• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku Kejahatan Didasarkan Atas Asas Equality Before The Law

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku Kejahatan Didasarkan Atas Asas Equality Before The Law"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP KORBAN DAN PELAKU KEJAHATAN

DIDASARKAN ATAS ASAS

EQUALITY

BEFORE THE LAW

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara

OLEH :

JUNI S SIMANJUNTAK

NIM : 080200044

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN

HUKUM

TERHADAP KORBAN DAN PELAKU KEJAHATAN

DIDASARKAN ATAS ASAS EQUALITY

BEFORE THE LAW

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara

OLEH :

JUNI S SIMANJUNTAK NIM : 080200044

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Diketahui/Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M.Hamdan,SH,MH NIP.195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Liza Erwina, SH,M.Hum Edy Yunara,SH,M.Hum

NIP.1961102419890322002 NIP.196012221986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa menolong dan memampukan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dari awal pengerjaan sampai kepada akhirnya. Setiap hal yang dihadapi semuanya dapat dilalui oleh penulis hanya karena kebaikan Tuhan saja.

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perbandingan Perlindungan Hukum

Terhadap Korban dan Pelaku Kejahatan Didasarkan Atas Asas Equality Before The

Law”. Karya ilmiah ini juga menjadi syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Syafruddin S.H., M.H. DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

Pembimbing I bagi penulis yang membantu penulis dalam penyelesaian dan kerampungan skripsi ini;

7. Bapak Edi Yunara S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang banyak membantu penulis sejak awal pengajuan judul sampai akhir penyelesaian skripsi ini;

8. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu kepada penulis, secara khusus Bapak/Ibu Dosen Departemen Hukum Pidana yang memberikan banyak ilmu di bidang hukum pidana;

9. Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10. Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada keluarga tercinta T. Simanjuntak/T. Siagian yang terus mendukung dan yang selalu memberi motivasi dan dukungan doa buat penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih buat kesembilan saudaraku yang terus mendukung aku. Terimakasih buat pengertiannya. Terimakasih karena kalian selalu ada buat aku. Terkhusus buat abang tercinta Asima Simanjuntak, terimakasih buat supportnya selama aku sekolah sampai aku bisa masuk fakultas hukum ini dan mendapat gelar sarjana. Tuhan Beserta kita dan tetap memberkati kita semua. Amin.

(5)

aku seperti saudara kalian sendiri ketika aku jatuh sakit. Teman-teman dari SMA N 1 BALIGE (Hotma, Endang, Nico, Amsal, Rico, Marchel) terimakasih buat semangat dan doa dari kalian. Dan juga kepada keluarga besar Navigator Medan. Terimakasih kalian mau berbagi cerita dan bersedia menjadi tempat ketika aku sedang punya pergumulan. Tuhan memang baik. Bahkan dalam situasi berat sekalipun Dia selalu memberikan penghiburan melalui kalian semua. Tuhan memberkati kalian semua teman.

12. Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki kekurangan dan belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca.

Sekian dan terimakasih.

Medan, 16 Mei 2012

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar i

Daftar Isi iv

Abstraksi vi

BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Permasalahan 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 8 D. Keaslian Penulisan 9

E. Tinjauan Pustaka 9

1. Pengertian Perlindungan Hukum 9

2. Pengertian Korban 11

3. Pengertian Pelaku Tindak Pidana 14

4. Pengertian Kejahatan 16

5. Pengertian Asas Equality Before The Law 20

F. Metode Penulisan 20

G. Sistematika Penulisan 22

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN MENURUT

UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU

A. Pengertian Korban Kejahatan 24

1. Hak-hak Korban 25

(7)

B. Perlindungan terhadap Korban dalam beberapa

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sebelum

lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006 31

C. Perlindungan Hukum terhadap Korban Menurut

UU Nomor 13 tahun 2006 42

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU

KEJAHATAN MENURUT KUHAP

A. PengertianPelaku Kejahatan 50

B. Perlindungan Hukum terhadap pelaku kejahatan mulai

dari berstatus Tersangka sampai dengan bertatus Narapidana

menurut ketentuan KUHAP 56

C. Beberapa praktek perlindungan hak asasi Tersangka

dan Terdakwa di beberapa Negara 72

BAB IV PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU KEJAHATAN DIDASARKAN

ATAS ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW

A. Hubungan Korban Dengan Pelaku Kejahatan 79

B. Perbandingan Perlindungan Korban Dan Pelaku Kejahatan 82

C. Beberapa Bentuk Pelanggaran Perlindungan Terhadap

Diri Korban Dan Pelaku Kejahatan 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 94

B. Saran 95

(8)

ABSTRAKSI JUNI S SIMANJUNTAK1

LIZA ERWINA** EDI YUNARA***

Wujud penghormatan hak asasi manusia dalam hukum pidana, hal ini bisa kita lihat dari perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum pidana tersebut atas diri pelaku kejahatan dan korban kejahatan dalam beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan hukum yg diberikan oleh Negara baik kepada korban dan pelaku kejahatan harus didasarkan atas asas equality before the law atau asas persamaaan dalam hukum. Akan tetapi masalahnya hak-hak dari para pihak dalam peristiwa pidana tersebut seringkali tidak dipenuhi oleh aparat penegak hukum. Dalam kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional, Jaksa meminta penyidik menambahkan BAP dengan ketentuan pasal 27 dan pasal 45 UU ITE dan Jaksa menjerat Prita dengan pasal tersebut sementara dalam kenyataannya penambahan pasal tersebut tidak dibuat langsung dalam BAP tapi hanya dibuat dibagian sampul BAP penyidik tersebut. Demikian juga terhadap korban pelecehan seksual sekarang ini. Banyak pemberitaan yang melanggar privasi dari korban sehingga korban bisa terganggu dalam hal psikis. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan menurut UU Nomor 13 tahun 2006, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan menurut KUHAP, dan bagaimana perbandingan perlindungan korban dan pelaku kejahatan didasarkan pada asas equality before the law.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder yaitu menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library research).

Hasil dari penelitian ini yaitu dengan lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006 wujud perlindungan daripada saksi dan korban sudah lebih baik. Sedangkan perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan dari awal sudah tegas diberikan oleh KUHAP. Akan tetapi wujud perlindungan hukum antara keduanya ini masih timpang karena perlindungan kepada pelaku kejahatan cenderung lebih baik daripada yang diberikan kepada korban kejahatan. Dan meskipun sudah adanya ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap keduanya masih banyak ditemukan bentuk-bentuk pelanggaran baik atas diri pelaku kejahatan maupun korban kejahatan dalam beberapa praktik hukm yang terjadi. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan dan sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hukum Pidana **

Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

(9)

ABSTRAKSI JUNI S SIMANJUNTAK1

LIZA ERWINA** EDI YUNARA***

Wujud penghormatan hak asasi manusia dalam hukum pidana, hal ini bisa kita lihat dari perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum pidana tersebut atas diri pelaku kejahatan dan korban kejahatan dalam beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan hukum yg diberikan oleh Negara baik kepada korban dan pelaku kejahatan harus didasarkan atas asas equality before the law atau asas persamaaan dalam hukum. Akan tetapi masalahnya hak-hak dari para pihak dalam peristiwa pidana tersebut seringkali tidak dipenuhi oleh aparat penegak hukum. Dalam kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional, Jaksa meminta penyidik menambahkan BAP dengan ketentuan pasal 27 dan pasal 45 UU ITE dan Jaksa menjerat Prita dengan pasal tersebut sementara dalam kenyataannya penambahan pasal tersebut tidak dibuat langsung dalam BAP tapi hanya dibuat dibagian sampul BAP penyidik tersebut. Demikian juga terhadap korban pelecehan seksual sekarang ini. Banyak pemberitaan yang melanggar privasi dari korban sehingga korban bisa terganggu dalam hal psikis. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan menurut UU Nomor 13 tahun 2006, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan menurut KUHAP, dan bagaimana perbandingan perlindungan korban dan pelaku kejahatan didasarkan pada asas equality before the law.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder yaitu menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library research).

Hasil dari penelitian ini yaitu dengan lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006 wujud perlindungan daripada saksi dan korban sudah lebih baik. Sedangkan perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan dari awal sudah tegas diberikan oleh KUHAP. Akan tetapi wujud perlindungan hukum antara keduanya ini masih timpang karena perlindungan kepada pelaku kejahatan cenderung lebih baik daripada yang diberikan kepada korban kejahatan. Dan meskipun sudah adanya ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap keduanya masih banyak ditemukan bentuk-bentuk pelanggaran baik atas diri pelaku kejahatan maupun korban kejahatan dalam beberapa praktik hukm yang terjadi. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan dan sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hukum Pidana **

Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan hidupnya sendiri apabila ia ada bersama-sama dengan manusia lainnya sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk yang sosial, tentu seseorang itu tidak dapat melepaskan dirinya dalam pergaulan kemasyarakatan tersebut.2 Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban.3

Karena itu, keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat sehingga dapat mempertahankan hak serta kewajiban secara mutlak, melainkan haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu oknum pribadi sosial yang dibina oleh masyarakat, serta mengendalikan hak asasi dan hak-hak lain dimana hak itu timbul karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus diselaraskan dengan kepentingan masyarakat pula.

2

Chainur Arrasjid, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminil,(Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999), hlm 28.

3

(11)

Manusia dilahirkan kemuka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia diberikan kepada setiap individu didunia tanpa pandang bulu dan tanpa memandang adanya perbedaan diantara manusia itu. Hak ini tidak akan pernah lepas dan akan tetap melekat pada diri pribadi manusia itu sendiri.

Demikian pentingnya hak asasi itu bagi manusia sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dilindungi, diantaranya melalui produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya atau oleh pemerintah.

Atas dasar pemikiran bahwa Hak Asasi Manusia merupakan pemberian ataupun anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak seorangpun atau lembaga apapun yang dapat mencabut atau mengurangi hak asasi seseorang kecuali ada alasan yang dapat dibenarkan misalnya undang-undang mengatur atau memerintahkan.

(12)

equality before the law yang merupakan asas hukum umum dan dasar dari prinsip keseimbangan antara hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana untuk membela dirinya dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban dari suatu kejahatan.4

Pelayanan keadilan terhadap para pencari keadilan di peradilan pidana, khususnya pihak korban tindak pidana hingga saat ini belum memuaskan5. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang- Undang kepada pelaku kejahatan. Selain itu, hukum pidana yang sekarang berlaku, seperti mengasumsikan bahwa pihak korban telah memperoleh kepuasan keadilan dengan dipidananya pelaku kejahatan, karena pelaku kejahatan dalam hal ini telah merasakan juga penderitaan sebagaimana yang dialami/diderita oleh korban. Asumsi ini barangkali hanya berada dalam lingkup kepuasan moril, akan tetapi jika dihubungkan dengan keadaan korban yang menderita luka fisik, terutama bagi korban yang tidak mampu secara finansial, maka dengan pemenuhan aspek kepuasan moril saja belum dapat dikatakan sebagai adanya suatu keseimbangan perlakuan antara pelaku dan korban.6

Sejak diundangkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kedudukan terhadap pelaku kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama.

4

M. Sofyan Lubis, Prinsip“Miranda Rule” Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan,

(Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hlm 105.

5

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2009), hlm 216.

6http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=105

(13)

Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai bahkan terabaikan. Padahal sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya didalam hukum.

Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.7

Kurangnya perlindungan yang diberikan kepada saksi dan atau korban mendorong lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga seorang saksi dan korban mendapat keyakinan akan perlindungan yang diberikan kepada ia ketika ia diperhadapkan didepan persidangan. Seorang korban diberikan jaminan ketika ia memberi kesaksiannya didepan persidangan baik ia sebagai korban dalam suatu peristiwa pidana maupun yang sudah berstatus tersangka akan tetapi ia didudukkan sebagai saksi dalam kasus yang sama tapi berkas terpisah. Perlindungan hukum kepada korban sebelum UU Nomor 13 Tahun 2006 ini

(14)

sudah ada diberikan pada undang-undang nasional yang sudah lahir sebelumnya seperti contoh UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perlindungan korban dalam undang-undang ini bisa kita lihat dari ketentuan pasal 32 ayat (2). Disebutkan bahwa “dalam penyidikan dan pemeriksaan disidang pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang

memberikan kemungkinan diketahuinya identitas pelapor”.8

Perlindungan yang diberikan dalam beberapa undang-undang sebelum UU Nomor 13 Tahun 2006 sudah cukup melegakan pihak korban karena atas diri mereka sudah diberikan perlindungan. Dan UU Nomor 13 tahun 2006 lahir semakin mempertegas perlindungan tersebut dengan adanya lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada korban dan atau saksi yang dinamakan dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Namun dengan lahirnya Undang-Undang ini dalam penyelesaian perkara pidana masih banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun immaterial. Contoh korban kekerasan seksual. Korban kejahatan seksual belum sepenuhnya mendapat perlindungan dari kemungkinan publikasi identitas dan hak-hak privasi lainnya. Masih banyak media yang mencantumkan identitas dan foto korban kejahatan seksual khususnya perempuan. Akibatnya, privasi para korban tak terlindungi meskipun ada payung hukum perlindungan bagi mereka. Hal ini

8

(15)

terungkap dalam diskusi Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan

Seksual” di kantor Komnas Perempuan, pada 1 November 2011. Diskusi ini digelar

seiring maraknya kasus kejahatan seksual belakangan, termasuk pemerkosaan di dalam angkutan umum.

Penderitaan korban kejahatan seksual acapkali bertambah karena peran media yang mengungkap secara jelas identitas korban. Bahkan ada media yang memuat foto korban dengan hanya menghitamkan bagian mata. Aliansi Jurnalis Indonesia melihat tanggung jawab besar media dalam upaya perlindungan kejahatan seksual. Jurnalis yang menulis kasus kejahatan seksual juga perlu menyadari publikasi harus diarahkan untuk mengurangi jumlah kasus atau memberikan pencegahan tindakan kejahatan seksual. Jika identitas korban kejahatan seksual diungkap, trauma korban berpotensi semakin besar karena masyarakat mengetahui masalah yang dihadapi korban.9 Hal ini bisa mengakibatkan psikis dari korban terganggu.

Dan terhadap pelaku kejahatan juga kecenderungan hak-hak pelaku sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang sangat jauh dari yang diharapkan. Banyak terjadi pelanggaran- pelanggaran hukum atas diri si pelaku ketika ia diperhadapkan pada serentetan prosedur hukum sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Pelanggaran atas hak-hak dari si pelaku kejahatan ini sendiri dapat kita temukan pada tingkat penyidikan oleh Polisi, ditingkat Kejaksaan dan juga tingkat Pengadilan. Contoh dalam kasus Prita Mulyasari vs RS. Omni Tangerang terkait dengan tulisan yang dibuat oleh Prita atas kekecewaannya terhadap pelayanan

9

(16)

kesehatan oleh RS. Omni. Dalam kasus ini dakwaan yang dibuat oleh jaksa tidak sesuai dengan BAP dari penyidik. Jaksa meminta penyidik menambahkan pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke dalam berkas. Pada pasal 27 UU ini mengatur

tentang perbuatan yang dilarang. Pasal 27 ayat (3) sendiri berbunyi “ Setiap orang

dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang

memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik” dan pasal 45 sendiri

mengatur tentang ketentuan pidananya. Berbekal permintaan jaksa itu, penyidik akhirnya menambahkan jerat tambahan yang diminta. Menurut Jaksa Agung, dari hasil eksaminasi terlihat kinerja jaksa yang menangani kasus Prita tidak profesional. Permintaan jerat tambahan jaksa hanya dicantumkan di atas sampul berkas. Mestinya, jerat tambahan itu dimuat dalam berita acara resmi.10 Namun hal inilah yang membuat majelis hakim memutus bebas Prita walaupun masih ada upaya hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan. Realita pemberlakuan hukum yang seperti ini menimbulkan gesekan-gesekan yang tentu saja akan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi berlangsungnya kehidupan bernegara.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka penulis terinspirasi untuk mengangkat masalah ini dalam tulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS

PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN

10

(17)

PELAKU KEJAHATAN DIDASARKAN ATAS ASAS EQUALITY BEFORE

THE LAW”

B. Permasalahan

Banyaknya perbedaan-perbedaan perlindungan yang diberikan baik kepada korban maupun kepada pelaku kejahatan menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Maka untuk lebih dapat dipahami bagaimana sebenarnya perlindungan korban kejahatan dan pelaku kejahatan itu dalam perundang-undangan penulis menarik permasalahan sebagai berikut;

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan menurut UU No 13 Tahun 2006 ?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan menurut KUHAP? 3. Bagaimana perbandingan perlindunganhukum terhadap korban dan pelaku

kejahatan didasarkan pada asas equality before the law? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kejahatan sebelum dan sesudah lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan menurut KUHAP.

3. Untuk mengetahui perbandingan perlindungan korban dan pelaku kejahatan didasarkan atas asas equality before the law.

(18)

Adapun manfaat dari karya tulis ini adalah untuk memperkaya literatur-literatur yang ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan terhadap korban dan pelaku kejahatan pada lapangan hukum. Karya tulisan ini diharapkan menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam lagi.

2. Manfaat Praktis

Dengan karya tulisan ini diharapkan pelaksanaan daripada perlindungan korban dan pelaku kejahatan dilapangan hukum pidana dapat berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

D. Keaslian Penulisan

Adapun karya tulis dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU

KEJAHATAN DIDASARKAN ATAS ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW” dibuat dengan sebenarnya oleh penulis dengan dibantu oleh buku-buku dari kepustakaan yang ada. Keaslian Penulisan ini juga bisa dibuktikan dengan adanya surat Keterangan Lulus Perpustakaaan yang ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal 29 September 2011. Dan apabila ternyata dikemudian hari ada masalah berkenaan dengan karya tulis ini maka penulis akan bersedia mempertanggungjawabkannya.

E. Tinjauan Pustaka Pengertian-pengertian: 1. Perlindungan hukum

(19)

suatu perbuatan maksudnya melindungi; memberi pertolongan.11 Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk kata tunggal. Kata jamaknya adalah Alkas yang selanjutnya diambil alih kedalam bahasa Indonesia menjadi hukum. Didalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan. Istilah hukum ini sendiri ada bermacam-macam. Recht yang berasal dari kata Rechtum yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan. Kata ius ini berasal dari kata Iubre yang artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur atau memerintah itu mengandung dan berpangkal pada kewibawaan.

Bellefroid mengatakan bahwa hukum yang berlaku dimasyarakat yang mengatur tata tertib masyarakat. Itu didasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Utrecht memberikan rumusan bahwa hukuman itu adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Selanjutnya Prof. Mr. Paul Scholten dalam bukunya Algemene Deel, 1934 hal 16, hukum itu adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan apa yang tidak, jadi hukum itu adalah suatu Pemerintah. Van Vollehoven dalam bukunya het adapt recht Van Nederland Indie, hukum itu adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa hentinya dengan gejala-gejala yang lainnya.

11

(20)

Sebagai kesimpulan dari rumusan sarjana tentang hukum, hukum adalah himpunan dari semua peraturan-peraturan yang hidup bersifat memaksa, beriskan petunjuk baik, merupakan perintah dan larangan-larangan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dengan maksud mengatur tata tertib dalam pergaulan atau kehidupan masyarakat. Peraturan-peraturan yang hidup maksudnya meliputi peraturan-peraturan yang tidak tertulis yang terdapat dalam kebiasaan dan adat istiadat. Peraturan yang bersifat memaksa berarti melanggar perintah dan larangan berakibat akan mendapat sanksi/reaksi dari organ pemerintah seperti juru sita, jaksa, polisi dan sebagainya juga dari masyarakat. Jadi pengertian dari perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan, swasta yang bertujuan untuk mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraaan hidup sesuai dengan hak-hak-hak asasi yang ada.

2. Pengertian korban (Victims) dan Perlindungan terhadap korban tindak pidana menurut UU Nomor 13 Tahun 2006

Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi biasa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan, ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.12

Berbagai pengertian korban banyak ditemukan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas tentang korban kejahatan, sebagaian diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Arief Gosita

12

(21)

Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.13

b. Muladi

Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan c. UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga14

Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga.15

d. UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai

13

Arif Gosita, op.cit, hlm 90.

14

UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

(22)

akibat pelanggaran hak asasi yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.16

e. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

Menurut Undang-Undang ini Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari anacaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.17 f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.

Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.18

Pengertian Korban menurut UU nomor 13 Tahun 2006 ini sama dengan pengertian korban menurut UU nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan korban.

Dan menurut kamus Crime Dictionary korban atau Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda

16

UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

17

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat.

18

(23)

atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan

oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”.19

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaan bagi diri sendiri/ kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaanya atau untuk mencegah viktimasi.

Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan.

3. Pengertian pelaku tindak pidana

Pengertian pelaku menurut KUHP dirumuskan dalam pasal 55 ayat (1) yaitu dipidana sebagai tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Terhadap kalimat “dipidana sebagai pelaku” itu timbullah perbedaan pendapat dikalangan para penulis hukum pidana, yaitu apakah yang disebut pasal 55 ayat (1) KUHP itu adalah pelaku (dader) atau hanya disamakan sebagai pelaku (alls dader). Dalam hal ini ada 2 (dua) pendapat, yaitu :

a. Pendapat yang luas (ekstentif)

19

(24)

Pendapat ini memandang sebagai pelaku (dader) adalah setiap setiap orang yang menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan tindak pidana, artinya mereka yang melakukan yang memenuhi syarat bagi yang terwujudnya akibat yang berupa tindak pidana. Jadi menurut pendapat ini, mereka semua yang disebut dalam pasal 55 ayat 1 KUHP itu adalah pelaku (dader). Penganutnya adalah M.v. T, Pompe, Hazewinkel suringa, Van Hanttum, dan Moeljatno. b. Pendapat yang sempit ( resktriktif)

Pendapat ini memandang (dader) adalah hanyalah orang yang melakukan sendiri rumusan tindak pidana. Jadi menurut pendapat ini, si pelaku (dader) itu hanyalah yang disebut pertama (mereka yangmelakukan perbuatan) pasal 55 ayat (1) KUHP, yaitu yang personal (persoonlijk) dan materiil melakukan tindak pidana, dan mereka yang disebut pasal 55 ayat (1) KUHP bukan pelaku (dader), melainkan hanya disamakan saja (ask dader). Penganutnya adalah H.R. Simons, Van Hamel, dan Jonkers.

Mereka yang melakukan tindak pidana (zij die het feit plegeen) terhadap perkataan ini terdapat beberapa pendapat :

1) Simons, mengartikan bahwa yang dimaksudkan dengan (zij die het feit plegeen) ialah apabila seseorang melakukan sendiri suatu tindak pidana, artinya tidak ada temannya (alleendaderschaft)

(25)

Sarjana lain menyatakan bahwa sebenarnya dengan dicantumkannya perumusan zij die het feitplgeen itu dalam pasal 55 KUHP adalah overbody atau berkelebihan, sebab jika sekiranya perumusan itu tidak dicantumkan dalam pasal tersebut, maka akan dapat ditemukan siapa pelakunya, yaitu:

1) Dalam delik formal, pelakunya ialah setiap orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik.

2) Dalam delik materil, pelakunya ialah setiap orang yang menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. dalam delik yang memenuhi unsur kedudukan (kualitas), pelakunya adalah setiap orang yang memiliki unsur kedudukan (kualitas) sebagaimana dilakukan dalam delik. Misalnya, dalam delik-delik jabatan, yang dapat melakukannya adalah pegawai negeri. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku adalah setiap orang yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam perumusan tindak pidana.

4. Pengertian kejahatan

Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada defenisi baku yang didalamnya mencakup semua aspek kejahatan secra komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dari aspek yuridis, sosiologis, maupun kriminologis.

(26)

perbuatan jahat.20 Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan perspektif orang dalam memandang kejahatan sangatlah beragam, disamping tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan dirumuskan.21

Kejahatan dalam bahasa Belanda “misdaad” yang berarti kelakuan atau perilaku kejahatan dan atau perbuatan kejahatan. Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan. Kejahatan merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan paling tidak disukai oleh rakyat.22 Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Kejahatan secara luas juga bisa diartikan sebagai suatu tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat. Kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis atau hukum positif.23 Van Bammelen merumuskan kejahatan adalah tiap kelakuan yang tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakan atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.

Jika dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perumusan kejahatan dalam hal ini adalah semua

(27)

bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kalau melihat secara sosiologis, kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat.24 Walaupun masyarakat mempunyai berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi didalamnya bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Keadaan ini mungkin oleh karena adanya sistem keadaan dalam masyarakat yang berbeda dan pluralistik.

Pengertian kejahatan secara sosiologis ini juga menurut W.A.Bonger adalah suatu kelakuan yang asosial dan yang amoral yang tidak dikehendaki oleh kelompok pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah.25 Dari segi hukum, kejahatan merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan barang siapa yang melakukan suatu perbuatan bertentangan dengan undang-undang tersebut maka akan dihukum. Dipandang dari segi kejiwaan (psikologis), setiap perbuatan manusia adalah dicerminkan oleh kejiwaan dari manusia yang bersangkutan, yang dalam tindakannya sampai dimana manusia tersebut dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma yang terdapat dalam masyarakatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan jahat (kejahatan) yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat tersebut tertentu yang oleh karena itu pula perbuatan itu dapat dikatakan adalah titik normal (abnormal). Masalah kejahatan harus kita lihat dengan memperhatikan hubungan antara semua fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Jadi mereka yang terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan antara lain adalah26 :

24

Ibid, hlm. 53.

25 http://ichwanmuis.com/?p=178

, Defenisi Kejahatan, diakses tanggal 1 Maret 2012, pukul 13.00 WIB.

26

(28)

a. Pihak-pihak pelaku kejahatan, korban kejahatan;

b. Pembuat Undang-Undang Pidana yang merumuskan, menentukan macam perbuatan apa saja yang merupakan suatu kejahatan;

c. Kepolisian yang mengusut, mulai menguatkan adanya kejahatan;

d. Kejaksaan yang menuntut, menguatkan dan berusaha membuktikan terjadinya kejahatan (antara lain dengan memamfaatkan pihak korban sebagai saksi); e. Kehakiman yang memutuskan ada atau tidaknya suatu kejahatan;

f. Petugas pembinaan dan pelaksana hukuman terhadap pelaku kejahatan;

g. Pengamat atau penyaksi yang mengamati dan menyaksikan terjadinya kejahatan, yang pada hakekatnya juga mempunyai peranan dalm terjadinya atau tidak terjadinya suatu kejahatan karena tindakan penyaksi bersifat mencegah atau membiarkan kelangsungan kejahatan tersebut.

Pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap” yang diberikan masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak atau bertentangan dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan

adalah “apakah masyarakat secara umum akan menderita kerugian secara ekonomis

serta perbuatan tersebut secara psikologis merugikan sehingga dimasyarakat muncul rasa tidak aman dan melukai masyarakat.

(29)

adanya keberagaman suku dan budaya. Bagi suatu daerah suatu perbuatan mungkin merupakan suatu kejahatan, tetapi didaerah lain perbuatan tersebut bisa saja bukan merupakan suatu kejahatan. Namun kita tidak boleh digiring kearah pendikotomian antara budaya dan masyarakat. Kejahatan tetaplah kejahatan, tidak boleh dilegalkan dengan mengatasnamakan adat dan budaya karena kejahatan tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

5. Pengertian Asas Equality Before The Law

Asas ini menentang keberpihakan didepan hukum. Untuk itulah maka dituntut untuk menyamakan derajat setiap orang didepan hukum.27 Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat) sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum (gelijkheid van iedeer voor de wet). Dengan demikian elemen yang melekat mengandung makna perlindungan yang sama didepan hukum (equal protection on the law) dan mendapatkan keadilan yang sama didepan hukum (equal justice under the law). Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang yang terkait dengan peradilan baik sebagai tersangka, saksi, maupun korban sebagaimana ditentukan pasal 5 ayat (1) UU nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum KUHAP dan karena itu pulalah untuk menjaga kewibawaan pengadilan, maka segala intervensi terhadap pengadilan dilarang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. F. Metode Penulisan

1. Jenis penulisan

27

(30)

Penulisan dalam skripsi ini merupakan penulisan hukum normative (yuridis normative) dimana penulisan yang dilakukan dan ditujukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan korban dan pelaku kejahatan serta berbagai literatur yang terkait dengan permasalahan didalam skripsi ini.

2. Jenis dan sumber data

Data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer

Yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lain,

b) Bahan hukum sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau merupakan hasil kajian dari berbagai media seperti Koran, majalah, artikel-artikel yang dimuat diberbagai website internet.

c) Bahan hukum tersier

Yaitu semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedia.

3. Metode Pengumpulan Data

(31)

dilaksanakan dengan cara menelaah buku-buku karangan ilmiah, dan peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan pada skripsi ini. Selain itu studi juga diarahkan terhadap artikel-artikel ilmiah yang dimuat dikoran maupun di majalah baik itu yang dimuat di berbagai media massa maupun dibuat di website internet.

4. Analisis Data

Dalam penulisan skripsi ini, segala data yang diperoleh penulis kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjawab segala permasalahan didalam skripsi ini, yang kemudian analisis deskriptif tersebut akan membantu penulis membuat suatu kesimpulan yang benar.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan BAB, dimana masing-masing BAB diuraikan masalahnya tersendiri, namun masih dalam konteks yang berkaitan satu dengan yang lain. Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan secara keseluruhannya kedalam 4 bab yang terperinci sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

(32)

Dalam bab ini akan dibahas apa yang menjadi pengertian korban kejahatan, hak-hak korban, jenis-jenis korban, perlindungan saksi dan korban dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia sebelum lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006, dan perlindungan hukum terhadap korban menurut ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2006.

BAB III Perlindungan Hukum Pelaku Kejahatan Menurut KUHAP

Dalam Bab ini akan dibahas pengertian pelaku kejahatan, perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan mulai dari berstatus tersangka, sampai dengan berstatus narapidana menurut ketentuan KUHAP

BAB IV Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku Kejahatan Didasarkan Atas Asas Equality Before The Law

Dalam bab ini akan dibahas hubungan korban dengan pelaku kejahatan, perbandingan perlindungan korban dan pelaku kejahatan dan beberapa bentuk pelanggaran perlindungan atas diri korban dan pelaku kejahatan dilapangan.

BAB V Kesimpulan dan Saran

(33)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN MENURUT UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU A. Pengertian Korban Kejahatan

Istilah yang dikenal secara universal adalah victimology yang merupakan perkembangan dari kriminologi yang tidak dapat dipisahkan sebagai bagian integral dari kriminologi.28Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan29. Secara teoritis dan praktik pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai bagian perlindungan masyarakat sesuai teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument). Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985 sebagai Resolusi PBB Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985 yang telah disepakati oleh banyak negara, kita dapat mengerti bahwa korban kejahatan ialah orang yang secara perseorangan maupun kelompok telah mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan harta benda atau perusakan yang besar terhadap hak dasar mereka melalui tindakan maupun pembiaran yang telah diatur dalam hukum pidana yang dilakukan di

28

H.R. Abdussalam, Kriminologi, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hlm 147.

29

(34)

dalam negara anggota termasuk hukum yang melarang dalam penyalahgunaan kekuasaan.30

Korban kejahatan mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya kejahatan. Dan dalam pengertian yang luas korban kejahatan bukan saja keluarga dan teman korban tetapi juga badan hukum dan badan usaha, kelompok, organisasi maupun Negara karena badan-badan maupun kelompok-kelompok dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan dilindungi hukum. Akan tetapi kadang kala korban juga sebagai pelaku, contoh dalam kejahatan narkotika.

1. Hak-hak Korban

Setiap masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun media elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan atau kerugian bagi korban dan juga keluarga korban.

Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun refresif, dan semua harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.

Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga khusus untuk menanganinya. Namun pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan

30

(35)

keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.

Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan (fisik, mental, atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.

Sekalipun demikian, tidak sedikit korban ataupun keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi31:

a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan.

b. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;

c. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku; d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

e. Hak untuk memperoleh kembali hak miliknya; f. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;

g. Berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya.32

31

(36)

h. Berhak mempergunakan upaya hukum

i. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;

j. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;

k. Hak atas kebebasan pribadi / kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.

Van Boven seorang pelapor khusus PBB mengemukakan hak-hak korban pelanggaran Hak Asasi Manusia secara komprehensif yang tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice) tetapi juga hak atas reparasi (right to reparation). Berdasarkan penyelidikan Van Boven, hak-hak tersebut sudah terangkai didalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku, dan sudah ditegaskan pula dalam putusan-putusan (yurisprudensi) komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia.33

Yang dimaksud dengan hak reparasi atau lebih sering kita dengar dengan istilah seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi yang bisa diterjemahkan sebagai proses pemulihan yaitu suatu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi korban pelanggaran hak asasi manusia; pemulihan ini sering disebut dengan istilah kompensasi, rehabilitasi dan restitusi.

32

Arif Gosita, op.cit, hlm 105.

33

(37)

Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. Sedangkan Restitusi adalah kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri. Sementara Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial.34

Hak-hak korban yang dipaparkan diatas menurut van Boven memang tidak mampu sepenuhnya memulihkan korban pada keadaannya semula. Karena pada dasarnya pelanggaran berat hak asasi manusia , apalagi yang dilakukan dalam skala besar tidak dapat diperbaiki. Sedangkan yang menjadi kewajibannya dari si korban adalah tidak main hakim sendiri, tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban dan bersedia menjadi saksi bila tidak membahayakan dirinya dan ada jaminan.35

Dalam pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan dikenal dengan 2 model yaitu model hak-hak procedural dan model hak-hak pelayanan. Yang dimaksud dengan model hak-hak procedural yaitu si korban diberikan hak berperan aktif dalam proses persidangan di pengadilan dan mendudukkan sikorban sebagai seorang subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk mengejar kepentingannya. Sedangkan model hak-hak pelayanan, penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan. Polisi

34

Theo Van Boven, op.cit, hlm xvii.

35

(38)

dapat mempergunakan korban kejahatan yaitu memberikan motivasi dan perlindungan keamanan. Kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat retributive dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan.36

2. Jenis-jenis Korban

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban sehingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut37:

a. nonparticipating victims yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.

b. latent victims yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban

c. procative victims yaitu mereka yang menimbulkan terjadinya kejahatan.

d. participating victims yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.

e. false victims yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri

Tipologi korban sebagaimana dikemukakan diatas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut:38

36

H. R. Abdussalam, op.cit, hlm 150.

37

Dikdik M Arief Mansur dan Eliatris Gultom, op.cit, hlm 49.

(39)

a. unrelated victims yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.

b. provocative victims yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.

c. participating victims yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

d. biologically victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

e. socially weak victims yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

f. self victimizing victims yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut39: a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban.

Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.

b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang meransang orang lain untuk melakukan kejahatan.

Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.

c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.

39

(40)

Anak-anak, orangtua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku.

Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran. perjudian,, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.

B. Perlindungan Saksi dan Korban dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sebelum lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006 Masalah perlindungan saksi dan korban sebelum lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006 sudah ada sebelumnya namun perlindungan yang diberikan bisa dikatakan masih kurang ataupun belum lengkap. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah:

1. Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

(41)

oleh salah satu anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, seperti penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.40

Dalam struktur kekerabatan di Indonesia kaum lelaki ditempatkan pada posisi dominan sebagai kepala rumah tangga. Pada posisi yang sedemikian superior sering mengakibatkan dirinya sangat berkuasa ditengah keluarga dan bahkan menyalah artikan posisi yang dimilikinya terhadap anggota keluarga lainnya dan menjadi aktor pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian dalam rumah tangga, laki-laki tidak melulu menjadi pelaku utama kekerasan, perempuan juga terlibat didalam tindak pidana ini walau hanya dalam skala yang lebih kecil.

Jika merujuk kepada pengertian kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 dalam pasal 1 huruf 1 menyebutkan;

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Dalam hal ini juga dikatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya melulu harus diartikan sebagai bentuk tindakan fisik (memukul atau menjambak), termasuk juga kekerasan dalam bentuk psikis, seperti terus menerus ditekan atau dipojokkan dalam keluarganya. Bahkan suatu bentakan atau kata-kata kasar atau memelototi, sudah dianggap sebagai suatu bentuk kekerasan.

40

(42)

Dengan mengacu pada pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004, maka kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud41:

a) Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit ataupun luka berat;

b) Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang

c) Kekerasan seksual yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang tingal menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. d) Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban dibawah kendali orang tersebut.

Rumah tangga menghadapi berbagai hambatan untuk dapat mengakses hukum, seperti:

41

(43)

a) Sulitnya melaporkan kasusnya, karena adanya pandangan yang tabu untuk membicarakan masalah rumah tangga seseorang.

b) Malu melaporkannya karena dinilai tidak mampu untuk mengurus keluarganya, yang dapat mencemarkan nama baik keluarganya.

c) Takut melaporkannya, karena justru dapat memperparah kekerasan yang dialami dalam keluarga.

d) Adanya kekhawatiran terjadi perceraian dalam keluarga yang dapat mengakibatkan terlantarnya anak-anak.

e) Tidak memperoleh tanggapan yang positif dari aparat penegak hukum, karena dianggap hanya sebagai persoalan keluarga biasa saja.

f) Sulitnya alat bukti sebagai salah satu persyaratan adanya tindak pidana g) Adanya anggapan besarnya biaya yang haus ditanggung dalam proses

selanjutnya

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga, yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Korban menurut Undang-undang ini adalah socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

(44)

pada waktu bersamaan. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

Setelah keluarnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diundangkan pada 22 September tahun 2004, muncul kesadaran dari korban untuk melapor kepada pihak yang berwajib apabila terjadi aksi kekerasan dalam rumah tangga. Dalam undang-undang ini korban mendapat jaminan perlindungan sesuai dengan pasal 1 angka 4: 42

“Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa

aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara

sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.”

Guna mengurangi beban penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, undang-undang memberikan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan:

a) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

42

(45)

d) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e) Pelayanan bimbingan rohani.

Undang-undang ini juga mengatur tentang perlindungan sementara yaitu perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan atau lembaga sosial atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara sangat penting untuk diberikan segera diberikan kepada korban karena jika korban harus menunggu turunnya penetapan pengadilan yang berisikan perintah perlindungan, dikhawatirkan prosesnya lama sementara korban membutuhkan perlindungan dalam waktu yang relatif cepat.

Wujud dari pemberian perlindungan terhadap korban ini juga dapat dilihat dari pemberitahuan perihal perkembangan kasus yang ditangani oleh kepolisian kepada korban. Upaya ini dilakukan guna menghindarkan adanya upaya-upaya dari pihak tertentu yang berusaha untuk menghentikan proses pemeriksaan tanpa alasan yang jelas.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme

Aksi terorisme dapat terjadi kapan pun, dimana pun dan menimpa siapa pun tanpa pandang bulu. Kerugian yang ditimbulkan oleh aksi terorisme sangat besar43. Indryanto seno Adji menyatakan: terorisme sudah menjadi bagian dalam extra ordinary crimes yang berarti suatu kejahatan kekerasan yang berdimensi khusus

43

(46)

atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya yang sering disebut kejahatan kebiadaban dalam era keberadaban karena kejahatan itu mengorbankan manusia/orang-orang yang tidak berdosa.

Setelah terjadinya peristiwa Bom Bali I tahun 2002, muncul desakan pada pemerintah agar segera menyusun perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal itu disebabkan karena selama ini ketentuan yang dipergunakan untuk menjerat para pelaku peledakan bom adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Mengingat kondisi pada saat itu sangat mendesak, sementara untuk menyusun undang-undang memerlukan waktu yang relatif lama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme. Dalam perkembangan berikutnya, Perpu no 1 Tahun 2001 telah diubah menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003.

Sebagaimana diketahui bersama, aksi-aksi terorisme yang selama ini telah terjadi telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, warga sipil hingga aparat keamanan, bahkan dalam beberapa peristiwa peledakan bom korban harus mengalami cacat tubuh hingga seumur hidup serta gangguan psikis lainnya yang sifatnya menahun. Oleh karena itu, guna mengurangi dan atau memulihkan keadaan korban (keluarganya), perlu diupayakan bentuk-bentuk perlindungan yang sifatnya komprehensif.

(47)

meliputi pemberian kompensasi atau restitusi, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 36 ayat (1) bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.

Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan restitusi merupakan ganti kerugiannya diberikan oleh pelaku kepada ahli warisnya. Namun, sampai sekarang belum ada lembaga pemerintah yang secara khusus dibentuk untuk menjalankan tugas dalam mengelola masalah ini.

Turut campurnya pemerintah dalam memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya merupakan salah satu perwujudan dari welfare state. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Apabila Negara tidak mampu untuk memberikan kesejahterakan bagi warga negaranya (dalam hal ini melindungi warga negaranya dari aksi-aski terorisme) pemerintah harus bertanggungjawab untuk memulihkannya.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Apabila dipandang dari sudut victimologi, korban dalam undang-undang ini merupakan self-victimizing victims yaitu seseorang yang menjadi korban karena perbuatannya sendiri44. Namun, ada juga yang mengelompokkannya dalam victimless crime atau kejahatan tanpa korban karena dalam kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban, semua pihak adalah terlibat.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak memberikan gambaran jelas bagaimana cara perlindungan dan perlakuan terhadap

44

(48)

korban penyalahgunaan psikotropika. Sebagaimana undang-undang lain pada umumnya, fokus utama undang-undang ini adalah dari sisi pelaku kejahatan bukan dari sisi korban kejahatan. Sekalipun demikian, ada ketentuan yang secara khusus memerintahkan kepada pelaku (korban) penyalahgunaan psikotropika untuk mengikuti program rehabilitasi ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang, seperti tercantum dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan medis dan social agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin. Sementara itu, rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan dan pengembangan baik fisik, mental maupun sosial agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat.

Selama ini program rehabilitasi terhadap korban hanya terfokus pada rehabilitasi secara medis, sedangkan rehabilitasi secara sosial memegang peranan yang sama pentingnya dengan rehabiliatsi medis. Sekalipun rehabilitasi medis telah berhasil menghilangkan kecanduan seseorang terhadap psikotropika, jika tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial, orang tersebut akan dengan mudah kembali kelingkungan lamanya, kemudian akan kembali menjadi pecandu oabat-obatan terlarang.

Referensi

Dokumen terkait