• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah Dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Di Pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah Dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Di Pulau Jawa"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PRODUKSI PADI DI PULAU JAWA

WINA DWI FEBRINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

WINA DWI FEBRINA. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan NOER AZAM ACHSANI.

Lahan merupakan sumberdaya yang secara fisik tidak dapat diproduksi sehingga persediaan lahan terbatas. Tingginya permintaan lahan untuk berbagai kegiatan yang cenderung melebihi persediaan lahan yang ada dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan lahan. Kelangkaan lahan mendorong terjadinya persaingan penggunaan lahan dimana peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan.

Terkait dengan permasalahan konversi lahan sawah di Indonesia, tentunya tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi. Pulau Jawa adalah produsen padi terbesar dengan lahan sawah terluas di Indonesia. Berdasarkan sebarannya, Pulau Jawa memiliki lahan sawah terluas yakni kurang lebih 3.231 ribu hektar atau 43% dari total luas lahan sawah di Indonesia. Oleh karena itu, terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Pulau Jawa perlu mendapat perhatian karena mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya dapat mempengaruhi kapasitas produksi padi lokal/nasional mengingat Pulau Jawa merupakan produsen padi terbesar di Indonesia, sehingga jika tidak diantisipasi, diduga akan berdampak pada kondisi pangan di masa depan.

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan konversi lahan sawah, faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah dan dampaknya terhadap produksi padi di Pulau Jawa. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel terkait konversi lahan sawah tahun 1995-2013. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif kuantitatif, analisis regresi data panel dan fungsi produksi Cobb Douglas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sepanjang tahun 1995-2013 konversi lahan sawah terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa dengan total luas konversi

sebesar 370 ribu hektar atau sekitar 19 ribu hektar per tahun dengan laju sekitar 0,57 persen per tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap

terjadinya konversi lahan di Pulau Jawa adalah nilai tukar petani dan PDRB sektor industri pengolahan. Berdasarkan nilai elastisitasnya, secara parsial dapat diketahui bahwa nilai tukar petani dan PDRB sektor industri bersifat inelastis terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. Berdasarkan metode analisis deskriptif kuantitatif dan fungsi produksi Cobb Douglas diketahui bahwa konversi lahan sawah yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 19 tahun (1995-2013) telah menyebabkan hilangnya kapasitas produksi padi sebesar 57,733 juta ton gabah atau sekitar 3,038 juta ton gabah per tahun. Bila dikonversikan setara beras, maka konversi lahan sawah menyebabkan hilangnya produksi sebesar 36,222 juta ton beras atau sekitar 1,906 juta ton beras per tahun. Berdasarkan elastisitasnya, luas lahan sawah bersifat elastis terhadap produksi padi.

(5)

SUMMARY

WINA DWI FEBRINA. Determinant of Paddy Fields Conversion and its Impact to Paddy Production in Java. Supervised by DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and NOER AZAM ACHSANI.

Land is a resource that physically can not be produced, so that the supply of land is limited. In the other side, the high demand for land for a variety of activities tend to exceed the supply of available land, this condition led to scarcity of land. The scarcity of land led to the competition of land use. The increasing in land use requirements for an activity will reduce the availability of land for other activities that can cause land conversion. Land conversion can be defined as a change of land use for an activity into other land use that different from previous activities.

Problems associated with the paddy fields conversion in Indonesia, of course, inseparable from the role of Java as rice production centers. Java Island is the largest rice producer with the largest paddy field in Indonesia. Based on the

distribution, Java has the largest paddy field which is approximately 3,231 thousand hectares or 43 percent of the total area of paddy fields in Indonesia.

The occurrence of paddy fields conversion to the use of non-paddy fields in Java requires attention because it has opportunity costs, of which may affect the capacity of rice production locally/nationally. Considering that Java are the largest rice producers in Indonesia, if paddy fields conversion in Java not anticipated, it expected to have an impact on food situation in the future.

This paper reports the progress of land conversion, especially from paddy field to other utilizatios and its impact to paddy production in Java Island using panel data (provincial data 1995-2013). Using descriptive analysis method it is

found that among 1995-2013 paddy fields conversion in Java island is about 370 thousand hectares or about 19 thousand hectares annually at a rate of about

0.57 percent per year. West Java province had the largest paddy field convertion amounted to 228 thousand hectares or about 12 thousand hectares per year.

The data then threated as the dependent variabel in the regression analysis for determining the factors that are significantly influential. It is found that farmers exchange rate, and GDP of manufacturing industries sectors are significantly influence the land conversion. The relative strengths of the influential factors are then compared using the concept of elasticity. Using mathematic formulation it is found that the paddy field conversion among 1995-2013 caused lost of paddy production about 57,733 million tons or about 3,038 million tons per year. Converted to the rice equivalent, the paddy field conversion causes loss of production amounted to 36.222 million tons of rice, or about 1.906 million tons of rice per year. If the conversion of land continues to occur each year, assuming the rate of land conversion are fixed, then in 2018 the estimated paddy production capacity will be lost by 6.35 million tons . Based on the elasticity, the paddy field are elastic to paddy production.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PRODUKSI PADI DI PULAU JAWA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa

Nama : Wina Dwi Febrina NIM : H152120151

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir DS Priyarsono, MS Ketua

Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan

Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan program pendidikan stratra dua (S2) di IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini ialah Konversi Lahan dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir DS Priyarsono dan Bapak Prof Dr Ir Noer Azam Achsani selaku komisi pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya atas motivasi, bimbingan, dan segala bantuan yang diberikan hingga penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MSi sebagai Ketua Program Studi PWD, seluruh staf pengajar PWD serta jajarannya. Terima kasih pula kepada Pusbindiklatren Bappenas dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN yang telah memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan S2 ini.

Rasa terima kasih penulis yang spesial untuk Alm.Wisnu Anggoro, belahan jiwa yang selalu membantu dan mendampingi dan memberi semangat hingga akhir hayatnya, juga kepada Herjuno Wisnu Aji atas warna dan keceriaan yang telah dibagi kepada penulis. Terima kasih pula disampaikan kepada ibu dan keluarga besar kostaman, alm. Sudaryanto dan keluarga besar Sudaryanto atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya angkatan 2012 serta rekan-rekan di Puslitbang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN atas segala support dan inspirasinya. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bpk/Ibu/Sdr semua. Semoga karya ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 8

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 9

Ruang Lingkup Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

Arti Penting Lahan dari Segi Ekonomi 10

Teori Tanah sebagai Lahan Pertanian 11

Teori Klasik Penggunaan Lahan 11

Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan 12

Konversi Lahan Sawah 13

Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Konversi Lahan Sawah 13

Dampak Konversi Lahan Sawah 15

Penelitian Terdahulu 17

Kerangka Pemikiran 18

Hipotesis Penelitian 20

3 METODE PENELITIAN 20

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 20

Metode Analisis Data 20

Metode analisis deskriptif kuantitatif 21

Metode analisis regresi data panel 21

Metode analisis deskriptif kuantitatif 25

Metode Fungsi Produksi Cobb Douglas 29

Prosedur Analisis Data 30

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 32 Perkembangan Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa 32 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konversi lahan sawah di Pulau Jawa 35 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Produksi padi 45

5 SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 51

Simpulan 51

Saran 51

Implikasi Kebijakan 52

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN 56

(12)

DAFTAR TABEL

1 Luas penggunaan lahan sawah di Indonesia tahun 1980-2009 3 2 Klasifikasi lahan sawah di Indonesia berdasarkan jenis pengairan tahun

1980-2009 4

3 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun

1971-2010 4

4 Perkembangan defisit/surplus produksi dan konsumsi beras serta

volume impor beras Indonesia tahun 2001-2012 5

5 Luas penggunaan lahan sawah di Pulau Jawa tahun 1980-2009 6

6 Metode dan prosedur analisis data 31

7 Perkembangan Konversi Luas lahan Sawah Menurut Provinsi di

Pulau Jawa Tahun 1995-2013 (Ha) 33

8 Laju Konversi Lahan Sawah Neto Menurut Provinsi di Pulau Jawa

tahun 1995-2013 34

9 Wilayah dengan Laju Konversi Neto Tertinggi di Pulau Jawa

tahun 2009-2013 35

10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di

Jawa menggunakan Metode PLS 36

11 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di

Jawa menggunakan Metode FEM 37

12 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di

Jawa menggunakan Metode REM 38

13 Hasil Estimasi Likelihood Test Ratio antara metode FEM dan PLS 39 14 Hasil Estimasi Uji Hausman antara metode FEM dan REM 39 15 Kapasitas produksi padi pada kondisi luas sawah tetap di Pulau Jawa

menurut provinsi periode tahun 1995-2013 46

16 Kapasitas produksi padi pada kondisi luas sawah mengalami konversi lahan sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013 47 17 Produksi padi yang hilang sebagai dampak konversi lahan sawah di

Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013 48 18 Perkiraan produksi padi yang hilang sebagai dampak konversi lahan

sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 2014-2018 49 19 Hasil estimasi model persamaan dampak konversi lahan sawah terhadap

produksi padi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 50

DAFTAR GAMBAR

1 Perubahan struktur ekonomi Indonesia tahun 1983-2009 2

2 Kerangka pemikiran 20

3 Perkembangan luas baku sawah dan produksi Padi per tahun pada kondisi tidak ada perkembangan teknologi dan luas sawah baku tetap (Lc), luas sawah baku berkurang sebesar K1 (LK1) dan luas sawah baku

berkurang sebesar k2 (LK2) 27

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luas lahan sawah menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013

(hektar) 57

2 Luas konversi lahan sawah menurut Propinsi di Pulau Jawa

tahun 1995-2013 (Hektar) 58

3 Laju konversi lahan sawah menurut Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

tahun 2009-2013 (persen) 59

4 Laju konversi lahan sawah, laju nilai tukar petani, laju PDRB sektor industri pengolahan, laju jumlah penduduk dan laju perkembangan jumlah industri besar dan sedang pada industri pengolahan per Tahun Menurut Propinsi di Jawa Tahun 1995-2013 (persen) 63 5 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di

Jawa menggunakan Metode PLS 66

6 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di

Jawa menggunakan Metode FEM 67

7 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di

Jawa menggunakan Metode REM 68

8 Hasil Estimasi Likelihood Test Ratio antara metode FEM dan PLS 69 9 Hasil Estimasi Uji Hausman antara metode FEM dan REM 70 10 Intensitas panen padi per tahun (It) menurut Provinsi di Pulau Jawa

tahun 1995-2013 71

11 Produksi padi per hektar per musim panen (Yt) menurut Provinsi di

(14)

Latar Belakang

Lahan sebagai sumberdaya alam sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Penggunaan lahan berkaitan baik dengan potensi alaminya seperti kesuburan tanah atau kandungan mineral yang berada di bawah permukaannya maupun dalam kaitannya sebagai ruang yang ditentukan adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan lain yang telah ada (Harsono 1991). Ketersediaan lahan merupakan faktor penting untuk menjamin kelangsungan berbagai kegiatan manusia, salah satunya adalah kegiatan penyediaan pangan.

Akan tetapi, lahan merupakan sumberdaya yang secara fisik tidak dapat diproduksi sehingga persediaan lahan terbatas (Nuryati 1995). Tingginya permintaan lahan untuk berbagai kegiatan yang cenderung melebihi persediaan lahan yang ada dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan lahan. Kelangkaan lahan mendorong terjadinya persaingan penggunaan lahan yang dapat menyebabkan konversi lahan. Hal tersebut sejalan dengan uraian Barlowe (1978) dalam Butar-Butar (2012) bahwa dari segi penggunaannya lahan mempunyai kompetisi, yakni adanya ketidakseimbangan antara penawaran yang terbatas dan permintaan yang tak terbatas. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Konversi lahan dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak terhadap lingkungan dan potensi itu sendiri (Utomo et al. 1991 dalam Nuryanti 2011).

(15)

Gambar 1. Perubahan struktur ekonomi Indonesia tahun 1983-2009

Sektor primer merupakan gabungan dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan serta sektor pertambangan dan penggalian. Sektor sekunder merupakan gabungan dari sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air dan sektor konstruksi. Sedangkan sektor tersier merupakan gabungan dari sektor perdagangan, hotel, restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa telah terjadi transformasi perekonomian atau perubahan struktur ekonomi Indonesia yang ditandai dengan semakin menurunnya peran sektor primer dalam sumbangannya terhadap PDB Indonesia dan semakin meningkatnya peran sektor nonprimer.

Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri, prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan nonpertanian tersebut. Namun, tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan nonpertanian. Kondisi seperti inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tidak mungkin dapat dihindari (Sudaryanto 2004). Hal ini tentu saja merupakan kondisi yang harus diwaspadai karena bukan saja berarti berkurangnya luas areal pertanian, namun akan berdampak pula pada produksi pertanian.

Salah satu isu konversi lahan pertanian yang marak terjadi dan perlu diantisipasi adalah konversi lahan sawah. Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang memiliki peluang lebih besar untuk terkonversi dibandingkan

lahan kering (Irawan 2005). Hal ini terjadi karena tiga faktor yaitu, 1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti perumahan dan industri lebih

(16)

Tabel 1 Luas penggunaan lahan sawah di Indonesia tahun 1980-2009

Pulau Luas Penggunaan Lahan Sawah (Ha)

1980 1990 2000 2009 1990-2009

Sumatera 1.504.860 2.274.411 2.273.173 2.398.716 124.305 Jawa 3.616.795 3.558.184 3.504.016 3.444.579 -113.605

Bali 72.725 100.934 97.989 76.003 -24.931

Nusa Tenggara 368.259 354.117 351.745 285.582 -68.265 Kalimantan 898.470 1.305.137 1.003.410 937.607 -367.530 Sulawesi 763.560 796.296 832.187 886.501 90.205

Maluku 7.417 19.359 33.307 21.763 2.404

Papua 30.286 73.316 61.158 55.840 -17.476

Indonesia 7.262.372 8.481.754 8.157.526 8.106.860 -374.894 Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010)

Berdasarkan Tabel 1, luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 1980 hingga tahun 1990 cenderung mengalami peningkatan. Akan tetapi sejak tahun 1990 hingga 2009 luasan lahan sawah di Indonesia mengalami penurunan. Penurunan luasan lahan sawah tersebut dapat diketahui dari tanda negatif. Tanda negatif menunjukkan pengurangan luas lahan sawah (konversi), sementara tanda positif menunjukkan penambahan luas lahan sawah. Penurunan luas lahan sawah terbesar terjadi di Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa, sedangkan penambahan luas lahan terbesar berada di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi.

Proses konversi lahan ini terjadi sebagai dampak dari peningkatan aktivitas ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya dan akibat diberlakukannya hukum pasar (Pramudita 2015). Hukum pasar memicu adanya pergeseran aktivitas pada lahan dari aktivitas yang menghasilkan keuntungan rendah (land rent rendah) menuju aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi (Rustiadi 2001). Posisi pertanian dalam menghasilkan land rent rendah cenderung kalah dengan sektor lain seperti industri, perumahan, dan jasa yang memiliki land rent lebih tinggi. Land rent pertanian nilainya 1:500 untuk kawasan industri, dan 1:622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto 1996), kondisi ini menyebabkan aktivitas konversi lahan ke penggunaan nonpertanian menjadi tidak terkendali terutama pada wilayah sekitar perkotaan (Pramudita 2015).

(17)

menyebabkan pemborosan investasi pada jaringan irigasi yang dibangun untuk mendukung lahan pertanian khususnya sawah.

Tabel 2 Klasifikasi lahan sawah di Indonesia berdasarkan jenis pengairan tahun 1980-2009

Klasifikasi Tanah Sawah

Luas Penggunaan Tanah Sawah Indonesia

1980 1990 2000 2009

Irigasi teknis 1.767.355 1.766.056 1.787.583 1.774.276 Irigasi semi teknis 2.029.218 2.289.195 2.227.900 2.190.139 Irigasi sederhana 1.478.534 1.772.678 1.725.576 1.560.349 Tadah hujan 1.827.178 2.227.024 1.994.601 2.174.501 Pasang Surut 160.087 426.802 421.865 407.594 Luas Sawah (Ha) 7.262.372 8.481.754 8.157.526 8.106.860

Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010)

Selain akibat dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk juga diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya konversi lahan sawah. Ditinjau dari sisi demografi, populasi penduduk di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi sebagaimana terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 1971-2010

Tahun 1971 1980 1990 2000 2010

Jumlah Penduduk (juta jiwa)

119,2 147,5 179,4 205,1 237,6

Laju Pertumbuhan (persen)

2,30 1,97 1,49 1,49

Sumber: BPS Sensus Penduduk tahun 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sudah mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta sejak tahun 2000 (BPS 2010). Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2000-2010 1,49 persen per tahun. Artinya bahwa rata-rata peningkatan jumlah penduduk Indonesia per tahun antara tahun 2000 hingga 2010 adalah sebesar 1,49 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tahunnya antara tahun 2000 hingga 2010 jumlah penduduk Indonesia bertambah sebesar 1,49 persen.

(18)

Kumalasari (2014), tingkat konsumsi beras per kapita per tahun masyarakat Indonesia meningkat per tahunnya sedangkan produksi yang dihasilkan meskipun pada beberapa tahun terakhir dapat memenuhi tingkat konsumsi masyarakat Indonesia, namun laju produksi padi tersebut cenderung mengalami penurunan. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah mengambil keputusan untuk melakukan impor beras dari negara lain. Tabel 4 menunjukkan perkembangan defisit/surplus dari produksi dan konsumsi beras serta volume impor beras di Indonesia tahun 2001-2012.

Tabel 4 Perkembangan defisit/surplus produksi dan konsumsi beras serta volume impor beras Indonesia tahun 2001-2012

Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton)

Defisit/Surplus (ton)

Impor (ton)

2001 31.659.094 32.283.326 -624.232 649.488

2002 32.304.634 33.073.152 -768.519 1.811.988 2003 32.711.132 33.372.463 -661.331 1.437.472

2004 33.935.104 33.669.384 265.720 246.256

2005 33.974.398 34.389.029 -414.631 189.617

2006 34.165.027 35.532.082 -1.367.055 438.108 2007 35.860.574 36.423.236 -562.662 1.406.547

2008 37.848.485 37.200.322 648.163 289.000

2009 40.403.863 38.102.776 2.301.087 250.473

2010 41.702.897 38.502.594 3.200.303 687.581

2011 41.255.881 38.740.235 2.515.646 2.750.476 2012 43.325.813 39.265.422 4.060.391 1.810.372 Sumber: Statistik Indonesia 2013, Neraca Bahan Makanan 2013 dalam Kumala Sari 2014

Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa pada tahun 2001-2007 Indonesia mengalami defisit beras dimana konsumsi beras lebih tinggi dari produksi beras. Namun sejak tahun 2008 Indonesia mengalami surplus beras, dimana produksi lebih tinggi dari tingkat konsumsi. Hasil penelitian Kumalasari (2014) menyatakan bahwa produksi padi berpengaruh negatif terhadap impor beras. Hal ini berarti bahwa jika produksi meningkat maka impor beras akan menurun.

(19)

mengalami penurunan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa impor beras akan semakin besar.

Terkait dengan permasalahan konversi lahan sawah di Indonesia, tentunya tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi. Peran Jawa dalam produksi padi nasional cukup besar meskipun luasnya hanya 7 persen dari luas daratan total Indonesia. Secara historis, pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi nasional dimana pada saat itu Pulau Jawa mampu memberikan kontribusi sebesar 63,12 persen dari total produksi padi nasional. Selanjutnya, selama tahun 1985-2005 sekitar 55-62 persen produksi padi nasional dihasilkan di Pulau Jawa (Irawan et al. 2012). Akan tetapi, konversi lahan sawah nampaknya sudah menjadi fenomena yang lazim terjadi di Pulau Jawa. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, perkembangan luas lahan sawah di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5 Luas penggunaan lahan sawah di Pulau Jawa tahun 1980-2009

Pulau Jawa 1980 1990 2000 2009

DKI Jakarta 10.883 5.609 2.913 1.756

Jawa Barat 1.086.687 1.073.327 1.060.659 1.039.828 Jawa Tengah 1.090.724 1.075.962 1.072.602 1.064.776

DI Yogyakarta 78.313 70.752 64.322 57.376

Jawa Timur 1.122.849 1.113.251 1.101.331 1.084.278

Banten - - 202.190 196.565

Pulau Jawa 3.616.795 3.558.184 3.504.016 3.444.579 Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010)

Berdasarkan Tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa luas lahan sawah sejak tahun 1980 hingga tahun 2009 terus mengalami penurunan luasan di seluruh provinsi di Pulau Jawa. Hal ini tentunya perlu diwaspadai karena lahan merupakan input utama dalam produksi padi. Menurunnya luasan lahan di Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi, tentunya akan berdampak pada besarnya produksi padi yang dihasilkan dan tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh pada ketersediaan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia.

(20)

Namun, fakta dilapangan menunjukkan bahwa pengendalian konversi lahan sawah melalui pendekatan yuridis belum maksimal dalam mengatasi permasalahan konversi lahan sawah. Lichtenberg and Ding (2008) menyatakan bahwa rintangan terbesar dalam perlindungan lahan pangan bukan pada aspek fisik melainkan institusional. Kegagalan dalam mengatur aspek institusional berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran lahan untuk dikonversi. Instrumen yuridis yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah belum menerapkan sangsi yang jelas, tumpang tindih dan tidak didukung dengan instrumen ekonomi dan sosial. Hal ini menyebabkan laju konversi lahan sawah masih cukup besar bahkan merambah ke lahan sawah dengan irigasi teknis yang sangat potensial untuk produksi padi sawah (Irawan 2008). Sebagai contoh, ditinjau dari segi ekonomi, kurangnya infrastruktur pasar dan kelembagaan menyebabkan masalah besar dalam merealisasikan pendapatan potensial dan spesialisasi regional pada produksi pangan yang dapat menghalangi proses investasi pertanian di banyak daerah.

Selain itu, pelaksanaan UU No. 41 tahun 2009 terkendala dengan tumpang tindihnya aturan dari UU yang lain, seperti dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dimana daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan fungsi wilayahnya. Pertanian hanya merupakan urusan pilihan bagi pemerintah Kabupaten/Kota di dalam UU No.23 tahun 2014. Kondisi ini memperbesar peluang daerah mengabaikan sektor pertanian. Irawan (2008) menyatakan bahwa fokus daerah terhadap kemajuan wilayahnya yang dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah (PAD) menyebabkan daerah berlomba-lomba meningkatkan investasi di sektor non pertanian karena dapat menghasilkan PAD lebih besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Konsekuensinya jika terjadi permintaan konversi lahan pertanian untuk dimanfaatkan oleh pembangunan sektor pertanian maka pemerintah daerah cenderung kurang mempertimbangkan larangan konversi lahan yang berlaku.

(21)

Dengan demikian, ternyata instrumen tata ruang yang diharapkan memberikan perlindungan terhadap lahan pertanian justeru memberikan peluang bagi terjadinya konversi lahan sawah yang lebih besar.

Konversi lahan pada hakekatnya merupakan hal yang tidak dapat dihindari pada negara berkembang seperti Indonesia, namun konversi lahan pada kenyataannya dapat membawa banyak masalah jika terjadi di atas lahan sawah yang masih produktif. Konversi lahan sawah merupakan ancaman serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan lain sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah baru diluar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengganti kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang sangat lama untuk melakukan pembangunan lahan sawah dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Penyelesaian masalah ini perlu dukungan dari keinginan petani untuk mempertahankan lahan dan perlu diimbangi dengan insentif yang tepat agar lahan tidak dikonversi ke penggunaan lain di luar pertanian. Selain itu pengendalian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah penting untuk dilakukan sebagai upaya mengendalikan konversi lahan sawah yang terjadi.

Perumusan Masalah

Pangan bagi masyarakat Indonesia masih identik dengan beras, meskipun sebenarnya sumber pangan masyarakat Indonesia tidak hanya beras. Keberadaan lahan sawah memiliki peran yang penting bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan beras merupakan bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan lahan sawah penting artinya bagi ketersediaan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia.

Berdasarkan sebarannya, Pulau Jawa memiliki lahan sawah terluas yakni kurang lebih 3.231 ribu hektar atau 43 persen dari total luas lahan sawah di Indonesia (Isa 2014). Akan tetapi, mengingat perubahan struktur ekonomi dan semakin meningkatnya kepadatan penduduk di Pulau Jawa dari tahun ke tahun yang memerlukan lahan untuk pemukiman, perkembangan industri dan infrastruktur, maka diduga luasan areal sawah akan semakin terbatas. Lahan sawah di Pulau Jawa tampaknya akan terus berkurang dan terkonversi menjadi lahan penggunaan lain. Konversi lahan sawah dapat dikatakan sebagai proses yang mengikuti pembangunan. Proses pembangunan diringi dengan perlunya pengadaan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman. Akibatnya banyak lahan pertanian, khususnya sawah, mengalami konversi ke penggunaan non-pertanian.

(22)

Indonesia, jika konversi lahan sawah di Indonesia tidak diantisipasi, diduga akan berdampak pada kondisi pangan di masa depan.

Berdasarkan paparan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa? 2. Faktor apa yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Pulau Jawa?

3. Bagaimana dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui perkembangan konversi lahan sawah berdasarkan Provinsi di Pulau Jawa.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa.

3. Mendeskripsikan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain sebagai :

1. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pengambilan keputusan atau kebijakan berkaitan dengan pengendalian konversi lahan sawah di Pulau Jawa. 2. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pemberian ijin penggunaan

lahan di Pulau Jawa.

Ruang Lingkup Penelitian

(23)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Arti Penting Lahan dari Segi Ekonomi

Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Ditinjau dari penggunaannya, penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang komplek. Oleh karena itu, upaya pemanfaatan sumberdaya lahan yang optimal memerlukan alokasi penggunaan lahan yang efisien (Saefulhakim dan Nasoetion 1995).

Ditinjau dari segi ekonomi, lahan merupakan input tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan nonpertanian. Banyaknya lahan yang digunakan untuk setiap kegiatan produksi secara umum merupakan permintaan turunan dari kebutuhan dan permintaan komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu, perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap jenis kegiatan produksi akan ditentukan oleh perkembangan jumlah permintaan setiap komoditas. Barlowe (1978) dalam Butar-Butar (2012) menyatakan bahwa dari segi penggunaannya lahan mempunyai kompetisi, yakni adanya ketidakseimbangan antara penawaran yang terbatas dan permintaan yang tak terbatas. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan kurang elastis terhadap pendapatan dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.

(24)

Teori Tanah sebagai Lahan Pertanian

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya terbatas. Tanah menjadi sangat penting karena keberadaannya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia dalam melakukan kegiatannya. Tanah sebagai lahan pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting peranannya dalam pertanian jika dibandingkan dengan faktor produksi yang lain. Jika tidak ada lahan, maka tidak ada pertanian. hal ini dikarenakan lahan merupakan tempat dimana pertanian dapat berjalan. Permintaan akan tanah dari tahun ketahun mengalami peningkatan, hal ini yang mengakibatkan harga tanah semakin tinggi. Pada dasarnya penggunaan tanah yang ada sekarang ini digunakan untuk sektor pertanian. akan tetapi seiring kemajuan jaman banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi tanah non pertanian. Banyak para ahli ekonomi menuliskan teori mereka terhadap pentingnya tanah.

Menurut Mahzab Fisiokratis yang dipelopori oleh Quesnay mengatakan bahwa hukum ekonomi yang bersesuaian dengan hukum alam ini menjadikan alam. Yang dimaksud disini ialah adalah tanah sebagai salah satu sumber kemakmuran bagi rakyat. Menurutnya kegiatan industri dan perdagangan dinilai tidak produktif, karena kegiatan industri hanya mengubah bentuk dan sifat barang. Begitu juga dengan perdagangan yang dinilai hanya memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut Quesnay kaum petani paling produktif, oleh karena itu menganjurkan agar kebijakan yang diambil pemerintah harus ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup para petani.

Dari teori yang dikemukakan oleh Quesnay tersebut mengandung pengertian bahwa para petani perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari pemerintah agar proses produksi pertanian dapat meningkat. Perhatian tersebut dapat berupa kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para petani, agar proses produksi yang dilakukan petani tidak terganggu. Hal ini dikarenakan petanilah yang mempunyai produktifitas paling tinggi (Deliarnov dalam Suriyanto, 2012).

Teori Klasik Penggunaan Lahan

Teori terkait penggunaan lahan telah berkembang sejak lama ketika pada tahun 1826 Von Thunen seorang ahli ekonomi dari Jerman melalui karyanya The Isolated State berusaha menghubungkan antara konsep ekonomi dengan lokasi spasial. Von Thunen melalukan pembagian penggunaan lahan dengan bentuk lingkaran (Rustiadi, 2011). Berdasarkan asumsinya Von Thunen membagi penggunaan lahan di wilayah terisolasi tersebut ke dalam enam zona, yaitu:

 Zona kesatu yang paling mendekati kota/pasar diusahakan tanaman yang mudah rusak seperti sayuran dan kentang

 Zona kedua merupakan hutan dengan hasil kayu

 Zona ketiga menghasilkan biji-bijian seperti gandum dengan hasil relatif tahan lama dan ongkos transfer murah

 Zona kelima untuk pertanian yang berubah-ubah dua sampai tiga jenis tanaman

(25)

Konsep Von Thunen pada dasarnya menjelaskan bahwa penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang diusahakan yang pada akhirnya menentukan sewa ekonomi lahan (Land Rent). Konsep Von Thunen menjadi gambaran mengenai penggunaan lahan. Von Thunen menyebutkan bahwa nilai land rent tidak ditentukan hanya oleh kesuburan lahan seperti yang diungkapkan oleh David Ricardo (Ricardian Rent), tetapi nilai land rent merupakan fungsi dari lokasinya (Location rent), dimana perbedaan rent ini lebih ditentukan oleh biaya-biaya transfernya. Pada kasus konversi lahan di Indonesia terutama di Jawa, banyak lahan-lahan sawah yang terkonversi sebagai akibat pertimbangan relatif antara kegiatan pertanian dan non pertanian, hal ini dapat dimengerti karena penggunaan lahan di perkotaan cenderung mendorong perubahan penggunaan lahan di wilayah sekitarnya (Pramudita, 2015). Barlowe dalam Rustiadi (2011) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya lahan di antara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent tinggi. Sebaliknya sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersial, nilai land rentnya semakin kecil. Kondisi di Pulau Jawa, sektor-sektor industri dan jasa berkembang pesat yang menyebabkan sektor pertanian kalah bersaing, terutama untuk lahan-lahan yang berada di dekat perkotaan.

Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan

Teori dalam pembangunan wilayah terkait dengan alokasi sumberdaya lahan. Lahan merupakan input utama dalam proses produksi pertanian yang dalam perkembangannya mengalami tekanan sebagai akibat peningkatan aktivitas ekonomi lain (industri dan jasa) serta pertumbuhan penduduk yang meningkatkan potensi konflik penggunaan lahan. Ekonomi neo klasik cenderung memperlakukan lahan sama dengan modal biasa yang akan terus bertambah hasilnya jika dilakukan investasi. Padahal lahan mempunyai keterbatasan daya dukung karena adanya penurunan kualitas lahan sebagai akibat proses ekonomi. Selain itu, lahan juga menampung tidak hanya economic rent, tetapi juga environmental rent dan social rent, dimana social net benefit dari lahan diperoleh dari gabungan ketiga rent lahan tersebut. konsep ekonomi terkait lahan berakar dari konsep ekonomi kelembagaan dan mempunyai keterkaitan dengan ekonomi pertanian, ekonomi sumberdaya, dan ekonomi lingkungan. Land resource economics yang berakara dari ekonomi kelembagaan melihat budaya sebagai faktor penting dalam menentukan kebijakan ekonomi pada situasi tertentu. Sementara ekonomi neoklasik cenderung mengesampingkan budaya, kelembagaan, agama dan faktor lainnya sebagai bagian ceteris paribus.

(26)

nilai pasar dari pengguanaan non pertanian lebih besar daripada nilai pasar lahan di sektor pertanian. Berdasar pada kondisi ini, dengan teori penggunaan lahan klasik, menyebabkan nilai lahan menjadi rendah dan realokasi lahan untuk sektor non pertanian tidak dapat dicegah. Konsep yang berbeda yang memasukkan dua unsur terakhir terutama unsur keempat mengenai jasa lingkungan menjadi ide dasar dalam pengembangan teori ekonomi sumberdaya lahan yang langka untuk keuntungan semua pihak agar dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Internalisasi nilai tersebut diharapkan dapat meningkatkan manajemen sumberdaya lahan yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Konversi Lahan Sawah

Konversi lahan atau perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan karena aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun untuk industri (Kazaz 2001 dalam Marstaningsih 2008). Konversi lahan juga dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi itu sendiri (Utomo et al. dalam Nuryanti 2011). Konsekuensi logis dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi adalah terjadinya perubahan alokasi sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan yang sulit dihindari. Akibat tidak diperhatikannya skala prioritas alokasi penggunaan sumberdaya lahan, maka terjadi pula konflik alokasi sumbedaya lahan untuk penyediaan sumber pangan dan pembangunan sarana dan prasarana non pertanian (Irawan dan Friyatno 2002).

Kustiawan (1997) mendefinisikan konversi lahan sawah sebagai proses dialihgunakannya lahan dari lahan sawah pertanian atau pedesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan. Konversi lahan sawah dapat bersifat permanen dan dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka konversi ini bersifat permanen. Namun jika lahan sawah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian lain (misal lahan tanaman tebu) maka konversi bersifat sementara karena pada tahun-tahun berikutnya dapat diubah menjadi lahan sawah kembali. Konversi lahan sawah yang bersifat permanen pada umumnya lebih besar dan berdampak lebih serius daripada konversi yang bersifat sementara.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Konversi Lahan Sawah

(27)

penguasaan lahan per-rumah tangga pertanian pengguna lahan, menyebabkan semakin besarnya laju penyusutan luas lahan sawah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian menurut Pakpahan (1993), dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor-faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi. Di tingkat wilayah, menurut Pakpahan konversi lahan sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh :

1. Perubahan struktur ekonomi 2. Pertumbuhan penduduk 3. Arus urbanisasi

4. Konsistensi implementasi rencana tata ruang

Secara langsung konversi lahan sawah dipengaruhi oleh : 1. Pertumbuhan pembangunan sarana transportasi 2. Pertumbuhan lahan untuk industri

3. Pertumbuhan sarana pemukiman 4. Sebaran lahan sawah.

Hasil penelitian Irawan (2005) mengenai dampak, pola pemanfaatan dan faktor determinan dari konversi lahan sawah antara lain menyebutkan bahwa konversi lahan sawah terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian, persaingan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu: (a) keterbatasan sumber daya lahan; (b) pertumbuhan penduduk; dan (c) pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini juga mengidentifikasi konversi lahan sawah berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa, yang hasil penelitiannya menyebutkan bahwa konversi lahan sawah di luar Jawa (132 ribu hektar pertahun) ternyata jauh lebih tinggi daripada di Jawa (56 ribu hektar pertahun) selama tahun 2000–2002, sehingga total luas lahan sawah yang dikonversi seluas 187,72 ribu hektar per tahun (atau sebesar 2,42 persen dari luas sawah pada tahun 2002). Alokasi konversi lahan sawah untuk pembangunan perumahan sangat dominan di Jawa (74,96 persen), sedangkan di luar Jawa konversi lahan sawah tersebut sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik (43,59 persen) dan pembangunan perumahan (31,92 persen).

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian menurut Isa (2007), antara lain adalah:

1. Faktor kependudukan, dimana pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, peningkatan taraf hidup mayarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti lapangan golf, pusat perbelanjaan, jalan tol, tempat rekreasi dan sarana lainnya.

(28)

perkotaan dan wilayah di sekitarnya (sub-urban area). Lokasi sekitar kota, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan non-pertanian, mengingat harganya yang relatif murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dan fasilitas lainnya. Selain itu,

terdapat keberadaan “sawah kejepit”, yaitu sawah–sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya telah beralih menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja dan sarana produksi lainnya, yang mendorong mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya.

3. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non-pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi.

4. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

5. Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang dan penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan

6. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan PAD dan kurang memperhatikan keuntungan jangka panjang dan nasional. Hal ini tercermin dari RTRW yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk non-pertanian.

7. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada.

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah dalam lingkup makro menurut Ilham, et al. (2005) dapat menggunakan variabel makro yang merupakan proksi dari variabel penelitian dalam lingkup mikro. Variabel yang dapat digunakan adalah nilai tukar petani sebagai proksi daya saing produk pertanian, khsususnya padi, PDB sektor industri sebagai proksi aktivitas industri, serta jumlah penduduk sebagai proksi kebutuhan untuk pemukiman.

Sejalan dengan penelitian Ilham, et al., Suriyanto (2012) menyatakan bahwa konversi lahan dipengaruhi salah satunya oleh Nilai tukar petani. Nilai tukar petani yang rendah menyebabkan tidak adanya insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertaniannya. Konversi lahan juga diduga dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah industri, khususnya industri besar dimana pembangunan suatu industri tergantung pada ketersedian lahan. Selain itu, di dalam penciptaan nilai tambahnya, sektor industri juga memegang posisi yang cukup dominan. Hal ini bisa digambarkan melalui peningkatan peran sektor industri dalam PDRB.

Dampak Konversi Lahan Sawah

(29)

perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya yang berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk sistem irigasi, dan sebagainya. Sejalan dengan itu, Sumaryanto, et al. (2001) menyatakan bahwa dampak negatif konversi lahan adalah hilangnya “peluang” memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, di antaranya hilangnya produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usaha tani, dan kesempatan kerja yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan usaha tani tersebut, misalnya usaha traktor dan penggilingan padi. Selain dampak langsung, hilangnya lahan sawah juga menyebabkan hilangnya fungsi ekologis lahan pertanian untuk menstabilkan suhu, mencegah erosi dan banjir, serta hilangnya pemandangan alam yang menarik (Firman 1999).

Lebih lanjut, Sumaryanto et al. (2001) menyatakan, jika didekomposisi, pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor: (a) pertambahan areal panen, dan (b) peningkatan produktivitas. Pertumbuhan luas panen berasal dari pertambahan perluasan areal baru dan atau intensitas tanam, sedangkan pertumbuhan produktivitas ditentukan oleh aplikasi teknologi budi daya yang mencakup pilihan varietas yang dibudi dayakan, teknologi pemupukan, irigasi, pengendalian organisme pengganggu, penanganan panen, pasca-panen, dan lain sebagainya.

Berdasarkan data empiris, kajian Simatupang (2000) maupun Dillon et al. (1999) dalam Sumaryanto et al. (2001) menyimpulkan bahwa dalam dasawarsa

terakhir ini terjadi ‘kemandegan’ dalam peningkatan produktivitas. Implikasinya, apabila kecenderungan ini berlanjut maka sumber pertumbuhan produksi pangan harus bertumpu pada pertambahan luas areal tanam. Fakta tersebut sangat mengkhawatirkan karena dalam jangka pendek tampaknya sangat sulit untuk melakukan ekspansi areal tanam secara signifikan. Ancaman tersebut bertambah berat karena sebagian dari lahan-lahan sawah yang telah ada terkonversi menjadi lahan pertanian lahan kering, dan sebagian lainnya terkonversi ke penggunaan nonpertanian untuk memenuhi kebutuhan pemukiman, pengembangan industri, jasa, dan lain sebagainya, sehingga konversi lahan sawah memang tak dapat dihindari. Menurut Irawan (2005) dampak dari konversi lahan sawah terhadap masalah pangan tidak dapat segera dipulihkan disebabkan oleh empat faktor yaitu, 1) lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non pertanian bersifat permanen atau tidak berubah kembali menjadi lahan sawah, 2) upaya pencetakan sawah baru untuk pemilihan produksi pangan pada kondisi semula membutuhkan jangka waktu yang cukup lama, 3) sumberdaya lahan yang dapat dijadikan sawah semakin terbatas, terutama di Pulau Jawa, 4) stagnasi inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas padi.

(30)

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan sawah dan dampaknya terhadap produksi padi di Indonesia telah banyak dilakukan, dan diteliti secara parsial. Namun, penelitian yang secara khusus meneliti integrasi perkembangan konversi lahan sawah, pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi konversi dan dampaknya terhadap produksi padi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 masih jarang dilakukan. Adapun konsep-konsep yang terdapat pada penelitian ini bersumber dari penelitian-penelitian sebelumnya.

Berkaitan dengan perkembangan konversi lahan, berdasarkan penelitian mengenai perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya, Ilham et al. (2005) menyatakan bahwa konversi lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari baik di Jawa maupun di luar Jawa. Berdasarkan jenis irigasinya, secara nasional sawah tadah hujan paling banyak mengalami konversi (319 ribu hektar). Konversi lahan sawah di Pulau Jawa terjadi pada berbagai jenis lahan sawah, yaitu sawah tadah hujan (310 ribu hektar), sawah irigasi teknis (234 ribu hektar), sawah irigasi semi teknis (194 ribu hektar) dan sawah irigasi sederhana (167 ribu hektar). Sementara itu di Luar Jawa konversi hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan.

Hasil survei Direktorat Perluasan dan Rehabilitasi Lahan menunjukkan bahwa selama tahun 1981/1982-1985/1986, di Jawa telah terjadi konversi lahan sawah ke non sawah seluas 216.998 Ha (43.397 Ha/tahun), sedangkan berdasarkan hasil Sensus Pertanian 1993, selama tahun 1990-1993 lahan sawah yang terkonversi di Jawa sebesar 52.773 Ha atau rata-rata 18.257 Ha/tahun. Hasil studi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian menunjukkan bahwa selama periode 1979-1999 lahan sawah di Jawa (belum termasuk DKI Jakarta) yang terkonversi sebesar 1.002.005 Ha atau 50.000 Ha/tahun. Penambahan lahan sawah dalam periode tersebut hanya 518.224 Ha (25.911 Ha/tahun) sehingga lahan sawah di Jawa berkurang sekitar 483.831 Ha atau 24.192 Ha/tahun. (Ashari 2004).

Penelitian Sumaryanto, Hermanto, dan Pasandaran (1996) dalam konversi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa peraturan pengendalian konversi lahan sawah yang ada belum efektif.

(31)

tersebut sebagiab besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik (43,59 persen) dan pembangunan perumahan (3,92 persen).

Terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah, Hasil penelitian Ilham, et al. (2005) menyatakan bahwa pada lingkup mikro, berkembangnya pemukiman mempengaruhi konversi lahan sawah, namun secara makro pengembangan pemukiman yang diproksi dengan peningkatan jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan yang positif. Sementara itu dalam lingkup makro, konversi lahan sawah berkorelasi positif dengan pertumbuhan PDB dan konversi lahan sawah berkorelasi negatif dengan nilai tukar petani.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Butar-Butar (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat adalah laju pertumbuhan PDRB industri dan laju pertumbuhan panjang jalan. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan lahan pemukiman, dan Nilai Tukar Petani. Faktor laju pertumbuhan lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, laju pertumbuhan panjang jalan, dan Nilai Tukar Petani mempunyai pengaruh positif terhadap konversi lahan sawah. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk dan harga Gabah Kering Panen (GKP) berpengaruh negatif terhadap konversi lahan sawah.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan sawah terhadap produksi padi, penelitian Butar-Butar (2012) menyatakan bahwa sebagai dampak dari terjadinya konversi lahan sawah di Jawa Barat adalah berkurangnya jumlah produksi padi sebesar 1.308.420,30 ton dan nilai produksi padi sebesar Rp 2.008.252.301 atau mencapai Rp 2 triliun jika menggunakan harga padi berdasarkan harga konstan 2000. Serta penyerapan tenaga kerja yang hilang dengan pola tiga kali tanam adalah sebesar 48,26 juta atau 4,8 juta setiap tahun. Santoso (2015) dalam penelitiannya mengenai pengaruh luas lahan dan pupuk bersubsidi terhadap produksi padi nasional menyatakan bahwa luas lahan sawah memiliki nilai elastisitas short run sebesar 0,524, hal ini menunjukkan bahwa luas lahan bersifat inelastis terhadap produksi padi karena peningkatan 10 persen luas lahan hanya meningkatkan produksi padi 5,24 persen. Luas lahan sawah juga inelastis dalam jangka panjang, dengan nilai elastisitas 0,191 yang berarti bahwa peningkatan luas lahan sebesar 10 persen meningkatkan produksi padi sebesar 1,91 persen.

Kerangka Pemikiran

(32)

sebagainya, pada akhirnya menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah untuk penggunaan tersebut.

Berdasarkan berbagai penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah salah satunya dapat dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal terhadap terjadinya konversi lahan sawah (Kustiawan 1997). Faktor internal menyangkut pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan serta perubahan dalam penguasaan lahan pertanian. Faktor eksternal berkaitan dengan dinamika pertumbuhan wilayah, yaitu perkembangan kawasan terbangun, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan PDRB. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah pada penelitian ini adalah faktor-faktor yang ditinjau dari segi eksternal. Variabel yang dapat digunakan antara lain nilai tukar petani sebagai proksi daya saing produk pertanian, khususnya padi, PDRB sektor industri sebagai proksi aktivitas industri, serta jumlah penduduk sebagai proksi kebutuhan untuk pemukiman (Ilham,et al. 2005).

Dampak konversi lahan sawah salah satunya ditinjau dari fungsinya dimana lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi. Adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain diduga akan menurunkan produksi padi nasional. Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan (khususnya padi) dipengaruhi oleh antara lain luas lahan yang tersedia, produktivitas lahan, indeks pertanaman, harga pangan, dan harga sarana produksi (Ariani 2003 dalam Sumarlin et al. 2008). Menurut Triyanto (2006) produksi padi dipengaruhi oleh Variabel luas lahan, tenaga kerja, benih dan pompa air, sedangkan menurut Zulkarnain (2004) Variabel pupuk, insektisida, tenaga kerja, luas lahan dan jenis irigasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap produksi padi. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, diketahui bahwa luas lahan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh positif terhadap produksi padi.

Penelitian ini berupaya untuk menunjukkan perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa dan berupaya mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa. Adapun variabel yang dianalisis sebagai faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konversi lahan sawah adalah variabel nilai tukar petani, PDRB sektor industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan. Konversi lahan sawah tentunya akan berpengaruh terhadap luasan sawah,dimana luas lahan sawah merupakan salah satu faktor dalam produksi padi. Oleh karena itu, penelitian ini juga berupaya untuk mengetahui besar dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa. Kerangka penelitian dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(33)

Gambar 2 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

1. Luas lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan lain di Pulau Jawa akan meningkat.

2. Faktor nilai tukar petani, PDRB Industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar di industri pengolahan mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa.

3. Konversi lahan sawah berdampak pada menurunnya produksi padi di Pulau Jawa.

3

METODE PENELITIAN

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data yang diperlukan antara lain terdiri dari data luas lahan sawah, nilai tukar petani, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor industri, data jumlah penduduk, data jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan, data produksi padi serta data luas panen padi periode tahun 1995-2013. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu studi kepustakaan, dengan mempelajari, menelaah, serta menganalisis dari sumber-sumber literatur berupa data statistik dari publikasi BPS, buku, serta jurnal ilmiah yang relevan dengan penelitian.

Metode Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis guna dapat menjawab permasalahan dalam penelitian. Adapun metode analisis yang

Nilai Tukar Petani PDRB Industri Jumlah Penduduk

Konversi Lahan Sawah

Jumlah perusahaan

di industri pengolahan

Luas Lahan Sawah

Faktor Lain

(34)

digunakan adalah metode analisis deskriptif kuantitatif untuk mendeskripsikan perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa, metode analisis regresi data panel dengan uji signifikansi 5 persen melalui uji F dan korelasi parsial untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah. Dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif dan fungsi produksi Cobb Douglas.

Metode analisis deskriptif kuantitatif

Metode analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk menganalisis perkembangan besarnya konversi lahan sawah yang terjadi di Pulau Jawa.

Konversi lahan sawah didefinisikan sebagai konversi lahan sawah neto (Ilham et al., 2003), artinya luas lahan tahun t (Lt) adalah luas lahan tahun

sebelumnya (Lt-1) ditambah pencetakan sawah baru (Ct) dikurangi alih fungsi

lahan sawah (At). Secara matematika, diformulasikan sebagai berikut:

(Ct – At) = Lt – Lt-1

Dengan demikian jika konversi lahan sawah bernilai positif, berarti pencetakan lahan sawah yang terjadi lebih luas dari alih fungsi lahan sawah masing-masing pada tahun t. Sebaliknya jika konversi lahan sawah bernilai negatif, berarti alih fungsi lahan sawah lebih luas dari pencetakan sawah masing-masing pada tahun t. Metode analisis regresi data panel

Metode analisis regresi data panel dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah periode tahun 1995-2013. Metode analisis ini digunakan untuk menerangkan tingkat ketergantungan suatu variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nilai Tukar Petani (NTP), PDRB sektor industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan. Berdasarkan variabel-variabel yang telah diuraikan maka model regresi data panel dirumuskan sebagai berikut:

Yit= β0i + β1 X1it + β2 X2it+ β3X3it+ β4X4it + uit ...(1)

dimana :

Yit = Laju konversi lahan sawah Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen)

X1it = Laju Nilai Tukar Petani Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen)

X2it = Laju PDRB industri Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen)

X3it = Laju jumlah penduduk Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen)

X4it = Laju perkembangan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri

pengolahan Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) β0i = Intersep/Konstanta

uit = Sisaan atau error

(35)

Estimasi model umum regresi data panel tergantung pada asumsi yang dibuat mengenai intersep, slope dan sisaan. Terdapat beberapa kemungkinan untuk hal tersebut, yaitu:

1. Intersep dan slope adalah konstan menurut waktu dan individu, sedangkan sisaan berbeda antar waktu dan individu

2. Slope adalah tetap, tetapi intersep berbeda antar individu

3. Slope adalah tetap, tetapi intersep berbeda antar individu antar waktu 4. Semua koefisien (slope dan koefisien) berbeda antar individu

5. Semua koefisien (slope dan intersep) berbeda antar individu dan antar waktu.

Selanjutnya, berdasarkan variasi-variasi asumsi yang dibentuk, terdapat tiga pendekatan dalam perhitungan model regresi data panel, yaitu:

1. Metode Common-Constant (The Pooled OLS Method atau PLS), 2. Fixed Effects Model (FEM), dan

3. Random Effects Model (REM).

Pendekatan PLS menggunakan metode OLS biasa. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana. Dalam estimasinya diasumsikan bahwa setiap unit individu memiliki intersep dan slope yang sama (tidak ada perbedaan pada dimensi kerat waktu). Dengan kata lain, regresi panel data yang dihasilkan akan berlaku untuk setiap individu (Juanda dan Junaidi, 2012).

Dua pendekatan yang umum diaplikasikan pada data panel adalah Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (Firdaus, 2011). Masalah terbesar dalam pendekatan OLS adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu, yang kurang sesuai dengan tujuan penggunaan data panel. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat digunakan pendekatan FEM. FEM yaitu model yang dapat digunakan dengan mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series. FEM muncul ketika antara efek individu dan peubah penjelas memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep (Firdaus, 2011).

Pada metode FEM, intersep pada regresi dapat dibedakan antar individu karena setiap individu dianggap mempunyai karakteristik tersendiri. Pada metode ini walaupun intersep berbeda antar individu, namun intersep masing-masing individu tidak berbeda antar waktu atau yang biasa disebut time variant. Dalam membedakan intersepnya, dapat digunakan peubah dummy (dilambangkan dengan D),sehingga metode ini juga dikenal dengan metode Least Square Dummy

(36)

D = Peubah Dummy

I = Individu ke-i, dan t = periode waktu ke-t uit = Sisaan atau error

Dengan demikian persamaan (1) yang mewakili 5 Provinsi pada penelitian ini dapat ditulis menjadi:

Yit= α0+ α1D1 + α2D2+ α3D3+ β1 X1it+ β2 X2it +β3 X3it + β4 X4it+ uit ...(2)

Keputusan untuk memasukkan peubah dummy dalam metode FEM akan menimbulkan konsekuensi tersendiri yaitu dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dapat digunakan model Random Effects. Bentuk model Random Effects yaitu:

Yit= α0+ βXit + uit

Pada metode REM, β0i pada persamaan (1) tidak lagi dianggap konstan,

namun dianggap sebagai peubah random dengan suatu nilai rata-rata dari β1. Nilai

intersep dari masing-masing individu dapat dinyatakan sebagai :

β0i= β0 +ɛi ...(3)

dimana ɛi adalah sisaan acak dengan rata-rata = 0 dan ragam = σ2.

Dengan mensubstitusikan persamaan (3) ke persamaan (1) maka menjadi Yit= β0+ β1 X1it+ β2 X2it +β3 X3it + β4 X4 it + u it + ɛit

Yit= β0+ β1 X1it+ β2 X2it +β3 X3it+ β4 X4it+ wit ...(4)

dimana

wit = uit + eit ...(5)

Komponen wit terdiri atas dua komponen, yaitu sebagai komponen error dari masing-masing cross-section dan sebagai error yang merupakan gabungan atas error dari data deret waktu dan cross-section. Dalam model ini, parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error, karena hal inilah model ini sering juga disebut sebagai Error Component Model (ECM).

Dalam menentukan model yang paling tepat untuk mengestimasi parameter regresi data panel, dilakukan uji analisis. Dalam pemilihan metode antara PLS dan FEM dapat digunakan uji statistik F atau Uji Chow atau Likelihood Test Ratio dengan hipotesis nol (H0) yang digunakan adalah intersep dan slope adalah sama. Jika nilai statistik F lebih besar dari nilai F-Tabel pada signifikansi tertentu, hipotesis nol akan ditolak, yang berarti asumsi koefisien intersep dan slope adalah sama tidak berlaku, sehingga metode FEM lebih baik daripada PLS (Juanda dan Junaidi, 2012).

Gambar

Gambar 1. Perubahan struktur ekonomi Indonesia tahun 1983-2009
Tabel 1 Luas penggunaan lahan sawah di Indonesia tahun 1980-2009
Tabel  3  Jumlah  penduduk  dan  laju  pertumbuhan  penduduk  Indonesia  tahun     1971-2010  Tahun  1971  1980  1990  2000  2010  Jumlah Penduduk  (juta jiwa)  119,2  147,5  179,4  205,1  237,6  Laju Pertumbuhan  (persen)  2,30  1,97  1,49  1,49
Tabel 4  Perkembangan defisit/surplus produksi dan konsumsi beras serta volume  impor beras Indonesia tahun 2001-2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku, Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Penetapan Nilai Jual Objek Reklame Dan Nilai Strategis

kebutuhan biaya investasi yang tidak terlalu tinggi, usaha pengolahan limbah kulit kakao menjadi pektin menjadi reasonable untuk dilakukan oleh petani. Tingkat

Berdasarkan observasi, objek kajian belum memiliki sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia, sehingga hasil yang dicapai dari kriteria kayu bersertifikat adalah

fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja,.. baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Skripsi / Tugas Akhir yang berjudul “ Korelasi Koefisien Permeabilitas dari Uji Constant Head dan Hasil Permeabiltas dari Uji

Contoh waham yang aneh, misalnya: merasa dirinya bisa membunuh 100.000 orang dengan kekuatan pikirannya, atau yakin bahwa cermin, TV, dan komputer mengawasi

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) implementasi Sekolah Siaga Bencana (SSB) di SMPN 2 Cangkringan, 2) faktor pendukung dan penghambat, 3) resiliensi sekolah,

Angka Kematian Ibu (AKI) di kabupaten Klaten tiap tahun meningkat. Hal ini dikarenakan oleh kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu maternal,