PEMANTAUAN EFEKTIVITAS TERAPI GENTAMISIN DOSIS
BERGANDA BOLUS INTRAVENUS TERHADAP INFEKSI PADA
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
TESIS
Oleh
POPPY ANJELISA Z. HASIBUAN
067014004/FM
S
E K O L A H
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANTAUAN EFEKTIVITAS TERAPI GENTAMISIN DOSIS
BERGANDA BOLUS INTRAVENUS TERHADAP INFEKSI PADA
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Farmasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
POPPY ANJELISA Z. HASIBUAN
067014004/FM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMANTAUAN EFEKTIVITAS TERAPI GENTAMISIN DOSIS BERGANDA BOLUS INTRAVENUS TERHADAP INFEKSI PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS Nama Mahasiswa : Poppy Anjelisa Z. Hasibuan
Nomor Pokok : 067014004 Program Studi : Ilmu Farmasi
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) Ketua
(Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.) Anggota
(Prof. dr. Adi Koesoema Aman, SpPK-KH., FISH.) Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc.)
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian terhadap efektifitas terapi gentamisin dosis populasi 80 mg pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis di departemen Ilmu Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan RSUP. H. Adam Malik Medan. Gentamisin diberikan secara intravenus bolus tiap 12 jam pada 3 orang penderita yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diamati kadarnya di dalam darah penderita. Pengamatan terhadap kadar gentamisin dalam darah dilakukan dengan menggunakan cuplikan serum yang diambil pada 30 menit setelah dosis ke-1 dalam keadaan tunak, dan dinyatakan sebagai konsentrasi maksimum (Cmax). Cuplikan kedua diambil pada 6 jam setelah injeksi dosis ke-1 untuk mengetahui manifestasi klinis, dan cuplikan ketiga diambil 5 menit sebelum injeksi dosis ke-2 yang dinyatakan sebagai konsentrasi minimum (Cmin). Sebelum dan selama terapi gentamisin, penderita menjalani pemeriksaan laboratorium meliputi darah lengkap, faal ginjal (BUN dan kreatinin serum) dan uji kultur resistensi mikroba.
Berdasarkan pemeriksaan kadar gentamisin dalam darah menggunakan alat Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 Roche diperoleh hasil bahwa
penderita MU memiliki Cmax = 4.51 mcg/ml; C6jam= 3.08 mcg/ml; Cmin = 1.34
mcg/ml, penderita SU memiliki Cmax = 4.13 mcg/ml; C6jam= 1.42 mcg/ml, Cmin =
0.52 mcg/ml, penderita MR memiliki Cmax = 5.22 mcg/ml; C6jam= 0.94 mcg/ml,
Cmin = 0.41 mcg/ml. Dilakukan perhitungan dosis individual menggunakan rumus Kaedah Keadaan Mantap dan diperoleh hasil bahwa dosis yang dibutuhkan MU adalah sebesar 140 mg, SU sebesar 150 mg, dan MR sebesar 120 mg untuk memperoleh Cmax yang memenuhi range terapi dan efektif terhadap penyembuhan infeksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian gentamisin dosis 80 mg tiap 12 jam tanpa pertimbangan berat badan dan fungsi ginjal menghasilkan variabilitas yang besar terhadap pencapaian kadar terapi.
ABSTRACT
It has been carried out a study on the effect of therapeutic drug monitoring of gentamisin population dose 80 mg toward chronic obstructive pulmonary disease at Pulmonology and Respiratory department RSUP.H Adam Malik Medan,. The gentamycin is given bolus intravenously every 12 hours toward 3 sufferer who meet inclusion criteria then the concentration of gentamycin in the blood is done by using aliquot serum taken on 30 minutes after the first dose in steady state, and called as maximum concentration (Cmax). The second aliquot is taken on 6 hours after injection of the first dose to find out clinic manifestation, and the third aliquot is taken 5 minutes before injection of the second dose called as minimum consentration (Cmin). Before and during gentamycin therapeutic, the sufferer undergo laboratory examination covering complete blood, kidney faal (BUN and serum creatinin) and microba resistancy culture test.
Based on the examination of gentamycin concentration in the blood by using Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 Roche, it is found the result that MU, the first sufferer has Cmax = 4.51 mcg/ml; C6hours= 3.08 mcg/ml; Cmin= 1.34 mcg/ml, SU the second sufferer has Cmax= 4.13 mcg/ml; C6hours= 1.42 mcg/ml, Cmin= 0.52 mcg/ml, MR, the third sufferer had Cmax= 5.22 mcg/ml; C6hours= 0.94 mcg/ml, Cmin= 0.41 mcg/ml.
It is calculated on individual dose by steady state formulation had shown and the result that the dose need for MU is 140 mg, SU is 150 mg and MR is 120 mg to get Cmax meeting the therapeutic range and effective toward the infection recovery.
The result the of study shows that therapy of gentamycin 80 mg every 12 hours without considering of body weight and kidney function cause big variability toward the achievement of therapeutic consentration.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dihaturkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat
dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Magister
Science pada Program Studi Farmasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penentuan dosis
regimen terapi yang tepat serta pemantauan efek samping obat di rumah sakit.
Banyak sekali bantuan dari berbagai pihak yang penulis dapatkan selama menjalani
pendidikan, melaksanakan penelitian dan menyusun tesis ini. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara: Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B., MSc.
2. Ketua Program Studi Farmasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara:
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
3. Komisi pembimbing: Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Prof. Dr. Urip
Harahap, Apt., dan Prof. dr. Adi Koesoema Aman, SpPK-KH., FISH., yang telah
memberikan bimbingan, arahan, perhatian serta dukungan semangat dari awal
hingga selesainya tesis ini.
4. Komisi penguji: Dr. Karsono, Apt., dan Dr. Edy Suwarso, Apt. yang telah
memberikan saran yang bermanfaat bagi perbaikan tesis ini.
5. Kedua orangtua penulis: drs. Syafaruddin Hsb dan Nurhaida Wahab, yang telah
mendidik dan menanamkan nilai-nilai luhur, memberi semangat, kekuatan, doa
dan kasih sayang.
6. Ibunda-ibunda tersayang: Hj. Yusriah Wahab dan Nismawati Wahab yang telah
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kasih sayang, perhatian dan
doanya, semoga ibunda panjang umur, murah rezeki dan sehat selalu.
7. Ayahanda: Ir. Ridwan H. Daud dan Parlaungan Lubis, SH., MSi., terima kasih
atas perhatian, pendidikan dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis
selama ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan ayahanda.
8. Kedua mertua penulis: (Alm) Noerman Effendi dan Maryati, yang telah mendidik
dan membesarkan suami penulis sehingga menjadi seorang suami yang
bertanggungjawab, penuh perhatian dan kasih sayang.
9. Suami tercinta: Herry Bambang, S.Si, terima kasih atas cinta, perhatian,
kesabaran, pengertian dan pengorbanannya. You’re all I need.
10.Adik-adikku: Donny Yamin, SE., Petty Angelia, SS., T. Ismail Husny, SE dan
Aisyah, SPd., terima kasih atas bantuannya selama ini. Berkat semangat dari
kalian penulis dapat melewati semua ini.
11.Para sahabatku: Aminah Dalimunthe, S.Si., Apt., Dian Irawati, ST., dr. Rina
Amelia, terima kasih telah menjadi teman yang baik di kala suka dan duka.
Semoga persahabatan kita terus berlanjut selamanya.
12.Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu mendapatkan
masukan demi kesempurnaannya. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran
membangun sehingga akan bermanfaat di masa yang akan datang.
Medan, 17 Desember 2008
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Poppy Anjelisa Z. Hasibuan
Tempat/Tgl Lahir : Medan, 10 Juni 1975
Agama : Islam
Riwayat Pendidikan :
1983 – 1989 : SD Muhammadiyah 01 Medan
1989 – 1991 : SMP Negeri 11 Medan
1991 – 1994 : SMA Negeri 1 Medan
1994 – 1999 : Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
1999 - 2000 : Program Pendidikan Profesi Apoteker, Jurusan
Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Riwayat Pekerjaan :
2000 – 2001 : Staf Pengajar Honorer pada Akademi Farmasi
Departemen Kesehatan RI
2000 – 2003 : Apoteker Pengelola Apotek ”Darussalam” Medan
2004 – 2005 : Apoteker Pengelola Apotek ”Rose Farma”
Panyabungan
DAFTAR ISI
1.2 Kerangka Konseptual dan Operasional ... 5
1.3 Perumusan Masalah ... 6
1.4 Hipotesis Penelitian ... 7
1.5 Tujuan Penelitian ... 8
1.6 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …... 9
2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronis ……….. . 9
2.2 Infeksi ... 11
2.3 Penggunaan Antibiotik ... 13
2.4 Tinjauan Umum Antibiotika Golongan Aminoglikosida …………... 15
2.5 Gentamisin ……… ... 19
2.6 Pemantauan Efektifitas Terapetik ………... 23
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………... 31
3.8 Analisis Data ……….. 37
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .………. 41
4.1 Data karakteristik fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium
penderita ……… 4.2 Diagnosis ……… 4.3 Pengamatan efek samping obat ………. 4.4 Analisis dosis injeksi gentamisin intravenus bolus dan kadar
gentamisin dalam darah ……… 4.5 Rekomendasi dosis individual ………
39 44 46
47 51
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .……….. 53
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1 Data Karakteristik Pasien ………... 39
4.2 Data Pemeriksaan Kreatinin dan Ureum ………. 42
4.3 Data Perhitungan Kreatinin Klirens dan BUN ……… 42
4.4 Data Diagnosis dan Obat Lain yang Diberikan Terhadap
Penderita ……….. 45
4.5 Data Pengamatan Efek Samping Terhadap Pasien ………. 46
4.6 Data Pemeriksaan Kadar Gentamisin dalam Darah Setelah
Injeksi Gentamisin Bolus Intravenus 80 mg per 12 jam …. 48
4.7 Data hasil perhitungan penentuan regimen dosis individual
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi,
mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) ke
paradigma baru (drug and patient oriented) dengan filosofi pharmaceutical care
(pelayanan kefarmasian). Adapun fungsi pelayanan farmasi di rumah sakit dalam hal
penggunaan obat adalah melakukan penentuan kadar obat dalam darah, pemantauan
terapi obat, dan pengkajian obat (Kepmenkes, 2004).
Keberhasilan suatu pengobatan sangat tergantung dari pemilihan obat dan
perancangan aturan dosis pemberian. Sesuai dengan konsep farmasi klinis yang
menekankan keamanan dan ketepatan penggunaan obat oleh pasien, maka pemilihan
obat dan produk obat harus didasarkan atas karakteristik pasien dan farmakokinetika
obat. Farmasi klinis merupakan unsur pelayanan kefarmasian berorientasi pasien
yang secara umum memberikan informasi mengenai dosis obat yang tepat, frekuensi
pemberian obat yang didasarkan pada farmakokinetika obat, efek samping, interaksi,
Selama ini penggunaan obat dilakukan secara empiris berdasarkan pada
hubungan dosis dan respons. Peningkatan dan penurunan dosis dilakukan dengan
menginterpretasikan respons klinik yang timbul (Robinson dan Taylor, 1986). Akan
tetapi adanya variasi farmakokinetika dan farmakodinamika mengakibatkan
perancangan dosis pada setiap individu menjadi sulit. Oleh karena itu, penerapan
farmakokinetika untuk perancangan dosis harus diikuti dengan evaluasi klinik dan
pemantauan pada pasien. Untuk menilai respons penderita terhadap aturan dosis yang
diberikan, beberapa rumah sakit menerapkan pelayanan Therapeutic Drug
Monitoring (TDM). Pemantauan efektifitas terapetik atau therapeutic drug
monitoring adalah suatu pengukuran kadar obat di dalam darah (http:www.en
wikipedia.org/wiki/therapeutic drug monitoring, 2007). Pemantauan efektifitas
terapetik dibutuhkan untuk menentukan dosis yang paling efektif atau untuk
menghindari efek toksik pada obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit seperti
halnya antibiotika golongan aminoglikosida (Zaske, dkk, 1986).
Penyakit infeksi dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas terutama pada
individu dengan sistem imun yang buruk, kurang gizi, pada bayi, dan lanjut usia.
Penyebab infeksi dapat berasal dari luar (eksogen) maupun dari dalam tubuh
(endogen). Infeksi terjadi apabila tubuh, agen penginfeksi, dan faktor lingkungan
seperti vektor (berupa serangga, tikus, ataupun pembawa lainnya) berinteraksi yang
Penatalaksanaan infeksi saluran nafas akan berhasil dengan baik apabila
diagnosis penyakit ditegakkan lebih dini dan perlu diberi antibiotika yang sesuai
untuk kuman penginfeksi (Yunus, 2007). Salah satu penyakit paru yang mempunyai
tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi baik di negara industri maupun yang sedang
berkembang adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Penyakit ini
dihubungkan dengan beberapa faktor risiko yang cukup banyak dan makin meningkat
di Indonesia seperti asap rokok, polusi udara yang ada di kota-kota besar, daerah
industri, pertambangan, kebakaran hutan dan sebagainya. Oleh sebab itu diperkirakan
jumlah kasus PPOK pun akan meningkat tajam di masa yang akan datang (Babar,
2003).
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit progresif yang
ditandai dengan pembatasan aliran udara yang masuk sehingga tidak memenuhi,
terjadi secara reversibel dan bergabung bersama respon inflamasi yang tidak normal
pada paru-paru terhadap partikel asing maupun gas (Bourdet dan Williams, 2004).
Pengobatan PPOK sangat tergantung pada beratnya penyakit. Obat-obat yang
diberikan bertujuan memperkecil/menghilangkan keluhan dan gejala serta mencegah
komplikasi. Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan eksaserbasi akut yang ditandai
dengan adanya sputum dan wheezing disebabkan oleh infeksi pada
trakhea-bronkiolus dan polusi udara, oleh karena itu perlu penggunaan antibiotika (Babar,
Antibiotika merupakan kelompok obat yang terbanyak digunakan khususnya
dalam pengobatan di rumah sakit (Juwono dan Prayitno, 2003). Penggunaan
antibiotika secara luas tanpa regimen dosis yang benar akan menimbulkan resistensi
kuman, menyebabkan meningkatnya toksisitas dan efek samping obat, efektivitas
obat menjadi rendah, dan biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi, sehingga
merugikan penderita (Katzung, 1998).
Telah lama diketahui bahwa pemberian antibiotika dapat digunakan untuk
tujuan terapetik maupun profilaksis. Salah satu antibiotika yang bersifat bakterisida
dan banyak digunakan adalah golongan aminoglikosida. Gentamisin merupakan
antibiotika golongan aminoglikosida yang berpotensi tinggi dan berspektrum luas
karena sifat bakterisidanya yaitu mampu membunuh bakteri gram positif dan gram
negatif (Gerald, 2005; Tjay, 2003).
Gentamisin dapat diberikan berupa bolus intravena yaitu pemberian secara
injeksi yang langsung dengan kadar tinggi dalam waktu singkat (Lukas, 2006).
Gentamisin dapat menimbulkan toksisitas oleh karena itu penyesuaian dosis harus
didasarkan pada hasil pemantauan konsentrasinya di dalam darah (Cronberg, 1990).
Penyesuaian dosis dilakukan untuk menghindari akumulasi obat dan toksisitas pada
pasien dengan insufisiensi fungsi ginjal. Adapun cara yang dilakukan adalah dengan
menaikkan interval antar dosis, tetapi dosisnya konstan ataupun mengurangi dosis,
Telah diketahui bahwa gentamisin sama halnya seperti aminoglikosida lain
yaitu mempunyai rentang terapi yang sempit, bersifat nefrotoksik, ototoksik dan
secara farmakokinetik mempunyai variabilitas interindividual, oleh karena itu
kadarnya perlu dipantau dalam darah terutama pada penderita yang disertai
gangguan fungsi ginjal agar efikasi dan keamanannya dapat dicapai (Taylor, 1995;
Craig, 1997). Pemantauan kadar gentamisin dalam darah juga penting karena profil
dosis–kadar obat dalam darah sukar diprediksi, terutama kadar puncak dan waktu
paruh eliminasi (Peak – serum levels dan elimination half – life) (Gerald, 2005).
Penelitian Pane (2007) menunjukkan bahwa terdapat variabilitas yang cukup
besar terhadap pencapaian kadar terapi pada penggunaannya sebagai profilaksis pada
pasien pasca bedah ortopedi. Berdasarkan atas kepentingan pemantauan obat seperti
yang tertera pada Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2004 dan Global Alliance
for Patient Safety dari WHO tahun 2004, maka perlu dilakukan penelitian
pemantauan kadar gentamisin terhadap infeksi paru untuk mendapatkan profil
antibiotika sehingga dapat dijadikan pedoman untuk mengoptimalkan penggunaannya
di rumah sakit.
1.2 Kerangka Konseptual dan Operasional
Pemberian gentamisin dosis lazim 80 mg bolus intravenus dosis ganda untuk
kadar lembah. Efek terapi akan diperoleh bila kadar tersebut berada di antara kadar
aman maksimum dan kadar efektif minimum (Ritschel, 1992; Shargel, 1985).
Dosis empirik 80 mg bagi setiap penderita dengan berat badan bervariasi,
akan menghasilkan dosis mg/kg BB/hari yang juga bervariasi. Keadaan ginjal
penderita merupakan faktor individual yang sangat menentukan dalam pencapaian
kadar gentamisin dalam darah (Zairina, 1999). Oleh karena itu untuk pemantauan
kadar gentamisin dalam darah diperlukan cara sebagai berikut :
a. dikumpulkan cuplikan antara kadar puncak dan kadar lembah.
b. efek samping spesifik yang terjadi berupa gangguan pendengaran, vertigo dan
lainnya dipantau selama penderita dirawat di rumah sakit dan jika ada keluhan
gangguan pendengaran, maka penderita dikonsultasikan ke bagian telinga hidung
tenggorokan (Hermsen, 2007; TDx assay, 1995; Zairina, 1999).
Secara skematis kerangka konsep penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
Gentamisin bolus
Efek samping Vertigo
Gambar 1.1. Kerangka Konsep Penelitian
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan permasalahan penelitian adalah sebagai
berikut:
a. apakah pemberian gentamisin dosis berganda bolus intravenus dosis 80 mg tiap 12
jam, tanpa mempertimbangkan berat badan dan fungsi ginjal akan menghasilkan
variabilitas yang besar terhadap pencapaian kadar terapetik terhadap infeksi pada
PPOK ?
b. apakah penggunaan gentamisin dosis berganda bolus intravenus 80 mg akan
menghasilkan kadar serum yang memenuhi rentang terapi aman dan
bervariasi?sis
c. apakah terdapat efek samping pada penggunaan gentamisin dosis 80 mg sebagai
terapi terhadap infeksi pada PPOK?
1.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian adalah
a. pemberian gentamisin dosis berganda bolus intravenus 80 mg terhadap infeksi
pada penyakit paru obstruktif kronis tanpa mempertimbangkan berat badan dan
fungsi ginjal akan menghasilkan variabilitas yang besar terhadap pencapaian
kadar terapetik obat.
b. penggunaan gentamisin dosis berganda bolus intravenus 80 mg menghasilkan
kadar serum yang memenuhi rentang terapi aman meskipun terdapat variabilitas
individual terkait kadar gentamisin dalam serum dan respons klinis yang
ditimbulkan.
c. efek samping dapat terjadi pada penggunaan gentamisin dosis berganda bolus
intravenus 80 mg tersebut.
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecukupan kadar gentamisin dalam
serum dosis 80 mg pada pemberian dosis berganda bolus intravenus sebagai
terapetik terhadap infeksi pada penyakit paru obstruktif kronis.
1.5.2 Tujuan Khusus
a. menentukan besarnya kadar puncak (Cmax) dan kadar lembah (Cmin)
gentamisin dalam serum pada pemberian dosis berganda.
b. menentukan dosis individu berdasarkan besarnya kadar puncak (Cmax) dan
kadar lembah (Cmin) gentamisin dalam serum pada pemberian dosis berganda.
c. mengamati efek samping obat pada penggunaan gentamisin dosis berganda
sebagai terapetik.
1.6 Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan yang
bermanfaat untuk penentuan dosis regimen terapi yang tepat serta pemantauan efek
samping obat pada penderita yang mendapat pengobatan gentamisin dan sekaligus
membudayakan pemantauan efek terapi obat dalam serum (Therapeutic Drug
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Obstruksi saluran napas paru dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang
terdapat pada lumen, dinding atau di luar saluran napas. Kelainan pada lumen dapat
disebabkan oleh sekret atau benda asing. Pada dinding saluran napas, kelainan terjadi
akibat peradangan, tumor, hipertrofi, dan hiperplasia akibat iritasi kronik. Sedangkan
kelainan di luar saluran napas dapat terjadi karena penekanan oleh tumor paru, dan
pembesaran kelenjar. Obstruksi paru ini dikenal dengan penyakit paru obstruktif
kronik (Yunus, 2003).
Menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease),
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan adanya
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan
aliran udara ini umunya bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
paru terhadap partikel asing atau gas beracun/ berbahaya (Bourdet dan Williams,
2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) berhubungan dengan bronkhitis
kronis dan emfisema. Bronkhitis kronis ditandai oleh adanya sekresi mukus bronkhus
yang berlebihan dan batuk produktif selama 3 bulan atau lebih, dan berlangsung
selama 2 tahun berturut-turut serta tidak disebabkan penyakit lain yang mungkin
terjadinya pembesaran permanen pada saluran udara bagian bawah sampai
bronkiolus terminal dengan kerusakan pada dinding dan tanpa fibrosis yang nyata
(Tierney, et al., 2002). Penyebab utama PPOK adalah merokok (asap rokok) karena
hampir seluruh perokok mengalami penurunan fungsi paru meskipun hal ini
tergantung pada dosis dan lama merokok. Komponen aktif dari tembakau akan
mengaktivasi sel inflamatori yang akan menghasilkan serta melepaskan mediator
inflamasi yang akan memicu obstruksi paru. Selain itu adanya predisposisi genetis,
yaitu kurangnya α-1 antitripsin (AAT) suatu protein yang diproduksi oleh liver dan
berperan sebagai pelindung paru-paru terhadap kerusakan sel yang ditimbulkan oleh
elastase. Enzim elastase yang dilepaskan oleh neutrofil ini akan menyerang elastin
(komponen terbesar dinding alveoli) sehingga saluran nafas kehilangan elastisitasnya
sehingga dapat menyebabkan terjadinya emfisema yang berkaitan dengan PPOK.
Tekanan lingkungan ( meliputi abu limbah industri dan bahan kimia), infeksi saluran
nafas, dan polusi udara juga dapat menjadi pencetus PPOK (Tierney, dkk, 2002;
Bourdet dan Williams, 2003, Rab, 1996; Stark, dkk, 1990).
Berdasarkan atas bentuk klinis, PPOK terbagi atas 3 yaitu PPOK stabil, PPOK
yang mengalami eksaserbasi dan, PPOK yang memerlukan ventilator. Penyakit Paru
Obstruktif Kronis dengan eksaserbasi ditandai oleh batuk yang keras, panjang dan
berulang, dispnea, sputum yang mengental, bronkospasme dan obstruksi mukus, serta
Kriteria klinis yang digunakan untuk PPOK eksaserbasi dibagi tiga grup:
1. Tipe I (eksaserbasi berat) yang ditandai dengan sesak yang bertambah, volume
sputum meningkat dan menjadi kental.
2. Tipe II (eksaserbasi sedang), didapati 2 gejala di atas.
3. Tipe III (eksaserbasi ringan) didapati satu gejala di atas ditambah infeksi saluran
nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi, atau peningkatan frekwensi pernafasan atau pun nadi.
Pemeriksaan laboratorium terhadap sputum, menunjukkan kuman terbanyak
yang sering dijumpai pada eksaserbasi akut adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophylus influenzae, dan Moxarella catarrhalis. Pemberian antibiotik hendaknya
yang memiliki spektrum luas dan bisa menghadapi kuman-kuman tersebut. Lama
pemberian antibiotik tergantung ringan-beratnya infeksi akan tetapi umumnya 7-14
hari (Babar, 2003).
2.2 Infeksi
Infeksi merupakan penyulit yang sering terjadi pada luka maupun tempat yang
tidak luka. Infeksi dapat terjadi karena kuman dari permukaan tubuh masuk ke dalam
luka (infeksi eksogen) atau dari rongga tubuh ke dalam luka (infeksi endogen).
Sumber infeksi eksogen dapat berasal dari orang lain, instrumen, permukaan ruang
rawat, lama tinggal di rumah sakit maupun kontaminasi melalui udara. Sumber
infeksi endogen dapat berasal dari bakteria yang terdapat di saluran pernapasan,
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan yang cukup banyak di
Indonesia (Yunus, 1995). Menurut Bloch (1997), ada 2 jenis infeksi yaitu infeksi
oportunistik dan infeksi nosokomial. Infeksi oportunistik terjadi disebabkan oleh flora
normal atau komensal dalam usus yang bersifat non-patogen berubah menjadi
patogen oleh karena adanya penurunan sistem imun. Contoh pada penderita AIDS
yang mengalami penurunan sistem imun, agen penginfeksi akan mudah menyerang
dan mengganggu simbiosis antara flora normal dengan tubuh yang menyebabkan
flora normal akan berubah menjadi patogen. Peristiwa ini disebut kolonisasi. Bila
perubahan flora normal ini terjadi di rumah sakit maka disebut infeksi nosokomial.
Organisme penyebab infeksi nosokomial merupakan patogen yang sering
menyebabkan resistensi terhadap kebanyakan antibiotika.
Salah satu penyakit yang banyak diderita masyarakat terutama adalah infeksi
saluran pernafasan akut yang meliputi infeksi akut saluran pernafasan bagian atas dan
saluran pernafasan bagian bawah (Rasmaliah, 2004). Berbagai penyebab terjadinya
infeksi paru adalah melalui beberapa mekanisme yaitu kolonisasi, aspirasi sekret
orofaring, inokulasi langsung, inhalasi, penyebaran langsung, dan secara hematogen.
Terjadinya infeksi melalui mekanisme kolonisasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor misalnya penyakit paru obstruktif kronik, influenza dan penggunaan alkohol.
Aspirasi kuman patogen di orofaring merupakan penyebab utama terjadinya
endotrakeal, menurun atau hilangnya refleks batuk, pemakaian pipa nasogaster,
trakeostomi, dan saat tidur (Harris, 1982).
Pada infeksi paru nosokomial, infeksi terjadi akibat inokulasi langsung
kuman yang masuk melalui alat-alat bantu respirasi terutama yang bersifat aerosol
seperti nebulator ultrasonik. Sedangkan infeksi paru oleh mekanisme inhalasi
disebabkan oleh Micobacterium tuberculosis, influenza, dan pneumonia nosokomial.
Infeksi yang terjadi melalui mekanisme penyebaran langsung adalah infeksi
subdiafragma akibat abses paru, kolesistitis dan pankreatitis. Udara yang dihirup
terdiri atas campuran gas dan partikel, terdapat pula kuman atau virus yang mungkin
berasal dari percikan sekret penderita infeksi saluran napas yang keluar saat batuk
atau bersin (Yunus, 1995).
2.3 Penggunaan Antibiotika
Antibiotika telah memberi kemajuan penting dalam pengobatan terutama untuk
infeksi serius. Kebanyakan antibiotika mempunyai efek samping misalnya alergi
sehingga dalam penggunaannya perlu dilakukan pemantauan (Jawetz, 1989). Adapun
prinsip penggunaan antibiotika secara rasional meliputi 4 T (Tepat) dan 1 W
(Waspada) yaitu tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis regimen, tepat penderita, dan
a. Tepat indikasi
Infeksi paru terutama disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus,
Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, dan
Streptococcus pneumoniae (Berner, 1984). Kuman-kuman tersebut dapat diatasi
dengan antibiotika golongan aminoglikosida (Bartlett, 2001).
b. Tepat obat
Pemilihan antibiotika sebaiknya didasarkan atas data kepekaan yaitu bahwa
antibiotika yang digunakan harus efektif untuk jenis kuman yang diperkirakan telah
menginfeksi paru.
c. Tepat dosis
Besarnya dosis untuk terapi antibiotika umumnya dihitung berdasarkan berat
badan. Penyesuaian dosis harus dilakukan berdasarkan umur pasien, berat badan, dan
status klinis yang meliputi fungsi ginjal, hati, dan jantung (Whriskho, 2004). Rute
pemberian adalah secara parenteral namum pada keadaan tertentu dapat diberikan
per oral.
d. Tepat penderita
Tingkat keparahan infeksi pada pasien akan mempengaruhi dosis, rute,
frekwensi, dan lama pemberian antibiotik (Juwono, 2003). Beberapa faktor penderita
yang perlu mendapat perhatian di antaranya usia lanjut, obesitas, diabetes mellitus,
e. Waspada efek samping obat
Semua obat tidak terkecuali antibiotika, berpotensi menimbulkan efek
samping, oleh karena itu perlu diwaspadai. Pemberian antibiotika dapat menimbulkan
toksisitas yang perlu diperhatikan misalnya nefrotoksisitas dan ototoksisitas pada
penggunaan aminoglikosida (AHFS., 2005).
2.4 Tinjauan Umum Antibiotika Golongan Aminoglikosida
2.4.1 Sifat Fisika dan Kimia
Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari 2 gugus amino atau
lebih yang terikat melalui ikatan glikosidik pada inti heksosa (Gan, 1995) (Gambar
2.1). Bersifat larut air, stabil dalam larutan, dan lebih aktif pada pH alkali
dibandingkan pH asam. Aminoglikosida memperlihatkan efek sinergis dengan beta
laktam secara in vitro (Katzung, 2004).
2.4.2. Farmakologi Aminoglikosida
Aminoglikosida adalah antibiotika yang banyak digunakan untuk infeksi gram
negatif. Adapun yang termasuk golongan aminoglikosida adalah streptomisin,
tobramisin, netilmisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan paramomisin.
Golongan aminoglikosida mempunyai sifat kimia, fisika, farmakologi dan toksisitas
yang sama, bersifat bakterisida dan secara cepat menyebabkan efek yang mematikan
bakteria. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas sering terjadi dan merupakan efek samping
yang merugikan. Aminoglikosida juga bertindak memblok neuro-otot sehingga
terjadi paralisis otot dan depresi pernapasan (AHFS., 2005). Akan tetapi Barclay,
dkk, (1999), menyatakan bahwa penggunaan aminoglikosida satu kali sehari pada
pasien yang disertai kegagalan fungsi ginjal akan mengurangi kemungkinan
toksisitas.
Aminoglikosida merupakan antibiotika yang membunuh bakteri tergantung
kosentrasi (oncentration dependent-killing), mempunyai efek post antibiotic yang
panjang dan dapat menginduksi terjadinya resistensi yang bersifat adaptif pada
bakteri gram negatif (Begg, 1994). Semakin tinggi konsentrasi aminoglikosida dalam
serum maka semakin panjang efek pasca antibiotiknya untuk mencapai aktifitas
bakterisida (Rodman, 1994).
Mekanisme kerja aminoglikosida adalah dengan mengikat protein ribosom
sub unit 30 S pada bakteria. Penghambatan sintesis protein dilakukan dengan 3 cara
baca mRNA yang mengakibatkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam
peptida sehingga menyebabkan terbentuknya protein toksik, (c) menyebabkan
terjadinya pemecahan polisom menjadi monosom nonfungsional yang mengakibatkan
kematian sel (Chambers, 2004).
2.4.3 Farmakokinetika Aminoglikosida
Sifat farmakokinetika aminoglikosida dipengaruhi oleh besarnya perubahan
fisiologis yang terjadi selama infeksi. Perubahan farmakokinetika ini mempunyai
pengaruh yang besar terhadap respons farmakologi pada penderita, yaitu resiko
terjadinya kegagalan pengobatan atau toksisitas yang lebih besar (Hermsen, 2007).
2.4.3.1 Absorbsi
Absorbsi aminoglikosida melalui saluran pencernaan adalah buruk, oleh
karena itu diberikan secara parenteral yaitu secara i.m atau i.v baik berupa bolus
injeksi, infuse intermittent selama 30 – 60 menit atau dengan infuse i.v continuous
(AHFS., 2005). Setelah suntikan intramuskuler, aminoglikosida diabsorbsi dengan
baik dan mencapai konsentrasi puncak dalam darah antara 30-90 menit (Katzung,
2004).
2.4.3.2 Distribusi
Aminoglikosida terdistribusi dengan baik ke dalam hampir semua cairan
tubuh termasuk cairan sinovial, peritoneal, dan pleural, tetapi terdistribusi lambat ke
(SSP) dan air mata. Ikatan dengan serum protein kurang dari 10% dan dianggap
tidak penting secara klinik (AHFS., 2005; Zairina, 1999).
2.4.3.3 Ekskresi
Aminoglikosida diekskresi terutama dalam bentuk tidak berubah melalui
ginjal atau filtrasi glomerolus (AHFS., 2005; Hermsen, 2007). Fungsi ginjal
merupakan parameter yang harus dipertimbangkan dalam menghitung regimen dosis
(Morike, dkk, 1997).
Eliminasi melalui ginjal sebesar 85% - 95% dari dosis yang diberikan dan
hanya sedikit yang ditemukan di dalam empedu. Waktu paruh pada fungsi ginjal
normal 2–3 jam. Waktu paruh akan diperpanjang 24-48 jam pada pasien dengan
kerusakan fungsi ginjal. Waktu paruh gentamisin bervariasi khususnya pada
penderita sepsis meskipun tes fungsi ginjalnya normal (Zairina, 1999). Terdapat
variasi kadar serum aminoglikosida individual yang patut dipertimbangkan di antara
pasien-pasien dengan klirens kreatinin yang hampir sama. Oleh sebab itu, adalah
penting mengukur kadar serumnya untuk menghindari toksisitas berat, khususnya bila
dosis tinggi diberikan selama beberapa hari atau jika fungsi ginjal berubah cepat.
Untuk regimen dengan pemberian 2 sampai 3 kali sehari, konsentrasi serum puncak
harus ditentukan dari sampel darah yang diambil sekitar 30-60 menit setelah
pemberian satu dosis dengan konsentrasi lembah dari sampel yang diambil sebelum
2.4.4 Efek yang Tidak Diinginkan
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Hal ini cenderung
ditemukan saat terapi dilakukan lebih dari 5 hari, dosis yang lebih tinggi pada lansia,
dan pada kondisi insufisiensi ginjal (Gan, 1997). Penggunaan bersama dengan
diuretik loop (furosemida dan asam etakrinat) atau agen nefrotoksik lain seperti
vankomisin dapat meningkatkan nefrotoksik (Katzung, 2004).
2.4.5 Penggunaan Klinis
Aminoglikosida diindikasikan untuk beberapa infeksi yang disebabkan
bakteri gram negatif. Bila dikombinasi dengan antibiotik lain, aminoglikosida
merupakan agen pilihan untuk sepsis gram negatif. Umumnya aminoglikosida
digunakan untuk mengatasi pneumonia yang disebabkan bakteria gram negatif,
infeksi saluran urin, skeletal, dan infeksi jaringan lunak (Zaske, dkk, 1986).
2.5 Gentamisin
Gentamisin adalah antibiotika golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Micromonosphora purpurea. Obat ini aktif terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif. Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5
ml; 80 mg/2ml; 120 mg/3ml; dan 280 mg/2ml (Gan, 1995).
2.5.1 Aktifitas Antimikroba
Bila gentamisin dikombinasi dengan antibiotika beta laktam akan
serratia, stenotrophomonas, dan strain-strain gram negatif lain yang kemungkinan
resisten dengan antibiotik lainnya. Gentamisin tidak memiliki aktifitas terhadap
organisme anaerob (Katzung, 2004).
2.5.2 Penggunaan Klinis
Saat ini gentamisin terutama diterapkan pada infeksi berat (misalnya sepsis
dan pneumonia) yang disebabkan bakteria gram negatif yang cenderung kebal
terhadap obat lain, khususnya pseudomonas, enterobacter, serratia, proteus,
acinetobacter, dan klebsiella (Bartlett, 2001). Gentamisin maupun aminoglikosida
lainnya tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk terapi pneumonia sebab
penetrasinya buruk ke dalam jaringan paru yang terinfeksi dan kondisi setempat
seperti tekanan oksigen dan pH yang rendah turut memperburuk aktifitas obat ini
(Katzung, 2004).
Konsentrasi serum gentamisin dan fungsi ginjal harus dipantau apabila
gentamisin diberikan beberapa hari atau jika fungsi ginjal berubah (misalnya dalam
sepsis, yang sering menyebabkan terjadinya komplikasi dengan gagal ginjal akut).
Untuk pasien yang menerima pemberian dosis setiap 8 jam, konsentrasi puncak yang
ditargetkan adalah 5-10 mcg/ml dan konsentrasi lembah harus di bawah 1-2 mcg/ml.
Konsentrasi lembah di atas 2 mcg/ml mengindikasikan akumulasi obat yang dapat
menyebabkan toksisitas sehingga dengan demikian dosis harus dikurangi atau
2.5.3 Reaksi yang Tidak Diinginkan
a. Reaksi hipersensitifitas
Reaksi hipersensitifitas, alergi berupa rash dan demam dapat terjadi namun
jarang pada penderita yang tidak pernah menggunakan gentamisin sebelumnya.
Sensitivitas silang (cross resistence) di antara aminoglikosida juga dapat terjadi.
Syok anafilaktik pernah terjadi namun sangat jarang (AHFS, 2005; Stockley,
1994). Beberapa reaksi hipersensitivitas terjadi karena adanya sulfat dalam formula
sediaan parenteral (Zairina, 1999).
Neurotoksisitas dapat terjadi, seperti neuropati periperal dan gejala sentral
seperti ensefalopati, konfusi, alergi, halusinasi, konvulsi dan depresi mental. Juga
dilaporkan terjadi iritasi meningeal, arachoiditis, polyradiculitis, dan ventriculitis
setelah aminoglikosida diberikan secara intratekal atau intraventrikuler (AHFS.,
2005).
b. Nefrotoksisitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi nefrotoksisitas adalah umur, renal
insufficiency, kadar lembah yang tinggi (elevated trough concentration), kadar
puncak yang tinggi, total dosis per hari, dosis kumulatif, adanya obat-obat nefrotoksik
yang diberikan bersamaan (seperti amfoterisin B, siklosporin, dan cisplatin), adanya
paparan aminoglikosida sebelumnya, hipovolemia, jenis kelamin, lama pengobatan
dan sepsis (AHFS., 2005; Hermsen, 2007). Nefrotoksisitas menimbulkan kerusakan
pernah terjadi. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR = glomerular filtration rate)
biasanya terlihat hanya setelah beberapa hari, dan bisa terjadi meski telah dihentikan.
Gangguan elektrolit seperti hipomagnesia, hipokalsemia, dan hipokalemia pernah
terjadi. Selain itu, nefrotoksisitas aminoglikosida bisa dilihat dari hasil peningkatan
serum kreatinin yang lebih besar atau sama dengan 0,5 mg/dl (jika nilai serum
kreatinin awal adalah normal). Artinya, parameter ini hanya berlaku bila fungsi
ginjal pasien normal. Oleh karena nefrotoksisitas yang terjadi bisa diamati dari
perubahan harga serum kreatinin, maka pemeriksaan serum kreatinin sebaiknya
dilakukan setiap 2-3 hari pada penderita yang mendapat pengobatan aminoglikosida.
Perubahan yang terjadi ini biasanya reversible bila pemberian aminoglikosida
dihentikan (AHFS., 2005).
c. Ototoksisitas
Efek yang tidak diinginkan yang terjadi pada penggunaan gentamisin adalah
pengaruhnya terhadap vestibular auditori cabang dari nervus ke delapan.
Ototoksisitasnya mempengaruhi kokhlea, manifestasinya adalah hilangnya
pendengaran dan tinnitus yang mungkin permanen, kadang-kadang berupa rasa sakit
pada telinga. Hilangnya pendengaran yang terdeteksi secara klinis hanya terjadi pada
< 0,5% penderita yang mendapat aminoglikosida, namun pada studi audiometrik
ditemukan penderita yang mengalami hilang pendengaran sebanyak 2-12%.
Pemantauan audiometrik direkomendasikan pada penderita yang menerima
dizziness atau vertigo, ataxia atau nystagmus. Kerusakan vestibular lebih sering
terjadi daripada hilangnya pendengaran (AHFS., 2005).
2.5.4. Kontraindikasi
Penggunaan jangka pendek yaitu 5-7 hari dapat diberikan pada ibu hamil atau
menyusui jika tidak ada obat lain yang bisa digunakan, tetapi penggunaan jangka
panjang sebaiknya dihindari oleh karena dapat terjadi kerusakan nervus ke delapan
pada janin (AHFS., 2005).
2.5.5 Interaksi Obat
a. In vitro
Penisilin antipseudomonas yaitu karbenisilin, tikarsilin, mezlosilin, azlosilin,
dan piperazilin yang umum diberikan dalam dosis besar, ternyata menginaktivasi
aminoglikosida. Oleh karena itu harus dihindari mencampur aminoglikosida dan
penisilin dalam larutan infus dan sebaiknya diberikan melalui i.v kateter yang
terpisah (AHFS., 2005).
b. In vivo
Diuretika seperti asam etakrinat dan furosemida, amfoterisin B, klindamisin,
vankomisin, dan sisplatin meningkatkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas gentamisin.
2.6 Pemantauan Efektifitas Terapetik
Telah diketahui bahwa penggunaan antibiotik untuk penanganan infeksi akan
Kemampuan aminoglikosida (kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, dan
netilmisin) untuk mengobati infeksi berhubungan dengan level puncak optimum
konsentrasi obat dalam serum. Contoh, lebih dari 90% pasien pneumonia sembuh
dengan pemberian gentamisin pada konsentrasi serum puncak > 8 μg/ml tetapi
kurang dari 40% pasien dapat memberi respons bila konsentrasi obat dalam serum
berada di bawah 8 μg/ml (Robinson dan Taylor, 1986). Ini menggambarkan bahwa
tidak ada korelasi baik antara dosis dan efektifitas obat ini tetapi ada korelasi antara
kadar dalam darah dengan efektifitas. Jadi, bila hasil pengobatan dengan dosis
standar tidak efektif, perlu dilakukan pemantauan kadar dalam darah (Gan, 2005).
2.6.1 Farmakokinetika Kadar Obat I.V Dosis Tunggal
Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravenus cepat (bolus
intravenus), seluruh dosis obat masuk tubuh dengan segera, kinetika obat
diasumsikan berdasarkan kompartemen satu terbuka. Oleh karena itu laju absorbsi
obat diabaikan dalam perhitungan. Dalam banyak hal, obat tersebut didistribusikan ke
semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi dan secara cepat
berkesetimbangan di dalam tubuh (Shargel, 1993). Model kompartemen satu terbuka
secara skematik ditunjukkan pada gambar 2.2 (Kiang, 1990):
km
Keterangan:
D = dosis intra vena bolus
Vd= volume distribusi
Cb= konsentrasi obat di dalam darah
ku= konstanta laju ekskresi melalui urin
km= konstanta laju metabolisme
Kel= ku + km
Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan
kadar obat di dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar
obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat
dalam tiap jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu. Selain itu, konsentrasi
obat dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi dengan menggunakan
cuplikan cairan tubuh seperti darah (Shargel, 1993).
Fase distribusi adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk memasuki tapak
kerja dalam jaringan ekstravaskular dan mencapai kesetimbangan. Istilah
farmakokinetikanya adalah volume distribusi, yang dihitung dengan cara membagi
dosis obat yang diberikan dengan konsentrasi obat yang tercapai dalam plasma
(Http://www.labcorp.com. 2007). Volume distribusi adalah volume obat yang terlarut
di dalam tubuh. Obat dengan Vd yang besar lebih terpusat dalam jaringan
ekstravaskular dan sedikit di dalam intravaskular. Jika suatu obat terikat dengan
lebih kecil. Oleh karena itu, ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan perifer
secara bermakna akan mempengaruhi Vd (Shargel, 1993).
Tiap obat mempunyai Vd yang konstan. Pada penyakit tertentu, Vd dapat
berubah jika distribusi obat berubah. Sebagai contoh dalam keadaan edema, jumlah
total cairan tubuh dan cairan ekstravaskular meningkat. Keadaan ini dicerminkan
dengan harga Vd yang lebih besar untuk obat yang mempunyai kelarutan tinggi
dalam air. Begitu pula, perubahan berat badan dan massa tubuh yang kecil (secara
normal terjadi sehubungan dengan umur) dapat mempengaruhi Vd (Shargel, 1993).
Pada model kompartemen satu (pemberian i.v), Vd dihitung dengan
persamaan sebagai berikut (Kiang, 1990):
Vd = --- dosis
Cpo = konsentrasi obat mula-mula pada t=0
Cpo
Prinsip pemakaian model kompartemen satu yaitu tubuh merupakan satu
kompartemen dengan volume = Vd, kadar obat setiap waktu dinyatakan dengan Cpo,
fase distribusi cepat dan tak teramati. Eliminasi obat dari tubuh dianggap berlangsung
menurut reaksi orde ke satu dengan tetapan laju eliminasi (Kel) yang meliputi tetapan
kecepatan metabolisme (km) dan tetapan laju ekskresi (ke). Persamaan yang
menunjukkan kinetika kompartemen satu terbuka adalah sebagai berikut:
Cp = kadar gentamisin dalam serum pada waktu (t) tertentu
Cpo = kadar gentamisin dalam serum pada t=0
Ke = tetapan laju eliminasi
2.6.2 Farmakokinetika Gentamisin Intravenus Dosis Ganda
Suatu obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda bertujuan untuk
memperpanjang aktivitas terapetik. Kadar plasma obat ini harus dipertahankan di
dalam batas yang sempit untuk mencapai efektifitas klinik yang maksimal. Di antara
obat-obat itu adalah antibakteria, kardiotonika, antikonvulsan, dan hormon. Secara
ideal suatu aturan dosis bagi tiap obat ditetapkan untuk memberikan kadar plasma
yang benar tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan (Shargel, 1993).
Untuk obat-obat tertentu seperti antibiotika, dapat ditentukan kadar efektif minimum
yang diinginkan. Sedangkan obat-obat lain dengan indeks terapi yang sempit
memerlukan batasan kadar plasma terapetik minimum dan konsentrasi plasma non
toksik maksimum. Dalam memperhitungkan suatu aturan dosis ganda, kadar plasma
yang diinginkan harus dikaitkan dengan suatu respons terapetik (Shargel, 1993).
Parameter-parameter farmakokinetika dapat diperoleh dari kurva kadar
plasma vs waktu yang digambarkan melalui dosis tunggal untuk memperkirakan
Sumber: Robinson (1986)
Gambar 2.3 kurva interval dosis tunggal
Berdasarkan parameter-parameter tersebut, dan pengetahuan tentang ukuran dosis
dan jarak waktu pemberian memungkinkan untuk memperkirakan kurva kadar
plasma-waktu yang lengkap atau kadar plasma pada setiap waktu setelah dimulainya
pengaturan dosis. Jika suatu obat diberikan dengan dosis dan jarak waktu pemberian
dosis yang tetap, jumlah obat dalam tubuh akan naik dan kemudian plateu pada suatu
kadar plasma rata-rata yang lebih tinggi dari kadar puncak (Cp) yang diperoleh dari
Akumulasi: obat tidak seluruhnya dieliminasi selama interval pemberian
Steady state: obat yang masuk sama banyak dengan yang tereliminasi selama interval pemberian
Sumber: Robinson (1986) Gambar 2.4 Kurva interval dosis ganda
Jika dosis kedua diberikan dalam jarak waktu yang lebih panjang dari waktu
yang diperlukan untuk mengeliminasi dosis sebelumnya, obat tidak akan
terakumulasi. Jika dosis yang sama diberikan berulang pada frekwensi konstan,
diperoleh kurva kadar plasma-waktu plateu atau suatu keadaan tunak. Pada keadaan
tunak tercapai, Cmax dan Cmin adalah konstan dan tetap tidak berubah dari dosis ke
dosis. Konsentrasi maksimum harus selalu berada di bawah kadar toksik minimum
sebab Cmax merupakan suatu petunjuk yang baik dari akumulasi obat. Jika pada
keadaan tunak suatu obat menghasilkan Cmax yang sama dengan (Cn=1) max setelah
obat. Jika Cmax lebih besar dari C(n=1)max maka berarti terdapat akumulasi yang
bermakna (Shargel, 1993; Ritschel, 1992).
Khusus untuk gentamisin, ada tidaknya akumulasi obat lebih jelas terlihat
pada Cmin, sebab Cmin mencerminkan keadaan obat dalam jaringan yang sebenarnya
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Berdasarkan pada ruang lingkupnya, penelitian ini diklasifikasikan ke dalam
penelitian klinis karena data hasil penelitian merupakan data pemeriksaan klinis
(Sastroasmoro dan Ismael, 2002). Pelaksanaan penelitian adalah berupa studi
observasional dan bersifat deskriptif untuk menilai ketepatan dosis gentamisin 80 mg
yang diberikan terhadap infeksi pada pasien penyakit paru obstruktif kronis.
3.1 Desain Penelitian
Penentuan besar subjek penelitian dilakukan secara consecutive sampling
yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan diikutsertakan
dalam penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi. Pengamatan terhadap
subjek dilakukan secara cross sectional (pengamatan sewaktu) artinya tiap subjek
hanya diobservasi satu kali saja dan pengukuran variabel subjek dilakukan pada saat
pemeriksaan (Sastroasmoro dan Ismael, 2002).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap A (Rindu A) Departemen Ilmu
Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan, RSUP. H. Adam Malik Medan, Penelitian ini
akan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan
3.3 Subjek Penelitian
3.3.1 Jumlah Subjek
Subjek penelitian adalah penderita penyakit paru obstruktif kronis berjenis
kelamin laki-laki yang mendapat terapi gentamisin. Jumlah subjek yang diteliti
sebanyak 3 orang.
3.3.2 Kriteria Inklusi
Pasien diperkenankan ikut dalam penelitian ini bila:
a. Penderita PPOK eksaserbasi berusia 40-80 tahun
b. Menyatakan bersedia ikut dalam penelitian ini
c. Fungsi ginjal normal
d. tidak mengalami alergi terhadap antibiotika khususnya golongan aminoglikosida
e. memiliki kadar bilirubin, SGOT (Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase),
SGPT (Serum Glutamic-Pyruvic Transaminase), BUN (Blood Urea Nitrogen) dan
SCr (Serum Creatinin) yang normal.
3.3.3 Kriteria Eklusi
Pasien tidak diperkenankan ikut dalam penelitian ini bila mengalami:
a. gangguan pada ginjal dan hati
b. gangguan pendengaran
c. mengalami asma, alergi, dan rhinitis
3.4 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 dari Roche Laboratories USA.
b. Alat centrifuge (Beckman model Tj-6)
c. Refrigerator
d. Clinipet 100 µl
e. Vortex mixer (Heidoph, type REAX I)
f. Tabung venoject
g. Syringe 3 ml
3.5 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Injeksi gentamisin sulfat 80 mg/2 ml
b. Dapar pengencer ( monoclonal antibody dalam dapar posfat)
c. Pereaksi TDx gentamisin yang terdiri dari :
S : antiserum gentamisin
P : larutan pra perlakuan
T : Gentamisin fluorescein tracer
A. 3,5 ml Cat. No. 20717622 system-ID 071762 2
e. Kontrol multianalyte 200 ml cat. No.20720720 system-ID 07 2072
3.6 Protokol Penelitian
Penelitian bersifat observasi, menggunakan data cuplikan serum untuk
penentuan kadar obat. Cuplikan pertama diambil dari dosis ke-1 injeksi gentamisin
bolus intravenus 80 mg pada 30 menit setelah obat diberikan (Cmax), cuplikan kedua
diambil 6 jam setelah injeksi dosis ke-1 untuk mengetahui manifestasi klinis,
cuplikan ketiga diambil 5 menit sebelum injeksi dosis ke-2 (Cmin).
Penderita yang diikutkan dalam penelitian ini harus dengan
ketentuan/persetujuan dokter ahli spesialis paru yang bertanggung jawab/berwenang.
Penderita yang berpartisipasi terlebih dulu menandatangani pernyataan tidak
keberatan untuk diikutsertakan dalam penelitian (Form Informed Consent, terlampir).
Sebelum mendapat terapi gentamisin, terhadap penderita telah dilakukan
pemeriksaan laboratorium yaitu darah lengkap dan faal ginjal (BUN dan SCr).
Penderita juga telah dilakukan uji kultur resistensi mikroba dan hasil kultur
menunjukkan antibiotika yang sensitif adalah gentamisin. Pemberian terapi
gentamisin dosis lazim 80 mg per 12 jam secara bolus intravenus selama 2-3 menit
dilakukan secara perlahan-lahan. Cuplikan darah penderita diambil sebanyak 3 cc
dari vena perifer sebanyak tiga kali yaitu :
b. (pertengahan) enam jam sesudah pemberian gentamisin dosis ke-1 untuk
mengetahui adanya manifestasi klinis
c. lima menit sebelum pemberian gentamisin dosis kedua (Cmin)
Cuplikan darah didiamkan selama 2 jam dalam tabung yang tidak berisi
antikoagulan, lalu dibiarkan selama 5-10 menit sampai pembekuan sempurna
kemudian serum dipisahkan dengan pemusingan 2500 rpm. Serum dimasukkan ke
dalam cup sampel dan disimpan dalam freezer dengan temperatur -20 0C sampai
dilakukan penetapan kadar gentamisin dengan chemistry autoanalyzer COBAS
INTEGRA 400 ROCHE. Data yang diperoleh dimasukkan kedalam lembar
pengumpul data (Lampiran 3). Selama penelitian berlangsung, terapi lain tetap
diberikan sesuai kebutuhan penderita (Lampiran 4).
Dilakukan pencatatan terhadap data pemeriksaan kadar BUN dan kreatinin
serum sebelum dan selama pemberian terapi gentamisin. Selain itu, juga dilakukan
pencatatan terhadap keluhan-keluhan yang dialami penderita yang dikaitkan dengan
efek samping obat yang dialaminya selama dirawat (lampiran). Jika ternyata ada
keluhan efek samping pada telinga, maka penderita dikonsultasikan ke bagian telinga
hidung dan tenggorokan (THT).
3.7 Tehnik Analisis
Serum dari subjek penelitian yang telah disimpan dalam freezer dikeluarkan
dan dibiarkan pada temperatur kamar selama 30 menit, kemudian dihomogenkan
dengan vortex mixer.
3.7.2 Prosedur pemeriksaan
Disiapkan :
Cuvet : untuk tempat serum pemeriksaan
Air : untuk membersihkan cuvet pada saat rotor beroperasi
Cleaner : untuk mencuci cuvet pada saat rotor beroperasi
3.7.3 Penetapan kadar gentamisin dalam serum dengan metode Fluorescence
Polarization Imuno Assay
Prinsip metode ini adalah reaksi antigen-antibodi yaitu kompetisi antara
antigen yang tidak bertanda dalam memperebutkan tempat ikatan yang terbatas dari
antibodi spesifik. Pada reaksi ini yang berperan sebagai antigen bertanda adalah
larutan gentamisin fluorocein tracer, sedangkan antigen tidak bertanda adalah
gentamisin dalam sampel serum yang dianalisa (Cobas Integra System TDM, 2004).
Apabila antigen bertanda terikat antibodi, maka fluorophore tidak bebas berotasi
sehingga bila dikenai cahaya akan terjadi polarisasi dan bila antigen bertanda bebas,
akan terjadi rotasi yang lebih besar sehingga molekul menjadi acak dan bila cahaya
diemisikan akan terjadi depolarisasi. Apabila kadar gentamisin dalam sampel serum
rendah maka semakin kecil jumlah antigen bertanda yang terikat, sehingga akan
Cara kerja alat penetapan kadar obat dalam serum:
a. aktifkan tombol power monitor, tombol alat chemistry autoanalyzer COBAS
INTEGRA 400 ROCHE dan Central processing unit (CPU), biarkan 2-3
menit.
b. alat akan mencuci jarum sampel dan jarum reagen selama 5-6 menit, sambil
menyesuaikan temperatur.
c. masukkan serum pada rak ise dengan posisi dua dan D protein pada
posisi delapan. Kemudian rak ise masukkan ke dalam alat chemistry
autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 ROCHE. Alat telah siap dioperasikan.
d. untuk kalibrasi pada monitor cursor diarahkan pada posisi order, kalibrasi,
parameter yang akan diperiksa save, kemudian klik secara berurutan. Untuk
control pada monitor cursor diarahkan pada posisi quality control, parameter
yang akan diperiksa, save kemudian klik secara berurutan. Untuk membaca
hasil pemeriksaan pada monitor, klik start dan secara berurutan, klik result,
kalibrasi, parameter dan kontrol.
3.7.4 Penetapan kadar kreatinin dalam serum (metode Jaffe)
Serum ditambahkan NaOH lalu ditambahkan reagensia asam pikrat. Pada
larutan basa, kreatinin akan membentuk kompleks yang berwarna kuning oranye
dengan asam pikrat. Intensitas warna yang terbentuk diukur secara kolorimetri
dengan panjang gelombang 340 nm.
Serum ditambahkan buffer dan enzim urease maka urea yang terdapat dalam
serum akan terhidrolisis membentuk CO2 dan amonia. Lalu amonia akan bereaksi
dengan α-ketoglutarat dan NADH dan enzim glutamat lehidrogenase (GLDH)
menghasilkan glutamat yang diukur secara titrimetri.
3.8 Analisis data
Data yang diperoleh akan menunjukkan kecukupan dosis terapetik pada
pemberian dosis awal, besarnya kadar lembah dan kadar puncak pada pemberian
dosis berganda yang dikaitkan dengan efek klinik kesembuhan infeksi dan efek
samping obat selama dalam rawatan.
3.8.1 Pengolahan Data
3.8.1.1 Data fisik dan pemeriksaan laboratorium (faal hati dan ginjal)
Data fisik penderita berupa jenis kelamin, umur, berat badan, hasil
pemeriksaan BUN, dan kreatinin serum (sebelum dan selama terapi) dicatat dalam
lembar pengumpul data dan dilakukan tabulasi.
3.8.1.2 Diagnosis dan Terapi Gentamisin
Data diagnosis, pengamatan efek samping berupa keluhan yang dialami
penderita berkaitan dengan penggunaan gentamisin diamati pada saat dilakukan
penelitian. Data dicatat dalam lembar pengumpul data dan ditabulasi.
3.8.1.3 Pengamatan Kadar Gentamisin dalam Cuplikan Serum
Kadar gentamisin dalam cuplikan serum diamati dengan menggunakan alat
pembuatan kurva kalibrasi. Data yang diperoleh dicatat dalam lembar pengumpul
data dan dilakukan tabulasi.
3.8.1.4 Usulan Rekomendasi Dosis Individual
Berdasarkan data kadar gentamisin dalam serum yang diperoleh berupa Cmax,
C6jam, dan Cmin, maka dilakukan analisis kecukupan dosis pemberian gentamisin
yang dikaikan dengan efektifitas dan keamanannya. Dari data ini dapat dibuat suatu
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian terhadap 3 subjek yang dirawat inap dan menjalani
terapi gentamisin di ruang rawat inap terpadu A3 (Pulmonologi) RSUP. H. Adam
Malik Medan, diperoleh hasil sebagaimana dipaparkan selanjutnya.
4.1 Data Karakteristik Fisik dan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penderita
Jumlah subjek yang dirawat inap pada ruang rawat inap terpadu A3
(Pulmonologi) RSUP. H. Adam Malik Medan antara bulan Mei hingga bulan Juli
2008 yang mendapat terapi gentamisin berdasarkan hasil uji kultur sebanyak 3 orang.
Penelitian dilakukan terhadap penderita penyakit paru obstruktif kronis yang
mengalami eksaserbasi yaitu keadaan paru menjadi lebih berat yang disebabkan
adanya pertumbuhan mikroba pada paru. Penderita berjenis kelamin laki-laki dan
berumur antara 40-80 tahun dengan berat badan berkisar antara 30-60 kg (Tabel 4.1)
Tabel 4.1 Data karakteristik pasien
No. Nama Jenis Kelamin Usia (thn) Berat Badan (kg)
1 MU Laki-laki 65 37
2 SU Laki-laki 74 55
Berdasarkan anamnesa pemeriksaan jasmani dan laboratorium yang
mendukung diagnosa, diketahui bahwa pasien MU telah mengalami sesak nafas sejak
2 tahun yang lalu. Sesak nafas dipengaruhi cuaca dan tidak dipengaruhi aktifitas,
adanya mengi, batuk berdahak dengan cairan sputum berwarna kehijauan agak kental,
serta nyeri dada sebelah kiri terasa seperti disayat-sayat yang dirasakan saat penderita
batuk.
Penderita SU juga mengalami keluhan utama sesak nafas sejak 2 tahun lalu
dan menjadi berat selama 1 bulan belakangan ini. Akan tetapi sesak nafas tidak
dipengaruhi cuaca dan aktifitas, adanya mengi, batuk berdahak dengan cairan sputum
berwarna kehitaman dan kental, serta nyeri dada sebelah kiri yang bersifat hilang
timbul dengan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk, dirasakan penderita sampai menjalar
ke punggung kiri. Hasil biakan terhadap sputum dijumpai bakteri coccus gram (-) dan
dari hasil uji kultur menunjukkan bahwa bakteri masih sensitif terhadap gentamisin.
Hal yang sama dialami penderita MR dan diperberat dengan adanya demam
yang bersifat hilang timbul. Cairan sputum berwarna putih kental dan nyeri dada
dialami lebih kurang 4 bulan belakangan ini, bersifat hilang timbul tanpa disertai
penjalaran.
Berdasarkan anamnesa juga diketahui bahwa ketiga penderita memiliki
riwayat merokok ± 15-30 tahun, jenis kretek filter yang dihisap sebanyak ± 20 batang
per hari dengan hisapan dalam. Riwayat merokok dalam waktu lama ini menjadi
diperberat dengan riwayat pekerjaan yang dijalankan para penderita selama ini tanpa
adanya perlindungan terhadap paru-parunya. Pemeriksaan terhadap sitologi sputum
dan analisa gas darah mendukung diagnosa dokter bahwa ketiga pasien mengalami
penyakit paru obstruktif yang telah kronis dan menjadi infeksi sehingga dokter
memutuskan untuk segera memberikan antibiotik tanpa melakukan pemeriksaan laju
endap darah (LED). Pemberian gentamisin pada penderita MU tidak didasarkan atas
uji kultur karena MU mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika golongan
sefalosporin (sefotaksim) sehingga langsung diberikan gentamisin.
Gentamisin merupakan antibiotik yang diekskresi utuh melalui ginjal, oleh
karena itu fungsi ginjal harus dipantau secara cermat karena perubahan yang terjadi
mungkin menunjukkan gangguan ginjal yang semakin parah akibat perubahan
kondisi klinis penderita atau akibat toksisitas obat (Kenward dan Tan, 2003).
Pemeriksaan faal ginjal yang meliputi ureum dan kreatinin ketika penderita masuk
rumah sakit untuk menjalani rawat inap menunjukkan bahwa ketiga penderita
memiliki fungsi ginjal normal. Perubahan nilai kreatinin, kreatinin klirens, ureum dan
blood urea nitrogen (BUN) sebelum penderita diberi injeksi gentamisin dan pada
waktu pengambilan darah sebanyak 3 kali setelah penderita diinjeksikan gentamisin
yaitu, 30 menit setelah injeksi, 6 jam setelah injeksi gentamisin, dan 5 menit sebelum
Tabel 4.2 Data pemeriksaan kreatinin dan ureum
Kreatinin (mg/dl) Ureum (mg/dl)
Waktu (menit)
MU SU MR MU SU MR
Sebelum injeksi 0,64 1,60 0,90 15,00 55,00 17,00
30 0,56 1,17 0,81 21,80 48,40 23,70
360 0,64 1,35 0,77 23,40 49,00 32,40
715 0,67 0,38 0,53 18,00 10,40 37,20
Nilai normal 0,7 – 1,4 10 - 40
Tabel 4.3 Data perhitungan kreatinin klirens dan BUN
Kreatinin klirens (ml/menit) BUN (mg/dl)
Waktu (menit)
MU SU MR MU SU MR
Sebelum injeksi 60,22 31,50 60,74 7,50 27,50 8,50
30 68,82 43,00 67,49 10,90 24,20 11,85
360 60,22 37,35 70,99 11,70 24,50 16,20
715 57,50 132,66 103,14 9,00 5,20 18,50
Nilai normal 85 - 125 9 - 18
Keterangan: - Nilai kreatinin klirens diperoleh dari perhitungan menggunakan rumus Cockroft-Gault
Berdasarkan hasil pemeriksaan nampak bahwa tidak terjadi peningkatan nilai
kreatinin setelah pemberian injeksi gentamisin pada 3 orang penderita. Tidak
terjadinya peningkatan nilai kreatinin mengindikasikan bahwa resiko nefrotoksisitas
terhindar karena kreatinin serum biasanya meningkat pada gagal ginjal, meskipun
begitu nilai kreatinin saja kurang tepat untuk menentukan fungsi ginjal seseorang
karena nilainya sangat dipengaruhi massa otot. Kreatinin merupakan hasil
perombakan keratin yaitu senyawa yang mengandung nitrogen yang terdapat dalam
otot. Apabila massa otot, menurun, misalnya pada penderita malnutrisi, maka
kreatinin dalam tubuh juga akan berkurang (Widmann, 1983). Nilai kreatinin pada
penderita SU lebih besar, baik sebelum dan sesudah pemberian injeksi gentamisin
sedangkan MU mempunyai nilai kreatinin yang terendah. Perbedaan ini berhubungan
dengan massa otot tubuh karena penderita SU mempunyai massa otot yang lebih
besar (sesuai dengan berat badan) sehingga kadar kreatininnya lebih banyak, selain
itu penderita SU juga diduga telah mengalami penurunan fungsi ginjal karena hasil
pemeriksaan terhadap faal ginjal yaitu ureum dan kreatinin mempunyai nilai di atas
normal, yaitu 1,6 mg/dl (nilai kreatinin) dan 55 mg/dl untuk nilai ureumnya.
Penentuan nilai kreatinin klirens bertujuan untuk menggambarkan fungsi
ginjal. Kreatinin klirens merupakan volume plasma yang diekskresi dan mengandung
zat terlarut yang masuk ke glomerulus atau dihilangkan dari plasma dan
kelamin, dan ukuran tubuh (Kenward dan Tan, 2003). Penderita SU yang berusia 74
tahun memiliki nilai kreatinin klirens yang lebih rendah dibandingkan kedua
penderita lainnya, tetapi pada 5 menit sebelum injeksi berikutnya nilai kreatinin
klirensnya berada di atas nilai normal. Hal ini disebabkan fungsi ginjal pasien SU
telah mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia sehingga laju filtrasi
glomerulus menjadi tidak stabil oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan kadar
gentamisin dalam darah. Contoh perhitungan kreatinin klirens dapat ditunjukkan pada
Lampiran 6.
4.2 Diagnosis
Diagnosis pada penelitian ini perlu diketahui untuk memastikan infeksi yang
terjadi dan ketepatan pemberian antibiotika. Perjalanan penyakit pada usia lanjut
umumnya lebih parah dan sering terjadi komplikasi diantaranya karena ada penyakit
lain, terjadi perubahan fungsi fisiologis tubuh seiring meningkatnya usia, dan sistem
pertahanan tubuh yang semakin menurun sehingga lebih mudah terjadi infeksi, dan
hal ini menuntut penggunaan antibiotika. Pemberian antibiotika pada kasus PPOK
eksaserbasi akut adalah untuk mengatasi bakteri pada paru secepat mungkin
sehingga saat penderita masuk rumah sakit segera diberikan antibiotika secara
empiris sambil menunggu hasil uji kultur. Hasil biakan terhadap sputum penderita
MU menunjukkan adanya bakteri Streptococcus viridans sedangkan pada penderita
SU dijumpai bakteri Klebsiella oxytoca. Pembiakan bakteri terhadap sputum
mengeluarkan dahak disebabkan penyakit stroke yang dialami 5 bulan sebelum
dirawat di rumah sakit. Data diagnosis, hasil kultur dan obat lain yang diberi bersama
gentamisin ditunjukkan pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Data diagnosis, hasil kultur dan obat lain yang diberikan terhadap penderita
No. Nama Diagnosis Hasil kultur / direct
smear
- Injeksi aminofilin dan
metil prednisolon,
Ranitidin, kaptopril,
aspilet, ISDN,
simvastatin
Berbeda dengan kedua penderita lainnya, MU pada mulanya diberikan injeksi
cefotaksim, akan tetapi setelah dilakukan skin test, penderita mengalami alergi