• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE

PADA INDUSTRI

POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI

(Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)

KUSAERI AULANI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2014

Kusaeri Aulani

(4)

ABSTRAK

KUSAERI AULANI. Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Hasil uji stasistik menunjukan bahwa produksi tempe pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air, sedangkan produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi oleh kedelai saja. Pendapatan pengusaha pola mandiri lebih besar daripada pendapatan pengusaha pola kemitraan karena teknik produksi yang digunakan oleh pangusaha pola mandiri menggunakan teknik yang anjurankan oleh KOPTI Kabupaten Bogor sedangkan pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional dan tidak menggunakan cara yang dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.

Kata kunci: Tempe, Kemitraan, KOPTI, Pendapatan, Model Cobb-Douglas

ABSTRACT

KUSAERI AULANI. The Income Analysis And Production Function Of Tempe Partnership And Autonomy Pattern (Case in Cimanggu I Village, Cibungbulang District of Bogor Regency). Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Tempe is a processed food from soybeans. It is needed by the Indonesian people, especially in the Cibungbulang District, Bogor Regency. The purpose of this study was to analyze the income from tempe industry which applying partnership and independent system in Cimanggu I Village, Cibungbulang District of Bogor Regency. The results showed that the tempe production which using partnership system was affected by soy, yeast, and water, whereas the production which using independent system was influenced by soy alone. The entrepreneurs which applying independent system gained more income than the partnerships system because they used production techniques recommended by Bogor Regency’s Indonesia Tofu and Soybean Cake Entrepreneurs Union (KOPTI). The partnership system entrepreneurs, on the contrary, was applying the traditional method rather than the recommended one by KOPTI Bogor Regency.

(5)

ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE

PADA INDUSTRI

POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI

(Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)

KUSAERI AULANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)

Nama : Kusaeri Aulani NIM : H44080020

Disetujui oleh

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S Dosen Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT

Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini yaitu “Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor)”.

Skripsi ini membahas analisis produksi dan pendapatan usahatani dengan membandingkan produksi dan pendapatan pangusaha tempe pola kemitraan dan pola msndiri. Skripsi ini juga menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh tergadap produksi pada usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri.

Bersama ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama kepada Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan banyak ilmu kepada penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si dan Ibu Hastuti, S.P, M.P, M.Si selaku penguji siding. Terima kasih saya ucapkan kepada Yogi Chandra yang telah banyak membantu penlulis dalam mengolah data, juga kepada keluarga tercinta Ibunda Solihat dan Ayahanda Acep Al-mutahar, Ibunda Pipih Sopiah, Ayahanda Tatan Gunawan, Ibunda Heny, Bapak Brata, serta keempat adik saya yaitu Amir, Hany, Aziz, dan Dzikry yang

selalu memberikan do’a dan semangat. Terima kasih kepada teman-teman ESL 45

yang selalu membantu dan memberikan semangat, teman-teman tercinta Yogi, Ade, Sandy, Rizky, Hady, Fajar Jajuli, Inggit Rahayu, As’ad, Mahmudin, dan semia ESL 45 dan juga Afni Kusuma Wardhani yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih pula kepada pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri yang ada di Desa Cimanggu I yang bersedia memberikan data kepada penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha tempe.

Bogor, Maret 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 5

Tujauan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

Batasan Penelitian 9

TINJAUAN PUSTAKA 11

Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi 11

Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia 12

Karakteristik Tempe 13

Jumlah Industri 14

Jumlah Industri Kecil di Indonesia 14

Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor 15

Pendapatan 16

Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya) 16

Pendapatan Usaha 17

Struktur Biaya 17

Tinjauan Penelitian Terdahulu 18

KERANGKA PEMIKIRAN 21

Kerangka Pemikira Operasional 21

METODE PENELITIAN 23

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Metode Penelitian 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel 24

(12)

Analisis Struktur Biaya 24

Fungsi Produksi 25

Konsep Produktivitas 26

Fungsi Cobb-Douglas 26

Pengujian Parameter 27

Uji Koefisien Determinasi 28

Uji Statistik F 28

Uji Statistik t 29

Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity) 29

Uji Heteroskedastisitas 30

Analisis Pendapatan 30

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 32

Profil Desa Cimanggu I 32

HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri 35

Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 35

Usia 35

Tingkat Pendidikan 36

Pengalaman Usaha Tempe 37

Karakteristik Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri 38

Karakteristik Produksi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri 40

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tempe

Pola Mandiri dan Pola Kemitraan 43

Karakteristik Input Produksi 43

Kedelai 44

Ragi 45

Air 45

(13)

Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 48 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Tempe Pola Mandiri dan

Pola Kemitraan 57

Output 57

Penerimaan 59

Biaya 60

Pendapatan 61

SIMPULAN DAN SARAN 64

DAFTAR PUSTAKA 66

(14)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia

tahun 1970-2009 1

2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di indonesia

tahun 2008-2009 4

3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 – 2004 14 4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor 15 5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu 19

6 Matriks metode analisis data 24

7 Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan

mata pencaharian 33

8 Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan

tingkat pendidikan 34

9 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan

sebaran usia 36

10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan

tingkat pendidikan 37

11 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan mandiri berdasarkan

pengalaman usaha 38

12 Karakteristik Ekonomi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri 39 13 Karakteristik Produksi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri 41 14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 44

15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 45

16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 46

17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 47

18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe

pola kemitraan 49

(15)

pola mandiri 53 20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe

pola kemitraan dan pola mandiri 58

21 Penerimaan Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 59 22 Biaya Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 60 23 Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 62

DAFTAR GAMBAR

1 Alur Kerangka Pemikiran Operasional 22

2 Tahapan Proses Produksi Tempe di Desa Cimanggu I 43 2 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Kemitraan 53 3 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Mandiri 57

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah Produksi dan Produktivitas Tempe Pengusaha

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 69

2 Perbandingan Penggunaan Kedelai Pengusaha

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 71

3 Perbandingan Penggunaan Ragi Pengusaha

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 72

4 Perbandingan Penggunaan Air Pengusaha Pola Kemitraan

dan Pola Mandiri 73

5 Perbandingan Penggunaan Tenaga Kerja Pengusaha

Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 74

6 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe

Pola Kemitraan 75

7 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe Pola Mandiri 76 8 Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Tempe

(16)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai yang setiap harinya dibutuhkan oleh masyarakat, baik masyarakat kalangan bawah, menengah, maupun masyarakat kalangan atas, dengan demikian permintaan terhadap tempe semakin naik dalam setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Naiknya permintaan terhadap tempe berimplikasi pada peningkatan permintaan kedelai yang merupakan bahan baku pembuatan tempe yang hingga saat ini belum mendapatkan substitusinya sebagai bahan utama dalam memproduksi tempe.

Kebutuhan kedelai nasional pada tahun 2009 sebesar 1.97 juta ton sedangkan pada tahun tersebut produksi kedelai dalam negeri hanya sebesar 0.92 juta ton meskipun produksi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 0.14 juta ton dan kekuranganya sebesar 1.05 juta ton dipenuhi dari impor. Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia tahun 1970-2009

Produksi (tahun) Produksi Nasional Konsumsi Nasional

Juta (ton)

Sumber : Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2009

(17)

akan mengalami defisit yang makin besar (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Penurunan produksi kedelai di dalam negeri mengakibatkan industri yang menggunakan bahan baku kedelai harus membeli dari luar negeri.

Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe. Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan harganya relatif murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan makanan bergizi yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat (Sutrisno 2006). Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 diperkirakan mencapai 4 persen per tahun (Solahudin, 1998).

Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan. Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.

Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum mampu mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah, dan disisi lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan adanya krisis ekonomi yang sering terjadi di Indonesoa. Keberadaan ini sangat mempengaruhi efisiensi usaha pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak mampu berproduksi lagi (Sari, 2002).

(18)

Pemenuhan kebutuhan akan makanan dan gizi tidak terlepas dari peranan usaha pengolahan pangan. Usaha kecil tempe merupakan salah satu bentuk usaha yang bergerak dibidang pengolahan pangan yang ada di Indonesia. Peranan usaha kecil tempe dalam mengolah hasil pertanian dapat berupa produk jadi yang dijual langsung kepada konsumen akhir maupun produk setengah jadi. Selain itu usaha kecil tempe juga memiliki peranan yang paling dominan, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga (Amalia, 2008).

Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991 sektor perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam menyumbang pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia (Sarah, 2001). Tempe termasuk kedalam kategori industri pengolahan yang ada di Indonesia, dimana industri pengolahan di Indonesia mempunyai prioritas dalam hal memajukan pembangunan di Indonesia. Hal ini terlihat dari industri pengolahan berkontribusi terhadap PDB nasional sebesar 23% sepanjang 2012 dimana industri tempe mempunyai kontribusi sebesar 12% pada industri pengolahan. 1

Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dimana memiliki karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan, dan salah satu kebutuhan yang terus meningkat permintaannya adalah tempe. Tempe tidak lagi dipandang sebagai bahan pokok sampingan atau alternative, akan tetapi tempe masuk pula kedalam pilihan utama makanan pokok sebagian banyak masyarakat di Indonesia dari golongan bawah, menegah dan atas. Disamping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein.

Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat memberikan efek terhadap tingginya persaingan dalam hal lapangan pekerjaan. Usaha kecil seperti

1

(19)

tempe memiliki peranan yang penting, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga. Kendala pengembangan industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah (mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan, sumberdaya manusia, terbatasnya keterampilan, keahlian, keterbatasan modal, informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur, peralatan yang usang, beberapa kebijakan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang bersangkutan (Hubies,1997).

Koperasi mempunyai pernan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pelaksanaan pembinaan kelembagaan dan usaha koperasi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Jumlah koperasi yang tumbuh di kalangan masyarakat serta jumlah anggota koperasi dan partisipasi mereka dalam koperasi semakin meningkat, hal tersebut juga diikuti dengan semakin beragamnya bidang usaha koperasi dan semakin dirasakannya manfaatnya bagi anggota (Lembaga Ketahanan Nasional, 1995). Perkembangan koperasi yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di Indonesia tahu 2008- 2009

No. Provinsi

Tahun 2008 (unit) Tahun 2009 (unit)

Aktif Tidak

(20)

tahu dan makanan sejenisnya yang berada di wilayah Jakarta Pusat yang terdiri dari 699 anggota. KOPTI hanya mempunyai susunan organisasi tingkat primer yang dikembangkan dari ide dan kebulatan tekad produsen / pengrajin tempe tahu pada tanggal 11 Maret 1979 yang juga ditetapkan sebagai hari lahir KOPTI2.

Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu tempat industri tempe yang ada di Bogor, dimana para pelaku industri tempe terbagi menjadi dua, yaitu industri pola kemitraan dan pola mandiri. Perbedaan kenggotaan tersebut menimbulkan adanya perbedaan pula dalam pendapatan yang diperoleh maupun struktur biaya pada masing-masing industri pengolahan tempe tersebut, sehingga diperlukan adanya penelitian mengenai adanya perbedaan pendapatan dan struktur biaya dari dua pola industri tempe tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengurangi kendala yang ada di lingkungan pelaku usaha tempe maka KOPTI merupakan harapan besar masyarakat untuk dapat mengatasi kendala-kendala yang selama ini dihadapi oleh masyarakat seluruh Indonesia yang bermata pencaharian dalam usaha tempe. KOPTI tersebut keberadaanya merata di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. KOPTI ini berdiri karena adanya kesamaan cita-cita dan kepentingan produsen tahu dan tempe untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya karena selama ini para produsen tempe belumlah memperleh kesejahteraan layaknya yang diharapkan. Keberadaan KOPTI mempermudah usaha kecil tempe untuk bekerjasama dalam penyediaan faktor produksi, modal, keahlian dalam menejerial bahan baku dan sumberdaya manusia, serta teknologi pengolahan yang lebih baik sehingga usaha kecil tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dapat meningkatkan hasil produksi dan pendapatannya.

Berdasarkan keterangan dari KOPTI, di Cibungbulang terdapat industri tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dan tidak tergabung dalam anggota KOPTI. Industri yang tergabung dalam anggota KOPTI mendapatkan bantuan berupa penyediaan input, modal, peralatan, sedangkan industri tempe yang tidak tergabung dalam anggota KOPTI atau pola mandiri umumnya penyediaan input,

2

(21)

modal serta peralatan yang digunakan merupakan kepemilikan pribadi. Hal ini menyebabkan tingkat penggunaan faktor produksi yang digunakan pengusaha tempe di Cibungbulang berbeda-beda dan menghasilkan produksi serta pendapatan yang berbeda pula, maka sangat perlu menganalisis karakteristik pengusaha, faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe, pendapatan, dan struktur biaya dari masing-masing usaha tersebut, yaitu usaha yang termasuk dalam anggota kemitraan dan pola mandiri, sehingga diharapkan usaha tempe di lokasi tersebut dapat dikembangkan dan memberikan kesejahteraan bagi para pelaku usaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri.

Sebelum monopoli BULOG (Badan Urusan logisti) atas kedelai impor dicabut para pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota KOPTI berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah pelayanan yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi setelah monopoli KOPTI dicabut, para pengrajin tempe membeli kedelai dari luar KOPTI yaitu di toko-toko Cina. Dari semua anggota KOPTI, 70% pengrajin tempe membeli kedelai dari pedagang Cina dan 30% pengrajin tempe memperoleh kedelai dari KOPTI. Pada akhir tahun 2005 KOPTI melakukan pendataan pemakaian bahan baku ke wilayah-wilayah pelayanan yang ada di Indionesia. Dari hasil pendataan diperoleh skala kebutuhan kedelai di Kabupaten Bogor antara 50-800 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk produksi tempe sekitar 875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala kebutuhan bahan baku antara 10-150 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor sebesar 300 ton. Hampir sama dengan di Kabupaten Bogor sumber perolehan bahan baku kedelai berasal dari pedagang Cina, dan hanya 10% pengrajin tempe yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI ( Sutrisno, 2006 ).

(22)

melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak tahan lama. Permasalahan lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah tangga adalah rendahnya kemampuan dalam mengakses kepada sumbersumber permodalan, baik yang berbentuk lembaga keuangan bank maupun bukan bank. Ketidakseimbangan akses bagi usaha kecil dan rumah tangga dalam mendapatkan sumber-sumber permodalan untuk mengembangkan usahanya menyebabkan produk usaha kecil dan rumah tangga kurang mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan persyaratanpersyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah tangga yang ada saat ini.

Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak mengetahui jenis produk yang sedang gencar di pasaran saat ini. Terkadang pengusaha tidak menghasilkan produk dengan mutu dan standar yang sesuai dengan tuntutan pasar dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang besar dalam waktu yang cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang dijalankan relatif sangat sederhana serta wilayah pemasaran yang terbatas pada daerah yang dekat dengan lokasi usaha (Apretty, 2000).

Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur penting bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah (2001), pengelolaan industri kecil umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi pada manajemen usaha yang profesional. Pola manajemen tradisional biasanya ditandai dengan masih sulitnya memisahkan antara aktivitas keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain itu manajemen usaha pada industri kecil umumnya juga belum bisa mengembangkan manajemen keuangan dan personalia dengan baik.

Dari penjabaran diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?

(23)

3. Bagaimana perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.

Tujuan spesifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola

kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :

1. Bagi peneliti, penelitian ini diharrapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis, serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai industripengolahan tempe yang ada di Indonesia.

2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapakn menjadi salah satu sumber rujukan pustaka dalam membuat penulisan-penulisan ilmiah.

(24)

4. Pelaku usaha, dimana pelaku usaha tempe dapat mengetahui langkah mana yang haris diambil agar usaha yang di jalankan dapat memberikan pendapatan yang optimal dan berlanjut keberadaanya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut, yaitu:

1. Wilayah penelitian adalah, Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

2. Objek penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

3. Responden penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang merupakan pengusaha dalam industri tempe pada pola kemitraan Prikompti dan pola mandiri.

1. 6 Batasan Penelitian

1. Pengusaha yang menjadi sample yaitu pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor

2. Penerapan teknik budidaya petani dalam satu kelompok usahatani relatif sama. 3. Satuan input produksi yang digunakan yaitu kedelai (kg), ragi (kg), plastik

(pack), tenaga kerja (HOK), dan air (liter).

4. Ukuran tenaga kerja dinyatakan dalam Hari Orang Kerja (HOK), upah harian antara laki-laki dan wanita besaranya sama.

5. Pengusaha pola kemitraan menggunakan kedelai yang disediakan di koperasi, sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan bahan baku kedelai yang ada di pasaran atau non koperasi

6. Harga satuan air untuk pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri yaitu menggunakan harga air PDAM Tirta Kahuripan sebesar Rp 2.200/0-10m3. 7. Analisis fungsi produksi yang digunakan yaitu analisis fungsi produksi

Cobb-Douglas dengan faktor produksi kedelai, ragi, air, tenaga kerja.

(25)
(26)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi

Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian bab I tentang ketentuan umum, Pasal 1 : Ayat (1) Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas azas kekeluargaan; ayat (2) Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan koperasi; ayat (3) Koperasi Primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang; (5) Gerakan koperasi adalah keseluruhan organisasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama koperasi. Menurut International Cooperative Alliance (ICA, 1995) dalam Nasution, 2002 : Koperasi adalah perkumpulan orang-orang yang mandiri (autonomous) bersatu secara sukarela untuk memenuhi kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspirasi melalui badan usaha (enterpise) yang dimiliki bersama dan dikontrol secara demokratis.

Menurut Hatta (1995) dalam Nasution (2002) : Koperasi yang benar-benar koperasi (the ideal type cooperative) adalah bentuk kerjasama dengan sukarela antara mereka yang sama cita-citanya untuk membela keperluan dan kepentingan bersama. Koperasi sebenarnya tidak dikemudikan oleh cita-cita keuntungan, melainkan oleh cita-cita memenuhi keperluan bersama. Fungsi dan peran koperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 adalah :

1. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;

2. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat;

3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan berkoperasi sebagai sokoguru;

(27)

Prinsip koperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian nomor 25 tahun 1992 adalah :

1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; 2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;

3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;

4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; 5. Kemandirian.

Selanjutnya, dalam ayat dua dikatakan bahwa dalam mengembangkan koperasi, maka koperasi melaksanakan pula prinsip koperasi sebagai berikut :

1. Pendidikan perkoperasian; 2. Kerjasama antar koperasi.

2.2 Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia

Koperasi berasal dari bahasa Latin cooperere yang dalam bahasa Inggris menjadi cooperation, berarti bekerja sama. Menurut UU No 25 Tahun 1992, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi berdasar atas azas kekeluargaan.

Koperasi berbeda dengan badan usaha lainnya, perbedaannya terletak pada tujuan koperasi yang tidak hanya mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi juga mempertinggi kesejahteraan anggotanya. Keberhasilan koperasi dilihat dari kemampuan koperasi untuk hidup terus dengan kekuatannya sendiri dan memberikan pelayanan kepada anggotanya secara kontinyu. Faktor yang paling menentukan keberhasilan koperasi adalah faktor manajemen. Hal ini sangat penting dalam pengelolaan koperasi yang dapat menentukan kemajuan usaha koperasi yang bersangkutan (Ruswan, 2013).

(28)

KOPTI diharapkan mampu menjadi pusat pelayanan bagi anggota khususnya maupun masyarakat umum di wilayah kerja. KOPTI juga dimaksudkan untuk meningkatkan mutu tahu dan tempe yang dibuat oleh pengrajin anggota KOPTI tersebut, antara lain dibidang manajemen dan administrasi, bidang modal dalam bentuk bantuan kredit kepada pada pengusaha. Keberadaan KOPTI di Desa Cimanggu I memberikan kemudahan kepada pengusaha tempe pola kemitraan yang karena ketersediaan kedelai yang lebih pasti ketimbang ketersediaan kedelai bagi pengusaha pola mandiri yang disediakan oleh pasar.

2.3 Karakteristik Tempe

Tempe adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus, kegiatan fermentasi melibatkan tiga faktor pendukung yaitu, bahan baku yang diolah (kedelai), mikroorganisme (jamur tempe) dan lingkungan tumbuh. Proses pembuatan tempe yang terdiri atas perendaman, pencucian, pembilasan dan fermentasi secara akumultatif telah mampu menghancurkan zat gizi yang terdapat pada kedelai mentah. Teknologi tradisional dan relatif sederhana ini telah mampu menghancurkan zat anti gizi pada kedelai sekaligus menghasilkan zat gizi utama yang mampu memperbaiki mutu gizi kedelai (Winarno, 1993).

Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme, dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994).

(29)

Indonesia guna memenuhi kebutuhan tempe yang ada di pasaran. Tingginya permintaan terhadap tempe tersebut merupakan sebuah peluang bisnis bagi para pelaku usaha tempe yang ada di Indonesia, sehingga akan memacu pada perilaku usaha yang efisien dalam produksi dan optimal dalam pendapatannya.

2.4 Jumlah Industri

2.4.1 Jumlah Industri Kecil di Indonesia

Data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun 2003 memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil di Indonesia sebanyak 42.326.519 unit yang terdiri dari 24.735.693 unit pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan, 379.141 unit pada sektor pertambangan dan penggalian, 2.560.846 unit pada sektor industri pengolahan, 9.185 unit pada sektor listrik, gas dan air bersih, 170.359 unit pada sektor bangunan, 8.456 unit pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, 2.963.768 unit pada sektor pengangkutan dan komunikasi, 29.508 unit pada sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan, dan 3.021.955 unit pada sektor jasajasa. Industri tempe termasuk dalam kategori industri pengolahan non migas. Data jumlah industri kecil berdasarkan sektor

ekonomi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 - 2004

Sektor Tahun 1999 Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003

Pertanian, peternakan

dan perikanan 23.174.579 23.516.865 24.012.534 24.619.874 24.735.693

Pertambangan, dan

Panggalian 132.617 150.495 199.382 285.752 379.141

Industri, pengolahan 2.526.163 2.536.886 2.551.347 2.556.693 2.560.846

Listrik,gas dan air

bersih 4.492 3.868 4.372 8.099 9.185

Bangunan 102.332 120.750 111.033 187.360 170.359

Perdagangan,hotel

dan restoran 8.688.215 8.675.045 8.477.380 8.466.650 8.456.064

Pengangkutan dan

komunikasi 1.707.762 1.868.081 1.779.150 2.295.984 2.963.768

Keuangan, perusahaan perseroan, dan jasa

24.143 25.034 25.667 27.392 29.508

Jasa-jasa 1.499.206 1.699.416 1.692.876 2.258.472 3.021.955

Jumlah 37.859.509 38.669.355 38..853.741 40.705.676 42.326.519

(30)

2.4.2 Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor

Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang jumlahnya sulit diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang mendaftarkan usahanya ke Departemen Perindustrian. Akan tetapi kebanyakan industri tempe tercatat dalam keanggotaan KOPTI. Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI Kabupaten Bogor tahun 2012 terdapat 1.373 penggrajin tempe yang tersebar di seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor.

Sedangkan di wilayah kotamadya terdapat 165 pengrajin tempe. Berbeda dengan Kabupaten Bogor, kotamadya Bogor mengalami penurunan jumlah pengrajin tempe sebesar 50%. Penurunan ini terjadi karena beberapa wilayah pelayanan yang dulu tergabung dalam KOPTI kotamadya Bogor sekarang berpindah ke KOPTI daerah masing-masing seperti Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Pengrajin tempe di Kabupaten Bogor tersebar kedalam 22 wilayah pelayanan. Setiap wilayah pelayanan dikepalai oleh seorang Kepala Wilayah Pelayanan (KWP) yang ditetapkan dari KOPTI. Wilayah pelayanan kedelai di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor

No. Penyebaran Wilayah Jumlah Anggota

1. Ciseeng 101

(31)

2.5 Pendapatan

2.5.1 Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya)

Salah satu cara untuk mengukur manfaat pola kemitraan dibandingkan dengan pola mandiri pada usaha tempe adalah dengan melihat perbedaan pendapatan yang di hasilakan dari penjualan tempe per kilo gram bahan baku kedelai. Pendapatan merupakan selisih dari nilai penerimaan terhadap nilai pengeluaran (biaya). Terdapat dua tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan suatu unit usaha. Analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur kegiatan usaha pada saat ini berhasil atau tidak.

Penerimaan perusahaan bersumber dari pemasaran atau penjualan hasil usaha, seperti panen tanaman dan barang olahannya serta panen dari peternakan dan barang olahannya. Penerimaan bisa juga bersumber dari pembayaran-pembayaran tagihan, bunga, dividen, pembayara dari pemerintah dan semua sumber lainnya yang menambah aset perusahaan. Semua hasil agribisnis yang dipakai untuk dikonsumsi keluarga pun harus dihitung dan dimasukkan sebagai penerimaan perusahaan walaupun akhirnya dipakai pemeilik perusahaan secara pribadi (Kadarsan, 1995).

Hanafie (2010) menerangkan bahwa pendapatan terbagi menjadi dua yaitu pendapatan tunai dan pendapatan non tunai. Pendapatan tunai adalah pendapatan yang terhitung dari hasil perusahaan secara tunai. Contohnya adalah hasil penjualan tempe dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksinya. Pendapatan non tunai adalah pendapatan yang tidak terhitung dari hasil perusahaan tidak tunai tetapi termasuk pendapatan. Contohnya adalah tempe hasil produksi yang dikonsumsi sendiri.

(32)

2.5.2 Pendapatan Usaha

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total perusahaan dengan pengeluaran. Penerimaan tersebut bersumber dari hasil pemasaran atau penjualan hasil usaha, sedangkan pengeluaran merupakan total biaya yang digunakan selama proses produksi (Kadarsan, 1995).

Usaha tani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usahatani merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut, sedangkan pengeluaran total usahatani merupakan semua nilai yang dikeluarkan dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut dengan pendapatan (Nicholson, 1995). Formulasi pendapatan usahatani yang lebih jelas, dapat dilihat sebagai berikut :

π = TR – TC

π = (Py · Y) – (Px · X) ... (2.1)

Keterangan:

π : Tingkat pendapatan usaha tempe (Rp) TR : Total penerimaan usaha tempe (Rp) TC : Total pengeluaran usaha tempe (Rp) Py : Harga output tempe (Rp)

Y : Jumlah output tempe (ton) Px : Harga input tempe (Rp)

X : Jumlah input (kg,liter, liter, HOK)

2.6 Struktur Biaya

(33)

Besar kecilnya biaya yang berupa uang tunai ini sangat mempengaruhi pengembangan usaha tempe. Terbatasnya uang tunai yang dimiliki pengusaha tempe sangat menentukan berhasil tidaknya perkembangan usaha tempe.

Dalam jangka pendek, biaya produksi dikelompokkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah semua jenis biaya yang nilainya tidak tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi, sehingga jumlah biaya tetap adalah konstan. Contoh biaya tetap adalah lahan pabrik, drum, kompor gas, dan tempat pematangan tempe. Biaya variabel adalah semua jenis biaya yang nilainya tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi. Contoh biaya tidak tetap adalah biaya-biaya untuk pembelian kedelai, ragi, plastik, gas, air, dan upah pekerja. Jumlah biaya variabel sama dengan jumlah faktor produksi variabel dikalikan dengan biaya faktor produksi.

2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu

(34)

Tabel 5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu

No Nama

Penulis Judul Skripsi HASIL

1. Sari skala besar dan kecil mempunyai nilai R/C rasio yang positif.

2) Output tempe pada skala besar lebih responsif terhadap perubahan pemakaian faktor-faktor produksi kedelai, ragi, tenaga kerja, dan plastik dibandingkan pada skala kecil.

3) Penggunaan faktor-faktor produksi pada industri tempe belum efisien karena nilai perbandingan rasio nilai produk marginal (NPM) dengan biaya korbanan marginal (BKM) tidak sama dengan satu.

2. Latifah mengalami penurunan sebesar 12.9 persen

2) Penggunaan faktor-faktor dalam

memproduksi tempe belum efisien baik sebelum kenaikan BBM maupun setelah kenaikan BBM kecuali bahan baku kedelai.

3. Purnama bahwa jumlah nilai-nilai elastisitas dari parameter penjelas adalah sebesar 0.801 yang berarti produksi tahu berada pada skala kenaikan hasil yang menurun (decreasing return to scale).

2) Rasio NPM dan BKM faktor produksi kedelai dan tenaga kerja bernilai lebih dari satu yang berarti faktor-faktor produksi belum efisien dan perlu penambahan pemakaian faktor produksi untuk mencapai dan status kepemilikan lahan sebagian besar 0.11-0.3 ha per usahatani dan memiliki lahan dan menyewa sebesar 40 persen petani, sedangkan non anggota kelompok tani memiliki lahan sebagian besar 0.01-0.1 ha dan status kepemilikan lahannya 50 persen petani milik lahan sendiri dan 40 persen menyewa.

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi kangkung untuk anggota

(35)

3) Pendapatan usahatani bagi anggota kelompok tani sebesar Rp 698 615.42 per hektar usahatani bagi non anggota pendapatan usahatani sebesar Rp 3 870 441.41 per hektar.

1) Usaha kecil tempe anggota dan non anggota KOPTI yang memiliki pendapatan yang berbeda tergantung dari kualitas bahan baku kedelai yang digunakan yaitu kedelai tipe A dan tipe B.

2) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha

kecil tempe anggota KOPTI yang

berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi tempe yaitu kedelai, dan tenaga kerja, untuk usaha kecil tempe non anggota penggunaan faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi tempe yaitu kedelai, dan ragi.

(36)

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional

Usaha tempe merupakan salah satu usaha yang banyak dilakukan oleh masyarakat baik skala kecil (rumah tangga) maupun skala besar industri yang fokus dalam memproduksi tempe. Salah satu upaya pemerintah untuk mengembangkan usaha tempe yang ada di Indonesia adalah dengan mengeluarkan program Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI). Lembaga ini bertujuan membantu pengusaha tempe yang ada di seluruh Indonesia agar mampu menghasilkan produk tempe yang baik secara kualitas dan optimal secara kuantitas. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri yang berada di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, dilihat dari sudut pandang karakteristik pengusaha, faktor yang mempengaruhi hasil produksi, serta perbandingan biaya dan pendapatan antara pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri.

(37)

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional

Kenaikan Populasi

Perbandingan Struktur Biaya dan Pendapatan Industri Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri

Tingginya angka konsumsi tempe di

(38)

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa daerah ini terdapat sentra industri tempe yang terdapat wadah kerjasama dengan KOPTI. Pengumpulan data primer di lapangan dilaksanakan bulan November 2013.

4.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dimana peneliti mengambil data penelitian pada beberapa responden/sample yang mewakili populasi. Data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode observasi langsung ke lokasi penelitian dengan melakukan wawancara kepada para pengusaha tempe anggota KOPTI (Pengusaha Pola Kemitraan) dan Pengusaha non anggota KOPTI (Pengusaha Pola Mandiri). Wawancara tersebut dibantu dengan daftar-daftar pertanyaan berupa kuesioner tentang penelitian terkait.

4.3 Jenis dan Sumber Data

(39)

4.4 Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel

Penentuan jumlah responden pada penelitian ini adalah dengan cara menggunakan sensus karena total jumlah pengusaha hanya 22 pengusaha. Total 22 pengusaha tempe tersebut adalah dari dua pola pengusaha tempe, yaitu dari pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Penggunaan metode sensus ini berlaku jika anggota populasi relatif kecil (Usman, 2009).

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Minitab 15, dan program Microsoft Office Excel 2010. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Matriks metode analisis data

No. Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

1 Mengidentifikasi karakteristik

pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan

(40)

dikeluarkan adalah biaya tempat, serta alat-alat untuk pengolahan dan fermentasi tempe, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan baku kedelai, ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja keluarga serta tenaga kerja luar keluarga. Biaya tidak tunai merupakan biaya yang tidak dikeluarkan secara tunai, namun diperhitungkan dalam usaha tempe. Biaya tidak tunai yang diperhitungkan terdiri dari biaya-biaya penyusutan, seperti biaya penyusutan tempat, peralatan, dan tenaga kerja dalam keluarga.

4.5.2 Fungsi Produksi

Menurut Kaunang (2006) Suatu kegiatan yang mengolah atau mengubah suatu bentuk barang menjadi bentuk yang lainnya, dikatakan sebagai kegiatan produksi. Barang-barang yang digunakan untuk memproduksi bentuk barang yang lain disebut sebagai input produksi, sedangkan barang-barang yang dihasilkan dari aktivitas produksi disebut sebagai output produksi (Hidayat, 2013). Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan teknis antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) yang digunakan untuk melakukan produksi. Dikenal juga dengan istilah Factor Relationship (FR). Dalam bentuk matematika sederhana, hubungan ini dituliskan sebagai berikut:

Y = f(x1, x2, x3, x4,) ... (4.1)

Keterangan:

Y : Hasil produksi tempe (kg) x1 : Kedelai (kg)

x2 : Ragi (kg)

x3 : Air (liter)

x4 : Tenaga Kerja (HOK)

Berdasarkan persamaan tersebut, pengusaha dapat melakukan tindakan yang dapat meningkatkan produksi (Y) dengan dua cara, yaitu:

1. Menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan.

(41)

4.5.3 Konsep Produktivitas

Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output

terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan

output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan. Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen dari usaha produktivitas.3

Y*

= ...

(4.2) Keterangan:

Y* : Produktivitas tempe siap jual (kg/kedelai) Y : Total produksi tempe (kg)

L : Penggunaan kedelai (kg)

4.5.4 Fungsi Cobb-Douglas

Manurut Soekartawi (2002) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas atau

independent variable dan variabel tak bebas atau dependent variable). Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut.

Y = a X1b1X2b2X3b3X4

b1-b4 : Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas

X1 : Kedelai (kg)

Untuk menaksir parameter-parameter pada persamaan (4.3) diatas, persamaan tersebut harus ditransformasikan dalam bentuk double logaritme

3

http://file2shared.wordpress.com/analisis_produktivitas/ (diakses pada tanggal 1 maret 2012)

(42)

natural (ln) sehingga merupakan bentuk linear berganda (multiple linear) yang kemudian dianalisi dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square).

Manurut Juanda (2009) model regresi berganda merupakan salah satu model yang terdapat dalam ilmu ekonometrika. Model ini mambahas asumsi bahwa peubah tak bebas atau (dependen) Y merupakan fungsi linear dari beberapa peubah bebas (independen) X1, X2, …, Xn, dan komponen sisaan ε (error). Model

akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Sesudah melakukan pendugaan parameter koefisien regresi, kesesuaian model dengan kriteria statistik dapat dilakukan dengan melihat hasil uji F, uji t, dan koefisien determinan (R2). Berdasarkan persamaan (4.3) diatas, dapat diperoleh fungsi linear berganda sebagai berikut:

Ln Y = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + ε ... (4.4)

Keterangan:

Y : Produksi Tempe (kg) a : Intercept/konstanta

b1-b4 : Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas

X1 : Kedelai (kg)

X2 : Ragi (gram, kg)

X3 : Air (liter)

X4 : Tenaga Kerja (HOK)

ε : Kesalahan (error)

Menurut persamaan (4.4) diatas menunjukkan bahwa nilai b1, b2, b3, dan

b4 memiliki nilai tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal

ini dapat dimengerti karena b1, b2, b3, dan b4 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus

menunjukkan elastisitas variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya dalam model tersebut.

4.5.5 Pengujian Parameter

(43)

variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas. Setelah melakukan pendugaan parameter koefisien regresi, selanjutnya harus diuji terlebih dahulu asumsi-asumsi dari model regresi tersebut sebelum melakukan pengujian model secara keseluruhan (uji-F) dan pengujian mengenai masing-masing koefisien regresi (uji-t) (Sapta, 2009).

4.5.6 Uji Koefisien Determinasi

Dalam hal hubungan dua atau lebih variabel, koefisien determinasi (r2) mengukur tingkat ketepatan/kecocokan (goodness of fit) dari regresi linear sederhana, yaitu merupakan presentase sumbangan X terhadap variasi (naik-turunnya) Y. Pengertian tersebut dapat diperluas untuk regresi linear berganda. Pada regresi linera berganda, besarnya persentase sumbangan X terhadap variasi Y disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation) dengan simbol R2 (Firdaus, 2004).

Seperti halnya r2 maka R2nilainya antara nol dan satu: 0 ≤ R2≤ 1.

4.5.7 Uji Statistik F

Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (independen) secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya (dependen). Formula pengujiannya adalah sebagai berikut:

H0: β1= β2= β3= …. = βk = 0

H1: β1= β2= β3= …. = βk≠ 0

Fhit = ... (4.6)

Keterangan:

KTR : Kuadrat tengah regresi KTG : Kuadrat tengah galat

 Jika F < Fhit Tabel, maka H0 diterima, artinya variabel bebas secara serentak

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. Jumlah Kuadrat Regresi (JKR)

Jumlah Kuadrat Total (JKT)

R2 = ... (4.5)

(44)

 Jika F > Fhit Tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel bebas secara serentak

berpengaruh nyata terhapad variabel tidak bebasnya.

4.5.8 Uji Statistik t

Tujuan dari melakukan Uji statistik t adalah untuk mengetahui seberapa besar masing-masing variable bebas (independen) mempengaruhi variable tak bebasnya (dependen). Prosedur cara pengujiannya adalah sebagai berikut:

Nilai t-hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan t Tabel. Jika t < - tα/2 atau t > tα/2, tolak H0. Jika - tα/2≤ t ≤ tα/2, terima H0, dengan asumsi:

H0: βi = 0, artinya variabel bebas (independen) tidak berpengaruh nyata terhadap

variable tak bebasnya (dependen).

H1 : βi ≠ 0, artinya variabel bebas (independen) berpengaruh nyata terhadap

variable tak bebasnya.

4.5.9 Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity)

Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas (independen) dalam model tersebut. Jika hubungan tersebut ada, maka dapat dikatakan bahwa dalam model tersebut terdapat multikolinearitas. Deteksi adanya multikolinearitas dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membadingkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas (r2). Kolinear ganda dapat dianggap tidak masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan. Namun multikolinearitas dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan (Juanda, 2009).

b - B Se(b)

thitung = ... (4.7)

... (4.8) 1

(45)

Keterangan :

VIF : Variance Inflation Factor

Rj2 : Koefisien determinasi

Masalah multicollinearity juga dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana jika nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity.

4.5.10 Uji Heteroskedastisitas

Menurut Supranto (2004) salah satu asumsi yang penting dalam model regresi linear klasik adalah bahwa kesalahan pengganggu εi mempunyai varian

yang sama, artinya Var (εi) = E(εi2) = σ2 untuk semua i, i = 1, 2, …n. Asumsi ini

disebut sebagai homoskedastisitas (homoscedastic). Menurut Firdaus (2004) model yang tidak memenuhi asumsi tersebut dapat dikatakan memiliki penyimpangan. Penyimpangan terhadap faktor pengganggu sedemikian itu disebut dengan heteroskedastisitas (heteroscedasticity), dapat dilihat statistik ujinya adalah sebagai berikut :

Fhit = ... (4.9)

Keterangan:

 Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh pertama dikonotasikan (JKR1).

 Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh kedua dikonotasikan (JKR2) Jika tidak ada masalah heteroskedastisitas maka nilai F-hitung akan menuju 1. Masalah heteroskedastisitas masih dapat ditolerir jika F-hitung < F table dengan derajat bebas v1 = v2 = (n-c-2k)/2 dimana n adalah jumlah contoh, c adalah jumlah contoh pemisah, dan k adalah jumlah parameter yang diduga.

4.5.11 Analisis Pendapatan

Nicholson (1995) menyatakan bahwa usaha adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usaha merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut. Sedangkan pengeluaran total usaha merupakan semua nilai yang dikeluarkan

(46)

dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut dengan pendapatan. Secara matematis formulasi pendapatan usahatani dapat dilihat sebagai berikut.

π = TR - TC = (Py · Y) – (Px · X) ... (4.10)

Keterangan:

π : Tingkat pendapatan usaha (Rp) TR : Total penerimaan usaha (Rp) TC : Total pengeluaran usaha (Rp)

Py : Harga persatuan produksi tempe (Rp)

Y : Jumlah produksi tempe (kg) Px : Harga input (Rp)

X : Jumlah input (kg, kg, liter, HOK)

Analisis ini meliputi komponen penerimaan dan biaya yang digunakan untuk menganalisis pendapatan yang diperoleh pengusaha tempe. Analisis pendapatan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total (TR) dengan biaya total (TC). Menurut Soekartawi (1995) rumus yang digunakan untuk menganaisis pendapatan adalah sebagai berikut :

total ∑ tidak tunai + ∑ tunai tidak tunai

tunai

Dimana,

(47)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Profil Desa Cimanggu I

Desa Cimanggu I adalah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Desa yang terdiri dari tiga Dusun dan sembilan Rukun Warga ini, terbagi atas empat Kampung yaitu Cimanggu, Ciaruteun, Bojong Galeuh, dan Jatake, dipimpin oleh Kepala Desa Bapak Hamdani dengan dibantu seorang Sekretaris Desa Bapak Noerhasan. Luas wilayah Desa Cimanggu I mencapai 170 Ha yang terbagi menjadi 3 wilayah Kekadusan, yaitu: Kadus I, II dan III, Adapun batas wilayah Desa Cimanggu I adalah :

 Sebelah Utara : Desa Cijujung

 Sebelah Selatan : Desa Cimanggu II

 Sebelah Barat : Desa Leuweung Kolot

 Sebelah Timur : Desa Cimanggu II

Pada umumnya wilayah Desa Cimanggu I berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (dpl), Desa Cimanggu I berada di ketinggian antara 460 m dpl. Seperti halnya dengan daerah lain yang terdapat di Jawa Barat, wilayah Desa Cimanggu I juga beriklim tropis yang ditandai dengan dua musim, yaitu musim panas dan musim penghujan. Musim penghujan berlangsung antara bulan Oktober-Pebruari, dengan tingkat curah hujan rata-rata berkisar 1000 hingga 2000 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 100 – 200 hari/tahun. Sedangkan musim panas atau kemarau berlangsung antara bulan Maret-Agustus. Suhu udara di Desa Cimanggu I pada pagi hari berkisar antara 18 – 23 C, sedangkan pada siang hari suhu udara berkisar antara 27 – 35 C, dengan kelembaban udara rata-rata 80%. Desa Cimanggu I dilalui 1 (Satu) buah sungai besar, yaitu Sungai Ciaruteun dengan arah aliran menuju ke utara dan bermuara di Sungai Cisadane.

(48)

terbagun (fasilitas pertokoan, peribadatan dan pendidikan) yang berada di sekitar Jalan Ciaruteun Gardu Seri-Jatake Desa CimangguI.

Sebaran penduduk merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan kemajuan suatu wilayah. Desa Cimanggu I, sebaran penduduk paling besar berada di Kekadusan I (Satu) Hal ini disebabkan karena di kawasan tersebut, telah terdapat beberapa sarana dan prasana yang memadai. Jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan Profil Desa pada tahun 2011 setelah terjadinya pemekaran Desa sebesar 9.523 Jiwa (perempuan sebesar 4.720 jiwa dan laki-laki sebesar 4.803 jiwa) Dengan Jumlah KK sebesar 2.550. Kepadatan penduduk di wilayah ini adalah kepadatan kasar (brutto) yang merupakan suatu perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah. Kepadatan penduduk rata-rata di Desa Cimanggu I pada tahun 2011 sebesar 29 jiwa/km.

Kegiatan penduduk di Desa Cimanggu I didominasi oleh Petani sebesar 1.474 jiwa (15%), Buruh Tani sebesar 2521 jiwa (26%) dan Petani Penggarap sebesar 639 jiwa (6%). Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sektor pertanian lebih besar dapat menampung tenaga kerja dan memiliki peluang lebih besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya.Sebaran penduduk Desa CImanggu I berdasarkan matap encaharian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan mata pencaharian

No. Pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)

1 Petani 1474 28

2 Buruh Tani 2521 48

3 PNS 17 1

4 TNI / POLRI 8 6

5 Karyawan Swasta 211 4

6 Pensiunan 7 0

7 Jasa 331 0

8 Tukang 43 1

9 Petani Penggarap 630 12

Jumlah 5242 100

Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)

(49)

SLTP/sederajat sebanyak 129 jiwa, lulusan SLTA/Sederajat sebanyak 109 jiwa, lulusan D-3/S1 sebanyak 25 jiwa Jika dilihat dari tingkat pendidikan tersebut, masyarakat Desa Cimanggu I pada umumnya lebih dapat memiliki peluang untuk dapat bekerja pada sektor-sektor strategis. Namun dengan keterbatasan peluang kerja dan minimnya lapangan pekerjaan, maka sebagian penduduknya lebih dapat hanya sebagai buruh tani, petani maupun pedagang. Namun perlu di perhatikan juga, dimana angka Buta Huruf pada saat ini masih cukup besar sebanyak 564 jiwa dan tidak tamat sekolah sebesar 878 jiwa. Sebaran penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan mata tingkat pendidikan

No. Pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)

1 Buta Huruf 564 32

2 Tidak Tamat SD 878 18

3 Tamat SD / Sederajat 624 35

4 Tamat SLTP / Sederajat 129 7

5 Tamat SLTA / Sederajat 109 6

6 D1 0 0

7 D2 0 0

8 D3 11 1

9 S1 17 1

10 S2 0 0

11 Doktor 0 0

Jumlah 2332 100

Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)

(50)

HASIL DAN PEMBAHSAN

6.1 Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri

Identifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usaha tempe, dan karakteristik pemasaran. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perbedaan sesial ekoomi, usaha tempe, dan wilayah pemasaran yang dijadikan tempat penjualan hasil produksi tempe.

6.1.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan

Pola Mandiri

Pengusaha responden dalam penelitian ini yaitu pengusaha tempe yang tergabung dalam anggota kemitraan KOPTI dan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Karakteristik sosial ekonomi pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri dapat dianalisis dalam beberapa kriteria yaitu meliputi usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan pengusaha tempe, dan pengalaman usaha tempe.

6.1.1.1 Usia

(51)

Tabel 9 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan sebaran usia

Sebaran Usia Pola Kemitraan Pola Mandiri

Jumlah Presentase (%) Jumlah Presentase (%)

20-25 1 8 0 0

25-30 0 0 0 0

30-35 1 8 2 20

35-40 3 25 1 10

40-50 7 59 7 70

Jumlah 12 100 10 100

Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa sebaran usia pengusaha tempe pola kemitraan Desa Cimanggu I cukup bervariasi dengan selang usia antara 20-50 tahun. Begitupun dengan sebaran usia pengusaha tempe pola mandiri , petani yang memiliki usia paling muda adalah berumur 20-25 tahun dan usia paling tua adalah berumur 40-50 tahun. Sebaran usia pengusaha tempe pola kemitraan Desa Cimanggu I dengan persentase terbesar berada pada range usia 40-50 tahun dengan nilai 59%, sedangkan persentase terendah berada pada range usia 20-30 tahun dengan nilai persentase 8%. Hal ini dikarenakan beberapa dari warga Desa Cimanggu I menjadikan sektor usaha tempe bukan sebagai mata pencaharian pokok di usia produktif mereka, sehingga di usia produktif mereka lebih memilih sektor usaha lain ketimbang menggeluti usaha tempe yang turun temurun.

Sedangkan pengusaha tempe pola Mandiri memiliki sebaran usia pengusaha tempe tertinggi pada range usia 40-50 tahun dengan nilai persentase sebesar 70%. Sedangkan sebaran usia terendah berada pada range usia 20-30 tahun dengan nilai sebesar 0%. Hal ini dikarenakan warga Desa Cimanggu I pada usia produktif tidak memilih menjadikan usaha tempe sebagai pencaharian utama sehingga jumlah pengusaha tempe yang relatif muda jarang ada yang menekuni usaha tempe ini. Hal lain adalah ingin berusaha memperbaiki kehidupan dengan sektor usaha berbeda yang lebih baik dari usaha keluarga saat ini.

6.1.1.2 Tingkat Pendidikan

(52)

pendidikan formal, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Akhir (SMA), hingga tingkat Perguruan Tinggi (PT). Sebaran pengusaha tempe responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan tingkat pendidikan

Status Pendidikan Pola Kemitraan Pola Mandiri

Jumlah Presentase (%) Jumlah Presentase (%)

Tidak tamat SD 1 8 0 0

SD 6 50 7 70

SMP 5 42 3 30

SMA 0 0 0 0

Jumlah 12 100 10 100

Berdasarkan data pada Tabel 10 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan yang ditempuh oleh pengusah tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I. Persentase tertinggi sebanyak 50% dari total pengusaha tempe pola kemitraan Desa Cimanggu I merupakan pengusaha dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Sedangkan persentase terendah sebesar 0% dari total petani responden merupakan petani dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal yang hampir sama terjadi pada pengusaha tempe pola mandiri, petani dengan tingkat pendidikan terakhir SD menjadi persentase tertinggi yaitu sebesar 70%. Sedangkan persentase terendah yaitu petani dengan tingkat pendidikan terakhir SMA dan Tidak Tamat SD dengan nilai masing-masing sebesar 0%.

Pola pendidikan yang dijalani oleh pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I sangat rendah, sehingga banyak dari masyarakat Desa Cimanggu I hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SD. Hal ini mengakibatkan tingkat penyerapan teknologi dalam mengembangkan usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri sangat rendah.

6.1.1.3 Pengalaman Usaha Tempe

Gambar

Tabel 2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di Indonesia tahu 2008-
Tabel 3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 - 2004
Tabel 4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor
Tabel 5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Paktor- Faktor Produksi Usahatani Jamur Tiram Putih ( Studi Kasus di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor,