• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Komunikasi Antara Mertua Dan Menantu (Studi Etnografi Terhadap Hambatan Komunikasi Antara Mertua Dan Menantu Yang Masih Melaksanakan Rebu Pada Suku Karo Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hambatan Komunikasi Antara Mertua Dan Menantu (Studi Etnografi Terhadap Hambatan Komunikasi Antara Mertua Dan Menantu Yang Masih Melaksanakan Rebu Pada Suku Karo Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARA MERTUA DAN MENANTU

(STUDI ETNOGRAFI TERHADAP HAMBATAN KOMUNIKASI

ANTARA MERTUA DAN MENANTU YANG MASIH MELAKSANAKAN

REBU

PADA SUKU KARO DI DESA BATUKARANG KECAMATAN

PAYUNG KABUPATEN KARO)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

APRINI ODOR SITUMORANG

100922013

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberkati

penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Atas berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Hambatan Komunikasi Antara Mertua dan Menantu Pada Suku Karo di

Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo”. Penulisan skripsi dilakukan untuk

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus saya menyampaikan rasa terima kasih yang terdalam kepada Ayahanda

B.Situmorang, Ibunda R.Simbolon serta Kakak Sondang Erwina Situmorang, Riana Erwita

Situmorang/Hormat Siahaan, dan juga Samuel Situmorang atas doa, dukungan materi dan moril

yang diberikan untuk memotivasi saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang telah banyak

membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara serta seluruh jajarannya.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Program Studi Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Program Studi Imu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu DR. Nurbani, M.Si, selaku dosen pembimbing, terima kasih atas saran, kritik, bimbingan,

wawasan, pengetahuan, waktu, tenaga, dan pikiran yang telah diberikan dengan sabar untuk

mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing mulai dari semester

awal hingga saya menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh karyawan Tata Usaha Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dalam membantu

(3)

7. Buat teman-teman Ekstensi Komunikasi 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang

telah banyak membantu memberi semangat dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Para informan yang telah bersedia memberikan informasi yang diperlukan serta seluruh

pegawai kantor Kecamatan Payung dan juga seluruh masyarakat Desa Batukarang.

Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala

kerendahan hati saya berharap pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang sifatnya

membangun untuk perbaikan skripsi ini serta memperdalam pengetahuan dan pengalaman saya.

Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Medan, Maret 2013

(4)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Hambatan Komunikasi Antara Mertua dan Menantu (Studi Etnografi Terhadap Komunikasi Antara Mertua dan Menantu yang masih melaksanakan rebu Pada Suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan komunikasi verbal dan nonverbal dan alasan mertua dan menantu masih melaksanakan rebu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi yaitu pembuatan dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan dimana dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan seorang etnografer juga menganalisis. Penelitian ini melibatkan sembilan orang informan yang merupakan mertua dan menantu yang melaksanakan rebu di desa Batukarang yang diperoleh dengan cara Purposive Sampling dan Snowball Sampling dimana memilih subjek yang memiliki pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang diteliti kemudian dari informan kunci diminta petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya. Hasil penelitian menemukan bahwa rebu pada suku Karo di desa Batukarang dilakukan antara mertua laki-laki dan menantu perempuan atau mertua perempuan dan menantu laki-laki. Hal itu masih masih dilakukan demi menjaga kelestarian adat istiadat dan hambatan komunikasi yang terjadi dapat diatasi melalui perantara orang ketiga apabila rebu itu dilanggar maka tidak ada sanksi bagi yang melanggar.

Kata Kunci:

(5)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Model Teoritis 37

3.1 Kerangka Analisis 43

(6)

DAFTAR REFERENSI

LAMPIRAN -Hasil wawancara -Biodata Peneliti

(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

LEMBAR PENGESAHAN……….. ii

KATA PENGANTAR………... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... v

ABSTRAK………. vi

DAFTAR ISI……….. vii

DAFTAR GAMBAR………. viii

DAFTAR LAMPIRAN……….. ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah……… 1

1.2 Fokus Masalah……… 6

1.3 Tujuan Penelitian………... 7

1.4 Manfaat Penelitian………. 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian……… 8

2.2 Kajian Pustaka……… 9

2.3 Model Teoritis………. 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian………. 45

3.2 Objek Penelitian……… 47

3.3 Subjek Penelitian……… 49

3.4 Kerangka Analisis……… 50

3.5 Teknik Pengumpulan Data (termasuk waktu penelitian)….. 51

3.6 Teknik Analisa Data……… 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil……….. 56

4.2 Pembahasan………. 73

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan……….. 79

(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Hambatan Komunikasi Antara Mertua dan Menantu (Studi Etnografi Terhadap Komunikasi Antara Mertua dan Menantu yang masih melaksanakan rebu Pada Suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan komunikasi verbal dan nonverbal dan alasan mertua dan menantu masih melaksanakan rebu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi yaitu pembuatan dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan dimana dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan seorang etnografer juga menganalisis. Penelitian ini melibatkan sembilan orang informan yang merupakan mertua dan menantu yang melaksanakan rebu di desa Batukarang yang diperoleh dengan cara Purposive Sampling dan Snowball Sampling dimana memilih subjek yang memiliki pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang diteliti kemudian dari informan kunci diminta petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya. Hasil penelitian menemukan bahwa rebu pada suku Karo di desa Batukarang dilakukan antara mertua laki-laki dan menantu perempuan atau mertua perempuan dan menantu laki-laki. Hal itu masih masih dilakukan demi menjaga kelestarian adat istiadat dan hambatan komunikasi yang terjadi dapat diatasi melalui perantara orang ketiga apabila rebu itu dilanggar maka tidak ada sanksi bagi yang melanggar.

Kata Kunci:

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa budaya Indonesia yang terkikis oleh

budaya barat sehingga generasi muda hampir melupakan budaya bangsa sendiri. Banyak generasi

muda yang malu melaksanakan budaya itu sendiri dikarenakan tidak up to date atau ketinggalan

zaman. Misalnya, para generasi muda enggan untuk belajar alat musik tradisional seperti

angklung, gamelan dan lain-lain karena mereka lebih cenderung menyukai belajar alat musik

modern seperti gitar, piano, bass, drum sehingga mereka dapat memainkan segala jenis aliran

musik modern yang mereka sukai dengan alat musik modern tersebut.

Salah satu budaya Indonesia yang lama kelamaan sudah jarang diterapkan lagi khususnya

di daerah perkotaan seperti kota Medan adalah Rebu. Seperti yang pernah diungkapkan oleh

bapak Antoni Bangun selaku ketua adat desa Batukarang, dahulu kala rebu masih dijalankan

oleh masyarakat Karo baik di kota maupun di desa tetapi sejalan dengan cepatnya perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan-perubahan terjadi meliputi perubahan tata kelakuan

atau tingkah laku atau tata krama yang telah terpola dengan perilaku “hubungan sungkan” (rebu)

. Masyarakat Karo yang telah lama tinggal di kota sebagian besar sudah tidak menjalankannya

karena mereka menganggap rebu menjadikan hubungan antara mertua dan menantu pada suku

Karo menjadi kaku untuk berkomunikasi satu sama lain dan lama-kelamaan mereka telah

menganggap bahwa antara mertua dan menantu mempunyai hubungan layaknya orang tua

dengan anak sehingga satu sama lain dapat berkomunikasi secara langsung seperti mereka

berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya.

Rebu dianggap sulit untuk diterapkan dikarenakan antara mertua laki-laki dan menantu

perempuan begitupun sebaliknya memiliki jarak pemisah dalam melakukan komunikasi serta

untuk melakukan kegiatan sehari-hari di dalam rumah juga tidak semudah layaknya mertua dan

menantu pada umumnya. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari mereka harus menjaga tingkah

laku/perilaku serta tutur kata seperti tidak boleh berkomunikasi secara langsung karena harus

melalui perantara/orang ketiga dan apabila secara tidak sengaja saling berpapasan maka sebisa

mungkin untuk saling menghindar agar tidak saling bertatap muka dan kalau sudah terlanjur

(11)

penyesalan karena tidak sengaja melakukannya. Walaupun rebu yang dianggap sulit untuk

dilakukan namun begitu masih ada yang masih melaksanakan hal tersebut seperti yang dilakukan

oleh masyarakat desa Batukarang karena mereka menganggap bahwa adat istiadat yang telah

diberikan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun maka harus tetap dijaga dan

dilakukan sebagaimana seharusnya. Pada saat berkomunikasi para pelaku rebu harus menjaga

jarak satu sama lain sehingga tidak memungkinkan untuk saling berdekatan misalnya tidak boleh

satu tempat duduk dan juga melalui orang ketiga/perantara. Hambatan komunikasi yang seperti

itulah memungkinkan pelaku rebu tidak dapat menerima pesan secara lengkap karena pada saat

penyampaian pesan, orang ketiga tidak sepenuhnya menyampaikan pesan sesuai dengan aslinya

karena bisa saja pihak ketiga tidak mengerti pesan yang disampaikan ataupun dia tidak dapat

mendengar dengan baik karena sesuatu hal ataupun tidak dapat mengingat pesan secara lengkap

seperti yang disampaikan, maka sebaiknya harus memilih pihak ketiga yang mengerti dan bisa

menyampaikan pesan dengan baik (dikutip dari skripsi Heksanta Bangun, Antropologi USU).

Komunikasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Hafied Cangara

(2006:4) mengungkapkan bahwa komunikasi merupakan salah satu aktivitas yang sangat

fundamental dalam kehidupan umat manusia. Melalui komunikasi pula seseorang dapat

menumbuhkan, mempelajari serta mengembangkan budaya itu sendiri.Setiap aktivitas manusia

tidak lepas dari komunikasi karena komunikasi tersebut berfungsi untuk menyampaikan

keinginan seseorang kepada seorang lainnya atau lebih. Proses Komunikasi adalah rangkaian

kejadian dengan melakukan hubungan, kontak, interaksi satu sama lain berupa penyampaian

pesan melalui penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti dan makna. Proses

komunikasi yang baik apabila hubungan interaksi penyampaian pesan/informasi yang dilakukan

tertuju kepada penerima pesan/informasi itu dan secara timbal balik disampaikan melalui

media/saluran yang cocok serta dapat dipahami oleh pihak yang terlibat dalam penyampaian dan

penerimaan pesan tersebut. Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukanlah hal yang

mudah, dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain. Jadi, melalui

komunikasi kita dapat bertukar informasi tentang budaya kita dengan orang lain dengan latar

belakang budaya yang berbeda ataupun sebaliknya dan dapat saling memahami tentang budaya

lain sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.

Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang

(12)

berhubungan erat dengan berbedanya peranan dan kedudukan masing-masing anggota kerabat

dan kelompok kekerabatannya. Selain itu dalam berinteraksi dengan para kerabat, dikenal

berbagai aturan dan nilai agar seorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai

tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan menjadi sebagai pola dalam berinteraksi.

Akibatnya ada interaksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan, dan tidak sungkan

atau bersikap akrab, bebas. Dengan kata lain dalam kekerabatan dalam hubungannya dengan

istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus dituruti. Seorang yang tidak

tahu istilah dan adat sopan santun kekerabatan dikategorikan sebagai “tidak beradat” atau dicap

tidak tahu sopan santun.

2013). Sebagai contoh keluarga yang tidak menjalankan adat rebu yaitu keluarga Selo Purba dan

Rosnani Ginting dari Kampung Lau Cimba. Pasangan ini menikah tahun 1986 dan memiliki dua

orang anak, sewaktu mereka tinggal bersama di rumah mertuanya mereka tidak menjalankan

rebu. Sebelumnya perbuatan keluarga ini yang tidak menjalankan rebu tidak begitu diperdulikan

oleh masyarakat tetapi karena diluar lingkungan rumah mereka juga sering berkomunikasi antara

mami dan kela sehingga masyarakat setempat tidak dapat menahan emosi sehingga masyarakat

melempari batu kerumahnya sampai akhirnya kepala kampung mengajak masyarakat untuk

bermusyawarah. Dan dari hasil musyawarah tersebut keluarga ini tidak jadi diusir karena mereka

termasuk keturunan dari merga pemuka kampung Lau Cimba yang merupakan keluarga kepala

kampung juga. (dikutip dari skripsi Heksanta Ginting, Departemen Antropologi, Universitas

Sumatera Utara).

Menurut Elly M.Setiadi (2006: 33-34), kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap

masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa

yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut

bukan diartikan secara spesifik, melainkan universal. Dimana sifat-sifat budaya itu akan

memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras,

lingkungan alam, atau pendidikan. Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain:

1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

(13)

Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang

diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

Secara garis besar, setiap masyarakat di negeri ini memiliki kekhasan tersendiri. Seperti

di beberapa tempat, ada tabu atau pantangan dalam suatu keluarga seorang anak yang lebih muda

menikah terlebih dahulu dari yang lebih tua. Tabu berasal dari kata taboo yang diambil dari

bahasa Tonga, salah satu bahasa dari rumpun Polinesia. Pada masyarakat Tonga kata taboo

merujuk pada tindakan yang dilarang atau yang harus dihindari. Bila tindakannya saja dilarang,

maka bahasa atau kata-kata yang merupakan simbol dari tindakan itu pun dilarang. Dengan

demikian dapat mendefinisikan “tabu sebagai kata-kata yang tidak boleh digunakan, setidaknya

tidak dipakai di tengah masyarakat beradab”.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia diakses pada tanggal 20 Maret 2012).

Tabu yang mungkin sebagai sebuah bentuk sikap untuk menghormati yang lebih tua meski

dibungkus dengan alasan bahwa akan membuat yang lebih tua kesulitan mendapat jodoh ketika

didahului yang lebih muda. Demikian juga dengan masyarakat Karo, terdapat pantangan yang

menjadi sebuah aturan meski tidak tertulis, hanya disampaikan secara lisan saja. Salah satu yang

unik dalam kajian komunikasi antarbudaya ini adalah ketika seorang mertua laki-laki dan

menantu perempuan ataupun mertua perempuan dan menantu laki-laki pada etnis ini masih tabu

saling berbicara satu sama lain.

Adat istiadat yang tabu dalam berbicara antara mertua laki-laki dan menantu perempuan

dan juga sebaliknya inilah yang dinamakan rebu. Istilah rebu berarti “pantang’, ‘dilarang’, ‘tidak

dapat’, tidak diiijinkan melakukan sesuatu hal atau perbuatan’. Manifestasi rebu (dilarang) ini

dalam adat istiadat Karo, adalah dilarang berbicara, dilarang duduk sebangku/setikar, misalnya

antara mertua laki-laki dengan menantu perempuan dan juga mertua perempuan dengan menantu

laki-laki. Rebu ini sebagai tanda adanya batas kemerdekaan diri karena melalui perilaku seperti

ini dapat mengingatkan dan sadar akan prinsip sosial dalam cara hidup berkerabat, maka melalui

rebu, setiap pelaku rebu akan mampu mengkontrol perbuatan dirinya sendiri. rebu

menimbulkan rasa enggan, dari enggan menimbulkan rasa hormat dan juga hormat

menimbulkan sopan santun. Adat sopan santun pada dasarnya adalah segala tingkah laku,

perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucapan dan cakap yang sesuai dengan kaidah atau norma

tertentu. Sifatnya yang normatif menyebabkan rebu menjadi pola kelakuan sosial warga

(14)

keyakinan yang secara keseluruhan pedoman bertindak dan bertingkah laku bagi setiap warga

masyarakatnya, sehingga individu-individu anggota masyarakat yang melanggar atau tidak

menjalankan rebu sebagaimana mestinya dapat dipandang telah melanggar norma.

Konsep yang timbul dari asumsi mengenai rebu adalah konsep sopan-santun,

kepercayaan (religius), mite dan fungsi. Norma sopan santun adalah peraturan hidup yang timbul

dari hasil pergaulan sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan

pergaulan sehari-hari masyarakat itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang

dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.

Norma kesopanan sangat penting diterapkan, terutama dalam bermasyarakat karena norma ini

sangat erat kaitannya terhadap masyarakat, sekali saja kita melanggar terhadap norma kesopanan

pasti akan mendapat sanksi dari masyarakat misalnya “cemoohan” atau yang lainnya. Norma

adalah suatu aturan yang mengatur sikap, perilaku dan tindakan seseorang di dalam kehidupan

masyarakat, sehingga hubungan antara mereka dapat terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan

oleh anggota masyarakat, pada etnis karo rebu merupakam hal yang tabu bila aturan tersebut

dilanggar pada masa lalu.

Seorang mertua laki-laki dan menantu perempuan ataupun mertua perempuan dan

menantu laki-laki dalam suku Karo yang ingin berkomunikasi satu sama lain harus melalui

perantara. Dan hal inilah yang menjadi suatu hambatan komunikasi dimana seorang mertua

laki-laki yang ingin menyampaikan suatu pesan kepada menantu perempuan begitupun sebaliknya

harus melalui perantara misalnya menantu perempuan ingin pergi kerja dan ingin berpamitan

kepada mertua laki-laki tetapi karena adat yang mengharuskan mereka untuk tidak saling

berbicara maka menantu tersebut menyampaikan kepada mertua perempuan untuk diberitahukan

kembali kepada mertua laki-laki. Misalnya saja, di suatu rumah kebetulan hanya ada seorang

menantu wanita dengan ayah mertuanya. Sang Ayah mertua jatuh sakit dan benar-benar butuh

pertolongan cepat, dalam kondisi seperti ini sang menantu wanita tetap tidak boleh

berkomunikasi atau menyentuh sang ayah mertua. Tidak menutup kemungkinan kalau sang ayah

mertua tiba-tiba meninggal pada saat itu. Dan pada kondisi seperti ini adat rebu tersebut terkesan

seperti sebuah kesalahan. Seperti halnya ada seorang ibu mertua (mami) hanyut di sebuah sungai

dikarenakan yang melihat kejadian tersebut si menantu pria (Kela). Dikarenakan “Rebu/Tabu”

(15)

(Topik cerita ini pernah diangkat dalam “Sarasehan Budaya Karo” di gedung Alpha Omega

Medan, pada tahun 1989)

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hambatan

Komunikasi Antara Mertua dan Menantu Pada Suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan

Payung Kabupaten Karo.

1.2. Fokus Masalah

Fokus masalah dalam penelitian ini adalah, untuk mengetahui hambatan komunikasi

antara mertua dan menantu pada suku Karo di desa Batukarang kecamatan Payung kabupaten

Karo, karena di daerah ini masyarakat Karo itu sendiri masih memegang teguh adat-istiadat

termasuk masih menjalankan Rebu yang dilakukan antara mami (mertua perempuan) dengan kela

(menantu laki-laki) dan juga antara bengkila (mertua laki-laki) dengan permain (menantu

perempuan).

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui komunikasi Verbal antara mertua dan menantu pada suku Karo.

2. Untuk mengetahui komunikasi Nonverbal antara mertua dan menantu pada suku Karo.

3. Untuk mengetahui alasan mertua dan menantu masih melaksanakan “Rebu”.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan sumber

bacaan di lingkungan FISIP USU Medan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bagi generasi muda Karo mempelajari serta

melestarikan kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan.

3. Secara teoritis, penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Ilmu

(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran.

Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh peneliti melalui model tertentu. Model tersebut

biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana

sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian yang berfungsi

(perilaku di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu) (Moleong, 2005:49).

Perspektif atau paradigma yang peneliti gunakan adalah kualitatif dimana pendekatan

sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan

(empiris). Sementara itu penelitian kualitatif tidak menggunakan statistik, data hasil penelitian

diperoleh secara langsung, misalnya observasi partisipan, wawancara mendalam, dan studi

dokumen sehingga peneliti mendapat jawaban apa adanya dari responden.(Iskandar:35-37).

Peneliti menggunakan pendekatan interpretif dimana berangkat dari upaya untuk mencari

penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan

pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretif diadopsi dari orientasi praktis. Secara

umum pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara

detail langsung mengobservasi. (Newman, 1997: 68). Selain itu interpretif juga melihat fakta

sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam

memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang

melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretatif. Fakta-fakta tidaklah imparsial,

objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang bergantung

pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial

mengandung ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang

banyak dan dapat dinterpretasikan dengan berbagai cara.

(http://ernams.wordpress.com/2008/01/07/pendekatan-interpretif/ diakses pada tanggal 5 Juli

(17)

2.2 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan acuan atau landasan berpikir peneliti dengan basis pada bahan

pustaka yang membahas tentang teori atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan

penelitian yang akan dijalankan (Prajarto, 2010:49). Pencarian dan penelusuran kepustakaan atau

literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian sangat diperlukan. Penelitian tidak

dilakukan di ruang kosong dan tidak pula dapat dikerjakan dengan baik, tanpa basis teoritis yang

jelas. Penelitian kekinian sesungguhnya menelusuri atau meneruskan peta jalan yang telah

dirintis oleh peneliti terdahulu. (Danim Sudarwan, 2001:105 dalam Iskandar, 2009:100).

Dengan adanya kajian teori, maka peneliti akan mempunyai landasan untuk menentukan

tujuan dan arah penelitian. Adapun teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah:

2.2.1 Komunikasi

Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin

communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Arti communis disini adalah

sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara

orang-orang yang terlibat terdapat keasamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan.

Secara trminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang

kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang,

dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi

itu adalah manusia. Karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia

atau dalam bahasa asing humancommunication, yang sering kali pula disebut komunikasi sosial

atau social communication. Komunikasi manusia sebagai singkatan dari komunikasi

antarmanusia dinamakan komunikasi sosial atau komunikasi kemasyarakatan karena hanya pada

manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya komunikasi (Effendy, 2004: 3-4). Selain itu,

Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima

pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai

pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. (De vito, 1997:23).

Selanjutnya, Liliweri (2004:5) berpendapat esensi komunikasi terletak pada proses, yakni

suatu aktivitas yang “melayani’ hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang

dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari

(18)

manusia pada kemarin, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Komunikasi manusia itu

melayani segala sesuatu, akibatnya orang bilang komunikasi itu sangat mendasar dalam

kehidupan manusia, komunikasi merupakan proses yang universal. Komunikasi merupakan pusat

dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang trampil dari manusia (communication involves

both attitudes and skills). Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak

berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta

emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain.

Menurut (Rudy, 2005:1), komunikasi adalah proses penyampaian informasi-informasi,

pesan-pesan, gagasan-gagasan atau pengertian-pengertian, dengan menggunakan

lambang-lambang yang mengandung arti atau makna, baik secara verbal maupun non verbal dari

seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lainnya dengan

tujuan untuk mencapai saling pengertian dan/atau kesepakatan bersama.. Sedangkan (Morissan,

2009:11), mengemukakan komunikasi merupakan bentuk interaksi. Komunikasi adalah

kendaraan atau alat yang digunakan untuk bertingkah laku dan untuk memahami serta memberi

makna terhadap segala sesuatu di sekitar kita. Interaksi akan mengarah pada makna yang

dipahami bersama dan sekaligus memperkuat makna bersama itu. Interaksi juga membangun

berbagai konvensi yang merupakan standar makna dan tindakan, seperti peraturan, peran

orang-orang tertentu, serta norma-norma yang memungkinkan terjadinya interaksi lebih jauh. Teori

interaksi dirancang untuk menjelaskan proses sosial dan menunjukkan bagaimana tingkah laku

orang dipengaruhi oleh aturan atau norma-norma kelompok.

Robert E. Park mengungkapkan dalam Liliweri (2004:179), komunikasi menjadi sangat

penting dalam membentuk sebuah kebersamaan masyarakat, komunikasi mencipatakan, atau

membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti, bahwa sebuah konsensus dan pengertian

bersama diantara individu-individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan,

tidak saja unit-unit sosial tetapi juga unit-unit kultural, dalam masyarakat. Karena

kebudayaan-dalam hal ini adat istiadat-menjadi harapan atau menjadi harapan atau menjadi faktor perekat

bersama. Bagaimanapun juga kehidupan bersama suatu kelompok dalam masyarakat menjadi

ada dan terus ada karena memiliki sejarah dan tradisi yang panjang yang diturunkan dari saru

(19)

2.2.1.1 Karakteristik Komunikasi

Adapun karakteristik dari komunikasi itu sendiri adalah (Fajar, 2009:33-34):

1. Komunikasi suatu proses

Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian

tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan serta berkaitan satu sama lainnya

dalam kurun waktu tertentu. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau unsur.

Faktor atau unsur yang dimaksud antara lain dapat mencakup pelaku atau peserta, pesan

(meliputi bentuk, isi, dan cara penyajiannya), saluran atau alat yang dipergunakan untuk

menyampaikan pesan, waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi.

2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan

Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai

dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya. Pengertian sadar disini menunjukkan

bahwa kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang sepenuhnya berada dalam kondisi

mental psikologis yang terkendalikan bukan dalam keadaan mimpi. Disengaja

maksudnya bahwa komunikasi yang dilakukan memang sesuai dengan kemauan dari

pelakunya sementara tujuan menunjuk pada hasil atau akibat yang ingin dicapai.

3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat.

Kegiatan komunikasi akan berlangsung dengan baik apabila pihak-pihak yang

berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai

perhatian yang sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan.

4. Komunikasi bersifat simbolis

Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan

lambang-lambang, misalnya: bahasa.

5. Komunikasi bersifat transaksional

Komunikasi pada dasarnya menuntut dua tindakan: memberi dan menerima. Dua

tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh

masing-masing pelaku yang terlibat dalam komunikasi.

6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu

Komunikasi menembus faktor waktu dan ruang maksudnya bahwa para peserta atau

(20)

sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi komunikasi seperti telepon, faksimili,

teleks, dan lain-lain, kedua faktor tersebut (waktu dan ruang) bukan lagi menjadi

persoalan dan hambatan dalam berkomunikasi.

2.2.1.2 Saluran Komunikasi

Setelah dikemas, pesan dapat disampaikan melalui saluran (channel) atau media.

Pengirim dapat memilih media lisan (oral), tertulis (written), atau elektronik (elektronic).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian

informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain, dan akan berhasil bila terjadi saling

pengertian diantara kedua belah pihak yang berkomunikasi baik secara individu ataupun

kelompok secara verbal maupun nonverbal (Fajar, 2009:34)

2.2.2 Komunikasi Antarbudaya

Menurut (Devito, 1997:479), komunikasi antarbudaya mengacu pada komunikasi antara

orang-orang dari kultur yang berbeda-beda antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai,

atau cara berperilaku kultural yang berbeda. Sedangkan William B. Hart II, 1996 dalam Liliweri

(2004:8) mengungkapkan komunikasi antarbudaya yang paling sederhana adalah komunikasi

antapribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan

Definisi komunikasi antarbudaya menurut para ahli dalam (Liliweri, 2004:10-11) yaitu sebagai berikut:

a. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. (Samovar dan Porter, 1976:25)

b. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. (Samovar dan Porter, 1976:4)

c. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhinya perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991:5).

(21)

yang dipertukarkan. (Lustig dan Koester Intercultural Communication Competence, 1993).

e. Interculutral communication yang disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.

f. Guo – Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negoisasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan :

1. Dengan negoisasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegoisasikan atau diperjuangkan; 2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang

terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;

3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;

4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasikannya dengan pelbagai cara.

Sehubungan dengan itu, menurut Mulyana (2005:20), komunikasi antarbudaya terjadi

bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera

dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana suatu pesa disandi

dalam suatu budaya dan haus disandi balik dalam budaya lain. Seperti telah kita lihat, budaya

mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh

perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya,

perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda

pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. Namun, melalui studi dan pemahaman

atas komunikasi antarbudaya, kita dapat mengurangi atau hampir menghilangkan

kesulitan-kesulitan ini.

Jadi, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku

komunikasi manusia. Oleh karena itu, di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang

dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi

oleh kebudayaan kita (Liliweri, 2004: 8-12).

2.2.2.1 Teori Negoisasi Muka

Ting-Toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka

jelas merupakan fitur yang penting dalam kehidupan, sebuah metafora bagi citra diri yang

(22)

ber-evolusi dalam hal interpretasi selama bertahun-tahun. Konsep ini bermula dari bangsa Cina yang

sebagaimana dikemukakan oleh Ho, memiliki dua konseptualisasi mengenai muka: lien dan

min-tzu, dua istiah yang mendeskripsikan identitas dan ego.

Menurut Ho, “muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri”.

Erving Goffman (1967) diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat

kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang

dalam percakapannya dengan orang lain. Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Ting-Toomey,

Yokochi, Masumoto, & Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang

positif dan/atau memproyeksikan nilai lain dalam interpersonal. Orang tidak “melihat” muka

orang lain; sebaliknya, muka merupakan metafora bagi batasan yang dimiliki orang dalam

hubungan dengan orang lain. Goffman (1967) mendeskripsikan muka sesuatu yang

dipertahankan, hilang, atau diperkuat. Pada penulisan naskahnya, Goffman tidak memperkirakan

bahwa istilah ini akan diaplikasikan pada hubungan dekat. Sebagai seorang sosiolog, ia percaya

bahwa muka dan semua yang berkaitan dengannya lebih dapat diaplikasikan pada kajian

mengenai kelompok sosial. Sejalan dengan waktu, kajian mengenai muka telah diaplikasikan

pada beberapa konteks, termasuk hubungan dekat dengan kelompok kecil.

Ting-Toomey menggabungkan beberapa pemikirn dari penelitian mengenai kesantunan

yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal

(Brown & Levinson, 1978). Ting-Toomey (1988, 1991, 2004) memperluas pemikiran Goffman

dan berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan

klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka “melibatkan

penampilan dari bagian depan yang beradab kepada individu lain”. (Ting-Toomey & Chung,

2005, hal.268). Ting-Toomey dan koleganya Beth Ann Cocroft (1994) dengan ringkas

mengidentifikasi muka sebagai “fenomena lintas budaya”, yang artinya adalah semua budaya

memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya.

Sehubungan dengan cerita pembuka, Ting-Toomey dan para teoritikus Negoisasi Muka

lainnya akan tertarik dalam mengetahui bahwa Profesor Yang berasal dari Cina dan Kevin

Johnston adalah seorang Amerika. Keberagaman budaya mereka memengaruhi cara yakin bahwa

walaupun muka adalah konsep yang universal, terdapat berbagai representasi muka dalam

berbagai budaya. Kebutuhan akan muka ada didalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak

(23)

diinterpretasikan dalam dua cara yang utama: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka.

Kepedulian akan muka (face concern) mungkin berkaitan baik dengan muka seseorang maupun

muka orang lain. Dengan kata lain, terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain.

Kepedulian akan muka menjawab pertanyaan, “apakah saya menginginkan perhatian tertuju pada

diri saya atau pada orang lain?” Kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi

keterlibatan-otonomi. Maksudnya, “apakah saya ingin diasosiasikan dengan orang lain

(keterlibatan) atau apakah saya ingin tidak diasosiasikan dengan mereka (otonomi)?”

2.2.2.2 Muka dan Teori Kesantunan

Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya, Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian

mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978)

menyatakan bahwa orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman

muka. Para peneliti melihat lebih dari selusin budaya yang berbeda di seluruh dunia dan

menemukan bahwa terdapat dua kebutuhan universal: kebutuhan muka posiif dan kebutuhan

muka negatif. Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh

orang-orang penting di dalam hidup kita; muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan

untuk memilki otonomi dan tidak dikekang. Karen Tracy dan Sheryl Baratz (1994) menyatakan

bahwa “kebutuhan muka” ini merupakan bagian dari suatu hubungan. Mereka mendukung klaim

sebagai berikut:

Pengakuan akan kebutuhan muka yang ada menjelaskan mengapa seorang

mahasiswa yang ingin meminjam catatan teman sekelasanya tidak akan meminta

mereka dengan langsung (“pinjam catatanmu, ya?), tetapi lebih sering mereka

akan meminta dalam sikap yang memberikan perhatian kepada keinginan muka

negatif seseorang (“apakah bisa saya meminjam catatanmu untuk satu jam saja?

Saya akan memfotokopinya dan segera mengembalikannya kepadamu.”)

Penelitian Brown dan Levinson mengilustrasikan sebuah dilema bagi individu-individu yang

berusaha untuk memenuhi kedua jenis kebutuhan muka di dalam sebuah percakapan. Misalnya,

dalam cerita pembukaan kita ditunjukkan bahwa Profesor Yang ingin agar Kevin bekerja untuk

mencapai potensi dirinya yang terbaik. Kebutuhan muka positifnya, dihadapkan dengan

tantangan untuk memberikan waktu lebih bagi Kevin, dan karenanya merugikan kebutuhan muka

(24)

2.2.2.3 Facework

Ketika positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung

mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey

(1994), mengikuti Brown dan Levinson, mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau “tindakan

yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya”. Stella

Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah “mengenai

strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, memepertahankan, atau

meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau “menyelamatkan’)

citra sosial orang lain. Dengan kata lain, facework berkaitan dengan bagaimana orang membuat

apa pun yang mereka lakukan konsisten dengan muka mereka. Ting-Toomey menyamakan

facework dengan “tarian komunikasi yang berjinjit” (communication dance that tiptoes) antara

rasa hormat bagi muka diri sendiri dan muka orang lain. Jaimzadi, komentar Profesor Yang

kepada Kevin mengenai kemampuannnya untuk menyelesaikan proyek dan presentasinya

menggambarkan bagaimana profesor secara berkesinambungan menyelamatkan mukanya sendiri

(tidak mengingkari batas waktu penyerahan tugasnya sendiri) dan juga muka Kevin

(memberinya pujian).

Te-Stop Lim dan John Bowers (1991) memperluas diskusi ini dengan mengidentifikasi

tiga jenis facework: kepekaan, solidaritas, dan pujian. Pertama, facework ketimbangrasaan (tact

facework) merujuk pada batas dimana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini

memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana yang ia inginkan

sekaligus meminimalkan hal-hal yang akan membatasi kebebasan ini. Jenis facework kedua,

facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menrima orang lain

sebagai anggota dari kelompok dalam (in-group).hub Solidaritas meningkatkan hubungan

diantara dua orang yang sedang berbicara. Maksudnya, perbedaan-perbedaan diminimalkan dan

kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalama-pengalaman yang dimiliki

bersama. Jenis facework yang terakhir adalah facework keperkenanan (approbation facework),

yang melibatkan meminimalkan penjelekan dan memaksimalkan pujian kepada orang lain.

Facework keperkenanan muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang

(25)

2.2.3 Hambatan Komunikasi

Komunikasi atau berkomunikasi itu kelihatannnya mudah, tetapi sebenarnya tidak lepas

dari berbagai kendala atau hambatan dalam pelaksanaannya. Dengan mengetahui atau menyadari

adanya (kemungkinan) hambatan atau faktor yang lazim bisa menjadi kendala dalam aktivitas

berkomunikasi ini, bisa kita harapkan bahwa kita bisa menanggulanginya atau menghindarinya.

Agar proses penyampaian pesan berlangsung dengan baik serta tercapainya tujuan komunikasi

yang kita lakukan (saling pengertian atau kesepakatan bersama (Rudy, 2005:22-23).

Disamping itu, Rakhmat (1978:164-165) menjelaskan hambatan tidak menyebabkan

komunikasi berhenti, tetapi ia menahan (menimbulkan kesulitan pada) aliran pesan itu. Beberapa

pesan “dibendung” dan tidak dapat melampaui hambatan itu. Walaupun kegagalan mekanistis

berarti adanya penghentian komunikasi, hambatan mekanistis mengemukakan adanya

“bendungan” pada saluran yang menahan arus pesan dan memodifikasikan karakter dan arti

pentingnya.

Sedangkan menurut Liliweri (2001:236-238) Beberapa hambatan yang perlu diantisipasi

antara lain hambatan intern,ekstern dan pribadi. Pada hambatan intern perlu diperhatikan adalah

masalah yang berkaitan dengan struktur/hirarki/wewenang, spesialisasi, kekuasaan, jarak

sosial/psikologis, manager ‘owner information’, sarana dan prasarana, dan benalu komunikasi.

Setiap organisasi mempunyai struktur. Karena struktur itu sifatnya formal, hubungan

antarpribadi yang diciptakan adalah impersonal. Struktur dan hirarki juga tidak membenarkan

pelanggaran atas disiplin, loncatan komando, dan terbatasnya delegasi untuk mengambil

keputusan. Misalnya komunikasi antara atasan dan bawahan, seorang bawahan harus melalui

beberapa tahapan untuk berkomunikasi langsung dengan atasan mengenai keluhan pekerjaannya

setelah itu juga atasan tersebut tidak dapat langsung menanggapi keluhan tersebut secara sepihak

melainkan harus dibicarakan kembali kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah

tersebut sehingga dampaknya pekerjaan dan pengambilan keputusan berjalan lamban terhadap

masalah yang dihadapi.

Kecenderungan lain yang terlihat pula adalah diferensiasi organisasi, berarti organisasi

menambah struktur-struktur atau lapisan baru dalam organisasi yang sebenarnya kurang

diperhatikan. Akibatnya terjadi lebih banyak karyawan yang “kurang kerja” sehingga dari segi

(26)

karyawan menutup diri dalam keahlian dan profesinya dan kurang memperhatikan kerja sama

dengan pihak lain. Timbul juga streotip untuk meremehkan pekerjaan atau spesialisasi yang lain.

Kekuasaan sering mengakibatkan timbulnya jarak sosial dan psikologis antara atasan

dengan bawahan. Jarak itu demikian formal sehingga hubungan antara atasan dan bawahan

hanya ditentukan oleh struktur. Terutama bagi bawahan, hubungan dengan atasan merupakan

sesuatu yang mahal. Akibatnya, Atasan sebagai manajer tidak terlalu merasa perlu membagi

semua informasi kepada bawahan (owner information). Maka, muncullah benalu komunikasi,

yakni medium komunikasi tidak resmi (yang kadang-kadang merupakan saluran rumor atau

gosip) di kalangan karyawan.

Pada hambatan ekstern yang perlu diperhatikan adalah beberapa faktor, seperti perubahan

sosial dan ekonomi, masalah persaingan, konflik. Karena organisasi itu terletak dalam

masyarakat, perubahan-perubahan yang melanda masyarakat, misalnya gerakan sosial,

perubahan kebijaksanaan dalam bidang ekonomi dan perdagangan, persaingan di pasar bebas,

konflik antar perusahaan, akan mempengaruhi cara kerja organisasi. Organisasi merupakan

wadah kerja sama antarmanusia. Tatkala sumber daya manusia kurang mampu menangani

perubahan dan mekanisme kerja ataupun tidak bisa menyesuaikan diri dengan masukkan

teknologi, mekanisasi dan otomatisasi, keadaan itu akan mempengaruhi cara kerja organisasi.

Faktor-faktor lain seperti latar belakang sosiologis dan antropologis, misalnya struktur

sosial dalam masyarakat, kebudayaan dan adat-istiadat, juga mempengaruhi perilaku kerja. Salah

satu pengaruh yang patut dicegah adalah, nepotisme dan primordialisme yakni terjadinya

pembentukan “klik” berdasarkan ikatan suku, agama, ras dan golongan. Faktor demografis

seperti umur, faktor psikologis seperti suasana ketenteraman dan kedamaian dan lain-lain ikut

berpengaruh terhadap cara kerja organisasi.

Dalam komunikasi dapat terjadi salah paham atau salah pengertian seperti yang dikatakan

(Hardjana, 2003:16-46) sehingga pesan tidak dimengerti seperti dimaksud oleh pengirim dan

ditanggapi sebagaimana diinginkan oleh pengirim. Masalah salah paham dapat terjadi pada

pengirim, penyampaian pesan, penerimaan, dan penafsiran pesan.

a. Pengirim

Salah pengertian dapat terjadi karena:

1. Pengirim tidak jelas tentang isi pesan yang hendak disampaikan

(27)

3. Pada diri pengirim ada konflik batin tentang pesan yang akan dikirim dan tentang penerima yang akan dikirimi pesan

4. Pengirim merasa sulit bagaimana mengungkapkan pesan yang akan disampaikan.

b. Penyampaian Pesan

Pada penyampaian pesan, kesalahpahaman dalam komunikasi disebabkan karena:

1. Faktor-faktor fisik yang tidak mendukung: tulisan jelek dan tidak terbaca, saluran komunikasi rusak, alat pendengar tidak berfungsi baik, suara tidak jelas.

2. Dua pesan yang saling berebut perhatian penerima sehingga konsentrasi penerima kacau atau pesan sendiri mempunyai makna yang bertentangan.

3. Terlalu banyak gabungan saluran yang digunakan untuk menyampaikan sehingga pesan menjadi terlalu banyak pula.

c. Penerima Pesan

Pada waktu menerima pesan faktor-faktor yang bisa membuat salah pengertian dalam komunikasi antara lain:

1. Ada gangguan-gangguan fisik: penerangan, penglihatan, pendengaran, suara terlalu bising atau tidak terdengar.

2. Ada gangguan-gangguan mental: sulit konsentrasi, sibuk dengan urusan lain, sikap menolak.

3. Kesehatan fisik: sakit, lelah, tidak ada gairah.

4. Latar belakang budaya, pendidikan, dan pengalaman penerima jau berbeda dari pengirim. 5. Terjadi perbedaan penafsiran kata antara pengirim dan penerima.

6. Ada perbedaan tanggapan emosional, baik terhadap makna isi pesan maupun makna hubungan antara pengirm dan penerima.

2.2.3.1 Halangan Untuk Komunikasi Yang Efektif

Komunikasi efektif menjadi cita-cita semua orang yang berkomunikasi. Komunikasi akan

efektif jika:

1. Pesan diterima dan dimengerti sebagaimana yang dimaksud oleh pengirimnya.

2. Pesan disetujui oleh penerima dan ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminta

oleh pengirim.

3. Tidak ada hambatan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk

menindaklanjuti pesan yang dikirim.

Namun komunikasi yang ideal itu tidak selalu terjadi karena ada halangan- halangan yang menghadang pada proses komunikasi. Halangan dapat bersifat interpersonal maupun organisasional.

2.2.3.2 Halangan Interpersonal

Halangan interpersonal adalah halangan yang ada pada pribadi penerima. Hubungan itu

(28)

yang kompleks yang dilakukan orang untuk memilih, mengatur, dan memberi makna pada

kenyataan yang dijumpai disekelilingnya. Persepsi dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan,

dan kebudayaan. Ada dua persepsi yang menghalangi komunikasi. Pertama, persepsi selektif

(selective perception), dan kedua, bertindak berdasarkan stereotipe (stereotype). Persepsi selektif

merupakan kecenderungan orang untuk melihat orang, objek, dan situasi bukan sebgaimana

adanya, tetapi sebagaimana dikehendakinya. Berbuat menurut stereotipe membuat orang

cenderung untuk melihat dan mengatur kenyataan menurut pola yang tetap, pasti, dan dapat

diramalkan. Contohnya, “perempuan suka begini atau begitu.” “Orang bule pasti..”, dan

seterusnya.

2.2.3.3 Sikap Defensif

Sikap defensif adalah sikap mental orang untuk menjaga dan melindungi diri terhadap

bahaya, entah itu nyata atau hanya bayangan saja. Sikap defensif pada pengirim pesan lisan

membuat raut wajah, gerak tubuh, dan cara berbicara yang membuat penerima ikut-ikutan

menjadi bersikap defensif pula. Akibatnya, pesan yang diterima tidak tepat dan maksud pengirim

tidak dimengerti secara benar. Jika bersikap defensif, perhatian penerima pesa yang mendengar

pesan menjadi pesan menjadi terpusat pada apa yang mau dikatakan untuk menjawab dan bukan

pada apa yang disampaikan oleh pengirim pesan.

Penggunaan media untuk menyampaikan pesan dapat mengalami gangguan, yang dalam

bahasa Inggris disebut noise. Gangguan adalah “segala sesuatu yang menghambat atau

mengurangi kemampuan kita untuk mengirim dan menerima pesan”. Gangguan komunikasi itu

meliputi:

1. Pengacau indra, misalnya suara terlalu keras atau lemah, di tempat menerima

pesan, bau menyengat, udara panas, dan lain-lain.

2. Faktor-faktor pribadi, antara lain, prasangka, lamunan, perasaan tidak cakap.

2.2.3.4 Faktor-Faktor Penghambat Komunikasi

1. Hambatan sosio-antro –psikologis

Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situasional (situasional context). Ini

(29)

situasi amat berpengaruh terhadap kelancaran komunikasi, terutama situasi yang berhubungan

dengan faktor-faktor sosiologis-antropologis-psikologis.

a. Hambatan sosiologis

Seorang sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies mengklasifikasikan kehidupan

manusia dalam masyarakat menjadi dua jenis pergaulan yang ia namakan Gemeinschaft dan

Gesselschaft. Gemeinschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat pribadi, statis, dan tak rasional,

seperti dalam kehidupan rumah tangga; sedang Gesselschaft adalah pergaulan hidup yang

bersifat tak pribadi, dinamis, dan rasional, seperti pergaulan di kantor atau dalam organisasi.

Berkomunikasi dalam Gemeinschaft dengan istri atau anak tidak akan menjumpai

banyak hambatan karena sifatnya personal atau pribadi sehingga dapat dilakukan dengan santai;

adalah lain dengan komunikasi dalam Gesselschaft. Seseorang yang bagaimanapun tingginya

kedudukan yang ia jabat, ia akan menjadi bawahan orang lain. Masyarakat terdiri dari bebrbagai

golongan dan lapisan, yang menimbulkan perbedaan dalam situasi sosial, agama, ideologi,

tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat menjadi

hambatan bagi kelancaran komunikasi.

b. Hambatan antropologis

Dalam melancarkan komunikasinya, seorang komunikator tidak akan berhasil apabila ia

tidak mengenal siapa komunikan yang dijadikan sasarannya. Yang dimaksudkan dengan “siapa”

di sini bukan nama yang disandang, melainkan ras apa, bangsa apa, atau suku apa. Dengan

mengenal dirinya, akan mengenal pula kebudayaannya, gaya hidup dan norma kehidupannya,

kebiasaan dan bahasanya.

Komunikasi akan berjalan lancar jika suatu pesan yang disampaikan komunikator

diterima oleh komunikasi secara tuntas, yaitu diterima dalam pengertian received atau secara

inderawi, dan dalam pengertian accepted atau secara rohani. Seorang pemirsa televisi mungkin

menerima acara yang disiarkan dengan baik karena gambar yang tampil pada pesawat televisi

amat terang dan suara yang keluar amat jelas, tetapi mungkin ia tidak dapat menerima ketika

seorang pembicara pada acara itu mengatakan bahwa daging babi lezat sekali. Si pemirsa tadi

hanya menerimanya dalam pengertian accepted. Jadi teknologi komunikasi tanpa dukungan

(30)

c. Hambatan Psikologis

Faktor psikologis sering kali menjadi hambatan dalam komunikasi. Hal ini umumnya

disebabkan si komunikator sebelum melancarkan komunikasinya tidak mengkaji diri komunikan.

Komunikasi sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa

kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologis lainnya; juga jika komunikasi menaruh prasangka

(prejudice) kepada komunikator.

Prasangka merupakan salah satu hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang

yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap menentang komunikator. Prasangka sebagai

faktor psikologis dapat disebabkan oleh aspek antropologis dan sosiologis; dapat terjadi terhadap

ras, bangsa, suku bangsa, agama, partai politik, kelompok, dan apa saja bagi seseorang

merupakan suatu perangsang disebabkan dalam pengalamannya pernah diberi kesan yang tidak

enak.

Berkenaan dengan faktor-faktor penghambat komunikasi yang bersifat

sosiologis-antropologis-psikologis itu, yang menjadi permasalahan ialah bagaimana upaya kita

mengatasinya. Cara mengatasinya ialah mengenal diri komunikan seraya mengkaji kondisi

psikologisnya sebelum komunikasi dilancarkan, dan bersikap empatik kepadanya. Empati

(empathy) adalah kemampuan memproyeksikan diri kepada diri orang lain; dengan lain

perkataan, kemampuan mengahayati perasaan orang lain atau merasakan apa yang dirasakan

orang lain.

2. Hambatan Semantis

Kalau hambatan sosiologi-antropologis-psikologis terdapat pada pihak komunikan, maka

hambatan semantis terdapat pada diri komunikator. Faktor semantis menyangkut bahas yang

dipergunakan komunikator sebagai “alat” untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada

komunikan. Demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator harus benar-benar

memperhatikan gangguan semantis ini, sebab salah ucap atau salah tulis dapat menimbulkan

salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation), yang pada gilirannya

bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication).

Gangguan semantis kadang-kadang disebabkan pula oleh aspek antropologis, yakni

kata-kata sama bunyinya dan tulisannya, tetapi memiliki makna yang berbeda. “Rampung Sunda lain

dengan “Rampung” Jawa. “Atos” Sunda tidak sama dengan “atos” Jawa. Salah komunikasi atau

(31)

sifatnya konotatif. Dalam komunikasi bahasa yang sebaiknya dipergunakan adalah kata-kata

yang denotatif. Kalau terpaksa juga menggunakan kata-kata yang konotatif, seyogyanya

dijelaskan apa yang dimaksudkan sebenarnya, sehingga tidak terjadi salah tafsir. Kata-kata yang

bersifat denotatif adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus

(dictionary meaning) dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama dalam

kebudayaan dan bahasanya. Kata-kata yang mempunyai pengertian konotatif adalah yang

mengandung makna emosional atau evaluatif (emotional or evaluative meaning) disebabkan oleh

latar belakang kehidupan dan pengalaman seseorang.

Jadi, untuk menghilangkan hambatan semantis dalam komunikasi, seorang komunikator

harus mengucapkan pernyataannya dengan jelas dan tegas, memilih kata-kata yang tidak

menimbulkan persepsi yang salah, dan disusum dalam kalimat-kalimat yang logis.

3. Hambatan Mekanis

Hambatan mekanis dijumpai pada media yang dipergunakan dalam melancarkan

komunikasi. Banyak contoh yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari; suara telepon yang

krotokan, ketikan huruf yang buram pada surat, suara yang hilang-muncul pada pesawat radio,

berita surat kabar yang sulit dicari sambungan kolomnya, gambar yang meliuk-liuk pada pesawat

televisi dan lain-lain.

Hambatan pada beberapa media tidak mungkin diatasi oleh komunikator, misalnya

hambatan yang dijumpai pada surat kabar, radio dan televisi. Tetapi pada beberapa media

komunikator dapat saja mengatasinya dengan mengambl sikap tertentu, misalnya ketika sedang

menelepon terganggu oleh krotokan. Barangkali ia dapat mengulanginya beberapa saat

kemudian.

Hambatan yang dijumpai pada surat, misalnya huruf ketikan yang buram, dapat diatasi

dengan mengganti pita mesin tik atau mesin tiknya sendiri. Yang penting diperhatikan dalam

komunikasi ialah seperti telah disinggung di muka-sebelum suatu pesan komunikasi dapat

diterima secara rohani (accepted), terlebih dahulu harus dipastikan dapat diterima secara

inderawai (received), dalam arti kata bebas dari hambatan mekanis. Apakah pesannya kemudian

dapat diterima secara rohani atau tidak, itu merupakan maslah kedua yang akan dibahas pada bab

(32)

4. Hambatan Ekologis

Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap proses

berlangsungnya komunikasi, jadi datangnya dari lingkungan. Contoh hambatan ekologis adalah

suara riuh orang-orang atau kebisingan lalu-lintas, suara hujan atau petir, suara pesawat terbang

lewat, dan lain-lain pada saat komunikator sedang berpidato.

Situasi komunikasi yang tidak menyenangkan seperti itu dapat diatasi komunikator

dengan menghindarkannya jauh sebelum atau dengan mengatasinya pada saat ia sedang

berkomunikasi. Untuk menghindarkannya komunikator harus mengusahakan tempat komunikasi

yang bebas dari gangguan suara lalu-lintas atau kebisingan orang-orang seperti disebutkan tadi.

Dalam menghadapi gangguan seperti hujan, petir, pesawat terbang lewat, dan lain-lain yang

datangnya tiba-tiba tanpa diduga terlebih dahulu maka komunikastor dapat melakukan kegiatan

tertentu, misalnya berhenti dahulu sejenak atau memperkeras suaranya (Effendi, 2004:60).

2.2.4. Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Fajar (2009:110), mengemukakan bahwa komunikasi verbal yang menggunakan

kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan

manusia lain. Dasar komunikasi verbal adalah interaksi antara manusia. Dan menjadi salah satu

cara bagi manusia berkomunikasi secara lisan atau bertatapan dengan manusia lain, sebagai

sarana utama menyatukan pikiran, perasaan dan maksud kita.

Selain itu, Rubin dalam Larry A.Samovar dan Richard E Porter (2007:169) mengatakan

Language is a set of characters or elements and rules for their use in relation to one another.

These characters or elements are language symbols that are culturally diverse. (bahasa adalah

kumpulan perilaku atau elemen serta peraturan untuk digunakan dalam berhubungan satu sama

lain. Karakter dan elemen tersebut adalah simbol bahasa dengan bermacam-macam adat istiadat).

Sedangkan komunikasi verbal menurut Hardjana (2003:22-23), adalah komunikasi yang

menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tertulis. Komunikasi ini paling banyak dipakai

dalam hubungan antarmanusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi,

pikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikan fakta data, dan informasi serta

menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat,dan bertengkar. Dalam

komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting.

(33)

Pada buku komunikasi antarbudaya Devito (1997:119-120) mengatakan bahwa Bahasa

dapat dibayangkan sebagai kode, atau sistem simbol, yang kita gunakan untuk membentuk

pesan-pesan verbal kita. Kita dapat mendefinisikan bahasa sebagai sistem produktif yang dapat

dialihkan dan terdiri atas simbol-simbol yang cepat lenyap (rapidly fading), bermakna bebas

(arbitary), serta dipancarkan secara kultural (Hockett, 1977). Masing-masing karakteristik ini

akan dijelaskan secara singkat.

a. Produktivitas

Bahasa bersifat produktif, terbuka, kreatif. Artinya, pesan-pesan verbal kita merupakan gagasan-gagasan baru; setiap gagasan bersifat baru. Tentu ada beberapa pengecualian dari kaidah umum ini, tetapi tidak banyak dan tidak penting. Ketika anda berbicara, anda tidak mengulang kalimat-kalimat hasil mengingat melainkan menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru. Begitupula, pemahaman anda atas pesan-pesan verbal menunjukkan produktivitas dalam arti bahwa anda dapat memahami pemikiran-pemikiran baru yang dikemukakan.

b. Pengalihan

Karena bahasa kita mengenal pengalihan (displacement), kita dapat berbicara mengenai hal-hal yang jauh dari kita baik dari segi tempat maupun waktu. Kita dapat berbicara tentang masa lalu dan maa depan semudah kita berbicara tentang masa kini. Dan kita dapat berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah kita lihat-tentang manusia duyung, kuda bertanduk, dan mahluk dari planet lain.

c. Pelenyapan Cepat

Suara kita melenyap dengan cepat; suara-suara ini lenyap. Suara harus diterima segera setelah itu dikirimkan atau kita tidak akan pernah menerimanya. Sudah barang tentu, semua isyarat berangsur-angsur akan melenyap; simbol tertulis bahkan simbol-simbol yang dipahatkan pada batu permanen. Tetapi, secara relatif, isyarat suara barangkali merupakan yang paling tidak permanen diantara semua media komunikasi,; inilah yang dimaksud dengan pelenyapan cepat (rapid fading).

d. Kebebasan Makna

(34)

2.2.4.2 Proses Verbal

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain

namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata

yangkita gunakan. Proses-proses ini (bahasa verbal dan pola-pola berpikir) secara vital

berhubungan dengan persepsi dan pemberian serta penyertaan makna.

1. Bahasa Verbal

Setiap diskusi tentang bahasa dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya harus mengikutsertakan pembahasan atas isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas masalah-masalah khusus tentang bahasa asing, penerjemahan bahasa, dan dialek serta logat subkultur dan subkelompok. Dalam perkenalan kita dengan berbagai dimensi budaya ini, kita akan membicarakan bahasa verbal dan relevansinya dengan pemahaman kita tentang budaya.

Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar

Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaan mempunyai suatu label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran.

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran.

2. Pola-Pola Berpikir

(35)

ditemukan dengan pencarian aktif dan penerapan cara-cara berpikir Aristotelian. Sebaliknya, orang harus menunggu, dan bila kebenaran memang harus diketahui, maka kebenaran itu akan menampakkan diri. Perbedaan utama dalam kedua pandangan ini terdapat pada bidang kegiatan. Bagi orang-orang Barat, kegiatan manusia itu penting dan akhirnya akan menuntun kepada penemuan kebenaran. Dalam tradisi pemeluk agama Tao, kebenaran merupakan agen yang aktif, dan bila kebenaran itu harus diketahui, kebenaran akan muncul melalui kegiatan penampakan diri kebenaran tersebut.

Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannnya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir danbelajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan komunikasi antarbudaya tersebut. (Mulyana, 2005:30).

2.2.4.3 Bahasa

Menurut Wardhaugh (1985) dalam Devito (1997: 157) berpendapat bahasa merupakan

institusi sosial, bahasa ada karena manusia berinteraksi dalam kelompok-kelompok sosial.

Sebagai suatu institusi sosial, bahasa mencerminkan dan mempengaruhi masyarakat dimana

bahasa menjadi salah satu bagiannya.

Entah komunikasi verbal atau komunikasi nonverbal, dalam berkomunikasi

menggunakan bahasa. Pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan

orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah

bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Dalam komunikasi nonverbal,

bahasa yang dipakai adalah bahasa nonverbal berupa bahasa tubuh (raut wajah, gerak kepala,

gerak tangan), tanda, tindakan, objek.

Bahasa suatu bangsa atau suku bangsa berasal dari interaksi dan hubungan antara

warganya satu sama lain. Pada awalnya bahasa terdiri dari lambang-lambang nonverbal, seperti

raut wajah, gerak mata, gerak anggota tubuh seperti tangan atau kaki, atau gerak-gerik tubuh, dan

tindakan-tindakan tertentu seperti bersalaman, berpelukan dan berciuman.

Tetapi dengan berjalannya waktu dan perkembangan hidup, bahasa nonverbal dirasa

tidak memadai lagi. Karena banyak gagasan, pemikiran, perasaan, atau sikap tidak mampu lagi

diungkapkan dan disampaikan dengan bahasa nonverbal. Maka, terciptalah bahasa verbal,

mula-mula berbentuk lisan, kemudian tertulis, dan akhir-akhir ini elektronik. Bahasa verbal

terus-menerus dikembangkan dan disesuaikan agar dapat memenuhi kebutuhan zaman dimana orang

Gambar

Gambar 2.3 Model Teoritis
Gambar 3.1  Kerangka Analisis

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan data dilakukan selama 10 menit sehingga diperoleh hasil yaitu dimana ikan yang paling besar merespon bunyi yaitu ikan lele dengan bunyi surah

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang peta dan supaya lebih memahami serta bias membaca peta dengan baik

ha t ada nja pengg u naan golongan-golongan oba t di Poli­ klinik dan penulisan resep-resep oleh dokter gigi dari obat-obat jang dapat berbahaja pada penggunaan daHS

Dari hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan Weighted Product sebagai model Sistem Pendukung Keputusan Kelayakan Penerimaan Bantuan Beras Miskin dengan metode

Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah laporan keuangan yang dibuat Primkopkar Carathana Jita Vina Kubu Raya, bagaimanakah kesesuaian laporan keuangan yang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara peggunaan APD masker, kebiasaan merokok, dan volume kertas bekas terhadap kejadian ISPA

Berdasarkan peneitian yang telah dilaksanakan dan hasil yang diperoleh, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa pengaruh status sosial keluarga terhadap pendidikan

1) Faktor – faktor yang berhubungan dengan praktik bidan dalam penggunaan algoritma manajemen terpadu bayi muda adalah pengetahuan, sikap terhadap manajemen terpadu