• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Evapotranspirasi Padi Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Evapotranspirasi Padi Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI PADI SAWAH

MENGGUNAKAN METODE NISBAH BOWEN

(STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU)

ROBERTO IGNASIUS CUNSESE OBA TAOLIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Evapotranspirasi Padi Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Roberto Ignasius Cunsese Oba Taolin

(4)

RINGKASAN

ROBERTO IGNASIUS CUNSESE OBA TAOLIN. Pendugaan Evapotranspirasi Padi Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu). Dibimbing oleh IMPRON dan RINI HIDAYATI.

Evapotranspirasi merupakan salah satu bagian dalam siklus air, dan memiliki peran yang penting bagi pertanian, hidrologi, ekologi dan bidang lainnya. Perhitungan evapotranspirasi antara lain diperlukan untuk memutuskan besarnya penggunaan air konsumtif untuk tanaman, analisis ketersediaan air, kapasitas pompa untuk irigasi, air yang dialirkan melalui saluran irigasi dan kapasitas waduk.

Laju evapotranspirasi dapat diukur secara langsung atau dapat juga diestimasi dengan beberapa pendekatan atau metode seperti pendekatan iklim mikro maupun pendekatan empirik. Pendugaan nilai evapotranspirasi antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan metode Nisbah Bowen dan metode FAO

Penman-Monteith. Beberapa peneliti di berbagai negara telah membuktikan

kehandalan metode Nisbah Bowen, terutama menyangkut proses-proses fisik (pemindahan energi) di atas permukaan tajuk yang sulit dijelaskan melalui metode lain dalam kaitannya dengan evapotranspirasi. Pengukuran dengan metode Nisbah Bowen dapat dilakukan langsung di lapangan (in situ) tanpa gangguan fisik terhadap lahan dan hasil pendugaan dapat menghitung laju evapotranspirasi dalam periode pendek, misalnya tiap jam atau tiap setengah jam (Grant, 1975).

Nisbah Bowen merupakan perbandingan antara limpahan bahang terasa dan limpahan bahang laten yang dilambangkan dengan β, yang juga merupakan fungsi perbedaan pengukuran secara vertikal dari suhu udara dan tekanan uap air aktual dengan menggunakan sepasang psikrometer dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Dalam penelitian ini, pengukuran selisih suhu dilakukan pada dua level ketinggian yang berbeda menggunakan beberapa termokopel yang terhubung secara seri dengan posisi sensor menjorok ke tiga arah yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk menguji akurasi metode Nisbah Bowen dalam menduga nilai evapotranspirasi aktual padi sawah, serta mempelajari karakteristik komponen-komponen yang berpengaruh pada evapotranspirasi.

Evapotranspirasi harian hasil perhitungan dengan metode Nisbah Bowen kemudian dibandingkan dengan evapotranspirasi harian menggunakan metode

FAO Penman-Monteith. Rata-rata evapotranspirasi harian kedua metode tersebut

diuji menggunakan uji t berpasangan (Paired t-test).

Fluktuasi cuaca harian dan parameter Nisbah Bowen umumnya mengikuti penerimaan radiasi neto sesuai karakter masing-masing unsur. Suhu, gradien suhu bola kering, kecepatan angin, limpahan bahang tanah dan limpahan bahang laten meningkat selama siang hari dan menurun kembali menjelang sore hari. Sebaliknya, gradien suhu bola basah kelembaban dan tekanan udara, menurun selama siang hari dan kembali meningkat menjelang sore hari. Variasi diurnal radiasi neto berkisar antara -47 W m-2 sampai 487 W m-2 dengan rata-rata 241 W m-2, suhu udara rata-rata 28,3 oC dengan suhu tertinggi 31,5 oC dan suhu terendah 20,5 oC. Kelembaban relatif berkisar antara 52% hingga 80% dengan

(5)

tanah berkisar antara antara -10,3 W m-2 sampai 19,3 W m-2 dengan rata-rata

8,1 W m-2 sedangkan Nisbah Bowen berkisar antara -0,76 sampai 0,65 dengan rata-rata 0,16. Limpahan bahang laten berkisar antara -85,3 W m-2 sampai 392,3 W m-2 dengan rata-rata 172,9 W m-2.

Radiasi neto yang diterima permukaan selama penelitian relatif konstan antara 183 W m-2 sampai 268 W m-2 dengan rata-rata 231 W m-2, suhu udara rata-rata 29,4 oC dengan suhu maksimum 35,5 oC dan suhu minimum 20 oC. Kelembaban relatif berkisar antara 45% hingga 67% dengan rata-rata 59%, sedangkan tekanan udara rata-rata 101 kPa. Angin bertiup lebih banyak ke arah tenggara (138,4 o) dengan kecepatan rata-rata 0,9 m s-1. Limpahan bahang tanah selama penelitian cukup tinggi terutama menjelang akhir penelitian antara antara 4,7 W m-2 sampai 14,6 W m-2 dengan rata-rata 7,9 W m-2 sedangkan Nisbah Bowen berkisar antara 0,02 sampai 0,22 dengan rata-rata 0.10. Limpahan bahang laten berbanding lurus terhadap penerimaan radiasi neto yang mengenai kawasan persawahan dengan nilai berkisar antara 134,4 W m-2 sampai 226,5 W m-2 dengan

rata-rata 184 W m-2.

Evapotranspirasi harian di areal persawahan Kabupaten Indramayu pada saat periode kering musim tanam II yang diduga menggunakan metode Nisbah Bowen berkisar antara antara 2,4 mm sampai 4,3 mm dengan rata-rata 3,3 mm, sedangkan evapotranspirasi harian yang diduga menggunakan metode FAO

Penman-Monteith bervariasi antara 2,4 mm sampai 4,6 mm dengan rata-rata

3,5 mm. Rata-rata hasil estimasi evapotranspirasi harian dari kedua metode secara statistik tidak berbeda nyata.

(6)

SUMMARY

ROBERTO IGNASIUS CUNSESE OBA TAOLIN. Estimating The Evapotranspiration of Rice Fields Using Bowen Ratio Method (Case study in Indramayu Regency). Under supervition of IMPRON and RINI HIDAYATI.

Evapotranspiration as a component of hydrological cycle plays important roles in the field of agriculture, hydrology, ecology and others. It is closely related to the water requirement and irrigation of agricultural lands. Calculation of evapotranspiration is required among others for deciding the amount of water consumptive use, water availability analysis, water pump capacity calculation, determining volume of water that flowed through the irrigation channel and dam capacity.

Evapotranspiration rate can be measured either directly or estimated with some approaches, such as microclimate or empirical approach. It can be estimated with Bowen ratio or FAO Penman-Monteith method. The superiority of Bowen ratio over other methods to explain the role of physical processes in evapotranspiration, such as energy transfer above canopy surface, has been proved by investigators in several countries. Bowen ratio method can also measure the evapotranspiration in the field directly (in situ) without any physical disturbance to the land, and it can estimate the rate of evapotranspiration in a short period, such as 30 minutes or one hour (Grant, 1975).

Bowen ratio is a comparison between sensible heat flux and latent heat flux as a function of the difference in vertical measurement of air temperature and actual water vapor pressure by using a pair of psychrometers with a high degree of accuracy. In this study, temperature difference measurements performed on two different height levels using multiple thermocouples connected in series with the sensor position protrudes into three different directions. The objectives of this experiment were to test the accuracy of the Bowen ratio method of predicting actual evapotranspiration value of paddy rice, and to study the characteristics of the corresponding variables affecting the evapotranspiration value.

The daily evapotranspiration value estimated with Bowen ratio was compared to the correspondent value obtained from FAO Penmn-Monteith method using a paired t-test.

Results shown that daily weather fluctuations and Bowen ratio parameters were in line with incoming net radiation of each element. Temperature, dry bulb temperature gradient, wind speed, soil heat flux, and latent heat flux increased at midday and decreased in the early afternoon, whereas wet bulb temperature gradient, humidity and air pressure were decreased at midday and increased at afternoon. Diurnal variation of net radiation ranged from -47 to 487 Wm-2 with

(7)

Surface incoming net radiation during the measurement period was constantly ranged from 183 to 268 Wm-2 with the mean was 231 Wm-2. Mean, maximum and minimum temperatures were 29.4 oC, 35.5oC and 20oC, respectively. Mean of relative humidity was 59% with the range was 45% to 67%, and mean of air pressure was 101 kPa. Wind velocity was 0.9 m s-1 and its flow

direction was mostly from the Southeast (138.4o). Soil heat flux was high at the end of measurement period; ranged from 4.7 to 14.6 Wm-2 with the mean was 7.9 Wm-2. Mean and range of Bowen ratio were 0.10 and 0.02 to 0.22,

accordingly. Latent heat flux value was directly proportional to incoming net radiation, ranged from 134.4 to 226.5 Wm-2 and the mean was 184 Wm-2.

The rice field daily evapotranspiration in Indramayu measured at a dry period during the second growing season estimated with Bowen ratio method was 3.3 mm, ranged from 2.4 to 4.3 mm. The corresponding values estimated with the

FAO Penman-Monteith was 3.5 mm, ranged from 2.4 to 4.6 mm. The daily

evapotranspiration values estimated with two approaches was comparable.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI PADI SAWAH

MENGGUNAKAN METODE NISBAH BOWEN

(STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU)

ROBERTO IGNASIUS CUNSESE OBA TAOLIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Pendugaan Evapotranspirasi Padi Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu) Nama : Roberto Ignasius Cunsese Oba Taolin

NIM : G251100051

Program Studi : Klimatologi Terapan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Impron, MAgrSc Dr Ir Rini Hidayati, MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Klimatologi Terapan

Dr Ir Impron, MAgrSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Penelitian dan penulisan tesis dengan judul Pendugaan Evapotranspirasi Padi Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu) ini berlangsung di bawah bimbingan Dr Ir Impron, M AgrSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr Ir Rini Hidayati sebagai anggota. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian serta proses penulisan dan penyelesaian tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Ir Bregas Budiyanto, Ass Dipl yang banyak membantu penulis dalam perakitan dan penyiapan alat-alat serta pemasangan alat di lapangan hingga melakukan kontrol pengukuran selama penelitian berlangsung dan memberikan arahan selama analisis data. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir I Wayan Astika, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis yang memberikan saran-saran dan koreksi konstruktif.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Mustakid sekeluarga sebagai pemilik lahan tempat penelitian yang banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian. Penulis juga menghaturkan terima kasih yang tulus kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Petrus Laga (Alm) dan Ibu Maria Th. Taolin yang telah menanamkan dasar pendidikan yang baik dan berguna bagi penulis, juga terima kasih kepada Istri tercinta Florince Jelo serta ananda tersayang Benyamin Taolin dan Kristina Taolin atas dukungan doa dalam mendukung penulis menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Penulis juga berterima kasih kepada teman-teman seperjuangan dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah ikut membantu dalam penelitian dan proses penyelesaian tesis ini.

Bogor, 2014

(13)

DAFTAR ISI

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Neraca Energi 2

Evapotranspirasi 2

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Evapotranspirasi 3 Pendugaan Evapotranspirasi dengan Metode Nisbah Bowen 4 Pendugaan Evapotranspirasi dengan Metode FAO Penman-Monteith 6

3 BAHAN DAN METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Bahan dan Alat 7

Metode Penelitian 7

Perakitan Alat 7

Pemasangan Alat dan Pengukuran 9

Analisa Data 9

Metode Nisbah Bowen 9

Metode FAO Penman-Monteith 10

Hipotesis 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 12

Komponen Cuaca dan Parameter Nisbah Bowen 13

Radiasi Neto 13

Suhu Udara 13

Kelembaban dan Tekanan Udara 16

Arah dan Kecepatan Angin 17

Gradien Suhu dan Nisbah Bowen 17

Limpahan Bahang Tanah 20

Limpahan Bahang Laten 20

Evapotranspirasi 25

Perbandingan Nilai Evapotraspirasi Menggunakan Metode Nisbah

Bowendengan Metode FAO Penman-Monteith 25

Karakteristik Persawahan dan Tanaman Padi Selama Periode

Pengukuran 27

Interaksi Evapotranspirasi dengan Lingkungan dan Tanaman 27

5 SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

(14)

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 32

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alur tahapan penelitian 7

2 Rangkaian termokopel 8

3 Rancangan sistim Nisbah Bowen 8

4 Pola radiasi neto (Rn). Fluktuasi setiap 30 menit (A), sebaran data dan

standar deviasi (B), fluktuasi harian (C) selama periode pengamatan,

variasi diurnal tanggal 17 Agustus 2012 (D) 14

5 Pola suhu udara. Fluktuasi suhu bola kering (merah) dan bola basah (hitam) setiap 30 menit (A), sebaran data dan standar deviasi (B), fluktuasi, harian suhu maksimum, --- suhu rata-rata, ... suhu

minimum (C) selama periode pengamatan dan variasi diurnal, suhu bola kering, ... bola basah tanggal 17 Agustus 2012 (D) 15

6 Pola kelembaban udara ( ) dan tekanan udara (...). Variasi diurnal

tanggal 17 Agustus 2012 18

9 Pola Nisbah Bowen. Fluktuasi setiap 30 menit (A), sebaran data dan standar deviasi (B), fluktuasi harian (C) selama periode pengamatan dan variasi diurnal --- gradien suhu bola kering, …… gradien suhu bola basah dan Nisbah Bowen tanggal 17 Agustus 2012 (D) 19 10 Pola limpahan bahang tanah. Fluktuasi setiap 30 menit (A), sebaran data

dan standar deviasi (B), fluktuasi harian (C) selama periode pengamatan dan variasi diurnal tanggal 17 Agustus 2012 (D) 21 11 Pola limpahan bahang laten. Fluktuasi setiap 30 menit (A), sebaran data

dan standar deviasi (B), fluktuasi harian (C) selama periode pengamatan dan variasi diurnal tanggal 17 Agustus 2012 (D) 22 12 Variasi diurnal radiasi neto (Rn), limpahan bahang laten (LE) dan

limpahan bahang tanah (G) tanggal 8 Agustus 2012 (atas), 21 Agustus

2012 (tengah) dan 7 September 2012 (bawah) 23

13 Pola evapotranspirasi. Fluktuasi setiap 30 menit (A), sebaran data dan standar deviasi (B), fluktuasi harian (C) selama periode pengamatan dan

variasi diurnal tanggal 17 Agustus 2012 (D) 24

14 Perbandingan nilai evapotraspirasi harian menggunakan metode Nisbah Bowen ( ) dengan Metode FAO Penman-Monteith (---) 26 15 Diagram pencar evapotraspirasi menggunakan metode Nisbah Bowen

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Lokasi Penelitian 32

2 Spesifikasi Alat Ukur 33

3 Data cuaca pengukuran setiap 30 menit tanggal 17 Agustus 2012 34 4 Data rata-rata harian komponen cuaca periode pengukuran tanggal 8

Agustus 2012 – 14 September 2012 35

5 Data parameter Nisbah Bowen dan evapotranspirasi setiap 30 menit

pengukuran tanggal 17 Agustus 2012 36

6 Data rata-rata harian parameter Nisbah Bowen dan evapotranspirasi periode pengukuran tanggal 8 Agustus 2012 – 14 September 2012 37 7 Data parameter dan evapotranspirasi harian dengan metode FAO

Penman - Monteith 38

8 Hasil analisis korelasi antara evapotranspirasi metode Nisbah Bowen

dengan metode FAO Penman - Monteith 39

9 Gambar Bowen System dan komponennya 40

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan sawah di pantai utara Jawa Barat berperan besar bagi suplai/pasokan beras nasional. Permasalahan keterbatasan sumberdaya air sering menjadi faktor pembatas produksi akibat kekeringan, terutama pada akhir musim tanam kedua/gadu yang terjadi hampir setiap tahun.

Evapotranspirasi merupakan salah satu bagian dalam siklus air, dan memiliki peran yang penting bagi pertanian, hidrologi, ekologi dan bidang lainnya. Wang et al. (2012) mendefinisikan evapotranspirasi sebagai perubahan wujud dari H2O cair menjadi uap atau gas serta bergerak dari bidang penguap

(permukaan tanah dan vegetasi) ke atmosfir. Perhitungan evapotranspirasi antara lain diperlukan untuk menentukan besarnya penggunaan air konsumtif untuk tanaman, analisis ketersediaan air, kapasitas pompa untuk irigasi, air yang dialirkan melalui saluran irigasi dan kapasitas waduk.

Laju evapotranspirasi dapat diukur secara langsung atau dapat juga diestimasi dengan beberapa pendekatan atau metode seperti pendekatan iklim mikro maupun pendekatan empirik. Pendugaan nilai evapotranspirasi antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan metode Nisbah Bowen dan metode FAO

Penman-Monteith. Beberapa peneliti di berbagai negara telah membuktikan

kehandalan metode Nisbah Bowen, terutama menyangkut proses-proses fisik (pemindahan energi) di atas permukaan tajuk yang sulit dijelaskan melalui metode lain dalam kaitannya dengan evapotranspirasi. Pengukuran dengan metode Nisbah Bowen dapat dilakukan langsung di lapangan (in situ) tanpa gangguan fisik terhadap lahan dan hasil pendugaan dapat menghitung laju evapotranspirasi dalam periode pendek, misalnya per jam atau tiap setengah jam (Grant, 1975).

Nisbah Bowen merupakan perbandingan antara limpahan bahang terasa dan limpahan bahang laten yang dilambangkan dengan β, yang juga merupakan fungsi perbedaan pengukuran secara vertikal dari suhu udara dan tekanan uap air aktual dengan menggunakan sepasang psikrometer. Nisbah Bowen dapat diperoleh melalui pengukuran menggunakan sepasang psikrometer dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Dalam penelitian ini, pengukuran selisih suhu yang dilakukan pada dua level ketinggian yang berbeda menggunakan beberapa termokopel yang terhubung secara seri dengan posisi sensor menjorok ke tiga arah yang berbeda.

Tujuan Penelitian

(18)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan terutama sebagai pendukung perencanaan pengembangan sumber daya air untuk irigasi.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Neraca Energi

Menurut Sellers et al. (1997), konsep neraca energi dapat dianggap sebagai jumlah energi yang berpindah antara benda-benda di permukaan, sedangkan selisih antara masukan (input) dan keluaran (output) pada sistem tersebut merupakan energi yang digunakan atau tersimpan. Sebagai penentu utama dari cuaca/iklim, neraca energi merupakan kesetimbangan dinamik sebagai akibat dari suatu rentetan proses di dekat atau pada permukaan berupa pertukaran energi antara radiasi surya dan permukaan, dimana radiasi surya diubah menjadi limpahan bahang laten, limpahan bahang terasa dan limpahan bahang tanah.

Energi yang sampai pada permukaan harus sama dengan energi yang meninggalkan permukaan pada waktu yang sama, semua fluks energi harus dipertimbangkan ketika persamaan keseimbangan energi ditentukan (Allen et al. 1998). Persamaan dari permukaan yang berevapotanspirasi dapat dituliskan sebagai berikut:

Rn – H – LE – G = 0 (l)

dimana:

Rn : Radiasi neto (W m-2)

H : Limpahan bahang terasa (W m-2) LE : Limpahan bahang laten (W m-2) G : Limpahan bahang tanah (W m-2)

Persamaan neraca energi di atas hanya mempertimbangkan pergerakan atau transfer energi secara vertikal yang disebut konveksi, dengan asumsi aliran energi yang terjadi hanya satu dimensi, dimana aliran massa udara yang membawa bahang dari luar stasiun dianggap sama dengan yang mengalir keluar stasiun pengukuran. Persamaan tersebut dapat digunakan pada skala yang luas, terutama pada permukaan vegetasi yang homogen.

Evapotranspirasi

Labedzki et al. (2011) membedakan evapotranspirasi menjadi evapotranspirasi acuan (ET0), evapotranspirasi potensial (ETp) dan

evapotranspirasi aktual (ETa). Menurut (Buttafuoco et al. 2010) evapotranspirasi

(19)

3

spesifik. Permukaan standar dijelaskan oleh Allen et al. (1998) sebagai rumput seragam (alfalfa) yang menutupi tanah, rumput tetap dalam keadaan pendek yang seragam, pengairan yang baik, dan tumbuh di bawah kondisi optimal.

Evapotranspirasi acuan sangat penting bagi bidang agrometeorologi dan hidrologi, contohnya untuk perencanaan dan manajemen irigasi. Evapotranspirasi acuan menjelaskan kebutuhan evaporasi dari atmosfer tanpa dipengaruhi oleh jenis tanaman, perkembangan dan manajemen tanaman (Jika air dalam kondisi cukup maka kondisi tanah tidak akan mempengaruhi ET0). Evapotranspirasi acuan

merupakan nilai evapotranspirasi pada tanaman hipotetik yang memiliki tinggi 0,12 m, tahanan permukaan sebesar 70 s m-1 dan albedo 0,23. Kriteria tersebut mendekati kondisi tanaman rumput. Evapotranspirasi acuan dipengaruhi oleh kondisi iklim, oleh karena itu ET0 dapat dihitung dengan menggunakan data iklim

seperti data radiasi, suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Evapotranspirasi acuan diperkenalkan untuk mempelajari kebutuhan evaporasi yang berasal dari atmosfer dan terpisah dari tipe tanaman, pertumbuhan tanaman, dan manajemen tanaman.

Brutsaert (1982) menjelaskan bahwa ETp merupakan jumlah maksimum

dari evapotranspirasi permukaan luas yang ditumbuhi tanaman seragam dengan jumlah air tanah yang tidak terbatas dan kondisi meteorologi aktual. Menurut Allen et al. (1998) evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi dan evapotranspirasi aktual lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah. Evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi pada tanaman dengan kondisi di mana tanaman itu tumbuh. Pada kondisi di bawah kapasitas lapang, nilai ETa tergantung pada sisa lengas

tanah yang tersedia dan nilai ETp. Apabila lengas tanah tersedia cukup bagi

tanaman maka nilai ETa akan sama dengan ETp.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Evapotranspirasi

Besarnya evapotranspirasi dipengaruhi oleh tiga aspek yaitu keadaan iklim, karakteristik tanaman serta pengelolaan dan kondisi lingkungan berupa kerapatan tanaman, kondisi tanah, ketersediaan dan distribusi air. Aspek iklim yang mempengaruhi nilai evapotranspirasi adalah radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin (Allen et al. 1998).

Radiasi surya yang diserap oleh daun sebesar 1 sampai 5% digunakan untuk fotosintesis dan 75 sampai 85% digunakan untuk memanaskan daun dan untuk transpirasi (Gardner 1991). Pemanasan dan pendinginan daun akibat radiasi surya akan mempengaruhi transpirasi. Saat daun menerima radiasi, suhu akan naik dan stomata daun akan terbuka. Ketika stomata terbuka, kehilangan air dari daun berlangsung terus menerus yang menurunkan potensial daun sehingga lebih rendah daripada potensial tangkai daun, karena air bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah, air akan mengalir dari tangkai daun ke daun. Hal ini akan menurunkan potensial bahang dan selanjutnya air akan mengalir dari akar tanaman sesuai dengan jumlah radiasi yang diterima (Lambers 1993).

(20)

4

naiknya tekanan uap dari permukaan yang terevaporasi sehingga bertambahnya defisit tekanan uap antara permukaan dengan udara sekitar. Udara yang panas dan kering dapat mensuplai energi ke permukaan. Laju penguapan bergantung pada jumlah energi bahang yang dipindahkan, karena itu semakin panas udara semakin besar gradien suhu dan semakin tinggi laju penguapan. Kelembaban relatif berbanding terbalik dengan suhu. Jika suhu menurun maka kelembaban relatif tinggi. Jika suhu turun maka kapasitas udara untuk menyimpan uap air akan rendah yang berarti kebutuhan atmosfer untuk evapotranspirasi semakin kecil.

Angin berpengaruh dalam evaporasi karena dapat memindahkan udara basah yang kontak secara langsung dengan permukaan air dan memindahkannya ke tempat yang udaranya kering. Semakin tinggi kecepatan angin maka jumlah udara basah yang dipindahkan semakin banyak dan evaporasi yang terjadi meningkat. Angin berfungsi menggerakan udara yang dapat menyebabkan uap air jenuh. Udara yang telah jenuh akan digantikan oleh udara lain yang belum jenuh. Pada ketebalan 1 mm di atas permukaan evaporasi, gerakan molekul air bersifat difusi molekuler, akan tetapi di atas lapisan tersebut digantikan oleh gerakan turbulen (difusi edi). Gerakan ini sangat bervariasi karena erat hubungannya dengan gradien kecepatan angin terhadap ketinggian (Thom 1976).

Karakteristik permukaan juga mempengaruhi evapotranspirasi seperti tahanan aerodinamik, tahanan permukaan dan albedo (Allen et al. 1998). Tahanan aerodinamik (ra) merupakan perpindahan panas dan uap air dari permukaan tanah,

sedangkan tahanan permukaan (rs) merupakan tahanan dari aliran uap air melalui

transpirasi tanaman dan evaporasi permukaan tanah. Ketika vegetasi tidak seluruhnya menutupi tanah, faktor tahanan sangat dibutuhkan karena sangat berpengaruh terhadap evaporasi permukaan tanah. Jika transpirasi tidak optimal maka tahanan permukaan akan dipengaruhi oleh ketersediaan air di permukaan. Tahanan stomata dipengaruhi oleh kondisi iklim dan ketersediaan air. Namun, jenis tanaman lebih mempengaruhi nilai tahanan stomata. Tahanan akan menjadi semakin tinggi jika ketersediaan air untuk tanaman terbatas. Beberapa studi menjelaskan bahwa tahanan stomata dipengaruhi juga oleh radiasi matahari, suhu dan tekanan uap.

Pendugaan Evapotranspirasi dengan Metode Nisbah Bowen

Laju evapotranspirasi dari suatu pertanaman sangat tergantung pada ketersediaan energi, defisit tekanan uap, kecepatan angin dan suhu udara, sedangkan faktor vegetasi yang berpengaruh adalah hantaran stomata/tajuk dan struktur karakteristik tajuk yang berpengaruh pada hantaran aerodinamik (Jarvis dan Stewart 1979). Evaporasi dari suatu permukaan dapat ditentukan dengan baik jika semua komponen yang mempengaruhi neraca energi di permukaan yang bersangkutan diketahui, yaitu radiasi neto (Rn), fluks bahang terasa (H) dan fluks

bahang tanah (G). Rn dan G yang dapat diukur secara langsung dan mudah. H dan

LE dapat dihitung dengan menggunakan metode Nisbah Bowen (Rosenberg et al.

1983).

(21)

5

Apabila pengukuran suhu dan tekanan uap dibuat pada dua ketinggian yang sama dan dengan mengasumsikan Kh = Kw maka Persamaan 2 dapat menjadi:

β=γ∂T∂e (3)

Perbedaan tekanan uap air dapat diperoleh apabila nilainya tidak terlalu besar, yaitu ∆es = ∆Tw, dimana adalah kemiringan (slope) dari kurva tekanan

uap air – suhu pada Tw = (Tw1 + Tw2)/2, sehingga didapatkan:

∆e= γ [ γ+ ∆Tw/(γ-∆T)] (4)

Selanjutnya dengan memasukan Persamaan 4 dalam Persamaan 3 maka didapatkan persamaan berikut:

Penggunaan metode ini memerlukan beberapa syarat. Pertama adalah koefisien pemindahan turbulen untuk bahang terasa (Kh) adalah sama dengan

koefisien pemindahan turbulen bahang laten (Kw), hal ini dapat terjadi pada saat

kondisi kestabilan udara tidak jauh dari keadaan netral dan di atas permukaan yang cukup lembab. Selain itu peralatan pengukur yang diperlukan harus berketelitian tinggi dan ditempatkan di lapisan pembatas internal (internal

boundary layer) dimana sifat udara sepenuhnya dipengaruhi oleh permukaan.

Oleh karena itu diperlukan fetch yang lebar, paling sedikit seratus kali ketinggian alat pengukur, untuk menghindarkan gradien suhu dan kelembaban secara horisontal (Angus dan Watts 1984).

(22)

6

Pendugaan Evapotranspirasi dengan Metode FAO Penman-Monteith

Metode Penman-Monteith merupakan metode penduga evapotranspirasi terbaik yang direkomendasikan FAO sebagai metode standar sedangkan metode pendugaan lain baik digunakan dalam iklim tertentu (Lascanao dan Bavel 2007). Rumus yang menjelaskan evapotranspirasi dengan metode Penman-Monteith pada tahun 1990 oleh FAO dimodifikasi dan dikembangkan menjadi rumus FAO

Penman-Monteith. Metode ini merupakan metode yang diadopsi dari metode

Penman yang dikombinasikan dengan tahanan aerodinamik dan permukaan tajuk. Metode Penman mengalami berbagai perkembangan sehingga dapat digunakan untuk menduga evapotranspirasi pada permukaan yang ditanami dengan menambahkan faktor tahanan permukaan (rs) dan tahanan aerodinamik (ra).

Persamaan ini terdapat parameter penentu pertukaran energi dan berhubungan dengan fluks bidang tanaman (Allen et al. 1998). Metode ini dapat menghasilkan pendugaan ET0 pada lokasi luas dan memiliki data yang lengkap. Metode ini

memberikan hasil terbaik dengan kesalahan minimum untuk tanaman acuan. Selain menduga ET0, metode ini juga dapat menduga evapotranspirasi tanaman

dalam kondisi standar (ETC) dengan pendekatan koefisien tanaman. Kondisi

standar mengacu pada tanaman yang ditanam di lahan besar di bawah kondisi air, agronomi dan tanah yang sangat baik. Dampak dari karakteristik yang membedakan tanaman lapangan dari rumput diintegrasikan ke dalam koefisien tanaman (Kc). Dalam pendekatan koefisien tanaman, evapotranspirasi tanaman

dihitung dengan mengalikan ET0 dan Kc.

Metode Penman-Monteith memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan tersebut yaitu dapat diaplikasikan secara global tanpa perlu adanya tambahan parameter lain, selain itu metode ini sudah dikalibrasi dengan beberapa software dan beberapa jenis lisimeter (Allen et al. 1998). Kelemahan utama dalam metode ini adalah membutuhkan data meteorologi yang cukup banyak seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan radiasi matahari. Dimana hanya beberapa stasiun cuaca yang menyediakan data tersebut dalam per jam dan harian (Irmak et al. 2003).

3

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

(23)

7

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipa PVC ukuran 1 inci (AW 1”), sambungan pipa, perekat pipa PVC, alumunium foil, benang, kawat solder,kawat tembaga, kawat konstantan dan selang pelindung kawat/kabel.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Middleton CN1 Net

Pyrradiometer S/No.1108, termokopel type T (Copper/Constantan), pengganda

tegangan (Op-Amp), Automatic Weather Station (AWS), data logger type GL500, digital multimeter type DT-830B, solder listrik, thermometer air raksa, keping sensor fluks panas (SoilHeat Flux Plate), botol berukuran 10 ml, kipas penyedot udaradan aki 6 volt model Panasonic LC-R064R5P.

Metode Penelitian

Penelitian meliputi empat tahap yaitu (1) persiapan alat dan bahan, (2) pemasangan alat, (3) pengukuran dan (4) analisis data. Diagram alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1 Diagram alur tahapan penelitian

Perakitan Alat

Perakitan alat Nisbah Bowen meliputi pembuatan termokopel tipe T, pembuatan pengganda tegangan (amplifier) dan pembuatan tiang penyangga. Termokopel (sensitifitas 43 µV oC-1) dibuat dengan cara menghubungkan tembaga sebagai konduktor positif dan konstantan sebagai konduktor negatif. Jumlah termokopel yang dibuat adalah 12 buah dan setiap tiga buah termokopel dihubungkan secara seri sehingga terdapat 4 paket termokopel yang setiap kawat konduktornya dilindungi dengan selang pelindung kawat/kabel. Pada titik-titik sambungan pada dua paket termokopel diberikan lilitan benang untuk kepentingan pengukuran gradien suhu bola basah. Rangkaian termokopel dapat dilihat pada Gambar 2.

Persiapan Alat dan Bahan Pemasangan Alat Pengukuran Parameter

(24)

8

Gambar 2 Rangkaian termokopel

Pengganda tegangan (Op-Amp) merupakan rangkaian elektronik yang berfungsi untuk mengolah arus listrik termokopel yang berupa tegangan yang kecil menjadi tegangan yang lebih besar, sehingga output dari rangkaian ini dapat dibaca oleh multimeter. Pengganda tegangan yang dibuat memberikan penguatan 250 kali sehingga output pengganda tegangan ini memiliki karakteristik yang linear dengan sensitifitas 11 mv oC-1.

Tiang penyangga dibuat dengan bahan dasar pipa PVC berukuran 1 inci dengan tinggi 200 cm. Bagian ujung atas disediakan tempat untuk pemasangan net

pyrradiometer. Pada ketinggian 140 cm, 160 cm dan 180 cm disiapkan tempat

pemasangan 4 paket psikrometer elektronik yang menjorok secara horizontal sepanjang 40 cm pada tiga arah yang berbeda membentuk sudut 120o seperti pada

Gambar 3.

Gambar 3 Rancangan sistim Nisbah Bowen

(25)

9

Pemasangan Alat dan Pengukuran

Alat yang dipasang di areal percobaan meliputi sistem Nisbah Bowen, sepasang termometer air raksa (bola kering dan bola basah) dan Automatic

Weather Station (AWS). Sistem Nisbah Bowen ditempatkan di areal persawahan

dengan memperhatikan lebar fetch yakni paling sedikit 100 kali ketinggian sensor. Keping sensor limpahan bahang tanah dipasang di bawah sistem Nisbah Bowen dengan kedalaman 20 cm dari permukaan tanah. Sepasang termometer air raksa ditempatkan pada tiang penyangga berbeda dengan ketinggian 2 m dari permukaan tanah, sedangkan AWS dipasang di area pemukiman sekitar lokasi penelitian.

Komponen cuaca yang diukur dengan sistem Nisbah Bowen adalah radiasi neto, suhu bola basah dan bola kering, gradien suhu bola basah dan bola kering pada ketinggian antara 140 cm dan 160 cm serta pada ketinggian antara 160 cm dan 180 cm dan limpahan bahang tanah. Pengukuran setiap 30 menit mulai pukul 06.00 sampai pukul 18.00 dilakukan dengan cara menghubungkan multimeter pada pengganda tegangan kemudian dilakukan pembacaan nilai offset dan selanjutnya dihubungkan pada masing-masing sensor, sedangkan untuk net

pyrradiometer dan keping sensor limpahan bahang dilakukan dengan cara

langsung dihubungkan dengan multimeter. Komponen yang diukur dengan AWS adalah radiasi (W m-2), suhu (oC), kelembaban (%), tekanan udara (mBar), curah hujan (mm), arah angin (o) dan kecepatan angin (km jam-1). Pencatatan data dilakukan setiap 30 menit menggunakan data logger type GL500.

Analisa Data

Data hasil pengukuran kemudian ditabulasi untuk kepentingan perhitungan evapotranspirasi harian yang terjadi di lokasi penelitian. Hubungan evapotranspirasi harian hasil perhitungan dengan metode Nisbah Bowen dan evapotranspirasi tanaman harian menggunakan metode FAO Penman-Monteith kemudian dianalisis dengan Korelasi (Pearson Correlation) menggunakan program SPSS 17.0.

Metode Nisbah Bowen

Pendugaan nilai evapotranspirasi acuan dalam metode ini menggunakan persamaan-persamaan yang diuraikan sebagai berikut:

a. Nisbah Bowen

Perhitungan Nisbah Bowen (β) yang diperoleh menggunakan Persamaan 5. Slope dari kurva tekanan uap air dan suhu ( ) dihitung berdasarkan nilai tekanan uap air jenuh (es) pada suhu Tw dengan persamaan sebagai berikut:

= 4098[0,6108 exp T17,27 T+273,3]

T+273,32 (6)

(26)

10

Tekanan atmosfir (P) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Allen et al. 1998):

b. Limpahan Bahang Laten

Dari hasil pengukuran radiasi neto (Rn) serta perhitungan Nisbah Bowen

dan limpahan bahang tanah (G), kemudian limpahan bahang laten (LE) dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

δE= (Rn-G)

(1+β) (9)

c. Evapotranspirasi Harian

Evapotranspirasi kemudian dihitung dengan cara mengkonversi hasil perhitungan limpahan bahang laten dari Persamaan 9 ke satuan sebanding dengan evaporasi per satuan waktu, yaitu 1 mm air jam-1 = 680,8 W m-2 (Tanner 1960).

Metode FAO Penman-Monteith

Pendugaan nilai evapotranspirasi acuan dalam metode ini menggunakan persamaan modifikasi FAO Penman-Monteith, yang diuraikan sebagai berikut:

(27)

11

dimana :

ET0 : Evapotranspirasi acuan (mm hari-1)

Rn : Radiasi neto pada permukaan tanaman (MJ m-2 hari-1) G : Limpahan bahang tanah (MJ m-2 hari-1)

T : Temperatur harian rata-rata pada ketinggian 2 m (oC)

u2 : Kecepatan angin pada ketinggian 2 m (m s-1)

data temperatur (T) merupakan hasil pengukuran, selanjutnya untuk penyelesaian Persamaan 10 di atas, terlebih dahulu perlu didapatkan nilai-nilai dari beberapa variabel dan konstanta yang berkaitan, berdasarkan rumus-rumus berikut ini: a. Tekanan uap jenuh (es)

Tekanan uap jenuh dapat dihitung menggunakan Persamaan 11 berikut ini:

2

eo(Tmax) : Tekanan uap jenuh pada temperatur udara maksimum (kPa)

eo(Tmin) : Tekanan uap jenuh pada temperatur udara minimum (kPa)

b. Tekanan uap aktual (ea)

Tekanan uap aktual dihitung dengan rumus berdasarkan data kelembaban relatif (RH). Rumus berikut merupakan perhitungan tekanan uap aktual (ea)

e°(Tmin) : Tekanan uap jenuh pada temperatur harian minimum (kPa)

e°(Tmax) : Tekanan uap jenuh pada temperatur harian maksimum (kPa)

RHmean : Kelembaban relatif rata-rata (%)

(28)

12

(ETc). Kc setiap fase perkembangan tanaman dihitung menggunakan persamaan

berikut:

Kc=Kc (tab)+[0,04(u2-2)-0,004(RHεin-45)] h3

0,3

(14)

ETc = ET0 x Kc (15)

dimana:

Kc (tab) : koefisien tanaman padi dari tabel koefisien tanaman

u2 : kecepatan angin rata-rata (m s-1)

RHMin : rata-rata kelembaban relatif minimum (%)

h : tinggi tanaman (m)

Koefisien tanaman padi masing-masing fase dari tabel koefisien tanaman sebesar 1,05 (Kc ini), 1,20 (Kc mid) dan 0,9-0,6 (Kc end).

Hipotesis

Hipotesis hubungan rata-rata evapotranspirasi harian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : ET Nisbah Bowen ≠ ET FAO Penman-Monteith.

H1 : ET Nisbah Bowen = ET FAO Penman-Monteith.

Kesimpulan diambil berdasarkan perbandingan antara nilai t hitung dan t

Tabel dimana jika t hit < t Tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak sebaliknya jika t

hitung > t Tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Indramayu adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan Ibu kotanya Indramayu dengan luas wilayah 204.011 ha terdiri dari tanah darat 87.336 ha dan tanah sawah irigasi 116.675 ha dan sawah non irigasi 92.795 ha. Berdasarkan topografinya ketinggian wilayah pada umumnya berkisar antara 0 - 18 m di atas permukaan laut dan wilayah dataran rendahnya berkisar antara 0 - 6 m di atas permukaan laut berupa rawa, tambak, sawah, pekarangan. Berdasarkan klasifikasi Schmidt Ferguson wilayah Indramayu termasuk tipe iklim D. Suhu di Kabupaten Indramayu berkisar antara 22,9 oC hingga 30 oC dengan

kelembaban udara antara 70% dan 80%. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 1.287 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 80 hari per tahun. Angin Barat dan angin Timur bertiup secara bergantian setiap enam bulan, angin Barat bertiup dari bulan November sampai dengan bulan April dan angin Timur dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober (Pemkab Indramayu 2011).

(29)

13

jarak dari pantai +20 km (Bagian Utara). Secara umum wilayah pengairan di Indramayu dibagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah pengairan Timur dan wilayah pengairan Barat. Lokasi penelitian termasuk dalam wilayah pengairan Timur yang suplay utama air untuk irigasi berasal dari bendungan Rentang dengan sungai utamanya sungai Cimanuk. Wilayah pengairan Barat dipasok dari waduk Jatiluhur dari saluran induk Tarum Timur (Yanto 2003).

Pada rujukan yang sama dijelaskan pula bahwa dari tahun ke tahun kegagalan petani umumnya disebabkan oleh kekeringan. Hal ini biasa terjadi pada saat musim tanam kedua/gadu. Anjuran penanaman untuk musim tanam II adalah bulan Maret sampai awal April. Umumnya awal bulan Juli sawah mulai mengalami kekurangan air.

Komponen Cuaca dan Parameter Nisbah Bowen

Fluktuasi cuaca harian dalam periode pengamatan dan parameter Nisbah Bowen umumnya mengikuti penerimaan radiasi neto sesuai karakter masing-masing seperti suhu, gradien suhu bola kering, kecepatan angin, limpahan bahang tanah dan limpahan bahang laten yang meningkat selama siang hari dan menurun kembali menjelang sore hari. Sebaliknya, gradien suhu bola basah kelembaban dan tekanan udara, menurun selama siang hari dan kembali meningkat menjelang sore hari. Selanjutnya variasi diurnal komponen cuaca dan parameter Nisbah Bowen yang ditampilkan dalam bab ini adalah nilai yang terukur pada tanggal 17 Agustus 2012 sedangkan fluktuasi harian merupakan nilai rataan selama periode pengukuran.

Radiasi Neto

Radiasi neto (Rn) merupakan selisih antara gelombang pendek dan

gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang hilang dari permukaan. Rn yang diterima permukaan

selama penelitian relatif konstan antara 182 W m-2 sampai 268 W m-2 dengan rata-rata harian 231+18 W m-2.

Rn tertinggi terjadi pada tanggal 18 Agustus sedangkan Rn terendah yang

diterima permukaan terjadi pada tanggal 9 September. Rn meningkat sejak pagi

hari sejalan dengan terbitnya matahari hingga mencapai puncak radiasi pada pukul 12.00 sebesar 449 W m-2 kemudian menurun hingga mencapai radiasi minimum sebesar -35 W m-2 pada pukul 18.00. Secara umum pola radiasi neto berupa fluktuasi setiap 30 menit, sebaran data dan standar deviasi, fluktuasi harian selama periode pengamatan dan variasi diurnal tanggal 17 Agustus 2012 seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Suhu Udara

(30)

14

100 200 300 400 500 600

08/08/12

100 200 300 400 500 600

08/08/12

100 150 200 250 300

08/08/12

100 200 300 400 500 600

(31)

15

Gambar 5 Pola suhu udara. Fluktuasi suhu bola kering (merah) dan bola basah (hitam) setiap 30 menit (A), sebaran data dan standar deviasi (B), fluktuasi, harian suhu maksimum, --- suhu rata-rata, ... suhu

minimum (C) selama periode pengamatan dan variasi diurnal, suhu bola kering, ... bola basah tanggal 17 Agustus 2012 (D)

08/08/12 10/08/12 12/08/12 14/08/12 16/08/12 18/08/12 20/08/12 22/08/12 24/08/12 26/08/12 28/08/12 30/08/12 01/09/12 03/09/12 05/09/12 07/09/12 09/09/12 11/09/12 13/09/12

Suhu

Suhu BK Suhu BB Standar Deviasi Suhu BK Standar Deviasi Suhu BB

(32)

16

Suhu udara (bola kering) selama pengukuran pukul 06.00 – 18.00 menunjukkan selang yang cukup besar, yakni 20,5 oC sampai 31,5 oC, sedangkan rata-rata suhu harian bervariasi antara 28,2 oC sampai 31,2 oC dengan rata-rata 29,4+0,81 oC. Suhu bola basah selama pengukuran (pukul 06.00 – 18.00) memiliki selang yang lebih kecil, yakni 18,2 oC sampai 25,2 oC. Suhu maksimum

selama penelitian berkisar antara 31,5 oC sampai 35,5 oC, sedangkan suhu minimum berkisar antara 20 oC sampai 25 oC.

Kelembaban dan Tekanan Udara

Hasil pengukuran selama penelitian menunjukkan adanya variasi kelembaban relatif (RH) antara 45% hingga 67% dengan rata 59+5%, rata-rata tekanan udara 101+0,1 kPa. Fluktuasi harian RH berkisar antara 52% sampai 80% dengan rata-rata 66 %.

Gambar 6 Pola kelembaban udara ( ) dan tekanan udara (...). Variasi diurnal

tanggal 17 Agustus 2012 (A) dan fluktuasi harian selama periode pengamatan (B)

RH umumnya relatif tinggi pada pagi hari kemudian menurun hingga pukul 13.30, selanjutnya kembali meningkat hingga sore hari. Fluktuasi RH selalu diikuti oleh fluktuasi P beberapa saat kemudian yang bervariasi antara 101 kPa sampai 102 kPa. Fluktuasi RH dan P dipengaruhi oleh T dimana RH berbanding

(33)

17

lurus dengan P dan keduanya berbanding terbalik dengan T. Peningkatan T menyebabkan peningkatan kapasitas udara menampung uap air (es) maka jika

kandungan uap air di udara (ea) tetap maka RH akan menurun, demikian juga

sebaliknya jika T menurun maka es juga menurun dan menyebabkan RH

meningkat jika ea tetap.

Peningkatan suhu menyebabkan udara memuai sehingga kerapatan udara berkurang dan menurunkan berat udara dan penurunan berat udara menyebabkan P juga menurun, sebaliknya jika T menurun maka kerapatan udara juga meningkat dan berat udara menjadi bertambah sehingga P juga meningkat.

Arah dan Kecepatan Angin

Selama penelitian angin bertiup ke arah yang bervariasi antara 87,8 o (Timur) hingga 200,6 o (Selatan), dengan rata-rata tiupan angin menuju ke

arah 138,4 o (Tenggara). Kecepatan angin juga bervariasi selama penelitian antara 0,5 m s-1 sampai 1,4 m s-1 dengan kecepatan rata-rata 0,9 m s-1. Fluktuasi harian kecepatan angin berkisar antara 0,0 m s-1 sampai 2,9 m s-1 dengan rata-rata

0.7 m s-1. Kecepatan angin umumnya relatif rendah pada pukul 06.00 menjelang matahari terbit, kemudian meningkat drastis hingga pukul 08.00, selanjutnya berfluktuasi pada siang hari dan kemudian menurun secara drastis pada sore hari setelah pukul 16.00.

Pengaruh angin terhadap evapotranspirasi adalah melalui mekanisme pemindahan uap air yang keluar dari pori-pori daun. Semakin besar kecepatan angin, semakin besar pula laju evapotranspirasi yang dapat terjadi. Angin yang terjadi di lokasi penelitian diperkirakan akibat perbedaan tekanan udara antara permukaan laut dan daratan.

Gambar 7 Wind Rose tanggal 17 Agustus 2012 (kiri), Wind Rose selama periode pengamatan (kanan)

Gradien Suhu dan Nisbah Bowen

Gradien suhu pada lapisan atas lebih besar dibandingkan pada lapisan bawah, baik gradien suhu bola kering maupun gradien suhu bola basah. Pada lapisan atas gradien suhu bola kering sejak pukul 06.00 sampai pukul 18.00 berkisar antara 0,0 oC m-1 sampai 0,9 oC m-1 dengan rata-rata 0,6 oC m-1. Gradien suhu bola basah berkisar antara 0,0 oC m-1 sampai 0,6 oC m-1 dengan rata-rata

(34)

18

bola basah berkisar antara 0,0 oC m-1 sampai 0,6 oC m-1 dengan rata-rata

0,2 oC m-1. Gradien suhu bola kering lebih rendah dibandingkan gradien suhu bola basah pada pagi dan sore hari, sedangkan pada siang hari gradien suhu bola kering lebih tinggi dibandingkan gradien suhu bola basah. Variasi diurnal gradien suhu bola kering dan gradien suhu bola basah pukul 06.00 – 18.00 pada lapisan atas dan lapisan bawah dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Variasi diurnal gradien suhu bola kering dan gradien suhu bola basah tanggal 17 Agustus 2012

Nisbah Bowen selama periode pengukuran bervariasi dari hari ke hari antara 0,02 sampai 0,22 dengan rata-rata 0,10+0,06. Nilai rata-rata β yang diperoleh selama penelitian mendekati nilai rata-rata β yang diperoleh Tsai et al. (2007) pada lahan sawah Taichung, Taiwan sebesar 0,18 tetapi relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai β yang diperoleh Gao et al. (2003) pada lahan sawah Anhui, China yakni sebesar 0,23. Nilai β yang relatif kecil menunjukkan bahwa proporsi energi yang digunakan untuk menguapkan air lebih besar dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk pemanasan udara. Fluktuasi harian β sejak pukul 06.00 sampai pukul 18.00 berkisar antara -0,76 sampai 0,65 (Gambar 9D). Nilai β umumnya relatif kecil pada pukul 06.00 menjelang matahari terbit, kemudian meningkat drastis hingga pukul 07.00 sejalan dengan penerimaan radiasi surya, kemudian berfluktuasi pada siang hari dan menurun secara drastis pula pada sore hari menjelang matahari terbenam. Hal tersebut menunjukkan bahwa saat pagi hari setelah matahari terbit banyak proporsi energi yang digunakan untuk pemanasan udara, sehingga terjadi peningkatan suhu udara.

-0.2

6:00 6:30 7:00 7:30 8:00 8:30 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00 17:30 18:00

(35)

19

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25

(36)

20

Limpahan Bahang Tanah

Hasil perhitungan G selama penelitian menunjukkan variasi rata-rata harian antara 4,7 W m-2 sampai 14,6 W m-2 dengan rata-rata 7,9+2,4 W m-2. Hingga pagi hari pukul 06.00, limpahan bahang tanah masih negatif sebesar -10,3 W m-2, kemudian meningkat hingga mencapai nilai maksimum beberapa saat setelah puncak radiasi surya yakni pada pukul 13.30 sebesar 19,3 W m-2, kemudian menurun hingga sore hari.

Gambar 10 menunjukkan fluktuasi nilai G, semakin besar pada akhir penelitian, hal ini disebabkan karena pada saat akhir penelitian telah memasuki musim kemarau dan masa panen sehingga tajuk tanaman padi mulai renggang dan radiasi surya yang mencapai permukaan tanah semakin meningkat dan radiasi bumi leluasa terlepas pada malam hari. Tsai et al. (2007) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa G pada persawahan nilainya berkurang seiring dengan pertambahan umur tanaman padi sawah dan meningkat kembali pada saat menjelang panen. Selain itu, keadaan kandungan air tanah yang semakin kering juga menyebabkan nilai G semakin besar hingga akhir penelitian.

Limpahan Bahang Laten

Hasil perhitungan LE selama penelitian menunjukkan variasi rata-rata harian antara 134,4 W m-2 sampai 226,5 W m-2 dengan rata-rata 184+21,5 W m-2. Nilai hariannya meningkat sejak pagi hari hingga mencapai puncak pada pukul 12.00 sebesar 392,3 W m-2 kemudian menurun hingga mencapai nilai minimum sebesar -85,3 W m-2 pada pukul 18.00.

Gambar 12 menunjukkan selisih antara radiasi neto dan limpahan bahang laten semakin besar yang artinya proporsi energi yang digunakan untuk menguapkan air semakin kecil dari awal hingga akhir periode pengukuran. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan air yang semakin berkurang untuk proses evapotranspirasi. Sebaliknya bahang terasa cenderung semakin meningkat sehingga menyebabkan suhu udara juga memiliki pola yang semakin meningkat.

(37)

21

Limpahan Bahang Tanah (W m-2)

T

Limpahan Bahang Tanah (W m-2)

T

Limpahan Bahang Tanah (W m-2)

T

Limpahan Bahang Tanah (W m-2)

(38)

22

100 200 300 400 500

08/08/12

Limpahan Bahang Laten (W m-2)

T

100 200 300 400 500

08/08/12

Limpahan Bahang Laten (W m-2)

T

Limpahan Bahang Laten (W m-2)

T

100 200 300 400 500

6:00

Limpahan Bahang Laten (W m-2)

(39)

23

Secara umum, selama penelitian rata-rata 97,3 % dari Rn yang diterima permukaan sawah digunakan untuk menguapkan air ke atmosfir dan LE memiliki nilai yang berbanding lurus terhadap penerimaan radiasi neto yang mengenai kawasan persawahan tersebut. Perbandingan Rn, LE, H dan G pada pukul 06.00 sampai pukul 18.00 dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Variasi diurnal radiasi neto (Rn), limpahan bahang laten (LE) dan limpahan bahang tanah (G) tanggal 8 Agustus 2012 (atas), 21 Agustus 2012 (tengah) dan 7 September 2012 (bawah)

-10

6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00

G

6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00

G

6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00

(40)
(41)

25

Evapotranspirasi

Hasil estimasi evapotranspirasi harian menggunakan metode Nisbah Bowen selama penelitian berkisar antara 2,4 mm sampai 4,3 mm dengan rata-rata 3,3+0,4 mm. Hasil ini lebih rendah dari evapotranspirasi harian yang diukur oleh Abdullahi et al. (2013) menggunakan lisimeter pada berbagai tahap pertumbuhan tanaman padi di Kelantan Malaysia pada tahun 2008 yang berkisar antara 2,9 mm sampai 7,3 mm dengan rata-rata 4,8 mm dan 5,6 mm pada dua plot yang berbeda . Kondisi cuaca sangat menentukan laju evapotranspirasi yang terjadi dan sebaliknya evapotranspirasi juga mempengaruhi cuaca. Jumlah terbesar dari energi yang digunakan pada proses evapotranspirasi tersedia dari radiasi surya selain dari perpindahan energi secara horizontal. Fluktuasi harian atau pola limpahan bahang laten dan laju evapotranspirasi memiliki kemiripan atau mengikuti fluktuasi radiasi neto, hal ini menggambarkan bahwa radiasi neto memiliki pengaruh yang besar terhadap evapotranspirasi.

Siang hari saat radiasi matahari mencapai puncak yakni pada pukul 12.00 evapotranspirasi dapat mencapai 0,54 mm jam-1, kemudian menurun hingga mencapai nilai minimum sebesar 0,04 mm jam-1 pada pukul 16.30. Ketersediaan

energi yang terus meningkat sejak pagi hari sebagian digunakan untuk pemanasan udara dimana peningkatan suhu hingga siang hari menyebabkan kapasitas udara menampung uap air semakin besar sehingga memungkinkan udara lebih banyak menampung uap air sehingga proses evapotranspirasi intensif. Peningkatan defisit tekanan uap di udara menjadi faktor pendukung terjadinya evapotranspirasi karena adanya perbedaan tekanan uap yang makin besar antara permukaan penguapan dan udara sehingga memungkinkan terjadinya pergerakan udara basah secara vertikal.

Perbandingan Nilai Evapotraspirasi Menggunakan Metode Nisbah Bowen dengan Metode FAO Penman-Monteith

Hasil estimasi evapotranspirasi harian menggunakan metode FAO

Penman-Monteith selama penelitian bervariasi antara 2,4 mm sampai 4,6 mm dengan

rata-rata 3,5 mm. Hal ini memberikan gambaran bahwa estimasi evapotranspirasi harian dengan metode FAO Penman-Monteith memberikan nilai lebih tinggi dengan selisih 0,2 mm dibanding estimasi evapotranspirasi harian dengan metode Nisbah Bowen. Perbandingan estimasi evapotranspirasi harian dari kedua metode tersebut dapat dilihat pada Gambar 14.

Selisih perhitungan evapotranspirasi kedua metode dipengaruhi oleh pendekatan yang berbeda pada masing-masing metode. Salah satu perbedaan yang mononjol adalah metode Nisbah Bowen mengukur evapotranspirasi yang terjadi berdasarkan proses-proses fisika yang terjadi pada permukaan lingkungan tanaman dimana hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan fisik dari tanaman dari waktu ke waktu secara terus menerus, sedangkan pada metode FAO

Penman-Monteith perubahan fisik tanaman diperhitungkan menggunakan koefisien

(42)

26

Gambar 14 Perbandingan nilai evapotraspirasi harian menggunakan metode Nisbah Bowen ( ) dengan Metode FAO Penman-Monteith (---)

Hasil analisis korelasi antara rata-rata evapotranspirasi dari metode Nisbah Bowen dan nilai rata-rata evapotranspirasi dari metode FAO Penman-Monteith

menunjukkan nilai P < 0,05 (Lampiran 8). Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata evapotranspirasi dari metode Nisbah Bowen dan rata-rata evapotranspirasi dari metode FAO Penman-Monteith memiliki hubungan yang signifikan dengan koefisien korelasi sebesar 0,90.

Gambar 15 Diagram pencar evapotraspirasi menggunakan metode Nisbah Bowen (sumbu Y) dan metode

FAO Penman-Monteith (sumbu X)

Euser et al. (2013) mendapatkan adanya korelasi limpahan bahang laten yang tinggi antara hasil perhitungan antara metode Bowen Ratio Distributed

Temperature Sensing (BR-DTS) dengan hasil Eddy Covariance dengan koefisien

korelasi 0,98. Hollanda et al. (2013) mendapatkan koefisien korelasi 0,99 antara evapotranspirasi hasil perhitungan metode Micro Bowen Ratio dengan hasil

2.0

ETa Nisbah Bowen ETc Penman-Monteith

y = 0.7439x + 0.7272

(43)

27

pengukuran lisimeter. Dengan demikian metode Nisbah Bowen cukup baik digunakan untuk pendugaan nilai evapotranspirasi aktual.

Karakteristik Persawahan dan Tanaman Padi Selama Periode Pengukuran

Sawah lokasi pengukuran merupakan hamparan persawahan petani. Musim tanam II umumnya menggunakan varietas Ciherang, puncak penanaman terjadi pada bulan Mei dan awal Juni. Untuk kepentingan penelitian, dilakukan budidaya padi pada lahan seluas 5.092,5 m2. Varietas padi yang digunakan adalah Ciherang,

Inpari 10 dan Inpari 13 yang ditanam pada tanggal 25 Juni 2012.

Dari hasil pengamatan, periode kekeringan mulai berlangsung di lokasi penelitian pada pertengahan bulan Juli, dimana tidak ada lagi suplai air melalui saluran irigasi, sedangkan tanaman padi yang dibudidayakan petani pada umumnya sedang dalam tahap matang susu (Milk Grain Stage) yang membutuhkan ketersediaan air. Untuk mencegah gagal panen, sebagian petani memanfaatkan air tanah dengan membuat sumur bor untuk terus mengairi sawah sehingga pertumbuhan padi dapat dipertahankan semaksimal mungkin. Periode pengukuran dimulai tanggal 8 Agustus saat tanaman padi yang dibudidayakan untuk penelitian telah berumur 42 HST dengan pemberian air dilakukan seminggu sekali dari hasil pemompaan sumur bor. Selama periode pengukuran tidak terjadi hujan.

Tabel 1.Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Padi

Parameter Varietas

Ciherang Inpari 10 Inpari 13

Tinggi Tanaman (cm) 80,7 78,7 87,7

Panen dilakukan lebih awal oleh petani sejak pertengahan Agustus dengan puncak panen terjadi pada dan awal September sedangkan tanaman padi yang dibudidayakan untuk penelitian dipanen pada tanggal 15 September. Secara umum pertumbuhan dan produksi tanaman tidak maksimal akibat kekurangan air.

Interaksi Evapotranspirasi dengan Lingkungan dan Tanaman

(44)

28

dan varietas Inpari 13 yang memiliki rata-rata produksi 6,6 t ha-1 hanya memiliki

produktivitas 2,0 t ha-1 akibat mengalami kekeringan.

Evapotranspirasi yang terjadi sebesar 3,3 mm hari-1 lebih rendah dibanding evapotranspirasi yang terjadi di sawah aerobik dan sawah genangan. Hasil penelitian Alberto et al. (2011) di Philipina selama empat musim tahun 2008 dan 2009 dengan rata-rata suhu 27,2 oC pada musim kemarau dan 27,7 oC pada musim hujan menunjukkan nilai evapotranspirasi di sawah aerobik sebesar 3,8 mm hari-1 dan sawah genangan sebesar 4,3 mm hari-1. Evapotranspirasi yang rendah

merupakan indikasi tanaman kekurangan air dan air tanah berada di bawah kapasitas lapang. Rendahnya ETa pada akhir pertanaman terdeteksi dari

penurunan nilai Nisbah Bowen, tetapi tidak terdeteksi dari makin lebarnya selisih antara ETp FAO Penman-Monteith dengan ETa Nisbah Bowen. Menurut

Sulistyono et al. (2011) evapotranspirasi merupakan peubah yang sangat berkaitan dengan produksi tanaman. Pada kondisi defisit air, penurunan produksi berbanding lurus dengan penurunan evapotranspirasi. Penurunan evapotranspirasi atau defisit evapotranspirasi akan menyebabkan penurunan produksi bahan kering tanaman. Semakin tinggi total defisit evapotranspirasi menyebabkan penurunan produksi semakin besar.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Fluktuasi cuaca harian dan parameter Nisbah Bowen umumnya mengikuti penerimaan radiasi neto sesuai karakter masing-masing seperti suhu, gradien suhu bola kering, kecepatan angin, limpahan bahang tanah dan limpahan bahang laten yang meningkat selama siang hari dan menurun kembali menjelang sore hari. Sebaliknya, gradien suhu bola basah, kelembaban dan tekanan udara, menurun selama siang hari dan kembali meningkat menjelang sore hari. Variasi diurnal

Rata-rata harian radiasi neto yang diterima permukaan selama penelitian relatif konstan antara 183 W m-2 sampai 268 W m-2 dengan rata-rata 231 W m-2, suhu udara rata-rata 29,4 oC dengan suhu maksimum 35,5 oC dan suhu minimum

20 oC. Kelembaban relatif berkisar antara 45% hingga 67% dengan rata-rata 59%, sedangkan tekanan udara rata-rata 101 kPa. Angin bertiup lebih banyak ke arah tenggara (138,4 o) dengan kecepatan rata-rata 0,9 m s-1. Limpahan bahang tanah

(45)

29

Bowen berkisar antara 0,02 sampai 0,22 dengan rata-rata 0.10. Limpahan bahang laten berbanding lurus terhadap penerimaan radiasi neto yang mengenai kawasan persawahan dengan nilai berkisar antara 134,4 W m-2 sampai 226,5 W m-2 dengan rata-rata 184 W m-2.

Evapotranspirasi harian di areal persawahan Kabupaten Indramayu pada saat periode kekeringan musim tanam II yang diduga menggunakan metode Nisbah Bowen berkisar antara antara 2,4 mm sampai 4,3 mm dengan rata-rata 3,3 mm, sedangkan evapotranspirasi harian yang diduga menggunakan metode

FAO Penman-Monteith bervariasi antara 2,4 mm sampai 4,6 mm dengan rata-rata

3,5 mm. Rata-rata hasil estimasi evapotranspirasi harian dari kedua metode secara statistik tidak berbeda nyata..

Saran

Perlu penelitian lanjutan untuk membandingkan hasil pengukuran evapotranspirasi antara metode Nisbah Bowen dan lisimeter.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi A S, Soom M A M, Ahmad D dan Shariff A R M. 2013. Characterization of rice (Oryza sativa) evapotranspiration using micro paddy lysimeter and class “A” pan in tropical environments. Australian

Journal of Crop Science. 7(5):650-658. doi: http://www.cropj.com/ab

dullahi_7_5_2013_6 50_658.pdf.

Alberto MCR, Wassmanna R, Hiranob T, Miyatac A, Hatanob R, Kumara A, Padrea A dan Amantea M. 2011. Comparisons of energy balance and evapotranspiration between flooded and aerobic rice fields in the Philippines. Agric. Water Management [Internet]. [diunduh 2014 Maret 8];98(9):1417-1430. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/j.agwat.20 11.04.011.

Allen RG, Pereira LS, Raes D dan Smith M. 1998. Crop evapotranspiration -

guidelines for computing crop water requirements – FAO Irrigation and

Drainage Paper, 56. Rome (US): FAO.

Angus DE, Watts PJ. 1984. Evapotranspiration how good is the bowen ratio method? Agric. Water Management [Internet]. [diunduh 2012 April 14];8:188-150. Tersedia pada: http://www.sciencedirect.com/science/arti-cle/pii/0378377484900507.

(46)

30

Brutsaert W. 1982. Evaporation into the Atmosphere: Theory, History, and 17

Applications. Dordrecht (NL): Springer Publishing.

Buttafuoco G, Caloiero T dan Coscarelli R. 2010. Spatial uncertainty assesment in modelling reference evapotranspiration at regional scale. J. Hydrol. Earth

Syst. Sci. Discuss. 7:4567-4589.doi:10.5194/hessd-7-4567-2010.

Euser T, Luxemburg W, Everson C, Mengistu M, Clulow A dan Bastiaanssen W. 2013. A new method to measure bowen ratios using high resolution vertical dry and wet bulb temperature profiles. J. Hydrol. Earth Syst. Sci.

Discuss. 10: 7161-7196, doi:10.5194/hessd-10-7161-2013.

Gardner C. 1991. Water regime of river meadows: Yarnton Mead Case Study.

Report to MAFF [Internet]. Wallingford (GB): Institute of Hydrology.

[diunduh 2012 April 14]. Tersedia pada: http://nora.nerc.ac.uk/14377/1/ N014377CR.pdf.

Gao Z, Bian L dan Zhou X. 2003: Measurements of turbulent transfer in the near-surface layer over a rice paddy in China. J. Geophys. Res. 108: 4387, doi:10.1029/2002JD002779.

Grant DR. 1975. Comparisons of evaporation measurement using different methods. Quart. J. Roy. Meteorol. Soc. 101(429):543-550.doi:10.1002/qj .49710142911.

Hollanda S, Heitmana J L, Howarda A, Sauerb T J, Giesec W, Ben-Gald A, Agame N, Koole D dan Havlina J. 2013. Micro-Bowen ratio system for measuring evapotranspiration in a vineyard interrow. J. Agrformet. 117: 93-100, doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.agrformet.2013.04.009. Irmak S, Haman D. 2003. Evaluation of five methods for estimating class a pan

evaporation in a humid climate. J Florida Agric. Experiment Station

[Internet]. [diunduh 2012 April 14];13(3):500-508. Tersedia pada: http://horttech.ashspublications.org/content/13/3/500.full.pdf+html. Jarvis PG, Stewart JB. 1979. Evaporation of water from pantation forest. In: E. D.

Ford, D. C. Malcolm dan J. A. Herson (Eds). The ecology of evenage forest plantations [Internet]. Camridge (US): ITE. [diunduh 2012 April 14]. Tersedia pada: http://nora.nerc.ac.uk/7077/1/N007077CP.pdf.

Labedzki L. 2011. Evapotranspiration. Hampshire (GB):InTech.

Lambers SH. 1993. Rising CO2, Secondary Plant Metabolism, Plant-Herbivore

Interactions and Litter Decomposition. Dordrecht (NL): Springer

Publishing.

Gambar

Gambar 1 Diagram alur tahapan penelitian
Gambar 2 Rangkaian termokopel
Gambar  5  Pola  suhu  udara.  Fluktuasi  suhu  bola  kering  (merah)  dan  bola  basah  (hitam)  setiap  30  menit  (A),  sebaran  data  dan  standar  deviasi  (B),  fluktuasi,  harian          suhu  maksimum,  -----  suhu  rata-rata,  .......
Gambar 6 Pola kelembaban udara (    ) dan tekanan udara ( .......... ). Variasi  diurnal
+6

Referensi

Dokumen terkait