• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hormon Kortisol dan Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hormon Kortisol dan Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK

KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG

DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM

PENYEMBELIHAN

ANIS TRISNA FITRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Hormon Kortisol dan Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ANIS TRISNA FITRIANTI. Analisis Hormon Kortisol dan Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan HADRI LATIF.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dan membandingkan respon stres pada sapi melalui pengukuran konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi yang disembelih di rumah potong hewan (RPH) dengan metode pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Tujuan lainnya yaitu untuk mengetahui pengaruh perlakuan prapenyembelihan terhadap konsentrasi hormon kortisol. Penelitian ini menggunakan 50 ekor sapi potong Brahman Cross (BX) jantan yang telah dikastrasi (steer) yang dibagi menjadi dua kelompok, 25 ekor sapi yang disembelih dengan metode pemingsanan menggunakan captive bold stun gun nonpenetratif dan 25 ekor sapi yang disembelih tanpa pemingsanan dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Penilaian perlakuan prapenyembelihan dilakukan dengan menggunakan checklist. Pengukuran konsentrasi hormon kortisol di dalam serum darah sapi dilakukan dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

Hasil pengujian ELISA pada penelitian ini menunjukkan rata-rata konsentrasi hormon kortisol pada penyembelihan dengan pemingsanan sebesar 38.06+14.85 ng/ml sedangkan rata-rata konsentrasi hormon kortisol pada penyembelihan tanpa pemingsanan sebesar 34.00+15.30 ng/ml. Tidak terdapat perbedaan konsentrasi hormon kortisol secara nyata pada sampel yang berasal dari metode penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan. Penilaian terhadap perlakuan prapenyembelihan menunjukkan bahwa konsentrasi hormon kortisol secara signifikan lebih rendah pada sapi dengan perlakuan yang baik (26.48+8.81 ng/ml) dibandingkan dengan perlakuan yang sedang (48.57+11.86 ng/ml) dan yang buruk (55.22+6.25 ng/ml). Respon stres pada sapi tidak dipengaruhi oleh metode penyembelihan dengan atau tanpa pemingsanan, namun lebih dipengaruhi oleh penanganan sapi sebelum disembelih (perlakuan prapenyembelihan).

(5)

SUMMARY

ANIS TRISNA FITRIANTI. Analysis of Cortisol Hormone and Implementation of Animal Welfare Aspects in Cattle which were Slaughtered With and Without Stunning. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and HADRI LATIF.

The study was conducted to compare the response of stress in cattle through measuring serum cortisol hormone concentration which were slaughtered at the abattoirs with and without stunning. The other purpose was to know the influence of preslaughter treatment toward concentration of cortisol hormone. Fifty steers Brahman Cross (BX) were divided into two groups, 25 head of cattle using nonpenetrative captive bold stun gun and 25 head of cattle without stunning using restraining box Mark IV. Preslaughter treatment assessment was conducted using checklist. Measurement of the cortisol hormone concentration in the cattle serum by enzyme-linked immunosorbent assay(ELISA).

The results showed that the average concentration of the cortisol hormone at slaughter with stunning and without stunning were 38.06+14.85 ng/ml and 34.00+15.30 ng/ml, respectively. There was no difference significantly in cortisol levels derived from the method of slaughter with and without stunning. Assessment toward preslaughter treatment showed that the cortisol hormone concentration was significantly lower in the steer which was handled with good treatment (26.48+8.81 ng/ml) than middle treatment (48.57+11.86 ng/ml) and bad treatment (55.22+6.25 ng/ml). The response of stress in cattle was not influenced by the method of slaughter with and without stunning, but more influenced by the handling of cattle before slaughter (preslaughter).

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK

KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG

DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM

PENYEMBELIHAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Hormon Kortisol dan Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan

Nama : Anis Trisna Fitrianti NIM : B251120101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Drh Trioso Purnawarman, M Si Ketua

Dr med vet Drh Hadri Latif, M Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, M Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M Sc Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dalam segi materi, tata bahasa maupun dalam memberikan deskripsi. Selama pengerjaan tesis ini, penulis mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak dalam penyempurnaan tulisan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan magister di IPB. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Trioso Purnawarman, M Si dan Bapak Dr med vet Drh Hadri Latif, M Si selaku komisi pembimbing atas segala waktu yang diberikan selama pembimbingan, saran, dan arahan dalam pelaksanaan serta penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, M Si selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) dan seluruh staf pengajar di Program Studi KMV.

Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para Kepala RPH beserta jajarannya dan Laboratorium unit rehabilitasi reproduksi (URR) FKH IPB dimana penulis melakukan penelitian atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian. Terima kasih kepada Bapak Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca Panen beserta seluruh staf yang telah memberikan dukungan selama penulis menempuh studi. Terima kasih kepada Drh Andriyanto, M Si atas bantuannya selama ini. Kepada seluruh rekan-rekan seperjuangan KMV 2012, rekan-rekan-rekan-rekan seangkatan tugas belajar dari Ditjen PKH, rekan satu tim penelitian serta mahasiswa mayor KMV dan mayor lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih banyak atas bantuan, kebersamaan, dan kekompakannya selama ini.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu dan Bapak tercinta, keluarga besar H. Sutrisno dan Hadi Tanaya atas iringan doanya. Terima kasih untuk suami tercinta Harsana dan ananda Nayla Khoirunisa atas segala dukungan, doa, pengertian, kesabaran, dan kasih sayangnya.

(11)

DAFTAR ISI

Aspek Kesejahteraan Hewan pada Penanganan Prapenyembelihan 3

Penyembelihan Hewan 5

Pemingsanan Sebelum Penyembelihan dengan Captive Bold Stun Gun

Nonpenetratif 5

Penyembelihan Tanpa Pemingsanan dengan Pengekangan

Menggunakan Restraining Box Mark IV 7

Pengaruh Stres terhadap Hormon Kortisol 9

Metode Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol 10

3 METODE 11

Waktu dan Tempat Penelitian 11

Alat dan Bahan Penelitian 11

Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel 11

Pengambilan Serum Darah Sapi 12

Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol dengan ELISA 133

Penilaian Perlakuan Prapenyembelihan 13

Analisis Data 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol dengan ELISA 14 Konsentrasi Hormon Kortisol dalam Serum Darah Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan 15 Penilaian Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Perlakuan

Prapenyembelihan 16

Perbedaan Konsentrasi Kortisol dengan Perlakuan Prapenyembelihan 19

5 SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

(12)

DAFTAR TABEL

1 Konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi pada penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan ... 15 2 Perbedaan konsentrasi hormon kortisol dengan perlakuan

prapenyembelihan... 20

DAFTAR GAMBAR

1 Captive bold stun gun nonpenetratif. Gambar a yaitu percussive stun gun (mushroom cash magnum) dan Gambar b pneumatic stun gun ... 6 2 Posisi terbaik untuk memingsankan sapi dengan captive bold stun

gun nonpenetratif ... 7 3 Restraining box tipe Mark IV ... 8 4 Tipikal kurva standar kit ELISA untuk pengujian hormon kortisol ... 14 5 Hasil penilaian penerapan aspek kesejahteraan hewan pada

perlakuan prapenyembelihan di RPH dengan pemingsanan (DP) dan tanpa pemingsanan (TP) ... 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pengujian sampel serum darah sapi dari RPH dengan metode pemingsanan (DP) dan tanpa pemingsanan (TP) sebelum penyembelihan ... 27 2 Hasil penilaian penerapan kesejahteraan hewan di RPH pada tahapan

prapenyembelihan... 29 3 Pengujian konsentrasi hormon kortisol pada serum darah sapi

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) telah menjadi ketentuan yang harus diperhatikan dan diterapkan dalam memproduksi pangan asal hewan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, penerapan prinsip kebebasan hewan pada pemotongan harus dilakukan dengan cara tidak menyakiti, tidak mengakibatkan ketakutan dan stres pada saat penanganan hewan sebelum dipotong (Kementan 2012).

Pada bulan Juni tahun 2011, ekspor sapi dari Australia ke Indonesia sempat dihentikan sementara akibat ditemukan adanya tindakan penyiksaan terhadap sapi asal Australia sebelum disembelih di beberapa rumah potong hewan (RPH) di Indonesia. Penanganan hewan tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan hewan di RPH tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE) dan bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH yang merupakan bagian dari penanganan hewan sebelum dipotong dapat memengaruhi kehalalan dan kualitas daging. Penanganan hewan sebelum dipotong memberikan kontribusi terhadap kualitas daging yang dihasilkan di RPH (Colditz et al. 2006; Chulayo et al. 2012). Tingkat stres yang lebih tinggi sebelum penyembelihan dapat mengakibatkan penurunan kualitas daging (Lawrie dan Ledward 2006; Gupta et al. 2007; Muchenje et al. 2008). Selain stres, faktor yang dapat memengaruhi kualitas daging antara lain genotip, transportasi, waktu di kandang penampungan, dan kondisi lingkungan (Küchenmeister et al. 2005). Penanganan hewan yang tepat sebelum pemotongan dapat meningkatkan produktivitas, kualitas, dan profitabilitas daging (Smith dan Grandin 1998).

(14)

2

penggunaan restraining box Mark IV dinilai lebih tepat dan sesuai dengan ketentuan kesejahteraan hewan yang dipersyaratkan oleh OIE (Schipp 2011). Berbagai metode yang digunakan tersebut bertujuan untuk meminimalisasi stres pada sapi dan memudahkan dalam proses penyembelihan. Adzitey (2011) menyebutkan bahwa penanganan hewan yang baik sebelum penyembelihan dilakukan dalam upaya untuk memberikan kenyamanan pada hewan, keselamatan pekerja RPH, dan menjaga kualitas daging.

Peningkatan konsentrasi hormon kortisol merupakan salah satu indikator yang mengindikasikan terjadinya stres pada hewan (Fazio dan Ferlazzo 2003; Bayazit 2009; Adhiarta dan Soetedjo 2009). Menurut Borell (2001), transportasi dan perlakuan sebelum pemotongan dapat menyebabkan tekanan pada hewan dan dapat menimbulkan efek yang mengganggu pada kesehatan dan kesejahteraan hewan. Pengukuran konsentrasi hormon kortisol merupakan metode yang paling umum digunakan untuk mengevaluasi penanganan hewan yang mengakibatkan stres (Grandin 1994; Kannan et al. 2003; Odore et al. 2004; Micera et al. 2007). Munculnya berbagai metode penyembelihan sapi baik dengan maupun tanpa pemingsanan memerlukan kajian ilmiah yang dapat memberikan gambaran tentang metode penyembelihan yang lebih efektif untuk meminimalisasi stres pada sapi dan dapat memberikan ketentraman batin pada masyarakat dengan menjamin penyembelihan secara halal.

Perumusan Masalah

Penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH akan memengaruhi kehalalan dan kualitas daging. Metode penyembelihan sapi baik dengan atau tanpa pemingsanan dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisasi stres pada sapi. Metode penyembelihan sapi dengan pemingsanan dianggap sebagai cara penyembelihan yang sesuai dengan kesejahteraan hewan dan efektif digunakan di RPH yang jumlah pemotongannya banyak. Namun, metode pemingsanan ini banyak menimbulkan keraguan di masyarakat terkait dengan masalah kehalalan. Hal ini karena hasil pemingsanan sapi tidak selalu sesuai dengan yang dipersyaratkan. Adakalanya pemingsanan menyebabkan terjadinya kerusakan berat atau permanen pada otak sapi. Sementara itu, penggunaan metode penyembelihan tanpa pemingsanan diduga tidak dapat meminimalisasi stres pada sapi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pengukuran konsentrasi hormon kortisol untuk mengetahui respon atau tingkat stres pada sapi yang disembelih dengan metode penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan dengan variasi perlakuan prapenyembelihan.

Tujuan Penelitian

(15)

3 mengetahui pengaruh perlakuan prapenyembelihan terhadap konsentrasi hormon kortisol.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai metode penyembelihan di RPH yang dapat meminimalisasi tingkat stres pada sapi.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan selama delapan bulan yaitu pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2014. Lingkup kegiatan dalam penelitian ini meliputi observasi atau pengamatan terkait penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH pada tahapan perlakuan prapenyembelihan dengan menggunakan checklist kemudian memberikan penilaian berdasarkan hasil pengamatan tersebut, menguji kadar hormon kortisol dari sampel serum darah sapi yang telah diperoleh, membandingkan hasil uji hormon kortisol untuk mengetahui tingkat stres pada sapi yang disembelih dengan dan tanpa pemingsanan, dan membandingkan hasil penilaian perlakuan prapenyembelihan dengan hasil uji hormon kortisol.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Aspek Kesejahteraan Hewan di RPH pada Penanganan Prapenyembelihan

Rumah potong hewan (RPH) merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Selain itu RPH juga berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan pemotongan hewan secara benar yaitu sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama. Kesejahteraan hewan (animal welfare) adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia (Kementan 2009).

(16)

4

Penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH terdiri atas beberapa tahapan salah satunya adalah tahapan prapenyembelihan. Menurut Kilgour (1978) dan Adzitey (2011), penanganan hewan sebelum penyembelihan merupakan prosedur yang harus ditekankan dalam proses pemotongan hewan di RPH. Beberapa penanganan prapenyembelihan yang perlu diperhatikan di antaranya adalah pergerakan sapi selama di gangway yaitu sejak dari kandang penampungan menuju ke restraining box, penanganan selama di restraining box sebelum sapi dipingsankan atau disembelih, dan kenyamanan serta tekanan pada sapi selama berada di restraining box. Semua orang yang terlibat dalam penanganan hewan potong memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa hewan tersebut diperlakukan dengan baik dan tidak dalam keadaan stres. Kompetensi serta kemampuan juru sembelih dan pekerja kandang untuk menangani sapi secara efektif dianggap sebagai faktor-faktor yang dapat memengaruhi kesejahteraan hewan, keselamatan pekerja, dan kualitas produk akhir (MLA 2012).

Terkait dengan pergerakan sapi selama di gangway salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan yaitu disain gangway. Bergerak dalam jalur tunggal adalah perilaku alami pada sapi (Grandin 1996). Sapi akan bergerak satu persatu melalui jalur tunggal dalam sistem pengendalian hewan model konveyor yang dirancang dengan baik. Jalur sapi atau gangway yaitu jalur yang dibuat agar sapi berbaris satu-persatu dan harus didisain lurus atau melengkung secara konsisten (MLA 2012). Kesalahan disain pada jalur sapi atau gangway dapat menyebabkan sapi stres. Salah satu kesalahan disain yang paling serius adalah membuat jalur sapi atau gangway yang bersudut tajam sehingga terkesan buntu. Sapi akan bergerak lebih mudah melalui jalur melengkung dibandingkan dengan jalur lurus (Grandin 1993).

Menurut MLA (2012), faktor-faktor lingkungan yang dapat memengaruhi pemindahan hewan termasuk pergerakan sapi selama di gangway yaitu pantulan dari genangan air atau logam, benturan logam, suara bernada tinggi, udara yang bertiup di wajah sapi, pakaian atau kain yang tergantung di jalur ternak, pekerja yang bergerak ke dalam jalur hewan, mencoba untuk memindahkan hewan dari tempat terang ke tempat gelap, jalan buntu, lantai yang tidak rata, dan perubahan pada permukaan lantai.

Prosedur untuk memindahkan hewan tidak boleh terdapat perlakuan yang dapat menyiksa hewan, termasuk didalamnya mencambuk, memelintir ekor, penggunaan penjepit hidung (nose twitches), tekanan pada mata, telinga atau alat kelamin eksternal. Perlakuan lain yang dapat menyebabkan hewan stres yaitu penggunaan galah atau alat bantu lain yang menyebabkan rasa sakit dan tersiksa seperti tongkat besar, tongkat dengan ujung yang tajam, pipa besi panjang, kawat pagar atau sabuk kulit yang berat (OIE 2013).

(17)

5 pengekangan karena tekanan yang berlebihan dapat menyebabkan sapi berontak atau vokalisasi/melenguh (OIE 2013).

Penyembelihan Hewan

Penyembelihan hewan adalah kegiatan mematikan hewan hingga tercapai kematian sempurna dengan cara menyembelih yang mengacu kepada kaidah kesejahteraan hewan dan syariah agama Islam (Kementan 2010). Penyembelihan hewan dapat dilakukan dengan metode pemingsanan (stunning) dan tanpa pemingsanan (nonstunning). Menurut OIE (2013), metode penyembelihan dengan pemingsanan dapat dilakukan dengan metode mekanis, elektrik, dan gas. Metode penyembelihan dengan pemingsanan secara mekanis dilakukan dengan menggunakan captive bolt stun gun, secara elektrik dengan menggunakan aliran listrik yang dialirkan melalui alat penjepit di kepala atau tubuh hewan, dan menggunakan gas CO2 dengan kadar dan waktu tertentu (EFSA 2006). Metode penyembelihan tanpa pemingsanan dilakukan secara langsung dengan memutus pembuluh darah, trakea, dan esofagus tanpa didahului dengan proses pemingsanan. Berbagai metode penyembelihan yang digunakan tersebut harus memperhatikan aspek kesejahteraan hewan.

Pemingsanan terhadap hewan yang akan disembelih dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah penyembelihan dan menghindari hewan stres saat disembelih. Terkait dengan sistem jaminan halal di RPH, syarat pemingsanan menurut LPPOM MUI (2012) yaitu pemingsanan hanya menyebabkan hewan pingsan sementara, tidak menyebabkan hewan mati sebelum disembelih, tidak menyebabkan cedera permanen atau merusak organ hewan yang dipingsankan khususnya sistem saraf pusat, dan tidak menyebabkan hewan kesakitan. Pemerintah telah mengatur bahwa dalam hal pemotongan hewan dengan menggunakan pemingsanan dilarang menggunakan cara yang mengakibatkan hewan menderita, stres, dan/atau mati (Kementan 2012). Pemingsanan sebelum penyembelihan dapat menimbulkan stres jika terjadi ketidaktepatan dalam melakukan pemingsanan, seperti alat pemingsan tidak berfungsi dengan baik dan/atau operator pemingsan (stunner) yang kurang terlatih (Adzitey 2011).

Pemingsanan Sebelum Penyembelihan dengan Captive Bold Stun Gun Nonpenetratif

Pemingsanan dengan menggunakan captive bold stun gun merupakan salah satu metode pemingsanan sebelum penyembelihan sapi secara mekanis yang paling banyak digunakan. Metode captive bold stunning digunakan dengan tujuan untuk meminimalisasi stres pada hewan sebelum disembelih dan untuk mempermudah penyembelihan, sehingga dengan metode ini penyembelihan hewan dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan efisien.

(18)

6

pemingsanan mekanis yang disetujui di Indonesia adalah captive bold stunning nonpenetratif, dapat menggunakan pneumatic stun gun maupun percussive stun gun (mushroom head), serta hanya boleh digunakan pada hewan berukuran besar seperti sapi, kerbau, dan banteng (LPPOM MUI 2012). Gambar 1 menampilkan stun gun yang digunakan di Indonesia pada pemingsanan sapi sebelum penyembelihan.

Metode pemingsanan dapat diterima pada penyembelihan halal jika pemingsanan bersifat reversibel. Otoritas muslim menerima penggunaan captive bold stun gun nonpenetratif karena dianggap bahwa hewan akan menjadi pulih kembali (reversibel) jika dipingsankan dengan teknik ini. Namun, cedera pada kepala hewan yang disebabkan oleh pemingsanan nonpenetratif ini dapat parah yaitu adanya fraktur pada tengkorak yang menyebabkan perdarahan subarachnoid pada otak (AMPC 2011). Menurut Pleiter (2010) ketika dilakukan dengan prosedur yang benar, penggunaan captive bold stun gun nonpenetratif akan menyebabkan ketidaksadaran sama cepat dengan captive bold stun gun penetratif. Apabila parameter kejut yang dilakukan benar, maka kerusakan pada jaringan otak tidak terjadi dan dianggap reversibel. Selanjutnya segera dilakukan penyembelihan dan tidak boleh ditunda lebih lama dari 20 detik.

Suatu pemingsanan yang efektif bergantung antara lain pada pukulan yang diberikan pada lokasi yang tepat di tulang dahi. Dampak maksimal pada otak dapat diperoleh pada posisi yang terbaik yaitu pada titik otak paling dekat dengan permukaan kepala dan titik tulang tengkorak paling tipis. Lokasi yang paling mendekati hal tersebut adalah pada daerah frontal kepala (HSA 2013). Posisi pemukulan yang ideal yaitu pada titik silang di antara garis penglihatan pada dasar tanduk dan mata (Gregory 1998). Menurut HSA (2013), pada pemingsanan dengan menggunakan captive bold stun gun nonpenetratif maka stun gun diposisikan sekitar 20 mm atau 2 cm di atas titik persimpangan dua garis imajiner yang ditarik antara mata dan pusat dasar tanduk yang berlawanan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.

Prosedur pemingsanan dengan metode captive bold stunning nonpenetratif dimulai dengan memindahkan sapi ke dalam restraining box, sapi dipingsankan dalam posisi tegak. Operator pemingsanan harus siap memingsankan sapi segera setelah sapi dipindahkan ke dalam restraining box. Bagian kepala sapi ditahan dan Gambar 1 Captive bold stun gun nonpenetratif. Gambar a yaitu percussive stun gun (mushroom cash magnum) dan Gambar b adalah pneumatic stun gun.

(19)

7 sapi harus segera dipingsankan setelah kepalanya terkekang. Stun gun ditempatkan di posisi yang benar yaitu diposisikan dari sudut kanan kepala sapi. Operator tidak boleh mengejar kepala sapi dengan stun gun. Stun gun hanya boleh digunakan jika sapi menaikkan kepalanya. Setelah stun gun digunakan, operator harus memastikan bahwa sapi telah pingsan sebelum dikeluarkan dari restraining box. Selanjutnya segera dilakukan penyembelihan. Operator RPH harus mengatur interval antara pemingsanan dan penyembelihan (stun stick interval) agar sapi tidak kembali sadar. Waktu antara pemingsanan dan penyembelihan ketika captive bold stun gun nonpenetratif digunakan adalah maksimal 20 detik (OIE 2013).

Penyembelihan Tanpa Pemingsanan dengan Pengekangan Menggunakan Restraining Box Mark IV

Salah satu peralatan yang saat ini banyak digunakan untuk membantu proses penyembelihan sapi tanpa pemingsanan adalah restraining box. Penyembelihan tanpa pemingsanan dapat dilakukan baik di restraining box yang tegak yaitu tipe Mark I atau dalam restraining box yang menahan sapi pada posisi berbaring pada salah satu sisinya yaitu tipe Mark IV. Restraining box adalah sebuah alat fiksasi pada proses pemotongan sapi di RPH yang berfungsi mengendalikan sapi sesaat sebelum penyembelihan. Penggunaan restraining box diharapkan dapat menekan tingkat stres pada sapi sebelum disembelih, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya, seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang padat (MLA 2007). Menurut Grandin (1991), restraining box adalah alat yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar tingkat stres sapi dapat dikurangi. Prinsip dasar penggunaan restraining box ialah menghindarkan sapi dari rasa takut akibat pengaruh lingkungan area penyembelihan. Metode ini efektif untuk menurunkan tingkat stres, terutama untuk sapi yang memiliki agresifitas yang tinggi. Keuntungan lain dari penggunaan restraining box yaitu dapat memudahkan dalam merebahkan sapi tanpa perlakuan kasar.

(20)

8

Restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia menurut Wicaksono (2010) merupakan disain yang dikembangkan oleh Meat and Livestock Australia (MLA) pada tahun 2003 melalui Asosiasi Pengusaha Feedloter Indonesia (APFINDO). Peralatan ini digunakan untuk membantu merebahkan sapi ketika akan disembelih dengan proses kerja tertentu. Menurut MLA (2007), tujuan dari penggunaan restraining box adalah untuk mempercepat proses penyembelihan di RPH, mempermudah pelaksanaan penyembelihan secara halal, meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dari RPH, dan mewujudkan penerapan kesejahteraan hewan pada proses penyembelihan sapi di RPH.

Metode penyembelihan tanpa pemingsanan yang disarankan saat ini yaitu dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Metode ini dikembangkan untuk memfasilitasi penyembelihan dengan lebih meminimalisasi stres jika dipergunakan dengan tepat. Restraining box Mark IVadalah boks atau kotak untuk membatasi gerakan sapi saat akan disembelih yang dimodifikasi dengan bentuk miring, dilengkapi dengan kerangka seperti gunting penjepit untuk menahan hewan sebelum dan pada saat perputaran berlangsung. Ketika boks sudah berputar seluruhnya maka sapi berada pada kemiringan 90 derajat dari sisi vertikal (Jones 2011). Menurut DAFF (2013), penggunaan restraining box Mark IV untuk penyembelihan sapi dianggap paling sesuai dengan persyaratan OIE karena dapat meminimalisasi tingkat stres. Pengekangan dengan boks ini bertujuan agar penyembelihan dapat dilakukan dengan cepat tanpa menyebabkan stres yang tidak semestinya pada sapi. Gambar 3 menampilkan restraining box Mark IV yang digunakan di Indonesia.

Prosedur penyembelihan menggunakan restraining box Mark IV menurut MLA (2012) yaitu pengekangan harus dilakukan segera setelah sapi berada dalam posisinya. Sapi tidak dibiarkan menunggu di perangkat boks. Apabila sapi jatuh di dalam boks maka diberikan waktu berdiri kembali sebelum berusaha mencoba mengekangnya lagi. Setelah sapi berada dalam posisi yang tepat segera diterapkan

(21)

9 penahan samping. Selanjutnya palang penahan diposisikan antara bahu dan pinggul sapi sehingga sapi berada dalam posisi yang benar untuk dilakukan perebahan dan penyembelihan. Penekanan dilakukan dengan tekanan yang cukup untuk menahan hewan secara efektif. Sebelum mekanisme perebahan diaktifkan dipastikan bahwa para pekerja lainnya tidak didalam pandangan visual langsung dari sapi karena hal ini dapat menyebabkan sapi memberontak. Juru sembelih halal harus dalam keadaan siap untuk menyembelih segera setelah sapi terkekang secara efektif.

Pengaruh Stres terhadap Hormon Kortisol

Stres merupakan suatu kondisi pada hewan sebagai akibat dari satu atau lebih sumber stres (stresor) baik dari dalam tubuh hewan itu sendiri ataupun pengaruh dari luar. Transportasi dan perlakuan sebelum pemotongan dapat menyebabkan tekanan pada hewan dan dapat menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan dan kesejahteraan hewan (Borell 2001). Peningkatan konsentrasi hormon kortisol setelah transportasi dapat disebabkan oleh faktor genetik, kecepatan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, dan kualitas serta kuantitas dari stresor(Ladewig 1994).

Tingkat stres dapat dilihat dari beberapa parameter, di antaranya dengan perubahan tingkah laku, perubahan rasio neutrofil:limfosit, serta perubahan kadar hormon kortisol dan hormon tiroid dalam darah. Peningkatan hormon kortisol mengindikasikan terjadinya stres, sedangkan penurunan hormon kortisol menyebabkan terjadinya lemah badan, muntah, hipoglikemia, dan diare (Adhiarta dan Soetedjo 2009).

Kortisol atau glukokortikoid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Respon neuroendokrin terhadap stres terjadi ketika impuls saraf simpatik dari hipotalamus menstimulir medula adrenal. Kelenjar adrenal segera melepaskan katekolamin (epinefrin atau adrenalin dan norepinefrin atau noradrenalin) ke dalam aliran darah. Selanjutnya, hipotalamus menstimulir hipofise anterior untuk melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Peran ACTH terhadap korteks adrenal menyebabkan pelepasan kortisol dan glukokortikoid lainnya. Hormon kortisol ini membantu peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya (Ackerman 1996).

(22)

10

antaranya berperan dalam metabolisme glukosa, regulasi tekanan darah, melepaskan insulin untuk mempertahankan gula darah, sebagai sistem imun, dan respon apabila terjadi peradangan (Scott 2014).

Kadar kortisol pada hewan dengan kondisi normal diatur dan dibatasi oleh sistem feedback negatif pada hipotalamus. Akan tetapi, ketika hewan mengalami stres sistem feedback tidak terjadi. Corticotropic releasing factor (CRF) atau corticotropic relasing hormon (CRH) adalah hormon utama yang mengatur respon hewan terhadap stres. Semua bentuk stres, baik karena fisik, kimia, suhu, mikroba dan faktor lainnya menimbulkan efek mendalam yang menstimulasi hipotalamus mensekresikan CRH. Sekresi CRH yang diinduksi oleh stres dapat meningkatkan kadar kortisol sampai 20 kali lipat. Hal ini menandakan bahwa peningkatan CRH dan kortisol dapat mengesampingkan feedback negatif basal pada hipotalamus dan kelenjar pituitari sepenuhnya serta mengacaukan ritme diurnal dan nokturnal dalam pengaturan kadar kortisol (Martin dan Crump 2003).

(23)

11 radioaktif, label yang stabil sehingga dapat disimpan lebih lama, dan deteksi aktivitas enzim hanya memerlukan alat fotometri (Entwistle dan Ridd 1995).

Metode ELISA dibagi menjadi dua teknik yaitu teknik kompetitif dan nonkompetitif. Pemeriksaan hormon umumnya menggunakan teknik kompetitif. Teknologi ELISA yang digunakan untuk pengujian hormon dalam cairan tubuh adalah sistem competitive enzyme immuno assay yang analog dengan teknik RIA. Uji kompetitif ini berdasarkan pada ikatan spesifik hormon dengan protein (spesifik antibodi). Keseimbangan uji dibentuk antara jumlah hormon yang tidak dilabel dan yang berlabel dengan ikatan protein yang komplek. Proporsi hormon yang dilabel dengan yang tidak dilabel dalam mengikat antibodi, bergantung pada jumlah hormon yang tidak dilabel yang ada dalam pengujian tersebut. Jumlah dari ikatan tersebut menurun seiring dengan meningkatnya jumlah hormon yang tidak dilabel (Squires 2003).

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2014. Observasi perlakuan prapenyembelihan dan pengambilan sampel darah sapi dilakukan di lima RPH di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Pengujian konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan untuk pengambilan serum darah sapi ialah tabung reaksi dan penutupnya, rak, label, pinsil, pipet, tabung eppendorf, sentrifus refrigerator, dan freezer. Alat yang digunakan untuk pengujian ELISA di antaranya ialah mikropipet 20-200 µl dan 200-1000 µl, ELISA reader (Bio-Rad 550), dan kertas penyerap. Alat yang digunakan untuk observasi penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH adalah checklist.

Bahan yang digunakan ialah serum darah sapi dan untuk pengujian ELISA digunakan kit ELISA untuk hormon kortisol (DRG®, Instruments GmbH, Germany).

Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel

(24)

12

numerik tidak berpasangan (Dahlan 2010). Rumus yang digunakan dalam menentukan jumlah sampel ialah:

Keterangan:

n = ukuran sampel

Za = derivat baku alfa = 1.64 (a=0.05) Zb = derivat baku beta = 0.85 (b=0.20) S = simpangan baku

X1 - X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna

Nilai simpangan baku yang digunakan yaitu sebesar 38 ng/ml dengan rerata X1 sebesar 24 ng/ml dan X2 sebesar 51 ng/ml berdasarkan hasil penelitian konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi yang dilakukan oleh Ewbank et al. (1992). Jumlah sampel yang diperoleh berdasarkan perhitungan tersebut yaitu sebanyak 25 sampel untuk masing-masing metode. Sampel darah sapi yang disembelih dengan metode pemingsanan diambil secara acak (random sampling) dari tiga RPH yang melakukan pemingsanan dengan captive bold stun gun nonpenetratif yaitu dengan percussive captive bold stun gun (mushroom cash magnum). Sementara itu, sampel darah sapi yang disembelih tanpa pemingsanan diambil secara acak dari dua RPH yang melakukan metode penyembelihan dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV.Besaran sampel tiap RPH dihitung menurut alokasi proporsional (proportional allocation) dari rata-rata jumlah sapi yang disembelih per hari.

Pada penelitian ini juga dilakukan observasi penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH dengan menggunakan checklist. Penilaian dilakukan pada tahapan prapenyembelihan yaitu meliputi pergerakan sapi selama di gangway yaitu sejak dari kandang penampungan menuju ke restraining box, penanganan selama di restraining box sebelum sapi dipingsankan atau disembelih, dan kenyamanan serta tekanan pada sapi selama berada di restraining box.

Pengambilan Serum Darah Sapi

(25)

13

Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol dengan ELISA

Pengukuran konsentrasi hormon kortisol dalam sampel serum darah sapi dilakukan dengan metode ELISA kompetitif berdasarkan prosedur pemeriksaan dalam kit ELISA untuk hormon kortisol (DRG®, Instruments GmbH, Germany) dan sampel diuji secara duplo.

(26)

14

Gambar 4 Tipikal kurva standar kit ELISA untuk pengujian hormon kortisol prapenyembelihan dianalisis menggunakan one way ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan. Analisis dilakukan dengan perangkat Microsoft Excel dan SPSS 20.0.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Konsentrasi Hormon Kortisol dengan ELISA

Seluruh sampel serum darah sapi dari penyembelihan di RPH dengan metode pemingsananmenggunakan captive bold stun gun dan tanpa pemingsanan dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV diuji secara duplo dengan metode ELISA. Metode pengujian kadar hormon dengan ELISA merupakan metode uji hormon yang sensitif, akurat, relatif murah, dan mudah pengerjaannya (Mahgoub et al. 2006). ELISA yang digunakan adalah ELISA kompetitif, yaitu pengujian berdasarkan pada pengikatan spesifik hormon dengan protein (spesifik antibodi) (Squires 2003).

Hasil pengujian ELISA untuk konsentrasi hormon kortisol dilakukan dengan mengalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva standar uji ELISA. Tipikal kurva standar pengujian hormon kortisol menggunakan metode ELISA dapat dilihat pada Gambar 4. Limit deteksi uji ELISA yang digunakan untuk mendeteksi hormon kortisol pada penelitian ini ialah 11.5 ng/ml. Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah yang dapat dideteksi dari suatu substansi.

(27)

15

Konsentrasi Hormon Kortisol dalam Serum Darah Sapi yang Dipingsankan dan Tidak Dipingsankan Sebelum Penyembelihan

Rata-rata konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi yang disembelih dengan terlebih dahulu dilakukan pemingsanan menggunakan captive bold stun gun ialah sebesar 38.06±14.85 ng/ml. Konsentrasi hormon kortisol pada penyembelihan tanpa pemingsanan dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV menunjukkan nilai rata-rata sebesar 34.00±15.30 ng/ml. Secara lengkap, konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi pada penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi pada penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan

Metode penyembelihan n Konsentrasi hormon kortisol (ng/ml) Rata-rata Minimum Maksimum +sd Dengan pemingsanan

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05).

Hasil analisis rata-rata konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi menggunakan uji t tidak berpasangan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada sampel yang berasal dari metode penyembelihan dengan pemingsanan menggunakan captive bold stun gun dan tanpa pemingsanan dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV. Meskipun rata-rata konsentrasi hormon kortisol dari sampel dengan metode captive bold stunning menunjukkan rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel dari metode restraining box Mark IV.

(28)

16

Data konsentrasi hormon kortisol yang diperoleh dalam penelitian ini sangat bervariasi di antara individu sapi pada masing-masing metode penyembelihan. Selisih dari nilai minimum dan maksimum data konsentrasi hormon kortisol sangat tinggi dengan standar deviasi yang tinggi (Tabel 1). Tingginya standar deviasi dalam penelitian ini menunjukkan adanya tingkat stres yang berbeda pada setiap individu sapi. Faktor yang diduga berpengaruh dalam hal ini adalah respon setiap individu yang berbeda terhadap stresor. Setiap individu sapi memiliki kemampuan adaptasi atau respon yang berbeda terhadap stresor yang ada. Respon terhadap stres bergantung pada kemampuan masing-masing individu ternak untuk beradaptasi melalui mekanisme homeostasis (Soeparno 2005). Perbedaan respon individu dapat dipengaruhi oleh ras sapi (Hollenbeck et al. 2002), perbedaan waktu istirahat dan jenis kelamin (Sarmin et al. 2014), serta perbedaan umur sapi (Astuti et al. 2014a).

Sapi yang menunjukkan perilaku yang agresif umumnya memiliki tingkat kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang tenang (Grandin 1994; Grandin 2000). Lama et al. (2011) menyebutkan bahwa spesies individu yang berasal dari bangsa dan kondisi lingkungan yang sama dapat memiliki variasi perilaku yang tinggi. Penelitian McEwen et al. (1997) menunjukkan bahwa kemampuan hewan untuk menanggapi suatu keadaan sebagai situasi yang membuat stres tergantung pada pengalaman-pengalaman yang dirasakan sebelumnya dan riwayat dari adaptasinya terhadap situasi tersebut. Kombinasi dari kedua hal ini dapat membuat hewan peka atau terlindungi dari perubahan tertentu.

Metode penyembelihan dengan pemingsanan menggunakan captive bold stun gun dilakukan dengan cara dan peralatan yang seragam serta oleh operator pemingsanan yang sama dalam satu periode pemotongan sapi. Begitu juga dengan metode penyembelihan tanpa pemingsanan dengan pengekangan menggunakan restraining box Mark IV dilakukan dengan model restraining box yang seragam dan operator yang sama dalam satu periode pemotongan. Hasil analisis ini menggambarkan bahwa konsentrasi hormon kortisol tidak dipengaruhi oleh metode penyembelihan dengan atau tanpa pemingsanan. Stres pada sapi kemungkinan tidak hanya disebabkan oleh metode penyembelihan dengan cara dipingsankan atau tidak dipingsankan.

Penilaian Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan pada Perlakuan Prapenyembelihan

(29)

17 Hasil penilaian terhadap pergerakan sapi selama di gangway yaitu sejak dari kandang penampungan menuju ke restraining box, diketahui bahwa di RPH tanpa pemingsanan lebih baik daripada di RPH dengan pemingsanan (Gambar 5). Pergerakan ini dinilai baik jika sapi selama di gangway bergerak tanpa hambatan dan paksaan. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa sebagian besar sapi (64%) di RPH tanpa pemingsanan berjalan lancar tanpa hambatan dan paksaan selama di gangway. Di RPH dengan pemingsanan terlihat lebih banyak sapi yang dalam pergerakannya selama di gangway menuju ke restraining box sempat terhenti. Hal ini kemungkinan akibat adanya suara gaduh atau suara bernada tinggi dari kehadiran banyak orang di sekitar gangway dan area penyembelihan.

Kehadiran manusia dapat menjadi penyebab utama hewan stres selama pemeliharaan dan penyembelihan (Lensink et al. 2001). Waynert et al. (1999) melaporkan bahwa sapi lebih terganggu dan kaget oleh suara manusia daripada suara mesin. Penelitian yang dilakukan oleh Hemsworth et al. (2011) melaporkan bahwa peningkatan interaksi orang-orang disekitar sapi termasuk petugas RPH dengan suara, seperti berbicara dengan nada tinggi dan suara gaduh serta interaksi sentuhan seperti tekanan, pukulan, dan penggunaan tongkat untuk mendorong sapi menuju tempat penyembelihan berasosiasi dengan peningkatan kadar hormon kortisol sapi setelah penyembelihan.

Pergerakan sapi selama di gangway dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah disain gangway dan faktor lingkungan. Kesalahan disain pada jalur sapi atau gangway dapat menyebabkan sapi stres. Salah satu kesalahan disain yang paling serius adalah membuat jalur sapi atau gangway yang bersudut tajam sehingga terkesan buntu. Sapi akan bergerak lebih mudah melalui jalur melengkung dibandingkan dengan jalur lurus, namun disain jalur yang melengkung tersebut harus ditata dengan benar (Grandin 1993). Hewan akan sering menolak dan berhenti bergerak melalui sistem penanganan jika terdapat Gambar 5 Hasil penilaian penerapan aspek kesejahteraan hewan pada perlakuan

(30)

18

gangguan seperti pantulan cahaya yang berkilau, udara yang bertiup ke arah hewan, dan gerakan atau suara bernada tinggi (Grandin 1996). Menurut MLA (2012), faktor-faktor lingkungan yang dapat memengaruhi pemindahan hewan termasuk pergerakan sapi selama di gangway yaitu pantulan dari genangan air atau logam, benturan logam, suara bernada tinggi, udara yang bertiup di wajah sapi, pakaian atau kain yang tergantung di jalur ternak, pekerja yang bergerak ke dalam jalur hewan, mencoba untuk memindahkan hewan dari tempat terang ke tempat gelap, jalan buntu, lantai yang tidak rata, dan perubahan pada permukaan lantai. Penelitian Astuti et al. (2014b) melaporkan bahwa jalan masuk menuju tempat penyembelihan yang licin dan adanya perubahan tekstur lantai pada raceway menuju ke restaining box berkorelasi positif dengan tingginya kadar hormon kortisol setelah penyembelihan.

Penilaian pada penanganan selama di restraining box sebelum sapi dipingsankan atau disembelih baik di RPH dengan pemingsanan maupun di RPH tanpa pemingsanan tidak terdapat nilai buruk. Rumah potong hewan dengan metode tanpa pemingsanan nilainya lebih baik dibandingkan pada RPH dengan metode pemingsanan. Hal ini karena sapi hanya dikekang sebentar di dalam restraining box Mark IV sebelum akhirnya disembelih atau penanganan selama di restraining box dilakukan secara efektif yaitu tidak membutuhkan waktu yang relatif lama. Penanganan selama di restraining box sebelum sapi dipingsankan atau disembelih dikatakan baik jika dilakukan secara efektif dan tidak ada perlakuan kasar seperti sapi ditendang, dipukul, atau ditusuk.

Metode pengekangan untuk mengendalikan hewan dengan mencederai, seperti mematahkan kaki, memotong tendon kaki atau merusak sumsum tulang belakang dengan menggunakan belati dapat menyebabkan sakit dan stres yang parah. Oleh karena itu perlakuan-perlakuan tersebut sama sekali tidak boleh diterapkan. Gerakan tersentak atau mendadak harus dihindari ketika menerapkan pengekangan karena tekanan yang berlebihan dapat menyebabkan sapi berontak atau vokalisasi/melenguh (OIE 2013). Metode pengekangan yang tidak sesuai seperti memegang pada daerah mata, memelintir ekor, memaksa leher dan kepala tertarik kebelakang dapat menyebabkan sapi stres sebelum disembelih. Menyemprotkan atau menuangkan air ke tubuh hewan sebelum penyembelihan termasuk stimulasi yang tidak diperlukan karena dapat menyebabkan sapi stres. Memperpanjang waktu pengekangan sebelum penyembelihan tidak akan membuat hewan yang lebih santai. Perlakuan ini akan menyebabkan tingkat kegelisahan dan stres yang lebih tinggi serta membuat proses penyembelihan menjadi lebih sulit sehingga akan meningkatkan kemungkinan memproduksi daging yang gelap (MLA 2012).

(31)

19 yang dihabiskan sapi untuk menunggu di dalam restraining box (Cockram dan Corley 1991).

Tahapan prapenyembelihan selanjutnya yang dinilai yaitu kenyamanan dan tekanan pada sapi selama berada di restraining box. Berdasarkan hasil penilaian diketahui bahwa dari 50 ekor sapi yang diamati dari kedua metode penyembelihan di RPH, sebagian besar nilainya sedang. Artinya sebagian besar sapi selama berada di restraining box tidak mengerang, nafasnya kasar dan cepat serta terlihat sangat gelisah. Namun demikian, pada RPH yang melakukan metode pemingsanan sebelum penyembelihan dengan captive bold stun gun tingkat kenyamanan sapi lebih baik dibandingkan pada RPH dengan metode tanpa pemingsanan menggunakan restraining box Mark IV. Hal ini karena restraining box Mark IV mengekang sapi sebelum disembelih dengan posisi berbaring sehingga sehingga mengurangi tingkat kenyamanan sapi, sedangkan pada metode penyembelihan dengan pemingsanan sapi berada pada restraining box dengan posisi berdiri tegak sebelum dipingsankan. Pengekangan pada hewan sedikit banyak akan mengurangi kenyamanan dan meningkatkan tekanan pada hewan. Sapi dapat berontak dan mengeluarkan suara melenguh atau mengerang (vokalisasi) jika pada saat dikekang memperoleh tekanan yang berlebihan seperti gerakan mendadak dan tersentak.

Penelitian Dunn (1990) melaporkan bahwa pengekangan sapi dengan posisi terbalik (telentang) selama 103 detik menyebabkan konsentrasi hormon kortisol meningkat menjadi dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang dikekang menggunakan perangkat dengan posisi tegak. Proses pemutaran sapi pada restraining box dapat membuat sapi terkejut dan berpotensi menimbulkan stres. Sapi yang dikekang pada restraining box dengan membalikkan posisi sapi mempunyai rata-rata konsentrasi hormon kortisol sebesar 93 ng/ml (Dunn 1990). Penelitian Lamboij et al. (2012) melaporkan bahwa konsentrasi hormon kortisol pada darah dapat meningkat secara signifikan setelah perebahan sapi hingga 180 derajat pada metode pengekangan sapi sebelum penyembelihan tanpa pemingsanan. Ketidaknyamanan sapi pada pengekangan dengan menggunakan restraining box Mark IV diduga juga karena adanya suara bising yang timbul dari sistem hidrolik alat pengekangan ini pada saat memutar sapi 90 derajat. Suara bising dari sistem hidrolik sangat mengganggu sapi, hal ini dapat diatasi dengan penambahan bantalan karet sisi-sisi restraining box atau pembangunan dinding yang dapat meredam suara (Grandin 2000).

Perbedaan Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Perlakuan Prapenyembelihan

(32)

20

masuk ke dalam restraining box, penanganan selama di restraining box tidak ada perlakuan kasar namun tidak efektif (membutuhkan waktu lama), sapi tidak mengerang, nafas kasar dan cepat, serta terlihat sangat gelisah. Kategori buruk apabila pergerakan sapi sangat lambat dan dipaksa dengan kasar untuk masuk ke dalam restraining box, terdapat perlakuan kasar (sapi ditendang, dipukul, atau ditusuk), sapi mengerang, nafas kasar dan cepat, serta sangat gelisah pada saat berada di restraining box.

Hasil analisis dalam penelitian ini diketahui bahwa dari 29 ekor sapi dengan nilai perlakuan prapenyembelihan yang baik menunjukkan rata-rata konsentrasi hormon kortisolnya sebesar 26.48 ng/ml. Rata-rata konsentrasi hormon kortisol ini lebih rendah dari sapi-sapi dengan nilai perlakuan prapenyembelihan sedang (48.57 ng/ml) dan nilai perlakuan buruk (55.22 ng/ml). Perbedaan konsentrasi hormon kortisol dengan perlakuan prapenyembelihan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbedaan konsentrasi hormon kortisol dengan perlakuan prapenyembelihan

n Rerata+sd p

Perlakuan Baik 29 26.48+8.81a <0.005

Sedang 19 48.57 +11.86b

Buruk 2 55.22+ 6.25 b

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05).

Berdasarkan Tabel 2, konsentrasi hormon kortisol secara signifikan lebih rendah pada sapi dengan perlakuan prapenyembelihan yang baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya (p<0.05). Konsentrasi hormon kortisol pada sapi yang dinilai dengan perlakuan sedang meskipun lebih rendah dari sapi yang dinilai dengan perlakuan buruk tetapi tidak berbeda secara signifikan (p>0.05). Analisis ini menggambarkan bahwa sapi dengan perlakuan prapenyembelihan yang baik maka tingkat stresnya rendah.

(33)

21 Tahapan penanganan prapenyembelihan merupakan tahapan yang penting karena pada tahapan ini sapi yang akan disembelih sangat rentan terhadap terjadinya stres, sehingga harus ditangani dengan baik. Semua orang yang terlibat dalam penanganan sapi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa sapi sebelum disembelih harus diperlakukan dengan baik dan tidak dalam keadaan stres. Menurut MLA (2012), kompetensi serta kemampuan juru sembelih dan pekerja kandang untuk menangani sapi secara efektif dianggap sebagai faktor terbesar yang memengaruhi kesejahteraan hewan, keselamatan pekerja, dan kualitas daging yang dihasilkan.

(34)

22

kualitas daging meliputi nilai pH daging, keempukan, daya ikat air, dan kesempurnaan pengeluaran darah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa pendidikan sekolah pascasarjana IPB progam Magister (S2) tahun 2012 dan termasuk didalamnya adalah biaya dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman U. 1996. Physiology. St. Louis (US): Mosby. hlm 311-321.

Adhiarta IGN, Soetedjo N. 2009. Krisis adrenal. [Internet]. [diunduh 2013 Desember 30]. Tersedia pada: http://www.readbag.com/pustaka-unpad-ac-id-wp-content-uploads-2009-10-krisis-adrenal.

Adzitey F. 2011. Mini review: effect of pre-slaughter animal handling on carcass and meat quality. Int Food Res J. 18:485-491.

Anil MH. 2012. Effects of slaughter method on carcass and meat characteristics in the meat of cattle and sheep. [Internet]. [diunduh 2014 Januari 15]. Tersedia pada: http://www.eblex.org.uk/wp/wp-content/uploads/2013/04/slaughter_and _meat_quality_feb_2012-final-report.pdf.

Astuti P, Airin CM, Widiyanto S, Hana A, Maheshwari H, Sjahfirdi L. 2014a. Fourier transform infrared sebagai metode alternatif penetapan tingkat stres pada sapi. Jurnal Veteriner.15 (1):57-63.

Astuti P, Cahyo CP, Indarjulianto S. 2014b. Uji stres pada metode penyembelihan sapi di rumah potong Giwangan, Yogyakarta dengan menggunakan fourier transform infrared spectroscopy (FTIR). Di dalam: Prosiding Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional (KIVNAS) ke-13; 2014 November 23-26; Palembang, Indonesia. Palembang (ID): PB PDHI. hlm 184-186.

[AMPC] Australian Meat Processor Corporation. 2011. Effect of slaughter method on animal welfare and meat quality. Brisbane (AU): AMPC.

Bayazit V. 2009. Evaluation of cortisol and stress in captive animals. Aust J Basic Appl Sci. 3(2):1022-1031.

Borell EHV. 2001. The biology of stress and its application to livestock housing and transportation assessment. J Anim Sci. 79:260-267.

Chulayo AY, Tada O, Muchenje V. 2012. Research on pre-slaughter stress and meat quality: A review of challenges faced under practical conditions. Appl Anim Husb Rural Develop. 5:1-6.

Cockram MS, Corley KT. 1991. Effect of pre-slaughter handling on the behavior and blood composition of beef cattle. Br Vet J. 147(5):444-454. doi:10.1016/0007-1935(91)90087-4.

(35)

23 CRC for cattle and beef quality on australian beef production. Aust J Exp Agr. 46:233-244.

Costa LN, Lo Fiego DP, Tassone F, Russo V. 2006. The relationship between carcass bruising in bulls and behaviour observed during preslaughter phases. Vet Res Comm. 30:379-381.

Cunningham JG, Klein BG. 2007. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-4. Missouri (US): Saunders Elsevier.

Dahlan MS. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta (ID): Salemba Medika.

Dallas S. 2006. Animal Biology and Care. Ed ke-2. Oxford (GB): Blackwell Science.

[DAFF] Department of Agricultural, Fisheries, and Forestry. 2013. Review of modified and copy Mark IV type restrain boxes. Canberra (AU): DAFF.

Dunn CS. 1990. Stress reactions of cattle undergoing ritual slaughter using two methods of restraint. Vet Rec. 126(21):522-525.doi:10.1136/vr.126.21.522. Entwistle KW, Ridd CAJ. 1995. Asai Hormon dengan ELISA. Teknologi ELISA

dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

Ewbank R, Parker MJ, Mason CW. 1992. Reactions of cattle to head-restraint at stunning: a practical dilemma. Anim Welfare. 1(1):55-64.

[EFSA] European Food Safety Authority. 2006. The welfare aspects of the main systems of stunning and killing applied to commercially farmed deer, goats, rabbits, ostriches, ducks, geese, and quail. EFSA J. 326:1-18.

Fazio E, Ferlazzo A, 2003. Evaluation of stress during transport. Vet Res Commun. 27:519-524.

Grandin T. 1991. Double rail restrainer for handling beef cattle. Di dalam: Prosiding International Summer Meeting American Society Agricultural Engineery. Michigan (US): American Soc Agr Eng.

Grandin T. 1993. Behavioural principles of cattle handling under extensive conditions. Di dalam: Livestock Handling and Transport. New York (US): CABI.

Grandin T. 1994. How stressful is slaughter?. [Internet]. [diunduh 2014 Januari 19]. Tersedia pada: http://www.grandin.com/meat/cattle/slaughter-1.html. Grandin T. 1996. Factors that impede animal movement at slaughter plants. J Am

Vet Med Assoc. 209:757-759.

Grandin T. 2000. Handling and welfare of livestock in slaughter plants. Di dalam: Livestock Handling and Transport. Ed ke-2. New York (US): CABI. hlm 409-439.

Gregory NG. 1998. Animal Welfare and Meat Science. Cambridge (GB): Cambridge Univ Pr.

(36)

24

(37)

25 [LPPOM MUI] Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis

Ulama Indonesia. 2012. Pedoman Pemenuhan Kriteria Sistem Jaminan Halal di Rumah Potong Hewan (HAS 23103). Jakarta (ID): LPPOM MUI.

Mahgoub O, Kadim IT, Mothershaw A, Al Zadjali SA, Annamalai K. 2006. Use of enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for detection of antibiotic and anabolik residues in goat and sheep meat. World J Agr Sci. 2(3):298-302. Martin PA, Crump MH. 2003. McDonald’s Veterinary Endocrinology and

Reproduction. Ed ke-5. Pineda MH dan Dooley MP, editor. Iowa (US) : Blackwell.

McCarthy J. 2003. Immunological techniques: ELISA. Di dalam: McMeekin TA, editor. Detecting Pathogens in Food. Cambridge (GB): Woodhead.

McEwen BS, Biron CA, Brunson KW, Bulloch K, Chambers WH, Dhabhar FS, Goldfarb RH, Kitson RP, Miller AH, Spencer R et al. 1997. The role of adrenocorticoids as modulators of immune function in health and disease: neural, endocrine and immune interactions. Brain Res Rev. 23:79-133.

[MLA] Meat and Livestock Australia. 2007. Manual Report Restraining Box Project Apfindo. North Sydney (AU): MLA.

[MLA] Meat and Livestock Australia. 2012. Standard Operating Procedures for the Welfare of Cattle in Overseas Markets. North Sydney (AU): MLA.

Micera E, Dimatteo S, Grimaldi M, Marsico G, Zarrilli A. 2007. Stress indicators in steers at slaughtering. Ital J Anim Sci. 6 (1):457-459.

Mounier L, Dubroeucq H, Andanson S, Veissier I. 2006. Variations in meat pH of beef bulls in relation to conditions of transfer to slaughter and previous history of the animals. J Anim Sci. 84:1567-1576.

Muchenje V, Dzama K, Chimonyo M, Raats JG, Strydom PE. 2008. Meat quality of Nguni, Bonsmara and Aberdeen Angus steers raised on natural pasture in the Eastern Cape, South Africa. Meat Sci. 79:20-28.

(38)

26

Scott E. 2014. Cortisol and stress: how to stay healthy. [Internet]. [diunduh 2014

Agustus 15]. Tersedia pada:

http://stress.about.com/od/stresshealth/a/cortisol.htm.

Shaw FD, Tume RK. 1992. The assesment of pre-slaughter dan slaughter treatments of livestock by measurement of plasma constituent-a review of recent work. Meat Sci. 32:311-329.

Siegel PB, Gross WB. 2000. General principles of strss and well-being. Didalam Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport. Ed ke-2. New York (US): CABI.

Smith GC, Grandin T. 1998. Animal handling for productivity, quality, and profitability. Di dalam: Annual Convention of the American Meat Institute. Philadelphia (US): American Meat Inst. hlm 1-12.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed ke-4. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Squires EJ. 2003. Applied Animal Endocrinology. Cambridge (GB): CABI. Veissier I, Le Neindre P. 1988. Cortisol responses to physical and

pharmacological stimuli in heifers. Reprod Nutr Dev. 28 (3A):553-562.

Waynert DF, Stookey JM, Schwartzkopf-Genswein KS, Watts JM , Waltz CS. 1999. The response of beef cattle to noise during handling. Appl Anim Behav Sci.62(1):27-42.doi:10.1016/S0168-1591(98)00211-1.

Webster J. 2003. Concepts in animal welfare. Di dalam: An Animal Welfare Syllabus WSPA. Bristol (GB): Bristol Univ Pr.

Weglarz A. 2010. Meat quality defined based on pH and colour depending on cattle category and slaughter season. Czech J Anim Sci. (12):548-556.

(39)

27 Lampiran 1 Hasil pengujian sampel serum darah sapi dari RPH dengan metode

pemingsanan (DP) dan tanpa pemingsanan (TP) sebelum penyembelihan

Nomor Kode sampel Rata-rata konsentrasi hormon kortisol (ng/ml)

(40)

28

Nomor Kode sampel Rata-rata konsentrasi hormon kortisol (ng/ml)

44 TP 19 44,27

45 TP 20 26,35

46 TP 21 31,41

47 TP 22 38,85

48 TP 23 25,87

49 TP 24 28,34

(41)

29 Lampiran 2 Hasil penilaian penerapan aspek kesejahteraan hewan di RPH pada

(42)

30

Nomor Pergerakan sapi selama di gangway menuju

restraining box

Penanganan sapi di dalam restraining box sebelum dipingsankan/ disembelih

Kenyamanan dan tekanan

pada sapi

42 baik baik baik

43 sedang sedang sedang

44 sedang sedang sedang

45 baik sedang sedang

46 baik baik sedang

47 baik baik sedang

48 baik baik sedang

49 baik baik sedang

(43)

31 Lampiran 3 Pengujian konsentrasi hormon kortisol pada serum darah sapi

dengan metode ELISA

Pengujian hormon kortisol dengan metode ELISA

Kit ELISA untuk pengujian hormon kortisol

(44)

32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri, Jawa Tengah pada tanggal 11 Agustus 1981, merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak H. Sutrisno dan Ibu Hj. Marsih.

Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Wonogiri tahun 1999 dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2003 penulis meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) dan melanjutkan studi Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan. Penulis mendapatkan gelar Dokter Hewan dari FKH IPB pada tahun 2005.

Gambar

Gambar 1    Captive bold stun gun nonpenetratif. Gambar a yaitu percussive stun
Gambar 2    Posisi terbaik untuk memingsankan sapi dengan captive bold stun  gun nonpenetratif
Gambar 3 Restraining box tipe Mark IV
Gambar 4  Tipikal kurva standar kit ELISA untuk  pengujian hormon kortisol
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan menulis puisi dengan menggunakan pembelajaran aktif Card Sort pada siswa kelas V SD Negeri di Laweyan Surakarta

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang meliputi dua siklus. Data penelitian diambil melalui observasi di

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena melalui metode ini peneliti ingin memaparkan kondisi pembelajaran pengembangan motorik halus yang ada di TK

Jadi analisa regresi berkenaan dengan studi ketergantungan dari suatu variabel yang disebut variabel tak bebas (dependent variabel), pada satu atau lebih variabel, yaitu variabel

Yang dimaksud dengan “tidak dapat diberikan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD secara bersamaan”adalah bahwa jika telah disediakan dan telah ditempati, dihuni, atau dipakai rumah

Oleh karena itu, mengingat pentingnya sensitivitas gender guru dalam menciptakan keadilan gender dalam pendidikan, perlu ada sebuah mekanisme yang dapat

Studi pengaruh Vitamin E sebagai Terapi Fibrosis Ginjal pada Hewan Model Tikus (Rattus norvegicus) hasil induksi streptokinase berdasarkan ekspresi E-Cadherin. dan

Kontrol jarak probe dengan permukaan material menggunakan sistem kontrol vertikal PI, kontrol pergerakan piezoelektrik secara horizontal, simulasi arus terobosan dan