara dan penumpang menurut hukum, hak-hak dan kewajiban penumpang angkutan udara serta hak dan kewajiban perusahaan pesawat angkutan udara.

(20)

Pada bab ini dibahas tentang persyaratan pesawat angkutan udara sebagai bentuk perlindungan terhadap penumpang meliputi pembahasan tentang persyaratan pesawat angkutan udara mulai dari persyaratan sarana dan prasarana, kelaikudaraan pesawat angkutan udara, hingga persyaratan kelayakan sarana dan prasarana bandara udara.

BAB IV : PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG PT. GARUDA INDONESIA AIRLINES DALAM PENERBANGAN DOMESTIK

Pembahasan perlindungan hukum dalam bab ini lebih fokus pada penerapannya di lapangan khususnya pelaksanaan perlindungan hukum penumpang PT. GIA dalam penerbangan domestik. Fokus kajian dalam bab ini adalah tentang pelaksanaan perlindungan hukum yang diberikan oleh manajemen PT. GIA kepada para penumpangnya. Membahas pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penumpang PT. GIA berdasarkan UU Penerbangan yang berlaku terutama masalah pemberian pelayanan yang layak sesuai prinsip-prinsip perlindungan penumpang angkutan udara dalam penerbangan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(21)

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan) terkait yang menyangkut masalah perlindungan hukum terhadap penumpang angkutan udara dalam penerbangan domestik.

2. Sumber Data

Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

(22)

Supplemental Air Carriers).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah seminar, artikel, jurnal, surat kabar, makalah yang dipublikasikan di internet maupun karya-karya tulisan yang menyangkut perlindungan hukum terhadap penumpang angkutan udara.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yankni diperoleh dari Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.

Selain sumber data sekunder, data juga diperoleh dari sumber data primer, yakni hasil wawancara yang diperoleh dari beberapa informan penting dan relevan khususnya bersumber manajemen PT. GIA dan beberapa orang penumpang angkutan udara yang pernah menggunakan pelayanan jasa PT. GIA.

2. Teknik Pengumpulan Data

(23)

3. Analisis Data

Data-data yang diperoleh, dianalisis secara kualitatif yakni memilih dan menentukan asas-asas, prinsip-prinsip, norma-norma dan kaidah-kaidah dalam pasal-pasal terpenting yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen dan penumpang angkutan udara yang terdapat di dalam UUK dan UU Penerbangan. Menjelaskan berdasarkan regulasi yang ada, menguraika data dan fakta, memaparkan berdasarkan analisis yang tajam antara teoritis dan praktek. Analisis data dilakukan secara tersistematis sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang diteliti, selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan untuk menarik suatu kesimpulan.16

G. Keaslian Penelitian

Untuk menghindari terjadinya tindakan plagiat terhadap karya ilmiah (skripsi) milik orang lain, sebelumnya telah dilakukan penelusuran terhadap karya-karya ilmiah milik orang lain di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil penelusuran tidak ditemukan judul dan permasalahan skripsi yang sama dengan judul dan perumusan masalah dalam penelitian ini.

Skripsi ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara Dalam Penerbangan Domestik (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines Tbk)” dengan rumusan masalah: 1) bagaimanakah prinsip-prinsip angkutan udara

16

(24)
(25)

BAB II

PRINSIP-PRINSIP ANGKUTAN UDARA DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG

A. Perjanjian Pengangkutan Udara dan Penumpang Menurut Hukum

Antara penumpang angkutan udara dan perusahaan angkutan udara terikat dalam sebuah perjanjian. Perjanjian antara penumpang angkutan udara dan perusahaan angkutan udara termaktub dalam tiket yang dicantumkan didalamnya beberapa syarat-syarat dan ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketentuan hukum yang menentukan bahwa tiket pesawat merupakan salah bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara tercantum di dalam Pasal 1 angka 27 UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan), sebagai berikut:

(26)

Selanjutnya mengenai tiket merupakan bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara, yaitu pada Pasal 140 UU Penerbangan yang menentukan bahwa

1. Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.

2. Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.

3. Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.

Tiket adalah bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak maskapi penerbangan. Selain daripada tiket tersebut berdasarkan Pasal 150 UU Penerbangan dokumen angkutan udara terdiri atas: a) tiket penumpang pesawat udara; b). pas masuk pesawat udara (boarding pass); c). tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag); dan d). surat muatan udara (airway bill).

Pihak perusahaan pengangkutan udara sesuai Pasal 140 UU Penerbangan wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan maupun penumpang kolektif, paling sedikit harus memuat:

1. Nomor, tempat, dan tanggal penerbitan; 2. Nama penumpang dan nama pengangkut;

3. Tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan; 4. Nomor penerbangan;

5. Tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; dan

6. Pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.

(27)

oleh pengangkut, maka pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam UU Penerbangan untuk membatasi tanggung jawabnya, artinya perusahaan pengangkutan udara tidak bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Perikatan yang lahir karena undang-undang disebabkan karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah timbul jika seseorang melakukan suatu pembayaran yang tidak diwajibkan. Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu perikatan yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak lain untuk mengembalikan pembayaran-pembayaran itu.17

Perikatan yang lahir karena suatu perjanjian adalah perikatan yang dikehendaki oleh dua orang atau lebih membuat suatu kesepakatan bersama untuk memenuhi suatu prestasi.18

Sehingga dengan demikian pengertian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan Perikatan yang lahir karena perjanjian harus memenuhi syarat-syarat perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan perjanjian itu akan mengikat menjadi undang-undang sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.

17

Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXVI, (Jakarta: PT. Intermasa, 1994), hal 132.

18

(28)

orestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati oleh para piha tersebut serta menimbulkan akibat hukum.19

Beberapa asas penting itu antara lain adalah asas keseimbangan dan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun serta isi atau substansi perjanjian/kontrak sesuai dengan yang dikehendaki para pihak.

Berdasarkan ketentuan tersebut perjanjian dalam bentuk tiket pesawat angkutan udara merupakan perikatan yang lahir karena perjanjian sebagaimana yang terkandung di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Perikatan antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara timbul timbul apabila penumpang membeli tiket pesawat, maka secara hukum sah dan terbentuk lah hak dan kewajiban antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara.

Sedemikian pentingnya ditentukan dan ditegaskan bahwa tiket menempati posisi sangat penting dalam penggunaan jasa transportasi udara, tiket merupakan bentuk perjanjian atau perjanjian pengangkutan udara. Namun perlu diketahui bahwa tiket dalam dunia akademisi maupun praktis sering dipersoalkan tentang masalah asas-asas perjanjian karena tiket yang disediakan secara sepihak oleh pelaku usaha atau perusahaan angkutan udara dinilai bertentangan dengan asas-asas perjanjian terutama asas kebebasan berkontrak.

20

19

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. Kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 41-42.

20

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, (Jakarta: Kencana 2011), hal. 110.

(29)

bahwa tiket pesawat angkutan udara dibuat secara baku dan sepihak oleh perusahaan maskapai penerbangan.

Tiket pesawat udara atau pesawat terbang apapun jenisnya adalah mengandung klausula baku. Klausula baku mengandung syarat-syarat baku sekaligus merupakan aturan bagi para pihak yang terikat didalamnya dan telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan pihak yang lain.21

Ketidakseimbangan yang ditunjukkan dengan pencantumkan klausula baku dalam perjanjian bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak (vide: Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata). Asas kebebasan berkontrak sangat ideal jika para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian/kontrak berada dalam posisi tawar yang masing-masing seimbang antara satu sama lain untuk menentukan kata sepakat.

Klausula baku bila dianalisis berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata sangat tidak sesuai terutama bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata mengenai kesepakatan untuk mengikatkan diri masing-masing pihak. Jika substansi dalam perjanjian hanya ditentukan oleh secara sepihak, lalu kemudian pihak lain tinggal hanya menyepakati saja, hal ini dinilai kurang adil dan tidak proporsional, bilamana kehendak dari pihak penumpang belum tentu tertuang dalam substansi dalam tiket pesawat.

22

Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak bahwa setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian sepanjang isi

21

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 320.

22

(30)

perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, misalnya tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Jika dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya dalam perjanjian. Pihak yang memiliki posisi tawar yang kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula baku. Seharusnya perjanjian itu dirancang oleh para pihak secara bersama-sama, namun pihak yang kuat tersebut umumnya telah mempersiapkan format perjanjian oleh pihak yang posisi tawarnya lebih kuat.23

Praktik dalam penggunaan tiket pesawat angkutan udara dalam beberapa kasus, Pengadilan telah menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat maupun karcis parkir adalah batal demi hukum. Misalnya dalam perkara hilangnya mobil milik Anny R. Gultom saat parkir di parkiran Plaza Cempaka Mas diajukan kasasi ke MA ditolak oleh MA yang tetap mempertahankan putusan pengadilan Pencantuman klausula baku dalam praktik masih mendominasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku dalam bentuk form perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat, seperti penjualan tiket-tiket pesawat angkutan penumpang udara, perusahaan pengangkutan laut maupun transportasi darat, perusahaan lishing, perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, kegiatan pinjam-meminjam uang, dan lain-lain, semua kesepakatan dicantumkan dalam bentuk klausula baku, sudah terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir.

23

(31)

tinggi yang memenangkan pemilik mobil yang hilang Anny R. Gultom. MA menyatakan putusan ini menjadi yurisprudensi bagi perkara yang serupa.24

Kemudian seorang konsumen bernama David M.L. Tobing menggugat atas penundaan keberangkatan (delay) pesawat angkutan udara milik PT. Lion Mentari Airlines (PT. Lion Air). MA memenangkan David M.L. Tobing dengan menjatuhkan putusan ganti rugi yang harus dibayar oleh PT. Lion Air kepada David M.L. Tobing sebesar Rp.1.852.000,- (satu juta delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah) yang terdiri dari uang ganti rugi sebesar Rp.718.500,- (tujuh ratus delapan belas ribu lima ratus rupiah) dan biaya perkara Rp.1.134.000,- (satu juta seratus tiga puluh empat ribu rupiah). Biaya perkara itu mencakup seluruh biaya mulai dari proses di pengadilan tingkat pertama hingga Pengadilan Tinggi, dan biaya teguran (aanmaning).25

Klausula baku di dalam tiket pesawat PT. Lion Air itu menyatakan berikut: “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi”. Dari klausula demikian jelas-jelas PT. Lion Air ingin membebaskan kewajiban yang semestinya PT. Lion Air harus bertanggung jawab, tetapi justru dilepaskannya melalui

24

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c53c3c1c94a8/ma-tetap-larang-pengelola-parkir-terapkan-klausula-baku, diakses tanggal 3 Januari 2015, Artikel yang ditulis oleh ASH (nama inisial), berjudul, “MA Tetap Larang Pengelola Parkir Tetapkan Klausula Baku”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 31 Juli 2010.

25

(32)

pencantuman klausula baku. Majelis hakim MA menyatakan klausula baku dalam tiket PT. Lion Air adalah batal demi hukum.26

Kemudian pengadilan juga menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat milik PT. Indonesia Air Asia (PT. Air Asia) adalah batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam perkara ini, konsumen yang bernama Hastjarjo Boedi Wibowo mengajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum kepada PT. Air Asia di Pengadilan Negeri Tangerang. Pengadilan memenangkan gugatan konsumen tersebut dengan menjatuhkan putusan ganti rugi sebesar Rp.806.000,- (delapan ratus enam ribu rupiah) dan ganti rugi immaterial sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang harus dibayar oleh PT. Air Asia kepada Hastjarjo Boedi Wibowo.

27

Alasan pembatalan keberangkatan pesawat angkutan udara milik PT. Air Asia ini adalah terjadinya kerusakan pesawat sehingga menjadi suatu keadaan memaksa (overmacht). Pesawat baru bisa digunakan pada tanggal 13 Desember 2008 sementara jadwal penerbangan Hastjarjo Boedi Wibowo adalah tanggal 12 Desember 2008. Pertimbangan majelis hakim menilai PT. Air Asia tidak dapat membuktikan secara jelas apakah pesawat yang rusak itu adalah pesawat yang mengangkut Boedi dari Jakarta ke Yogyakarta. PT. Air Asia dinilai tidak bisa membuktikan pesawat yang rusak dalam kondisi perbaikan selama sidang pengadilan.28

Pencantuman klausula baku dapat mengandung pengalihan tanggung jawab dalam tiket pesawat seperti tiket PT. Air Asia yang bertentangan dengan Pasal 18

26

Ibid.

27

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b6c031c4fc99/air-asia-kalah-lawan-konsumen, diakses tanggal 3 Januari 2015, Artikel yang ditulis oleh MON (nama inisial), berjudul, “Air Asia Kalah Lawan Konsumen”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 Februari 2010.

28

(33)

ayat (1) huruf a UUPK karena tercantum klausula yaitu: “Indonesia Air Asia akan mengangkut penumpang, tetapi tidak menjamin ketepatan sepenuhnya, Indonesia Air Asia dapat melakukan perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya”,29

Dalam kegiatan bisnis penerbangan terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara perusahaan penerbangan dan penumpang angkutan udara. Kepentingan perusahaan angkutan udara adalah memperoleh laba (profit), sedangkan kepentingan para penumpang adalah memperoleh hak-haknya atas kepuasan pelayanan untuk pemenuhan kebutuhannya terhadap produk atau jasa yang ditawarkan.

padahal ketentuan Pasal 146 UU Penerbangan mewajibkan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan, kecuali pengangkut dapat membuktikan keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Berdasarkan argumentasi di atas, dapat diberikan analisis bahwa ketentuan Pasal 1 angka 27 UU Penerbangan, Pasal 1 angka 29 UU Penerbangan, Pasal 140 UU Penerbangan tidak harmonis dengan Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 1338 KUH Perdata. Secara hukum dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian, tetapi dalam Pasal 1 angka 27 jo angka 29 jo Pasal 140 UU Penerbangan menentukan tiket pesawat angkutan udara adalah perjanjian antara penumpang dan pihak perusahaan ada sah dan megikat bila penumpang telah membeli tiket tersebut sesuai Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata.

30

29

Ibid.

30

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 209.

(34)

Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa tiket pesawat angkutan udara termasuk sebagai bentuk perjanjian berdasarkan UU Penerbangan, namun demi hukum mencantumkan klausula baku seperti dalam tiket pesawat adalah dilarang, tetapi berdasarkan asas kebiasaan dan kepatutan, hal demikian itu sudah menjadi hal yang biasa dan patut. Jadi sah-sah saja perusahaan angkutan udara mencantumkan kluasula baku dalam tiket pesawat, namun dalam pencantuman klausula baku tersebut tidak boleh mengandung klausula pengalihan tanggung jawab, atau mengurangi tanggung jawab, atau bakan meniadakan tanggung jawab dari pihak perusahaan.

B. Hak-Hak dan Kewajiban Penumpang Angkutan Udara serta Hak dan Kewajiban Perusahaan Pesawat Angkutan Udara

Hak-hak penumpang dan hak-hak perusahaan angkutan udara terdapat di dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Hak-hak penumpang angkutan udara dapat dilihat dari ketentuan di dalam UU Penerbangan. Hak-hak penumpang angkutan udara antara lain berhak memperoleh rasa nyaman, aman, dan selamat dari bahaya penerbangan. Oleh sebab itu menjadi kewajiban perusahaan angkutan udara untuk memenuhi standar kelayakan pesawat udara dalam rangka meminimalisir bahaya kecelakaan pesawat angkutan udara yang dapat membahayakan keselamatan para penumpang.

(35)

dan/atau jasa serta pelayanan dari perusahaan angkutan udara tentang segala hal yang berkaitan dengan hak-hak penumpang.

Penumpang angkutan udara berhak untuk didengar pendapatnya dan keluhannya pelayanan jasa angkutan udara yang digunakan, termasuk hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, misalnya dalam hal terjadinya kecelakaan pesawat.

Kewajiban bagi penumpang angkutan udara adalah wajib membaca petunjuk, mengikuti petunjuk dalam Standar Operasional Pelayanan (SOP) penerbangan yang berlaku pada perusahaan angkutan udara, sebab SOP yang sudah ada, sudah menjadi standar pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka demi keamanan dan keselamatan para penumpang. Panumpang angkutan udara wajib membayar kewajibannya yaitu berupa ongkos pesawat yang ditumpangi sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati di dalam tiket pesawat.

(36)

dari tidak terpenuhinya sertifikat pesawat udara, dapat menimbulkan persoalan bagi para penumpang karena pesawat udra tersebut tidak sesuai standar kelaikudaraan.

Pada prinsipnya sertifikat dimaksudkan adalah untuk memenuhi standar kelaikudaraan pesawat pengangkut, baik standar pesawat udaranya, mesin pesawat udara, dan baling-baling maupun sayap pesawat terbang harus sesuai dengan standar kelaikudaraan. Persyaratan wajib ini dilakukan untuk mengutamakan keselamatan bagi para penumpang pesawat angkutan udara dari kemungkinan-kemungkinan kecelakaan pesawat angkutan udara.

Kewajiban perusahaan pengangkut udara yang terdapat di dalam Pasal 46 jo Pasal 47 UU Penerbangan menegaskan kepada perusahaan pengangkut udara wajib melaksanakan perawatan pesawat udara yang digunakan, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara berkelanjutan. Ketentuan ini pada sisi lain mengandung hak bagi para penumpang yaitu dengan perawatan mesin pesawat tersebut secara tidak langsung dapat memebrikan hak-hak keselamatan dan rasa nyaman bagi penumpang.

(37)

Berdasarkan Pasal 142 UU Penerbangan, kewajiban pengangkut menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, tetapi apabila calon penumpang yang sakit tersebut dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada perusahaan pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara, maka perusahaan pengangkut wajib mengangkut calon penumpang yang dimaksud. Sehingga di dalam ketentuan ini terdapat hak dan kewajiban bagi masing-masing perusahaan angkutan udara dan penumpang.

Pada Pasal 134 UU Penerbangan terdapat hak-hak bagi para penumpang khususnya untuk penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit. Penyandang cacat, orang lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga. Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus tersebut paling sedikit meliputi:

1. Pemberian prioritas tambahan tempat duduk;

2. Penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat udara; 3. Penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara; 4. Sarana bantu bagi orang sakit;

5. Penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;

6. Tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan

7. Tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.

(38)

yang sakit diberikan kursi roda dan bahkan dipandu sendiri oleh salah seorang dari petugas perusahaan angkutan udara.

Kewajiban penumpang sesuai Pasal 126 UU Penerbangan adalah membayar tarif angkutan udara. Tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan kargo. Tarif angkutan penumpang terdiri atas golongan tarif pelayanan kelas ekonomi dan non-ekonomi. Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi dihitung berdasarkan komponen: a. tarif jarak; b. pajak; c. iuran wajib asuransi; dan d. biaya tambahan (surcharge).

Kewajiban perusahaan pengangkut udara sesuai Pasal 15 UU Penerbangan adalah perusahaan pengangkut diwajibkan memiliki sertifikat atas pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang digunakan sesuai dengan rancang bangun. Sertifikat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan kesesuaian terhadap standar kelaikudaraan rancang bangun (initial airworthiness) dan telah memenuhi uji tipe.

Termasuk setiap pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang dirancang dan diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia harus mendapat sertifikat validasi tipe. Sertifikasi validasi tipe dilaksanakan berdasarkan perjanjian antar negara di bidang kelaikudaraan dan diberikan kepada perusahaan pengangkut setelah lulus pemeriksaan dan pengujian.

(39)

bagi para penumpang pesawat angkutan udara dari kemungkinan-kemungkinan kecelakaan pesawat angkutan udara.

Kewajiban memenuhi kelaikudaraan dipertegas di dalam Pasal 34 UU Penerbangan yang menegaskan bagi setiap pesawat udara yang dioperasikan wajib memenuhi standar kelaikudaraan. Pesawat udara yang telah memenuhi standar kelaikudaraan diberi sertifikat kelaikudaraan dapat berupa a). sertifikat kelaikudaraan standar; dan b). sertifikat kelaikudaraan khusus. Sertifikat ini diberikan kepada perusahaan pengangkut setelah lulus pemeriksaan dan pengujian kelaikudaraan.

Kewajiban perusahaan pengangkut udara juga terdapat di dalam Pasal 46 jo Pasal 47 UU Penerbangan. Kewajiban tersebut menegaskan kepada perusahaan pengangkut udara wajib melaksanakan perawatan pesawat udara yang digunakan. Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara berkelanjutan.

Sesuai Pasal 47 UU Penerbangan, perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya dapat dilakukan oleh:

1. Perusahaan angkutan udara yang telah memiliki sertifikat operator pesawat udara;

2. Badan hukum organisasi perawatan pesawat udara yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara (approved maintenance organization); atau

3. Personel ahli perawatan pesawat udara yang telah memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara (aircraft maintenance engineer license).

(40)

melakukan perawatan terhadap pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya dalam rangka memberikan perlindungan kepada para penumpang.

Perusahaan angkutan udara diwajibkan menerbangkan atau mendarat hanya di bandar udara yang sudah ditetapkan untuk itu. Kewajiban ini terdapat di dalam Pasal 52 UU Penerbangan, tetapi ketentuan kewajiban ini tidak berlaku untuk pendaratan darurat. Setiap orang dan atau perusahaan angkutan udara yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.

Apabila pesawat udara yang melanggar bandar udara negara Indonesia berasal dari negara asing, maka dikenakan sanksi berupa denda administratif. Ketentuan kewajiban mengenai denda bagi perusahaan angkutan udara asing ditegaskan di dalam Pasal 94 jo Pasal 95 UU Penerbangan. Besaran denda administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak.31

31

Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Perhubungan.

(41)

Perusahaan pengangkut juga diwajibkan mendaftarkan pesawat udara yang dioperasikannya pada perusahaan asuransi. Hal ini diatur di dalam Pasal 62 UU Penerbangan yang mewajibkan bagi perusahaan angkutan udara mengasuransikan:

1. Pesawat udara yang dioperasikan;

2. Personel pesawat udara yang dioperasikan; 3. Tanggung jawab kerugian pihak kedua; 4. Tanggung jawab kerugian pihak ketiga; dan

5. Kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara.

Setiap orang atau perusahaan angkutan udara yang melanggar ketentuan Pasal 62 UU Penerbangan ini akan dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat. Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib asuransi dalam pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.

Pasal 140 UU Penerbangan mengatur tentang tanggung jawab pengangkut. Tanggung jawab berlaku bagi perusahaan pengangkut udara dapat dibuktikan dengan adanya tiket penumpang atau dokumen muatan. Menurut Pasal 141 UU Penerbangan, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.

(42)

kerugian yang dialami oleh penumpang, sementara di sisi lain terdapat hak bagi para penumpang untuk memperoleh ganti kerugian, termasuk hak bagi ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Pasal 142 UU Penerbangan, pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara. Ketentuan ini merupakan hak bagi perusahaan pengangkut untuk menolak calon penumpang yang sakit kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara. Oleh sebab itu penumpang yang sakit wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung atau setidak-tidaknya ada surat dokter yang menyatakan penumpang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.

Pemenuhan standar kelaikudaraan adalah kewajiban bagi perusahaan angkutan udara. Apabila kewajiban dalam memenuhi standar kelaikudaraan telah terpenuhi maka perusahaan penerbangan berhak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

(43)

pembayaran dari penjualan tiket sesuai dengan kesepakatan harga tiket yang berlaku, berhak memperoleh perlindungan hukum dari tindakan penumpang angkutan udara yang beritikad tidak baik seperti bahaya-bahaya terorisme dan lain-lain.

Perusahaan angkutan udara juga berhak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa dengan para penumpang. Perusahaan angkutan udara berhak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian penumpang tidak diakibatkan dari pelayanan maskapi penerbangan, tetapi disebabkan oleh faktor lain selain daripada kesalahan perusahaan angkutan udara.

Memenuhi kewajibannya berarti perusahaan angkutan udara tersebut melaksanakan itikad baik dalam memenuhi standar kelayakan armada. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya di bidang penerbangan dapat diaktualisasikan oleh pihak perusahaan dengan cara memberikan perawatan terhadap pesawat dengan baik, dan memberikan pelayanan kepada para penumpang tanpa membuat spekulasi-spekulasi dalam memperoleh hak-hak penumpang.

Itikad baik menurut Munir Fuady membutuhkan kepercayaan (fiduciary), menghendaki kepedulian (care), loyalitas (loyality), kejujuran (honesty), keterampilan (skill) dalam derajat atau standar yang tinggi.32

32

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 33-34.

(44)

Itikad baik menjadi kewajiban bagi perusahaan angkutan udara dalam setiap jasa pelayanan yang diberikan kepada para penumpang harus benar-benar jujur dan tidak spekulatif demi keuntungan semata. Perusahaan pengangkutan udara wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan kepada para penumpang tentang hak-haknya.

Memperlakukan atau melayani penumpang secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Memberi kesempatan yang sama kepada para penumpang dalam memperoleh hak-haknya. Menjamin mutu pelayanan berdasarkan ketentuan standar mutu pelayanan yang berlaku. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan jasa pelayanan angkutan udara kepada para penumpang.

Perlindungan penumpang angkutan udara pada dasarnya membicarakan soal kepentingan hukum. Bagaimana hak-hak dan kewajiban penumpang angkutan udara maupun pihak perusahaan angkutan udara diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana pula penegakannya dalam praktik. Hukum perlindungan konsumen harus dimaknai sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban penumpang angkutan udara dan perusahaan angkutan udara yang timbul dalam usahanya dalam memenuhi kebutuhan masing-masing subjek hukum.33

33

(45)

C. Prinsip-Prinsip Perlindungan Terhadap Penumpang Angkutan Udara

Secara umum prinsip-prinsip di dalam perlindungan konsumen antara lain: berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum, sedangkan di dalam Pasal 2 UU Penerbangan menentukan beberapa asas-asas atau prinsip-prinsip penting di dalam penyelenggaraan penerbangan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

1. Manfaat;

2. Usaha bersama dan kekeluargaan; 3. Adil dan merata;

4. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; 5. Kepentingan umum;

6. Keterpaduan; 7. Tegaknya hukum; 8. Kemandirian;

9. Keterbukaan dan anti monopoli; 10.Berwawasan lingkungan hidup; 11.Kedaulatan negara;

12.Kebangsaan; dan 13.Kenusantaraan.

Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasarkan adanya sesuatu norma hukum.34 Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir.35 Prinsip hukum menurut Sudikno Mertokusumo bukanlah sebagai aturan hukum kongkrit melainkan merupakan pikiran dasar umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari perumusan aturan hukum kongkrit.36

1. Prinsip manfaat

Prinsip manfaat dalam penyelenggaraan penerbangan adalah prinsip yang mengharuskan penyelenggaraan penerbangan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan

34

M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 57.

35

Ibid., hal. 514.

36

(46)

pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara.37

Apabila dilihat dari sejarahnya, prinsip manfaat lahir dari teori utilitarian, John Rawls menitikberatkan pada kemanfaatan, yang jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya. Karena itu, bermanfaat atau tidak sebagai kriteria bagi manusia dalam mematuhi hukum.

Asas manfaat mengharuskan segala upaya dalam penyelenggaraan penerbangan harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan keselamatan para penumpang angkutan udara secara keseluruhan.

38

Prinsip manfaat yang paling terkenal dikemukakan oleh Jeremy Bentham dalam karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”.

39

Prinsip manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.40

Kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka hal itu tidak pantas disebut baik.41

37

Penjelasan Pasal 2 huruf a UU Penerbangan.

38

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 95.

39

Ian Saphiro, Asas Moral Dalam Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakart dan Fredom Institusi, 2006), hal. 13.

40

Ibid., hal. 14.

41

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67.

(47)

perbuatan itu dinilai khalayak semakin etis. Tolok ukur asas manfaat berorientasi pada hasil perbuatan.42

Mengapa perlu dilakukan perlindungan terhadap hak-hak para penumpang angkutan udara? Jika dijawab melalui prinsip manfaat, karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi keselamatan umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya pengguna jasa penerbangan. Jawaban ini dapat diterima untuk menciptakan suatu konsep yang disebut sebagai upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).43 Keadilan yang diinginkan adalah menekankan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.44

Wujud prinsip manfaat ini seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.45

2. Usaha bersama dan kekeluargaan

Kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan, selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil.

Prinsip usaha bersama dan kekeluargaan adalah penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.46

42

Erni R. Ernawan, Business Ethics: Etika Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), hal. 93.

43

K. Bertens, Op. cit, hal. 66.

44

John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24.

45

K. Bertens, Op. cit, hal. 66-67.

46

Penjelasan Pasal 2 huruf b UU Penerbangan.

(48)

umum yaitu prinsip penyelenggaraan penerbangan yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas.47

3. Prinsip adil dan merata

Sehingga dengan prinsip ini penyelenggaraan penerbangan akan lebih mengutamakan keselamatan para penumpang daripada mengejar kepentingan bisnis pribadi. Jika perusahaan angkutan udara menggunakan prinsip ekonomi yaitu dengan modal sekecil-kecilnya dan untung sebesar-besarnya, maka yang menjadi proritas utama maskapi adalah mengejar untung, sehingga keselamatan jiwa para penumpang akan terancam.

Tetapi alangkah baiknya jika prinsip ekonomi dilaksanakan sekaligus upaya-upaya renovasi pesawat udara, perawatan mesin pesawat, dan perbaikan terhadap kondisi pesawat angkutan udara juga menjadi prioritas utama, sehingga antara mengejar untung dan mengutamakan keselamatan jiwa para penumpang seimbang.

Prinsip adil dan merata dalam penyelenggaraan penerbangan adalah prinsip yang mengharuskan penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta tingkat ekonomi.48

Prinsip keadilan dalam hukum perlindungan konsumen dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha atau produsen untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Prinsip keadilan ini

47

Penjelasan Pasal 2 huruf e UU Penerbangan.

48

(49)

menghendaki pengetuaran dan penegakan hukum perlindungan konsumen, diharapkan perlakuan yang adil di antara konsumen dan produsen secara seimbang.49

Menurut Aristoteles terbagi 3 (tiga) yakni keadilan komutatif, keadilan distributif, dan keadilan hukum (legal justice). Keadilan komutatif adalah suatu kebijakan untuk memberikan kepada setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each one his due). Mengusahakan keadilan komutatif ini adalah pekerjaanya para Hakim. Misalnya menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya, sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain.50

Sedangkan untuk keadilan distributif adalah sebagai suatu tindakan memberikan hak kepada setiap orang secara merata tentang apa yang patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik (merits) dan kecurangan/ketercelaan (demerits), yang merupakan pekerjaan yang lebih banyak dilakukan oleh badan legislatif. Misalnya, hak-hak politik masyarakat atau kedudukan di dalam parlemen, dapat didistribusikan kepada yang berhak sesuai dengan keadilan distributif itu.51

Walaupun prinsip adil dan merata tidak bisa diwujudkan secara sempurna, namun prinsip adil dan merata dapat diwujudkan berdasarkan keadilan hukum. Bila penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap para penumpang angkutan udara, dikaitkan dengan keadilan menurut Aristoteles di atas, maka tidak perlu heran mengapa terdapat penjualan tiket yang berbeda-beda kelasnya antara kelas bisnis,

49

Janus Sidabalok, Op. cit., hal. 32.

50

Munir Fuady, Op. cit, hal. 111.

51

(50)

kelas ekonomi, dan lain-lain. Keadilan distributif ini akan disebut dengan prinsip keadilan yang merata dan keadilan komutatif disebut dengan prinsip keadilan yang sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

Keadilan hukum (legal justice) adalah keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, di mana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditegakkan melalui poses hukum, umumnya di pengadilan.52

4. Prinsip keseimbangan, keserasian, dan keselarasan

Dengan asas keadilan hukum diharapkan perlakuan yang adil kepada para penumpang angkutan udara secara seimbang sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang.

Prinsip keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam penyelenggaraan penerbangan adalah prinsip yang mengharuskan penyelenggaraan penerbangan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional.53

Kesimbangan berasal kata dasar ”seimbang” (evenwicht) menunjukkan pada suatu pengertian keadaan pembagian beban pada kedua sisi berada dalam keadaan Prinsip keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam hukum penerbangan berupaya mengakomodasi antara kepentingan pengguna (penumpang) dan penyedia jasa angkutan udara, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional.

52

Ibid, hal. 112.

53

Gambar

Gambar 3 Logo Burung Modern (1985-2009)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penyelenggaraan penerbangan apabila ada sengketa perlindungan konsumen yang terjadi antara penyedia jasa dengan konsumen pengguna jasa yang mana pihak

berjudul : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Angkutan Udara Atas Pemindahan Jadwal Dalam Hal Force Majeure (Studi Kasus Pada PT..

Keterlambatan penerbangan yang menimbulkan kerugian bagi penumpang pengguna moda transportasi udara termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum karena selain