• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh salinitas terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan (Portunus pelagicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh salinitas terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan (Portunus pelagicus)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PERKEMBANGAN

DAN KELANGSUNGAN WZDUP LARVA

MENJADI

MEGALOPA RAJUNGAN

(Portunus pelagicus)

OCE ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNUATAAN MENGENAI TESIS DAN S ER INFO $1

Dengan ini saya menyatakan bal~wa tesis pengamh salinitas terhadap pekembangan dan kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan

Portunus pelagicus adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada peryruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telab disebutkan dalam teks dan dicantnmkan dalam d&ar pustaka dj bagian akhir tesis ini.

Bogor, 01 Januari 2008

(3)

OCE ASTUTI. Effects of Salinity on Survival, Growth, and Haemolymph Osmolality in larval to megalopa stage of Swimming Crab Portunus pelagicus. Under Supervision by EDDY SUPRIYONO and ETTY RLANI.

Saliniw is the important factor for the survival, growth, and haemolynph osmolality of swimming crab (Porturns Pelagicus), especially in the larval stage (zoeal-zoea4) to megdopa. The objective of this research is to determine the optimum salinity for survival, growth, and haemoljnzph osmolality in larval to megalopa stage of swimming crab Portunus pelagicus.

The experiment was conducted in three stages, (I) The effect of salinity on sunival of larval to megalopa stage, (2) The effect of salinity on growth of larval to megalopa stage, (3) The effect of salinify on haemolymph osmolality of larval to meg~ziopa stage. The quality of medizim was kepi in opfimzrm range: temperature 28 - 31" C, dissolved oxygen 4,01- 5,98pptn, andpH 7,4.

Isoosmotic range was calczrlated based on ihe regression between haemolymph osmolality and nzedium osmolality at the points where haemolymph osmolality was equal to the medium osmolality.

The experiment was conducted with four treatments, in which eveiy treatment has dzrerent salinity, 23, 28, 33, and 38 ppt, with three replicates each. Data analysis was conducted with SPSS statistical program version 12. Analvsis of Variance (ANOVA) with Duncan post hoc test were used to determine signijkant drfferences between survival, growth, and haetnolymph osmolality in 23, 28, 33, and 38ppt. All signifcant test were at P<O, 05 level.

(4)

RINGKASAN

OCE ASTUTI. Pengaruh Salinitas Terhadap Perkembangan dan Keiangsungan Hidup Larva Menjadi Megalopa Rajungan Portunus Pelugicus.

Dibiibing oleh EDDY SUPRIYONO dan ETTY RIANI.

Salinitas merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan dan kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan salinitas optimum bagi perkembangan dan kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan.

Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 tahapan, yaitu (1). Pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup larva menjadi megalopa, (2). Pengaruh salinitas terhadap perkembangan larva menjadi megalopa, (3). Pengaruh salinitas terhadap tingkat osmoregulasi larva menjadi megalopa. Kualitas air media dijaga pada tingkat kisaran optimum yaitu tingkat suhu 28 - 31' C, Oksigen terlarut 4,01 - 5,98 ppm, pH 7,4. Tingkat k e j a osmotik diukur dengan cara menghitung selisih antara osmolaritas media dengan osniolaritas hemolim larva dan megalopa rajungan Portunuspelugicus.

Penelitian ini dilakukan dengan pola mncangan acak lengkap dengan empat perlakuan yang berbeda yaitu salinitas 23, 28, 33, 38 ppt dengan tiga ulangan. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan menggunakan program SPSS.

(5)

O W a k cipta milik IPD, tahun 2008

Wak cipta dilindungi Undang-Undang.

I . Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantu~nkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan karya zrntztk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjattan suatzc masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

PENGARUW S A L m A S

TE

AE' PERKEWIBAWGAN DAN m A N G S m G A N NIDUP LARVA RIENJJADI m G A L O P A GAN

(Portunus pelngicirs)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : P e n g a d Satinitas terhadap Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva menjadi Megalopa Portunus pelagicus

Nama : Oce Astuti

NIM : C151050031

Disetujui Komisi pembimbing

Dr.

Ir.

Eddy Suoriyono. M S C Dr.Ir.

~31\r

Riani. MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Mei 2007 ini ialah Pengarub salinitas terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva menjadi megalopa Portu~uspelagictrs.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc dan Ibu Dr. Ir Etty Riani, M.S selaku pembimbing 1 dan pembimbing 2, serta Bapak Dr. Ir. Djoko Setiyanto sebagai penguji sidang yang telah banyak memberi saran. Tidak lupa, terima kasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional atas pemberian Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Universitas Haluoleo khususnya FPIK Kendari, bapak Dr. Murjani selaku pimpinan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, bapak Ir Maskur dan unit Pembenihan dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, bapak Prof.Dr.Trisno Anggoro (UNDIP) yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian, Program Mitra Bahari (Coremap II), ibu Tri Iswari yang telah memberikan bantuan penulisan tesis, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Van deventer Maas, bapak Kardiyo Praptokardiyo Sekeluarga, bapak Dr. La Sara Sekeluarga, teman-teman program Pascasajana AIR, khusus AIR 2005 terima kasih banyak atas kebersamaannya selama mengikuti studi, teman-teman Wacana IPB, teman kost (bu Nur, pak Taswin; pak Muzuni; pak Wellem, teteh Aida, Asman) dan Wacana Sultra yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu terima kasih untuk kerjasamanya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak Muizu Asman S.H Sekeluarga, Dr. \XJaOde Zusnita Muizu, S.E., Benny Baskara Sekeluarga, Sjamsul Alam Lawelle Sekeluarga, dan tak lupa pula saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayah, ibu, dan sa~~dara-saudaraku serta seluruh keluarga, alas segala doa &an kasih sayangnya.

Semoga karya ilrniah ini bermanfaat.

(9)

Penulis dilahirkan di Kaledupa pada tanggal 15 Mei 1976

dari

pasangan La Pandja dan Zamria. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kendari dan pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Perbnian Universitas Haluoleo melalui jalur PMDK. Serta menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister Sains pada program studi Ilmu Perairan tahun 2005, merupakan beasiswa dari Departemen P e n d i d i Nasional.

(10)

DAFTAR IS1

Halaman

...

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR

...

DAFTAR IS1

...

DAFTAR 17hBEL

...

DAFTRA GAMBAR

...

...

DAFTAR LAMPIRAN

I

.

PENDAHULUAN

...

1

.

1. Latar Belakang

...

...

1.2. Perumusan Masalah

...

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

...

1.4. Hipotesis

2

.

TINJAUAN PUSTAKA

...

2.1. Jenis dan Morfologi Rajungan

...

...

2.2. Habitat Rajungan

2.3. Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva

...

...

2.4. Kebutuhan Larva dan Megalopa akan S a l i t a s dan Kualitas Air

...

2.5. Tingkat Ke rja Osmotik

2.6. Identivikasi Larva hingga menjadi Megalopa

...

2.7. Kebutuhan Larva dan Megalopa akan Pakan Alarni

...

...

3

.

METODOLOGI

...

3

.

1. Waktu dan Tempat Penelitian

. .

3.2. Ballan Penellt~an

...

. .

...

3.3. Metode Penel~t~an

3.4. Parameter yang Diamati

...

...

3.5. Rancangan Percobaan

...

3.6. Analisis Data

...

4

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva mei~jadi Megalopa

(11)

4.2. Perkenlbangan Larva menjadi Megalopa

...

...

4.2.1. Perkembangan Berat

4.2.2. Perkembangan Panjang

...

4.3. Osmolaritas Hemolim dan Osmolaritas Media Larva menjadi Megalopa

...

...

4.4. Kualitas Air

5

.

SIMPULAN DAN SARAN

...

...

5.1. Simpulan

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

...

1. Nama jenis rajungan di berbagai daerah di Indonesia 7

...

2. Persanlaan dan perbedaan setiap stadia rajungan (Portunuspelagicus) 9

...

3. Parameter fisika, kimia air dan metodetalat yang digunakan 24

...

4. Skema perlakuan sdinitaslpakan pada larva rajungan 25

5 Rata-rata tingkat kelangsungan hidup - (%) larva menjadi nlegalopa rajungan 26

...

Yortunuspelagicus

6. Rata-rata perkembangan berat (gr) larva menjadi megalopa rajungan Portunus 33 pelugicus

...

7. Rata-rata perkenlbangan panjang (mnl) larva menjadi megalopa rajungan 35 -

...

Yorlunus pelugzcus

8. Rata-rata hasil pemeriksaan osmolaritas hemnolim dan media larva rajungan -

- . 38

...

Yortunzls pelugzcus

9. Rata-rata hasil pemeriksaan osmolaritas hemolim dan media megalopa - 38

...

rajungan fortunus pelapeus..

10. Kualitas air (suhu, oksigen terlarut, pH) pada pemeliharaan larva menjadi 41

...

(13)

DAFTAR G M B A R

Halaman - .

i. Diagram aiir pendekatan masaiah pengaruh saiinitas terhadap perkembangan 5

larva menjadi megalopa rajungan Portunus pelagicus

... . .

. . .

.

.

. .

Rajungan jantan dan betina

...

Perkembangan stadia zoea sampai megalopa

. . .

. . . ..

Grafik hubungan saliitas dengan tingkat kelangsungan hidup larva (Zl, 22, Z3,Z4) dan megalopa rajungan Portunuspelagicus

... . .

Tingkat kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan Porfunus vela~icus . .

.

.

. . .

. . .

. . .

. . .

.

.

. . . .

.

.

. .

. . .

.

. .

. . .

. . . ..

.

-

Tingkat kelangsungan hidup (%) larva menjadi megalopa setiap fase rzj&?gm Psrt-xw ,nelcgicz:

... .

. . . .

.

. . .

. .

.

.

.

. . .

.

.

. . .

. .

. . .

. . . ..

.

Diagram tingkat kelangsungan hidup (%) larva - megalopa salinitas 23 ppt

...

Diagram tingkat kelangsungan hidup (%) larva- megalopa salinitas 28 ppt

...

Diagram tingkat kelangsungan hidup (%) larva - megalopa salinitas 33 ppt

...

Diagram tingkat kelangsungan hidup (%) larva - megalopa salinitas 38 ppt..

Grafik hubungan salinitas dengan perkembangan (panjang) larva (21, 22, Z3,Z4) dan megalopa rajungan Portunus pelagicus

... .

.

.

.

.

. . .

. . .

. . .

.

.

. . . .

.

12. Grafik l~ubungan salinitas dengan tingkat k e j a osmotik (TKO) larva (Zl, 39 22, 23, 24) dan megalopa rajungan Portunuspelagicus

.. . .

...

13. Diagram tingkat ke j a osmotik larva rajwlgan

... . . ..

.

. .

.

.

. . .

.

...

40
(14)

Halaman

i. Kuaiitas air jsuhu,

. .

DO, pH) setiap hari penguicuran seiama 53 penelltian..

...

2. Persentase tingkat kelangsungan hidup (%) larva menjadi megalopa 54

...

rajungan Portuntrspelap~ct~s

3. Tingkat kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan Porfunus 55

pelagicus

...

4. Perkembangan larva menjadi megalopa rajungan Porfunus pelaginis 56

... (ukuran panjang)

5. Perkembangan larva menjadi megalopa rajungan Porlunuspelagicus 57 (ukuran berat)

...

6. Hasil pemeriksaan osinolaritas hemolim dan media rajungan Porfunus 58

...

pelagicus

7. Hasil analisis statistik tingkat kelangsungan hidup, perkembangan dan 59 tingkat k e i a nsmntik larva menjadi megalopa rajungan [Pnrtunz~s

pelagicus)

...

(15)

1 PENDANULUAN 1.1 Latar Belakang

Rajungan mempakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting dan merupakan komoditi ekspor yang permint-ya dari tahun ke tahun selalu meningkat (Susanto, el al., 2005). Sainpai saat ini, seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi populasi di dam (Supriyatna, 1999). Altematif yang sangat bijaksana untuk menghindari kepunahan jeNs kepiting

ini

melalui pengembangan budidaya (Juwana, 2002).

Kesinambungan produksi rajungan saat ini melalui usaha budidaya masih mengalami hambatan, mengingat masih rendahnya persentase sintasan benih yang dihasilkan (Susanto, et al., 2005), dan tingginya mortalitas benih yang dipelihara (Mardjono, et al., 2005). Menurut data Ditjen perikanan dalatn Sihombing (2001), total potensi rajungan diperkirakan sebesar 7,2 juta todtahun, dan yang bisa dimanfaatkan barn h a n g lebih sekitar 40% atau 2,7 juta todtahun, namun hal ini

juga masih belum sepenubnya temanfaatkan.

Sulawesi Tenggara khususnya kepulauan Wakatobi memiliki potensi rajungan yang sangat ekonomis, dimana wilayahnya memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi terrnaksud jenis krustaseanya. Namun hal ini belum didukung oleh sumberdaya manusia dan fasilitas penunjang untuk keberlanjutan usaha pembenihan dan pembudidayaan rajungan.

(16)

Keberhasilan pembenihan rajungan ditentukan oieh mutu induk, kualitas pakan, pengeloiaan kualitas air selama masa pemeliharaan calon induk, kematangan gonad, keberhasilan penetasan dan pemeliharaan larva (Susanto, et al., 2005). Salah satu komponen kualitas air sebagai faktor abiotik yang penting dan mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme aquatik dan mempunyai darnpak biologis yang kompleks adalah salinitas (Kumlu, et al., 1999 dan 2000,

dalam Huynh Minh Sang dan Ravi Fotedar, 2004).

Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengarul~ penting pada kelangsungan hidup, komsumsi pakan, metabolisme, dan pertumbuhan organisme aquatik (Zacharia dan Kakati, 2004). Salinitas &an berpengaruh pada pengaturan ion-ion internal, yang secara langsung memerlukan energi untuk transport aktif ion-ion guna mempertallankan lingkungan internal. Pertumbuhan yang maksimum hanya dapat dicapai bila kondisi lingkungan medium marnpu mendukung proses-proses fisiologi secara maksimal, begitu pula halnya dengan daya tetas untuk telur yang sudah dibuahi. Adapun kondisi optimum tersebut adalah kondisi iso osmotiknya, oleh karena itu maka untuk menghasilkan daya tetas, perkembangan larva menjadi megalopa serta tingkat kelangsungan hidup ymg tinggi diperlukan salinitas media yang marnpu mengoptimalkan komsumsi pakan dan meminimalkan pembelanjaan energi untuk osn~oregulasi.

Sehubungan dengan peran salinitas sebagai masking factor tersebut (Anggoro, 1992), maka nilai salinitas media akan berperan terhadap daya tetas, perkembangan larva menjadi megalopa serta tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Oleh karena salinitas berperan sangat penting, senlentara informasinya masih sangat minim, maka perlu dikaji lebih fanjut, sehingga didapatkan kondisi lingkungan yang optimal dan memungkinkan terjadinya pertumbuhan serta perkembangan stadia larva menjadi megalopa yang lebih cepat. Seperti halnya krustase laut pada umumnya, rajungan termasuk pada hewan yang dalam melakukan reproduksinya melakukan ruaya, dalam hal ini memijah di estuari dan larvanya akan melakukan ruaya ke pantai. Adanya proses ruaya ini menimbulkan dugaan bahwa mulai fase telur sampai dengan juvenil kondisi isoosmotiknya berbeda antara satu fase dengan fase lainnya (Nybakken,

(17)

Walaupun penentu keberhasilan pembenihan sudah mulai diketahui, namun keberhasilan pemeliharaan l a v a menjadi rnegalopa mas& merupakan kendala dalam pembenihan rajungan. Oleh karena itu, dalam beberapa periode belakangan ini telah dilakukan penelitian-penelitian yang mengarah pada keberhasilan pembenihan rajungan (Mardjono, e f al., 2004, 2005; Serang, 2006; Muskita, 2006; Juwana, et.al, 2002; Supriyatna, 1999; Panggabean et 01, 1982), akan tetapi rata-rata tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh masih rendah (Suprayudi, ef al., 2004). Terlebih lagi, penelitian yang berkonsentrasi pada tingkat salinitas optimal dalam pemeliharaan larva rajungan belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang pengaruh salinitas terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan (Poriunzrs pelagictrs) penting untuk dilakukan dalarn rangka memaksimalkan perkembangan, pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya.

1.2 Penvmusan Masalah

Usaha budidaya dan pembenihan rajungan sudah dilakukan, nanlun belum berhasil dengan baik. Oleh karenanya, pembenihan masih terbatas pada beberapa balai besar riset dan perguruan tinggi dalam rangka melakukan berbagai upaya untuk keperluan usaha budidaya maupun pembenihan rajungan.

Ada berbagai permasalahan yang menghambat keberhasilan usaha budidaya dan pembenihan rajungan, salah satu diantaranya adalah belum didapatkannya salinitas optimal pada setiap fase pembenihan rajungan. Hal ini berkaitan dengan apakah perbedaan salinitas akan mempengaruhi perkembangan dan kelangsungan hidup (SR) larva menjadi megalopa rajungan. Jika lingkungan budidaya sudah memenuhi syarat hidup dan pakan yang diberikan telah mencukupi kebutuhan energi minimalnya (tercukupi), maka salinitas media akan menentukan perkembangan selanjutnya.

(18)

perkembangan setiap stadia serta kelangsungan hidup larva rajungan menjadi megalopa. Untuk lebih jelasnya pendekataan masalah pengaruh salinitas pada perkembangan larva menjadi megdopa rajungan (Portunzts pelagiczrs), dapat dilihat pada Gambar 1.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan salinitas optimum dalam rangka memaksimalkan perkembangan dan kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan Portunzrs pelagicus. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan sumbangan informasi lebih lanjut bagi pengetahuan mengenai peran salinitas pada perkembangan dan tingkat kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan (Portunus pelagicus) untuk keperluan pembenihan dalam rangka melakukan penetasan dan pemeliharaan larva yang optimal.

1.4 Ffipotesis

1. Tingkat salinitas yang berbeda berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup, tingkat perkembangan dan tingat k e j a osmotik larva menjadi megalopa rajungan (Portunzrspelagicus).

2. Salinitas media optimal dapat memaksimalkan tingkat kelangsungan hidup, tingkat perkembangan dan tingat k e j a osmotik larva menjadi megalopa rajungan

(19)
[image:19.530.19.494.121.756.2]

Gambar 1. Diagram alir pendekataan masalah pengaruh salinitas pada perkembangan dan kelaigsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan (Porfunus pelagicus)

... , ,. .... .... .... . ... .... .. ... . ... - ... .... :

Salinitas

-

Perkembangan larva

- Kelangsungan hidup

optimum, perkembangan

(20)

2 TlNJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis dan Morfologi Rajungan

Secara mum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, yakni rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya (Gambar 2). Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Dengan melihat wama dari karapas dan jumlah duri pada karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Kasry,

1996). Dilihat dari sistematikanya, rajungan termasuk ke dalam: Phylum : Arthropods

class : Crustacea Ordo : Decapoda Sub ordo : Branchyura Famili : Portunid Genus : Portunus

[image:20.523.31.469.2.789.2]

Species : Portunuspelagicus

Gambar 2. Rajungan jantan

0;

betina (Y)

Dari beberapa jenis kmstasea yang dapat berenang (swimming crab), sebagian besar merupakan jenis rajungan. Sebagai contoh yang banyak terdapat di Teluk Jakarta ada 7 jenis rajungan yaitu Portunus pelagicus, Portunus sanguinolentus, Thalamita crenata, Thalamita danae, Charybdis cruciata, Charibdis natator, Podophthalmus

(21)

jenis rajungan yakni Porfunus pelagicus Linn, Porfunus sanguinolentus Herbst,

Portunus sanguinus, Portunus trituberculatus, Portunus gladiator, Portunus

hastafoides, 7Xalatnita crenata Latr., Thalatnita danae Stimpson, Charybdis cruciata, Charibdis natator Herbst, Podophthalmus vigil Fabr., O\Takamura, 1990; Soim, 1996;

Supriyatna, 1999), Portztnus trituberculafzis banyak ditemukan di Jepang, Cina, Taiwan, dan Korea. Menurut Soim (1996) nilai gizi dari bagian tubuh jenis rajungan yang dapat dimakan (edible portion) mengandung protein 65,72%, mineral 7,5%; dan lemak 0,88%. Selanjutnya dikatakan bahwa rajungan di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda-beda seperti tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Nama jenis rajungan di berbagai daerah di Indonesia Nama ilmiah

Portunuspelagicus Linn

Portunus sanguinolentus Herbst

Nama daerah Jawa:Rajungan

Ambon : Rajungan bulan Jakarta : Rajungan bintang

Thalamita crenata

Thalarnita danae

Charybdis cruciata

Jakarta: Rajungan hijau P. Seribu : Rajungan batu Jakarta: Rajungan hijau P. Seribu : Rajungan batu Jakarta : Rajungan karang

Charibdis natator

Podophthaltr~zcs vigil

Poltunzis. Gladiator

Portunus triiuberculatus

)

Jawa : Rajungan

Jakarta : Rajungan batik Jakarta : Rajungan angin Jawa : Rajungan

Portzmus sanguinus

Portunus hastatoides

Sumber : www.dkp.com 2005

Jawa : Rajungan Jawa : Rajungan

Hasil penelitian pembenihan rajungan, Portuntts trituberculatus banyak dilaporkan di Jepang, sedangkan di Indonesia hasil penelitian yang banyak dilaporkan masih terbatas pada pembenihan rajungan jenis Portunzis pelagicus (Juwana, 2002).

[image:21.530.38.463.259.774.2]
(22)

budidaya rajungan di tambak dan sekaligus untuk memenuhi perrnintaan ekspor rajungan.

Wama rajungan yang banyak tertangkap adalah jantan berwana dasar biru bersih, sedangkan rajungan betina benvama dasar hijau dan putih kotor. Induk rajungan mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan karapasnya memilii duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kin mata. Bobot rajungan dapat mencapai 400 gr dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12 inchi). Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Ukuran jantan lebih besar dan benvama lebii cerah serta berpigmen bim terang, sedang yang betina benvama sedikit lebih coklat (Cowan, 1981). Rajungan (Porttmuspelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat sembilan buah duri, dengan duri terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfimgsi sebagai pemegang, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan, dan 1 pasang kaki berfungsi sebagai dayung untuk berenang. Nontji (1986) menyatakan rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan, kaki jalan pertama ukurannya besar, memiliki capit dan kaki jalan terakllir mengalami modifkasi sebagai alat berenang. Kaki jalan pertama tersusun atas daktilus yang berfungsi sebagai capit, propodus, karpus, dan mems. Sedangkan kaki kelima mengalami modifikasi pada daktilusnya berbentuk pipih dan menyerupai dayung untuk berenang.

Tingkat kematang telur rajungan secara morfologi terdapat 4 tingkatan, yaitu : 1. Tingkat I : Belu~n matang (immature), yaitu belum ada tanda-tanda

perkembangan telur pada calon induk.

2. Tingkat I1 : Dalam proses pematangan (maturing). Perkembangan telur sudah mulai terlihat penuh, benvarna kuning namun masih berada didalam tubuh rajungan. Telur ini

akan

terlihat berada dibawah karapas.

3. Tingkat 111 : Matang (ripe), telur rajungan telah dibuahi dan berada pada abdomen (telah dikeluarkan). Pada saat dikeluarkan telur benvama kuning muda. Telur ini akan mengalami perkembangan menjadi kuning tua keabu- abuan, kehitaman, kemudian menetas. Perkembangan telur pada abdomen dari

(23)

4. Tingkat IV : Pada tingkat ini seluruh telur sudah menetas sel~ingga ruang bawah abdomen terlihat kosong

Induk rajungan matang telur tingkat 111 diperoleh dari hasil perkawinan dalam bak perkawinan yang bagian dasarnya dibesikan substrat pasir setebal 10 cm. Induk rajungan tersebut selanjutnya dipindahkan kedalam bak pengeraman hingga menetas. (Komarudin, 2005).

[image:23.530.37.464.93.774.2]

Hasil penetasan induk rajungan Portunzrs pelagicus pada setiap stadia umumnya mempunyai persamaan dan perbedaan setiap perkembangannya hingga menjadi megalopa, yang mana setiap perbedaan tersebut tidak terlalu jauh berbeda terlihat hanya pada Maxilliped, pada larva Maxilliped 1-2 sedangkan pada megalopa Maxilliped 1-3. Adapun persamaan tersebut dapat diklasifikasikan setiap stadia zoea hingga megalopa yang dapat diliiat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Persamaan dan perbedaan setiap stadia pada rajungan Portunus pelagicus

Perbedaan setiap stadia pada rajungan Portzinuspelugicu.~

Zoea Megalopa

Antennule Antennule

Antenna Antenna

Mandible Mandible

Maxillule Maxillule

Maxilla Maxilla

Maxilliped 1-2 Maxilliped 1-3

Abdomen Abdomen

Telson Telson

2.2 Habitat Rajuogan

(24)

@antai selatan Jawa Timur), Pasuruan @antai utara Jawa Timur), Lampung, Medan dan Kalimantan Barat (Hanaf~ et al., 2005).

Moosa (1985) memberikan informasi bahwa habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur, dan di pulau berkarang. Rajungan berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 56 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, pada fase lama bersifat planktonik yang melayang-layang di lepas pantai dan fase megalopa berada didekat pantai, sering ditemukan menempel pada objek yang melayang. Setelah mencapai rajungan muda (yuwana) akan kembali ke estuaria (Nybakken, 1990). Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa.

Dinegara yang bermusim empat seperti Australia perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina, kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan bereuang (Coleman, 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa rajungan hidup pada laut kedalaman sampai 40 m (131 ft), pada daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur. Rajungan merupakan hewan bersifat karnivora dan makanmiya berupa ikan dan hewan invertebrata lainnya.

2.3 Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Lawa

(25)

.

,.

.

,

(C) (sumbe; www.dkp.com. 2005).

Lamanya waktu perkembangan setiap stadia larva rajungan sangat berbeda- beda. Menwut Susanto et al. (2003) lamanya metamorfosa mulai dari stadia zoea menjadi megalopa dapat dicapai selama 10 hari. Namun menurut Kasry (1996) lamanya metamorfosa kepiting mulai dari stadia zoea hingga megalopa umumnya diperlukan waktu 17 - 26 bari. Waktu yang diperlukan untuk setiap stadia zoea umumnya 3 - 5 bari, sedangkan pada stadia ~llegalopa waktu yang dibutuhkan adalah 7-12hari.

Larva kepiting bakau yang baru menetas masih berbentuk prezoea atau zoea-1. Larva prezoea aka1 mengalami moulting lcwang lebih setengah jam dan selanjutnya akan berkembang menjadi zoea-1 (Warner, 1997). Larva prezoea-1 akan berubah menjadi zoea-1 dalam waktu kwang lebih setengah jam. Larva zoea-1 mempunyai panjang tubuh 1,15 mm (Moosa, 1985), selanjutnya dikatakan bahwa larva zoea 1 mempunyai setae natatoty pada endopodit maksiliped pertama dan kedua, masing-masing 4 buah, namun pleopodnya belum berkembang, dan masa sesil belum bertangkai (Ong, 1966).

(26)

2.4

Kebuttuhan Larva dan Megalopa akan Salinitas dan Kualitas

Air

Salah satu kendala utama dalam usaha pembenihan kepiting bakau adalah belum ditemukannya kondisi lingkungan, terutama salinitas yang optimal bagi proses penetasan telur maupun perkembangan larva setiap stadianya. Esciitor (1972) mendapatkan telur-telur yang gaga1 menetas clan mortalitas larva total terjadi setelah 40 jam pemeliharaan dalam salinitas rendah. Pada kondisi lingkungan yang tidak optimal, penetasan telur akan menghasilkan larva dengan kondisi yang lemah sehingga didapatkan tingkat kematian yang tinggi. Hasil penelitian Kasry (1996) dan Rukmantara (1992) menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup larva sampai megalopa hanya mencapai 52 -53%. Tingginya tingkat mortalitas disebabkan oleh kondisi salinitas dan fluktuasi suhu media penetasan telunlya.

Bila ditinjau dari aspek fisiologi lingkungan, maka salinitas merupakan suatu faktor ekstemal abiotik yang berpengaruh cukup penting pada organisme perairan, termasuk faktor ekstemal abiotik yang berpengaruh cukup penting bagi organisme air, termasuk kepiting bakau. Anggoro (1992) inenyatakan bahwa salinitas berperan sebagai masking factor atau faktor yang dapat memodifikasi faktor liigkungan lain melalui suatu mekanisme pengaturan tubuh organisme. Dalam hal ini pengaruh salinitas akan melibatkan pengaturan ion-ion internal, sehingga secara konstan memerlukan energi untuk transpor aktif ion-ion dalan menlpertahankan milieu internal. Sehubungan dengan peran salinitas sebagai masking factor tersebut, maka nilai saliitas media akan berpengaruh terhadap efisiensi pemanfaatan energi kuning telur yang selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan embrio dalam telur. Penetasan telur dengan laju pertutnbuhan embrio yang tinggi akan mengl~asilkan larva kepiting bakau berukuran lebih besar. Ukuran larva yang besar berpotensi untuk hidup dan tumbuh lebih baik. Untuk itu peran salinitas perlu dikaji lebih jauh, sehingga didapatkan kondisi lingkungan optimal yang memungkinkan te rjadinya laju pertumbuhan embrio yang tinggi.

(27)

energi secara mum, akan mempengamhi karakteristik kehidupan organisme selanjutnya seperti pertumbuhan dan reproduksi (Verslycke dan Janssen, 2002).

Salinitas yang dibutuhkan untuk penetasan telur rajungan biru (blue crab) dan perkembangan larva secara normal adalah 22 -28 ppt. Pada salinitas yang sangat rendah, maka telur akan menetas prematur dan larva prozoea hasil tetasannya akan segera mati (Hill et al., 1989). Salinitas beperan sebagai masking faktor atau faktor yang dapat memodifikasi faktor lingkungan lain melalui suatu mekanisme pengaturan tubuh organisme ( A ~ O N ~ O U S , 2002). Dalam ha1 ini pengaruh salinitas akan melibatkan pengaturan ion-ion internal selkgga secara konstan memerlukan energi unttlk transport aktif ion-ion dalam mempertahankan milieu internalnya. Hasil penelitian Walsh, Swanson dan Lee (1991) menunjukkan bahwa salinitas sangat berpengaruh terhadap telur-telur organisme laut. Pada tingkat yang ditoleransi, salinitas akan menyebabkan regulasi hidro-mineral dan berpengaruh pada daya apung telur. Hasil observasi Sudrajat (1989) pada penetasan tiram menunjukkan bahwa salinitas media yang berbeda (20 -35 ppt) berpengaruh terhadap rata-rata panjang larva. Sedangkan pada tingkat ekstrim, salinitas dapat menyebabkan mortalitas selama masa inkubasi telur atau menyebabkan kelainan dari perkembangan telur, selungga akan menghasilkan larva abnormal. Selanjutnya dikatakan bahwa perubahan salinitas yang mendadak dapat meningkatkan terjadinya perkembangan telur secara abnormal dan mortalitas.

Daya toleransi telur terhadap salinitas sangat dipengamhi oleh kualitas telur dan kondisi lingkungan. Salinitas merupakan konsentrasi total semua ion dalam air, dan dinyatakm dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter (Boyd, 1990). Seluruh ion yang terlarut tersebut akan menetukan sifat osmotik air. Semakin banyak jumlah ion yang terlarut di dalam air, maka tinglcat salinitas dan kepekatan osmolar larutan semakin tinggi, sehingga tekanan osmotik media semakin besar. Nybakken (1990) menyatakan bahwa ion-ion yang dominan dalam menetukan osmotik (osmolaritas) air laut adalah ~ a + dan C1' dengan porsi masing-masing adalali 30,51 dan 55,04% dari total konsentrasi ion-ion terlarut.

(28)

s d i t a s terhadap konsentrasi total osmotik, timbulnya nlasalah ketersediaan oksigen terlarut (pada salinitas yang tinggi, kelarutan oksigen menjadi rendah), dan perbedaan salinitas yang mungkin berpengaruh terhadap daya apung organisme. Selanjutnya faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai efek salinitas adalah kompetitor dan penyakit. Selain itu larva dan megalopa membutuhkan oksigen terlarut berkisar antara 4,O - 6,O ppt (BBPBAF', 2004).

Subu optimum bagi pemeliharaan rajungan biru bervariasi dengan variabel lingkungan lainnya. Termasuk salinitas (Hill et al., 1989). Pada suhu 20 -30°C dan salinitas 10 ppt, angka kelangsungan hidup megalopa rajungan biru mencapai 70%; sedangkan pada suhu 25°C dan salinitas yang berkisar antma 20,l sampai 31,l ppt, larva akan berkembang secara normal. Kisaran suhu yang layak bagi kehidupan raj~mgan biru adalah berkisar antara 21 hingga 30°C. Sehubungan dengan variabel lingkungan lain maka salinitas berpengaruh terhadap kelarutan oksigen dalam air. Se~nakin tinggi salinitas maka kelarutan oksigen dalam air semakin berkurang (Holliday, 1969). Di lain pihak salinitas berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen organisme akuatik (Sudrajat, 1989), terutama bagi organisme yang bersifat osmoregulator. Pada media isoosmotik, kebutuhan oksigen (respiratory cost) berada pada tingkat minimal.

2.5 Tingkat Kerja Osmotik

(29)

berubah sesuai dengan kondisi osmolaritas media hidupnya. Osmoregulator adalah organisme yang mempunyai mekanisme faali untuk menjaga lingkungan intemalnya dengan cara mengatur osmolaritas (kandungan garam dan air) pada cairan internalnya (Nybakken, 1990). Sesuai dengan rentang salinitas yang masih dapat ditolerir yaitu 1 sampai 42 ppt (Chen dan Chi& 1997), kepiting termasuk organisme akuatik tipe osmoregulator. Kemampuan osmoregulasinya sangat bergantung kepada tingkat salinitas medianya.

Salinitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada kehidupan organisme akuatik temasuk kepiting. Salinitas media melalui perubahan osmolaritas media air akan menetukan tingkat komsumsi pakan. Efek lanjutnya akan menetukan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting. Osmolaritas media merupakan penentu tingkat kerja osmotik yang dialami kepiting. Osmolaritas media makin besar dengan peningkatan salinitas. Hal tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan konsentrasi ion-ion terlarut. Sifat osmotik dari media bergantung pada seluruh ion yang terlarut didalam media tersebut. Dengan semakin besarnya jumlah ion terlarut didalam media, tingkat kepekaan osmolaritas larutan akan semakin tinggi pula, sehingga akan menyebabkan bertambah besamya tekanan osmotik media, demikian pula halnya dengan hemolimfe pada kepiting. Peningkatan osmolaritas tersebut berkaitan dengan mekanisme osmoregulasi yang dilakukan kepiting (Yusri, 2005). Selain itu kepiting memiliki kemampuan untuk menjaga lulgkungan intemalnya dengan cam mengatur osmolaritasnya (kandungan garam dan air) pada cairan intenialnya, dengan demikian kepiting bersifat hiperosmotik apabila berada pada media bersalinitas rendah dan hipoosmotik pada media bersalinitas tinggi (Chen dan Clua, 1997).

(30)

m e ~ p a k a n periode kritis yang menggambarkan kondisi fisiologis dari proses pergantian kulit lama (eksoskeleton) (Gimenez et al., 2001).

Pada dasarnya pertumbuhan kepiting bergantung pada energi yang tersedia, bagaimana energi itu dipergunakan di dalam tubuhnya dan secara teoritis hanya

akan

terjadi bila kebutuhan minimumnya (untuk hidup pokok) terpenuhi. Kepiting bakau memperoleh energi dari pakan yang dikomsumsi dan kehilangan energi sebagai akibat metabolisme, termasuk untuk keperluan osmoregulasi. Efisiensi pemanfaatan pakan (energi) untuk pertumbuhan akan efisien bila hewan itu hidup pada media yang tidak jauh dari titik isoosmotik (Ferraris et al., 1986).

Dalam kaitannya dengan osmoregulasi, pembelanjaan energi untuk osmoregulasi dapat ditekan apabila organisme dipeliharaa pada media yang isoosmotik, sehingga pemanfaatan pakan menjadi efisien serta pertumbuhan dapat meningkat. Pertumbuhan secara internal selain dipengaruhi oleh kelancaran proses ganti kulit, juga dipengaruhi oleh tingkat kerja osmotik (osmoregulasi).

Pengaruh salinitas pada efisiensi pelnanfaatan pakan dan pertumbul~annya dapat terjadi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada kebanyakan organisme laut tipe osmoregulator-eurihaline, pengamh saliitas media adalah lewat efek osmotiknya pada osmoregulasi dan kemampuan pencernaan serta absorpsi sari pakan, sedangkan secara tidak langsung salinitas mempengaruhi organisme akuatik melalui perubahan kualitas air seperti pH dan oksigen terlamt (Gilles dan Pequeux 1983; Fenaris et al., 1986).

T i a t ke rja osmotik merupakan proses adaptasi yang mengeluarkan energi untuk lnenyeimbangkan konsentrasi cairan tubuh dengan cairan media. Oleh karena itu, agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya rajungan harus menjaga keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan media hidupnya. Menurut Anggoro (1992), regulasi osmotik adalah suatu sistem homeostatis untuk mengatur keseiinbangan "millieu interieurnya", yaitu antara volume air dan konsentrasi elektrolit yang terlarut dalam air media hidupnya.

(31)

Dengan adanya pengeluaran energi untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dengan medianya yang besar mengakibatkan nilai tingkat k e j a osmotik juga besar. Sedangkan krustasea yang hidup pada salinitas tinggi, proses osmoregulasi banyak mengeluarkan energi untuk menyeimbangkan konsentrasi cairan tubuhnya agar tetap seimbang dengan konsentrasi medianya. Menurut Stickney (1979) energi yang diperlukan untuk proses osmoregulasi akan meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya penyimpangan media dari kondisi isoosmotik, baik ke arah hipotonik maupun ke arah hipertonik.

Menurut Kinne (1964) adaptasi yang dilakukan oleh krustasea terhadap perubahan salinitas lingkungan yaitu melalui:

1. Peningkatan kemampuan untuk mengendalikan kadar air d a ~ ~ garam dalam jaringan tub& secara aktif,

2. Peningkatan kemampuan pengaturan keseimbangan ion dan osmokonsentrasi cairan tubuh,

3. Peningkatan kemampuan absorbsi untuk menyimpan air dan garam dalam jaringan,

4. Peningkatan permeabilitas permukaan membran terhadap air dan garam, 5. seleksi habitat yang cocok secara aktif, dan

6. Peningkatan daya toleransi tubuh terhadap fluktuasi imbangan ion dan osmokonsentrasi total.

Kemampuan organisme untuk menyelamatkan din terhadap perubahan salinitas yang te rjadi tergantung dari kemampuan cairan tubuh dalam berfungsi minimal untuk jangka pendek pada selang yang tidak normal dari konsentrasi osmotik dan ionik tub& (toleransi salinitas) dan kemampuan untuk meregulasi cairan tubuh dalam menyesuaikan tekanan osmotik mendekati normal (regulasi salinitas) (Holliday,

1969).

2.6 Identifikasi Larva hingga menjadi Megalopa

(32)

tubuh, baik organ tubuh yang menunjang kemampuan bergerak maupun yang berkaitan dengan aktivitas makannya. Rajungan memerlukan pergantian M i t untuk tumbuh ke tingkat perkembangan selanjutnya. Pada suhu yang relatif tinggi, interval moulting menjadi pendek. Berarti pertumbuhan rajungan lebih cepat dan keseragaman ukuran tercapai. Proses moulting setiap fase pada tingkat zoea te rjadi setelah 3-4 hari bila salinitas perairan 31* 2 ppt, sedangkan fase megalopa menjadi juvenil memerlukan waktu 11 - 12 hari bila berada pada kisaran salinitas tinggi.

Zoea 1 dan zoea 2 pada umumnya sama yang membedakan hanya ukuran dan wama, dalam ha1 ini zoea 1 lebih kecil dari zoea 2 dan warnanya lebih cerah (transparan) dibanding zoea 2, namun stadia zoea 2 lebih aktif menangkap pakan dibanding dengan zoea 1, begitu pula pada zoea 3, 4 hingga megalopa. Hal ini berkaitan dengan semakin berkembangnya organ tubuh baik dalam h a n maupun fimgsinya. Lamanya metamorfosa mulai dari stadia zoea hingga megalopa pada larva rajungan dapat dicapai selama 10 hari (Susanto et al. 2003). Sedangkan menurut Kasry (1996) lamanya metamorfosa kepiting mulai dari stadia zoea hingga rnegalopa tunumnya diperlukan waktu kurang lebih 17-26 hari. Waktu yang diperlukan untuk setiap stadia zoea umumnya 3-5 hari, sedangkan pada stadia megalopa waktu yang dibutuhkan berkisar antara 7-12 hari.

2.6 Kebutuhan Larva dan Megalopa akan Pakan Alami

Pada umumnya tingkat kelangsungan hidup larva rajungan ditentukan oleh faktor lingkungan dan pakan. Sifat kanibalisme akan muncul bila larva rajungan kekurangan pakan yang dapat mengakibatkan kompetisi pakan. Hal ini sesuai dengan Panggabean et al, (1982) yang menyatakan bahwa larva rajungan mempunyai sifat kanibalisme pada stadia megalopa apabila waktu pemberian pakannya tidak sesuai. Sifat kanibalisme me~pi-ikan sifat utama penyebab kematian larva karena kondisi tubuhnya masih labil, lunak dan sangat peka (mudah rusak) bila terdapat gangguan dari lingkungamlya.

(33)

mulutnya. Penggunaan rotifera diharapkan dapat memberikan h a i l yang baik karena disamping mengandung kadar nutrien yang tinggi, berukuran kecil sesuai dengan bukaan inulut larva dan juga bergerak larnbat sehingga mudah ditangkap dan dimakan oleh larva rajungan. (Marjono ef al. 2003).

Larva kepiting bakau yang baru menetas hingga hari ke lima yang diberi makan rotifer strain SS tingkat kelangsungan hidupnya lebih baik dibanding strain S dan dan lebih lanjut dinyatakan perbedaan tersebut disebabkan oleh ukuran rotifera. (Setyadi

et al., 1999). D i a n a type S (berukuran 160 -180 mikron), type L (berukuran 200 -

250) dan type SS lebih kecil dari type S.

Ada berbagai metode cara pemberian pakan, selain itu jenis makanan yang diberikanpun dapat berbeda antara satu dengan laimya, jenis makanan yang diberikan selama pemeliharaan larva sampai crablet rajungan berurutan berupa rotifera, pakan tambahan, naupli artemia, clan ikan rucah yang di blender (Juwana, 2002).

Penelitian tentang hubungan antara salinitas dan pemanfaatan pakan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, dan dari penelitian-penelitian tersebut terbukti bahwa salinitas m e m p e n g d l i tingkat komsumsi, kecernaan, dan efisiensi pakan pada berbagai jenis ikan laut, diantaranya Mugil cephalus dan Chanos chanos.

Kecemaan dan absorbsi pakan lewat usus akan lebih efisien bila media eksternal sedikit hipotonik di bawah rentang isoosmotik organisme akuatik eurihaline (Ferraris

(34)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2007, di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara (BBPBAP).

3.2 Bahan Penelitian Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva rajungan (Portunus pelagicus) mulai stadia zoea 1 dari hasil penetasan induk di BBPBAP Jepara. Larva rajungan yang ada di BBPBAP Jepara ini berasal dari hasil penetasan induk hasil tangkapan nelayan di pantai Jepara dengan hobot induk kurang lebih 100 gram.

Pakan

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan alami rotifer (Nannochioropsis sp).

Sumber Air dan Media Penelitian

Air yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Air laut bersalinitas 28 ppt yang diperoleh dari perairan Jepara

2. Air tawar yang diperoleh dari sumur yang terdapat di Laboratorium BBPBAP Jepara

Untuk mendapatkan media percobaan sesuai perlakuan (23, 28, 33, 38 ppt), dilakukan teknik pengenceran dengan menggunakan rumus. Campuran air laut dan air tawar tersebut sebelumnya disterilisasi dengan menggunakan khlorine dan selanjutnya air media diaerasi selama seminggu sebelun~ digunakan sebagai media percobaan. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

S = Salinitas yang diinginkan S2 = Salinitas air laut

S3 = Salinitas tawar/larutan garam V2 = Volume air laut

(35)

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Toples kaca ukuran 35 x 30 x 30 cm yang diisi dengan air media 3 liter. 2. Bak penampungan air laut dan air tawar masing-masing berkapasitas 1 ton air 3. Planktonet, pipet tetes dan peralatan pengambilan larva rajungan lainnya 4. Garam untuk pengaturan salinitas

5. DO meter, Salinometer, thermostat, pH meter, termometer dan peralatan lain untuk menganalisis kualitas air.

6. Kaca pembesar untuk mengamati larva

7. Timbangan elektronik, mikroskop elektron, jangka sorong dan kamera digital untuk menimbang, melihat, meng~kur dan inelihat perkembangan megalopa serta perubahan setiap stadianya

8. Osmometer untuk mengukur tekanan osmotik

3.3 Metode Penelitian Pemefiharaan lnduk

Induk yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil tangkapan nelayan di laut (dam) yang menggunakan bubu atau jaring insang di perairan Jepara. Untuk mendapatkan induk betina rajungan yang baik untuk pemeliharan dilakukan seleksi dengan berat minimal 100 gram dengan lebar karapas 12 cm dan panjangnya 15 ern serta telah siap memijah. Selain itu ciri morfologinya harus diseleksi pula seperti keaktifan bergerak, anggota tubuh lengkap dan tidak cacat, tidak adanya bercak atau penyakit dan parasit yang menempel, spermateka induk betina telah menyimpan spermatofor, ha1 tersebut sangat penting untuk diperhatikan.

(36)

Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 100 % dari volume total dan untuk menjaga kualitas air agar media tetap baik, maka dilakukan pengambilan sisa pakan setiap hari. Media pemeliharaan induk diberi aerasi guna menjaga 0 2 terlarut tetap stabil di dalam air media.

Setelah tejadi pemijahan yang ditandai dengan keluamya telur yang melekat pada pleopod, maka induk segera dipindahkan ke dalam wadah pengeraman. Dalam waktu 0,s sampai 1 jam cangkang telurnya akan pecah dan menetas menjadi zoea 1 yang &an d i j a d i i sebagai materi percobaan selanjutnya.

Pemeliharaan Larva

Larva baru hasil tetasan (zoea 1) dengan hati-hati pindahkan ke dalam wadah yang telah disiapkan dengan cara sampling. Kemudian diambil dengan gayung bersama massa air dan ditampung dalam wadah (ember). Dari wadah penampungan tersebut larva kemudian disampling lagi untuk dipindahkan ke dalam wadah penelitian (toples) sebanyak 150 ekor per wadah dengan suhu, pH dan DO dipertahankan pada masing-masing nilai 28-31°C, 7,s dan 6 mg~l. Pada setiap wadah tersebut diberi aerasi dan dilakukan pergantian air setiap hari sebanyak 100% dari volume total setiap wadah penelitian dan untuk menjaga kualitas air media tetap baik.

Pemeriksaan stadia larva dan megalopa

(37)

Persiapan Pakan

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan alami yaitu rotifer dari hasil kultur massal di BBPAB Jepara. Frekwensi pemberian pakan dilakukan sehari sekali secara adlibitum yang diberikan pada waktu pagi hari setelah pergantian air.

3.4 Parameter yang Diamati

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan dan perhitungan terhadap beberapa parameter yakni tingkat kelangsungan hidup larva dan megalopa, perkembangan larva

setiap stadia, tingkat kerja osmotik larva dan megalopa serta pengukuan kualitas air.

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva

Jumlah larva rajungan yang hidup pada setiap stadia dihitung dengan menyamplig pada setiap wadah dengan menggunakan nunus :

SR = NtNo X 100% Keterangan :

SR = Tingkat kelangsungan hidup larva rajungan

Nt = Jumlah larva rajungan yang hidup sampai akhir percobaan No = Jumlah larva rajungan pada awal percobaan

Perkembangan Larva setiap Stadia

Tingkat perkembangan tiap stadia rajungan mulai dari stadia 1 sampai dengan stadia 4, hingga megalopa pada setiap wadah pemeliharaan pada setiap perlakuannya, dihitung dengan menggunakan rumus (Suprayudi et al. 2004) :

Dt = CN.t I CN Keterangan :

Dt = Periode perkenlbangan stadia

(38)

Tingkat Kerja Osmotik

Untuk menentukan tingkat kerja osmotik yang dialami rajungan uji, diukur osmolaritas heinolimfe rajungan percobaan dan media perlakuan. Pengukuran dilakukan pada stadia zoea 1 dan megalopa. Tingkat kerja osmotik yang di ukur adalah nilai osmolaritas bemolimfe kepiting dan osmolaritas media perlakuan (Anggoro, 1992). Pengukuran osmolaritas dilakukan dengan menggunakan osmometer (SOP OSMOTAT 30) di laboratorium Ilmu Kelautan Pascasarjana UNDIP Semarang.

Kualitas Air

Selama percobaan berlangsung dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter fisika dan kimia air. Adapun parameter fisika, kimia air yang diukur serta alat pengukumya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter fisika kimia air dan metodelalat yang digunakan

No Parameter Alat

1. Salinitas (ppt) Hand-refraktometer (model atago slmill, skala 0 - 100 ppt)

2. Suhu (OC) Termometer Hg (skala- 20 sampai 50 OC) 3. pH (unit) pH meter (model HI 98107 skala 1,O - 14,O) 4. Oksigen terlamt (ppm) DO meter (model 5509 lutron skala 0 - 20 ppm) 5. Osmolaritas (mosmll) Osmometer

3.5 Rancangan Pcrcobaan

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental laboratorium dengan menggunakan rancailgan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan (Steel dan Tonie, 1991). Adapun perlakuan yang digunakan dalarn penelitian ini adalah :

1. Perlakuan 1 salinitas 23 ppt 2. Perlakuan 2 salinitas 28 ppt 3. Perlakuan 3 salinitas 33 ppt 4. Perlakuan 4 salinitas 38 ppt

(39)

Tabel 4. Skema perlakuan salinitaslpakan pada larva rajungan.

Salinitas Stadia

(P~t)/~*an -

-

21 22 23 24 Megaiopa

3.6 Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap perkembang%? 5-

[image:39.527.26.460.53.757.2]
(40)

4 KASIL DAN PEItlBAWASAN

4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Larva menjadi Megalopa

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa tingkat kelangsungan hidup pada stadia zoea 1 hingga megalopa rajungan menunjukkan kecenderungan p e n m a n . P e n m a n kelangsungan hidup tersebut tejadi secara merata, namun tampak lebih jelas dari stadia zoea 1 hingga stadia megalopa. Tingkat kelangsungan hidup akhir pada tahap megalopa yang paling baik berturut-turut pada salinitas 28 ppt, 23 ppt, 33 ppt dan 38 ppt. Pada fase (rentang waktu) untuk mencapai tahap megalopa, terlihat bahwa salinitas yang paling optimal adalah 28 ppt yang dapat dilihat dari tingkat kelangsungan hidup megalopa yang tinggi hingga akhir tahap perkembangan (hari ke- 13) pada tingkat salinitas tersebut. Pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup pada stadia megalopa terbaik pada salinitas yang lebih rendah yakni 28 ppt. Hal ini diduga sesuai dengan habitat alaminya, dalam ha1 ini pada stadia tersebut rajungan sudah melakukan migrasi ke arah estuari (Moosa, 1980 dan Nybakken, 1990).

Tingginya tingkat kelangsungan hidup lama menjadi megalopa pada salinitas 28 ppt diduga pada fase tersebut bermigrasi ke estuaria (pantai) yang salinitasnya lebih rendah dari laut lepas. Data tingkat kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan dalaln penelitian ini, selengkapnya dapat dilihat pada grafik tingkat kelangsungan hidup larva menjadi megalopa rajungan yang disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 3 di bawah ini.

Tabel 5. Rata-iata tingkat kelangsungan hidup

(YO)

larva menjadi megalopa rajungan Portunuspeiagrczr~

Salinitas (ppt) Zoea 1 Z oea 2 Z oea 3 Z oea 4 Megalopa

23 94.67 81.56" 61.11 33.11 16.44

28 94.22b 75.78 45.78 a 35.78 19.11

[image:40.527.36.467.68.775.2]
(41)

i i

!

I S R

'

:-

1

/

I Pc!y.jSR)/i

I

32.63 ppt I

I

1

85 v.o.mox2-s.3isx+ra.os I

R'=0.94r3

I

i

i

i 70

4

$3.35 ppt

I

I

E

"

10 26.66 ppt

! i

y=00378x'+52x-51.031 I !

R2=affi8

j

j

I 4 S R I I

I-POI~ISR) I i

, I

1

I

1

I 23 28 33 38

Salinitas I

I !

[image:41.523.31.494.32.759.2]

I i

Gambar 4. Hubungai salinitas dengan tingkat kelangsutlgan hidup

(42)
(43)

i

T w a t Kelangsungan

m u p

( 0 3 ) ~ a n a - ~ e g a l o p a

Hari -

Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup ((%) larva menjadi megalopa rajungan

Porfzmts pelagicz/s

Keterangan :

[image:43.523.38.512.115.769.2]
(44)

~--pp~

Tingkat Kelangsungan Hiiup Larva-Megaiopa

1 2 3 4 5

[image:44.527.37.461.50.539.2]

Larva-Megalopa

Gambar 6 . Tingkat kelangsungan hidup (%) larva menjadi megalopa setiap fase rajungan PorttrnuspeIagfcus

Keterangan :

(45)

1

Tingkat kelangsungan hidup (%) larva

-

megalopa

1

1

.

I

salmtas.@~t) ..-.-....---...I

i

1

1

mcgalo~a

11

[image:45.523.29.349.28.563.2]

Cl zoea 4

Gambar 7. Diagram tingkat kelangsungan hidup (%) larva - megalopa salinitas 23 ppt.

i

Tingkat kelangsungan hidup (%) larva -megalopa

1

Gamba 8. Diagram tingkat kelangsungan hidup (%) larva - megalopa salinitas 28 ppt.

Tingkat kelangsungan hidup (%) larva

-

megalopa alinitos (ppt)

I

33

i

I

I

0 50 IW 150

SR (%)

(46)

I

1

Tingkat kelangsungan hidup (%) !arva -megalopa

1

Salinitas (ppt)

7----

-

i

SR (Oh)

- -. - -. - - -

Gambar 10. Diagram tingkat kelangsungan hidup (%) larva - megalopa salinitas 38 ppt.

Tingkat kelangsungan hidup antar stadia mulai dari zoea 1 hingga megalopa, menunjukkCm bahwa salinitas sangat berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup larva. Pada stadia zoea 1, salinitas 38 ppt memberikan tingkat kelangsungan hidup paling rendah dibandingkan salinitas 23, 28 dan 33 ppt, demikian pula pada stadia zoea 4 dan megalopa dengan perbedaan nyata (P < 0.05). Pada stadia zoea 1, zoea 4 dan megalopa salinitas yang tertinggi dalam perlakuan ini justru memberikan tingkat kelangsungan hidup paling rendah. Hal ini diduga karena pada tal~ap perkembangan awal larva menjadi megalopa rajungan merupakan tahap kritis yang rentan terhadap salinitas yang tinggi. Namun demikian berdasarkan tingkat kerja osmotiknya memperlihatkan bahwa nilai terbaik adalah salinitas 33 ppt. Hal ini diduga karena pada fase tersebut rajungan sudah melakukan migrasi ke lokasi yang salinitasnya tinggi atau menjauhi pantai. Ole11 karena itu salinitas optimum adalah rentang antara 28 ppt sampai 33 ppt.

(47)

melakukan migasi ke salinitas yang lebih rendah atau dengan kata lain bermigrasi ke arah mendekati pantai.

4.2 Perkembangan Larva menjadi Megatopa 4.2.1 Perkembangan Berat

Pada penelitian ini didapatkan hasil perkembangan larva rajungan setiap stadia, mnlai dari zoea 1 sampai zoea 4 hingga ke megalopa, berdasarkan pengamatan clan pengukuran perkembangan berat larva serta megalopa rajungan. Data berat larva sampai megalopa rajungan dalam penelitian ini dapat diiiat pada Tabel 6 dan pada Lampiran 5.

Tabel 6. Rata-rata perkembangan berat (gr) larva menjadi megalopa Po~tunus

pelagicus

Salinitas Zoea 1 Z oea 2 Z oea 3 Z oea 4 Megalopa

Keterangmz: huruf yang sarna antarperlakuan nienunjukkan tidak berbeda nyata

[image:47.527.36.469.158.764.2]
(48)

pencahayaan. Apabila keadaan lingkungan baik dan pakan yang tersedia cukup, maka akan terjadi pertumbuhan, sebaliknya apabila keadaan lingkungan kurang baik dan kekurang pakan, maka pertumbuhan akan lambat, bahkan dapat terjadi p e n m a n bobot tubuh.

4.2.2 Perkembangan Panjang

Dari Tabel 7 terlihat bahwa ada perbedaan panjang pada setiap perlakuan, namun hasil uji statistik memperlihatkan bahwa panjang larva pada zoea 1 (1,lO -

(49)

Tabel 7. Rata-rata perkembangan panjang (mm) larva menjadi megalopa

Portunus pelagicus

Salinitas Zoea 1 Z oea 2 Z oea 3 Z oea 4 Megalopa

(PP~)

23 1.10" 1.49

'

1.53 a 2.76 a 1.27"

28 1 . 1 1 " 1.5' 1.53" 2.77" 1.28

'

33 l . l l n 1.51b 1.53a 2.79 1 .28"

38 1.12a 1.78' 1.85 2.75 a 0.86"

Keterarzgan: Hurufyang berbeda antarperlakua~t mentmjukkm perbedam nyata

[image:49.523.31.467.45.779.2]
(50)

karena itu maka pada pemeliharaan larva menjadi megalopa rajungan dengan media bersalinitas 33 ppt memberikan nilai tertinggi.

i

p

! Perkenbangan panjang 22

1

1 I perkenbangan panjang 23

1

I ! I

y:0.mux'+0.24SBx.2.~91

1.5 1 Rf;0.9369

1

-

4

\

9 P4mt I

/I

-

1

I-~ci~(panimgi / I

=0.5

,

L---i

.g i 27.93 ppt

I

0

+-

[image:50.527.35.467.60.670.2]

23 28 33 38

(51)

4.3 Osmolaritas Media dan Osmolari(as Larva

-

Megalopa

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil tingkat osmolaritas media dan osmolaritas larva dan megalopa dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 serta pada Lampiran 6. Tingkat k e j a osmotik yang paling optimal, baik pada larva maupun megalopa terjadi pada salinitas 33 ppt dengan tingkat perbedaan sangat nyata (P <

0.05), dibandingkan salinitas 23, 28 dan 38 ppt. Tingkat kerja osmotik baik pada larva maupun megalopa rajungan dapat dilihat pada Gambar 12,13 dan 14.

(52)

Tabel 8. Rata-rata hasil pemeriksaan osmolaritas hemolim dan media larva rajungan Porlunzrspelagicus

Salinitas Osmolaritas H e m o l i Osmolaritas media TKO

(PP~) (rnOsmnr,O) (mOsm/H20)

(0) (b) (0-6)

23 869,97 671,19 198,7gd

28 894,OO 817,lO 76,9Oc

33 933,83 963,Ol -29,1sb

38 996,91 1 108,92 -1 12,0Ia

Keterangan: fIuruf yang berbedapada TKO setiap salinitas menunjukkon perbedaan izyata

Tabel 9. Rata-rata hasil pemeriksaan osmolaritas hemolim dan media megalopa rajungan Portunuspelagiczis

Salinitas Osmolaritas h e m o l i Osmolaritas media TKO

(PP~) ( m o d 2 0 1 (mOsm/El*O)

(a) (bl (a-b)

23 871,35 671,19 200,16~

28 894,22 817,lO 77,12'

33 9 3 4 9 963,Ol -28,57b

3 8 996,OO 1108,92 -1 12,96"

Keterangan: Hunf yang berbeda pada TKO setiap salinitas menunjukkan perbedaan nyata

[image:52.523.34.472.15.789.2]
(53)

TKO Larva

y -20.769x+667.08 ~"0.9929

-Linear(TKO)

Salinitas

I

TKO Megalopa

I

[image:53.523.87.442.105.601.2]

Salinitas

(54)

~

I

I Hasil peiiieriksaan osnlolaritas henlolim dan media

1

larva rajungan

-0

-29. IS

salin~tas 3 953 963 83 17 TKO

I osmolaritas

I

[image:54.530.30.396.41.720.2]

L ~ - - ~ ~ - - ~ ~ ~ ~ ~ - ~ p ~ ~ ,~ . ..~. ~ Gambar 13. Diagram tingkat kerja osmotik larva rajungan

I-Iasil peineriksaan osinolaritas hemlin dan media megalopa rajungan

-

(55)

4.4 Kualitas Air

Kelayakan kualitas media perkembangan larva menjadi megalopa rajungan, yang terdiri dari beberapa parameter peubal~ fisika dan kimia air, sangat berperan sebagai penentu kelayakan habitat bagi kehidupan larva menjadi megalopa rajungan. Hasil pemeriksaan terhadap peubah fisika dan kimia air tersebut dapat dilihat pada Tabel 10

di bawah ini dan pada Lampiran 1.

Tabel 10. Kualitas air (suliu, oksigen terlarut, pH) pada pemeliharaan larva menjadi megalopa rajungan Portunuspelagicus

Pengukuran

A B C D

Sullu (OC) 28-31 28-31 28-31 28-31

DO (ppm) 4,01 - 5,98 4,01 - 5,98 4,Ol - 5,98 4,Ol - 5,98

pH 7,4 7,4 7,4 7,4

Sttltu air

[image:55.523.36.464.80.753.2]
(56)

Keasaman (pW) air

Menurut Boyd (1990) pH adalah logaritma negatif dari kadar ion hidrogen

(H+)

dan merupakan indikator keasaman serta kebasaan air. Hasil pemeriksaan pH air media menunjukkan bahwa semuanya bersifat alkalis dengan nilai 7,4 (Tabel 10 dan Lampiran l), keseluruhan masih berada pada rentang layak yang optimum bagi media pemeliharaan rajungan. Hal ini didukung oleh pendapat Heasman dan Fielder (1985) yang menyatakan bahwa nilai pH untuk pemeliharaan rajungan pada umumnya berkisar antara 7,2 - 8,s. Hal ini sejalan dengan pendapat Cowan (1992) yang mengatakan bahwa pH media tempat pemeliharaan rajungan adalah 8,0, namun kisaran pH 7,O - 8,6 berada dalam batas toleransi bagi kehidupan rajungan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pH air berada pada kondisi yang cukup baik untuk iiiendukung proses perkenibangan larva menjadi megalopa.

Oksigen terlarut (DO)

(57)

Secara keseluruhan, di dalam penelitian ini media pemeliharaan larva menjadi megalopa rajungan Potunuspelagiczrs, lcualitas air telah dijaga sehiigga dalam setiap perlakuan kualitas air tetap berada pada kisaran yang optimal bagi pemeliharaan larva menjadi megalopa rajungan. Pada penelitian ini juga memperiihatkan bahwa parameter kualitas air suhu, kadar keasaman, dan kadar oksigen terlarut masing- masing berada pada kisamn optimal. Kualitas air merupakan faktor yang menentukan kelangsungan hidup dan perkembangan larva menjadi megalopa rajungan, karena kualitas air media penelitian secara m u m mencenninkan kondisi lingkungan media tempat hidup habitat rajungan Potunus pelagicus dalam kondisi yang baik dan mendukung kehidupan rajungan yang ada di dalamnya.

(58)

Tingkat kelangsungan hidup larva rajungan cenderung menurun dari stadia zoea 1 hingga megalopa. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahapan ini me~pFikan tahap- tahap kritis dalam proses kelangsungan hidup rajungan. Secara keseluruhan rata-rata tingkat kelangsungan hidup larva menjadi megalopa tertinggi dicapai pada perlakuan A (salinitas 23 ppt). Sedangkan hingga mencapai stadia megalopa tingkat kelangsungan hidup tertinggi dicapai pada perlakuan B (salinitas 28 ppt). Dalarn hal ini, data penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan, yaitu tingkat salinitas yang berbeda, terhadap tingkat kelangsungan hidup, baik secara keseluruhan dari zoea 1 hingga megalopa, maupun pada stadia megalopa sebagai tahap akhir perkembangan awal metamorfosis rajungan. Pada tahap zoea 2 tingkat kelangsungan tertinggi pada salinitas 23 ppt yang berbeda nyata dengan ketiga salinitas laimya (28, 33, dan 38 ppt), demikian pula dengan tahap zoea 3. Pada tahap zoea 4 tingkat kelangsungan tertinggi pada salinitas 38 ppt dengan beda nyata dari ketiga salinitas lainnya (23,28, dan 33 ppt). Hal ini diduga karena ada kaitannya dengan habitat alaminya, dalam ha1 ini pada stadia zoea 2 sampai zoea 4, larva rajungan bermigrasi ke pantai yang salinitasnya rendah.

Hasil perhitungan salinitas optimum dari setiap stadia yang didapat dari analisis optimasi berdasarkan intrapolasi memperlihatkan bahwa saliitas optimum untuk masing-masing stadia berbeda. Salinitas optimum untuk masing-masing stadia adalah sebagai berikut: Z1 (25.33 ppt), 2 2 (33.35 ppt), 23 (32.63 ppt), 2 4 (26.66 ppt), dan Megalopa (26.58 ppt). Dari data hasil analisis optimasi tersebut terlihat secara jelas bahwa kebutuhan salinitas untuk setiap stadia rajungan berbeda-beda, hal ini sesuai dengan sifat rajungan yang melakukan maya dari perairan yang salinitasnya lebih tinggi menujuh perairan yang salinitasnya lebih rendah atau dari lepas pantai menujuh daerah pantai.

Perkembangan larva hingga megalopa diamati dari perfumbuhan berat dan panjang larva hingga mencapai megalopa. Pertumbuhan dapat diketahui bila te jadi moulting pada setiap stadianya. Pada penelitian ini rata-rata moulting terjadi setiap tiga hari sekali mulai dari zoea 1 hingga zoea 4 sampai mencapai megalopa rajungan

(59)

lain perbedaan salinitas tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat perhnnbuhan berat larva (Lampiran 5). Hal ini disebabkan pada tahapan tersebut sesungguhnya tidak banyak tejadi pertambahan berat tubuh dari zoea 1 hingga megalopa, karena yang Iebih dominan adalah terjadi pembahan bentuk yang signifikan dari masing-masing stadia.

Panjang larva, maksimal dicapai pada stadia zoea 4 (akhir stadia larva), karena pada tahap tersebut terjadi perkembangan maksimal dengan bentuknya yang masih mempunyai ekor. Ketika memasuki stadia megalopa, te jadi perubahan bentuk tubuh, oleh karena itu maka pada stadia megalopa panjang tubuhnya justru menyusut karena ekornya menutupi abdomen (seolah-olah hilang), sel~ingga ukuran panjangnya lebih kecil dari zoea 4.

Hasil perhitungan salinitas optimum dari setiap stadia yang didapat dari analisis optimasi berdasarkan intrapolasi memperlihatkan bahwa salinitas optimum untuk masing-masing stadia berbeda. Salinitas optirnwn untuk masing-masing stadia adalah sebagai berikut: 2 2 (26.83 ppt), 23 (27.79 ppt), 24 (30.5 ppt), dan Megalopa (27.93 ppt). Dari data h a i l analisis optimasi tersebut teriihat secara jelas bahwa kebutuhan salinitas untuk setiap stadia rajungan berbeda-beda, hal ini sesuai dengan sifat rajungan

Gambar

Gambar 1. Diagram alir pendekataan masalah pengaruh salinitas pada perkembangan dan
Gambar 2. Rajungan jantan 0; betina (Y)
Tabel 1. Nama jenis rajungan di berbagai daerah di Indonesia
Tabel 2. Persamaan dan perbedaan setiap stadia pada rajungan Portunus pelagicus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, akan dilakukan penelitian dengan judul: Pengaruh medium dengan tingkat salinitas yang berbeda terhadap perkembangan larva nyamuk

Analisis Data Menggunakan Uji F Dan Uji Lanjut Duncan Untuk Mengetahui Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Bobot Mutlak Pada Benih Ikan Nila Nirwana. Tabel

Sehingga penelitian perlu dilakukan untuk mencari pola-pola perubahan kebutuhan salinitas dari penetasan hingga post larva, sehingga didapatkan salinitas optimum

sistem I, perlakuan dengan salinitas 13 ppt, ter- nyata memberikan beban osmotik terkecil (⊄ i- sosmotik) dengan waktu perkembangan stadia tercepat dan kelangsungan hidup tertinggi;

Perlakuan salinitas yang berbeda tidak hanya berpengaruh terhadap tingkat penetasan telur (HR) larva kerang mutiara tetapi juga berpengaruh terhadap tingkat

Hal ini sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fadhlur Rahman, dkk (2015) bahwa perlakuan salinitas 15 0 /00 merupakan perlakuan terbaik untuk

Walaupun masih banyak kematian pada masing-masing perlakuan namun tingkat kelangsungan hidup cukup baik dan hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan pada salinitas

sistem I, perlakuan dengan salinitas 13 ppt, ter- nyata memberikan beban osmotik terkecil (⊄ i- sosmotik) dengan waktu perkembangan stadia tercepat dan kelangsungan hidup tertinggi;