+
% $ $ "
& ' ())*
#+, - . - / /
"
#$$%&%''( ) )
* + +
+ + ) ) *
* ) ,
) ) +- .
#$$%&%''( " /
+ *
"
" +- 0#$$%
%''1 2 0%''(1 ) /
) / + ) 0#$341
, 5 6
+ * ) +
, 2 + 2
+ ) 7 8 . 9% #$$' 8 . 96 : &
,,6%''3 0;1
) ) + < =
#$$%&%''(
>' $? ) )
, 2 +
+ * 0#1 5 *
0#9 (%' $; 9% 9> ?1 0%1 5 ! / * 03 4;% 39
%' #4?1 5 * 0#3 ';# 9% ;% 44?1 )
+ 2 ) 0#1 5 * 0#4 '(9 #9
94 44?1 0%1 5 ! / * 0; $9( 3> ## >4 ?1
5 * 0%' %$9 44 ; ;$?1 + * +
, 2 )
4 %3; 96 ;(( ##> $% 6 )
+ * ) ; 9'4 96
) 493 ;'> >3 6 < )
+ ) * ) *
) ) * /
7 ) . " 6 "
"
! " " "
" # $ #
$ ! %
" $
" ! &
&''()(**+ (
, $
-!
. / "
& /
&''()(**+ ( 0 $ &'12
3 !2(4 )554(**& ,
0 6 3 !
1,+4 4. 4&&4&'1* " "
3 7 ,( &''* 3 7
!,46 % )554(**1 (**+
-0 8 " 90 6
!
% $
" # "
" !
" # " ) "
!
&:!'2- *, :* '; &''()(**+
" 5 < ( -, :,;
#
# ,)1;
1)&2; !
#
7 1,+4 4. 4&&4&'1* $
" &,!+(* '- ,(!,: ; #
1!2-(!1, (*!&2 ; # " %
- '- ; ! "
" $ 2 (1- ,4
-++!&&: '( 4 "
- ,*2 6,4 2,1!-*: :1 4 4 !
3 7 1,+4 4. 4554&'1* "
" !
% 0 8
$
" #
# $ /
" $ !
" $ 7
"%( )*+,-,.)/
0 % 0 1 2 (0#3 0 2 4
#
% 3 5
0 % 0 4 2 (0
# 3
60 0 % 0 0 " 2 (0#
! " ! # $ % ! $ & #
' ! & % %
( & # " # # "
# $
) # # * + ,
- & # $
(
. ! & # * + $ #
! /$# ! 0 $ #
1 ! /$#+1!0 # * + $ $
% $
2
3 ! # " #
# " # $
4 " /5 # 1 0
# /1 2 6
1 6 1 0
*
7 " 1 /1 6 0 " /1
0
8 + & 2 # 9 !
+ " # $ 6
6 # " #
# " # $ '883
#
: 2
0" * 1 % %
.1 ( ! % . ( % 2
3 + %
2 # & ! %
% "
1 % / 4 . # 4.&
% ! 1
! ) 5 #! )5&
% "
% 6 + .")
' ( ) *
! ( *
! $ ! +
, ! !
-! , ! ! ! $ . , $ / 0
/ 1% / , ! ! 2
$ $
$ ' ! $ ( %/ / % $
$ % , ! !
"
) 3 4
5 *
) *
/ $ 6 +
! $ +
! . +
. / !
/ ! 7 $ ' !
$ ) . / / 9 -4+:). : : : 0-2
/ $
/ %
$ ) ) . !
/ $
/ %
6 $ "+
)/ , ! . ! ! $ . , "+
"-$ / "0
! ( , $ / 6 $ 42
(3/ 42
)5 ( 6 ; 4*
/ % 4*
/./ % 4*
4*
/ / 4*
/ / %/ / 4<
! 4<
$ / / 4+
. ! 40
(/ / / 40
( ( &
. ! &
$ ) . / / 9 -4+:). : : : 0-2 *0
/ $ <
/ % , <&
/ % $ $ 8 = ) 8 > <&
$ ) ) . ! <+
/ $
<-/ % ,
<-/ % $ $ 8 = ) 8 > <0
6 $ +"
, 7 ! # , ! ,
(
+"
, , ! . ! ! $ . ,
(
+4
$ / +*
( ! / 6 $ -"
. $ ( -"
) -"
) ! -4
-4
? -4
/ -&
/ -*
?/?/ -+
, ) . 02
) ( ( 0*
) . 0*
( 0<
( ) 0+
% & ' %
( ) # "
& "
*
* ) +, !
- . ,+ / +, 0 !!
# " ) + "
11 2 333 "
33-%
1 " # " ) +
" 11 4 3332 3334 33-11 4 33-5555555555555555
%(
3 " # # " ) +
" 11 4 3332 3334 11 4
33-(3
" 6 4 "
# " ) + " 11 4
33-(
" 33* ) + (!
! ) + " *3
% ) +
# 7 !-8 # 89 8&&8 1 3
*(
( ) +
# "
*-* ) +
# "
*1
- # " # ) +
" 11 2 3332
) +
3 $ ) "
33-#
7 !-8 # 89 8 8 1 3 #
"
--; & ) " #
6 ) +
%
; $ ) "
6 ) +
(
! . +, ) "
6 ) +
1
% / 0
6 ) +
13
( 9 ) < #
) = .
# " $ '''
( # " $ ''(
% # " $
) '''
(
# " $ ''') ''(
%
' # " $
) ''(
* + " " " *
# " $
&
* * ! +" , $ ! !
# " $
$ ,, * - $ ,, # " - "
# " $ ''(...
$ ! ! # " $
$ " /! ! 0 % (1 12 1++1 %'
& # " $ ('
$ ! ! # " $
$ "
(
( 3 4 " 5 )5 $
# " $ ) ''(...
(
% * 6 ! # " $ ''( (
* 6 ! # " $ $ "
/! ! 0 % (1 12 1++1 %'...
%'
' * 6 ! # " $ $ "
...
! " ## $
) (
! " $ &
'
* (
! " ## $ &
)
+ , " ( - "" *
&
! "
&
. ! " " /
/ ## $ &0000000000
#
# 1 2 ! " /
/ ## $ &00000000000
2 ! " /
/ ## $ &
1 2 ( 3 ! "
/ / ## $ &0000000
! " /
/ ## % &
'
' ! " +
) " $
! "
.
* 4 " 5 $
! " 000000000000000
'
+ 6 ! " 00 '
& 5 7 ! " ''
. ! " ')
# 5 '*
! " '.
" #
$ % &' &((
#
)( * %
'((+ ,
,
# $ % % - '((.
$ %
/# 0
-- /
1 # $ % 2+ 3
! ! 4 5 6 / '(()
). + ! ! % - '((.
- 3 272 +) ! '!
& ((( ! '! , / '((2
0 #
$ %
$ %
"
$ % 8
$ %
9. 8 4 &9 # 9777 5
-)(* "
# $ %
--
-0 0
% # $ %
$ % " :
9 5
-" )(*
+( *
)
-- ,
8
# $ %
#
# $ %
# #
$ %
:
9 # $ %
-#
' #
8
# $ %
) "
$ %
& # $ %
#
3 - # $ %
% :
9 0 # $ % 977'
'((+
' 0 # $
%
) 0 - # $ %
& 0 #
$ %
"
#
$ %
& '
( ) &
*
$ + %,
" !
! "
, '
$
( $
0 $ * "
*
(11
*
&
!
*
!
, !
(11/
" *
"
"
* (110
$ (11 3 (11
4 $ 5 0
! "
4 & 0 ! 6
7 (112 (11/
" !
' !
8 !
!
"
4 & 0
9 ,
* 6
!
; "
/
<
"
"
6
7 (112
!
!
"
"
7
/
$ $ 5 0
! =
: (111
8
$
' (
-0
>*
*
(110
5 *
!
$ (110
7 (110
= = (11/
6
!
$
&
6
7 %
! '
( <
*
<
*
$ 9
'
:
( $
"
- 5
8
!
!
$
$
&
%2
$
; 2 4 %
&
" ! " # ! "
$ !
=
9
!
!
* (110 (110
+ ? +?
: 7 (111 +?
-(
- 0
!
(11, +?
"
+?
"
$ ! (11, : 7 (111 +?
'
*
( '
- '
&
+?
&
+?
0 '
"
! +?
& +?
%
@ 5 7 :
21 A
5
"
! * 4 4
* "
" ;
5 7 :
*
5 7
air minum, serta sebagai pengendali banjir. Untuk itu pengelolaan DTA Waduk
Batutegi harus sesuai dengan peraturan yang ada serta mempertimbangkan kondisi
fisik serta sosial ekonomi kawasan tersebut. Pengelolaan yang dimaksud harus
dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial, serta manfaat lingkungan sehingga
dapat menjamin keberlanjutannya.
Perubahan penutupan lahan yang terjadi pada DTA Waduk Batutegi
terutama perubahan penutupan hutan menjadi penggunaan lain berakibat
menggangu keseimbangan tata air karena karena hutan berfungsi sebagai pengatur
air tanah.
Salah satu permasalahan utama kehutanan adalah perambahan hutan dan
permukiman dalam kawasan. Jumlah penduduk yang semakin tinggi
menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal dan tempat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya semakin tinggi dan menyebabkan kawasan hutan semakin
terancam. Demikian pula dengan keadaan DTA Waduk Batutegi yang lokasinya
berbatasan langsung dengan 4 kabupaten yaitu Kabupaten Tanggamus, Lampung
Barat, Lampung Tengah, dan Lampung Utara. Lebih lagi lahan di dalam kawasan
tergolong subur, sehingga merupakan hal yang menarik bagi penduduk sekitar
untuk masuk ke dalam kawasan.
Upaya pengelolaan DTA Waduk Batutegi yang berkelanjutan sering
menimbulkan konflik antar tujuan yang diharapkan. Secara ekonomi peningkatan
pendapatan masyarakat sering menyebabkan kerusakan lingkungan begitu juga
sebaliknya. Upaya konservasi yang dilakukan akan menghilangkan kesempatan
bagi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan untuk mendapatkan manfaat
ekonomi, sehingga secara sosial akan menyebabkan jumlah pengangguran
meningkat. Untuk itu perlu upaya pengelolaan yang terintegrasi agar tercipta
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan, disebutkan bahwa dalam upaya pencapaian tujuan
pengelolaan hutan ditata ke dalam blok2blok pengelolaan. Blok2blok pengelolaan
dalam kawasan DTA Waduk Batutegi berupa Blok Perlindungan dan Blok
Pemanfaatan.
Untuk mendukung keberhasilan pengelolaan DTA Waduk Batutegi,
setelah kawasan ditata ke dalam blok2blok pengelolaan maka perlu dirumuskan
arahan strategi pengelolaan ruang kawasan yang memperhatikan potensi fisik dan
sosio demografi penduduk yang ada di dalam dan di sekitar kawasan.
Kerangka penelitian secara skematis diilustrasikan dalam bagan alir pada
Gambar 1 berikut ini:
Perubahan Penutupan DTA Waduk Batutegi
Pembuatan Blok2blok DTA Waduk Batutegi
Menjaga Keberlangsungan Waduk Batutegi
Mengancam Keberlangsungan Waduk
Studi Kondisi Fisik Lingkungan dan Sosio2Demografi DTA
Fungsi Hidrologi DTA Terganggu
Arahan Strategi Pengelolaan Ruang DTA
Waduk Batutegi Pengelolaan DTA Waduk
Batutegi
Wilayah kajian adalah DAS Sekampung Hulu yang merupakan DTA
Waduk Batutegi yang secara geografis terletak pada posisi pada 05006’ – 05016’
LS dan 104030’ – 104047’ BT dengan ketinggian tempat antara 175 m hingga
1.775 m dari permukaan air laut, sedangkan secara administrasi DTA Waduk
Batutegi terletak di Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus.
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus 2 Desember 2008.
Bahan dan alat tulis yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan
perangkat lunak Software Microsoft Word, Microsoft Excel, Arc View versi 3.3,
Minitab versi 14, Erdas Emagine versi 8.6. dan peralatan penunjang lain seperti
alat tulis, kamera digital, GPS, serta alat tulis lainnya.
Tahapan dalam penelitian ini terdiri dari: Pengumpulan Data, Pengolahan
Data, Analisis Data, Penyusunan Tata Ruang DTA Waduk Batutegi, Evaluasi Tata
Ruang DTA Waduk Batutegi dan Strategi Arahan Pengelolaan Ruang DTA
Waduk Batutegi (SWOT).
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan penduduk dan
aparat pemerintah untuk menggali kebijakan apa yang paling tepat dalam
pengelolaan DTA Waduk Batutegi. Data sekunder yang digunakan meliputi
”Kabupaten Tanggamus Dalam Angka” yang bersumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Tahun 2007, data curah hujan dan debit (Tahun 1992 s/d Tahun
2007) dari Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji2Sekampung, Peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI) Skala 1: 50.000 Tahun 2001 dari Bakosurtanal, Peta Tanah Skala
1: 100.000 Tahun 1983 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Citra
Landsat kawasan DTA Waduk Batutegi Tahun 1992 dan 2000 dari BTIC Biotrop
Adapun data sekunder selengkapnya yang digunakan dalam penelitian ini
disajikan pada Tabel 1, sedangkan diagram alir penelitian dalam Gambar 2.
Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian
!
Peta Tanah Tahun 1983 1:100.000 Analog Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat Bogor
Peta RBI Tahun 2001 1: 50.000 Digital Bakosurtanal
Peta Kawasan DTA Waduk Batutegi Tahun 2007
1:100.000 Digital Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
Peta Landuse Tahun 2007 1:100.000 Digital BPDAS Sekampung2Seputih
Peta Satuan Lahan DTA Waduk Btutegi
1:100.000 Digital Banuwa (2008)
Peta RTRW Kabupaten Tanggamus
1:100.000 Digital Bappeda Kabupaten
Tanggamus Citra Landsat TM5 dan ETM7
Path/Row 124/064 Aqc. 26 Juni 1992 dan Acq. 5 April 2000
2 Digital BTIC Biotrop
Citra Aster Tahun 2007 2 Digital Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung Data Curah Hujan dan Debit
Tahun 199222007
2 Tabular Balai Besar Wilayah Sungai
Mesuji Sekampung Data Podes
Tahun 2000,2003,2006
2 Tabular Lab. Bangwil, IPB
Tanggamus dalam Angka (Tahun 2000 – 2007)
2 Tabular Bappeda Tanggamus & BPS
Gambar 2 Diagram Alir Tahap Penelitian Pengumpulan Data
Citra Landsat 1992, 2000 & Aster 2007
Peta Penutupan Lahan Tahun 1992,2000 dan
2007 Interpretasi dan
Klasifikasi Penutupan Lahan
Data Primer (Wawancara)
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal yang
Berpengaruh terhadap Pengelolaan DTA
Waduk Batutegi
Analisis SWOT Data
2 Curah Hujan 2 Debit
Keterkaitan Perubahan Penutupan
Lahan dan Curah Hujan Terhadap Debit
Serta Erosi Perubahan Penutupan Lahan
Peta Kesesuaian Blok
Pembuatan Blok dikombinasikan dengan
Kepres 32 1990, Permenhut P3 /Menhut2
II/2008, dan Tutupan Hutan 2007
Kebijakan Pengelolaan DTA Waduk Batutegi
Blok 2 Blok 1
Arahan Pengelolaan DTA
Waduk Batutegi
Peta Topografi
Peta Tanah
Data Demografi Podes Tahun 2000, 2003, dan
2006 Pengelolaan DTA
Waduk Batutegi
Skenario 2 Kelas Kemampuan
Lahan
Skoring (Lereng, Curah Hujan,
"
Perubahan penggunaan lahan secara efektif dapat dilakukan melalui
pengolahan citra penginderaan jauh, karena data yang berasal dari ekstraksi citra
tersebut memberikan informasi yang cukup baik dengan cakupan yang luas.
Ekstraksi citra untuk mendapatkan informasi digital penggunaan lahan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Koreksi geometri
Akuisisi citra yang dipengaruhi oleh rotasi bumi, kelengkungan bumi,
kecepatanscanningdan efek pankromatik menyebabkan posisi setiap obyek di
citra tidak sama dengan posisi geografis yang sebenarnya. Untuk itu perlu
dilakukan koreksi terhadap distorsi geometrik tersebut dengan melakukan
transformasi koordinat citra ke koordinat bumi dan resampling citra.
Transformasi koordinat dilakukan dengan bantuan titik kontrol darat (ground
control pointatauGPC)yang didapat dari peta topografi (referensi).
Transformasi koordinat dibangun dengan persamaan polynomial
berordo dua yang membutuhkan minimal enam GCP. Semua titik kontrol
diasumsikan merata pada citra. Akurasi dari koreksi geometri ditentukan
dengan memilih titik GCP yang mempunyai nilai RMS < 0,5 piksel, sehingga
nilai GCP yang mempunyai RMS > 0,5 piksel harus diganti dengan GCP yang
baru.
2. Penajaman Citra
Penajaman citra dilakukan untuk memperoleh tampilan citra yang
tajam dan jelas agar interpretasi dilakukan dengan lebih mudah. Teknik
penajaman citra terdiri atas teknik paduan warna (color composite) dan
perentangan (stretching).
3. Klasifikasi Penutupan Lahan Tahun 1992, 2000, dan 2007.
Klasifikasi merupakan proses pengelompokan piksel2piksel yang
mempunyai ciri sama menjadi kategori tertentu. Pada klasifikasi data citra
Landsat yang mempunyai tujuh saluran spektral dengan kisaran digital
number 0 – 255 akan menghasilkan satu saluran hasil klasifikasi yang terdiri
Metode klasifikaasi yang digunakan adalah supervised (terbimbing) dengan
pendekatan Maximum Likehood Classification (MLC). Klasifikasi terbimbing
dilakukan berdasarkan area contoh (training area) yang telah ditetapkan
sebelumnya terhadap obyek2obyek yang mudah dikenali dan representatif
pada citra/permukaan bumi yang diketahui kategorinya dengan membuat
poligon2poligon.
Hasil klasifikasi tersebut diverifikasi di lapangan, dengan tujuan untuk
mengidentifikasi obyek2obyek atau penggunaan lahan yang masih diragukan
dan untuk menguji akurasi hasil klasifikasi. Untuk memperbaiki hasil
klasifikasi dilakukan klasifikasi lanjutan dengan cara menumpangtindihkan
(overlay) peta hasil klasifikasi dengan citra asli kemudian dilakukan editing
secara manual dengan cara digitasi layar (onscreen digitizing). Klasifikasi
lanjutan akan berguna dalam menentukan perbaikan klasifikasi sehingga
mendapatkan kombinasi klasifikasi digital dan visual peta penutupan lahan
yang terbaik (Andriani 2007).
!
Analisis untuk mendeteksi perubahan penutupan lahan dilakukan dengan
cara menumpangtindihkan peta penutupan lahan tahun 1992, 2000 dan 2007
dengan software Erdas Imagine 8.6 melalui fungsi modeler dengan rumus
perubahan penutupan lahan (A21) * jumlah kelas + B, dimana A adalah peta
penutupan lahan pada t0 sedangkan B adalah peta penutupan lahan pada t1.
Diagram alir untuk analisis perubahan penutupan lahan disajikan pada Gambar 3.
Transisi Matrix
Pola Perubahan Penutupan Lahan
Image 2 (Citra)
Registrasi
Klasifikasi Intepretasi Land cover/Land use Registrasi
Klasifikasi Intepretasi Land cover/Land use
Image 1 (Citra)
!
Analisis tekanan penduduk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya. Semakin besar tekanan penduduk
pada suatu wilayah atau semakin besar kebutuhan hidup manusia terhadap
lingkungan, maka akan semakin besar pula tekanannya terhadap perubahan
penggunaan lahan. Menurut Soemarwoto (1985), tekanan penduduk dihitung
dengan menggunakan rumus:
t t t
t
L r P f Z
ITP= 0(1+ )
Dimana:
ITP = Indeks tekanan penduduk
t
Z = Luas lahan minimal per petani untuk hidup layak
0
P = Jumlah penduduk pada t0
ft = Proporsi petani dalam populasi
r = Laju pertumbuhan penduduk rata2rata pertahun
t = Rentang waktu dalam tahun
t
L = Total luas lahan pertanian
Indeks tekanan penduduk menurut Kepmenhut Nomor 52/kpts2II/2001 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai diklasifikasikan
sebagai berikut : ITP < 1 kategori ringan, ITP = 122 kategori sedang dan ITP > 2
kategori berat.
Data yang digunakan dalam analisis tekanan penduduk berasal dari data
sekunder yaitu data Podes 2000, 2003, 2006 sedangkan unit wilayah yang
digunakan adalah desa2desa di dalam dan di sekitar DTA Waduk Batutegi.
# $
Penataan ruang DTA Waduk Batutegi ke dalam blok2blok pengelolaan
dilakukan dengan 2 (dua) metode yaitu : metode Kepmentan Nomor :
837/Kpts/Um/II/1980 dan metode Kelas Kemampuan Lahan. Penataan DTA
Waduk Batutegi di atas dikombinasikan dengan Keputusan Presiden Nomor : 32
Tahun 1990, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.3/MenHut2II/2008, dan
% &'() )*
)++)+,&-Dasar ini digunakan untuk mendapatkan lokasi yang tepat dalam
pembagian blok2blok kawasan DTA Waduk Batutegi yang didasarkan pada
potensi serta persyaratan yang dibutuhkan untuk masing2masing blok. Secara
teknis pelaksanaannya esensi Kepmentan ini dapat dijabarkan dalam bentuk
analisis operasi tumpangtindih (overlay) serta operasi2operasi Sistem Informasi
Geografis (SIG) lainnya terhadap peta2peta tematik yang ada. Analisis SIG ini
dilakukan terhadap data fisik kondisi DTA Waduk Batutegi, yaitu lereng,
erodibilitas tanah dan curah hujan.
Untuk mengidentifikasi blok2blok pengelolaan kawasan DTA Waduk
Batutegi pada tahap awal dilakukan dengan pembobotan terhadap parameter kelas
lereng, jenis tanah, dan curah hujan harian rata2rata kemudian dilakukan skoring
dengan cara menjumlahkan masing2masing bobot setelah dilakukan operasi
tumpangtindih (overlay). Adapun pembobotan yang digunakan terhadap
parameter kelas lereng, jenis tanah, dan curah hujan harian rata2rata disajikan pada
Tabel 2, 3, dan 4 (Kepmen Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980) dalam
(Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
Tabel 2 Nilai bobot berdasarkan klasifikasi kelas lereng
Kelas Lereng Kategori Bobot
0%28% 8%215% 15%225% 25%240%
>40%
Datar Landai Agak Curam
Curam Sangat Curam
20 40 60 80 100 Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Tabel 3 Nilai bobot jenis tanah berdasarkan kepekaan terhadap erosi
Jenis Tanah Kategori Bobot
Alluvial, Tanah glei, Planosol, Hidromorf, Laterik,
Latosol
Brown Forest Soil, Non Calcic, Brown, Mediteran
Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol, Podsolik Regosol, Litosol, Organosol, Renzina
Tidak peka
Agak peka Kurang peka
Peka Sangat peka
15
30 45
Jenis tanah yang diperoleh dari data sekunder menggunakan klasifikasi
sistem USDA, sedangkan kriteria menurut Kepmentan No. 837/kpts/Um/II/1980
menggunakan sistem klasifikasi Dudal2Supraptohardjo, sehingga untuk
menggunakan analisis ini perlu dicarikan padanannya. Padanan jenis tanah pada
kawasan DTA Waduk Batutegi dapat dilihat pada Lampiran 16.
Tabel 4. Nilai bobot berdasarkan klasifikasi intensitas curah hujan harian
Intensitas Hujan Harian Rata2rata Kategori Bobot
<13,6 mm/hari
13,6220,7 mm/hari
20,7227,7 mm/hari
27,7234,8 mm/hari
>34,8 mm/hari
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
10
20
30
40
50
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Data2data disajikan dalam format digital sebagai layer2layer informasi
yang berbeda yang selanjutnya dilakukan operasi tumpangtindih (overlay) dengan
kriteria bobot ≥175 merupakan blok perlindungan, bobot antara 125 – 174
ditetapkan sebagai blok pemanfaatan terbatas, dan bobot ≤ 124 ditetapkan sebagai
blok pemanfaatan budidaya (hutan kemasyarakatan).
Berdasarkan penilaian tersebut, maka blok2blok pengelolaan DTA Waduk
Batutegi dibagi menjadi 2 (dua) blok pengelolaan utama yaitu : Blok
Perlindungan dan Blok Pemanfaatan. Selanjutnya Blok Pemanfaatan dapat dibagi
menjadi 2, yaitu Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Budidaya
(Hutan Kemayarakatan).
Blok perlindungan ditetapkan dengan kriteria memiliki skor bobot ≥ 175. Hal ini
berdasarkan pertimbangan bahwa kawasan tersebut sangat mudah dipengaruhi
oleh aktivitas manusia dalam kawasan, sehingga kawasan tersebut perlu
dilindungi. Kriteria lain yang digunakan untuk mempertahankan fungsi hidrologi
DTA Waduk Batutegi namun tidak terakomodir dalam kriteria Kepmentan
Nomor: 837/Kpts/Um/II/2008, yaitu : Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990,
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.3/MenHut2II/2008, dan Land
Kawasan hutan dengan lereng > 40%.
Mempunyai ketinggian >2.000 dari permukaan laut.
Sempadan pantai sejauh 100 m .
Jalur sempadan sungai, 100 m di kiri2kanan sungai besar dan 50 m kiri
kanan anak sungai.
Kawasan sekitar waduk/danau, 500 m dari titik pasang tertinggi.
Kawasan sekitar mata air, sekurang2kurangnya dengan jari2jari 200 m.
Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan
wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa.
Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata2
rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis
air surut terendah ke arah darat.
Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidetifikasi
sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan
gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor.
Blok Pemanfaatan ditetapkan berdasarkan kriteria skor bobot 45 – 174. Blok ini
terbagi menjadi dua yaitu:
Blok pemanfaatan terbatas dengan skor bobot 125 – 174 serta
Blok pemanfaatan budidaya (Hutan Kemasyarakatan) dengan skor bobot ≤
124.
Blok pemanfaatan budidaya (hutan kemasyarakatan) diperuntukan untuk
kepentingan aktivitas dan sarana penunjang kelompok masyarakat tertentu yang
sudah ada di dalam kawasan serta untuk memulihkan atau memperbaiki kondisi
ekosistem kawasan yang mengalami kerusakan, dengan kriteria:
Telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupan
lainnya.
Berbatasan langsung dengan kawasan penyangga atau kawasan budidaya.
Adanya perubahan fisik dan hayati yang pemulihannya diperlukan campur
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan mengacu pada
Departemen Pertanian Amerika Serikat (United Stated Departement of
Agriculture). Menurut sistem ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori
utama yaitu Kelas, Subkelas dan Satuan Kemampuan (capability units) atau
Satuan Pengelolaan (management unit). Pengelompokan ke dalam kelas
didasarkan atas intensitas faktor pembatas/penghambat. Jadi kelas kemampuan
lahan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau
penghambat (degree of limitation)yang sama jika digunakan untuk pertanian yang
umum (Sys et al. 1991 dalam Arsyad 2006). Dalam sistem ini sifat kimia tanah
tidak digunakan sebagai pembeda karena sifat kimia sangat mudah berubah,
sehingga kurang relevan untuk digunakan. Sifat2sifat tanah lahan yang digunakan
sebagai pembeda hanyalah sifat2sifat fisik/morfologi tanah yang dapat diamati di
lapangan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
Tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai dengan kelas VIII, dimana
semakin tinggi kelas maka kualitas lahanya semakin jelek serta pilihan
penggunaan lahannya semakin terbatas. Lahan kelas I sampai dengan kelas IV
merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian sedangkan lahan kelas V sampai
dengan kelas VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian. Skema hubungan antara
kelas kemampuan lahan dengan intensitas penggunaan lahan lebih lengkap
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Skema hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan intensitas
penggunaan lahan
Intensitas dan macam penggunaan lahan meningkat
Kelas Kemampuan Lahan
Hutan Pengembalaan Pertanian
Cagar alam
Hutan Ter2
batas
Sedang Intensif Ter2 batas
Sedang Intensif Sangat intensif
I XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX II XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
III XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX IV XXX XXX XXX XXX XXX XXX
V XXX XXX XXX XXX XXX VI XXX XXX XXX XXX
Hambatan meningkat dan pilihan penggunaan lahan berkutang
VII XXX XXX XXX VIII XXX
Berdasarkan kelas kemampuan lahan DTA Waduk Batutegi dibagi ke
dalam 2 (dua) blok pengelolaan utama yaitu : Blok Perlindungan dan Blok
Pemanfaatan. Selanjutnya Blok Pemanfaatan dapat dibagi menjadi 2, yaitu Blok
Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Budidaya (Hutan Kemayarakatan).
Blok perlindungan ditetapkan dengan kriteria kelas kemampuan lahan kelas V
sampai dengan kelas VIII, kelas kemampuan lahan kelas I – IV yang berada pada
puncak bukit serta kriteria lain yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor
32 Tahun 1990, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.3/MenHut2II/2008 serta
Land Cover/Tutupan Hutan Tahun 2007. Blok pemanfaatan terbatas merupakan
lahan dengan kelas kemampuan lahan kelas IV sedangkan Blok pemanfaatan
budidaya (hutan kemasyarakatan) adalah lahan dengan kelas kemampuan lahan
kelas I2III.
. $
Evaluasi penataan DTA Waduk Batutegi ke dalam blok2blok pengelolaan
dilakukan terhadap prediksi debit minimum dan prediksi erosi. Prediksi debit
minimum dilakukan dengan analisis korelasi dan regresi debit minimum dengan
perubahan penutupan lahan DTA Waduk Batutegi periode tahun 1992 sampai
dengan 2007. Sedangkan prediksi erosi menggunakan metode USLE dengan
menggunakan data sekunder R (erosivitas hujan), K (erodibilitas tanah), dan LS
(faktor kelerengan) yang diperoleh dari hasil penelitian (Banuwa 2008) Lampiran
20, sedangkan nilai C (tutupan lahan) diperoleh berdasarkan hasil analisis Citra
Aster Tahun 2007.
! !
Untuk mengetahui hubungan antara perubahan penutupan lahan dengan
fluktuasi debit yang terjadi dilakukan dengan analisis korelasi. Analisis korelasi
digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan dua peubah sebagai salah satu
pertimbangan dalam melihat ada atau tidak adanya hubungan sebab akibat antar
peubah tersebut. Dalam korelasi sederhana, keeratan sifat antara peubah akan
ditunjukkan dalam bentuk berkorelasi positif, negatif atau tidak berkorelasi. Dua
artinya kenaikan sejumlah nilai pada peubah x akan diikuti oleh kenaikan nilai
pada peubah y yang bergantung pada besaran nilai koefisien korelasinya. Di lain
pihak, bila memiliki kecenderungan yang berlawanan arah dinyatakan berkorelasi
negatif, artinya peningkatan sejumlah nilai pada peubah x diikuti penurunan
peubah y atau sebaliknya. Dua peubah disebut tidak berkorelasi atau tidak
memiliki hubungan sama sekali jika nilai koefisien mendekati nol. Analisis
korelasi yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis korelasi Pearson’s
product Moment. Koefisien korelasi dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut :
Dimana :
r = koefisien korelasi
n = ukuran populasi (Jumlah titik tahun : 3)
x = nilai peubahx(Penutupan lahan tahun 1992, 2000, dan 2007)
y = nilai peubahy(Debit minimum tahun 1992, 2000, dan 2007)
Analisis Regresi
Untuk melihat hubungan antara dua atau lebih variabel yang saling
berkorelasi dilakukan analisis regresi. Analisis regresi dibedakan menjadi dua
yaitu analisis regresi sederhana (simple linier regresion) dan analisis regresi
berganda (multiple regresion). Analisis regresi linier menunjukkan hubungan
antara variabel tidak bebasydan satu variabel bebasx.
Model umum regresi linier sederhana yang mengambarkan respons variabelyoleh
adanya perubahan variabel bebasxadalah :
Y = β0+ β1X + ε
Dimana :
Y = Variabel tak bebas (Penutupan lahan tahun 1992,2000, dan 2007)
X = Variabel bebas (Debit minimum tahun 1992,2000, dan 2007)
β0,β1 = Koefisien regresi
ε =error
Prediksi Erosi
Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metoda untuk memperkirakan
laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang memiliki penggunaan lahan dan
pengelolaan tertentu. Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan
dan laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan (permissible atau
tolerable erotion) sudah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijaksanaan
penggunaan lahan dan tidakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan lahan dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari.
Tindakan konservasi tanah dan penggunaan lahan yang diterapkan adalah yang
dapat menekan laju erosi agar sama atau lebih kecil dari pada laju erosi yang
dapat dibiarkan (Arsyad 2006).
Suatu model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah
telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith yang disebut the Universal Soil
Loss Equation(USLE). Persamaan USLE adalah sebagai berikut:
A = R.K.L.S.C.P (Arsyad 2006).
Dimana:
A = Banyaknya tanah tererosi dalam ton perhektar pertahun
R = Faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi
hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan
intensitas hujan maksimum 30 menit (I30), tahunan.
K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk
tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang
L = Faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan
suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang
lereng 22 meter di bawah keadaan yang identik.
S = Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari
suatu tanah dengan kecuraman tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah
dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik.
C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari suatu arel dengan vegetasi penutup dan pengelolaan
tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa
tanaman.
P = Faktor tindakan2tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besar2
nya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus
seperti pengolahan menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras
terhadap besarnya erosi tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan
identik.
Simulasi prediksi erosi dilakukan pada kondisi eksisting tahun 2007 serta
bila kondisi DTA Waduk Batutegi telah sesuai dengan perencanaan yaitu DTA
Waduk Batutegi dibagi kedalam blok2blok pengelolaan berdasarkan Kepmentan
Nomor.837/Kpts/Um/II/1980 dan Kelas Kemampuan Lahan. Prediksi erosi pada
kondisi DTA Waduk Batutegi yang telah sesuai dengan perencanaan diperkirakan
akan lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi eksisting tahun 2007 dimana
faktorC(tutupan lahan) dan faktorP(tindakan konservasi) telah diubah.
! $
Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi pengembangan suatu usaha. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan Kekuatan (Strength), dan Peluang
(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan Kelemahan
(Weakness)danAncaman (Threats).Proses pengambilan keputusan strategi selalu
dilakukan. Dalam upaya pengelolaan DTA Waduk Batutegi perlu dilakukan
analisis lingkungan eksternal dan internal, sehingga upaya yang akan dilakukan
tersebut dapat menjadi efektif dalam pencapaian sasaran karena dapat diketahui
dampak penting yang ditimbulkannya. Dengan demikian dapat ditetapkan
rencana2rencana strategis yang mungkin perlu dilakukan sebagai antisipasinya.
Tujuan dari analisis SWOT adalah mengkombinasikan isi masing2masing
kuadran untuk meningkatkan kekuatan dan peluang serta mengurangi kelemahan
dan ancaman.
Menurut (Iskandarini 2002), proses penyusunan strategi dengan metode
SWOT dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap masukan, tahap analisis, dan
tahap keputusan. Tahap akhir analisis kasus adalah memformulasikan keputusan
yang akan diambil. Keputusannya didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara
kualitatif maupun kuantitatif. Proses penyusunan perencanaan strategis dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kerangka Analisis SWOT
1. Tahap Masukan
Matrik Evaluasi Matrik Evaluasi
Faktor Eksternal Faktor Internal
2. Tahap Analisis/Pencocokan
Matrik Matrik internal
TOWS Faktor eksternal
3. Tahap Pengambilan Keputusan
Matrik perencanaan strategis kuantitatif
(Quantitative Strategic Planning Matrik(QSPM) Sumber : Rangkuti 2001
Menurut (Umar 1999 dalam Utami 2008), tahap masukan atau tahap
pengumpulan data, merupakan tahap klasifikasi dan pra analisis. Pada tahap ini
data dibedakan menjadi 2, yaitu data sebagai faktor eksternal dan data sebagai
faktor internal yang mempengaruhi kebijakan DTA Waduk Batutegi. Hasil
analisis faktor ekternal dan internal ini selanjutnya dibuat sebagai suatu matrik,
yaitu matrik faktor strategi eksternal (EFAS =External Factor Analysis Strategic)
Langkah menentukan faktor strategi eksternal adalah sebagai berikut :
1. Menyusun 5 sampai dengan 10 hasil inventarisasi faktor peluang dan ancaman
dalam kolom 1, (apabila hasil inventarisasi lebih dari 10, dilakukan skoring
dan dipilih yang memiliki nilai 10 terbesar).
2. Memberikan bobot masing2masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0
(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Pembobotan dilakukan
berdasarkan hasil kesepakatan/wawancara dari responden. Jumlah
pembobotan adalah 1,0.
3. Menghitung rating untuk masing2msing faktor pada kolom 3, dengan
memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor)
berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi pengelolaan DTA
Waduk Batutegi. Pemberian rating untuk faktor peluang bersifat positif
(peluang yang semakin besar diberi rating 4, tetapi jika peluangnya kecil
diberikanrating1). Pemberian rating ancaman adalah kebalikannya. Ancaman
yang sangat besar diberikan rating 1 dan bila nilai ancamannya kecil, maka
ratingyang diberikan adalah 4.
4. Menghitung skor, yaitu dengan mengalikan bobot pada kolom 2 dengan
rating pada kolom 3, untuk memperoleh skor untuk semua critical succes
factors.
5. Menjumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor pembobotan
bagi pengembangan kebijakan pengelolaan DTA Waduk Batutegi. Selanjutnya
melakukan analisis faktor internal (IFAS) dengan cara yang sama, yaitu dari
faktor kekuatan dan kelemahan DTA Waduk Batutegi
Setelah matrik strategi faktor internal dan eksternal dibuat, langkah
berikutnya adalah tahap pencocokan dengan matrik TOWS atau SWOT. Tabel 7
adalah matrik TOWS (SWOT) yang disusun berdasarkan hasil analisis faktor
Tabel 7 Matrik TOWS (SWOT)
IFAS
EFAS
STRENGTHS (S)
* Tentukan 5210 faktor
kekuatan internal
WEAKNESSES (W)
* Tentukan 5210 faktor
kelemahan internal
OPPORTUNITIES (O) *Tentukan 5210 faktor
peluang eksternal
STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
THREATS(T)
* Tentukan 5210 faktor ancaman eksternal STRATEGI ST Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI WT
Ciptakan strategi yang
meminimalkan elemahan dan menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti 2001
Dari hasil analisis faktor internal dan faktor eksternal, diperoleh 4 tipe strategi,
yaitu Strategi SO, Strategi WO, Strategi ST dan Strategi WT.
1. SO strategies, menggunakan kekuatan internal untuk meraih dan
memanfaatkan peluang2peluang ang ada
2. WO strategies, strategi ini bertujuan untuk memperkecil kelemahan dengan
memanfaatkan peluang yang ada.
3. ST strategies, adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki
untuk mengatasi ancaman.
4. WT strategies, merupakan taktik untuk bertahan yang diarahkan untuk
mengurangi kelemahan2kelemahan internal serta menghindar dari ancaman2
ancaman lingkungan.
Tahap berikutnya adalah tahap pengambilan keputusan (decisions stage).
Langkah ini adalah tahap terakhir dalam menentukan alternatif strategi terpilih
yang mungkin dapat diimplementasikan. Teknik analisis yang dipakai adalah
Quantitatif Strategic Planning Matrix (QSPM), yaitu teknik untuk menunjukkan
strategi alternatif mana yang paling baik untuk dipilih. QSPM menggunakan input
dari hasil analisis faktor internal dan eksternal serta hasil analisis tahap
mengevaluasi pilihan strategi alternatif secara obyektif, berdasarkan faktor
internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Adapun tahap pelaksanaan teknik analisis QSPM adalah sebagai berikut:
1. Membuat daftar external opportunities/threats dan internal strenghts/
weakness di kolom sebelah kiri QSPM. Informasi ini diambil langsung dari
EFAS dan IFAS matrik (analisis strategi faktor internal dan eksternal) dengan
masing2masing minimal 10 faktor, diletakkan pada kolom 1.
2. Memberikan nilai rating masing2masing faktor (nilai sama dengan EFAS dan
IFAS matrik) yang diletakkan pada kolom 2.
3. Meneliti strategi yang telah dipilih dalam tahap pencocokan dengan SWOT
dan identifikasi strategi yang dipertimbangkan pelaksanaannya. Letakkan
strategi di bagian atas tabel QSPM.
4. Menetapkan Attractiveness Score (AS), yaitu sebuah angka yang
menunjukkan relative attractiveness untuk masing2masing strategi yang
terpilih. Dari masing2masing faktor ditentukan nilainya berdasarkan bagaiman
perannya dalam proses pemilihan strategi. Setiap faktor memiliki AS yang
menunjukkanrelative attractivenessdari satu strategi dengan strategi lainnya.
Batasan nilai AS adalah 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = secara
logis menarik, 4 = sangat menarik. Jika peran dari suatu faktor kecil,maka hal
ini menunjukkan bahwa respective factor tersebut tidak memiliki peran pada
pilihan spesifik yang sedang dibuat. AS diletakkan pada kolom 1 masing2
masing strategi.
5. Menghitung Total Attractiveness Score (TAS). yang diperoleh dari hasil
perkalian rating dengan AS masing2masing strategi dari dan diletakkan pada
kolom 2 masing2masing strategi. Angka TAS menunjukkan relative
attractivenessdari masing2masing strategi.
6. Menjumlahkan semua nilai Total Attractiveness Score (TAS) pada masing2
masing kolom strategi tabel QSPM. Dari beberapa nilai TAS yang didapat,
nilai TAS dari alternatif strategi terbesar bahwa alternatif strategi ini menjadi
pilihan utama dan nilai TAS terkecil menjadi alternatif pilihan strategi yang
- " - ) ! / - - . " ) ! ) !
- ) ! ) ) 0 1 " ) ) - 0 ) ) ! *2/*## . 0
" ) - ) ) ) - -" )3 ! 4 ! 3 . %2+0$% -2/
1 " ) ) ) 2## ' (/,$#
-" - ) ! 5 "!6/ ) " -1 ) ) ) !
(7$#/### 0 ! 4 ! 3 . 1 - )8 ! ! )
) ) ! ! ) 5+9:;60 1 ! -1 ) 5:9($;60 1 1 5($9+#;60
- 5+#9*$;60 ) - 5<*$;6 ) " - -)3 4 ! 3 . - )
! . ! 1 ! -1 ) . ) 1 1 /
) ! ! - .- ) = ) 5(>$(6 .
- ! - " 0 ) ) ! ? 5 9 1 ! ) ) 1 9
1 ! ) 1 . 1 (:0:>;60 " ! - - ) - "" ) 5(>$(6
- ! - " 0 ) . 8 ) ) . < %# --0 )
. ) . <(: #@0 ) ) ! - - ) A ) ! - ! - )
5(>,:6 - ! - " @2 ) - -" )3 1 ! ) 1 . 5<2## --6
1 )3 % ! 1 9 ) 1 ! ) ) 5B(## -- 1 )3 2 ! 6/
! ) . " ) ! ) ) 8 ! . ) ! - ) ) 9
! -1 1 ) ! 1 :+02(;0 -" 2$02+ @0 " ) ) ) +*0**
-C. 0 ) ! - " )3 ) ) - . ! - *0>* 8 - 5 ) 4 2##:6/
) ! -1 ) ! (72$#/### 5 60
) )3 ) ! . 1 ) = - ) )
.0 = - ! -" ) ) = - ) ) " /
) " ) ) - ! )/ ) - -)3 ) 1 )
) " ) D ! ) 3 ) 1 ) 1 )9 ) " ) ! - ! ) ) )
5 - ) ! 6/ E ) 1 ) 3 ) 8 -" ! . 1 ) ) " )
!! D - ) 0 1 ) ) " ) - ) - -0 1 ) 1
1 1 . ) D ! ) ) ) ! " ) 0 1 ) 1
0 1 . ) 1 1 ) ) 0 ) 1 . )
-1 ) ) /
! 3 ) 1 -1 ) . ) ! . " . )/
) ! D ! -" ) ) . ) ! ) )
1 ! ) 1 ) ) ) ) 3 ) - - )8 ) - ) 1 )
! - . 9 ) 0 . ) 4 ! 3 . ) )
" ) . ! . ) ! - ) 3 ) ) /
- ! . ) " 1 ! - ) - ! 0 3
) - ! " ) ) )0 ) - ! ) ) " ) )
- ! " 1 )/ ) - ! " ) ) ) " " 1 ) 1
) 1 ! ) ) ! D *##9(/2$# - "!/ ) - ! ) 8
" ! " ) 1 ) ) ) ) " ) " / )
) ) " " 1 3 ) ) ! D $##9(,$# - "! 5 / F ) ) )6
3 ) 1 ) - ! 1 ) D ! ) / ) - ! " 1 ) )
1 ! -1 ) " " 1 ) 0 ! )0 ) 0 ) - ! ) )
! D 2##9:## - "!/ ) - ! ) 1 ) 1 ) 3 ) 1
-) ) " ) 3 ) /
E ) ) . - !
-5 (>:+60 ) . "
- -)3 - -" )3 . ) ) ) 1 " 2$
- ) 1 1 4 .)3 " ! - ) (## - ! 1 . " - ) ) .
- ) !/ ) . ) " 1 . ) ! - $#
-" - ) ) . - ) !/ ) . ) ! ) - . - 0 ) .)3 )
1 D ) ) " 1 . ) ) )3 0 ) )3 - -" )3 ! 1 .
1 . ) ! ) ! ) ) ))3 / E ) ) . 3 ) - !
-. " ) ! ) ! . ! (%/#$$0%2
5+,0:,;60 ((/>%,0(% 52:022;60 %/$*(0($
5($0*+;6 2/%**0+> 5%02*;6 ) +$$0%* 5#0:*;6/
) ) . ) ) 8 ) ) . .
" ) ! ) - ) -" ! ! */:+%0#$ 5((0*(;6 3 ) - -" )3
. ) - - ! 8 ) . ) 1 B +$; " ! - )
(2$ - ! 1 . 1 4 . 1 . ) / ) . ) ! .
- ) ! - " ! " ) ! )8 ) 8 ) ! ! " 1 . ) ) 3 )
- -)3 1 . ) 3 ) 3 ! - ) -9 ! ) ) ! - 1 ./
9 ) . " ) - ) - ) ) ) 3 ) ! . - ) !
-" ) ) ) ) 0 ) )3 - ) ) ) . 0 )
- - -" - -0 - ) 1 . ) ) 0 ! " ) 1 4 . 3 ! ) "
. " /
- - ! + ) - 3 3 -" )
3 ) - ) ! " ) ) ) 1 ! . 0 3 ) . 3 ) - ) !
) ) F ) ) ) ) 3 F ! 3 ) - ) ! " ) ) ) 1 ! .
/ ! ) 3 ) 1 " " 1 !
" " !! !0 ) ) ! ) ) ) ! ) ) 1 1 ) "
. ! ) ) G " . 3 ) -/ ! ) ) - ) ! .
) 3 . " ) ) ) ) " 1 ) 3 ) ) - ) 8
. 3 ) ! 1 . ) . . - ) ! ) 3 ) . )3
/ ! ) ) ! ! ) 8 )
-1 * ! ) ) ! )
+
) " ) ! . ) ) - ) ! .
) - ) 1 3 5 - " 60 - ) ! . . )0 - 1 ! 0
) ) )0 ) " - - )/ ) ! !
5*2/*## 60 ) - ) 1 3 3 ) 1 1 " ) 1 ) ) ! 2+/2::
5$$0>+;60 - ) ! . . ) (#/:+: 52$0$%;60 - 1 !
! %/:$2 5(%0(%;60 " - - ) (># 5#0*$;60 ) ) ) ) !
(/2+# 520>#;6 5. ! ) ! . ) 2##,6/ ! )8 )3 1 )
! . )0 1 - )8 4 ) ) ) )
5 6 ! +*/+:$ ) ! - ) ) ) 5 6 ! $/>(>
5 . -" ) 2##%6/
4 ! 3 . - ) ! ) ) 1 %2+0$% -20 - - !
8 -! . " ) 1 )3 $+/2,+ 8 4 3 ) 2:/$,> ! 9! )
2*/%>* " -" ) 1 ! - (+/2+$ 5* 8 4 C 6/ ) )
- )0 " ) " ) 9 - ) ) 1 :$0*+ 8 4 C -2
3 ) 1 ! - 2, 4 ! 3 . C" ) 5 2##,6/
-" " ) 1 " 3 ) 1 - ($9$%
. ) 1 8 -! . ((/((+ 8 4 1 $#0+#; ! . 8 -! . " )
3 ) " - ) ) / ) ! 8 " -1 . ) " ) 9
! - $ 5! - 6 . ) . ) ! . +0%%;C . )0 ) - ) ) )3 ) )
! 1 . - ) - ) ) ) )3 ) - " ) ! . ) . )
) ! 8 " -1 . ) " ) . ) ! ! 1 . ) 1 ) ) )
) ) . ! ))3 /
) " ) ) - ) ! ) ) - ) .
- ) (#/,$$ 8 4 *:0$>; ! . " ) 1 ! 1 ! ) ! .
-" " ) ) / ) - 3 ) ) " ) 3 )
1 - ! - 1 )3 2(/,#2 8 4 5>:02+;60 ! 1 )3 ++> 8 4
5(0$+;6 ) ) 1 )3 $+ 8 4 5#02*;6
)8 " 8 . ) ! 0 - ) ! ) )
- - ! ! 8 . 3 ) 1 3 1 )3 %/,%$ 5$(0((;6
! 8 . 0 ) "! - ) 9- ) 1 )3 2/#:%
5($0,%;60 (/$(> 5((0*:;6 ) : 5#0#%;6/
" " ) ) 3 ) - ) ) - ) ! ) ) ! .
. ) ) - ) " 1 ) )0 . )3 ) - ) " / - ) ) - - !
! ) - ) " " ! ) ! 1 " ) ) - / ) - ) "
. ) ! . >/#>> ) ) " 1 +/$:>0%$ )0 9
1 *$# C. / D ! . ) ) ! ) ) . " 1 ! 1 ) ) )
) ) " ) " ) - ) " 3 3 1 (0# )C. /
- ) ! 1 5 F 6 1 " ) ) - ) )
) . ) )0 ) ) " ) - ) . ) - )
" ) ) 1 $$0,#;0 " ) ) ) 8 1 (*0*:;0 )
)3 ! )/ " ) . ) " ) " - -)3
" ) )0 - ) 8 -! . " ) 1 +/+:* 8 4 5$#0$*;60 1 . ) (/#*>
8 4 5(,0#:;60 ) )3 1 " 4 ) " !0 F 0 3 4 ) 4 0
Gambar 5, 6, dan 7. Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut DTA Waduk Batutegi memiliki luas total 42.400 Ha dengan 5 (lima) tipe penutupan lahan, yaitu hutan, tanaman budidaya, semak belukar, permukiman, dan genangan waduk. Perhitungan luas penutupan lahan di DTA Waduk Batutegi tahun 1992, 2000 dan 2007 di sajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Luas Penutupan Lahan DTA Waduk Batutegi Tahun 1992, 2000 dan 2007.
Penggunaan Lahan Tahun 1992 Tahun 2000 Tahun 2007
Ha %* Ha %* Ha %*
Hutan 27.728,93 65,40 18.614,31 43,90 10.838,25 25,56 Tanaman Budidaya 12.664,31 29,88 20.633,85 48,66 23.288,4 55,93 Semak Belukar 1.976,93 4,66 2.912,97 6,87 6.852,34 16,16
Permukiman 19,63 0,05 56,67 0,13 190,55 0,45
Tubuh Air 10,21 0,02 182,20 0,43 1.230,45 2,90
Jumlah 42.400 100 42.400 100 42.400 100
Sumber: Hasil analisis Citra Landsat Tahun 1992, 2000, dan Aster 2007. *) Persentase terhadap luas total DTA Waduk Batutegi
Gambar 6 Peta Tutupan Lahan DTA Waduk Batutegi Tahun 2000
4
Gambar 7 Peta Tutupan Lahan DTA Waduk Batutegi Tahun 2007
4
Pada tahun 1992 tanaman bududaya dan semak belukar memiliki luas yang cukup besar, berturut4turut seluas 12.664,31 Ha (29,88%) dan 1.976,93 Ha (4,66%), sedangkan pada tahun 2000 seluas 20.633,85 Ha (48,66%) dan 2.912,97 Ha (6,87%), selanjutnya menjadi 23.288,40 Ha (55,93%) dan 6.852,34 Ha (16,16%) pada tahun 2007. Dari angka tersebut terlihat bahwa deforestasi DTA Waduk Batutegi menjadi tanaman budidaya, semak belukar dan pemukiman berlangsung relatif cepat, hal ini akan berpengaruh terhadap fungsi waduk karena debit minimum yang masuk ke dalam waduk mengalami penurunan pada tahun 1992 dari 8,3 M3/det berturut4turut berkurang menjadi 2,33 M3/det tahun 2000 dan 1,06 M3/det tahun 2007.
Perubahan luas penutupan lahan DTA Waduk Batutegi periode tahun 1992 sampai dengan tahun 2007 disajikan pada Tabel 9 sedangkan sebarannya disajikan pada Gambar 8, 9, dan 10.
Tabel 9 Perubahan Luas Penutupan Lahan di DTA Waduk Batutegi Periode Tahun 199242000, 200042007 dan 199242007.
Penutupan Lahan
Tahun 199242000 Tahun 200042007 Tahun 199242007
Ha %* Ha %* Ha %*
Hutan 49.114,62 421,50 47.776,06 418.34 416.890,68 439,84 Tanaman
Budidaya
7.969,54 18,80 2.654,55 6,26 10.624,09 25,06
Semak Belukar 936,04 2,21 3.939,37 9,29 4.875,41 11,50
Pemukiman 37,04 0,09 133,88 0,32 170,92 0,40
Tubuh Air 171,99 0,41 1.048,25 2,47 1.220,24 2,88
Sumber: Hasil perhitungan perubahan penggunaan lahan tahun 1992, 2000 dan 2007 *Persentase terhadap luas DTA Waduk Batutegi
171,99 Ha (0,41%) yaitu mulai terjadi genangan waduk. Berdasarkan hasil analisis tumpangtindih ( ) terlihat bahwa penambahan luas tanaman budidaya (7.969,54 Ha) merupakan hasil konversi lahan hutan (7.808,47 Ha) serta semak belukar sebesar (1.231,65 Ha). Sementara penambahan semak belukar seluas (936,04 Ha) merupakan hasil konversi lahan hutan (1.271,24 Ha) serta tanaman budidaya (912.76 Ha) (Lampiran 2).
Untuk periode 2000 – 2007, perubahan luas didominasi oleh bertambahnya luas tanaman budidaya 2.654,55 Ha (6,26%), semak belukar 3.939,37 Ha (9,29%), permukiman 133,88 Ha (0,32%) dan tubuh air 1.048,25 ha (2,47%), sebaliknya terjadi pengurangan luas hutan sebesar 7.776,06 Ha (18,34%). Pola perubahan penutupan lahan DTA Waduk Batutegi periode tahun 199242000, 200042007, dan 199242007 selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.
Pola perubahan penutupan lahan DTA Waduk Batutegi dapat bersifat searah dan bolak balik, yang sifatnya searah ( ) adalah hutan menjadi tanaman budidaya, semak belukar, pemukiman, dan tubuh air, sedangkan perubahan yang sifatnya bolak4balik ( ) terjadi pada tanaman budidaya dan semak belukar. Tanaman budidaya berasal dari konversi hutan dan semak belukar selanjutnya tanaman budidaya dapat berubah menjadi semak belukar, permukiman dan tubuh air. Begitu juga dengan semak belukar, berasal dari konversi hutan dan tanaman budidaya sedangkan perubahan semak belukar dapat berubah menjadi tanaman budidaya, permukiman dan tubuh air. Secara ringkas pola perubahan yang terjadi di DTA Waduk Batutegi pada periode 199242000, 200042007, dan 199242007 disajikan dalam Tabel 10.
Gambar 8 Peta Perubahan Penutupan Lahan DTA Waduk Batutegi Tahun 199242000
4
Gambar 9 Peta Perubahan Penutupan Lahan DTA Waduk Batutegi Tahun 200042007
4
Gambar 10 Peta Perubahan Penutupan Lahan DTA Waduk Batutegi Tahun 199242007
4
Tabel 10 Pola Perubahan Tipe Penutupan Lahan di DTA Waduk Batutegi Periode Tahun 199242000, 200042007 dan 199242007.
Penutupan Lahan
Tahun 199242000 Tahun 200042007 Tahun 199242007
Hutan (4) Pmk, TnmBd,
Smk, TbhAir
(4) Pmk, TnmBd, Smk, TbhAir
(4) Pmk, TnmBd, Smk, TbhAir
Tanaman Budidaya
(4) Pmk, Smk, TbhAir, (+) Htn, Smk
(4) Pmk, Smk, TbhAir, (+) Htn, Smk,
(4) Pmk, Smk, TbhAir, (+) Htn, Smk
Semak Belukar (4) Pmk, TnmBd, TbhAir (+) Htn,TnmBd
(4) Pmk, TnmBd, TbhAir (+) Htn,TnmBd
(4) Pmk, TnmBd, TbhAir (+) Htn,TnmBd
Permukiman (+) Htn, TnmBd Smk,
(+) Htn, TnmBd Smk,
(+) Htn, TnmBd Smk,
Tubuh Air (+) Htn, TnmBd, Smk,
(+) Htn, TnmBd, Smk,
(+) Htn, TnmBd, Smk,
Keterangan :
4 Htn : Hutan
4 TnmBd : Tanaman Budidaya 4 Smk : Semak Belukar
4 Pmk : Permukiman
4 TbhAir : Tubuh Air
4 Tanda negatif (4) menyatakan luas areal berkurang , terkonversi menjadi.. 4 Tanda positih (+) menyatakan luas areal bertambah, bertambah dari..
Dari uraian di atas tampak bahwa peningkatan luas tanaman budidaya akan berimplikasi terhadap meningkatnya produksi pertanian yang berarti akan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Namun di lain pihak, jika dipandang dari segi ekologis, meningkatnya luas tanaman budidaya yang diperoleh dengan mengkonversi tutupan hutan akan menurunkan fungsi hidrologis DTA Waduk Batutegi seperti yang terjadi pada saat ini. Penurunan fungsi hidrologis ini berdampak pada tidak optimalnya fungsi Waduk Batutegi terbukti dari elevasi air waduk yang cenderung menurun sehingga fungsi waduk terancam tidak terpenuhi (Lampung Post 2008).
Tabel 11 Luas Penutupan Lahan dan Rata4rata Laju Perubahan Penutupan Lahan di DTA Waduk Batutegi Tahun 199242007
Luas Penutupan Lahan Tipe Penutupan
Lahan Tahun 1992
(ha)
Tahun 2007 (Ha)
Perubahan Luas (ha) 199242007
Rata4rata Laju Perubahan Penutupan Lahan (%/th)*
Hutan 27.728,9 10.838,3 416.890,7 44,06
Tanaman Budidaya
12.664,3 23.288,4 10.624,1 5,59
Semak Belukar 1.976,9 6.852,3 4.875,4 16,44
Permukiman 19,6 190,6 170,9 58,05
Tubuh Air 10,2 1.230,5 1.220,2 4
Sumber: Hasil perhitungan perubahan penutupan lahan tahun 1992, dan 2007 *Persentase terhadap luas tipe penutupan lahan tersebut
Dari Tabel 11 terlihat bahwa laju penambahan tubuh air adalah tertinggi yaitu dari 10,2 Ha di tahun 1992 menjadi 1.230,5 Ha tahun 2007, dan penambahan ini akan terhenti setelah elevasi air waduk mencapai titik optimum 274 meter (± 2.100 ha). Hal ini terjadi karena telah terjadi pengisian waduk yang dimulai sejak tahun 2001 dan baru diresmikan pada tahun 2004 oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Laju penambahan berikutnya adalah lahan permukiman (58,05%/th), semak belukar (16,44%/th) dan tanaman budidaya (5,59%/th). Sedangkan laju pengurangan penutupan lahan hanya terjadi pada hutan sebesar (4,06%/th).
Untuk perubahan lahan hutan menjadi semak belukar bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah dan sistem perladangan berpindah oleh masyarakat setempat. Setelah dilakukan penebangan hutan oleh pihak4pihak yang tidak bertanggung jawab, sebagian hutan dibiarkan begitu saja hingga akhirnya berubah menjadi semak belukar. Begitu juga dengan pola ladang berpindah, setelah lahan yang dibuka tidak produktif lagi, maka mereka para perambah akan meninggalkan untuk mencari lahan baru, sedangkan lahan yang ditinggal akan berubah menjadi semak belukar.
Menurut Soemarwoto (1989), tekanan penduduk muncul disebabkan oleh lahan pertanian yang ada di suatu daerah tidak cukup untuk mendukung kehidupan penduduk pada tingkat yang dianggap layak. Oleh karena itu penduduk berusaha untuk mendapatkan tambahan pendapatan dengan membuka lahan baru atau memilih pergi ke kota. Dorongan untuk membuka lahan baru atau untuk pergi ke kota disebut sebagai .
Indikasi adanya tekanan penduduk terhadap suatu wilayah dapat dilihat dari nilai indeks tekanan penduduk. Menurut Soemarwoto indeks tekanan penduduk dipengaruhi oleh proporsi jumlah masyarakat yang bekerja dalam bidang pertanian dalam wilayah tersebut (f), luas lahan minimal yang dapat memberikan hidup layak atau setara dengan 640 kg beras/tahun (z), tingkat pertumbuhan penduduk (r), serta luas lahan pertanian (L) dan jumlah penduduk (Po). Luas lahan pertanian yang dianggap dapat memberikan hasil untuk memenuhi kehidupan yang layak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah produktivitas lahan serta jenis tanaman yang dibudidayakan. Untuk menyederhanakan perhitungan agar didapatkan angka yang dapat memberikan kehidupan yang layak maka ditetapkan angka 200 % dari ambang kecukupan pangan sebagai kebutuhan hidup minimum di pedesaan, Angka tersebut ditetapkan oleh Sajogyo dan Sajogyo (1990) sebesar 320 kg/orang/tahun.
rumah tangga x 100% x jumlah anggota keluarga x harga beras, sedangkan kebutuhan hidup tambahan (KHT) terhadap aspek pendidikan dan sosial, kesehatan dan rekreasi serta asuransi dan tabungan masing4masing sebesar 50 % dari kebutuhan hidup minimum (KHM). Kebutuhan hidup minimum di lokasi penelitian sebesar Rp 7.200.000,00/KK/tahun sedangkan kebutuhan hidup layak sebesar Rp. 18.000.000,00/KK/tahun dengan luas lahan minimal 1,11 ha (Banuwa 2008).
Proporsi jumlah penduduk yang berusaha di bidang pertanian juga sangat menentukan dalam perhitungan indeks tekanan penduduk. Hal ini disebabkan penduduk yang berusaha di bidang pertanian berpotensi untuk memanfaatkan ruang atau kawasan hutan untuk budidaya pertanian. Meskipun demikian, pernyataan ini tidak sepenuhnya benar karena tidak semua perambah hutan adalah berprofesi sebagai petani. Selain itu angka pertumbuhan penduduk, juga mempengaruhi indeks tekanan penduduk, karena semakin besar angka pertumbuhan penduduk maka nilai indeks tekanan penduduk akan bertambah.
Dalam penelitian ini indeks tekanan penduduk dihitung dari data Potensi Desa (PODES) tahun 2000, 2003, dan 2006, sedangkan hasil perhitungan indeks tekanan penduduk terhadap desa4desa di sekitar DTA Waduk Batutegi disajikan pada Tabel 12 dan sebarannya spasialnya ditampilkan pada Gambar 11.
Tabel 12 Tekanan Penduduk Tahun 2006 di Sekitar DTA Waduk Batutegi
Kecamatan Desa Kepadatan
Geografis (Jiwa/Km2)
Kpddt Agraris (Jiwa/ha)
Rata-rata Kepemilikan
Lahan (ha/KK)
Kebutuh an lahan minimal (ha/KK)
Indeks Tekanan Penduduk
Kabupaten Lampung Barat
Tabel 12 (Lanjutan)
Kecamatan Desa Kepadatan
Geografis (Jiwa/Km2)
Kpddt Agraris (Jiwa/ha)
Rata-rata Kepemilikan
Lahan (ha/KK)
Kebutuh an lahan minimal (ha/KK)
Indeks Tekanan Penduduk
Kabupaten Lampung Barat
Way Tenong Sukaraja Sukananti Sri Menanti Sidodadi Tanjung Raya Gunung Terang Sumber Alam Semarang Jaya Fajar Bulan Mutar Alam Karang Agung Pura Laksana
85 Kabupaten Tanggamus
Pulau Panggung
Gunung Megang Sinar Mulyo Kemuning Tanjung Begelung Gedung Agung Penantian Muara Dua Tekad Way Harong Air Kubang Karang Sari Pulau Panggung Way Ilahan Gunung Meraksa Batu Bedil Air Bakoman Air Naningan Datar Lebuay
57
Ulu Belu Datarajan
Gunungtiga Karangrejo Pagar Alam Ulubelu Muaradua Ulubelu Ngarip
Penantian Ulubelu Gunung Sari Sirna Galih Ulu Semong
Lampiran 12 (Lanjutan)
Kecamatan Desa Kepadatan
Geografis (Jiwa/Km2)
Kepadatan Agraris (Jiwa/ha)
Rata-rata Kepemilikan
Lahan (ha/KK)
Kebutuh an lahan minimal (ha/KK)
Indeks Tekanan Penduduk
Kabupaten Lampung Tengah
Selanggai Lingga
Marga Jaya Lingga Pura Nyukang Harjo Sidoharjo Taman Sari Negeri Katon Karang Anyar Galih Karangjati Gedung Harta Negeri Agung Tanjung Ratu Gedung Haji
370
Pubian Kota Batu
Payung Dadi Payung Makmur Payung Rejo Payung Batu Tanjung Rejo Tanjung Kemala Negeri Kepayungan Segala Mider Tias Bangun
335
Sendang Agung Sendang Asri Sendang Baru Sendang Mukti Sendang Mulyo Sendang Rejo Sendang Retno
656
Rata4rata 257 3 2,74 0,72 2,02
Rata4rata DTA Waduk Batutegi 122 2 2,77 0,86 1,21
Sumber : Podes tahun 2000, 2003 dan 2006 (diolah)
Gambar 11 Peta Sebaran Indeks Tekanan Penduduk di Sekitar DTA Waduk Batutegi
5
Rata4rata kepadatan Agraris di sekitar DTA Waduk Batutegi adalah 3 jiwa/ha dengan kepadatan tertinggi terjadi di Desa Tekad, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus, sedangkan kepadatan agraris terendah terdapat di Desa Sindang Pagar, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. Kepadatan agraris sangat ditentukan oleh proporsi keluarga petani dan luas lahan pertanian yang tersedia seperti sawah, ladang/tegalan, atau kebun. Dengan mayoritas (90%) penduduk sekitar DTA Waduk Batutegi merupakan keluarga petani yang berbasis lahan, maka secara teoritis tekanan terhadap DTA Waduk Batutegi semakin berat terutama pada sumberdaya lahan atau sumberdaya alam, khususnya terhadap kawasan lindung.
Berdasarkan perhitungan indeks tekanan penduduk, terhadap 83 desa di DTA Waduk Batutegi dan sekitarnya, dan dengan asumsi bahwa luas pertanian rata4rata minimal 0,75 ha/kk maka diprediksi hasil bahwa 29 desa (33,33%) memiliki ITP <1, 20 desa (22,99%) mempunyai ITP = 142, dan 38 desa (43,63%) memiliki ITP >2. Persebaran spasial indeks tekanan penduduk di daerah penelitian dan sekitarnya disajikan pada Gambar 11.
Berdasarkan perhitungan Indek Tekanan Penduduk (ITP) tersebut, maka desa4desa di DTA Waduk Batutegi di Kabupaten Tanggamus memiliki kategori sedang dan ringan kecuali Desa Air Naningan dan Desa Karang Sari. Desa4desa yang berbatasan langsung atau berada di dalam DTA lebih berpotensi memberikan tekanan terhadap DTA dikarenakan aksesbilitas/jaringan jalan yang mudah serta daerah tersebut memiliki relief relatif ringan dengan kelas lereng 84 15% (bergelombang).
relief berbukit dengan kelas lereng 15430% hingga 45465% (curam). Berdasarkan kondisi ini maka perubahan penutupan lahan pada daerah ini relatif kecil. Jika analisis ini dilakukan dengan asumsi bahwa luas lahan minimal untuk hidup layak sebesar minimal 2 ha (menurut masyarakat), maka hampir semua desa di sekitar DTA memiliki indeks tekanan penduduk >2 (berat). Oleh karena itu, berdasarkan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya lahan maka hampir semua desa berpotensi menekan penutupan lahan di DTA Waduk Batutegi.
Tekanan penduduk pada lahan4lahan pertanian selain dipengaruhi oleh jumlah petani dan luas lahan pertanian yang ada, juga dipengaruhi oleh kemampuan petani mengolah lahan sehingga lahan yang ada bisa dimanfaatkan secara efektif. Kondisi saat ini lebih dari 65 % desa4desa di DTA Waduk Batutegi memiliki indeks tekanan penduduk >1. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam daerah penelitian sendiri masih diperlukan upaya4upaya teknis maupun sosial untuk menurunkan besarnya inlai indeks tekanan penduduk tersebut. Apabila hal ini tidak dihiraukan maka luas lahan pertanian yang ada akan menjadi tidak mampu lagi menampung jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian.
Perlu dijelaskan disini bahwa perhitungan indeks tekanan penduduk belum dapat menunjukkan secara langsung terhadap perubahan penutupan lahan yang terjadi di DTA, namun lebih menunjukkan pada besarnya potensi untuk terjadinya perubahan tersebut. Namun demikian dari hasil penelitian lapangan dapat diperoleh tipologi masyarakat di daerah penelitian dan sekitarnya yang dapat digunakan sebagai gambaran tentang besarnya tekanan penduduk terhadap kebutuhan lahan di wilayahnya.
Untuk mengatasi hal ini maka beberapa upaya perlu dilakukan terutama untuk mengurangi ketergantungan penduduk terhadap lahan, diantaranya adalah dengan meningkatkan keragaman mata pencarian mereka dengan jalan memberikan keterampilan teknis kepada masyarakat. Alternatif lain yang dapat dilaksanakan adalah dengan penekanan terhadap laju pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana dan melakukan program intensifikasi pertanian agar produktifitas tanah akan lebih tinggi sehingga luas lahan minimal untuk dapat hidup layak mencukupi meskipun kecil. Apabila memungkinkan perlu pula dilakukan perbaikan atau rehabilitasi terhadap tanah4tanah yang sudah tidak produktif, diharapkan akan dapat memperkecil tekanan penduduk terhadap lahan pertanian (Feri 2007).
Selain itu perlu pula peningkatan aksesibilitas wilayah untuk membantu pemasaran hasil pertanian dan menumbuhkan industri pengolahan, jasa maupun perdagangan yang dapat memberikan lapangan kerja baru. Peningkatan aksebilitas ini perlu diwaspadai agar tidak disalahgunakan untuk kemudahan pembalakan dan perambahan hutan.
! " #$%& &'!&((&()#*
Analisis spasial terhadap ketiga parameter fisik dari Kepmentan Nomor. 937/Kpts/Um/II/1980, yaitu kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan harian, di daerah penelitian menghasilkan skor identifikasi blok pengelolaan DTA Waduk Batutegi antara 100 – 180. Dari luasan DTA Waduk Batutegi (seluas 42.400 ha), tercatat 2.931,18 Ha (6,91%) memiliki skor ≥ 175; 15.958,25 Ha (37,64%) memiliki skor 1254174 dan 21.415,12 Ha (50,51%) memiliki skor <124 (Tabel 13). Berdasarkan Kepmentan tersebut areal yang memiliki skor ≥ 175 ditetapkan sebagai Blok Perlindungan areal yang memiliki skor 1254174 ditetapkan sebagai Blok Pemanfaatan Terbatas dan areal yang memiliki skor < 124 ditetapkan sebagai Blok Pemanfaatan Budidaya (Hutan Kemasyarakatan).
Tabel 13 Luas DTA Waduk Batutegi Berdasarkan Jumlah Skor Identifikasi Blok Pengelolaan.
Luas Skor
Ha %
≥ 175 2.931,18 6,91
1254174 15.958,25 37,64
< 124 21.415,12 50,51
Genangan Waduk 2.095,45 4,94
Jumlah 42.400 100
Sumber : Hasil operasi peta kelas lereng, kepekaan erosi dan intensitas hujan harian (Hasil analisis 2008)
Berdasarkan Kepmentan ini, tingginya skor mengambarkan suatu kawasan yang semakin rentan untuk mengalami degradasi atau penurunan kualitas, sehingga kawasan ini perlu dilindungi dari kegiatan4kegiatan yang dapat merusak kawasan. Pada DTA Waduk Batutegi tingginya skor disebabkan oleh faktor lereng yang curam. Sebaliknya areal yang memiliki nilai skor rendah berada pada areal dengan lereng landai sampai bergelombang. Sebaran skor identifikasi blok pengelolaan DTA Waduk Batutegi disajikan pada Gambar 12.