• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

”MINAMI SULAWESI NO MAKASARUZOKU NO KEKKON

SHIKI”

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O L E H

ONI UTAMI DAMANIK NIM : 042230449

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA

BUDAYA

(2)

”MINAMI SULAWESI NO MAKASARUZOKU NO KEKKON

SHIKI”

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O L E H

ONI UTAMI DAMANIK NIM : 042230449

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

Drs. Nandi. S Adriana Hasibuan, SS., M.Hum

Nip. 131 763 366 131 662 152

Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian

Program Pendidikan Non- Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III

Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA

BUDAYA

MEDAN

(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D3 Bahasa Jepang

Ketua

Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum

Nip 131 662 152

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. NIP 132 098 531

Panitia

No. Nama Tanda Tangan

1... (...) 2... (...)

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penulisan... 1

1.3. Ruang Lingkup... 1

1.4. Metode Penulisan ... 2

BAB II GAMBARAN UMUM SULAWESI SELATAN ... 3

2.1. Lokasi dan Lingkungan Alam... 3

2.2. Penduduk... 3

2.3. Sistem Religi ... 4

BAB III UPACARA PERKAWINAN SUKU MAKASAR di SULAWESI SELATAN... 5

3.1. Adat Sebelum Perkawinan ... 5

3.1.1. Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh ... 5

3.1.2. Bentuk-bentuk Perkawinan ... 7

3.1.3. Syarat-syarat Perkawinan... 7

3.1.4. Umur Kawin... 7

3.2. Upacara Perkawinan ... 8

3.2.1. Upacara Sebelum perkawinan... 9

3.2.2. Upacara Perkawinan ... 10

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 14

4.2. Kesimpulan ... 14

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayahnyalah penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya yang berjudul “Upacara Perkawinan Suku Makasar di Sulawesi Selatan”.

Kertas karya ini diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan penyelesaian Program Diploma DIII Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penulisan kertas karya ini, penulis menyadari bahwa ada kekurangan dan kelemahan baik dari segi penyajian kalimat, penguraian materi, dan pembahasan masalah. Oleh karena itu segala saran dan kritik dari semua pihak yang membaca karya ilmiah ini penulis menerima dengan senang hati demi kesempurnaannya.

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Program DIII Bahasa Jepang Fakultas Sastra universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Nandi. S, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu dalam penyelesaian kertas karya ini.

4. Ibu Adriana Hasibuan S.S., M.Hum, selaku Dosen pembaca 5. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Wali.

6. Seluruh Staff Pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Smatera Utara.

7. Teristimewa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda A. Damanik, dan Mama H. Gultom tercinta.

8. Terima kasih kepada my sister: Kak Nani, Kak Nety, Kak Ena, Kak Rini and my brother Wawan.

(7)

10.Terima kasih kepada Fajar yang telah banyak membantu mengantar Oni.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga kertas karya ini berguna bagi kita semua, demi memperluas cakrawala pemikiran kita di masa depan

Medan, September 2007 Penulis

(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perkawinan merupakan sebuah cara untuk membina sebuah keluarga. Melalui perkawinan dan insan yang berlainan jenis akan bersatu dalam sebuah ikatan yang bernama rumah tanga. Dalam kebudayaan dunia proses perkawinan hampir tak dapat dipisahkan dari upacara perkawinan. Setiap suku bangsa di dunia mempunyai upavara perkawinan yang berbeda tergantung adat istiadatnya masing-masing.

Di Indonesia, terdapat upacara perkawinan yang berbeda. Karena Indonesia merupakan sebuah Negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, maka wajar saja jika ada perbedaan dalam setiap pacara yang adadi tiap daerah. Seperti upacara perkawinan Suku Makasar yang ada di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Dalam tulisan ini penulis ingin membahas tentang ”Upacara Perkawinan Suku Makasar”. Penulis merasa tertarik karena upacara perkawinan merupakan sebuah warisan kebudayaan yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Makasar pada khususnya.

1.2. Tujuan Penulisan

Penulisan kertas karya yang berjudul ”Upacara Perkawinan suku Makasar di Sulawesi Selatan” ini bertujuan untuk :

1. Agar penulis dan pembaca mengetahui proses upacara perkawinan suku Makasar di Sulawesi Selatan.

2. Menginventarisir salah satu nilai kebudayaan yang ada di Sulawesi Selatan pada khususnya dan di Indonesia pada Umumnya.

1.3 Batasan masalah

Sulawesi Selatan sebagai sebuah provinsi mempunyai empat buah suku yang dominan. Keempat suku itu adalah

1.Suku Makasar yang mendiami daerah kabupaten Gowa 2.Suku Bugis yang mendiami daerah kabupaten Wjo.

(9)

4.Suku Toraja yang mendiami daerah kabupaten Tana toraja.

Dalam penulisan kertas karya ini penulis hanya membatasi pembahasan pada suku Makasar yang mendiami daerah kabupaten Gowa.

1.4 Metode Penulisan

(10)

BAB II

GAMBARAN UMUM SULAWESI SELATAN

2.1 Lokasi dan Lingkungan Alam

Kabupaten Gowa terletak di sebelah selatan Kotamadya Ujung Pandang. Ibukota Kabupaten Gowa adalah Sungguminasa terletak kurang lebih sebelas daerah Kotamdya Unjung Pandang, Kabupaten Bone, Kabupaten Takalar, kabupaten Jeneponto, Kabupaten Bantaeng, dan Kabupaten Sinjai.

Luas daerah ini adalah 195.877 km2 yang terdiri dari delapan buah kecamatan yaitu :

1.Kecamatan Somba Opu 2.Kecamatan Palangga 3.Kecamatan Bajeng 4.Kecamatan Bontonompo 5.Kecamatan Tinggimoncong 6.Kecamatan Bontomarannu 7.Kecamatan Tompobulu 8.Kecamatan Parangloe

Kecamatan-kecamatan tersebut seluruhnya terdiri dari 48 buah desa.

2.2 Penduduk

(11)

2.3. Sistem religi

Pada umumnya penduduk Maksar adalah penganut agama Islam yang taat. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari dapat juga dijumpai ”Kassipali” atau larangan-larangan dan perbuatan-perbuatan yang berbau magis.

(12)

BAB III

UPACARA PERKAWINAN SUKU MAKASAR DI SULAWESI SELATAN

3.1 Adat sebelum Perkawinan

Dalam kehidupan suku Makasar ada ungkapan yang berbunyi ”Tenapa

Namgunnase’re tau punna nasi tutuk ulunna salanganna” yang berarti seseorang

belum sempurna jikalau kepalanya belum berhubungan dengan bahunya. Arti dari ungkapan itu adalah manusia, menurut suku Makasar, baru dapat dikatakan sempurna jika mengikat sebuah hubungan rumahtangga. Begitu tingginya makna perkawinan menurut masyarakat suku Makasar hingga diibaratkan suami sebagai kepala dan isteri sebagai bahu.

Perkawinan mempunyai arti penting karena perkawinan adalah suatu cara untuk melanjutkan keturunan yang didasari dengan cinta kasih. Perkawinan juga membina hubungan yang erat antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain, antara suku dengan suku yang lain, dan bangsa dengan bangsa yang lain.

3.1.1.Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh

Proses perkawinan dengan berbagai macam pelaksanaanya didalam masyarakat merupakan hal yang mendapat perhatian yang sangat penting di dalam keluarga. Oleh sebab itu maka sewajarnyalah seseorang yang akan memilih jodoh dan orangtua yang memilihkan jodoh untuk anaknya mempertimbangkan masak-masak tentang pasangan anaknya. Pertimbangan itu bertujuan agar sang anak memperoleh kehidupan berkeluarga yang bahagia.

Pertimbangan lain dalam mencari jodoh adalah masalah kesepadanan (dalam bahasa Makasar ”Kasiratangang”. Dalam kedudukan sosial,

kasiratanggang adalah hubungan yang sejajar dan sepadan yang tidak akan

menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Dalam pandangan suku Makasar perkawinan yang ideal adalah perkawinan dalam lingkungan kerabat utamanya dalam kerabat yang berada dalam garis orizontal sebagai berikut :

1. Perkawinan antara Sampo Sikali (sepupu sekali) hubungan perkawinan

(13)

disebut siallenang baji’na (perjodohan yang paling baik)

2. Perkawinan antara Sampo Pinruang (sepupu dua kali) hubungan

perkawinan ini disebut Nipassikaluki

3. Perkawinan antara Sampo Pintalung (sepupu tiga kali) dan seterusnya.

Hubungan perkawian ini disebut Nipakamani Bellaya (yang jauh didekatkan)

Dalam adat Makasar perkawinan kerabat yang berada dalam lingkungan garis kekerabatan secara vertikal pun diperbolehkan. Tetapi ini bukanlah merupakan suatu perkawinan yang ideal. Perkawinan antara paman dan kemenakan, perkawinan antara bibi dan kemenakan bukanlah sebuah perkawinan yang ideal karena adanya hubungan vertikal ke atas dan ke bawah.

Ada juga perkawinan yang disebut dengan salimarak. Salimarak merupakan sebuah perkawinan yang tidak wajar karena salimarak adalah hubungan perkawinan yang terjadi dalam lingkungan kekerabatan yang masih mempunyai pertalian darah yang sangat dekat. Dalam istilah antropolgi Salimarak disebut ”incest”.

Perkawinan itu dilarang apabila terjadi dengan : - Ibu Kandung

- Bapak kandung

- Ibu dari ibu kandung (nenek) - Bapak dari bapak kandung (kakek) - Anak laki-laki atau perempuan

- Saudara baik laki-laki maupun perempuan - Saudara dari ibu

- Anak saudara - Cucu saudara - Ibu tiri - Bapak tiri

(14)

Pada zaman dahulu apabila terjadi perkawinan dalam golongan yang disebut di atas, pelakunya dihukum Niladung. Keduanya ditenggelamkan ke dalam air dengan tubuh diikat ke batu yang besar agar tenggelam.

3.1.2.Bentuk-bentuk Perkawinan a. Perkawinan dengan Peminangan

Bentuk perkawinan dengan peminangan ini berlaku umum bagi seluruh anggota masyarakat. Cara perkawinan melalui peminangan merupakan suatu cara adat untuk menjamin terciptanya sebuah keluarga yang diterima umum dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

b. Perkawinan dengan “Annayala”

Annyala berarti berbuat salah. Dalam hal ini berbuat salah terhadap adat

perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lari. Sebab umum terjadinya annyala adalah karena yang bersangkutan tidak dapat melakukan syarat-syarat perkawinan menurut adat. Dan jalan keluar baginya adalah melakukan perkawinan-perkawinan di luar tata cara perkawinan-perkawinan perkawinan-perkawinan adat dengan cara annyala.

3.1.3.Syarat-syarat Kawin

Persyaratan bagi orang yang akan menikah lebih banyak dikenakan kepada pihak laki-laki. Seorang laki-laki yang akan menikah selain persiapan yang berupa materi, ia harus pula melengkapi diri dengan pengetahuan-pengetahuan tentang hubungan kerumahtanggaan. Seorang lelaki sedapat mungkin dapat menjaga keselamatan keluarga yang akan dibangunnya sehingga dapat meenjauhkan rumah tangga mereka dari berbagai masalah. Ada baiknya seorang lelaki yang akan berumahtangga belajar dari pengalaman orang-orang yang keadaan rumahtangganya sejahtera.

3.1.4.Umur Kawin

(15)

laki-laki kurang lebih 17 tahun. Namun dewasa ini dengan adanya undang-undang perkawinan maka usia perkawinan sudah ditentukan.

3.2.Upacara Perkawinan 3.2.1.Upacara Sebelum Kawin

Sebelum upacara perkawinan dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan acara peminangan. Ada beberapa fase yang dilalui dalam acara peminangan. Dimulai dengan Accini’rorong artinya melihat atau mencari jalan sebagai penyelidik. Usaha semacam ini dilakukan untuk mengetahuai secara rahasia tentang kemungkinan pihak laki-laki mengajukan pada gadis yang dipilihnya.

Usaha penyelidikan juga bermaksud untuk mengetahui tentang sifat-sifat, tingkah laku, budi bahasa dan sebagainya dari si gadis.

Jika utusan dari pihak laki-laki diterima oleh pihak perempuan maka terjadilah pembicaraan tentang maksud kedatangan dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Pihak keluarga perempuan pun mendengar dan mempertimbangkan kemauan dari pihak laki-laki. Apabila maksud lamaran dari pihak laki-laki diterima, maka diadakanlah acara ”Mange Asuro”.

”Mange Asuro” berarti pergi meminang. Setelah hari peminangan ditentukan pada saat” Accini rorong”, pihak perempuan menunggu kedatangan pihak laki-laki. Jumalah utusan pada saat ”Mange Asuro” lebih banyak dari

”Accining rorong”. Dalam pertemuan ini sebagai pembuka acara, salah seorang

anggota utusan membuka sirih pinang yang dibawanya sebagai tanda perundingan dengan resmi akan dimulai.

Pimpinan utusan kemudian menyampaikan salam hormat dari orangtua pihak laki-laki dan kemudian menyampaikan maksud kedatangannya. Maka terjadilah perundingan. Apabila terjadi kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan maka hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan dapat ditentukan atau disebut juga ”Appa’nasa”.

(16)

Sunrang ialah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang dikawininya. Sunrang dapat berupa uang maupun barang.

b. Do E’ balanja

Do’E balanja juga berarti uang belanja. Besarnya uang belanja ini

tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Selain uang belanja ada juga yang disebut dengan ”cingkara” yaitu pemberian hadiah dari keduabelah pihak kepada bakal menantu masing-masing. Biasanya hadiah itu berupa perhiasan emas.

”Cingkara” akan mejadi harta bawaan bagi kedua orang suami istri.

3.2.1.1. Upacara Appanai Leko Caddi (menaikkan sirih kecil)

Pihak laki-laki yang sedang mengundang sanak keluarganya kemudian pergi bersama-sama ke rumah pihak keluarga perempuan untuk mengantarkan

”loko caddi” (sirih kecil). Pihak perempuan pun mengundang sanak keluarganya

untuk bersama-sama menantikan tamunya dalam rangka peresmian waktu perkawinan. Selain keluarga keduabelah pihak hadir pula dalam acara ini penghulu adat untuk menyaksikan peresmian tersebut.

” Leko caddi” dibawa oleh pihak laki-laki. Yang membawa leko caddi terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berpakaian adat lengkap. Biasanya acara

loke caddi sering digandengkan dengan membawa ” Cincing Passikok” (cincin

pengikat) dan uang belanja.

Setelah fase-fase peminangan dilalui dan kedua belah pihak telah sepakat tentang penentuan waktu perkawinan, maka dimulailah acara ”Abbarita” (penyampaian berita). Pada acara ini keluarga dari kedua belah pihak lalu mendatangi seluruh sanak saudara dan memberitahukan rencana perkawinan yang akan dilaksanakan.

3.2.1.2. Upacara Appanai Leko Lompo (upacara menaikkan sirih besar) Tujuh atau tiga hari sebelum hari perkawinan ”leko lompo” (sirih besar) diantarkan dari rumah pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan.

Dalam acara ini barang yang diantar adalah :

(17)

b. Gula merah beberapa biji, beberapa tandan kelapa, beberapa tandan pisang, beberapa buah nanas, jeruk dan , beberapa jenis buah-buahan lain yang dibawa dalam usungan anyaman bambu yang berbentuk segi empat.

c. Berbagai macam kue tradisional seperti lobo, kue bugis, kue lapis dan bermacam kue lainnya.

Setiap usungan dibawa oleh seorng yang berpakaian adat. Yang besar dan berat dibawa oleh laki-laki dan yang ringan biasanya dibawa oleh perempuan. Arak-arakan sirih pinang ini di meriahkan oleh bunyi-bunyian yang terdiri dari gandrang, gong, dan pui-pui. Dewasa ini di samping bunyi-bunyian tersebut dimeriahkan pula oleh musik.

Setibanya di rumah pengantin perempuan, seseorang sebagai pemimpin pihak laki-laki menyerahkan secara resmi segala antara yang diterima pihak perempuan. Selanjutnya ditentukanlah waktu kedatangan pihak laki-laki untuk menikahi pihak perempuan secara resmi.

Selesai dijamu, pihak keluarga laki minta diri. Sebelum pihak laki-laki pulang, pihak perempuan menyerahkan antara balasan isinya adalah perlengkapan untuk pengantin laki-laki sebagai imbalan barang yang telah diterimanya.

Tiga hari sebelum upacara perkawinan calon mempelai laki-laki atau perempuan melakukan upacara ”abarumbung” (mandi uap). Upacara ini bertujuan agar pengantin mempunyai kondisi fisik yang prima pada saat upacara perkawinan. Selain mandi uap, kedua calom pengantin melakukan upacara ”akkorongtigi” yaitu memberi warna merah pada kuku calon pengantin dengan ramuan daun pacar.

3.2.2. Upacara Perkawinan

Pengantin laki-laki yang telah didandani dan dilengkapi dengan pakaian pengantin diarak kerumah pengantin wanita. Arak-arakan disebut dengan ”Naik

kalenna”. Pengiring arak-arakan terdiri dari orang-orang yang dianggap

(18)

Dahulu pengantin dan pengapitnya di usung dan diiringi dengan segala alat kehormatan menurut adat seperti payung tinggi, tombak pusaka, dan lebih dimeriahkan dengan bunyi-bunyian gendrang, gong dan sebagainya.

Dibawa juga mas kawin (sunrang) yang sudah tertentu dimasukkan ke dalam kampu yang dibungkus kain putih dan dibawa oleh orang tua yang berpakaian adat. Isi kampu disebut dengan ”loro sunrang” yang terdiri dari beras segemgam, kunyit setangkai, sumbel supaya banyak anak, jahe, pala, kemiri, dan kayu manis.

Menjelang rumah pengantin perempuan arak-arakan disambut dengan pihak keluarga perempuan yang telah berpakaian adat. Rumah pengantin juga dimeriahkan dengan bunyi-bunyian yang serupa. Setelah sampai dimuka tangga dan pada saat bunyi ganrang tunrung pakanjara (pukulan gendang yang sangat bersemangat) selesai, keluarlah seorang perempuan yang agak tua didepan pintu lalu memanggil pengantin dengan susunan kata tertentu yang disebut dengan pak

kiyo’ bunting sambil menghamburkan beras.

Setelah selesai pengucapan Pak kiyo’bunting, maka naiklah pengantin laki-laki dan penggiringnya kemudian dipersilahkan duduk ditempat yang disediakan. Di rumah pengantin wanita telah hadir imam atau khadi serta sanak keluarga pengantin perempuan yang telah menanti kehadiran pengantin laki-laki. Lalu dilangsungkanlah acara ijab kabul (janji pernikahan) oleh wali pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. Sesaat setelah janji pernikahan diucapkan, diadakanlah pertemuan antara pengantin laki-laki menuju kamar pengantin perempun yang diantar orang-orang tertentu yang dianggap bertuah dalam kehidupan berumah tangga.

(19)

Upacara-Upacara sesudah Akad Nikah

Pengantin laki-laki dan beberapa penggiringnya menginap semalam atau tiga malam di rumah pengantin perempuan. Keesokan harinya menjelang tengah hari diadakanlah upacara mandi yang disebut dengan aje’neje’ne’. Pada saat ini pengantin dan seluruh orang yang berada di dalam rumah bermain siram-siraman tanpa memperhatikan basahnya seluruh pakaian dan seluruh isi rumah.

Setelah pengantin laki-laki bermalam di rumah pengantin perempuan maka diaraklah sepasang pengantin baru itu kerumah pengantin laki-laki yang disebut dengan nilekka.

Sewaktu arak-arakan tiba di muka tangga rumah pengantin laki-laki turunlah kerabat dekat atau ibu pengantin untuk menjemput menantunya (pengantin perempuan) dan diajaklah pengantin naik. Sesampainya di dalam rumah lalu pengantin didudukkan pada tempat yang telah disediakan di mana tamu-tamu berdatangan untuk menyaksikan pasangan pengantin yang sedang berbahagia.

Semalam atau beberapa malam pengantin perempuan di rumah mertuanya, ia memohon diri untuk kembali ke rumahnya. Pengantin perempuan lalu menyerahkan lipak (sarung tenun) kepada pihak kerabat pengantin laki-laki.

Setelah pengantin kembali ke rumahnya maka diadakanlah acara makan bersama yang disebut dengan nipak bajikang. Makanan yang disungguhkan diantaranya adalah songkolokna palopo yaitu ketan yang dimasak kemudian ditaruh sedikit serikaya. Makanan ini bermakna supaya kehidupan rumah tangga pengantin kelak manis, rukun, dan damai.

Upacar nipak bajikang ini diadakan karena dulu antara pengantin laki-laki

dan perempuan tidak saling mengenal maka dalam acara inilah pengantin mulai dapat mengenal pasangannya lebih jauh.

Dengan berakhirnya acara nipak bajikang maka berakhir pulalah upacara perkawinan secara resmi.

3.3. Adat Sesudah Perkawinan

(20)

mereka sebagai tanda kecintaan. Tetapi biasanya para pengantin baru berusaha untuk menghidupi keluarga baru mereka.

Dalam hubungan adat menetap sesudah kawin pada masyarakat Makasar juga tidak dapat dipisahkan dari sistem kekerabatan mereka.

(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Dari pembahasan penulis tentang upacara perkawinan suku Makasar di sulawesi Selatan maka dapat diambil kesimpulan :

1. Upacara perkawinan suku Makasar yang meliputi adat sebelum perkawinan dan upacara perkawinan mempunyai ciri khas sendiri yang tidak di jumpai pada suku lain di Indonesia.

2. Karena penduduk suku Makasar pada umumnya memeluk agama islam maka nuansa Isalm sangat kental dalam pelaksanaan perkawinan, perceraian, dan pembagian warisan.

4.2. Saran

Melalui kertas karya ini penulis menyarankan kepada pembaca agar memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral. Perkawinan melibatkan unsur masyarakat, agama, dan adat. Dengan menjaga ikatan perkawinan berarti ikut menjaga nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, agama dan adat.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat dan Upacara

Perkawinan

Daerah Sulawesi Selatan/proyek penelitian dan pencatatan Budaya Daerah,

Sulawesi Selatan : Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Taruguchi Goro; Kamus Standar Bahasa Indonesia Jepang

Zubeirsyah., Lubis, Nurhayati. 1995. Bahasa Indonesia dan Teknik Penyusunan

Karangan Ilmiah. Medan : USU Press

Referensi

Dokumen terkait

Sah atau tidaknya suatu perkawinan, baik yang umum (satu laki-laki dewasa dengan satu perempuan dewasa) atau yang khusus (satu laki-laki dewasa dengan lebih dari satu

lahir batin antara individu yang disebut laki-laki dan perempuan tetapi perkawinan itu dibingkai juga dalam hubungan dengan Tuhan dan tradisi atau hukum positif

Akan tetapi perkawinan orang bugis terdapat semacam norma kesepakatan dengan pemberian sanksi atas pernikahan seorang lelaki dengan perempuan yang berstatus lebih rendah namun

7 Secara sederhana, Perkawinan Nyentana ini mengarah pada sistem kekeluargaan matrilineal karena kedudukan laki-laki (suami) akan masuk ke dalam keluarga perempuan

Semestinya dari keterangan tersebut pihak pelaku usaha/produsen memberikan informasi kepada konsumen bahwa apabila perempuan WNI yang terikat perkawinan sah dengan laki-laki

Tesis ini berjudul “EKSISTENSI UANG PANAI’ TERHADAP STATUS SOSIAL LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM TRADISI PERKAWINAN MASYARAKAT BUGIS (Studi Kasus, di Desa Tompo Kecamatan

Islam mengenai perkawinan beda agama. Dalam KHI ditetapkan bahwa seorang laki-laki yang beragama Islam. dilarang menikah dengan perempuan dengan salah satu dari tiga

Akibat hukum dari perkawinan beda agama di sini adalah apabila perkawinan beda agama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yang tidak beragama Islam,