KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA
(Studi Pada Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kab. Aceh Barat Daya)
DISUSUN O L E H
050903053 R I F Y A L
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : R I F Y A L NIM : 050903053
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Judul : Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda
Medan, Juni 2009
Pembimbing Ketua Departemen
Ilmu Administrasi Negara
Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.
NIP : 131 570 480 NIP : 131 568 391
Prof.Dr. Marlon Sihombing, M.A.
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
NIP : 131 757 010
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah menganugerahkan
segala rahmat dan petunjuk-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda”
ini dengan baik.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan, baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini juga
dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang turut mengambil dalam membatu peneliti
menyelesaikan laporan ini, mulai dari pengarahan di kampus sampai praktek sesungguhnya
di lapangan kepada:
1. Bapak Prof. DR. Muhammad Arif Nasution, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara, Prof. DR. Marlon Sihombing,
MA. yang telah memberikan rekomendasi serta pembekalan untuk menyelesaikan
skripsi ini.
3. Bapak Drs. Rasudyn Ginting, M. Si. selaku dosen pembimbing yang penuh
kesabaran dan perhatian membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.
4. Teristimewa kepada orang tua penulis ayahanda dan ibunda tercinta Ikhawan Hanif
dan Aja Sumarni beserta kakek Hanifuddin Ali dan (alm) nenek ..., adikku Irfan,
cepat tamat dek !!, adikku Putri Mulyasari yang manis, rajin-rajin belajar dan baca
itam, Abangku Affif Herman, Adikku Saifta Herman yang manis, Adikku Riza
Herman dan seluruh keluarga yang telah membantu terutama dari segi materi, doa
dan motivasi.
5. Abangda Safaruddin, S. Sos. atas segala motivasi dan dukungan sehingga saya bisa
menyelesaikan kuliah ini.
6. Abangda Rajab Polpoke, S. Sos. ....he..he...cepat nikah bang...!!!.
7. Staf pengajar Departemen Ilmu Administrasi Negara yang telah banyak
memberikan ilmu dan pengetahuannya selama ini kepada penulis.
8. Kak Mega, Kak Emi dan Kak Dian yang telah membantu penulis dalam mengurus
segala keperluan administrasi dan memberikan segala informasi-informasi dari
departemen.
9. Teman-teman magang kelompok 8, Rati, Santi, Ainun, Aci, Pengki, Soleman,
Hajali, terima kasih atas kerjasama dan batuannya selama ini.
10.Kepada sohib-sohibQ Isan Cek Wen, Yudi R, Darmi, Mukhsin, Tanjil, dan lain-lain.
11.Teman-teman stambuk 2005 yang telah bersama-sama selama 4 tahun di FISIP
USU ini. Terima kasih kalian telah memberi warna dalam hidupku.
12.Kepada keluarga besar FKPPM-ABDYA. Lely, Bg Is, Firdaus, Avien, Kak Nova,
dan yang lainnya yang telah mengikutkan sertakan penulis dalam berbagai
kegiatan-kegiatanya, dan memberikan penulis pengalaman-pengalaman baru yang sangat
bermanfaat bagi penulis.
13.Kepada seluruh pihak yang mungkin tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu,
yang telah banyak menuangkan ide yang bersifat membangun selama pembuatan
Seperti kata pepatah “Tak Ada Gading yang Tak Retak”, demikian pula halnya
dengan skripsi ini, tentu ada kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka penulis menerima saran-saran yang konstruktif dan solutif dari pembaca sekalian.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2009
Penulis,
DAFTAR ISI
3. Pembangunan Desa dan pemberdayaan Masyarakat ... 16
4. Pembentukan Desa ... 23
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 36
A. Sejarah Singakat Nama Desa ... 36
B. Letak Geografis ... 36
C. Sarana dan Prasarana ... 37
E. Sumber-sumber air bersih ... 38
F. Potensi Ekonomi ... 38
1. Mata Pencaharian ... 38
2. Sumber-sumber Mata Pencaharian Pokok ... 39
3. Jenis Mata Pencaharian dan Perlengkapan yang digunakan ... 40
G. Potensi Sumber Daya Alam ... 41
H. Sosial Budaya ... 41
I. Gambaran Umum Dusun IV Alue Tengku Muda ... 42
BAB IV PENYAJIAN DATA ... 47
A. Hasil Penelitian ... 47
B. Pelaksanaan Wawancara ... 47
C. Pedoman Administratif ... 48
D. Kondisi Fisik Kewilayahan. ... 49
E. Hasil Wawancara ... 51
BAB V ANALISIS DATA ... 59
A. Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menuju Pembentukan Menjadi Desa ... 59
B. Analisis SWOT ... 65
1. Kondisi Internal ... 66
2. Kondisi Eksternal ... 67
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 70
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 72
ABSTRAKSI
KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA
NAMA : Rifyal
NIM : 050903053
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Pembimbing : Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.
Sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat tentang perubahan di era reformasi, maka sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 ini, pemerintah telah melakukan perubahan-perubahan penting dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan mengejawantahkannya dalam rangka peningkatan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Tuntutan perubahan itu tidak hanya pada tataran nasional, tapi juga merambah ke tataran daerah. Dalam hal ini aspirasi yang disuarakan untuk perubahan itu terkait pembangunan yang selama orde baru dijalankan secara terpusat. Maka diadakanlah revisi-revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur hubungan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Salah satu lokus yang mendapat perhatian penting adalah desa, yang selama orde baru teralienasi perannya dalam pemberdayaan dan pembangunan. Desa dengan masyarakatnya yang seharusnya dinamis di masa orde baru berada dalam kondisi yang distatiskan, tidak berkembang, bahkan musnah nilai-nilai otonominya. Seiring dengan tuntutan perubahan, akhirnya desa telah dikembalikan keaslian otonominya oleh pemerintah pusat. Mulai dari keaslian namanya sesuai dengan asal daerah dan budaya masyarakat setempat, hingga pada pola dan struktur kepemerintahannya.
Tentang perubahan tersebut telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan Permendagri No 28 Tahun 2006. pada ketiga perundangan tersebut telah termuat secara gamblang tentang desa yang sudah ada dari awalnya, hingga pada desa hasil pembentukan atau pemekaran. Di dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tersebut telah disebutkan tentang syarat-syarat pembentukan desa baru. Keseluruhan produk hukum yang ada, yang mengatur tentang desa, tentu bertujuan untuk mempercepat proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang adil dan merata kepada masyarakat.
Informan penelitian ini berjumlah 4 orang, yang terdiri dari: Bapak Camat Jeumpa, Kepala Desa Alue Sungai Pinang, Kepala Dusun IV Alue Tengku Muda, dan Satu Orang Panitia Pembentukan Desa. Pengambilan sampel secara purposive sampling. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara substansi latar belakang keinginan masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda membentuk desa baru adalah ketidakadilan pembangunan. Sedangkan kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi desa belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembentukan desa sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006.
ABSTRAKSI
KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA
NAMA : Rifyal
NIM : 050903053
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Pembimbing : Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.
Sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat tentang perubahan di era reformasi, maka sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 ini, pemerintah telah melakukan perubahan-perubahan penting dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan mengejawantahkannya dalam rangka peningkatan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Tuntutan perubahan itu tidak hanya pada tataran nasional, tapi juga merambah ke tataran daerah. Dalam hal ini aspirasi yang disuarakan untuk perubahan itu terkait pembangunan yang selama orde baru dijalankan secara terpusat. Maka diadakanlah revisi-revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur hubungan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Salah satu lokus yang mendapat perhatian penting adalah desa, yang selama orde baru teralienasi perannya dalam pemberdayaan dan pembangunan. Desa dengan masyarakatnya yang seharusnya dinamis di masa orde baru berada dalam kondisi yang distatiskan, tidak berkembang, bahkan musnah nilai-nilai otonominya. Seiring dengan tuntutan perubahan, akhirnya desa telah dikembalikan keaslian otonominya oleh pemerintah pusat. Mulai dari keaslian namanya sesuai dengan asal daerah dan budaya masyarakat setempat, hingga pada pola dan struktur kepemerintahannya.
Tentang perubahan tersebut telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan Permendagri No 28 Tahun 2006. pada ketiga perundangan tersebut telah termuat secara gamblang tentang desa yang sudah ada dari awalnya, hingga pada desa hasil pembentukan atau pemekaran. Di dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tersebut telah disebutkan tentang syarat-syarat pembentukan desa baru. Keseluruhan produk hukum yang ada, yang mengatur tentang desa, tentu bertujuan untuk mempercepat proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang adil dan merata kepada masyarakat.
Informan penelitian ini berjumlah 4 orang, yang terdiri dari: Bapak Camat Jeumpa, Kepala Desa Alue Sungai Pinang, Kepala Dusun IV Alue Tengku Muda, dan Satu Orang Panitia Pembentukan Desa. Pengambilan sampel secara purposive sampling. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara substansi latar belakang keinginan masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda membentuk desa baru adalah ketidakadilan pembangunan. Sedangkan kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi desa belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembentukan desa sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Transisi politik yang terjadi di Indonesia, sejak berakhirnya kekuasaan Soeharto
pada bulan bulan Mei 1998, menghasilkan dua proses politik yang berjalan secara simultan:
desentralisasi dan demokratisasi. Kedua proses politik itu terlihat jelas dalam pergeseran
format pengaturan politik di taraf lokal maupun nasional, dari pengaturan politik yang
bersifat otoritarian-sentralistik menjadi lebih demokratis-desentralistik (Dwipayana dan
Sutoro Eko, 2003:v)
Desentralisasi dianggap penting karena setidaknya telah mengubah pola relasi
kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang selama ini terpusat di
pusaran elit yang berada di Jakarta. Desentralisasi menghadirkan pola kebijakan bottom-up
yang selama ini bersifat top-down. Sedangkan hadirnya demokratisasi telah merubah
paradigma pola kekuasaan yang selama ini dimiliki secara penuh oleh birokrat, beralih
kepada kekuasaan yang “diperebutkan” secara konstitutif oleh partai-partai yang hadir
berdasarkan kemerdekaan hak asasi warga Negara Indonesia di bidang politik.
Perubahan di level lokal tentu diawali dengan adanya revisi terhadap beberapa
undang-undang tentang pemerintah daerah, yakni UU No.22/1999 (sekarang adalah UU
No.32/2004. Pen) Salah satu lokus yang bergeser pengaturannya adalah desa (Dwipayana
dan Sutoro Eko, 2003: vi). Sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 hingga sampai saat
ini, peraturan-peraturan perundangan yang mengatur tentang bentuk dan susunan
pemerintah di daerah, termasuk pemerintahan desa adalah sebaga berikut, (Widjaja, 2003:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite
Nasional Daerah;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
5. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah
(disempurnakan);
6. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) tentang DPRD
Gotong Royong dan Sekretaris Daerah;
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Desapraja;
8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;
10.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan
11.Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Secara historis dan kultural, desa atau kesatuan masyarakat hukum terkecil di
negara kita memiliki variasi nama. Desa adalah sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum
yang berada di Pulau Jawa. Sedangkan sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum yang
berada di luar Pulau Jawa memiliki perbedaan nama masing-masing berdasarkan
daerah Sumatera Barat, Negeri untuk daerah Maluku, Huta untuk daerah Sumatera Utara,
Marga untuk daerah Sumatera Selatan, Kampung untuk daerah Kalimantan Timur,
Gampong untuk daerah Aceh, dan lain sebagainya. Perbedaan nama tersebut juga
menghadirkan beragam variasi sistem dan struktur pemerintahan kesatuan masyarakat
hukum di daerah-daerah tersebut.
Dalam perspektif wawasan kebangsaan, variasi nama-nama tersebut seharusnya
menjadi khazanah budaya Indonesia yang wajib dipertahankan sesuai aslinya, sehingga
pola pembangunan yang dicanangkan ke level terendah dalam sistem kenegaraan kita dapat
berjalan sebagaimana mestinya. Namun sejarah Orde Baru mencatat bahwa kuasa
otoritarianisme Soeharto telah menghilangkan kekhasan masing-masing daerah yang telah
mandiri secara baik tersebut. Inilah bukti betapa sentralisme kekuasaan telah memusnahkan
konsepsi asli tentang pemerintahan desa yang seharusnya dapat menjadi modal filosofi
pembangunan bagi tiap-tiap kesatuan masyarakat hukum di Indonesia.
Menyinggung keterkaitan antar desa dengan pembangunan, harus didasari bahwa
desa merupakan salah satu sub-sistem dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indoneisa, dan merupakan struktur terendah dalam sistem tersebut. Biarpun Desa
merupakan struktur terendah dalam sistem pemerintahan kita, namun demikian, desa
ternyata memegang peranan penting dalam proses implementasi kebijakan-kebijakan
pembangunan. Sebab setiap kebijakan pembangunan pemerintah pusat, sebagian besar
implementasinya dilakukan oleh pemerintah desa.
Melihat pentingnya peranan desa dalam proses pembangunan, maka upaya-upaya
meningkatkan peran struktur pemerintahan desa harus selalu digalakkan. Hal ini
lapisan masyarakat tanpa kecuali. Masyarakat desa adalah unsur pembangunan yang harus
diperhatikan kesetaraannya dalam proses pembangunan. Namun fokus masalah tersebut
dalam realita di lapangan banyak yang tidak terlaksana secara baik. Hal tersebut akhirnya
menimbulkan kesenjangan distribusi hasil-hasil pembangunan di masyarakat. Kondisi
demikian tentu ada sebabnya. Salah satu permasalahan yang menjadi penyebab timbulnya
kesenjangan tersebut di masyarakat desa adalah kepemimipinan kepala desa. Seorang
kepala harus mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya secara baik, sehingga
kepemimpinannya mampu membawa kebaikan kepada warga desanya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebutkan
dalam Pasal 14 Ayat 1, bahwa tugas kepala desa adalah: menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam Ayat 2 Pasal 14 tersebut
dinyatakan bahwa: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa mempunyai wewenang :
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama BPD;
b. mengajukan rancangan peraturan desa;
c. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desamengenai APB Desa untuk
dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
e. membina kehidupan masyarakat desa;
f. membina perekonomian desa;
h. mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mengingat tugas dan wewenang kepala desa sangat berat tersebut, maka sangat
diperlukan kemampuan dari kepala desa untuk mengkoordinasi seluruh kepentingan
masyarakat desa dalam setiap pengambilan keputusan. Kepala desa harus menyadari bahwa
pekerjaannya tidak mudah. Oleh sebab itu dia harus bersedia melimpahkan semua
kewenangannya kepada semua tingkatan pimpinan sampai ke tingkat bawah, sekalipun
seperti kepala dusun dan lainnya. (Widjaja: 31). Kesenjangan proses pembangunan adalah
efek besar dari ketidakmampuan melakukan distribusi wewenang kepada jajaran di
bawahnya oleh seorang kepala desa. Permisalan efek turunannya adalah lambannya proses
pembangunan di beberapa bidang di antaranya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan
lain-lain.
Fakta lapangan selalu menunjukkan adanya gerakan sosial dari masyarakat apabila
masalah di atas tidak segera diperbaiki. Masyarakat desa yang terdiri dari
masyarakat-masyarakat dusun cenderung bergerak untuk melepaskan diri dan membentuk desa baru
dengan satu alasan bahwa dusun-dusun mereka tidak pernah diperhatikan oleh kepala desa
mereka. Kekecewaan terhadap ketidaktanggapan kepala desa pada isu-isu kesetaraan dalam
pembangunan, menghadirkan suatu persepsi yang sangat kuat bahwa membentuk desa baru
(pemekaran) adalah sebuah solusi desentralistis dan demokratis guna percepatan
pembangunan desa.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa kebijakan desentralisasi yang memberikan
tangganya, pada intinya antara lain, adanya perwujudan demokratisasi penyelenggaraan
pemerintah daerah yang selama ini sentralistis. Kedua, kebijakan penyerahan kewenangan
kepada daerah untuk lebih memberdayakan dan memandirikan daerah, baik dalam
peningkatan pelayanan kepada masayarakat, maupun peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat. Ketiga, terimplementasikannya kebijakan otonomi daerah
tersebut, memunculkan tuntutan baru dari daerah itu sendiri yaitu tuntutan makin
mendekatnya pemerintah dengan masyarakat. Dari aspek geografis terkadang suatu
wilayah daerah, sangat jauh dari rentang kendali ibu kota daerah otonom, sehingga
berpengaruh pada akselerasi pelayanan. Pada dimensi yang terakhir inilah lahir tuntutan
pemekaran daerah. (Murtir: 111).
Secara teoritis, pembentukan desa baru nantinya akan melahirkan kesejahteraan
dengan adanya peningkatan pelayanan yang lebih baik dan lebih cepat karena rentang
rentang kendali pemerintah yang lebih pendek, dengan harapan fakta di lapangan tidak
menunjukkan bahwa pemberian status otonom pada desa yang baru belum mampu
menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat karena pembentukan desa baru hanya
dimanfaatkan oleh segelintir elit untuk mendapatkan kekuasaan.
Adalah masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang
Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
mencoba melakukan pembentukan desa baru di dusun tersebut. Sebagaimana dijelaskan di
atas, bahwa masyarakat akan cenderung melakukan gerakan sosial guna mendapatkan
hak-hak mereka yang selama ini tidak mereka nikmati. Gerakan sosial tersebut kini sedang
dilakukan oleh masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda. Mereka ingin melepaskan diri
mereka merasa dianaktirikan oleh desa induk. Namum, pembentukan desa baru tentunya
tidak hanya didasarkan pada persoalan hak-hak sosial ekonomi yang belum terpenuhi saja,
tanpa mempertimbangkan studi kelayakan apakah dusun tersebut sudah siap untuk menjadi
desa baik secara administratif maupun secara fisik kewilayahan, sehingga nantinya
pembentukan desa baru menghadirkan kehidupan masyarakat desa yang maju dan
sejahtera.
Studi kelayakan yang dimaksudkan di atas harus berpedoman pada Peraturan
Pemerintah No. 72 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun
2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa
Menjadi Kelurahan yang di dalamnya memuat tentang syarat-syarat pembentukan desa.
Syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi oleh sebuah daerah (dusun) yang ingin melakukan
pembentukan desa baru.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: “Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue
Tengku Muda”.
B. Perumusan Masalah
Suharsimi Arikunto (1993: 17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya
sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan
penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pentingnya perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan
masalah penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut: Bagaimanakah Kesiapan Dusun
IV Alue Tengku Muda untuk Menjadi Desa Alue Tengku Muda ?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tentunya mempunyai
tujuan yang hendak dicapai. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui sejauh mana Dusun IV Alue Tengku Muda dalam
mempersiapkan diri guna menjadi desa defenitif.
b. Untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam rencana
pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai pembentukan desa guna
mewujudkan percepatan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang berminat
menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang
berbeda dan dengan sampel penelitian yang lebih banyak;
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi masyarakat
mempersiapkan segala kebutuhan untuk menjadi sebuah desa definitif sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori diperlukan untuk memudahkan penelitian, sebab ia merupakan
pedoman berfikir bagi peneliti. Oleh karena itu, seorang peneliti harus terlebih dahulu
menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut
mana ia menyoroti masalah yang dipilihnya.. Selanjutnya menurut Masri Singarimbun dan
Sofyan Effendi (1989: 37), teori adalah serangkaian asumsi , konsep, konstruksi, definisi
dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep.
1. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan mayarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-perundangan.
Otonomi daerah menjadi satu hal yang penting, bukan semata-mata karena
memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tapi dengan otonomi, sebuah
pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Kita selama
ini dapat melihat, ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan ditentukan oleh pemerintah
pusat, maka banyak sekali kebijakan yang dilakukan itu tidak tepat sasaran. Dengan
pembangunan dengan mempertimbangkan kondisi riil daerah. Lebih dari itu, dengan
otonomi juga percepatan pembangunan daerah dapat dilaksanakan karena otonomi
memberikan peluang finansial yang lebih baik, yang apabila digunakan secara maksimal
akan menciptakan jalan kemakmuran bagi masyarakat. (Halim, 2002:16)
Adanya kebijakan otonomi daerah itu membawa konsep pemekaran daerah.
Daerah-daerah di tanah air menyambut dengan antusias ide pemekaran daerah tersebut, saat
ini saja di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah terbentuk 13 kabupaten baru. Melihat
kecenderungan dan semangat daerah dalam memekarkan daerahnya, ada kekhawatiran
bahwa ide pemekaran daerah lebih banyak dilatarbelakangi oleh nafsu segelintir orang yang
tidak terakomodasi kepentingannya di daerah induk sehingga dengan berbagai upaya taktis
dan politis dikembangkan wacana tentang perlunya pemekaran daerah. Hal ini tentunya
melenceng dari tujuan pemekaran daerah yang sebenarnya untuk meningkatkan pelayanan
publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Menurut Kastorius (Wahyudi, 2002:18) ide pemekaran daerah setidaknya harus
menjawab tiga isu pokok, diantaranya:
1. Urgensi dan relevansi, apakah urgensi pemekaran daerah berkaitan dengan
penuntasan masalah kemiskinan dan marginalitas etnik. Jika tidak, pemekaran
daerah akan berdampak negatif dan proses pemiskinan rakyat akan semakin cepat.
Pertimbangan umum pemekaran biasanya didasari oleh adanya potensi sumber daya
alam yang siap untuk dieksploitasi sementara kemampuan daerah menyangkut
finansial dan sumber daya manusia amat terbatas. Jalan keluar yang paling mungkin
adalah mengundang pihak luar menjadi investor dan ketika keputusan ini diambil
terhadap kekayaan alam yang dimiliki daerah itu. Cara berfikir inilah yang sangat
mengkhawatirkan dan berpotensi mengundang terjadinya proses pemiskinan.
2. Prosedur, apakah prosedur pemekaran daerah sudah ditempuh dengan benar sesuai
dengan ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Jika tidak, maka proses pemekaran
daerah ini akan berbelit-belit karena rantai birokrasi yang mengurus persoalan
seperti ini sangat panjang.
3. Implikasi, yakni sejauh mana pemekaran daerah memberi dampak yang signifikan
terhadap kesejahteraan masyarakat dan secara politis berimplikasi terhadap
terpeliharanya identitas etnik dan agama. Selain itu implikasi negatif yang juga
harus diperhitungkan adalah terjadinya konflik horizontal berkaitan dengan ide
pemekaran daerah itu. Di luar pihak yang memberi dukungan, pasti ada pihak-pihak
tertentu yang tidak menyetujui ide pemekaran daerah itu.
2. Desa
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berikut adalah penjelasan mengenai desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut:
“Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kepentingan masyarkat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di
kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai
desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat.
Undang-undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa walaupun dengan
sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan
penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah atau pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa
geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena
pemekaran desa ataupun karena transimigrasi ataupun karena alasan lain yang
warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan
diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari
desa itu sendiri.
Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan
budaya yang berkembang di desa yang bersangkut an, yang berfungsi sebagai
lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti dalam
pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang
berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan
Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata
cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati atau
walikota melalui camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib
memberikan keterangan laporan pertanggungjawabanya dan kepada rakyat
menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus
memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk
menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang
bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.
Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan,
penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa,
dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam
peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah.
Sedangkan menurut Sutardjo Kartodikusuma sebagaimana dikutip oleh Abu
Ahmadi (2003: 241) menjelaskan definisi desa sebagai suatu kesatuan hukum dimana
bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.
Lapera, (2001: 3-6) menguraikan pandangannya tentang desa dengan dua sudut
pandang yakni desa dari sudut pandang sosial budaya, dan desa dari sudut pandang politik
dan hukum. Bila ditinjau secara sosial budaya desa dapat juga dikatakan sebagai komunitas
dalam kesatuan geografis tertentu yang antar mereka saling mengenal dengan baik dengan
corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung pada alam.
Oleh karena itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada
sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat
Dengan demikian, jika kita membahas mengenai desa, setidak-tidaknya memuat
beberapa ciri berikut (Lapera, 2001: 4-5):
a. Adanya suatu wilayah yang jelas – dengan demikian wilayah ini telah
didefinisikan dengan jelas batas-batas teritorialnya;
b. Adanya sekumpulan orang (bukan pribadi atau sebuah keluarga) yang bertempat
tinggal di daerah yang dimaksud, dan menempatkan wilayah tempat tinggal
tersebut sebagai “wilayah meraka”;
c. Adanya ikatan dengan dasar yang beragam dan luas, seperti: kebutuhan akan rasa
aman bersama; hubungan darah (satu nenek moyang); dan nilai-nilai sosial
bersama yang dibangun bersama dari pengalaman hidup bersama;
d. Mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan mereka sendiri – menetapkan
pemerintahan sendiri; dan
e. Mempunyai harta benda, kekayaan desa.
Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai
organisasi kekuasaan. Melalui perspektif ini, desa dipahami sebagai organisasi
pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu
dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini, desa bisa dipilah dalam
beberapa unsur penting:
(1) adanya orang-orang atau kelompok;
(2) adanya pihak-pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin (baca: pengambil
keputusan)
(3) adanya organisasi (badan) penyelenggaraan kekuasaan;
(5) adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses
pengambilan keputusan.
Siti Waridah, dkk, (2004: 125-126) mengutip pendapat pakar Sosisologi “Talcot
Parsons” yang menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional
(gemeinischaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut:
a. Afektifitas;
b.
ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan
dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan
tolong-menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain
dan menolongnya tanpa pamrih;
Orientasi kolektif;
c.
sifat ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu
mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak
suka berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman
persamaan;
Partikularisme;
d.
pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya
dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu.
Perasaan subjektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku
untuk kelompok tertentu saja (lawannya universalisme);
Askripsi; yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak
diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan
suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan (lawannya
e. Kekaburan (diffuseness); sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan
antar pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa
menggunakan bahasa tidak langsung untuk menunjukkan sesuatu.
3. Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat a. Pembangunan Desa
Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di desa tersebut. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan pembangunan desa. Pembangunan desa seharusnya menerapkan
prinsip-prinsip yaitu: (1) transparansi (keterbukaan), (2) partisipatif, (3) dapat dinikmati
masyarakat, (4) dapat dipertanggungjawabkan, dan (5) berkelanjutan (sustainable).
Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke
seluruh pelosok daerah, untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada dasarnya
adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat seharusnya diajak
untuk menentukan visi (wawasan) pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Masa
depan merupakan impian tentang keadaan masa depan yang lebih baik dan lebih indah
dalam arti tercapainya tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.
Pembangunan desa dilakukan dengan pendekatan secara multisektoral (holistik),
partisipatif, berlandaskan pada semangat kemandirian, berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan serta melaksanakan pemanfaatan sumber daya pembangunan secara serasi
Ada tiga prinsip pokok pembangunan pedesaan, yaitu:
Pertama, Kebijakan dan langkah-langkah pembangunan di setiap desa mengacu kepada
pencapaian sasaran pembangunan berdasarkan Trilogi Pembangunan. Ketiga
unsur Trilogi Pembangunan tersebut yaitu (a) pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya, (b) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan (c) stabilitas yang
sehat dan dinamis, diterapkan di setiap sektor, termasuk desa dan kota, di setiap
wilayah dan antar wilayah secara saling terkait, serta dikembangkan secara selaras
dan terpadu.
Kedua, Pembangunan desa dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pembanguan yang
berkelanjutan. Penerapan prinsip pembangunan yang berkelanjutan mensyaratkan
setiap daerah mengandalkan sumber-sumber alam yang terbaharui sebagai sumber
pertumbuhan. Disamping itu setiap desa perlu memanfaatkan SDM secara luas,
memanfaatkan modal fisik, prasarana mesin-mesin, dan peralatan seefisien
mungkin.
Ketiga, Meningkatkan efisiensi masyarakat melalui kebijaksanaan deregulasi,
debirokratisasi dan desentralisasi dengan sebaik-baiknya.
Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan desa, diperlukan kerjasama yang erat
antar daerah dalam satu wilayah dan antar wilayah. Dalam hubungan ini perlu selalu
diperhatikan kesesuaian hubungan antar kota dengan daerah pedesaan sekitarnya, dan
antara suatu kota dengan kota-kota sekitarnya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya
lokasi industri, lokasi kegiatan pertanian atau sektor-sektor lain yang menunjang/terkait
kerjasama antar daerah, maka daerah-daerah yang dimaksud dapat tumbuh secara serasi dan
saling menunjang.
Seperti dalam pembangunan ekonomi pada umumnya, maka dalam mewujudkan
tujuan pembangunan desa, terdapat paling sedikit empat strategi, yaitu (1) Strategi
pertumbuhan, (2) Strategi kesejahteraan, (3) Strategi yang responsif terhadap kebutuhan
masyarakat, (4) Strategi terpadu atau strategi yang menyeluruh.
(1) Strategi Pertumbuhan
Strategi pertumbuhan umumnya dimaksudkan untuk mencapai peningkatan
secara cepat dalam nilai ekonomis melalui peningkatan pendapatan perkapita,
produksi dan produktivitas sektor pertanian, permodalan, penempatan kerja dan
peningkatan kemampuan partisipasi masyarakat pedesaan.
(2) Strategi Kesejahteraan
Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki taraf
hidup atau kesejahteraan penduduk desa melalui pelayanan dan peningkatan
program-program pembangunan sosial yang berskala besar atau nasional, seperti
peningkatan pendidikan, perbaikan kesehatan dan gizi, penanggulangan urbanisasi,
perbaikan pemukiman penduduk, pembangunan fasilitas transportasi, penyediaan
prasarana dan sarana sosial lainnya.
(3) Strategi yang Responsif terhadap Kebutuhan Masyarakat
Strategi ini merupakan reaksi terhadap strategi kesejahteraan yang
dimaksudkan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan
pembangunan yang dirumuskan oleh masyarakat sendiri dan mungkin saja dengan
melalui pengadaan teknologi dan tersedianya sumber-sumber daya yang sesuai
dengan kebutuhan di desa.
(4) Strategi Terpadu dan Menyeluruh.
Strategi terpadu dan menyeluruh ingin mencapai tujuan-tujuan yang
menyangkut kelangsungan pertumbuhan, persamaan, kesejahteraan dan partisipasi
aktif masyarakat secara simultan dalam proses pembangunan desa. Secara
konsepsional terdapat tiga prinsip yang membedakannya dengan strategi lain, yaitu:
Pertama, Persamaan, keadilan, pemerataan dan partisipasi masyarakat merupakan tujuan
yang eksplisit dari strategi terpadu ini. Oleh karena itu pemerintah desa yang
berwenang harus: (a) memahami dinamika sosial masyarakat setempat, (b)
memecahkan masalah yang dihadapinya, dan (c) memperkuat aparatur pemerintah
desa dalam melakukan intervensi sosial.
Kedua, Perlunya perubahan-perubahan mendasar, baik dalam kesepakatan maupun dalam
gaya dan cara kerja, karena itu pemerintah desa ,harus memiliki komitmen yang
kuat untuk: (a) menentukan arah, strategi, dan proses menuju terwujudnya tujuan
dan sasaran pembangunan, (b) memelihara integritas masyarakat pedesaan yang
didukung oleh local leadership (kepemimpinan lokal).
Ketiga, Perlunya keterlibatan pemerintah desa dan organisasi sosial secara terpadu, untuk
meningkatkan keterkaitan antara organisasi formal dan organisasi informal.
(Raharjdo: 19-23, 2006)
b. Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mengatasi persoalan kemiskinan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan
upaya dimana masyarakat berdaya dan mandiri dalam mengelola berbagai potensi yang
mereka miliki dalam mencapai kesejahteraannya. Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho
Dwidjowijoto (2007: 37-41) menyatakan bahwa ada 5 argumentasi mengapa pemberdayaan
masyarakat untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan pembangunan Indonesia.
Pertama, demokratisasi proses pembangunan. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu
memjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara (baca: rakyat) dalam
proses pembangunan, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasinya. Salah satu pendekatan untuk mendemokratisasikan proses
pembangunan adalah memberikan peluan sebesar-besarnya kepada lapisan
masyarakat paling bawah (grass-root, baca: rakyat miskin) untuk terlibat dalam
pengalokasian sumber daya pembangunan. Inilah hakikat konsep pembangunan
yang diarahkan oleh rakyat atau dalam istilah lain disebut pembangunan yang
digerakkan oleh masyarakat (community-driven development). Proses ini diyakini
mampu menjadi wahana pembelajaran pencerdasan bagi rakyat untuk mengenali
kebutuhannya serta melaksanakan dan melestarikan upaya memenuhi
kebutuhannya itu. Penerapan konsep pemberdayaan dengan demikian mempunyai
efek samping dalam bentuk mampu memberikan jalan terlaksananya
penyelenggaraan ketatanegaraan secara baik.
Kedua, penguatan peran organisasi kemasyarakatan lokal. Konsep pemberdayaan
dipercaya mampu menjawab tantangan bagaimana melibatkan organisasi
kemasyarakatan lokal berfungsi dalam pembangunan. Organisasi kemasyarakatan
merekalah yang paling mengerti karakter lapisan masyarakat bawah. Dalam
mekanisme manajemen pembangunan modern, peran mereka harus
diorganisasikan secara hierarkis agar informasi tentang situasi terkini dapat dijalin
secara multiarah, baik vertikal maupun horizontal. Peran organisasi
kemasyarakatan dalam mendampingi rakyat miskin sangat bervariatif, mulai
sebagai inisiator, katalisator, hingga fasilitator.
Ketiga, penguatan modal sosial. Konsep pemberdayaan diyakini mampu menggali dan
memperkukuh ikatan sosial diantara warga negara (baca: warga masyarakat).
Penguatan modal sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang
bersifat universal, yaitu kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian. Penguatan
modal sosial merupakan motivasi dasar setiap kegiatan yang dapat menjadi spirit
(pemacu) perwujudan tujuan pemberdayaan itu sendiri. Proses pemberdayaan
dengan sendirinya mampu menciptakan kultur masyarakat yang mandiri,
menciptakan hubungan harmonis diantara rakyat serta antara rayat dengan
pamong praja.
Keempat, penguatan kapasitas birokrasi lokal. Konsep pemberdayaan secara khusus
diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan
khusunya kepada penduduk setempat. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran
rakyatnya agar rakyat dapat memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya
baik fisik maupun nonfisik secara mudah. Dalam proses pemberdayaan – akhirnya
– karena rakyatnya bertambah cerdas, pada akhirnya mereka mampu memaksa
para penyelenggara pelayanan publik dan pemerintahan untuk belajar memahami
Kelima, mempercepat penanggulangan kemiskinan. Konsep pemberdayaan dalam
bentuknya yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat penanggulangan
kemiskinan, yaitu meninngkatkan kesejahteraan rakyat miskin, karena dalam
pendekatan pemberdayaan ini para penyelenggara poembangunan – baik
pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan – dituntut memberikan pemihakan
dan perlindungan kepada rakyat miskin. Pemihakan dilakukan dengan senantiasa
mengalokasikan suumber daya pembangunan untuk rakyat miskin. Karakter lokal
harus menjadi landasan dalam pemihakan agar antara berpeluang dan aspirasi
dapat terartikulasikan secara baik. Perlindungan dilakukan dengan senantiasa
membela rakyat miskin dalam berbagai aspeknya yang positif. Rakyat miskin
harus senantiasa dilindungi dan didampingi agar memiliki kekuatan untuk meraih
(mengakses) sumber daya ekonomi. Oleh karena itu, peran pendamping sangat
dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini.
Lebih lanjut, kita perlu memperhatikan penyataan berikut: (1) tidak semua
pendudukmempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu; dan (2) tidak
semua penduduk mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu, memiliki
penghasilan yang mencukupi kebutuhan konsumsinya dan konsumsi untuk seluruh anggota
keluarganya.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan: (1) apabila penduduk yang mempunyai
usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu mempunyai penghasilan yang kurang
dari kebutuhan konsumsinya (termasuk konsumsi seluruh anggota keluarganya)
dan (2) apabila penduduk miskin tidak mempunyai usaha atau tidak melakukan/memiliki
pekerjaan tertentu (sehingga tidak mempunyai penghasilan), ia dapat dikategorikan sebagai
penduduk miskin parah.
Agar penduduk miskin (baca: anggota rumah tangga miskin) menjadi tidak miskin lagi,
meraka memerlukan sesuatu yang dapat memberikan penghasilan atau sesuatu yang dapat
meringankan beban konsumsinya. Dalam rangka memberikan peluang bagi penduduk
miskin agar dapat mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu sehingga
dapat mempunyai penghasilan, kita dapat memberikan peluang pekerjaan yang dapat
menambah/memberikan penghasilan.
Untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan yang baik dan berkelanjutan,
maka diperlukan proses pemberdayaan masyarakat yang baik juga agar tujuan-tujuan
pembangunan yang ingin diwujudkan dapat terlakasa sesuai rencana.
4. Pembentukan Desa
a. Pengertian Pembentukan Desa
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pada pasal
2 ayat (1) mengatakan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan
memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
b.Tujuan Pembentukan Desa
Berdasarkan Permendagri No. 28 Tahun 2006 pada pasal 2 menyatakan bahwa
pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat
Menurut Latuconsina, pemekaran adalah bagian dari proses implementasi
desentralisasi yang memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum berbagai macam tujuan
dapat diklasifikasikan ke dalam dua variabel penting yakni peningkatan efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan. Secara otomatis melalui otonomi daerah dalam hal ini
adalah pembentukan desa baru dengan azas desentralisasi akan terjadi optimalisasi hirarki
penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh instansi yang
memiliki kedudukan lebih dekat dengan masayarakat sehingga keputusan-keputusan
strategis dapat lebih mudah dibuat, adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan
kondisi yang ada di tingkat lokal, adanya tingkat perawatan terhadap infrastruktur yang ada
melalui alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di
wilayahnya tersebut.
c. Dasar Hukum Pembentukan Desa
1. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Pada pasal 2 ayat (3) dalam PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa menyatakan
bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa
yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau
pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan pada pasal 2 ayat (4)
menyebutkan bahawa pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih dapat
dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006
Permendagri No. 28 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Penghapusan,
Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan merupakan aturan
turunan dari PP No. 72 Tahun 2005 yang mengatur lebih lanjut tentang mekanisme
pembentukan desa. Permendagri tersebut memuat tentang syarat dan tata cara pembentukan
desa yang merupakan aturan terbaru yang ada pada saat ini.
Tata cara pembentukan desa sebagaimana yang dimaksud pada pasal 5 Permendagri
No. 28 Tahun 2006 dilaksanakan sebagai berikut:
a. Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk membentuk desa;
b. Masyarakat mengajukan usul pembentukan desa kepada BPD dan Kepala Desa;
c. BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usul masyarakat
tentang pembentukan desa, dan kesepakatan rapat dituangkan dalam Berita Acara
Hasil Rapat BPD tentang Pembentukan Desa;
d. Kepala Desa mengajukan usul pembentukan Desa kepada Bupati/Walikota melalui
Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD dan rencana wilayah administrasi
desa yang akan dibentuk;
e. Dengan memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikota
menugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan
observasi ke Desa yang akan dibentuk, yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi
kepada Bupati/Walikota;
f. Bila rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak dibentuk desa baru, Bupati/
g. Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desa sebagaimana
dimaksud pada huruf f, harus melibatkan pemerintah desa, BPD, dan unsur
masyarakat desa, agar dapat ditetapkan secara tepat batas-batas wilayah desa yang
akan dibentuk;
h. Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan
Desa hasil pembahasan pemerintah desa, BPD, dan unsur masyarakat desa kepada
DPRD dalam forum rapat Paripur na DPRD;
i. DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas Rancangan Peraturan
Daerah tentang pembentukan desa, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan
Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa;
j. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah disetujui
bersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;
k. Peyampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana
dimaksud pada huruf j, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling lambat 7 (tujuh)
hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama;
l. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud
pada huruf k, ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; dan
m. Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang
telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada huruf 1,
Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut di dalam Lembaran
d. Syarat-Syarat Pembentukan Desa
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa menyatakan
bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa
yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau
pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 28 Tahun 2006 menyatakan bahwa pembentukan desa bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Adapun pembentukan desa harus memenuhi berbagai syarat yang tertuang dalam
yang tertuang dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No. 28 Tahun
2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status
Desa Menjadi Kelurahan adalah sebagai berikut:
Syarat pembentukan desa berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005 pada pasal 2 adalah
sebagai beikut:
a. jumlah penduduk;
b.luas wilayah;
c. bagian wilayah kerja;
d.perangkat; dan
e. sarana dan prasarana pemerintahan
Sedangkan dalam Permendagri No. 28 Tahun 2006 pada pasal 3 dijelaskan lebih
lanjut tentang syarat pembentukan tentang desa adalah sebagai berikut:
a. jumlah penduduk, yaitu:
1) wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK;
200 KK; dan
3) wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit
750 jiwa atau 75 KK.
e. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan
masyarakat;
f. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;
g. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan
kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;
h. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;
i. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan
peraturan daerah; dan
j. sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan
perhubungan.
F. Defenisi Konsep
Menurut Masri Singarimbun yang dikutip oleh Mardalis (2003: 45) bahwa konsep
adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk
menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Tujuannya adalah untuk menghindari
interpretasi ganda dari variabel yag akan diteliti.
1. Kesiapan
Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, “kesiapan” merupakan kata
nomina atau kata benda dengan konfiks ke-an (2002:1038), dengan kata dasar “siap”.
(2002:1417). Sehingga kesiapan adalah suatu keadaan telah siap, yaitu segala sesuatu telah
diatur dan dibereskan untuk suatu pekerjaan dengan persiapan berupa perlengkapan, hal,
tindakan, rancangan dan sebagainya. Jadi kesiapan daerah (dusun) menuju
pembentukan desa adalah kemampuan daerah (dusun) dalam mempersiapkan daerahnya
sehingga memenuhi semua persyaratan suatu daerah dapat dibentuk menjadi desa sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Desa
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pembentukan Desa
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa menyatakan
pembentukan desa adalah dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa
yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau
pembentukan desa di luar desa yang telah ada.
G. Defenisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana caranya
mengukur suatu variabel, sehingga dengan pengukuran ini dapat diketahui
indikator-indikator apa saja yang mendukung penganalisaan dari variabel-variabel tersebut
definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur suatu
variabel. Dalam definisi operasional ini disajikan parameter/indikator dari variabel yang
diteliti dengan tujuan untuk memudahkan membaca fenomena-fenomena yang diteliti.
Berdasarkan permasalahan dan kerangka teori yang menjadi referensi teoritis dalam
penelitian ini, maka indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tunggal (Kesiapan
Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda) adalah sebagai berikut:
a. Jumlah penduduk;
b. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan
masyarakat;
c. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;
d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;
e. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;
f. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan
daerah; dan
g. sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan
BAB II
METODE PENELITIAN A. Bentuk Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2004: 44) memberikan pengertian
penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan
masalah yang ada sekarang beradasarkan data-data, jadi ia juga menyajikan data,
menganalisis dan menginterpretasi; ia juga bisa bersifat komperatif dan korelatif. Sudarwan
Danim (2002: 41) memberikan beberapa ciri dominan dari penelitian deskriptif yaitu:
1. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat faktual. Adakalanya
penelitian ini dimaksudkan hanya membuat deskripsi atau narasi semata-mata dari
suatu fenomena.
2. Dilakukan secara survei. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering disebut juga
sebagai penelitian survei.
3. Bersifat mencari informasi faktual dan dilakukan secara mendetail;
4. Mendeskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh kelompok orang tertentu dalam
waktu yang bersamaan.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang
C. Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil
penelitian. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan
sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak ditentukan
secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai
informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi tiga
macam, yaitu (1) informan kunci (key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan
memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan utama,
yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan
tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung
terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti. (Hendrarso dalam Suyanto, 2005:
171-172)
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menentukan informan dengan
menggunakan teknik purposive yaitu: penentuan informan tidak didasarkan atas strata,
pedoman atau wilayah tetapi berdasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan
dengan permasalahan penelitian, maka peniliti dalam hal ini menggunakan informan
penelitian yang terdiri dari:
1. Informan Kunci, berjumlah 1 orang yaitu pemrakarsa pembentukan desa.
2. Informan Utama, berjumlah 2 orang yaitu:
a. Camat Jeumpa Bapak Hasbi Hasan, S. Sos. M.M
3. Informan Tambahan, berjumlah 1 orang yaitu dari tokoh masyarakat Bapak
Muhammad Iman Ismail M. Amin Nyak Geh sebagai kepala Dusun IV Alue
Tengku Muda.
Jumlah informan ini dapat berkembang jika dalam proses penelitian nantinya
ditemukan variasi jawaban atau adanya jawaban baru yang berbeda dari informan
sebelumnya yang dapat meningkatkan kualitas informasi.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaiu:
1. Teknik Pengumpulan Data Primer
Teknik pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan
penelitian langsung di lapangan untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Teknik ini dilakukan melalui:
a. Metode wawancara mendalam, yaitu dengan cara memberikan pertanyaan langsung
kepada sejumlah pihak terkait yang didasarkan pada percakapan secara intensif
dengan suatu tujuan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Metode
wawancara ditujukan untuk informan penelitian yang telah ditetapkan.
b. Metode observasi non partisan, yaitu pengamatan namun tidak terlibat secara
langsung. Pengamatan yang dimaksud di sini adalah deskripsi secara sistematis
tentang kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang dipilih untuk diteliti.
Metode pengamatan ini bervariasi mulai dari yang sangat terstruktur dengan catatan
rinci mengenai tingkah laku sampai dengan deskripsi yang paling kabur tentang
2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
a. Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data-data yang diperoleh dengan
mempelajari sejumlah buku, tulisan dan karya ilmiah yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
b. Dokumentasi, yaitu dengan menggunakan catatan-catatan yang ada di lokasi
penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.
E. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data
kualitatif. Teknik analisis data kualitatif dalam hal ini menggunakan analisis SWOT.
Dalam Penelitian ini analisis yang akan dilakukan adalah dengan melihat kesiapan
Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa berdasarkan syarat-syarat yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan,
Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan. Selanjutnnya akan
diidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam rencana pembentukan
Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa. Syarat-syarat pembentukan desa tersebut
meliputi:
a. jumlah penduduk, yaitu:
1) wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK;
2) wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau
200 KK; dan
3) wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit
b. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan
masyarakat;
c. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;
d.sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;
e. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;
f. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan
daerah; dan
g.sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Singkat Nama Desa
Nama Desa Alue Sungai Pinang diambil dari kisah legenda Teuku Malem Diwa.
Karena desa ini tumbuh pohon pinang besar (Areca Catechu). Selain itu Desa Alue Sungai
Pinang juga dinamai atas dasar karena di desa ini banyak terdapat alue (anak sungai) yang
mengaliri air ke sawah-sawah penduduk, juga sungai yang sebagian besar digunakan
masyarakat desa sebagai tempat MCK (mandi, cuci dan kakus).
B. Letak Geografis
Desa Alue Sungai Pinang berada di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat
Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Desa ini memiliki luas wilayah 3.460 Ha2 yang
terdiri dari 5 dusun, yaitu Dusun I Pasar, Dusun II Alue Sanggeu, Dusun III Alue Seulaseh,
Dusun IV Alue Teungku Muda dan Dusun V Gunong Tengku.
Adapun batas-batas wilayah Desa Alue Sungai Pinang sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan pegunungan/Kabupaten Gayo Lues;
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kuta Jeumpa Kecamatan Jeumpa;
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Alue Rambot Kecamatan Jeumpa;
C. Sarana dan Prasarana
Ketersediaan sarana dan prasarana di Desa Alue Sungai Pinang belum begitu
memadai, hal ini terlihat dari masih adanya yang rusak, parit dan talut yang sering longsor.
Sedangkan untuk sarana transportasi, rata-rata penduduk sudah memakai sepeda motor,
bahkan mobil. Untuk menuju pusat Kota Provinsi Naggroe Aceh Darussalam di Banda
Aceh tidak terlalu sulit karena adanya angkutan umum dan keberadaan desa yang dilalui
oleh jalan Negara. Selain itu, Desa Alue Sungai Pinang terdapat 1 buah jembatan yang
terletak di jalan negara yang sekaligus jembatan tersebut menjadi batas alam antara Desa
Alue Sungai Pinang dengan Desa Kuta Jeumpa.
Desa Alue Sungai Pinang terdiri dari dua unit jalan, yaitu jalan kecamatan dengan
panjang jalan ± 2.000 meter dan lebar ± 15 meter dengan jenis aspal dan kondisi yang
masih bagus dan jalan relokasi yang terletak di Dusun III Alue Seulaseh dan Dusun IV
Gunong Cut dengan panjang ± 1.500 meter dengan kondisi jalan yang saat ini sedang rusak.
Di Desa Alue Sungai Pinang tidak terdapat saluran pembuangan, karena di desa tersebut
tidak memiliki limbah pabrik dan juga karena air irigasi dimanfaatkan warga untuk
kebutuhan MCK dan mengairi sawah. Sedangkan untuk penggunaan energi listrik, hamper
D. Fasilitas Umum
Ketersediaan fasilitas umum di Desa Alue Sungai Pinang dapat peneliti gambarkan
dalam bentuk tabel seperti di bawah ini:
Jenis Ukuran/Daya Tampung Kondisi
Mesjid
Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar (2 unit)
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Umum (SMU) Gedung Desa (Kantor Mukim) Pesantren (1 unit)
Balai Pengajian (3 unit) TPA (2 unit)
Tempat Pelelangan Ikan Puskesmas
Pasar
MCK Umum
Kuburan Umum (7 Lokasi) Lumbung Desa
5. Sumber-sumber air bersih
Ketersediaan sumber-sumber air bersih di Desa Alue Sungai Pinang peneliti
gambarkan dalam tabel seperti di bawah ini:
Jenis Satuan/Unit
Mata pencaharian masyarakat Desa Alue Sungai Pinang pada umumnya adalah di
lahan kering 890 Hektar dan lahan pekarangan 850 Hektar. Masyarakat Alue Sungai Pinang
umumnya menanam padi (Oriza Sativa). Sedangkan untuk tanaman palawija yang biasa
ditanami di Desa Alue Sungai Pinang adalah jagung (Zea Mays L), ubi kayu (Manihot
Utilisima), ubi jalar (Ipomea Batata), kacang tanah (Aracis Hypogaea) dan kedelai (Glycine
L. Meryl). Tanaman holtikultura yang biasa ditanami dan banyak terdapat di Desa Alue
Sungai Pinang adalah pisang (Musa Paradisiaca), Mangga (Mangifera Indica), Durian (
Durio Zibethinus), Kuini (Mangifera Odorata), sa#wo (Manilcara), Rambutan, Tomat
(Licoparsikum Asculantum), Cabai (Capsicum Annum), mentimun (Cucumis Sativus) dan
beberapa jenis tanaman hias.
Sedangkan di daerah yang berbukit dan gunung merupakan daerah kebun penduduk
yang sebagian besar ditanami pohon Pala (Mysistica Paragran Hot), Pinang (Areca
Catechu), Durian ( Durio Zibethinus), Kuini (Mangifera Odorata), Mangga (Mangifera
Indica), Coklat (Teobroma Cacao), dan Nilam (Pagostemon Cablin).
Tanaman perkebunan yang ada Desa Alue Sungai Pinang sebagian besar adalah
Pala (Mysistica Paragran Hot), selain itu juga terdapat tanaman Coklat (Teobroma Cacao),
Nilam (Pagostemon Cablin) dan Pinang (Areca Catechu).
Selain di sektor pertanian, masyarakat di Desa Alue Sungai Pinang juga memelihara
ternak di hampir setiap rumah, berupa ternak ayam (gallus-gallus varius, gallus-gallus
banvica)
2. Sumber-sumber Mata Pencaharian Pokok
Untuk sumber-sumber mata pencaharian penduduk peneliti paparkan melalui tabel