• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Iklim dan Dinamika Populasi Hama Chilo sacchariphagus di Perkebunan Cinta Manis Menggunakan Model Simulasi DYMEX 3.0.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Iklim dan Dinamika Populasi Hama Chilo sacchariphagus di Perkebunan Cinta Manis Menggunakan Model Simulasi DYMEX 3.0."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS IKLIM DAN DINAMIKA POPULASI HAMA

Chilo sacchariphagus

DI PERKEBUNAN CINTA MANIS

MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI DYMEX 3.0

MUH. DIMAS ARIFIN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Iklim dan Dinamika Populasi Hama Chilo sacchariphagus di Perkebunan Cinta Manis Menggunakan Model Simulasi DYMEX 3.0 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

MUH DIMAS ARIFIN. Analisis Iklim dan Dinamika Populasi Hama Chilo sacchariphagus di Perkebunan Cinta Manis Menggunakan Model Simulasi DYMEX 3.0. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO.

Chilo sacchariphagus dikenal dengan nama hama penggerek batang tebu bergaris adalah salah satu hama utama yang paling banyak menyerang tanaman tebu di Perkebunan Cinta Manis. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan hama adalah faktor iklim, yaitu curah hujan, suhu minimum dan maksimum, RH maksimum dan minimum. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh iklim terhadap dinamika populasi Chilo sacchariphagus di Perkebunan Cinta Manis. Model siklus hidup serta pendugaan populasi hama memanfaatkan model simulasi DYMEX 3.0. Simulasi dilakukan selama lima tahun tanam pada 2008 - 2013. Hasil simulasi model memberikan prediksi cukup baik dengan nilai koefisien determinasi (R2) hasil validasi antara populasi model hasil luaran DYMEX dan populasi hasil observasi cukup tinggi namun menurun pada tahun – tahun setelah kalibrasi. Model memprediksi puncak populasi hama pada tahun tanam 2015 – 2016 terjadi pada bulan Februari 2016.

Kata kunci: penggerek batang, simulasi, suhu, Sumatera Selatan, tebu

ABSTRACT

MUH DIMAS ARIFIN. Analysis of Climate and Population Dynamic of Chilo sacchariphagus in Cinta Manis Sugar Estate by Using DYMEX 3.0 Model Simulation. Supervised by YONNY KOESMARYONO.

Chilo sacchariphagus Spotted Sugarcane Stemborer is one of the main pests attacking Cinta Manis Sugarcane Estate. Climatic factors including rainfall, minimum and maximum air temperature, maximum and minimum relative humidity affect the presence of the pest. The purpose of this study is to analyze the influence of climatic factors on population dynamics of Chilo sacchariphagus in Cinta Manis Sugar Estate. Simulation conducted over year of 2008-2013 by using DYMEX 3.0 pest lifecycle model. Simulation model gives a good prediction with high value of coefficient determination (R2)as validation between population from simulation and observation but decreasing on the following years. The model predicted the pest population will reach its peak on February 2016.

(5)

ANALISIS IKLIM DAN DINAMIKA POPULASI HAMA

Chilo sacchariphagus

DI PERKEBUNAN CINTA MANIS

MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI DYMEX 3.0

MUH. DIMAS ARIFIN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Iklim dan Dinamika Populasi Hama Chilo sacchariphagus di Perkebunan Cinta Manis Menggunakan Model Simulasi DYMEX 3.0

Nama : Muh. Dimas Arifin NIM : G24090009

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur senantiasa tetap terhaturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan kuasanya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Biometeorologi hama dengan judul Analisis Iklim dan Dinamika Populasi Hama Chilo sacchariphagus di Perkebunan Cinta Manis Menggunakan Model Simulasi DYMEX 3.0. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan penelitian ini, sehingga dapat menjadi masukan dalam penyusunan penelitian lainnya.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS atas bimbingan dan ilmunya, di samping itu penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada Ibu Etik M Achadian dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) atas saran-saran pada tahap awal penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Winarno dari Bagian Penelitian dan Pengembangan PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis atas bantuan data serangan hama serta informasi lainnya mengenai pengelolaan hama di perkebunan Cinta Manis.

Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya penulis persembahkan pula kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya, rekan-rekan penulis di GFM 46, Generasi Rabbani, Fusi Biru Muda, DPM TPB 46, DPM FMIPA 2011-2013, DPM-MPM KM 2012-2011-2013, Nahdlatul Fikr, PPSDMS NF, Wisma Al-Jabbar, Ikhwah Tarbiyah IPB, teman-teman Nahdliyyin IPB serta sahabat-sahabat penulis yang senantiasa memberikan semangat dan bantuan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Wallahul muwaffiq fi aqwamiththariq

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Tanaman Tebu 2

Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris 2

Piranti Lunak DYMEX 3

METODE PENELITIAN 4

Bahan 4

Alat 4

Prosedur Penelitian 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Karakteristik Daerah Kajian 7

Laju Perkembangan di atas Suhu Optimum dan Laju Mortalitas 9

Model Kalibrasi 9

Model Validasi 10

Pengaruh Suhu terhadap Populasi Hama 13

Pengaruh Curah Hujan terhadap Populasi Hama 15

Pengaruh Kelembaban terhadap Populasi Hama 16

Pengaruh Parameter Iklim terhadap Populasi Larva 17 Prediksi Populasi Hama pada Tahun Tanam 2015-2016 19

SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

1 Persamaan laju perkembangan dan ambang batas bawah suhu 5 2 Persamaan laju perkembangan di atas suhu optimum 9

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup hama Penggerek batang tebu bergaris (Chilo sacchariphagus) 3 2 Curah hujan wilayah Ogan Ilir dari stasiun Sultan Mahmud Badarudin 2 pada

Juni 2008 hingga Juli 2013 8

3 Suhu udara rata-rata bulanan wilayah Ogan Ilir dari stasiun Sultan Mahmud

Badarudin 2 pada Juni 2008 hingga Juli 2013 8

4 Kelembaban relatif rata-rata bulanan wilayah Ogan Ilir dari stasiun Sultan Mahmud Badarudin 2 pada Juni 2008 hingga Juli 2013 9 5 Kalibrasi model DYMEX pada tahun tanam 2008-2009 pada perkebunan Cinta

Manis dengan parameter mortalitas (a) 0.01 (b) 0.03 (c) 0.05 (d) 0.07 10 6 Validasi model DYMEX pada tahun tanam (a) 2009-2010 (b) 2010-2011 (c)

2011-2012 (d) 2012-2013, di perkebunan Cinta Manis 11 7 Hasil luaran model populasi bulanan Chilo sacchariphagus pada Juni 2008

hingga juli 2013 (titik – titik merah menunjukkan estimasi populasi larva aktual

berdasarkan data persentase serangan) 12

8 Grafik dinamika populasi harian Chilo sacchariphagus (-), rata-rata bulanan suhu maksimum dalam oC (-) dan rata-rata bulanan suhu minimum dalam oC

(-) 14

9 Grafik dinamika populasi Chilo sacchariphagus (-) dan curah hujan mingguan

(|) 15

10 Grafik dinamika populasi Chilo sacchariphagus (-), Kelembaban maksimum dalam % (-) dan Kelembaban minimum dalam % (-) 16 11 Unsur iklim bulanan dan sebaran populasi larva Chilo sacchariphagus bulanan

hasil simulasi pada Juni 2008 – Juli 2013 18

12 Unsur iklim bulanan dan sebaran populasi larva Chilo sacchariphagus bulanan hasil estimasi dari persentase serangan pada Juni 2008 – Juli 2013 19 13 Prediksi dinamika populasi larva Chilo sacchariphagus harian Juni 2015-Juli

2016 (a) dan hasil Simulasi Juni 2012-Juli 2013 (b) beserta suhu maksimum (-)

dan minimum bulanan dalam oC (-) 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Window komponen dalam model Builder dan modul Lifecycle 24

2 Window komponen dalam model simulator 24

3 Hasil kalibrasi model pada Perkebunan Tebu Cinta Manis tahun tanam

(12)

4 Hasil validasi pada wilayah Perkebunan Tebu Cinta Manis tahun tanam

2009-2013 25

5 Prediksi populasi dinamik mingguan hama Chilo sacchariphagus di

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Swasembada gula adalah salah satu target yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam waktu dekat. Kebutuhan gula pada tahun 2013 mencapai 5.5 juta ton, sementara produksi gula dalam negeri baru pada tahun tersebut hanya 2 551 024 ton (Ditjenbun 2015a). Program intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan tebu (Saccharum officinarum) yang merupakan bahan baku pembuatan gula terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gula nasional yang terus meningkat. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan (2015b), luas areal tanam tebu secara nasional meningkat selama 2010-2014.

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (2008) menyatakan peningkatan produksi dapat dilakukan dengan perluasan areal tanam sedangkan peningkatan produktifitas dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah tebu per hektar serta peningkatan rendemen. Kinerja rendemen tebu pada tahun 1998-2002 berkisar 6.25%, nilai tersebut lebih rendah dari tahun 1970-1974 yang mencapai 10.16%.

Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan rendemen tebu adalah serangan hama. Menurut Pramono (2005), salah satu hama utama yang menyerang perkebunan tebu adalah hama penggerek batang. Penggerek batang terdiri atas beberapa spesies, namun menurut Wirioatmodjo (1977) dan Goebel et al. (2013) yang terpenting adalah penggerek berkilat (Chilo auricilius) dan penggerek bergaris (Chilo sacchariphagus) atau biasa disebut dalam satu sebutan Chilo sp. Keberadaan Chilo sacchariphagus di lapangan lebih dominan (Pramono et al. 2009) serta hampir selalu ditemukan di semua kebun tebu Indonesia (Indrawanto et al. 2010) sehingga nilai tingkat serangan penggerek batang/ruas di Indonesia identik dengan nilai serangan Chilo sacchariphagus.

Rejeki dan Zahro’in (2013) mencatat bahwa 31% dari keseluruhan serangan organisme pengganggu tanaman di wilayah kerja BBP2TP Surabaya pada triwulan kedua tahun 2013 merupakan serangan Chilo sp. Goebel et al. (2011) yang melakukan investigasi di Pesantren Baru, Jawa Timur menemukan bahwa tingkat serangan Chilo sp. tertinggi tanpa perlakuan pengendalian hama adalah sebesar 14.5%. Unit Usaha Cinta Manis mengalami serangan tertinggi pada lima tahun terakhir di bulan Juli 2011 dengan tingkat serangan mencapai 9.91% (Winarno 2014, Komunikasi Pribadi). Hal tersebut membuktikan bahwa hama penggerek batang kembali menjadi ancaman bagi perkebunan tebu di Indonesia.

(14)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis serangan hama Penggerek Batang Tebu Chilo sacchariphagus melalui pendekatan populasi dan faktor iklim menggunakan Model Simulasi DYMEX di perkebunan PTPN VII unit usaha Cinta Manis.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum) adalah bahan baku pembuatan gula. Spesies ini dipercaya berasal dari Polinesia dan dibawa ke Asia Tenggara hingga menjadi sangat lazim ditemui di Papua. Saccharum officinarum sebenarnya hanyalah salah satu dari beberapa spesies tebu yang ada. Spesies ini merupakan spesies yang paling banyak ditanam karena kandungan sukrosanya paling tinggi meskipun cenderung lebih rentan dibanding spesies yang lain (Wijayanti 2008). Secara taksonomi, tanaman tebu termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, kelas Monocotyledoneae, ordo Poales, family Poaceae, genus Saccharum (Cheavegatti-Gianotto et al. 2011).

Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris

Beberapa ilmuwan beranggapan bahwa Chilo sacchariphagus berasal dari Jawa (Vinson in Soma dan Ganeshan 1998). Saat ini, Penggerek batang tebu bergaris menjadi hama utama yang menyerang perkebunan tebu di beberapa negara di antaranya Mauritius, Reunion, Madagaskar, negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan hingga Korea dan Taiwan (Pramono 2005). Kalshoven (1981) menyatakan bahwa hama tersebut umum ditemukan di dataran rendah dan tidak muncul pada wilayah dengan ketinggian di atas 800 m.

Penggerek batang bergaris (Chilo sacchariphagus) termasuk filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, famili Pyralidae serta Genus Chilo (Sallam dan Allsopp 2002). Serangga dari ordo Lepidoptera lazimnya mengalami empat fase dalam hidupnya, yaitu telur, larva, pupa dan imago/dewasa (Gambar 1).

(15)

3

Gambar 1 Siklus hidup hama Penggerek batang tebu bergaris (Chilo sacchariphagus)

Sumber : pikul.lib.ku.ac.th dan nbair.res.in

Pramono (2005) menyatakan bahwa setiap imago betina mampu menghasilkan telur 50-100 butir per hari yang diletakkan selama 3-5 hari. Menurut Kalshoven (1981), satu imago betina mampu menghasilkan sekitar 80 butir telur sekali bertelur. Telur diletakkan secara berkelompok 7 hingga 30 butir pada bagian atas daun. Fase stadia telur berlangsung selama 7 – 9 hari (Pramono 2005).

Hama menyerang tanaman tebu pada stadia larva. Larva yang baru menetas hidup di dalam pupus dan memakan daun yang masih menggulung (Pramono 2005). Larva muda yang berada dalam satu pelepah berkisar antara 5 – 15 larva, sedangkan sisanya berpindah ke pohon lain dengan cara menjatuhkan diri dan terbawa angin (Kalshoven 1981). Setelah keluar dari pupus, dia akan mulai memakan batang dengan cara melubangi batang atau membentuk liang-liang. Ruas yang diserang akan mempengaruhi ruas yang di dekatnya. Fase larva berlangsung selama 29 – 46 hari (Pramono 2005).

Fase pupa berlangsung di dalam lobang gerek pada ruas tebu yang dibuat selama fase larva. Pupa betina berukuran lebih besar dan panjang dibanding pupa jantan. Lama stadia pupa berkisar 11 – 13 hari (Pramono 2005).

Kerusakan oleh Chilo sacchariphagus dapat menyebabkan berkurangnya kualitas dan kuantitas nira. Kematian akibat layu dapat terjadi apabila bagian tebu yang diserang merupakan titik tumbuh. Lubang-lubang bekas gerekan dapat menjadi tempat bersarangnya berbagai patogen yang berpotensi merusak jaringan (Wiriatmodjo 1977).

Piranti Lunak DYMEX

(16)

4

piranti lunak ini untuk meneliti perkembangan populasi hewan dan tumbuhan di negara-negara beriklim sub-tropis, namun masih jarang yang memanfaatkannya untuk meneliti perkembangan populasi organisme di daerah tropis (Koem 2013).

METODE PENELITIAN

Bahan

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah data iklim harian pada Juni 2007 sampai Agustus 2013 berupa curah hujan, suhu udara minimum, suhu udara maksimum, kelembaban udara pada pukul 09.00 dan pukul 15.00 yang diperoleh dari stasiun Sultan Mahmud Badarudin 2 dengan nomor WMO: 962210 (WIPP) melalui website tutiempo.com, data serangan populasi bulanan hama Penggerek Batang Tebu

Bergaris (Chillo sacchariphagus) pada wilayah Perkebunan Tebu Cinta Manis tahun

2007-2013 yang diperoleh dari Bagian Penelitian dan Pengembangan PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis serta data prediksi suhu udara 2015-2016 berdasarkan skenario SRESA1B yang tersedia pada laman noaa.gov.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi windows untuk aplikasi Microsoft office 2010 dan Software DYMEX 3.0.

Prosedur Penelitian Karakteristik Daerah Kajian

Data iklim yang dipergunakan berupa data suhu maksimum, suhu minimum, kelembaban udara pada pukul 09.00 dan 15.00 serta curah hujan pada tanggal 1 Juni 2008 sampai dengan 31 Juli 2013. Data tersebut ditampilkan dalam bentuk grafik.

Model DYMEX

Model DYMEX terdiri atas dua bagian yaitu Builder untuk menyusun model dan Simulator untuk menjalankan model (Maywald et al. 2007).

a. Model Builder

Penyusunan model dinamik populasi hama penggerek batang tebu bergaris diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh di dalam perkembangan populasi hama (Lampiran 1). Faktor-faktor tersebut diperlukan untuk menentukan modul yang digunakan dalam model builder. Pengembangan model builder mengikuti panduan pengguna yang ditulis oleh Maywald et al. (2007).

(17)

5 tersebut digunakan untuk mensimulasikan perkembangan populasi hama dengan pendekatan cohort. Berikut parameter-parameter yang digunakan dalam model lifecycle.

1. Developmental Rate

Developmental rate (DR) menyatakan laju perkembangan dari hama sebagai fungsi dari suhu udara. Jarosik et al. (2004) menyatakan DR adalah fungsi linear dari suhu. Perpotongan antara kurva dan sumbu-x (suhu) menunjukkan lower development temperature (LDT) yang merupakan suhu ambang batas bawah perkembangan hama. Hubungan antara suhu udara (T) dan laju perkembangan hama serta nilai LDT dari masing-masing stadia dikemukakan oleh Goebel (2006). Tabel 1 Persamaan laju perkembangan dan ambang batas bawah suhu

Stadia Persamaan laju

aberdasarkan data Moth Longevity (Goebel 2006)

Persamaan tersebut berlaku pada rentang suhu LDT sampai suhu optimum. Suhu optimum Chilo sacchariphagus adalah 25 oC. Laju perkembangan menurun pada suhu di atas suhu optimum. Persamaan DR pada suhu di atas suhu optimum didapatkan melalui regresi linear antara suhu udara dan laju perkembangan hama berdasarkan data pengamatan Goebel (2006).

2. Mortalitas

Mortality Rate (MR) atau laju kematian dinyatakan sebagai fungsi dari suhu. Nilai MR linear menurun di bawah suhu optimum serta meningkat saat melewati suhu optimum. MR dihitung dengan menggunakan formula berikut (Yonow et al. 2004)

Persamaan mortalitas telur dimodelkan dengan regresi linear antara suhu udara dan laju kematian. Mortalitas imago dimodelkan dengan menggunakan usia fisiologis pada imago, sedangkan nilai laju kematian larva diasumsikan konstan dan dimanfaatkan sebagai parameter yang diubah-ubah pada proses kalibrasi.

3. Transfer, migrasi, fekunditas dan reproduksi

Tahapan transfer adalah tahapan antar stadia hama. Tahapan tersebut dilewati ketika usia fisiologisnya terpenuhi. Usia fisiologis terpenuhi jika nilai akumulasi dari DR mencapai nilai 1.

(18)

6

mobilitas serangga meningkat pada suhu di atas 25 oC. Diasumsikan 5 serangga dewasa memasuki petak setiap minggu ketika suhu rata-rata mingguan di atas 25 oC.

Nilai fekunditas hama menyatakan potensi telur yang dihasilkan oleh setiap betina di stadia imago/dewasa. Pramono (2005) menyatakan bahwa setiap imago betina mampu menghasilkan telur 50-100 butir per hari yang diletakkan selama 3-5 hari. Jumlah telur maksimum sebesar 3-500 butir per betina. Rasio kelamin antara serangga jantan dan betina diasumsikan sebesar 1:1 sehingga didapatkan nilai fekunditas sebesar 250 telur per serangga. Menurut Kalshoven (1981), satu imago betina mampu menghasilkan sekitar 80 butir telur sekali bertelur. Parameter reproduksi (Progeny) sebesar 40 telur per imago per hari didapatkan dengan asumsi rasio kelamin 1:1. Angka tersebut dalam model dikombinasikan dengan kuantitas telur yang terus menurun terhadap usia imago dengan penurunan rata-rata 24% jumlah telur per hari (Goebel 2006).

b. Model Simulator

Model simulator dijalankan dengan memasukkan data meteorologi harian berupa suhu udara minimum, suhu udara maksimum serta kelembaban udara pada rentang waktu tahun 2008-2011 dan letak lintang dari daerah kajian. Data-data tersebut diolah oleh model simulator sehingga dihasilkan data simulasi populasi harian. Data hasil model dikalibrasi serta divalidasi berdasarkan data hasil observasi.

Kalibrasi dan Validasi Model

Data pembanding yang digunakan untuk kalibrasi dan validasi model merupakan dugaan yang didapatkan dari pengolahan hasil pengamatan lapang oleh Bagian Litbang PTPN VII UU Cinta Manis, Palembang. Kerusakan akibat serangan penggerek batang dapat diamati sejak tebu berusia 1.5 bulan. Persentase serangan pada tebu yang belum beruas (berusia kurang dari 6 bulan) dihitung dari banyaknya tebu yang terserang (per batang). Persentase serangan tebu yang sudah beruas merupakan perbandingan antara jumlah ruas yang terserang dengan jumlah ruas yang tidak terserang hama (Pramono et al. 2009). Data serangan bulanan adalah rataan dari hasil pengamatan serangan pada bulan tersebut. Seekor larva penggerek batang tebu bergaris dapat menggerek 1 hingga 3 ruas dan dalam satu ruas umumnya hanya terdapat satu ekor larva (Pramono 2005) sehingga jumlah ruas/batang terserang sebanding dengan jumlah larva.

Kalibrasi model dan validasi model dilakukan dengan membandingkan data populasi larva keluaran model bulanan dengan jumlah larva bulanan hasil dugaan. Nilai populasi larva bulanan keluaran model didapat dari rata-rata populasi larva harian selama bulan tersebut. Nilai jumlah larva bulanan hasil pengamatan diduga dengan mengalikan persentase batang/ruas terserang bulanan dengan jumlah batang/ruas pada bulan tersebut. Luaran hasil prediksi model dan dugaan observasi menggunakan nilai ln x + 1 untuk memperkecil nilai, karena perbedaan nilai sangat besar antara hasil prediksi model dan dugaan observasi (Koem 2013).

(19)

7 maka digunakan faktor pengali lima. (c) Faktor pengali empat digunakan untuk tiap bulan hingga bulan kedua belas karena tanaman tebu mengalami pertambahan empat ruas per bulan di periode tersebut/fase maturation (Hunsigi 2001). Nilai awal yang digunakan didasarkan pada pengamatan oleh Bagian Litbang PTPN VII UU Cinta Manis pada tanggal 2 Januari 2014 yang menunjukkan bahwa dalam satu petak amatan berukuran 10 juring x 10 m terdapat 1121 batang tebu. Luas yang digunakan dalam model adalah 0.1 Ha (10 petak).

Kalibrasi model dilakukan dengan menggunakan data pada tahun tanam 2008 - 2009. Kalibrasi dilakukan dengan mengubah parameter mortalitas pada model lifecycle stadia larva, sedangkan validasi terhadap model dilakukan dengan menggunakan data pada tahun tanam 2009 - 2010, 2010 – 2011, 2011 – 2012 ,dan 2012 - 2013. Kesesuaian model dalam proses kalibrasi dan validasi dinyatakan dalam nilai koefisien determinasi (R2).

Hubungan Faktor Iklim dengan Hasil Prakiraan Model

Hasil luaran model berupa populasi hama harian dibandingkan dengan data iklim untuk mendapatkan analisis keterkaitan antara keduanya. Data iklim yang digunakan adalah data pada tanggal 1 Juni 2008 sampai 31 Juli 2013 yang merupakan rentang waktu 5 masa tanam. Nilai populasi hama pada bulan-bulan pergantian tanam (Juni-Juli) dihitung dengan menjumlahkan populasi yang berasal dari pertanaman lama dan baru (tebu siap panen dan tebu muda). Hubungan antara populasi hama dan masing-masing parameter iklim disajikan dalam grafik overlay. Analisis dilakukan terhadap dinamika populasi yang teramati selama simulasi serta kondisi iklim yang menyertai. Hubungan antara populasi larva dan parameter iklim bulanan secara khusus ditampilkan dalam grafik scatter/pencar serta dianalisis dengan menggunakan regresi linear. Hubungan antara parameter iklim dengan populasi bulanan hasil estimasi dari persentase serangan ditampilkan untuk mengevaluasi hasil simulasi model.

Prediksi Populasi Hama pada Tahun Tanam 2015-2016

Prediksi populasi hama untuk setiap stadia dilakukan dengan menggunakan data masukan prakiraan suhu udara tahun 2015-2016. Hasil prediksi ditampilkan dalam bentuk grafik. Grafik prediksi populasi hama, khususnya stadia larva menunjukkan waktu kejadian puncak populasi tertinggi atau puncak serangan hama pada tahun tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Daerah Kajian

(20)

8

Tropis Basah (Tipe C) menurut klasifikasi Schmit-Ferguson dengan perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dan bulan basah antara 0.33 sampai 0.6.

Gambar 2 Curah hujan wilayah Ogan Ilir dari stasiun Sultan Mahmud Badarudin 2 pada Juni 2008 hingga Juli 2013

Suhu bulanan di wilayah kabupaten Ogan Ilir seperti daerah lain di Indonesia yang beriklim tropis tidak terlalu berfluktuasi. Tercatat dalam Gambar 3 suhu udara rata-rata selama bulan Juni 2009 hingga Juli 2013 adalah 27 oC 29 oC. Suhu udara bulanan minimum rata-rata adalah 23 oC – 25 oC, sedangkan suhu maksimum berkisar antara 30 oC – 34 oC (Gambar 3).

Gambar 3 Suhu udara rata-rata bulanan wilayah Ogan Ilir dari stasiun Sultan

Mahmud Badarudin 2 pada Juni 2008 hingga Juli 2013

(21)

9

Gambar 4 Kelembaban relatif rata-rata bulanan wilayah Ogan Ilir dari stasiun

Sultan Mahmud Badarudin 2 pada Juni 2008 hingga Juli 2013

Laju Perkembangan di atas Suhu Optimum dan Laju Mortalitas

Laju perkembangan dari masing-masing stadia mengalami penurunan saat suhu udara melewati suhu optimum. Persamaan laju perkembangan dengan variabel suhu memiliki kemiringan yang bernilai negatif. Persamaan tersebut didapatkan berdasarkan data Goebel (2006) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Persamaan laju perkembangan di atas suhu optimum berdasarkan data Goebel (2006)

Stadia Persamaan laju

perkembangan Suhu optimum

Telur -0.0037T + 0.2661 30 oC

Larva -0.0009T + 0.0548 30 oC

Pupa -0.0196T + 0.6863 30 oC

Persamaan laju mortalitas untuk telur berdasarkan data Goebel (2006) dinyatakan dengan persamaan MR = - 0.0148 T + 0.3852 pada T < 25oC serta MR = 0.0291 T - 0.7474 pada T > 25oC.

Model Kalibrasi

(22)

10

mortalitas larva 0.01, 0.03, 0.05, dan 0.07. Koefisien mortalitas larva dalam model diasumsikan sebagai faktor yang mempengaruhi kematian larva selain faktor iklim.

Tabel 3 Regresi linear pada masing-masing nilai koefisien mortalitas larva

Parameter mortalitas larva R2

0.01 0.77

0.03 0.86

0.05 0.97

0.07 0.78

Gambar 5 Kalibrasi model DYMEX pada tahun tanam 2008-2009 pada perkebunan Cinta Manis dengan parameter mortalitas (a) 0.01 (b) 0.03 (c) 0.05 (d) 0.07

Nilai hasil simulasi dan hasil pengamatan menunjukkan angka yang berbeda namun memiliki pola yang mirip. Hasil regresi linear terhadap kedua data populasi menunjukkan angka koefisien determinasi tertinggi sebesar 97% pada nilai koefisien mortalitas larva 0.05. Koefisien determinasi yang tinggi menunjukkan model DYMEX dapat digunakan untuk simulasi dengan rentang waktu yang lebih lama.

Model Validasi

(23)

11 a). Namun, nilai koefisien determinasi menurun pada tahun – tahun berikutnya meskipun masih tergolong tinggi. Hasil validasi yang cukup tinggi tersebut membuktikan bahwa iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan hama di suatu wilayah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Clark et al. (1967) yang menyatakan bahwa faktor iklim mempengaruhi perkembangan dan keberadaan populasi hama dari jenis serangga.

Gambar 6 Validasi model DYMEX pada tahun tanam (a) 2009-2010 (b) 2010-2011 (c) 2010-2011-2012 (d) 2012-2013, di perkebunan Cinta Manis

Gambar 7 menunjukkan bahwa populasi secara umum mengalami peningkatan dalam satu tahun tanam. Turunnya jumlah populasi secara tajam yang terjadi pada awal musim tanam pada setiap tahunnya terkait erat dengan ketersediaan makanan. Batang dan ruas tebu yang merupakan makanan larva masih tersedia dalam jumlah kecil pada awal musim tanam. Hal tersebut dikarenakan tebu masih dalam masa germinating hingga tillering.

Populasi tercatat selalu ada untuk setiap stadia hama sepanjang tahun. Hal tersebut disebabkan oleh suhu udara yang tidak pernah turun hingga ambang batas bawah pertumbuhan dari masing - masing stadia. Peningkatan populasi mencapai puncaknya pada bulan-bulan kering yang merupakan fase pemasakan tebu. Kelembaban udara dan curah hujan yang rendah didukung oleh ketersediaan makanan yang melimpah mendorong populasi hama mencapai puncaknya.

(24)

12

hingga akhir tahun tanam secara umum terus naik, sementara kenaikan populasi hasil simulasi melambat pada periode tersebut. Puncak populasi hasil simulasi tahun tanam 2008/2009 dan 2011/2012 terlambat satu bulan sedangkan pada tahun tanam 2009/2010 terlambat satu bulan. Model hanya mampu memperkirakan puncak populasi secara tepat pada tahun tanam 2010/2011 meskipun nilai yang dimiliki di bawah nilai hasil estimasi populasi. Gambar 7 menunjukkan kesesuaian model dan hasil estimasi berdasarkan persentase serangan menurun dari tahun ke tahun. Hal tersebut diduga disebabkan oleh pengelolaan hama yang mengalami perbedaan setiap tahunnya sedangkan model mengasumsikan pengelolaan hama sepanjang lima tahun tanam tidak berubah. Asumsi tersebut mempengaruhi penggunaan parameter – parameter yang diasumsikan konstan dalam model seperti laju mortalitas larva dan nilai migrasi.

(25)

13

Pengaruh Suhu terhadap Populasi Hama

Serangga adalah hewan berdarah dingin yang sensitif terhadap perubahan suhu. Fluktuasi suhu udara berpengaruh terhadap proses metabolisme yang mengendalikan usia fisiologi dan reproduksi. Dua hal tersebut memiliki dampak terhadap perkembangan individu serta populasi (Gillooly et al. 2002; Brown et al. 2004). Serangga umumnya hanya mampu bertoleransi terhadap rentang suhu yang sempit (Brown et al. 2004). Child (2007) menyatakan bahwa serangga yang hidup di wilayah tropis memiliki titik suhu optimum terletak di antara 20 oC 35 oC.

Suhu maksimum yang tinggi dapat menyebabkan cekaman panas dan meningkatkan mortalitas hama. Beberapa serangga mampu bertahan pada suhu di atas 35 oC dengan cara menguapkan kandungan air dalam tubuh, namun serangga tersebut perlahan akan mati oleh kekeringan (Child 2007). Peningkatan mortalitas dapat disebabkan pula oleh suhu minimum yang terlampau rendah yaitu di bawah ambang batas bawah suhu perkembangan. Selain peningkatan mortalitas, suhu di bawah titik ambang batas bawah dapat menghentikan pertumbuhan.

Cinta Manis terletak pada lintang rendah sehingga memiliki rentang suhu udara hangat sepanjang tahun. Suhu udara selalu berada jauh di atas ambang batas bawah suhu perkembangan menyebabkan populasi hama Chilo sacchariphagus terus ada. Suhu udara maksimum berada di rentang 30 oC hingga 34 oC mencakup suhu optimum perkembangan 30 oC. Keadaan tersebut menyebabkan hama lebih rentan terkena cekaman panas dibandingkan dengan cekaman dingin.

.Kemiringan kurva populasi pada bulan Agustus-September relatif lebih kecil dibandingkan bulan lainnya. Hal tersebut menunjukkan laju perkembangan dari setiap stadia pada bulan Agustus-September relatif lebih lambat. Penurunan laju perkembangan Chilo sacchariphagus disebabkan oleh nilai suhu maksimum tertinggi dalam satu tahun yang terjadi di bulan tersebut.

Perkembangan populasi telur pada Agustus-September 2009 (Gambar 8) relatif lambat namun berangsur naik pada bulan-bulan berikutnya. Hal serupa juga dapat diamati pada dua bulan tersebut di tahun-tahun berikutnya. Stadia telur merupakan stadia yang laju perkembangannya paling dipengaruhi oleh suhu udara karena telur diletakan di bagian atas daun (Pramono 2005). Perkawinan imago serta peletakan telur yang terjadi di malam hari (Kalshoven 1981; Pramono 2005) mempengaruhi jumlah telur. Peningkatan jumlah telur pada bulan April-Mei di keempat masa tanam disebabkan oleh tingginya suhu minimum pada bulan-bulan tersebut. Hal ini sesuai dengan Goebel (2006) yang menyatakan jumlah telur yang dihasilkan akan meningkat pada suhu udara mendekati 25 oC.

Tahun tanam 2012-2013 memiliki populasi hama dengan jumlah terendah dibandingkan pada tiga tahun sebelumnya. Populasi yang rendah pada setiap stadia hama salah satunya disebabkan oleh suhu udara maksimum pada tahun tersebut yang secara rata-rata lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya yaitu 33 oC. Peningkatan suhu di atas suhu optimum menyebabkan cekaman panas yang meningkatkan mortalitas hama sesuai dengan Goebel (2006).

(26)

14

migrasi imago menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah populasi hama sepanjang tahun tanam.

(27)

15

Pengaruh Curah Hujan terhadap Populasi Hama

Populasi telur pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi cenderung mengalami penurunan (Gambar 9). Penurunan jumlah telur yang terjadi pada bulan Maret 2009, Maret 2010 serta April 2012 diduga disebabkan oleh tersapunya telur oleh curah hujan yang lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Telur yang terletak pada permukaan bagian atas daun lebih rentan tersapu hujan dibandingkan dengan stadia larva dan pupa yang terlindung di dalam batang tebu.

Gambar 9 Grafik dinamika populasi Chilo sacchariphagus (

-

) dan curah hujan mingguan (

|

)

(28)

16

2012 mengakibatkan populasi hama pada tahun tanam tersebut lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pengaruh Kelembaban terhadap Populasi Hama

Kelembaban udara merupakan unsur iklim terpenting yang mempengaruhi kehidupan hama dari jenis serangga, selain suhu udara dan angin, (Mavi dan Tupper 2004). Tubuh serangga yang memiliki rasio antara luas permukaan dan volume tinggi sangat mudah kehilangan air dalam proses penguapan. Child (2007) menemukan bahwa serangga tumbuh optimum pada RH tinggi di atas 70% serta rentan mengalami kematian oleh kekeringan pada nilai RH rendah.

(29)

17 Kenaikan populasi hama pada setiap stadia Chilo sacchariphagus sebanding dengan meningkatnya RH (Gambar 10). Kesesuaian ditunjukkan pula pada saat kelembaban udara cenderung stabil pada periode tanam 2009-2010 serta 2012-2013. Peningkatan populasi cenderung stabil pada kedua masa tanam tersebut. Keterlambatan respon populasi pada penurunan RH di periode tanam 2008-2009 karena penurunan RH belum mencapai angka di bawah 70%. Populasi turun ketika RH maksimum mencapai 70% di bulan juli 2009.

Pengaruh Parameter Iklim terhadap Populasi Larva

Hama Chilo sacchariphagus aktif menyerang batang tebu pada fase larva sehingga pengaruh parameter iklim terhadap populasi larva perlu diketahui lebih lanjut. Parameter iklim yang berpengaruh terhadap populasi larva adalah parameter iklim seminggu sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh fase telur yang terpapar langsung oleh faktor iklim yang berlangsung 7 – 9 hari, sementara larva terlindung dari paparan iklim karena terletak di dalam batang. Namun lag satu minggu pada analisis diabaikan karena faktor iklim yang digunakan adalah rataan bulanan.

Populasi larva hasil simulasi model maupun hasil estimasi berdasar persentase serangan tersebar hampir merata pada seluruh rentang suhu minimum, suhu maksimum, suhu rata-rata, curah hujan serta kelembaban udara relatif (Gambar 11 dan Gambar 12). Hal tersebut menunjukkan bahwa iklim di Perkebunan Cinta Manis sesuai dengan yang dibutuhkan oleh larva Chilo sacchariphagus untuk berkembang.

Model simulasi menunjukkan korelasi positif antara suhu minimum dengan populasi dengan koefisien determinasi sebesar 1.6%. Hal serupa ditunjukkan pula pada populasi hasil estimasi berdasarkan persentase serangan dengan R2 lebih tinggi sebesar 11.3%. Suhu minimum yang semakin tinggi (mendekati 25oC) menyebabkan populasi larva aktual bertambah tinggi. Hubungan tersebut sesuai dengan Goebel (2006) yang menyatakan bahwa suhu optimum bagi Chilo sacchariphagus untuk bertelur adalah pada 25oC.

Sementara itu, suhu maksimum yang tinggi menyebabkan populasi cenderung menurun. Kenaikan suhu maksimum menyebabkan cekaman panas yang meningkatkan mortalitas hama. Nilai koefisien determinasi pada model mencapai 10.5% sedangkan pada kondisi aktual hanya 0.4%. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh suhu maksimum terhadap dinamika populasi dimodelkan lebih besar dari sebenarnya.

Suhu rata – rata bulanan memiliki korelasi negatif terhadap populasi larva Chilo sacchariphagus hasil model dengan koefisien determinasi sebesar 5.6%. Sementara itu koefisien determinasi antara suhu terhadap populasi hasil estimasi hanya 0.4% serta bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa model belum mampu menggambarkan pengaruh suhu rata – rata terhadap populasi larva.

(30)

18

pada permukaan atas daun. Peningkatan populasi oleh curah hujan diduga terjadi secara tidak langsung melalui penurunan suhu maksimum yang menyebabkan laju mortalitas telur melambat.

Gambar 11 Unsur iklim bulanan dan sebaran populasi larva Chilo sacchariphagus bulanan hasil simulasi pada Juni 2008 – Juli 2013 Hubungan populasi larva dan kelembaban relatif minimum dan maksimum dimodelkan oleh DYMEX dengan cukup tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi sebesar 12.5% (RH minimum) dan 12.8% (RH maksimum). Sementara itu, koefisien determinasi yang ditunjukkan oleh populasi hasil estimasi hanya 7.7 % untuk RH minimum dan 7.9% untuk RH maksimum.

(31)

19

Gambar 12 Unsur iklim bulanan dan sebaran populasi larva Chilo sacchariphagus bulanan hasil estimasi dari persentase serangan pada Juni 2008 – Juli 2013

Prediksi Populasi Hama pada Tahun Tanam 2015-2016

(32)

20

Prediksi populasi larva Chilo sacchariphagus memiliki nilai tertinggi pada bulan Februari 2016. Jumlah larva maksimum pada Februari 2016 diprediksi mencapai 17 462 ekor. Prediksi suhu minimum dan suhu maksimum rata-rata pada bulan tersebut adalah 20.2 oC dan 28.7 oC. Populasi tersebut jauh lebih tinggi dari data simulasi populasi larva bulan Februari 2013 yaitu 9 673 ekor, dengan nilai suhu minimum dan maksimum pada bulan tersebut sebesar 23.5 oC dan 32 oC. Nilai suhu maksimum pada Februari 2013 yang lebih tinggi dibanding diperkirakan pada Februari 2016 menekan pertumbuhan populasi larva pada bulan tersebut.

Populasi larva Chilo sacchariphagus diprediksi menurun mulai akhir bulan Januari 2016 hingga akhir bulan April 2016 (Gambar 13). Penurunan tersebut diduga disebabkan oleh naiknya suhu maksimum yang berakibat pada turunnya jumlah telur yang berhasil menetas. Data prediksi serangan minimum larva Chilo sacchariphagus pada awal Mei 2016 menunjukkan angka 7 517 ekor dengan suhu minimum sebesar 21 oC dan suhu maksimum sebesar 30 oC. Data simulasi pada bulan yang sama di tahun 2013 menunjukkan nilai serangan larva sebesar 11 666 ekor dengan suhu minimum sebesar 23.8 oC dan suhu maksimum 32.8 oC. Suhu minimum pada Mei 2013 yang lebih tinggi menyebabkan populasi larva lebih tinggi dibandingkan pada Mei 2016 yang memiliki suhu minimum lebih rendah.

(33)

21

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Model simulasi DYMEX memiliki validitas yang menurun pada tahun yang jauh dari tahun dilakukan kalibrasi. Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap perkembangan populasi Chilo sacchariphagus adalah suhu minimum dengan nilai koefisien determinasi sebesar 11.3%. Model DYMEX mampu menggambarkan dengan baik pengaruh curah hujan terhadap dinamika populasi meskipun pengaruhnya lebih kecil dibandingkan unsur iklim yang lain. Puncak serangan hama Chilo sacchariphagus pada tahun tanam 2015-2016 diperkirakan oleh model DYMEX akan terjadi pada bulan Februari 2016.

Saran

Kalibrasi perlu dilakukan dengan menggunakan data tahun tanam sebelumnya untuk mengatasi penurunan validitas model terhadap waktu. Pengetahuan mengenai metode pengelolaan hama pada wilayah kajian akan membantu penyusunan model simulasi yang lebih baik untuk jangka waktu yang panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Brown JH, Gillooly JF, Allen AP, Savage VM, West GB. 2004. Toward a Metabolic Theory of Ecology. Ecology. 85(7):1771–1789.doi: 10.1890/03-9000.

Cheavegatti-Gianotto A, de Abreu HMC, Arruda P, Filho JCB, Burnquist WL, Creste S, di Ciero L, Ferro JA, Figueria AVO, Filgueiras TS et al. (2011). Sugarcane (Saccharum X officinarum): A Reference Study for the Regulation of Genetically Modified Cultivars in Brazil. Trop Plant Bio. 4(1):62–89.doi: 10.1007/s12042-011-9068-3

Child RE. 2007. Insect Damage as Function of Climate. Di dalam: Padfield T, Borchersen K, editor. Museum Microclimates. Copenhagen (DK): National Museum of Denmark. hlm 57-60

Clark LR, Geier PW, Hughes RD, Morris RF. 1967. The Ecology of Insect Populations in Theory and Practice. London (GB): Chapmann and Hall. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015a. Produksi Tebu Menurut

Provinsi di Indonesia, 2010 2014. Jakarta (ID): BPS. http://www.pertanian.go.id/IP_ASEM_BUN_2014/Produksi-Tebu.pdf [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015b. Luas Areal Tebu Menurut

Provinsi di Indonesia, 2010 2014. Jakarta (ID): BPS. http://www.pertanian.go.id/IP_ASEM_BUN_2014/Areal-Tebu.pdf

(34)

22

Goebel F-R, Achadian E, McGuire P. 2013. Economic Impact of Sugarcane Moth Borers in Indonesia. Proc Int Soc Sugar Cane Technol. (2013) 8:1-10, doi: 10.1007/s12355-013-0281-2.

Goebel F-R, Achadian E, Kristini A, Sochib M, Adi H. 2011. Investigation of Crop Losses Due to Moth Borers in Indonesia. Proc Aust Soc Sugar Cane Technol (2011) 33:1-9.

Goebel F-R. 2006. The effect of temperature on development and reproduction of the sugarcane stalk borer, Chilo sacchariphagus (Bojer 1856). African Entomology [Internet]. [diunduh 2014 Jan 30]. 14(1): 103–111. Tersedia pada https://www.researchgate.net/publication/256457666__Goebel_F.R._2006._ Pasca Panen Tebu. Jakarta (ID): ESKA Media

Jarosik V, Kratochvil L, Honek A, Dixon AFG. 2004. A general rule for the dependence of developmental rate on temperature in ecthotermic animals. Proc R Soc Lond B 271: 219-221.doi: 10.1098/rsbl.2003.0145

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised and Translated By P.A. van der Laan. Jakarta (ID): Ichtiar Baru – Van Hoeve

Koem S. 2013. Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Koesmaryono Y. 1999. Hubungan Cuaca-Iklim Dengan Hama dan Penyakit Tanaman. Di dalam: Koesmaryono Y, Impron, Sugiarto Y, editor. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi (Buku 2); 1999 Feb 1-12; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Ditjen DIKTI Depdikbud dan FMIPA IPB. hlm 90-108

Mavi HS, Tupper GJ. 2004. Agrometeorology. New York (US): Haworth Press. Maywald GF, Kriticos DJ, Sutherst RW, Bottomley W. 2007. DYMEX Model

Builder Version 3: User’s Guide. Melbourne (AU): Herne Scientific Software Pty Ltd.

[P3GI] Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia.2008. Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. Pasuruan (ID): P3GI

Pramono D, Hermawan R, Sulistyana MM, Mudakir, Harianto. 2009. Pelaksanaan dan Manfaat Program Early Warning System (EWS) di Kawasan PG Bungamayang – Lampung, PTPN VII Persero Periode Tanam 2006/2007 – 2008/2009. Pasuruan (ID): P3GI. [Internet]. [diunduh 6 Maret 2014]. Tersedia pada http://www.sugarresearch.org/index.php/ews-di-pg-bungamayang.htm

Pramono D. 2005. Pengelolaan Hama Tebu Secara Terpadu. Volume – 2. Malang (ID): Dioma

(35)

23 BBPPTP. [Internet]. [diunduh 6 Maret 2014]. Tersedia pada: http://ditjenbun.deptan.go.id/bbpptpsurabaya/tinymcpuk/gambar/file/7.%20

FLUKTUATIF%20SERANGAN%20CHILO%20sp%20-%20Kiki%20Erna.pdf

Sallam MS, Allsopp PG. 2002. BSS249 Preparedness for Borer Incursion Chilo Incursion Management Plan Version 1. Queensland (AU): BSES

Soma AG dan Ganeshan S. 1998. Status Of The Sugar Cane Spotted Borer, Chilo saccharifagus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae: Crambinae), In Mauritius Amas dalam Jurnal Food and Agricultural Research Council, Réduit, Mauritius (1998): 111-117

Wijayanti WA. 2008. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) di Pabrik Gula Tjoekir PTPN X, Jombang, Jawa Timur; Studi Kasus Pengaruh Bongkar Ratoon terhadap Peningkatan Produktivitas Tebu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Wirioatmodjo B. 1977. Biologi lalat Jatiroto, Diatraeophaga striatalis Townsend, dan penerapannya dalam pengendalian Penggerek Berkilat, Chilo Auricilius Dudgeon [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Yonow T, Zalucki MP, Sutherst RW, Dominiak BC, Maywald GF, Maelzer DA, Kriticos DJ. 2004. Modelling the population dynamics of the Queensland fruit

fly, Bactrocera (Dacus) tryoni: A cohort-based approach incorporating the effect

of weather. Ecological Modelling. 173:9-30

(36)

24

LAMPIRAN

Lampiran 1 Window komponen dalam model Builder dan modul Lifecycle

(37)

25 Lampiran 3 Hasil kalibrasi model pada Perkebunan Tebu Cinta Manis tahun

tanam 2008 - 2009

Tanggal Populasi Imago Ln

Prediksi Observasi Model +1 Observasi + 1

30/06/2008 938 0 6,84 0,00

(38)

26

Lampiran 5 Prediksi populasi dinamik mingguan hama Chilo sacchariphagus di Perkebunan Tebu Cinta Manis tahun 2015 - 2016

(39)

27 13/3/2016 7479 9945 1647 896

(40)

28

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Siklus hidup hama Penggerek batang tebu bergaris (Chilo
Tabel 1  Persamaan laju perkembangan dan ambang batas bawah suhu
Gambar 2  Curah hujan wilayah Ogan Ilir dari stasiun Sultan Mahmud Badarudin 2
Tabel 2  Persamaan laju perkembangan di atas suhu optimum berdasarkan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan metode problem solving pada setiap tindakan terlepas dari kondisi yang ada di kelas baik itu dari kondisi sekolah

Namun itulah kenyataan yang telah terjadi di 3 (tiga) pesantren besar yaitu Pondok Pesantren Al-Lathifiyah II Tambakberas Jombang, Pondok Pesantren

Perihal : Undangan Pelatihan Fasilitator Tahap II (Provinsi Jawa Tengah I) Program Pamsimas III TA 2016 Dalam rangka meningkatkan kapasitas Fasilitator Senior dan

Silberman (2009: 85) mengungkapkan bahwa model cooperative learning tipe rotating trio exchange merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif bagi siswa

Berdasarkan RIP Unand 2017-2010, Program unggulan penelitian roadmap Unand 2010-2025 peneliti ingin implementasikan kepada penelitian kesehatan yang berhubungan

Meskipun sebagai manusia linuweh, serta menjadi suri tauladan kawula untuk hidup dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, namun sebagai manusia biasa bukan tidak mungkin