• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda (Studi Pada Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kab. Aceh Barat Daya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda (Studi Pada Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kab. Aceh Barat Daya)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA

(Studi Pada Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kab. Aceh Barat Daya)

DISUSUN O L E H

050903053 R I F Y A L

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : R I F Y A L NIM : 050903053

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda

Medan, Juni 2009

Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.

NIP : 131 570 480 NIP : 131 568 391

Prof.Dr. Marlon Sihombing, M.A.

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

NIP : 131 757 010

(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah menganugerahkan

segala rahmat dan petunjuk-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda”

ini dengan baik.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan

bimbingan, baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini juga

dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang turut mengambil dalam membatu peneliti

menyelesaikan laporan ini, mulai dari pengarahan di kampus sampai praktek sesungguhnya

di lapangan kepada:

1. Bapak Prof. DR. Muhammad Arif Nasution, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara, Prof. DR. Marlon Sihombing,

MA. yang telah memberikan rekomendasi serta pembekalan untuk menyelesaikan

skripsi ini.

3. Bapak Drs. Rasudyn Ginting, M. Si. selaku dosen pembimbing yang penuh

kesabaran dan perhatian membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Teristimewa kepada orang tua penulis ayahanda dan ibunda tercinta Ikhawan Hanif

dan Aja Sumarni beserta kakek Hanifuddin Ali dan (alm) nenek ..., adikku Irfan,

cepat tamat dek !!, adikku Putri Mulyasari yang manis, rajin-rajin belajar dan baca

(4)

itam, Abangku Affif Herman, Adikku Saifta Herman yang manis, Adikku Riza

Herman dan seluruh keluarga yang telah membantu terutama dari segi materi, doa

dan motivasi.

5. Abangda Safaruddin, S. Sos. atas segala motivasi dan dukungan sehingga saya bisa

menyelesaikan kuliah ini.

6. Abangda Rajab Polpoke, S. Sos. ....he..he...cepat nikah bang...!!!.

7. Staf pengajar Departemen Ilmu Administrasi Negara yang telah banyak

memberikan ilmu dan pengetahuannya selama ini kepada penulis.

8. Kak Mega, Kak Emi dan Kak Dian yang telah membantu penulis dalam mengurus

segala keperluan administrasi dan memberikan segala informasi-informasi dari

departemen.

9. Teman-teman magang kelompok 8, Rati, Santi, Ainun, Aci, Pengki, Soleman,

Hajali, terima kasih atas kerjasama dan batuannya selama ini.

10.Kepada sohib-sohibQ Isan Cek Wen, Yudi R, Darmi, Mukhsin, Tanjil, dan lain-lain.

11.Teman-teman stambuk 2005 yang telah bersama-sama selama 4 tahun di FISIP

USU ini. Terima kasih kalian telah memberi warna dalam hidupku.

12.Kepada keluarga besar FKPPM-ABDYA. Lely, Bg Is, Firdaus, Avien, Kak Nova,

dan yang lainnya yang telah mengikutkan sertakan penulis dalam berbagai

kegiatan-kegiatanya, dan memberikan penulis pengalaman-pengalaman baru yang sangat

bermanfaat bagi penulis.

13.Kepada seluruh pihak yang mungkin tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu,

yang telah banyak menuangkan ide yang bersifat membangun selama pembuatan

(5)

Seperti kata pepatah “Tak Ada Gading yang Tak Retak”, demikian pula halnya

dengan skripsi ini, tentu ada kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, dengan tangan

terbuka penulis menerima saran-saran yang konstruktif dan solutif dari pembaca sekalian.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2009

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

3. Pembangunan Desa dan pemberdayaan Masyarakat ... 16

4. Pembentukan Desa ... 23

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 36

A. Sejarah Singakat Nama Desa ... 36

B. Letak Geografis ... 36

C. Sarana dan Prasarana ... 37

(7)

E. Sumber-sumber air bersih ... 38

F. Potensi Ekonomi ... 38

1. Mata Pencaharian ... 38

2. Sumber-sumber Mata Pencaharian Pokok ... 39

3. Jenis Mata Pencaharian dan Perlengkapan yang digunakan ... 40

G. Potensi Sumber Daya Alam ... 41

H. Sosial Budaya ... 41

I. Gambaran Umum Dusun IV Alue Tengku Muda ... 42

BAB IV PENYAJIAN DATA ... 47

A. Hasil Penelitian ... 47

B. Pelaksanaan Wawancara ... 47

C. Pedoman Administratif ... 48

D. Kondisi Fisik Kewilayahan. ... 49

E. Hasil Wawancara ... 51

BAB V ANALISIS DATA ... 59

A. Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menuju Pembentukan Menjadi Desa ... 59

B. Analisis SWOT ... 65

1. Kondisi Internal ... 66

2. Kondisi Eksternal ... 67

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(8)

ABSTRAKSI

KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA

NAMA : Rifyal

NIM : 050903053

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Pembimbing : Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.

Sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat tentang perubahan di era reformasi, maka sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 ini, pemerintah telah melakukan perubahan-perubahan penting dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan mengejawantahkannya dalam rangka peningkatan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Tuntutan perubahan itu tidak hanya pada tataran nasional, tapi juga merambah ke tataran daerah. Dalam hal ini aspirasi yang disuarakan untuk perubahan itu terkait pembangunan yang selama orde baru dijalankan secara terpusat. Maka diadakanlah revisi-revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur hubungan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Salah satu lokus yang mendapat perhatian penting adalah desa, yang selama orde baru teralienasi perannya dalam pemberdayaan dan pembangunan. Desa dengan masyarakatnya yang seharusnya dinamis di masa orde baru berada dalam kondisi yang distatiskan, tidak berkembang, bahkan musnah nilai-nilai otonominya. Seiring dengan tuntutan perubahan, akhirnya desa telah dikembalikan keaslian otonominya oleh pemerintah pusat. Mulai dari keaslian namanya sesuai dengan asal daerah dan budaya masyarakat setempat, hingga pada pola dan struktur kepemerintahannya.

Tentang perubahan tersebut telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan Permendagri No 28 Tahun 2006. pada ketiga perundangan tersebut telah termuat secara gamblang tentang desa yang sudah ada dari awalnya, hingga pada desa hasil pembentukan atau pemekaran. Di dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tersebut telah disebutkan tentang syarat-syarat pembentukan desa baru. Keseluruhan produk hukum yang ada, yang mengatur tentang desa, tentu bertujuan untuk mempercepat proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang adil dan merata kepada masyarakat.

(9)

Informan penelitian ini berjumlah 4 orang, yang terdiri dari: Bapak Camat Jeumpa, Kepala Desa Alue Sungai Pinang, Kepala Dusun IV Alue Tengku Muda, dan Satu Orang Panitia Pembentukan Desa. Pengambilan sampel secara purposive sampling. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara substansi latar belakang keinginan masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda membentuk desa baru adalah ketidakadilan pembangunan. Sedangkan kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi desa belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembentukan desa sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006.

(10)

ABSTRAKSI

KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA

NAMA : Rifyal

NIM : 050903053

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Pembimbing : Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.

Sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat tentang perubahan di era reformasi, maka sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 ini, pemerintah telah melakukan perubahan-perubahan penting dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan mengejawantahkannya dalam rangka peningkatan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Tuntutan perubahan itu tidak hanya pada tataran nasional, tapi juga merambah ke tataran daerah. Dalam hal ini aspirasi yang disuarakan untuk perubahan itu terkait pembangunan yang selama orde baru dijalankan secara terpusat. Maka diadakanlah revisi-revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur hubungan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Salah satu lokus yang mendapat perhatian penting adalah desa, yang selama orde baru teralienasi perannya dalam pemberdayaan dan pembangunan. Desa dengan masyarakatnya yang seharusnya dinamis di masa orde baru berada dalam kondisi yang distatiskan, tidak berkembang, bahkan musnah nilai-nilai otonominya. Seiring dengan tuntutan perubahan, akhirnya desa telah dikembalikan keaslian otonominya oleh pemerintah pusat. Mulai dari keaslian namanya sesuai dengan asal daerah dan budaya masyarakat setempat, hingga pada pola dan struktur kepemerintahannya.

Tentang perubahan tersebut telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan Permendagri No 28 Tahun 2006. pada ketiga perundangan tersebut telah termuat secara gamblang tentang desa yang sudah ada dari awalnya, hingga pada desa hasil pembentukan atau pemekaran. Di dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tersebut telah disebutkan tentang syarat-syarat pembentukan desa baru. Keseluruhan produk hukum yang ada, yang mengatur tentang desa, tentu bertujuan untuk mempercepat proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang adil dan merata kepada masyarakat.

(11)

Informan penelitian ini berjumlah 4 orang, yang terdiri dari: Bapak Camat Jeumpa, Kepala Desa Alue Sungai Pinang, Kepala Dusun IV Alue Tengku Muda, dan Satu Orang Panitia Pembentukan Desa. Pengambilan sampel secara purposive sampling. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara substansi latar belakang keinginan masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda membentuk desa baru adalah ketidakadilan pembangunan. Sedangkan kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi desa belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembentukan desa sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006.

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transisi politik yang terjadi di Indonesia, sejak berakhirnya kekuasaan Soeharto

pada bulan bulan Mei 1998, menghasilkan dua proses politik yang berjalan secara simultan:

desentralisasi dan demokratisasi. Kedua proses politik itu terlihat jelas dalam pergeseran

format pengaturan politik di taraf lokal maupun nasional, dari pengaturan politik yang

bersifat otoritarian-sentralistik menjadi lebih demokratis-desentralistik (Dwipayana dan

Sutoro Eko, 2003:v)

Desentralisasi dianggap penting karena setidaknya telah mengubah pola relasi

kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang selama ini terpusat di

pusaran elit yang berada di Jakarta. Desentralisasi menghadirkan pola kebijakan bottom-up

yang selama ini bersifat top-down. Sedangkan hadirnya demokratisasi telah merubah

paradigma pola kekuasaan yang selama ini dimiliki secara penuh oleh birokrat, beralih

kepada kekuasaan yang “diperebutkan” secara konstitutif oleh partai-partai yang hadir

berdasarkan kemerdekaan hak asasi warga Negara Indonesia di bidang politik.

Perubahan di level lokal tentu diawali dengan adanya revisi terhadap beberapa

undang-undang tentang pemerintah daerah, yakni UU No.22/1999 (sekarang adalah UU

No.32/2004. Pen) Salah satu lokus yang bergeser pengaturannya adalah desa (Dwipayana

dan Sutoro Eko, 2003: vi). Sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 hingga sampai saat

ini, peraturan-peraturan perundangan yang mengatur tentang bentuk dan susunan

pemerintah di daerah, termasuk pemerintahan desa adalah sebaga berikut, (Widjaja, 2003:

(13)

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite

Nasional Daerah;

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah;

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah;

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah;

5. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah

(disempurnakan);

6. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) tentang DPRD

Gotong Royong dan Sekretaris Daerah;

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Desapraja;

8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah;

9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;

10.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan

11.Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Secara historis dan kultural, desa atau kesatuan masyarakat hukum terkecil di

negara kita memiliki variasi nama. Desa adalah sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum

yang berada di Pulau Jawa. Sedangkan sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum yang

berada di luar Pulau Jawa memiliki perbedaan nama masing-masing berdasarkan

(14)

daerah Sumatera Barat, Negeri untuk daerah Maluku, Huta untuk daerah Sumatera Utara,

Marga untuk daerah Sumatera Selatan, Kampung untuk daerah Kalimantan Timur,

Gampong untuk daerah Aceh, dan lain sebagainya. Perbedaan nama tersebut juga

menghadirkan beragam variasi sistem dan struktur pemerintahan kesatuan masyarakat

hukum di daerah-daerah tersebut.

Dalam perspektif wawasan kebangsaan, variasi nama-nama tersebut seharusnya

menjadi khazanah budaya Indonesia yang wajib dipertahankan sesuai aslinya, sehingga

pola pembangunan yang dicanangkan ke level terendah dalam sistem kenegaraan kita dapat

berjalan sebagaimana mestinya. Namun sejarah Orde Baru mencatat bahwa kuasa

otoritarianisme Soeharto telah menghilangkan kekhasan masing-masing daerah yang telah

mandiri secara baik tersebut. Inilah bukti betapa sentralisme kekuasaan telah memusnahkan

konsepsi asli tentang pemerintahan desa yang seharusnya dapat menjadi modal filosofi

pembangunan bagi tiap-tiap kesatuan masyarakat hukum di Indonesia.

Menyinggung keterkaitan antar desa dengan pembangunan, harus didasari bahwa

desa merupakan salah satu sub-sistem dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indoneisa, dan merupakan struktur terendah dalam sistem tersebut. Biarpun Desa

merupakan struktur terendah dalam sistem pemerintahan kita, namun demikian, desa

ternyata memegang peranan penting dalam proses implementasi kebijakan-kebijakan

pembangunan. Sebab setiap kebijakan pembangunan pemerintah pusat, sebagian besar

implementasinya dilakukan oleh pemerintah desa.

Melihat pentingnya peranan desa dalam proses pembangunan, maka upaya-upaya

meningkatkan peran struktur pemerintahan desa harus selalu digalakkan. Hal ini

(15)

lapisan masyarakat tanpa kecuali. Masyarakat desa adalah unsur pembangunan yang harus

diperhatikan kesetaraannya dalam proses pembangunan. Namun fokus masalah tersebut

dalam realita di lapangan banyak yang tidak terlaksana secara baik. Hal tersebut akhirnya

menimbulkan kesenjangan distribusi hasil-hasil pembangunan di masyarakat. Kondisi

demikian tentu ada sebabnya. Salah satu permasalahan yang menjadi penyebab timbulnya

kesenjangan tersebut di masyarakat desa adalah kepemimipinan kepala desa. Seorang

kepala harus mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya secara baik, sehingga

kepemimpinannya mampu membawa kebaikan kepada warga desanya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebutkan

dalam Pasal 14 Ayat 1, bahwa tugas kepala desa adalah: menyelenggarakan urusan

pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam Ayat 2 Pasal 14 tersebut

dinyatakan bahwa: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Kepala Desa mempunyai wewenang :

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang

ditetapkan bersama BPD;

b. mengajukan rancangan peraturan desa;

c. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desamengenai APB Desa untuk

dibahas dan ditetapkan bersama BPD;

e. membina kehidupan masyarakat desa;

f. membina perekonomian desa;

(16)

h. mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa

hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Mengingat tugas dan wewenang kepala desa sangat berat tersebut, maka sangat

diperlukan kemampuan dari kepala desa untuk mengkoordinasi seluruh kepentingan

masyarakat desa dalam setiap pengambilan keputusan. Kepala desa harus menyadari bahwa

pekerjaannya tidak mudah. Oleh sebab itu dia harus bersedia melimpahkan semua

kewenangannya kepada semua tingkatan pimpinan sampai ke tingkat bawah, sekalipun

seperti kepala dusun dan lainnya. (Widjaja: 31). Kesenjangan proses pembangunan adalah

efek besar dari ketidakmampuan melakukan distribusi wewenang kepada jajaran di

bawahnya oleh seorang kepala desa. Permisalan efek turunannya adalah lambannya proses

pembangunan di beberapa bidang di antaranya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan

lain-lain.

Fakta lapangan selalu menunjukkan adanya gerakan sosial dari masyarakat apabila

masalah di atas tidak segera diperbaiki. Masyarakat desa yang terdiri dari

masyarakat-masyarakat dusun cenderung bergerak untuk melepaskan diri dan membentuk desa baru

dengan satu alasan bahwa dusun-dusun mereka tidak pernah diperhatikan oleh kepala desa

mereka. Kekecewaan terhadap ketidaktanggapan kepala desa pada isu-isu kesetaraan dalam

pembangunan, menghadirkan suatu persepsi yang sangat kuat bahwa membentuk desa baru

(pemekaran) adalah sebuah solusi desentralistis dan demokratis guna percepatan

pembangunan desa.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa kebijakan desentralisasi yang memberikan

(17)

tangganya, pada intinya antara lain, adanya perwujudan demokratisasi penyelenggaraan

pemerintah daerah yang selama ini sentralistis. Kedua, kebijakan penyerahan kewenangan

kepada daerah untuk lebih memberdayakan dan memandirikan daerah, baik dalam

peningkatan pelayanan kepada masayarakat, maupun peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat. Ketiga, terimplementasikannya kebijakan otonomi daerah

tersebut, memunculkan tuntutan baru dari daerah itu sendiri yaitu tuntutan makin

mendekatnya pemerintah dengan masyarakat. Dari aspek geografis terkadang suatu

wilayah daerah, sangat jauh dari rentang kendali ibu kota daerah otonom, sehingga

berpengaruh pada akselerasi pelayanan. Pada dimensi yang terakhir inilah lahir tuntutan

pemekaran daerah. (Murtir: 111).

Secara teoritis, pembentukan desa baru nantinya akan melahirkan kesejahteraan

dengan adanya peningkatan pelayanan yang lebih baik dan lebih cepat karena rentang

rentang kendali pemerintah yang lebih pendek, dengan harapan fakta di lapangan tidak

menunjukkan bahwa pemberian status otonom pada desa yang baru belum mampu

menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat karena pembentukan desa baru hanya

dimanfaatkan oleh segelintir elit untuk mendapatkan kekuasaan.

Adalah masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang

Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

mencoba melakukan pembentukan desa baru di dusun tersebut. Sebagaimana dijelaskan di

atas, bahwa masyarakat akan cenderung melakukan gerakan sosial guna mendapatkan

hak-hak mereka yang selama ini tidak mereka nikmati. Gerakan sosial tersebut kini sedang

dilakukan oleh masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda. Mereka ingin melepaskan diri

(18)

mereka merasa dianaktirikan oleh desa induk. Namum, pembentukan desa baru tentunya

tidak hanya didasarkan pada persoalan hak-hak sosial ekonomi yang belum terpenuhi saja,

tanpa mempertimbangkan studi kelayakan apakah dusun tersebut sudah siap untuk menjadi

desa baik secara administratif maupun secara fisik kewilayahan, sehingga nantinya

pembentukan desa baru menghadirkan kehidupan masyarakat desa yang maju dan

sejahtera.

Studi kelayakan yang dimaksudkan di atas harus berpedoman pada Peraturan

Pemerintah No. 72 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun

2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa

Menjadi Kelurahan yang di dalamnya memuat tentang syarat-syarat pembentukan desa.

Syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi oleh sebuah daerah (dusun) yang ingin melakukan

pembentukan desa baru.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: “Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue

Tengku Muda”.

B. Perumusan Masalah

Suharsimi Arikunto (1993: 17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya

sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan

penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pentingnya perumusan masalah

(19)

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan

masalah penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut: Bagaimanakah Kesiapan Dusun

IV Alue Tengku Muda untuk Menjadi Desa Alue Tengku Muda ?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tentunya mempunyai

tujuan yang hendak dicapai. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui sejauh mana Dusun IV Alue Tengku Muda dalam

mempersiapkan diri guna menjadi desa defenitif.

b. Untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam rencana

pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

khasanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai pembentukan desa guna

mewujudkan percepatan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang berminat

menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang

berbeda dan dengan sampel penelitian yang lebih banyak;

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi masyarakat

(20)

mempersiapkan segala kebutuhan untuk menjadi sebuah desa definitif sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori diperlukan untuk memudahkan penelitian, sebab ia merupakan

pedoman berfikir bagi peneliti. Oleh karena itu, seorang peneliti harus terlebih dahulu

menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut

mana ia menyoroti masalah yang dipilihnya.. Selanjutnya menurut Masri Singarimbun dan

Sofyan Effendi (1989: 37), teori adalah serangkaian asumsi , konsep, konstruksi, definisi

dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

merumuskan hubungan antar konsep.

1. Otonomi Daerah

Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan mayarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-perundangan.

Otonomi daerah menjadi satu hal yang penting, bukan semata-mata karena

memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tapi dengan otonomi, sebuah

pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Kita selama

ini dapat melihat, ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan ditentukan oleh pemerintah

pusat, maka banyak sekali kebijakan yang dilakukan itu tidak tepat sasaran. Dengan

(21)

pembangunan dengan mempertimbangkan kondisi riil daerah. Lebih dari itu, dengan

otonomi juga percepatan pembangunan daerah dapat dilaksanakan karena otonomi

memberikan peluang finansial yang lebih baik, yang apabila digunakan secara maksimal

akan menciptakan jalan kemakmuran bagi masyarakat. (Halim, 2002:16)

Adanya kebijakan otonomi daerah itu membawa konsep pemekaran daerah.

Daerah-daerah di tanah air menyambut dengan antusias ide pemekaran daerah tersebut, saat

ini saja di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah terbentuk 13 kabupaten baru. Melihat

kecenderungan dan semangat daerah dalam memekarkan daerahnya, ada kekhawatiran

bahwa ide pemekaran daerah lebih banyak dilatarbelakangi oleh nafsu segelintir orang yang

tidak terakomodasi kepentingannya di daerah induk sehingga dengan berbagai upaya taktis

dan politis dikembangkan wacana tentang perlunya pemekaran daerah. Hal ini tentunya

melenceng dari tujuan pemekaran daerah yang sebenarnya untuk meningkatkan pelayanan

publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Menurut Kastorius (Wahyudi, 2002:18) ide pemekaran daerah setidaknya harus

menjawab tiga isu pokok, diantaranya:

1. Urgensi dan relevansi, apakah urgensi pemekaran daerah berkaitan dengan

penuntasan masalah kemiskinan dan marginalitas etnik. Jika tidak, pemekaran

daerah akan berdampak negatif dan proses pemiskinan rakyat akan semakin cepat.

Pertimbangan umum pemekaran biasanya didasari oleh adanya potensi sumber daya

alam yang siap untuk dieksploitasi sementara kemampuan daerah menyangkut

finansial dan sumber daya manusia amat terbatas. Jalan keluar yang paling mungkin

adalah mengundang pihak luar menjadi investor dan ketika keputusan ini diambil

(22)

terhadap kekayaan alam yang dimiliki daerah itu. Cara berfikir inilah yang sangat

mengkhawatirkan dan berpotensi mengundang terjadinya proses pemiskinan.

2. Prosedur, apakah prosedur pemekaran daerah sudah ditempuh dengan benar sesuai

dengan ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Jika tidak, maka proses pemekaran

daerah ini akan berbelit-belit karena rantai birokrasi yang mengurus persoalan

seperti ini sangat panjang.

3. Implikasi, yakni sejauh mana pemekaran daerah memberi dampak yang signifikan

terhadap kesejahteraan masyarakat dan secara politis berimplikasi terhadap

terpeliharanya identitas etnik dan agama. Selain itu implikasi negatif yang juga

harus diperhitungkan adalah terjadinya konflik horizontal berkaitan dengan ide

pemekaran daerah itu. Di luar pihak yang memberi dukungan, pasti ada pihak-pihak

tertentu yang tidak menyetujui ide pemekaran daerah itu.

2. Desa

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang

disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan

masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berikut adalah penjelasan mengenai desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut:

“Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama

lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

(23)

kepentingan masyarkat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat

yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di

kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai

desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan

pemberdayaan masyarakat.

Undang-undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa walaupun dengan

sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan

penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah atau pemerintah daerah untuk

melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa

geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena

pemekaran desa ataupun karena transimigrasi ataupun karena alasan lain yang

warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan

diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari

desa itu sendiri.

Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa

dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan

budaya yang berkembang di desa yang bersangkut an, yang berfungsi sebagai

lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti dalam

pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja

Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang

berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan

(24)

Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata

cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati atau

walikota melalui camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib

memberikan keterangan laporan pertanggungjawabanya dan kepada rakyat

menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus

memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk

menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang

bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.

Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan,

penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa,

dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam

peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah.

Sedangkan menurut Sutardjo Kartodikusuma sebagaimana dikutip oleh Abu

Ahmadi (2003: 241) menjelaskan definisi desa sebagai suatu kesatuan hukum dimana

bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.

Lapera, (2001: 3-6) menguraikan pandangannya tentang desa dengan dua sudut

pandang yakni desa dari sudut pandang sosial budaya, dan desa dari sudut pandang politik

dan hukum. Bila ditinjau secara sosial budaya desa dapat juga dikatakan sebagai komunitas

dalam kesatuan geografis tertentu yang antar mereka saling mengenal dengan baik dengan

corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung pada alam.

Oleh karena itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada

sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat

(25)

Dengan demikian, jika kita membahas mengenai desa, setidak-tidaknya memuat

beberapa ciri berikut (Lapera, 2001: 4-5):

a. Adanya suatu wilayah yang jelas – dengan demikian wilayah ini telah

didefinisikan dengan jelas batas-batas teritorialnya;

b. Adanya sekumpulan orang (bukan pribadi atau sebuah keluarga) yang bertempat

tinggal di daerah yang dimaksud, dan menempatkan wilayah tempat tinggal

tersebut sebagai “wilayah meraka”;

c. Adanya ikatan dengan dasar yang beragam dan luas, seperti: kebutuhan akan rasa

aman bersama; hubungan darah (satu nenek moyang); dan nilai-nilai sosial

bersama yang dibangun bersama dari pengalaman hidup bersama;

d. Mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan mereka sendiri – menetapkan

pemerintahan sendiri; dan

e. Mempunyai harta benda, kekayaan desa.

Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai

organisasi kekuasaan. Melalui perspektif ini, desa dipahami sebagai organisasi

pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu

dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini, desa bisa dipilah dalam

beberapa unsur penting:

(1) adanya orang-orang atau kelompok;

(2) adanya pihak-pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin (baca: pengambil

keputusan)

(3) adanya organisasi (badan) penyelenggaraan kekuasaan;

(26)

(5) adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses

pengambilan keputusan.

Siti Waridah, dkk, (2004: 125-126) mengutip pendapat pakar Sosisologi “Talcot

Parsons” yang menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional

(gemeinischaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut:

a. Afektifitas;

b.

ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan

dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan

tolong-menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain

dan menolongnya tanpa pamrih;

Orientasi kolektif;

c.

sifat ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu

mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak

suka berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman

persamaan;

Partikularisme;

d.

pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya

dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu.

Perasaan subjektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku

untuk kelompok tertentu saja (lawannya universalisme);

Askripsi; yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak

diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan

suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan (lawannya

(27)

e. Kekaburan (diffuseness); sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan

antar pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa

menggunakan bahasa tidak langsung untuk menunjukkan sesuatu.

3. Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat a. Pembangunan Desa

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

desa dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di desa tersebut. Hal tersebut dapat

dilakukan dengan pembangunan desa. Pembangunan desa seharusnya menerapkan

prinsip-prinsip yaitu: (1) transparansi (keterbukaan), (2) partisipatif, (3) dapat dinikmati

masyarakat, (4) dapat dipertanggungjawabkan, dan (5) berkelanjutan (sustainable).

Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke

seluruh pelosok daerah, untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada dasarnya

adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat seharusnya diajak

untuk menentukan visi (wawasan) pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Masa

depan merupakan impian tentang keadaan masa depan yang lebih baik dan lebih indah

dalam arti tercapainya tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.

Pembangunan desa dilakukan dengan pendekatan secara multisektoral (holistik),

partisipatif, berlandaskan pada semangat kemandirian, berwawasan lingkungan dan

berkelanjutan serta melaksanakan pemanfaatan sumber daya pembangunan secara serasi

(28)

Ada tiga prinsip pokok pembangunan pedesaan, yaitu:

Pertama, Kebijakan dan langkah-langkah pembangunan di setiap desa mengacu kepada

pencapaian sasaran pembangunan berdasarkan Trilogi Pembangunan. Ketiga

unsur Trilogi Pembangunan tersebut yaitu (a) pemerataan pembangunan dan

hasil-hasilnya, (b) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan (c) stabilitas yang

sehat dan dinamis, diterapkan di setiap sektor, termasuk desa dan kota, di setiap

wilayah dan antar wilayah secara saling terkait, serta dikembangkan secara selaras

dan terpadu.

Kedua, Pembangunan desa dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pembanguan yang

berkelanjutan. Penerapan prinsip pembangunan yang berkelanjutan mensyaratkan

setiap daerah mengandalkan sumber-sumber alam yang terbaharui sebagai sumber

pertumbuhan. Disamping itu setiap desa perlu memanfaatkan SDM secara luas,

memanfaatkan modal fisik, prasarana mesin-mesin, dan peralatan seefisien

mungkin.

Ketiga, Meningkatkan efisiensi masyarakat melalui kebijaksanaan deregulasi,

debirokratisasi dan desentralisasi dengan sebaik-baiknya.

Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan desa, diperlukan kerjasama yang erat

antar daerah dalam satu wilayah dan antar wilayah. Dalam hubungan ini perlu selalu

diperhatikan kesesuaian hubungan antar kota dengan daerah pedesaan sekitarnya, dan

antara suatu kota dengan kota-kota sekitarnya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya

lokasi industri, lokasi kegiatan pertanian atau sektor-sektor lain yang menunjang/terkait

(29)

kerjasama antar daerah, maka daerah-daerah yang dimaksud dapat tumbuh secara serasi dan

saling menunjang.

Seperti dalam pembangunan ekonomi pada umumnya, maka dalam mewujudkan

tujuan pembangunan desa, terdapat paling sedikit empat strategi, yaitu (1) Strategi

pertumbuhan, (2) Strategi kesejahteraan, (3) Strategi yang responsif terhadap kebutuhan

masyarakat, (4) Strategi terpadu atau strategi yang menyeluruh.

(1) Strategi Pertumbuhan

Strategi pertumbuhan umumnya dimaksudkan untuk mencapai peningkatan

secara cepat dalam nilai ekonomis melalui peningkatan pendapatan perkapita,

produksi dan produktivitas sektor pertanian, permodalan, penempatan kerja dan

peningkatan kemampuan partisipasi masyarakat pedesaan.

(2) Strategi Kesejahteraan

Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki taraf

hidup atau kesejahteraan penduduk desa melalui pelayanan dan peningkatan

program-program pembangunan sosial yang berskala besar atau nasional, seperti

peningkatan pendidikan, perbaikan kesehatan dan gizi, penanggulangan urbanisasi,

perbaikan pemukiman penduduk, pembangunan fasilitas transportasi, penyediaan

prasarana dan sarana sosial lainnya.

(3) Strategi yang Responsif terhadap Kebutuhan Masyarakat

Strategi ini merupakan reaksi terhadap strategi kesejahteraan yang

dimaksudkan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan

pembangunan yang dirumuskan oleh masyarakat sendiri dan mungkin saja dengan

(30)

melalui pengadaan teknologi dan tersedianya sumber-sumber daya yang sesuai

dengan kebutuhan di desa.

(4) Strategi Terpadu dan Menyeluruh.

Strategi terpadu dan menyeluruh ingin mencapai tujuan-tujuan yang

menyangkut kelangsungan pertumbuhan, persamaan, kesejahteraan dan partisipasi

aktif masyarakat secara simultan dalam proses pembangunan desa. Secara

konsepsional terdapat tiga prinsip yang membedakannya dengan strategi lain, yaitu:

Pertama, Persamaan, keadilan, pemerataan dan partisipasi masyarakat merupakan tujuan

yang eksplisit dari strategi terpadu ini. Oleh karena itu pemerintah desa yang

berwenang harus: (a) memahami dinamika sosial masyarakat setempat, (b)

memecahkan masalah yang dihadapinya, dan (c) memperkuat aparatur pemerintah

desa dalam melakukan intervensi sosial.

Kedua, Perlunya perubahan-perubahan mendasar, baik dalam kesepakatan maupun dalam

gaya dan cara kerja, karena itu pemerintah desa ,harus memiliki komitmen yang

kuat untuk: (a) menentukan arah, strategi, dan proses menuju terwujudnya tujuan

dan sasaran pembangunan, (b) memelihara integritas masyarakat pedesaan yang

didukung oleh local leadership (kepemimpinan lokal).

Ketiga, Perlunya keterlibatan pemerintah desa dan organisasi sosial secara terpadu, untuk

meningkatkan keterkaitan antara organisasi formal dan organisasi informal.

(Raharjdo: 19-23, 2006)

b. Pemberdayaan Masyarakat

Untuk mengatasi persoalan kemiskinan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

(31)

dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan

upaya dimana masyarakat berdaya dan mandiri dalam mengelola berbagai potensi yang

mereka miliki dalam mencapai kesejahteraannya. Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho

Dwidjowijoto (2007: 37-41) menyatakan bahwa ada 5 argumentasi mengapa pemberdayaan

masyarakat untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan pembangunan Indonesia.

Pertama, demokratisasi proses pembangunan. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu

memjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara (baca: rakyat) dalam

proses pembangunan, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,

dan evaluasinya. Salah satu pendekatan untuk mendemokratisasikan proses

pembangunan adalah memberikan peluan sebesar-besarnya kepada lapisan

masyarakat paling bawah (grass-root, baca: rakyat miskin) untuk terlibat dalam

pengalokasian sumber daya pembangunan. Inilah hakikat konsep pembangunan

yang diarahkan oleh rakyat atau dalam istilah lain disebut pembangunan yang

digerakkan oleh masyarakat (community-driven development). Proses ini diyakini

mampu menjadi wahana pembelajaran pencerdasan bagi rakyat untuk mengenali

kebutuhannya serta melaksanakan dan melestarikan upaya memenuhi

kebutuhannya itu. Penerapan konsep pemberdayaan dengan demikian mempunyai

efek samping dalam bentuk mampu memberikan jalan terlaksananya

penyelenggaraan ketatanegaraan secara baik.

Kedua, penguatan peran organisasi kemasyarakatan lokal. Konsep pemberdayaan

dipercaya mampu menjawab tantangan bagaimana melibatkan organisasi

kemasyarakatan lokal berfungsi dalam pembangunan. Organisasi kemasyarakatan

(32)

merekalah yang paling mengerti karakter lapisan masyarakat bawah. Dalam

mekanisme manajemen pembangunan modern, peran mereka harus

diorganisasikan secara hierarkis agar informasi tentang situasi terkini dapat dijalin

secara multiarah, baik vertikal maupun horizontal. Peran organisasi

kemasyarakatan dalam mendampingi rakyat miskin sangat bervariatif, mulai

sebagai inisiator, katalisator, hingga fasilitator.

Ketiga, penguatan modal sosial. Konsep pemberdayaan diyakini mampu menggali dan

memperkukuh ikatan sosial diantara warga negara (baca: warga masyarakat).

Penguatan modal sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang

bersifat universal, yaitu kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian. Penguatan

modal sosial merupakan motivasi dasar setiap kegiatan yang dapat menjadi spirit

(pemacu) perwujudan tujuan pemberdayaan itu sendiri. Proses pemberdayaan

dengan sendirinya mampu menciptakan kultur masyarakat yang mandiri,

menciptakan hubungan harmonis diantara rakyat serta antara rayat dengan

pamong praja.

Keempat, penguatan kapasitas birokrasi lokal. Konsep pemberdayaan secara khusus

diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan

khusunya kepada penduduk setempat. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran

rakyatnya agar rakyat dapat memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya

baik fisik maupun nonfisik secara mudah. Dalam proses pemberdayaan – akhirnya

– karena rakyatnya bertambah cerdas, pada akhirnya mereka mampu memaksa

para penyelenggara pelayanan publik dan pemerintahan untuk belajar memahami

(33)

Kelima, mempercepat penanggulangan kemiskinan. Konsep pemberdayaan dalam

bentuknya yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat penanggulangan

kemiskinan, yaitu meninngkatkan kesejahteraan rakyat miskin, karena dalam

pendekatan pemberdayaan ini para penyelenggara poembangunan – baik

pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan – dituntut memberikan pemihakan

dan perlindungan kepada rakyat miskin. Pemihakan dilakukan dengan senantiasa

mengalokasikan suumber daya pembangunan untuk rakyat miskin. Karakter lokal

harus menjadi landasan dalam pemihakan agar antara berpeluang dan aspirasi

dapat terartikulasikan secara baik. Perlindungan dilakukan dengan senantiasa

membela rakyat miskin dalam berbagai aspeknya yang positif. Rakyat miskin

harus senantiasa dilindungi dan didampingi agar memiliki kekuatan untuk meraih

(mengakses) sumber daya ekonomi. Oleh karena itu, peran pendamping sangat

dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini.

Lebih lanjut, kita perlu memperhatikan penyataan berikut: (1) tidak semua

pendudukmempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu; dan (2) tidak

semua penduduk mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu, memiliki

penghasilan yang mencukupi kebutuhan konsumsinya dan konsumsi untuk seluruh anggota

keluarganya.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan: (1) apabila penduduk yang mempunyai

usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu mempunyai penghasilan yang kurang

dari kebutuhan konsumsinya (termasuk konsumsi seluruh anggota keluarganya)

(34)

dan (2) apabila penduduk miskin tidak mempunyai usaha atau tidak melakukan/memiliki

pekerjaan tertentu (sehingga tidak mempunyai penghasilan), ia dapat dikategorikan sebagai

penduduk miskin parah.

Agar penduduk miskin (baca: anggota rumah tangga miskin) menjadi tidak miskin lagi,

meraka memerlukan sesuatu yang dapat memberikan penghasilan atau sesuatu yang dapat

meringankan beban konsumsinya. Dalam rangka memberikan peluang bagi penduduk

miskin agar dapat mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu sehingga

dapat mempunyai penghasilan, kita dapat memberikan peluang pekerjaan yang dapat

menambah/memberikan penghasilan.

Untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan yang baik dan berkelanjutan,

maka diperlukan proses pemberdayaan masyarakat yang baik juga agar tujuan-tujuan

pembangunan yang ingin diwujudkan dapat terlakasa sesuai rencana.

4. Pembentukan Desa

a. Pengertian Pembentukan Desa

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pada pasal

2 ayat (1) mengatakan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan

memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

b.Tujuan Pembentukan Desa

Berdasarkan Permendagri No. 28 Tahun 2006 pada pasal 2 menyatakan bahwa

pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat

(35)

Menurut Latuconsina, pemekaran adalah bagian dari proses implementasi

desentralisasi yang memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum berbagai macam tujuan

dapat diklasifikasikan ke dalam dua variabel penting yakni peningkatan efisiensi dan

efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam

pemerintahan dan pembangunan. Secara otomatis melalui otonomi daerah dalam hal ini

adalah pembentukan desa baru dengan azas desentralisasi akan terjadi optimalisasi hirarki

penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh instansi yang

memiliki kedudukan lebih dekat dengan masayarakat sehingga keputusan-keputusan

strategis dapat lebih mudah dibuat, adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan

kondisi yang ada di tingkat lokal, adanya tingkat perawatan terhadap infrastruktur yang ada

melalui alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di

wilayahnya tersebut.

c. Dasar Hukum Pembentukan Desa

1. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

Pada pasal 2 ayat (3) dalam PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa menyatakan

bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa

yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau

pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan pada pasal 2 ayat (4)

menyebutkan bahawa pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih dapat

dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan

(36)

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006

Permendagri No. 28 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Penghapusan,

Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan merupakan aturan

turunan dari PP No. 72 Tahun 2005 yang mengatur lebih lanjut tentang mekanisme

pembentukan desa. Permendagri tersebut memuat tentang syarat dan tata cara pembentukan

desa yang merupakan aturan terbaru yang ada pada saat ini.

Tata cara pembentukan desa sebagaimana yang dimaksud pada pasal 5 Permendagri

No. 28 Tahun 2006 dilaksanakan sebagai berikut:

a. Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk membentuk desa;

b. Masyarakat mengajukan usul pembentukan desa kepada BPD dan Kepala Desa;

c. BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usul masyarakat

tentang pembentukan desa, dan kesepakatan rapat dituangkan dalam Berita Acara

Hasil Rapat BPD tentang Pembentukan Desa;

d. Kepala Desa mengajukan usul pembentukan Desa kepada Bupati/Walikota melalui

Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD dan rencana wilayah administrasi

desa yang akan dibentuk;

e. Dengan memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikota

menugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan

observasi ke Desa yang akan dibentuk, yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi

kepada Bupati/Walikota;

f. Bila rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak dibentuk desa baru, Bupati/

(37)

g. Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desa sebagaimana

dimaksud pada huruf f, harus melibatkan pemerintah desa, BPD, dan unsur

masyarakat desa, agar dapat ditetapkan secara tepat batas-batas wilayah desa yang

akan dibentuk;

h. Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan

Desa hasil pembahasan pemerintah desa, BPD, dan unsur masyarakat desa kepada

DPRD dalam forum rapat Paripur na DPRD;

i. DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas Rancangan Peraturan

Daerah tentang pembentukan desa, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan

Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa;

j. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah disetujui

bersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD

kepada Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;

k. Peyampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana

dimaksud pada huruf j, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling lambat 7 (tujuh)

hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama;

l. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud

pada huruf k, ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; dan

m. Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang

telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada huruf 1,

Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut di dalam Lembaran

(38)

d. Syarat-Syarat Pembentukan Desa

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa menyatakan

bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa

yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau

pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan pada Peraturan Menteri Dalam

Negeri No. 28 Tahun 2006 menyatakan bahwa pembentukan desa bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Adapun pembentukan desa harus memenuhi berbagai syarat yang tertuang dalam

yang tertuang dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No. 28 Tahun

2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status

Desa Menjadi Kelurahan adalah sebagai berikut:

Syarat pembentukan desa berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005 pada pasal 2 adalah

sebagai beikut:

a. jumlah penduduk;

b.luas wilayah;

c. bagian wilayah kerja;

d.perangkat; dan

e. sarana dan prasarana pemerintahan

Sedangkan dalam Permendagri No. 28 Tahun 2006 pada pasal 3 dijelaskan lebih

lanjut tentang syarat pembentukan tentang desa adalah sebagai berikut:

a. jumlah penduduk, yaitu:

1) wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK;

(39)

200 KK; dan

3) wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit

750 jiwa atau 75 KK.

e. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan

masyarakat;

f. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;

g. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan

kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;

h. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;

i. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan

peraturan daerah; dan

j. sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan

perhubungan.

F. Defenisi Konsep

Menurut Masri Singarimbun yang dikutip oleh Mardalis (2003: 45) bahwa konsep

adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk

menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Tujuannya adalah untuk menghindari

interpretasi ganda dari variabel yag akan diteliti.

1. Kesiapan

Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, “kesiapan” merupakan kata

nomina atau kata benda dengan konfiks ke-an (2002:1038), dengan kata dasar “siap”.

(40)

(2002:1417). Sehingga kesiapan adalah suatu keadaan telah siap, yaitu segala sesuatu telah

diatur dan dibereskan untuk suatu pekerjaan dengan persiapan berupa perlengkapan, hal,

tindakan, rancangan dan sebagainya. Jadi kesiapan daerah (dusun) menuju

pembentukan desa adalah kemampuan daerah (dusun) dalam mempersiapkan daerahnya

sehingga memenuhi semua persyaratan suatu daerah dapat dibentuk menjadi desa sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Desa

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang

disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan

masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Pembentukan Desa

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa menyatakan

pembentukan desa adalah dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa

yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau

pembentukan desa di luar desa yang telah ada.

G. Defenisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana caranya

mengukur suatu variabel, sehingga dengan pengukuran ini dapat diketahui

indikator-indikator apa saja yang mendukung penganalisaan dari variabel-variabel tersebut

(41)

definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur suatu

variabel. Dalam definisi operasional ini disajikan parameter/indikator dari variabel yang

diteliti dengan tujuan untuk memudahkan membaca fenomena-fenomena yang diteliti.

Berdasarkan permasalahan dan kerangka teori yang menjadi referensi teoritis dalam

penelitian ini, maka indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tunggal (Kesiapan

Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda) adalah sebagai berikut:

a. Jumlah penduduk;

b. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan

masyarakat;

c. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;

d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan

bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;

e. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;

f. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan

daerah; dan

g. sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan

(42)

BAB II

METODE PENELITIAN A. Bentuk Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode

penelitian deskriptif. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2004: 44) memberikan pengertian

penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan

masalah yang ada sekarang beradasarkan data-data, jadi ia juga menyajikan data,

menganalisis dan menginterpretasi; ia juga bisa bersifat komperatif dan korelatif. Sudarwan

Danim (2002: 41) memberikan beberapa ciri dominan dari penelitian deskriptif yaitu:

1. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat faktual. Adakalanya

penelitian ini dimaksudkan hanya membuat deskripsi atau narasi semata-mata dari

suatu fenomena.

2. Dilakukan secara survei. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering disebut juga

sebagai penelitian survei.

3. Bersifat mencari informasi faktual dan dilakukan secara mendetail;

4. Mendeskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh kelompok orang tertentu dalam

waktu yang bersamaan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang

(43)

C. Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil

penelitian. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan

sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak ditentukan

secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai

informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi tiga

macam, yaitu (1) informan kunci (key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan

memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan utama,

yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan

tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung

terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti. (Hendrarso dalam Suyanto, 2005:

171-172)

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menentukan informan dengan

menggunakan teknik purposive yaitu: penentuan informan tidak didasarkan atas strata,

pedoman atau wilayah tetapi berdasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan

dengan permasalahan penelitian, maka peniliti dalam hal ini menggunakan informan

penelitian yang terdiri dari:

1. Informan Kunci, berjumlah 1 orang yaitu pemrakarsa pembentukan desa.

2. Informan Utama, berjumlah 2 orang yaitu:

a. Camat Jeumpa Bapak Hasbi Hasan, S. Sos. M.M

(44)

3. Informan Tambahan, berjumlah 1 orang yaitu dari tokoh masyarakat Bapak

Muhammad Iman Ismail M. Amin Nyak Geh sebagai kepala Dusun IV Alue

Tengku Muda.

Jumlah informan ini dapat berkembang jika dalam proses penelitian nantinya

ditemukan variasi jawaban atau adanya jawaban baru yang berbeda dari informan

sebelumnya yang dapat meningkatkan kualitas informasi.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaiu:

1. Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan

penelitian langsung di lapangan untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan

dengan masalah yang diteliti. Teknik ini dilakukan melalui:

a. Metode wawancara mendalam, yaitu dengan cara memberikan pertanyaan langsung

kepada sejumlah pihak terkait yang didasarkan pada percakapan secara intensif

dengan suatu tujuan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Metode

wawancara ditujukan untuk informan penelitian yang telah ditetapkan.

b. Metode observasi non partisan, yaitu pengamatan namun tidak terlibat secara

langsung. Pengamatan yang dimaksud di sini adalah deskripsi secara sistematis

tentang kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang dipilih untuk diteliti.

Metode pengamatan ini bervariasi mulai dari yang sangat terstruktur dengan catatan

rinci mengenai tingkah laku sampai dengan deskripsi yang paling kabur tentang

(45)

2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

a. Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data-data yang diperoleh dengan

mempelajari sejumlah buku, tulisan dan karya ilmiah yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti.

b. Dokumentasi, yaitu dengan menggunakan catatan-catatan yang ada di lokasi

penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.

E. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data

kualitatif. Teknik analisis data kualitatif dalam hal ini menggunakan analisis SWOT.

Dalam Penelitian ini analisis yang akan dilakukan adalah dengan melihat kesiapan

Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa berdasarkan syarat-syarat yang tertuang dalam

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan,

Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan. Selanjutnnya akan

diidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam rencana pembentukan

Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa. Syarat-syarat pembentukan desa tersebut

meliputi:

a. jumlah penduduk, yaitu:

1) wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK;

2) wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau

200 KK; dan

3) wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit

(46)

b. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan

masyarakat;

c. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;

d.sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan

bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;

e. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;

f. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan

daerah; dan

g.sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan

(47)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Nama Desa

Nama Desa Alue Sungai Pinang diambil dari kisah legenda Teuku Malem Diwa.

Karena desa ini tumbuh pohon pinang besar (Areca Catechu). Selain itu Desa Alue Sungai

Pinang juga dinamai atas dasar karena di desa ini banyak terdapat alue (anak sungai) yang

mengaliri air ke sawah-sawah penduduk, juga sungai yang sebagian besar digunakan

masyarakat desa sebagai tempat MCK (mandi, cuci dan kakus).

B. Letak Geografis

Desa Alue Sungai Pinang berada di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat

Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Desa ini memiliki luas wilayah 3.460 Ha2 yang

terdiri dari 5 dusun, yaitu Dusun I Pasar, Dusun II Alue Sanggeu, Dusun III Alue Seulaseh,

Dusun IV Alue Teungku Muda dan Dusun V Gunong Tengku.

Adapun batas-batas wilayah Desa Alue Sungai Pinang sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan pegunungan/Kabupaten Gayo Lues;

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kuta Jeumpa Kecamatan Jeumpa;

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Alue Rambot Kecamatan Jeumpa;

(48)

C. Sarana dan Prasarana

Ketersediaan sarana dan prasarana di Desa Alue Sungai Pinang belum begitu

memadai, hal ini terlihat dari masih adanya yang rusak, parit dan talut yang sering longsor.

Sedangkan untuk sarana transportasi, rata-rata penduduk sudah memakai sepeda motor,

bahkan mobil. Untuk menuju pusat Kota Provinsi Naggroe Aceh Darussalam di Banda

Aceh tidak terlalu sulit karena adanya angkutan umum dan keberadaan desa yang dilalui

oleh jalan Negara. Selain itu, Desa Alue Sungai Pinang terdapat 1 buah jembatan yang

terletak di jalan negara yang sekaligus jembatan tersebut menjadi batas alam antara Desa

Alue Sungai Pinang dengan Desa Kuta Jeumpa.

Desa Alue Sungai Pinang terdiri dari dua unit jalan, yaitu jalan kecamatan dengan

panjang jalan ± 2.000 meter dan lebar ± 15 meter dengan jenis aspal dan kondisi yang

masih bagus dan jalan relokasi yang terletak di Dusun III Alue Seulaseh dan Dusun IV

Gunong Cut dengan panjang ± 1.500 meter dengan kondisi jalan yang saat ini sedang rusak.

Di Desa Alue Sungai Pinang tidak terdapat saluran pembuangan, karena di desa tersebut

tidak memiliki limbah pabrik dan juga karena air irigasi dimanfaatkan warga untuk

kebutuhan MCK dan mengairi sawah. Sedangkan untuk penggunaan energi listrik, hamper

(49)

D. Fasilitas Umum

Ketersediaan fasilitas umum di Desa Alue Sungai Pinang dapat peneliti gambarkan

dalam bentuk tabel seperti di bawah ini:

Jenis Ukuran/Daya Tampung Kondisi

Mesjid

Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar (2 unit)

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Umum (SMU) Gedung Desa (Kantor Mukim) Pesantren (1 unit)

Balai Pengajian (3 unit) TPA (2 unit)

Tempat Pelelangan Ikan Puskesmas

Pasar

MCK Umum

Kuburan Umum (7 Lokasi) Lumbung Desa

5. Sumber-sumber air bersih

Ketersediaan sumber-sumber air bersih di Desa Alue Sungai Pinang peneliti

gambarkan dalam tabel seperti di bawah ini:

Jenis Satuan/Unit

Mata pencaharian masyarakat Desa Alue Sungai Pinang pada umumnya adalah di

(50)

lahan kering 890 Hektar dan lahan pekarangan 850 Hektar. Masyarakat Alue Sungai Pinang

umumnya menanam padi (Oriza Sativa). Sedangkan untuk tanaman palawija yang biasa

ditanami di Desa Alue Sungai Pinang adalah jagung (Zea Mays L), ubi kayu (Manihot

Utilisima), ubi jalar (Ipomea Batata), kacang tanah (Aracis Hypogaea) dan kedelai (Glycine

L. Meryl). Tanaman holtikultura yang biasa ditanami dan banyak terdapat di Desa Alue

Sungai Pinang adalah pisang (Musa Paradisiaca), Mangga (Mangifera Indica), Durian (

Durio Zibethinus), Kuini (Mangifera Odorata), sa#wo (Manilcara), Rambutan, Tomat

(Licoparsikum Asculantum), Cabai (Capsicum Annum), mentimun (Cucumis Sativus) dan

beberapa jenis tanaman hias.

Sedangkan di daerah yang berbukit dan gunung merupakan daerah kebun penduduk

yang sebagian besar ditanami pohon Pala (Mysistica Paragran Hot), Pinang (Areca

Catechu), Durian ( Durio Zibethinus), Kuini (Mangifera Odorata), Mangga (Mangifera

Indica), Coklat (Teobroma Cacao), dan Nilam (Pagostemon Cablin).

Tanaman perkebunan yang ada Desa Alue Sungai Pinang sebagian besar adalah

Pala (Mysistica Paragran Hot), selain itu juga terdapat tanaman Coklat (Teobroma Cacao),

Nilam (Pagostemon Cablin) dan Pinang (Areca Catechu).

Selain di sektor pertanian, masyarakat di Desa Alue Sungai Pinang juga memelihara

ternak di hampir setiap rumah, berupa ternak ayam (gallus-gallus varius, gallus-gallus

banvica)

2. Sumber-sumber Mata Pencaharian Pokok

Untuk sumber-sumber mata pencaharian penduduk peneliti paparkan melalui tabel

Referensi

Dokumen terkait