MANDAIRIN DE NO KEKKON NO DANDORI” KERTAS KARYA
Dikerjakan O
L E H
NIM : 062203036
AZHARI RIFANDI SIREGAR
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA
BIDANG STUDI BAHASA JEPANG MEDAN
“MANDAIRIN DE NO KEKKON NO DANDORI”
KERTAS KARYA Dikerjakan
O L E H
NIM : 062203036
AZHARI RIFANDI SIREGAR
Pembimbing Pembaca
M Pujiono, S.S.,M.Hum NIP. 132299344
Muhibbah, S.S.
Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA
Disetujui Oleh :
Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra
Univesitas Sumatera Utara Medan
Program Studi D3 Bahasa Jepang Ketua,
Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum. NIP 131662152
PENGESAHAN
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk Melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang
Pada : Tanggal : Hari :
Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
NIP 132098531
Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D.
Panitia :
No Nama Tanda Tangan
1. Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum. ( )
2. M Pujiono, S.S.,M.Hum. ( )
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesikan kertas karya ini, sebagai persyaratan untuk memenuhi ujian akhir Diploma III Program Study Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kertas karya ini berjudul “TATA CARA
PELAKSANAAN PERKAWINAN DI MANDAILING” .
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dimana masih
banyak kekurangan baik dari segi materi maupun penulisan. Sehingga dengan segala kerendahan hati penulis akan menyambut saran dan kritik dari pembaca untuk kearah perbaikan demi kesempurnaan tulisan ini.
Dalam penulisan kertas karya ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
− Bapak Drs. Syaifuddin, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
− Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
− Bapak M. Pujiono, S.S., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan kertas karya ini.
− Ibu Muhibbah, S.S. Selaku Dosen Pembaca yang telah ikut membantu dalam
penulisan kertas karya ini.
− Seluruh Staff pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara
− Teristimewa kepada kedua Orang tua tercinta Ayahanda Faedha Ara Siregar
dan Ibunda Nurmawati Pasaribu, yang telah mencurahkan segala daya dan upaya baik berupa dorongan moril maupun materil selama ini sehingga selesainya Kertas Karya ini.
− Yang tercinta buat semua Kakak dan Abang saya, Desmayani, Wildayani,
Juhendri, Rahmayani, Rizki Hamdani Siregar, yang sudah memberikan
dorongan, semangat dan materi sehingga selesainya perkuliahan dan penyusunan kertas karya ini.
− Buat teman-temanku: Edwin Syahputra, Marini Halimah, Ilmi, Yos Pranata, T
Agri, Noprialdi, Maman Arman, Yafidz Home, Ramadanil Qodri yg mewakili
dari alumni 2005 dan teman-teman Mahasiswa di Fakultas Sastra USU
Terkhusus teman-teman stambuk 2006 dan 2007 Bahasa Jepang.Buat Fadiah “Thanks awfully because already will accompanies me during compile this
DAFTAR ISI
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MANDAILING ... 3
2.1 Letak Geografis ... 3
2.2 Agama ... 4
2.3 Penduduk ... 5
2.4 Mata Pencaharian ...5
BAB III TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINAN DI MANDAILING ... 6
3.1 Acara di Rumah Boru Na Ni Oli ... 6
3.2 Manulek Sere ... 7
3.3 Mangalehen Mangan Pamunan ... ... 9
3.4 Acara Pernikahan ... ... 10
3.4.1. Horja Pabuat Boru ... ... 10
3.4.2. Horja Haroan Boru ... ... 11
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 14
4.1 Kesimpulan ... 14
4.2 Saran ... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Alasan Pemilihan Judul
Di Indonesia terdapat kebudayaan daerah yang beragam. Kebudayaan daerah yang beraneka ragam itu merupakan harta budaya bangsa yang tidak ternilai harganya. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi,
kebudayaan di Indonesia mulai dilupakan. Salah satu kebudayaan itu terdapat di daerah Mandailing.
Di Mandailing terdapat beraneka ragam kebudayaan yang sangat menarik untuk dibahas, seperti adat istiadat pelaksanaan perkawinan, upacara pernikahan, tata cara pelaksanaan pernikahan dan lain-lain. Di dalam tata cara pelaksanaan pernikahan
ada beberapa tahap yang harus dilakukan sebelum upacara pernikahan dilaksanakan, dan tahap – tahap tersebut sangat menarik untuk dibahas.
Dengan alasan diatas, maka penulis tertarik untuk membahas Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Di Mandailing sebagai judul kertas karya ini.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperkenalkan salah satu upacara pernikahan yang ada di Indonesia.
2. Untuk menambah wawasan pembaca dan penulis tentang tata cara pelaksanaan pernikahan yang ada di Mandasiling.
3. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan pernikahan di Mandailing.
1.3
Pembatasan Masalah
Dalam kertas karya ini penulis hanya membahas tentang tata cara pelaksanaan perkawinan di Mandailing, Yaitu Acara di Rumah Boru Na Ni Oli, Manulak Sere,
Mangalehen Mangan Pamunan dan Acara Pernikahan.
1.4
Metode Penulisan
Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan yaitu metode mengumpulkan data atau informasi dengan membaca buku yang berhubungan dengan judul. Selanjutnya data dibahas dan dirangkum untuk kemudian
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MANDAILING
2.1. Letak Geografis
Sebelum Mandailing menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk
Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailling berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam negeri pada tanggal 9 Maret 1999.
Mandaling adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal di tengah pulau Sumatera. Batas – batas Kabupaten Mandailing adalah sebagai
berikut :
1. Di sebelah Utara berbatasan dengan Angkola.
2. Di sebelah Barat berbatasan dengan Pesisir.
3. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Minangkabau.
4. Di sebelah Timur berbatasan dengan Padanglawas.
Masyarakat Mandailing membagi wilayahnya menjadi dua bagian. Kawasan di
bagian utara dan sedikit di barat dinamakan Mandailing Godang, sedangkan dibagian selatan disebut Mandailing Julu. Keadaan tanah Mandailing Godang merupakan kawasan yang dikelilingi gunung-ganung. Di antaranya gunung berapi yang masih
hidup, yaitu Gunung Sorik Marapi yang terletak di perbatasan antara Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Di tengah-tengah gunung-gunung yang terletak di
kemudian hari, dataran itu diolah penduduk menjadi persawahan. Sekarang Mandailing Godang terkenal sebagai penghasil beras utama di Mandailing. Kaki-kaki
gunung dan tanah-tanah yang tidak digunakan untuk persawahan ditanami penduduk dengan getah (karet). Tanah pendesaan dan lingkungan sekitarnya umumnya ditanami
kelapa. Sehingga Mandailing Godang terkenal sebagai sumber kelapa di Mandailing.
2.2. Agama
Orang Mandailing kira-kira 60% menganut agama Islam, 30% agama Kristen,
5% agama Hindu, 4% agama Budha, dan kira-kira 1% masih menyembah Berhala. Oleh karena itulah agama islam sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Bahkan dalam upacara-upacara kematian dan hukum waris
sebagian besar memakai huku m Islam.
Di Mandailing ada falsafah yang menyebutkan Hombar do adat dohot ibadat, yang berarti adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan, adat tidak boleh bertentangan
dengan agama Islam. Jika dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan
pelaksanaan agama, maka adat itu harus dikesampingkan.
2.3. Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing tahun 2007 yakni 417.590 jiwa. Penduduk asli Kabupaten Mandailing terdiri dari dua etnis yaitu masyarakat etnis
Mandailing dan masyarakat etnis Pesisir.
Dalam sistem kehidupan, masyarakat Mandailing menggunakan sistem
Dalihan Na Tolu atau tiga tumpuan. Artinya mereka terdiri dari Mora (kelompok kerabat pemberi anak dara) Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak
Penduduk Mandailing sangat terikat dan percaya dengan susunan dari bawah hingga atas yang berdasarkan dari latar belakang kemasyarakatan. Orang-orang sangat
hormat kepada pendiri silsilah dan jabatan. Daerah Mandailing mempunyai majelis sendiri, pemimpin yang dipilih berdasarkan dari warisan nenek moyang mereka. Pemimpin bertugas memimpin acara-acara tradisional dan mendirikan hukum-hukum
yang berhubungan dengan warisan dan perkawinan.
2.4. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Mandailing yang paling utama adalah bertani
dengan mengolah sawah. Areal persawahan yang paling cukup luas terdapat di Mandailing Godang.
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINAN DI MANDAILING
3.1
Acara di Rumah Boru Na Ni Oli
Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan saling kenal dan saling suka sama suka diharapkan hubungan ini berlanjut ke jenjang perkawinan. Perempuan yang akan masuk ke dalam keluarga laki-laki diharapkan membawa tuah, oleh sebab itu
tata cara perkawinan ini harus sesuai dengan tata cara yang dilakukan sejak nenek moyang.
Dengan ikatan kekeluargaan ini bukan saja menimbulkan dua hubungan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan, namun lebih luas lagi yaitu hubungan kekeluargaan yang bersifat dalihan na tolu (kahanggi, anak boru dan mora).
Mangaririt Boru merupakan sebuah tugas orang tua untuk terlebih dahulu menyelidiki dan menjajaki siapa perempuan itu, apakah kalau mereka datang nanti
untuk meminang akan diterima atau mungkin gadis tersebut sudah menerima pinangan orang lain.
Dalam acara Mangaririt boru ini pihak orang tua laki-laki menjelaskan terlebih
dahulu bahwa anaknya (laki-laki) telah berkenalan dengan anak perempuan mereka. Mangaririt boru biasanya dilakukan oleh orang tua si laki-laki secara langsung, ada
kalanya dengan membawa kahanggi dan anak boru. Setelah itu orang tua perempuan akan meminta waktu untuk menanyakan anaknya apakah ia menerima pinangan itu atau belum menerima pinangan orang lain.
Padamos Hata, merupakan pihak keluarga laki-laki yang akan datang kembali
biasanya dibicarakan tentang hari yang tepat untuk datang meminang secara resmi (patobang hata). Dan membicarakan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
pada waktu pinangan, yaitu tuhor (uang jujur), mas kawin dan perlengkapan-perlengkapan lainnya.
Patobang Hata, merupakan hari yang tepat untuk datang meminang. Dalam
acara ini pihak keluarga laki-laki akan menyampaikan hasratnya dengan kata-kata yang benar-benar menunjukkan kesungguhan dan keinginan yang amat sangat dan
biasanya disampaikan dengan perumpamaan.
3.2
Manulak Sere
Pada waktu acara manulak sere ini semua sanak famili harus lengkap. Pihak keluarga laki-laki berangkat setelah kahanggi, anak boru dan moranya sudah hadir
terlebih dahulu untuk menyampaikan maksud kedatangan ke rumah perempuan untuk manulak sere (mengantar sere).
Dalam proses manulak sere, pihak keluarga laki-laki membawa batang boban yang telah disepakati sebelumnya ke rumah keluarga perempuan. Pada waktu manulak sere, di rumah keluarga perempuan sudah siap menunggu kedatangan
rombongan anakboru yang akan manulak sere.
Rombongan yang datang biasanya selain membawa batang boban, juga
membawa silua (oleh-oleh) berupa indahan tungkus (nasi yang dibungkus) dengan daun serta lauk pauknya dan juga beserta sipulut (ketan) yang sudah dimasak dengan intinya.
mangaririt boru. Walaupun sudah ada pembicaraan sebelumnya dan sudah saling mengetahui, pada saat acara formal ini semua itu dianggap tidak pernah terjadi.
Adapun peralatan manulak sere ini harus disediakan oleh pihak laki-laki pada waktu berangkat menuju rumah pihak perempuan. Peralatan tersebut adalah
1. Pahar, sebagai tempat atau wadah untuk meletakkan semua peralatan dan barang
yang
akan diserahkan.
2. Abit tonun patani (kain adat).
3. Bulung ujung (ujung daun pisang yang dipotong kira-kira selebar pahar). 4. Beras Kuning.
5. Keris. 6. Jagar-jagar.
7. Puntu (sebagai simbol pengikat). 8. Uang logam.
9. Arihir (tali pengikat).
3.3
Mangalehen Mangan Pamunan
Di dalam perkawinan menurut adat mandailing yang menganut sitem
patriarchart, dimana anak perempuan yang akan melangkah ke jenjang perkawinan berarti akan meninggalkan keluarganya dan beralih kepada keluarga calon suami.Oleh
sebab itu sebelum calon pengantin perempuan tersebut diberangkatkan, maka orangtuanya beserta sanak famili akan berkumpul untuk memberi makan anaknya yang disebut mangan pamunan (makan perpisahan).
dan diletakkan di atas tampi yang dialasi dengan ujung daun pisang. Lengkap dengan nasi, telur, udang, ikan, daun ubi (singkong) serta garam, sehingga upacara
mangalehen mangan ini hampir sama dengan mangupa. Bedanya upacara mangalehen mangan ini dengan upacara mangupa adalah makanan yang dihidangkan harus benar –benar dimakan sampai kenyang. Itulah sebabnya upacara mangalehen
mangan ini disebut juga dengan mambutongi mangan yang artinya makan sekenyang-kenyangnya.
3.4
Acara Pernikahan
Pernikahan merupakan suatu persyaratan yang harus dilaksanakan menurut hukum agama (islam). Perkawinan menurut hukum merupakan suatu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan disaksikan oleh sedikit-dikitnya 2
(dua) orang saksi, dimana ijab kabul (aanbodaanname) dikatakan dan mas kawin dipastikannya.
Pada umumnya pernikahan menurut islam adalah bagian dari perkawinan adat seluruhnya. Pernikahan dilangsungkan sebelum calon pengantin wanita (boru na ni oli) dibawa ke rumah calon pengantin pria (bayo pangoli). Meskipun acara
perkawinan dilakukan menurut adat, namun persyaratan perkawinan menurut islam tidak boleh diabaikan.
1.
Horja Pabuat Boru
Perkawinan di Mandailing adalah perkawinan manjujur, pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang atau uang kepada pihak
Akibat manjujur ini maka perempuan tersebut menjadi tetap di dalam lingkungan keluarga suaminya, demikian juga dengan anak-anaknya. Hubungan
dengan keluarganya menjadi putus. Kalau suaminya meninggal, ia akan tetap tinggal dilingkungan keluarga suaminya. Jika ia ingin kawin kembali harus dengan persetujuan keluarga suaminya. Jika ia ingin kembali harus dengan persetujuan
keluarga suaminya.
2.
Horja Haroan Boru
Di pihak boru na ni oli acaranya disebut Pabuat Boru, dan dirumah keluarga
Bayo Pangoli disebut Haroan Boru. Pada saat direncanakan Patobang anak (mengawinkan anak laki-laki), sebelum menetapkan untuk mengadakan Horja Godang (pesta adat) tersebut, pihak keluarga laki-laki (suhut) mengundang sanak famili (keluarga dekat) untuk Marpokat (mufakat). Biasanya di dahului dengan
marpokat sabagas kemudian Marpokat Saripe dilanjutkan Marpokat Sahuta.
Dalam marpokat sahuta, Suhut menjelaskan tujuan melaksanakan horja
godang dan mengharapkan bantuan dari semua pihak agar horja dapat berlangsung dengan baik. Dalam mufakat inilah di tentukan siapa yang ikut rombongan manglap boru, siapa yang menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap urusan konsumsi,
kesenian, undangan dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja.
Setelah acara marpokat tersebut, bayo pangoli dan boru na ni oli sampai di
kampung bayo pagoli di Mandailing Godang. Mereka disambut dengan acara yang disebut mangalo-alo boru.
Pengantin Pria yang datang biasanya jika datang dari jauh (naik kendaraan)
gendang, pencak silat, payung kuning, tombak, pedang serta barisan keluarga penganten laki-laki sampai ke depan pintu.
3.
Mata Ni Horja
Mata Ni Horja merupakan hari pelaksanaan pesta perkawinan yang disebut “hari H”. Pada pagi harinya setelah tamu-tamu mulai berdatangan, uning-uningan (gendang) sudah dibunyikan. Untuk menyambut tamu dibunyikan gong. Raja-raja
yang datang secara bergiliran diundang untuk manortor. Setelah selesai acara manortor, raja-raja, seluruh tamu-tamu harajoan diundang ke pantar bolak paradaton
untuk markobar adat (sidang adat).
Setelah selesai markobar adat, sebelum penganten diupah-upah dan diberi gelar, diadakan acara marudur (arak-arakan) untuk melakukan acara marpangir (berlangir) kedua mempelai. Pengantin diarak ke tapian raja bangunan yang artinya
membawa pengantin ke tepian untuk mandi (tapian rarangan). Mandi dan berlangir mempunyai tujuan untuk menghanyutkan habujingan (masa gadis) dan haposoan
(masa anak muda). Jarak antara rumah dan tempat acara marpangir tersebut biasanya kira-kira berjarak 300m dari rumah, dan disesuaikan dengan kemampuan pengantin untuk berjalan.
Bahan yang diperlukan untuk mandi tersebut adalah pangir yang disediakan di dalam cambung (mangkok nasi). Pangir tersebut adalah jeruk purut yang sudah
dipotong-potong, dan air.
Kemudian akan dilanjutkan dengan Mangalehen gorar (memberi gelar adat), yang artinya memberi gelar untuk kedua pengantin telah melepaskan masa mudanya
Setelah itu dilanjutkan acara Mangupa yang merupakan acara puncak dari segala acara dari upacara perkawinan. Mangupa diartikan ungkapan kegembiraan,
karena sesuatu yang diharapkan itu telah terwujud. Tujuan mangupa ini adalah agar tondi yang di upa selalu dalam perlindungan. Pelaksanaan mangupa di adakan setelah Manggoar (manabalkan nama). Tujuannya agar nama yang diberikan tersebut
diterima tondi dohot badan kedua penganten.
Setelah Mangupa dilaksanakan, maka selesai seluruh rangkaian upacara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Acara di rumah Boru Na Ni Oli merupakan acara meminang seorang anak
perempuan,
2. Manulak Sere merupakan acara untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan serta membawa sebuah batang boban.
3. Sebelum calon pengantin perempuan diberangkatkan, maka orang tua beserta sanak family berkumpul untuk memberi makan terakhir kali
kepada calon pengantin perempuan.
4.2 Saran
Adat istiadat (budaya) Mandailing yang mempunyai nilai-nilai luhur yang ada di dalam masyarakat haruslah dipertahankan dan dilestarikan. Karena adat adalah suatu nilai yang hidup ditengah masyarakat, sehingga nilai-nilai itu harus terus
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman.
Forkala Sumut. Medan.
Hasil Musyawarah Adat Persadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna. 1993. Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. Padang Sidempuan.